Bab 2 Landasan Teori 2.1 Teori Semantik Setiawati (2005, hal.114), menerangkan bahwa semantik merupakan bidang linguistik yang mempelajari makna tanda bahasa. Menurut Ogden dan Richards dalam Setiawati (1923, hal.114), juga menjelaskan “teori segitiga semantik” yang sampai saat ini masih berpengaruh dalam teori semantik, kaitan antara lambang, citra mental atau konsep, dan refren atau objek dapat dijelasakan dalam gambar. Gambar 1. Segitiga makna Gambar segitiga Ogden dan Richards, menunjukan bahwa diantara lambang bahasa dan konsep terdapat hubungan langsung, sedangkan lambang bahasa dengan refren atau objeknya tidak berhubungan langsung (digambarkan dengan garis putus-putus) karena harus melalui konsep. Menurut Harimurti (2001, hal.193), menerangkan semantik adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara lambang dan refrennya. Dari teori-teori tersebut dijelaskan kembali bahwa, semantik merupakan sebuah pemahaman dalam sebuah bahasa berbeda, yang terdapat pada suatu bangsa atau negara dengan masyarakat berbeda pula. Dari masyarakat inilah timbul sebuah kebudayaan-kebudayaan baru yang pada akhirnya menyebabkan perubahan gaya bahasa akibat pemahaman yang berbeda antara masyarakat satu dengan lainnya. Seorang ahli semantik bernama Heijima (1991, hal.1-3), mengatakan bahwa semantik merupakan cabang ilmu linguistik yang akan membahas arti atau makna. Makna tersebut terbagi menjadi : 1. Makna denotatif adalah makna dari sebuah frasa atau kata yang tidak mengandung arti atau perasaan tambahan. Dalam hal ini, seorang penulis hanya menyampaikan informasi, khususnya dalam bidang ilmiah, akan cenderung menggunakan kata-kata yang denotatif. Tujuan utamanya untuk memberikan penjelasan yang jelas terhadap fakta. Ia tidak menginginkan interpretasi tambahan dari tiap pembaca. 2. Makna konotatif, adalam makna yang mengandung arti tambahan, perasaan tertentu, atau nilai rasa tertentu disamping makna dasar yang pada umumnya. Makna tersebut sebagian terjadi karena pembicara ingin menimbulkan rasa setuju atau tidak setuju, senang atau tidak senang dan sebagainya pada pihak pendengar dengan orang lain, sebab itu bahasa manusia tidak hanya menyangkut makna denotatif atau ideasional dan sebagainya. Pendapat lain tentang makna juga diungkapkan oleh Greoffrey Leech dalam Mansoer (1990, hal.94), yang menjelaskan bahwa makna terbagi menjadi tujuh jenis, yakni : 1. Conceptuele beteknis = Makna konseptual 2. Connotatieve beteknis = Makna konotatif 3. Stilistiche beteknis = Makna stilistika 4. Affevtieve beteknis = Makna afektif 5. Gereflecteerde beteknis = Makna refleksi 6. Collocatieve beteknis 7. Themafischwe beteknis = Makna kolokasi = Makna tematis Makna konseptual sering disebut dengan makna denotatif atau makna kognitif, yang memiliki makna “apa adanya” yang dipunyai oleh setiap kata. Misalnya, kalau seseorang mengatakan bunga, maka yang dimaksudkannya yakni bunga seperti yang kita lihat ditaman bunga. Makna konotatif ialah makna yang memiliki arti berbeda dari makna sebelumnya (tidak sebenarnya). Sebagai contoh dari kata bunga diatas dan berkata : si Ida adalah bunga kampung kami, maka ternyata makna kata bunga tak sama lagi dengan makna semula. Sifat bunga yang indah itu dipindahkan kepada si Ida yang cantik. Dengan kata lain, orang lain ingin melukiskan kecantikan si Ida seperti bunga, harum, dan indah. 2.2 Majas Majas sering dianggap sebagai sinonim dari gaya bahasa, akan tetapi sebenarnya majas termasuk kedalam gaya bahasa. Gaya bahasa sendiri memiliki cakupan yang sangat luas. Menurut penjelasan Harimurti Kridalaksana didalam Kamus Linguistik (1982, hal.1), gaya bahasa (style) mempunyai tiga pengertian, yaitu : 1. pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau menulis 2. pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu 3. keseluruhan ciri-ciri bahasa sekelompok penulis sastra. Pemakaian gaya bahasa juga dapat menghidupkan apa yang dikemukakan dalam teks, karena gaya bahasa dapat mengemukakan gagasan yang penuh makna dengan singkat. Gaya bahasa pada tataran ini biasa disebut dengan majas. Majas itu sendiri dapat diklasifikasikan dalam beberapa kategori. Menurut Moeliono (1989, hal.173), majas diklasifikasikan kedalam tiga kategori, yaitu majas perbandingan, majas pertentangan, dan majas pertautan yang masingmasing majas ini terdiri dari beberapa sub majas. Majas perbandingan merupakan pandangan tertentu antara wilayah makna kedua kata (atau bentuk lainnya) terdapat persamaan komponen makna, sehingga keduanya bisa dibandingkan. Komponen makna terdapat dua macam, yaitu: - Makna pusat (Central meaning) Sebuah penanda dapat mempunyai lebih dari satu acuan. Bila yang diacu adalah acuan utama, dan hal itu dapat dipahami sebagai makna denotatif, maka penanda itu mengaktifkan makna pusatnya. Contoh: kupu-kupu adalah serangga, yang dapat terbang, hinggap dari satu bunga ke bunga lain, untuk menghisap sarinya. Contoh berikut mengemukakan leksem kupu-kupu dengan makna pusatnya “Taman itu begitu indah, penuh bunga-bungaan aneka warna dan kupu-kupu beterbangan kian-kemari.” - Makna sampingan (Marginal meaning) Di sini, penanda tidak mengacu pada acuan utamanya, melainkan mengacu pada referen lain. Pemahamannya bersifat konotatif. Contoh: ”Sejak Marni menjadi kupu-kupu malam, baru kali itulah ada laki-laki yang tidak menghinanya”. Dalam kalimat tersebut, leksem kupu-kupu mengaktifkan makna sampingannya, karena di sini kupu-kupu malam mengacu pada manusia. Dalam studi semantik telah dikenal bahwa setiap leksem mempunyai wilayah makna tertentu yang terdiri dari sejumlah komponen makna, yaitu satuan makna terkecil. Apabila dua leksem atau lebih disandingkan, maka ada kemungkinan bahwa tampak sejumlah komponen makna yang sama dalam wilayah maknanya, dan pasti ada komponen makna yang berbeda. Maka pada dasarnya ada dua macam komponen makna, yaitu: a. komponen makna penyama b. komponen makna pembeda. Majas terbagi atas beberapa kategori berdasarkan fungsinya masing-masing. Salah satunya ialah majas yang berdasarkan perubahan intensitas makna dan perubahan acuan, diantaranya ialah, majas hiperbola, majas litotes, dan majas eufemisme. 2.2.1 Majas eufemisme Seperti yang telah dijabarkan pada bagian sebelumnya, majas merupakan sebuah gaya bahasa yang memiliki fungsinya masing-masing. Salah satunya ialah eufemisme atau biasa disebut dengan enkyokuhou (婉曲法) dalam bahasa Jepang. Ada beberapa pendapat yang menerangkan tentang enkyokuhou (婉曲法), salah satunya ialah menurut Aramakitomoko (1999, hal.105-137), yang mengatakan bahwa : 婉曲法は、他人との衝突を避けるために使われることになります。聞き手に不快感 を与えないために露骨な表現を避けるばあいが、この「婉曲語法」が使われる場面 の例に当たります。 Terjemahan : Majas eufemisme adalah ungkapan yang digunakan untuk menghindari konflik dengan orang lain. Dalam kasus ini, bentuk eufemisme digunakan apabila anda ingin menghindari representasi eksplisit mengenai seseorang untuk menghindari ketidaknyamanan bagi pendengarnya. Pendapat tersebut juga ditunjang oleh penjelasan yang ada di dalam Koujien (2005, hal.313), yang menerangkan bahwa : 表現などの遠まわしなさま。露骨にならないように言うさま。婉曲法表現と断る婉 曲法。 Terjemahan : Eufemisme berfungsi sebagai ekspresi lain untuk menjelaskan sesuatu yang dianggap kurang baik, menjadi lebih halus. Mengungkapkan sesuatu agar tidak menjadi bahan eksplisit. Berfungsi untuk merepresentasikan seseorang secara halus, guna menghindari konflik dengan orang lain. Serta, berfungsi sebagai bentuk penolakan sesuatu secara tidak langsung. Kata eksplisit dalam bahasa Indonesia memiliki arti tegas, terus terang, tidak berbelit-belit (sehingga orang dapat menangkap maksudnya dengan mudah dan tidak mempunyai gambaran yang kabur atau salah mengenai berita, keputusan, pidato, dsb); tersurat (KBBI, 1995, hal.254). Didalam eufemisme juga memiliki fungsi berbeda-beda, salah satunya ialah sebagai bentuk penolakan. Dijelaskan oleh Itatani (1996 hal.13), bahwa dalam pengekspresian eufemisme memiliki keistimewaan tersendiri, yang sering ditunjukkan saat ingin mengatakan permintaan tolong (bantuan), dan kegiatan penolakan. Lebih lanjut lagi dijelaskan bahwa : 断りは、直接的なものと間接的なものとの二つに分けることができる。直接的なも のは「だめ」、「無理」、「嫌だ」など であり、間接的なものは「今日はちょっと」、「今待ち合わせがなくて」などがそ れにあたる。 Terjemahan : Bentuk penolakan terbagi menjadi dua, secara langsung (chokusetsutekina kotowari) dan tidak langsung (kansetsutekina kotowari). Penolakan secara langsung biasa menggunakan kata “dame”, “muri”, “iyada”. Sedangkan penolakan tidak langsung biasa menggukan katakata seperti “kyou wa chotto”, “ima mocha awaseganakute”, dan lainnya. Berikut ini penjelasan lebih rinci mengenai penolakan secara langsung yang dijelaskan oleh Itatani (1995, hal.3) : 1. 「いやだ」嫌がっている好まないこと。欲しないこと。きらうこと。承諾しないこ と。Bentuk penolakan langsung. Hal yang menunjukkan bentuk tidak suka. Ketidak inginan atas sesuatu. Kebencian. Bentuk ketidaksetujuan. 2. 「だめだ」囲碁で、双方の境にあって、どちらの他にもならない空所。Adanya bentuk keterbatasan. Sebuah keadaan yang menjadi kosong (tidak ada arti). Tidak baik. Tidak berguna Tidak diijinkan. Tak dapat diterima. 3. 「無理」道理のないこと。理由のたたないこと。強いて行うこと。Harus ada alasan. Tidak ada alasan untuk diri sendiri. sia-sia. Percuma. Paksaan. Kelebihan. Majas eufemisme menurut Zaimar (2002, hal.2), merupakan ungkapan yang dihaluskan dalam mengemukakan suatu gagasan atau pendapat. Hal ini dilakukan apabila ungkapan gagasan tersebut diutarakan secara langsung, bisa menimbulkan perasaan yang tidak enak, atau terasa agak kasar. Pendapat lain mengenai eufemisme diungkap dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang menjelaskan bahwa eufemisme ialah ungkapan yang dirasakan kasar yang dianggap merugikan atau tidak menyenangkan. Kata-kata kasar yang perlu diganti tersebut merupakan kata-kata dan ungkapan-ungkapan yang dalam tuturan bersifat terlalu tajam, menghina dan dapat menyinggung perasaan orang lain. Pada umumnya, eufemisme dapat digolongkan kedalam bahasa kasar leksikal dan stilistik (Suhardi, 1995, hal.172). Makna leksikal yakni makna yang lebih kurang tetap yang dipunyai setiap kata, sedangkan makna stilistik yakni makna yang muncul akibat keberadaan kata tersebut dalam sebuah kalimat. Penyebab utama lahirnya eufemisme adalah perasaan atau kesopanan dan rasa takut. Kuasapun dapat mempengaruhi penggunaan eufemisme (Wasono dalam Sam Tando, 1990, hal.30). 2.3 Konsep Marah Sebagai seorang manusia, tentu kita tidak akan pernah terlepas dari emosi yang timbul secara alami dari dalam diri. Kemarahan atau marah timbul di dalam diri setiap manusia, dan tidak dapat dihindari tanpa adanya pengendalian diri oleh orang bersangkutan. Ada manusia yang jika sedang marah mampu mengekspresikan perasaan marah dengan tenang melalui katakata, yang disebut dengan pendekatan destruktif. Akan tetapi, ada juga manusia yang jika sedang marah mampu merusak barang-barang yang ada disekitarnya, bahkan hingga melukai diri mereka sendiri. Pendekatan seperti itu disebut dengan konstruktif (Mark dalam dio, 2006 : 27). Dari uraian diatas, pendekatan destruktif menjadi salah satu cara yang dapat dilakukan oleh banyak orang melalui kata-kata ketika marah. Pada titik inilah bahasa berperan penting dalam terciptanya pendekatan destruktif yang sesuai. Melalui bahasa yang tepat dan sesuai, seseorang yang sedang marah mampu mengontrol dirinya lebih baik. Masayarakat Jepang cenderung menggunakan pendekatan destruktif ini dalam keadaan marah kepada lawan bicaranya. Dalam bahasa Jepang, marah atau “ikari” adalah : 怒りはコミュニケーションの大きな阻害要因の一つであり、怒りをいかに鎮めるか は、コミュニケーションを円滑化する上で極めて重要と言いえます。ビジネスシー ンなど、現代社会では、怒りが好きましくない場面や状況は多くあり、そのために 使う。 Terjemahan : Salah satu bentuk hambatan terbesar dalam berkomunikasi, perlu adanya sebuah penekanan atau batasan pengendalian diri terhadap terhadap kondisi tersebut didalam berkomunikasi. Dalam kehidupan masyarakat modern, ada banyak keadaan yang menjadi penyebab timbulnya emosi marah, seperti saat dalam berbisnis, dan lain sebagainya.(Carver and Harmon-Jones dalam Ohbuchi, 2009, hal.2). Selanjutnya, diuraikan lebih lanjut Abe dan Takagi (2005, hal.74) yang menjelaskan pengertian kemarahan dengan menggambarkan perasaan tidak senang (tidak menyenangkan), dan perasaan tidak nyaman, seperti sedih dan jijik (tidak suka) akan suatu hal, dan berbeda dengan sikap lain yang bertujuan untuk menunjukkan diri (secara positif). Selain itu, Yukawa (2008, hal.74), mendefinisikan sebuah konsep kemarahan sebagai sebuah bentuk pertahanan diri sebagai akibat adanya pelanggaran psikologis dan fisik serta pelanggaran sosial yang dilakukan secara sengaja maupun tidak. Pelanggaran psikologis tersebut juga memiliki beberapa faktor penyebab, antara lain akibat adanya ketidak setujuan akan sesuatu yang dikatakan atau dilakukan oleh orang lain. Sehingga, timbullah emosi lain, seperti sedih, kecewa dan marah. Selanjutnya, Tomomi Matsuda (1986, hal.8) menjelaskan bahwa, dalam mengungkapkan (mengekspresikan) kemarahan, orang Inggris (barat) dibandingkan orang Jepang, akan mengekspresikan kemarahan dengan tingkat yang lebih tinggi (meledak-ledak), ini disebabkan adanya perbedaan budaya dalam ekspresi yang dilakukan ketika marah. Faktor ini juga dipengaruhi oleh persoalan geografis yang mempengaruhi tentang bagaimana cara orang mengekspresikan kemarahan. Jika di barat, orang marah dengan berteriak-teriak, dan mengeluarkan kata-kata yang tidak layak bahkan pada tahap melakukan tindakan kekerasan fisik, maka hal itu jarang ditemui di Jepang. Hal tersebut telah mumbuktikan bahwa, peranan kebudayaan di setiap Negara mampu mempengaruhi sebuah pola pemikiran dan prilaku para warga negaranya. Hal ini terlihat dari masyarakat Jepang yang sangat berhati-hati, dalam mengungkapkan sebuah emosi yang berhubungan dengan emosi marah terhadap sebuah objek marah yang ada. Dari penjelasan-penjelasan mengenai konsep marah oleh para ahli, dalam mengekspresikan atau mengungkapkan sebuah emosi marah, akan memiliki perbedaanperbedaan tersendiri disetiap negara. Hal ini terjadi akibat adanya peran serta kebudayaan dalam mempengaruhi pola fikir manusia didalamnya. Dalam hal ini, peranan sebuah bahasa akan menjadi sangat penting, karena bahasa akan menyempurnakan sebuah ekspresi yang disampaikan.