SOSIAL MEDIA, PERAN PUBLIC RELATION DAN CITRA PERUSAHAAN Halimatusa’diah Program Studi Kehumasan Akom BSI Jakarta Jl. Kayu Jati V No.2, Pemuda Rawamangun, Jakarta Timur [email protected] Abtract The phenomenon of Social media are fundamentally changing the way companies communicate originally one-way and two-way into all directions. Amid the rise of the phenomenon, the present PR practitioners must face a new publisher. They are the bloggers, the Regis gizavo, the friensdters, the plukers and the owner of the account in other Web 2.0. The main issues in this paper, is how the public relation practitioners are able to overcome the phenomenon changes the behavior of use of media (social customer) is. By using the theory of the approach Uses and Gartification, this research aims to find out how PR practitioners fact phenomena that change. The results showed that the utilization of social media by first understanding the character of its customers is the efforts that could be undertaken by the company to open the lines of communication that are intensely with the public. Perform two-way communication for the creation of mutual understanding between companies with the public should also be made so that positive imaging company imposes. Key Words: Public Relations, Social Media, Corporate Image Abstraksi Fenomena media sosial secara fundamental mengubah cara perusahaan berkomunikasi yang semula satu arah dan dua arah menjadi segala arah. Di tengah maraknya fenomena itu, praktisi public relation (PR) masa kini harus menghadapi publisher baru. Mereka adalah para blogger, para facebookers, para friensdters, para plukers serta pemilik akun di Web 2.0 lainnya. Permasalahan utama dalam tulisan ini, adalah bagaimana praktisi public relations mampu mengatasi fenomena perubahan prilaku penggunaa media (social customer) tersebut. Dengan menggunakan pendekatan teori Uses and Gartification, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana praktisi PR mensiasati fenomena perubahan itu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan sosial media dengan terlebih dahulu memahami karakter pelanggannya merupakan upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh perusahaan untuk membuka jalur komunikasi yang intens dengan publik. Menjalankan fungsi komunikasi dua arah demi terciptanya mutual understanding antara perusahaan dengan publiknya juga harus dilakukan agar berimbas pada pencitraan positif perusahaan. Kata Kunci: Public Relations, Media Sosial, Citra Perusahaan I. PENDAHULUAN Kecenderungan transformasi penggunaan media sosial ini pada dasarnya adalah bagian dari revolusi di bidang internet (international networking), yang semula berjalan searah dengan metode website belaka, menjadi lebih interaksional dengan melibatkan komunikator dan komunikan dalam satu media secara bersamaan. Hal-hal seperti inilah kemudian menjadikan sosial media seperti facebook, twitter dan lain-lain, mengambil peran-peran media mainstream sebagai wahana efektif untuk menyampaikan pesan ke publik. Proses transformasi penggunaan media mainstream ke media sosial, pada dasarnya dilandasi 26 dengan kemudahan akses, keterlibatan pemanfaat media sosial yang secara langsung berhubungan dengan komunikatornya, hingga fasilitas yang mudah, murah dan terjangkau oleh khalayak penggunanya. Sumber yang dikutip dari Vivanews menyebutkan Indonesia merupakan negara dengan jumlah Facebook terbesar kedua setelah Turki di Benua Asia, yakni sebesar 5.949.740 pengguna. Sementara Turki, yang menduduki peringkat keempat di dunia, memiliki 10.926.180 pengguna per Selasa, 29 Juni 2010 pukul 17.00 WIB. Sementara itu, berdasarkan data dari Google Trend, pengunjung Twitter rata-rata per hari lebih dari 200 ribu orang (unique visitor). Sementara, forum diskusi Kaskus.us yang sering disebut sebagai situs komunitas terbesar di Indonesia yang memiliki anggota lebih dari sejuta orang. Namun, jumlah itu dikalahkan oleh pengunjung Twitter asal Indonesia. Data ini juga ditunjang oleh sejumlah perusahaan riset. comScore, misalnya, seperti ditulis TechCrunh mengatakan pengguna Twitter di Indonesia November 2009 lalu mencapai 1,4 juta orang dari 60 juta orang pengguna Twitter global mencapai. Fenomena Social media secara fundamental mengubah cara perusahaan berkomunikasi. Maraknya Facebook, Twitter, Plurk, blog, wiki, youtube dan lainnya memaksa perusahaan meningkatkan cara komunikasi yang semula satu arah dan dua arah menjadi segala arah. Di tengah maraknya fenomena itu, praktisi PR masa kini harus menghadapi publisher baru. Mereka adalah para blogger, para facebookers, para friensdters, para plukers serta pemilik akun di Web 2.0 lainnya. Mereka adalah para konsumen. Internet memang telah mengubah posisi konsumen di mata perusahaan. Berangkat dari fenomena tersebut di atas, maka menjadi fokus utama dalam tulisan ini, adalah bagaimana praktisi public relations mengatasi fenomena perubahan prilaku penggunaaan media (social customer) yang sangat aktif untuk terlibat langsung dalam setiap proses komunikasi yang dilakukan oleh perusahaan. Terkait hal tersebut maka pertarungan struktur berkomunikasi melalui jejaring sosial, prilaku individu dan prilaku praktisi PR dalam mensiasati fenomena perubahan itu, serta upaya menciptakan dan mempertahankan citra kelembagaan menjadi kefokusan pembahasan dalam tulisan ini. II. PEMBAHASAN Dalam kajian ilmu komunikasi fenomena media sosial dilihat sebagai suatu era media baru atau yang dikenal dengan istilah new media (Terry Flew, 2005). Dia mendefiniskan sebagai as those forms that combine the three Cs: computing and informations technologie (IT); communication network; digitised media & information content. Sedangkan Potter (1995), Little John (2008) menyebutnya sebagai the second media yaitu a new period in wich interactive technologies and network communications, particullary the internet, would transform society. Gagasan pertama lahirnya “media baru” dimulai pada tahun 1990, di mana Mark Poster mengeluarkan buku yang berjudul “The Second Media Age”. yang memberikan makna tentang menandai periode terhadap teknologi interaktif dan komunikasi jaringan yang mengkhususkan bahwa dunia maya akan mengubah masyarakat mengkonsumsi media. Gagasan kedua di era media sebenarnya sudah ada dari tahun 1980-an yang telah memberikan tanda perubahan penting pada media, yaitu dengan komunikasi massa menggunakan berbagai media yang dapat menjangkau khalayak luas hingga media digunakan untuk kebutuhan sangat pribadi oleh individu (Littlejohn dan Foss, 2009:413). “New media” memberikan pejelasan mengenai dua pandangan perbedaan antara the first media age dan the second media age. The first media age lebih dipusatkan komunikasi melalui isi berita atau pesan, sementara the second media age ditekankan pada jaringan media. The second media age menekankan melalui “media baru” yang lebih interaktif sehingga menciptakan suatu pemahaman baru dengan memandang informasi secara dinamis, terbuka, fleksibel dan menciptakan interaksi yang sangat pribadi (Hamidati, dkk, 2011:19). “Media baru” mempunyai karakteristik yang sesuai dengan teknologi yang digunakan untuk menyebarkan informasi kepada khalayak. Menurut Rogers (1986:45) terdapat tiga ciri, yaitu: interactivity, demassification, dan asynchronous. Ciri pertama interactivity, mempunyai sifat interaktif yang memungkinkan komunikasi dilakukan secara akurat dan efektif. Demassification yaitu ciri di mana “media baru” tidak bersifat massal, jadi pesan khusus dapat dikomunikasikan antar individu yang terlibat dalam suatu kelompok. Ciri ketiga “media baru” adalah asynchronous, yaitu interaksi yang terjadi mengirimkan dan menerima informasi dapat dilakukan individu sewaktu-waktu sesuai dengan kehendak individu (Hamidati, 2011:7-8). “Media baru” tidak seperti dengan media biasanya yang dapat berinteraksi tatap muka atau berinterkasi satu arah saja. “Media baru” memberikan interaksi baru yang dapat membawa individu kembali dalam hubungan pribadi masing-masing untuk menggunakan media sesuai dengan keperluan yang diinginkan di mana saja dan kapan saja. “Media baru” memberikan keterbukaan, fleksibelitas, kecepatan dan kemudahan dalam penggunaan pada khalayak karena langsung terkoneksi dengan Internet (Littlejohn dan Foss, 2009:414). Kaburnya batasan konsep media dalam era media baru menurut Manuel Castells (2009) karena terbentuknya Mass Self-Communications. Kombinasi dari level komunikasi dikatakan sebagai komunikasi massa karena dapat menjangkau khalayak secara global, tetapi dalam waktu yang bersamaan juga merupakan komunikasi yang interpersonal karena pesan yang dibuat, diarahkan, dikonsumsi semua bersifat pribadi. 27 Dalam media baru sejalan apa yang diungkapkan Manuel Casstel, dua level komunikasi terjadi sekaligus dalam suatu fenomena, level media massa dan level interpersonal. Jadilah karakteristik media baru memunculkan (1) pesan yang bersifat desentralisir karena produsen dapat sekaligus sebagai konsumen dan sebaliknya. (2) Komunikasi berlangsung dalam dua arah antara prdusen dengan konsumen (3) dalam pengelolaan pesan berada di luar kontrol negara, (4) terbentuk demokrasi, (5) memporsikan kesadaran individu, serta (6) berorientasi pada individu. Dalam dunia komunikasi korporasi, Hadirnya media baru juga menghasilkan lanskap konsumen baru dan melahirkan segemen pelanggan yang disebut Social Customer (pelanggan sosial). Social Customer merupakan pelanggan sosial yang umumnya hyper-connected, kreatif dan kolaboratif, selalu terhubung dengan lingkaran sosial dan profesional melalui telepon, sms, facebook, twitter, blog dan forum. Para pelanggan sosial ini kritis terhadap iklan atau komunikasi yang dibangun oleh perusahaan. Mereka ingin suaranya didengar oleh perusahaan (Brian Solis, 2009). Teori-teori yang terkait dengan penggunaan new media ini dapat dihubungkan dengan salah satu teori dalam komunikasi massa sebagai pisau analisis untuk melihat hubungan antara prilaku individu dalam menggunakan new media, respon public relations dalam menyikapi aktifnya social customer, dan upaya meningkatkan citra kelembagaan sebagai sebuah efek berkomunikasi. Dengan mendasarkan pada prinsip keseimbangan kognitif antara social customer, praktisi PR, dan efek yang ditimbulkan, pendekatan pada teori uses and gratification dapat menjadi rujukan untuk menelaah permasalahan dalam tulisan ini. Teori uses and gratification dikemukakan oleh Elihu Katz, Jay G. Blumer, dan Michael Gurevicth. Teori ini menyatakan bahwa orang secara aktif mencari media tertentu dan muatan (isi) tertentu untuk menghasilkan kepuasan (atau hasil) tertentu. Orang aktif memilih dan menggunakan media tertentu untuk memuaskan kebutuhan tertentu. Teori ini melihat media mempunyai pengaruh terbatas karena pengguna mampu memilih dan mengendalikan. Orang memililiki kesadaran diri, dan mereka mampu memahami dan menyatakan alasan mereka menggunakan media. Mereka melihat media sebagai salah satu cara untuk memuaskan kebutuhan yang mereka miliki (West & Turner, 2008). Elihu Katz; Jay G. Blumler; dan Michael Gurevitch (dalam West & Turner, 2008) menguraikan lima elemen atau asumsi-asumsi dasar dari uses and gratification sebagai berikut: 28 a. Audiens adalah aktif, dan penggunaan media berorientasi pada tujuan. b. Inisiative yang menghubungkan antara kebutuhan kepuasan dan pilihan media spesifik terletak di tangan audiens c. Media bersaing dengan sumber-sumber lain dalam upaya memuaskan kebutuhan audiens d. Orang-orang mempunyai kesadaran-diri yang memadai berkenaan penggunaan media, kepentingan dan motivasinya yang menjadi bukti bagi peneliti tentang gambaran keakuratan penggunaan itu. e. Nilai pertimbangan seputar keperluan audiens tentang media spesifik atau isi harus dibentuk. Dalam tulisan ini khalayak aktif yang dimaksud penulis adalah Social Customer. Menurut West dan Turner (2008) teori yang didasarkan pada asumsi bahwa konsumen media adalah aktif harus menjelaskan apa yang dikatakan sebagai “khalayak aktif”. Mark Levy dan Sven Windahl (1985) menjawab masalah ini dengan merujuk pada istilah “aktivitas khalayak” yang berorientasi pada suka rela dan selektif oleh khalayak terhadap proses komunikasi. Penggunaan media oleh khalayak dimotivasi oleh kebutuhan dan tujuan yang didefinisikan oleh khalayak itu sendiri, dan partisipasi aktif dalam proses komunikasi mungkin difasilitasi, dibatasi, atau mempengaruhi kepuasan, dan pengaruh yang dihubungkan dengan eksposur.(dalam West dan Turner,2008) Teori uses and gratification dalam perspektif ilmu komunikasi menurut Robert T. Craig dikelompokkan ke dalam sebuah paradigma yang disebutnya sebagai tradisi sosiopsikologis. Teori-teori dalam tradisi ini bekonsentrasi pada aspek-aspek komunikasi yang meliputi ekspresi, interaksi, dan pengaruh (Communication as Expression, Interaction, and influence). Hal-hal yang menjadi tantangan dan masalah pada tradisi ini adalah bahwa hasil harus dimanipulasi. Wacana dalam tradisi ini menekankan pada: (1) Perilaku, (2) Variabel pengaruh, (3) Kepribadian dan tingkah laku, (4). Persepsi, (5) Kognisi, (6). Tindak tanduk, (7). Interaksi. Dalam kajian PR, perkembangan social media menyebabkan perubahan paradigma dalam memandang konsumen. Media sosial telah mengubah cara pelanggan berkomunikasi. Adopsi media sosial juga memfasilitasi terjadinya pergeseran hubungan pelanggan dengan perusahaan. Bila selama ini paradigma hubungan teresebut berpusat pada pasar yang selalu menggunakan pertimbangan bisnis (business centric), kini bergeser ke customer centric. Pelanggan yang dulunya statis, diam, kini mendadak aktif. Menghadapi situasi ini banyak kemudian perusahaan yang melakukan lompatan eksekusi dengan memanfaatkan media sosial untuk menjalin komunikasi yang baik dengan pelanggan. Perusahaan memfasilitasi pelanggan yang aktif (social customer) dengan memanfaatkan Twitter dan Facebook untuk membangun hubungan baik dengan mereka. Ketika seseorang memilih untuk memfollow di Twitter atau memilih fans di Facebook, mereka melakukan itu dengan asumsi bahwa dari waktu ke waktu, mereka akan menjadi bagian dari atau mendapatkan pengalaman berharga atau sesuatu yang berharga lainnya, misalnya mendapat keistimewaan dalam pembelian (diskon) dan sebagainya. Setidaknya, mereka merasa ada saluran khusus untuk komplain misalnya. Harapan itu semakin meningkat setiap hari. Setidaknya ketika dia ingin berinteraksi -- termasuk komplain atau menanyakan sesuatu misalnya -- mendapat respon yang cepat. Seperti diketahui, pada dasarnya setiap komunikasi yang dilakukan perusahaan menciptakan harapan. Semakin sering berkomunikasi atau menyampaikan pesan melalui status facebook atau Twitter misalnya, pada dasarnya membangun harapan. Harapan itu makin terbangun ketika sebuah merek atau perusahaan memiliki jumlah follower atau fans yang tinggi karena tidak tertutup kemungkinan pesan yang disampaikan merek atau perusahaan tersebut diteruskan ke mereka yang bukan follower atau fans merek tersebut. Jika harapan tersebut terakumulasi terlalu tinggi, kemungkinan besar pelanggan kecewa. Ketika mereka kecewa, mereka tidak akan diam tapi meneruskannya ke orang lain. Sebaliknya ketika harapan-harapan tersebut terpenuhi, pelanggan merasa nyaman berkomunikasi dengan perusahaan dan pada akhirnya memberikan dampak positif bagi pencitraan perusahaan. Diskusi tentang pemanfaatan media sosial oleh PR saat ini tidak lagi perdebatan tentang usaha mendapatkan atau memperbanyak fans di Facebook atau follower di Twitter, melainkan bagaimana perusahaan menemukan cara-cara yang kreatif untuk mempertahankan atau memantain pelanggan, khususnya Social customer. Pertanyaan selanjutnya adalah "Bagaimana perusahaan menggunakan media sosial untuk membuat interaksi – layanan pelangan – yang positif sehingga efek dari hal tersebut dapat terbangun citra positif perusahaan. Survei yang dilakukan Market Tools –seperti ditulis eMarketer.com (10/11/2011)– menunjukkan masih terdapat perusahaan yang tidak menyadari bahwa produk atau layanan mereka dibicarakan di media sosial. Grafik di bawah memperlihatkan 22% dari responden yang tidak tahu kalau ada pelanggan mereka yang komplain di media sosial. 34% dari mereka mengakui memang ada komplain di media sosial, sedangkan 44% sisanya percaya bahwa produk atau layanan mereka tidak dikomplain di media sosial. Dalam hal ini, Lattimore, dkk (2010) menyarankan beberapa hal terkait dengan upaya membangun komunikasi dan interaksi dengan pelanggan di media sosial. a. Giving. Dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan follower/friend gunakan prinsip “giving”, memberi-memberi-memberi. Berilah mereka konten-konten yang berguna berupa informasi , inspirasi, tips-tips yang berkaitan dengan merek anda. “the more you give, the more you get”. Semakin banyak anda memberi, maka followers/ friends Anda akan memberikan loyalitas dan trust mereka kepada merek Anda. b. Conversations. Komunikasi yang anda lakukan haruslah dua arah, di mana setiap komentar, masukan, dan curhat dari follower/friends harus direspons secara interaktif. c. Listening. Fungsi penting komunikasi di samping percakapan adalah mendengarkan (listening). Di ranah media sosial kita harus melakukan conversation dan listening secara proporsional. Dengan kontinu mendengar updates atau posting dari followers/friends maka kita akan menunjukkan bahwa kita peduli kepada mereka, tidak selfish. Kepedulian ini merupakan modal luar biasa untuk menjalin relationship antara merek dengan konsumen. d. Passing. Harus mengerti gaya obrolan pada masing-masing media. Misalnya di Kaskus itu gaya obrolannya begini, beda dengan di FB atau twitter. Gaya bahasanya bagaimana, kita harus tahu dan bersedia meniru. 29 e. Enthusiasm. Harus benar-benar ingin ngobrol. Jangan bilang mau ngobrol tapi jualan. Boleh juga diselipkan jualan, tapi jangan terlalu kentara. Dan harus bisa menerima kritik. Kritik di social media adalah hal biasa, terhadap suara sumbang, harus bisa menjelaskan dengan baik agar permasalahan menjadi clear. Peran PR secara umum adalah sebagai kommunikator atau penghubung antara organisasi atau lembaga yang diwakili oleh publiknya. Membinahubungan, yaitu berupaya membina hubungan yang positif dan saling menguntungkan dengan pihak publiknya. Peranan back up management, yakni sebagai pendukung dalam fungsi manajemen organisasi atau perusahaan. Membentuk corporate image, artinya public relations berperan untuk berupaya menciptakan citra bagi organisasi atau lembaganya. Jefkins (2010) mendefinisikan citra diartikan sebagai kesan seseorang atau individu tentang suatu yang muncul sebagai hasil dari pengetahuan dan pengalamannya. Pemanfaatan media sosial PR dalam rangka membangun citra perusahaan menitikberatkan pada bagaimana menciptakan komunikasi dan engagment dengan pelanggan. Yang harus disadari oleh praktisi PR bahwa Social media kini tidak lagi sekedar jejaring sosial, namun telah menjelma menjadi sebuah media bagi perusahaan untuk membangun komunikasi dua arah, agar tercipta mutual understanding antara perusahaan dengan publiknya. Dengan memanfaatkan media sosial secara tepat dapat menjadi salah satu media promosi dan komunikasi yang baik bagi perusahaan dan publiknya. Dalam hal ini, PR dapat menjadikan social media sebagai sarana menjalin relationship dan menjalin komunikasi dengan publiknya. III. PENUTUP Public relations adalah suatu pendekatan strategis yang menggunakan konsep-konsep komunikasi untuk menimbulkan pemahaman dan penerimaan dari publik. Melalui berbagai media, PR dapat mengkomunikasikan apa dan bagaimana suatu organisasi sehingga lebih dikenal dan dipahamani oleh publik. Dengan adanya pemahaman diharapkan dapat diperoleh dukukungan dan kepercayaan dari publik sehingga menimbulkan citra positip organisasi. Dalam kaitan ini, pemanfaatan sosial media dengan terlebih dahulu memahami karakter pelanggannya merupakan upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh perusahaan untuk membuka jalur komunikasi yang intens dengan perusahaan. Penggunaan teori uses and gratification dalam tulisan ini memperkaya pemahaman akan aspek-aspek komunikasi yang dapat 30 digunakan oleh praktisi PR dalam menjalankan fungsi komunikasi dua arah sehingga dapat tercipta mutual understanding antara perusahaan dengan publiknya dan tentunya akan berimbas pada pencitraan positif perusahaan. Dari sudut pandang penggunaan teori komunikasi, teori uses and gratifications dalam tulisan ini memberikan kontribusi dalam kemampuannya memberikan kerangka untuk mempertimbangkan khalayak dan konsumen media individu dalam teori dan penelitian komunikasi massa kontemporer. Uses and gratifications mungkin tidak mendefinisikan teori dalam bidang ilmu komunikasi massa, tetapi melayani disiplin ilmu ini secara baik sebagai sebuah perspektif melalui sejumlah ide dan teori mengenai pemilihan media, konsumsi, dan bahkan pengaruh yang dapat dilihat (Baran & Davis, 2003). Namun demikian, beberapa terminologi dalam teori ini masih membutuhkan penjelasan lebih lanjut. Teori ini terlalu terfokus pada konsumen media yang memiliki akal sehat, seseorang yang tidak menerima semuanya yang diberikan oleh media dan tidak memberikan perhatian pada banyaknya keputusan yang dibuat secara tidak sadar oleh individu-individu. Kajian tentang pemanfaatan sosial media oleh PR bisa dikembangkan lebih lanjut ditinjau dari aspekaspek pengembangan komunikasi PR. Implementasi CSR 3.0 serta tema tentang media sosial dan revolusi marketing PR merupakan bahasan yang dapat penulis rekomendasikan untuk dikaji dengan menggunakan teori-teori komunikasi. DAFTAR PUSTAKA Argenti, Paul A. 2009. Corporate Communications. . McGraw-Hill:New York). Hamidati, Anis, dkk. 2011. Komunikasi 2.0 Teoritisasi dan Implikasi. Yogyakarta: Asosiatif Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi (ASPIKOM) Jefkins. 2005. Public Relations. Jakarta: Gramedia Littejohn, Stephen, W. dan Foss, Karen, A. 2009. Teori Komunikasi. Jakarta: Salemba Humanika. Nurudin. 2007. Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada. Casstell, Manuel 2009. Communication Power. New York. Oxford University Press. Flew, Terry 2005. New Media: An Introduction, New York, Oxford University Press. Solis, Brian. 2009. Putting the public back in public relations : how social media is reinventing the aging business of PR . New Jersey : Pearson Education, Inc. West, and Lynn Turner, 2008, Introduction Communications Theory: Analysis and Application. Jakarta: Salemba Humanika 31