SELAYANG PANDANG KAJIAN METAFORA Karya sastra

advertisement
1
SELAYANG PANDANG
KAJ IAN METAFORA
Karya sastra merupakan ekspresi perasaan sastrawan. Hal ini digarisbawahi oleh Sylvan
Bernet bahwa “It holds that the artist is not essentially an imitator but a man who expresses his
feelings”(1961:5). Maksudnya sastrawan
bukanlah sekadar peniru tetapi orang yang
mengekspresikan perasaannya terhadap kenyataan yang terjadi di tengah masyarakat. Menurut
Aristoteles dalam bukunya yang berjudul Poetica, ketika
sastrawan melihat kenyataan yang
menampakkan diri sebagai sejumlah unsur yang kacau-balau, dia memilih beberapa unsur lalu
menyusun suatu
gambaran yang dapat dimengerti, yang menampilkan “kebenaran universal“,
yang berlaku di mana-mana dan pada segala zaman (Aristoteles dalam Luxemburg, 1982:17).
Dengan kata lain, karya sastra merupakan ekspresi perasaan sastrawan terhadap kenyataan yang
diwujudkan dengan menggunakan media bahasa sebagai alat pencapai tujuan.
Salah satu masalah dalam bahasa yang menarik untuk dicermati adalah pemakaian
metafora dalam karya sastra. Salah satu misteri yang menyelimuti metafora ialah kebingungan
publik jika mendapati ungkapan-ungkapan metaforis yang menyebutkan sesuatu yang berbeda
dari apa yang sebenarnya ingin diungkapkan. Kenyataan itu menyebabkan pengguna metafora
terkesan sebagai pembohong atau penipu. Ketika Juliet berkata kepada Romeo “Cahaya yang
bersinar dari matamu”, dia tentu saja tidak bermaksud untuk mengungkapkan bahwa dari bola
mata Romeo bersinar cahaya yang menerangi ruangan tempat mereka berada. Ketika seorang
penyair mengatakan,”Puisi adalah seekor burung”, dia tidak bermaksud untuk mengungkapkan
bahwa puisi bisa mengepakkan sayap dan punya ekor.
Dua contoh ini hanya sebagian contoh
dari banyaknya contoh yang mengesankan metafora sebagai ungkapan yang penuh “absurditas”
dan “kepalsuan” (Max Black dalam Ortony, 1993:21). Meskipun demikian apa yang dikatakan
oleh anggapan umum publik tersebut menurut para linguis justru merupakan ciri mendasar yang
secara tepat menjelaskan pikiran dan perasaan sastrawan. Bagi kalangan ini, metafora
memudahkan baik sastrawan maupun pembaca karya sastra untuk menyentuh dimensi lain yang
lebih dalam. Lebih dalam dari apa yang terungkap secara literal.
Sebelum wacana tentang metafora sering dibicarakan , menurut
Andrew Ortony (1993:1)
telah tertanam persepsi bahwa ungkapan literal merupakan alat yang paling memadai dan sesuai
untuk memerikan karakterisasi realitas secara objektif. Dalam perkembangan ilmu filsafat abad
kedua puluh, ungkapan literal merupakan asumsi yang mendasari berkembangnya teori tentang
makna. Kemudian salah satu puncaknya ialah dengan munculnya doktrin positivisme logis, yang
berkembang pesat dikalangan filsuf dan ilmuwan lima puluh tahun yang lalu. Ide dasar aliran
positivisme ialah realitas hanya bisa diperikan secara tepat melalui medium bahasa dengan cara
2
yang jelas, tidak mendua dan secara prinsip bisa diuji dan secara
realistis dan literal harus bisa
dijelaskan. Penggunaan bahasa yang menyimpang dari doktrin ini merupakan penggunaan bahasa
yang tidak berarti. Hal ini disebabkan oleh penggunaan bahasa yang menyalahi kriteria
pemaknaan yang bersifat empiris ini.
Bagaimanapun sebuah teori dikembangkan, model pendekatan yang lain bisa dimunculkan,
yaitu model pendekatan baru yang berbeda dengan model pendekatan yang sebelumnya. Inti
gagasan model pendekatan itu ialah proses kognitif yang merupakan hasil konstruksi mental.
Pengetahuan atas realitas, apakah itu didatangkan oleh persepsi, bahasa, atau pengetahuan yang
merupakan hasil-hasil yang sifatnya jauh melampaui informasi yang diberikan dalam bentuk
ungkapan kalimat. Hal itu muncul melalui interaksi wujud kalimat tersebut dengan konteks yang
disajikan dan dengan pengetahuan awal yang dimiliki oleh pemakai bahasa. Pandangan umum ini
merupakan pandangan relativis yang melihat dunia obyektif yang tidak bisa secara langsung
diketahui, tetapi dibangun atas dasar pengaruh pengetahuan manusia dan bahasa. Dalam
pandangan ini
bisa disimpulkan bahwa bahasa, persepsi, dan pengetahuan manusia adalah
saling bergantung dan berkait satu sama lain (Ortony, 1993:1).
Fenomena metafora sejauh ini telah menarik perhatian para ahli dari berbagai disiplin ilmu
seperti filsafat, psikologi, antropologi, dan kritik sastra. Pengkajian metafora di dalam disiplindisiplin itu terutama mengkaji metafora sebagai suatu proses kognitif, yaitu proses persepsi dan
proses berpikir, dan bukan sebagai proses kebahasaan (Dirven dalam Paprotte dan Dirven,
1985:85). Para ahli filsafat (misalnya Nietzsche) menyatakan bahwa semua kegiatan berpikir
pada dasarnya adalah berpikir secara metaforis; sedangkan para ahli psikologi (misalnya,
H.Werner, 1919) menyatakan bahwa metafora sebagai instrumen yang paling baik bagi
masyakarat primitif untuk memperoleh pemahaman terhadap fenomena alam yang terjadi di
sekelilingnya. Para ahli antropologi (di antaranya Levi Strauss, 1962 dan Cassirer, 1968)
menyatakan bahwa berdasarkan proses berpikir metaforis, metafora telah membantu membentuk
bahasa dan juga mitos (lihat Dirven dalam Paprotte dan Dirven, 1985:86).
Pada perkembangan yang mutakhir sering dibicarakan pengkajian metafora berdasarkan
pendekatan kognitif seperti
yang diungkapkan oleh George Lakoff (1980). Berdasarkan
pendekatan itu, metafora dipandang sebagai suatu cara kategorisasi fakta-fakta pengalaman
menurut ciri-ciri pengalaman yang telah dikenal. Di dalam sistem kognitif kita, kita membentuk
kategori-kategori yang merupakan model-model kognitif ideal dari elemen-elemen pengalaman
tertentu. Model-model itu membantu kita mengkategorikan pengalaman-pengalaman baru yang
terus tumbuh dan meletakkan hubungan kognitif dengan pengalaman lama melalui proses
metafora (lihat Dirven dalam Paprotte dan Dirven, 1985:86).
Download