BIAS JENDER DALAM BAHASA ARAB

advertisement
BIAS JENDER DALAM BAHASA ARAB
Sebagai sebuah bagian dari bahasa-bahasa kuno dalam rumpun bahasa Semitik,
bias jender dalam bahasa Arab sangatlah kental. Setiap kata dalam bahasa itu
tidak bisa dilepaskan dari jenis kelamin yang menjadi bagian kategorisnya:
mudzakkar (maskulin) atau muannats (feminin). Persoalan tentang konstruksi
jender dalam bahasa ini mengemuka ketika bahasa Arab menjadi bahasa induk
yang dipakai di hampir semua sumber-sumber klasik dalam kajian keislaman.
Dalam hal ini sumber utama hukum Islam: al-Qur’an dan Hadits, menggunakan
bahasa Arab sebagai bahasa yang dipakai oleh Nabi Muhammad SAW guna
menyampaikan dakwahnya kepada masyarakat Arab ketika itu. Argumen
teologis yang menjawab persoalan mengapa al-Qur’an diturunkan dalam
bahasa Arab dapat dicerna melalui QS. Ibrahim 14:4,
wa ma arsalna min rasulin illa bilisani qawmihi... “
“Dan sekali-sekali Kami tidak mengutus salah seorang rasul kecuali dengan
bahasa kaumnya....” Akan tetapi, watak utama peradaban Arab yang lekat
dengan budaya patriarakhis menjadikan beberapa konsep yang diusung oleh
para mujtahid dalam agama Islam melalui penelaahan terhadap al-Qur’an dan
Hadis yang menggunakan bahasa Arab, serta kreatifitas ijtihadi mereka dalam
menggunakan sumber-sumber hukum Islam yang lain pada setiap masanya
sebagian besar tidak bisa dilepaskan dari bias jender yang timbul dari upaya
penafsiran dan istinbat hukum yang berlatar belakang budaya masyarakat Arab
yang cenderung patriarkhis. Oleh karena itu, persoalan bias jender bukan saja
menyangkut aspek utama secara lingusitik, di mana bahasa Arab sebagai bahasa
induk kajian Islam memang bertumpu pada pemilahan jender; tetapi juga
terkait dengan aspek penafsiran di mana konsep-konsep yang diturunkan dari
al-Qur’an dan Hadis turut pula diwarnai oleh latar belakang budaya yang
didominasi oleh peradaban partriarkhis yang bias sebagai akibatnya.
Kenyataan ini membawa sebuah persoalan pelik dalam kajian Islam ketika pada
hakikatnya semangat dan keberadaan pesan yang dibawa oleh Islam itu sendiri
menjunjung tinggi asas kesetaraan jender, di mana semua manusia secara
ontologis setara kedudukannya di sisi Allah SWT. Makalah ini akan membahas
persoalan-persoalan apa sajakah yang membawa dampak pada terjadinya bias
jender dalam bahasa Arab sebagai bahasa induk kajian Islam. Dalam hal ini,
uraian akan dibagi dalam tiga kategori utama: bias jender dalam kosa kata
(mufradat) bahasa Arab, struktur bahasa yang didominasi bentuk jender
maskulin, dan kaidah-kaidah bahasa Arab yang ambigu yang berakibat
timbulnya ketidaksetaraan jender dalam aspek penafsiran. Sebelum memulai
ketiga pembahasan utama tersebut, akan diuraikan pula sekilas tentang
kedudukan penting bahasa Arab sebagai bahasa induk dalam kajian keislaman.
A. Pentingnya Kedudukan Bahasa Arab dalam Kajian Islam
Bahasa Arab memiliki kedudukan yang penting dalam kajian Islam, ketika alQur’an sebagai kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
tertuang dalam bahasa Arab yang jelas (bilisani arabiyyin mubin).1 Dalam
perkembangan bahasa Arab, bahasa al-Qur’an dapat digolongkan ke dalam apa
1
Lihat QS. 16:103; 26:195; dan 46:12.
yang dinamakan dengan bahasa Arab klasik, yaitu bahasa al-Qur’an yang
berkembang pula menjadi bahasa susastra sejak abad ke-7 masehi. Berkat
ketinggian bahasa al-Qur’an pulalah maka kemudian para ahli bahasa membuat
standarisasi bahasa Arab secara akademik pada abad ke-3 H (9 M) dan 4 H (10
M). Dalam proses standarisasi inilah ditentukan sistematika grammatikal,
sintaksis, kosa kata, serta pemakaian susastra melalui berbagai aktivitas
penelitian yang mendalam.2 Dari sini, kita mendapati sebuah kenyataan bahwa
keberadaan teks al-Qur’an ber[eran besar bagi terciptanya kaidah-kaidah
gramatikal bahasa Arab secara umum.
Bila kita telusuri sejarah perkembangan bahasa Arab dari asal muasal
sejarahnya, maka akan didapati sebuah kenyataan bahwa bahasa Arab adalah
bagian dari rumpun bahasa semitik. Dalam hal ini, pada masa pra-klasik bahasa
Arab tergabung dalam rumpun cabang bahasa semit selatan (south semitic) atau
semit barat daya (south-west semitic) yang tediri dari dua kelompok besar: (1)
Arab selatan (meliputi bahasa suku Sabean kuno, Minean, Katabanian, dan
Hadramitik di Yaman dan Hadramaut Selatan, serta bahasa Mehri di
Hadramaut Utara, dan bahasa penduduk pulau Sokotra); (2) Bahasa Ethiopia
(yang meliputi bahasa Ethiopia kuno atau Ge’ez, Tigre, Tigrinya, Amharik,
Hurari, dan Gurage. Dalam proses pembentukannya, bahasa Arab juga
dipengaruhi oleh bahasa-bahasa Semit Barat Laut (bahasa Ibrani, bahasa
Lihat C. Rabin, “Arabiyya” dalam Encyclopaedia of Islam. Leiden: Brill, 1999 (CD ROM Edition)
i, 564a.
2
Ugaritik dan bahasa Aramaik).3 Oleh karena itu, secara keseluruhan bahasa
Arab berdiri diantara bahasa Semit Selatan dan Semit Barat Laut, serta menjalin
hubungan yang kuat dengan kedua cabang bahasa semitik tersebut.
Dalam perkembangan selanjutnya, ketika sebagian besar kelompok-kelompok
bahasa semitik dalam rumpun bahasa semit selatan tidak ditemukan lagi
penggunaannya kini kecuali bahasa Arab, maka faktor utama yang membuat
bahasa Arab tetap terjaga hingga kini adalah karena bahasa Arab menjadi
bahasa al-Qur’an, bahasa kitab suci umat Islam dan bahasa resmi yang dipakai
dalam beberapa ritual ibadat umat Islam. Dalam ritual ibadat salat, misalnya,
pengucapan bacaan-bacaan salat dilakukan dalam bahasa Arabnya yang asli,
begitu juga dalam beberapa even dalam ritual ibadah Haji. Selain itu, secara
sosiologis, bahasa Arab kini menjadi bahasa ibu yang dipakai oleh masyarakat
di Asia Barat dan Afrika Utara. Bahkan, bahasa Arab juga memiliki pengaruh
besar terhadap bahasa-bahasa lain seperti Persia, Turki, Urdu, Swahili, Melayu
dan Husa. Dengan kata lain, bahasa Arab sudah menjadi bahasa kebudayaan
Islam yang diajarkan pada ribuan sekolah di luar dunia Arab, termasuk negeri
kita Indonesia dan kantong-kantong umat Islam lainnya di seluruh dunia.4
Sehingga, kenyataan bahwa bahasa Arab merupakan bahasa al-Qur’an dan
bahasa kebudayaan Islam menjadikan bahasa ini semakin terasa penting
keberadaannya sebagai bahasa yang tidak saja harus dikenal oleh umat Islam
guna bisa membaca al-Qur’an, dan melaksanakan beberapa ritual ibadah
Seperti akhiran –in yang menandai bentuk jamak maskulin ataupun bentuk pasif dan bentuk
pengecilan (diminutive) melalui wazan fu’ayl yang kesemuanya tidak didapatkan dalam bahasa
Arab selatan dan bahasa Ethiopia. (Lihat, C. Rabin, ibid., 564b.)
3
Lihat Nasaruddin Umar, Teologi Jender Antara Miitos dan Teks Kitab Suci. Jakarta: Pustaka
Cicero, 2003, 113.
4
penting, tetapi juga menjadi elemen penting yang harus dipelajari guna dapat
memahami al-Qur’an dan sumberr-sumber ajaran Islam lainnya dalam kerangka
upaya pengkajian terhadap Islam secara umum.
Al-Qur’an menjadi sumber pokok ajaran Islam, dan bahkan ayat-ayat al-Qur’an
yang berfungsi sebagai penjelasan bagi ayat-ayat dalam bahagian lain al-Qur’an
yang masih samar menempati hirarkhi tertinggi dalam sumber-sumber
penafsiran kitab suci ini.
Bila tidak ditemukan penjelasan tentang makna
sebuah ayat dalam bahagian lain ayat-ayat al-Qur’an, maka barulah penafsiran
dilakukan melalui penjelasan yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW yang
tertuang dalam bentuk hadis. Begitu seterusnya sampai kemudian penafsiran
didasarkan pada ijtihad masing-masing mufassir, mulai dari kalangan sahabat,
tabiin, tabiit-tabiin, dan sampai kepada para ulama mujtahidin dan mufassirin
periode mutakhir. Bila kita kemudian menyebut hierarkhi tata urutan sumber
penafsiran al-Qur’an seperti itu dengan istilah hermeneutika al-Qur’an,5 maka
penguasaan yang paripurna terhadap bahasa Arab sebagai bahasa al-Qur’an
menempati urutan tertinggi dalam prasyarat penafsiran al-Qur’an,6 di samping
penguasaan terhadap disiplin cabang ilmu keislaman yang lain seperti qira’at,
teologi, usul fiqh, fiqh, asbab al-nuzul, nasikh mansukh, serta penguasaan
terhadap ilmu hadis merupakan hal yang juga memegang peranan penting.
Lihat Jane Dammen Mc Auliffe, Qur’anic Christians An Analysis of Classical and Modern
Exegesis. Cambridge: Cambridge Univ Press, 1991, 17.
5
Lihat al-Suyuti, al-Itqan, ii, 180-1. Dalam hal ini, dari 15 cabang ilmu yang dibutuhkan oleh
seorang mufassir, penguasaan bahasa Arab mencakup sedikitnya 7 aspek bahasa: lughat, nahw,
saraf, isytiqaq, ma’ani, badi’ dan bayan. Lihat juga, Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Bidaya fi al-tafsir
al-mawdu’i, Kairo: Matba’ah al-hadarat al-arabiyya, 1977, 19-20.
6
Dalam mencermati kesemua sumber-sumber dalam hirarkhi penafsiran dan
bahkan juga berlaku sebagai prosedur penetapan istinbat hukum yang tidak bisa
dipisahkan dari aktivitas ijtihad, kedudukan dan fungsi bahasa Arab memegang
peranan sangat penting. Dalam hal ini, pemilahan jender yang diterapkan
dalam bahasa Arab kerap mengakibatkan terjadinya pemahaman yang timpang
bila ditinjau dari sisi keadilan jender antara status dan peran sosial laki-laki dan
perempuan dalam banyak aspek yang diatur oleh Syariat Islam. Sebuah
persoalan yang memerlukan upaya penafsiran ulang, atau reinterpretasi, di
mana pemahaman yang semestinya tetap harus mengedepankan semangat
kesetaraan jender yang tidak membedakan status dan peran sosial berdasarkan
jenis kelamin tertentu. Oleh karena itu, diperlukan sebuah uraian yang
mengupas aspek-aspek mana saja yang kerap dapat menimbulkan pemahaman
yang bias jender dalam bahasa Arab. Dalam hal ini, pemahaman terhadap
bahasa Arab, baik tentang makna kosa kata (mufradat), struktur, maupun
kaidah yang berlaku di dalamnya merupakan keniscayaaan untuk dapat
memahami kajian Islam dengan baik ketika umumnya generasi awal Islam
menuangkan gagasan-gagasan mereka dalam karya-karya yang berbahasa Arab,
dan hanya dalam waktu akhir-akhir ini saja karya-karya itu giat diterjemahkan
dalam berbagai bahasa lain di dunia Islam.
B. Bias Jender dalam Kosa Kata (mufradat)
Melalui pendekatan semantik, pemahaman tentang makna kosa kata dalam
sebuah bahasa merupakan pondasi kuat yang akan bisa mengantar seseorang
pada pemahaman yang tepat, tidak saja agar bisa sesuai dengan semangat yang
dibawa oleh teks yang dihendak difahami, tetapi juga agar seorang penafsir
dapat tepat sasaran dalam memilih makna yang sesuai dengan apa yang
diinginkan oleh penuturnya. Dalam hal ini, pemahaman yang baik terhadap
makna kosa kata bahasa Arab menjadi prasyarat utama yang harus dilakukan
dalam memahami teks kitab suci. Beberapa contoh pemahaman terhadap teks
kitab suci al-Qur’an yang terkesan menimbulkan bias jender dapat disebutkan
dalam memahami kosa kata bahasa Arab seperti quru’, lamasa, dan kalala yang
dipahami secara berbeda oleh para ahli hukum Islam.7
1. Quru’
Kata quru’ merupakan bentuk jamak dari kata benda qar’ yang secara leksikal
berarti “waktu” yang berlaku baik untuk masa haid maupun masa suci.8 Oleh
karena itu, kata ini dapat dikategorikan sebagai kata yang musytarak, yaitu kosa
kata yang maknanya tidak tunggal, bahkan saling bertentangan satu sama lain.9
Terkait dengan proses pengambilan ketetapan hukum tentang lamanya periode
menunggu (iddah) yang diberikan kepada kaum perempuan yang dijatuhi talak
oleh suaminya, seperti yang tertuang dalam QS. 2:228, Wal mutallaqatu
yatarabbashna bi anfusihinna tsalatata quru’, “Wanita-wanita yang ditalak
hendaklah menahan diri selama tiga kali quru’....” Para ahli hukum Islam
berbeda pendapat tentang makna apa yang paling tepat diambil dari kosa kata
quru’ ini, periode haidkah atau masa suci? Sebagian ulama menetapkan makna
quru’ sebagai masa haid, seperti yang dipilih oleh Ibn Qayyim sesuai dengan
7
Lihat Nasaruddin Umar, op.cit, 218-219.
8
Lihat pendapat Abu Ubayd dalam Ibn Mandzur, Lisan al-Arab, i, 130.
9
Lihat Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah. Semarang: Toha Putra, tt, II, 279.
hadis yang memerintahkan kaum perempuan untuk meninggalkan salat di masa
haid mereka, “da’i al-salata ayyama aqra’iki...” Kata aqra’ yang menjadi
padanan jamak kata quru’ dalam hadis ini mengindikasikan kepada masa haid.
Pengambilan makna yang sama juga berlaku bila kita mempertimbangkan
kelanjutan QS. 2:228 yang menegaskan larangan bagi kaum wanita untuk
menyembunyikan apa yang diciptakan oleh Allah di dalam rahim mereka, yang
menurut umumnya para ahli tafsir berarti haid dan kehamilan.10
Penafsiran berbeda dikemukakan para hali hukum Islam dari kalangan madzhab
Syafi‘i. Imam Syafi’i sendiri menegaskan bahwa kata quru’ boleh dipakai baik
untuk masa haid maupun masa suci. Akan tetapi, menurutnya kata quru’ dalam
QS. 2:228 hendaklah dipahami sebagai masa suci. Pemilihan makna suci ini
didasarkan pada argumen bahwa ketika Ibn Umar mentalak isterinya yang
tengah haid, maka Umar kemudian meminta pendapat Nabi mengenai apa
yang harus dilakukannya. Nabi kemudian bersabda, “Suruhlah dia (Ibn Umar)
untuk merujuk isterinya, dan apabila tiba waktu sucinya maka barulah ia
jatuhkan talaknya; itulah iddah yang diperintahkan Allah untuk mentalak kaum
wanita.”11
Kedua penafsiran yang berbeda dalam menyikapi kosa kata dalam bahasa Arab
yang memiliki makna ganda (musytarak), bahkan yang berlawanan antara satu
makna dengan lainnya, pada gilirannya mengakibatkan munculnya ketetapan
hukum yang berbeda tentang berapa lama seorang wanita mesti menunggu dan
10
Menurut pada ulama, makhluk di dalam rahim adalah mamsa datang bulan yang nyata ( haidh
wujudi).
11
Lihat Lisan al-Arab, i, 131.
menahan diri dari keinginan untuk menikah lagi dengan laki-laki lain. Pilihan
terhadap kata quru’ yang berarti masa haid, seperti pendapat yang dipegangi
oleh Abu Hanifah memberi akibat pada lamanya waktu menunggu yang
diperlukan oleh kaum wanita dalam menjalani masa iddah mereka bisa
mencapai minimal sekitar 60 hari dengan perhitungan: masa haid pertama
maksimal 10 hari, lalu suci 15 hari, haid lagi 10 hari, suci lagi 15 hari, dan
terakhir haid lagi 10 hari. Hitungan yang lebih pendek diberikan oleh pengikut
(ashab ) madzhab Hanafi yang lain bahwa masa iddahnya berlangsung minimal
39 hari dengan menghitung masa haid minimal 3 hari. Oleh karena itu, dalam
rentang waktu tiga kali masa haid dihitung terdapat dua kali masa suci masingmasing 15 hari, sehingga jumlah total lama iddah minimal 39 hari
(3+15+3+15+3=39).12 Rentang waktu masa menunggu (iddah) minimal yang
direkomendasikan oleh para ulama Hanafiah tersebut masih terhitung lebih
lama jika dibandingkan dengan perhitungan rentang waktu iddah minimal yang
dipahami kelompok madzhab Syafi’i yang mengambil arti kata quru’ sebagai
masa suci. Menurut mereka, masa tunggu yang harus dijalani oleh perempuan
yang tertalak oleh suaminya berlangsung minimal 32 hari ditambah satu jam.
Logikanya, jika seorang wanita tertalak dalam keadaan suci dan satu jam
kemudian dia mendapatkan masa haid, maka masa satu jam tadi sudah bisa
dianggap sebagai satu kali suci, kemudian ia mesti menunggu masa haid
pertama yang minimal berlangsung 1 hari, kemudian masa suci 15 hari, haid lagi
1 hari, dan suci lagi 15 hari. Pada waktu ia menjalai masa haid yang ketiga,
12
Sayyid Sabiq, op.cit., 279-80.
maka berakhirlah masa menunggu yang dijalaninya.13 Walhasil, masa menunggu
yang lebih pendek, sebagaimana dipegangi oleh pendapat Imam Syafi‘i,
dianggap lebih memperhatikan hak-hak kaum perempuan yang sedikit banyak
mampu memupus bias jender yang terjadi di dalam bahasa Arab yang terlalu
banyak membela kepentingan kaum lakilaki akibat budaya patriarkhis
masyarakat Arabia.
2. Lamasa
Kata kerja lamasa juga merupakan lafazh yang musytarak dalam penggunaan
bahasa Arab, sehingga perbedaan makna yang diambil terhadap makna kata itu
berimplikasi pada perbedaan ketetapan hukum yang lahir dari pemakaian kata
itu dalam teks al-Qur’an. Dalam QS. 5:6 yang menerangkan aturan berwudu’
dan hal-hal yang membatalkan wudu terdapat kalimat yang berbunyi aw
lamastumun nisa’. Kalimat ini dipahami secara berbeda olah para ahli hukum
Islam sebagai akibat perbedaan mereka dalam mengambil makna yang
dikehendaki oleh ayat tersebut dari penggunaan kata lamasa dalam kebiasaan
masyarakat Arab yang mengindikasikan pemakaian yang majemuk. Dalam hal
ini, ungkapan dalam ayat tersebut ditafsirkan secara tidak sama sebagai akibat
perbedaan makna yang bisa diambil dari kata tersebut. Sebagian mengatakan
bahwa kata lamasa diartikan sebagai aktivitas menyentuh yang dilakuan dengan
tangan, sehingga menyentuh kulit perempuan bukan muhrim tanpa penghalang
dianggap sebagai tindakan yang membatalkan wudu’. Sementara itu, sebagian
ulama yang lain memandang kalimat tersebut sebagai sebuah ungkapan
13
Ibid., 279.
konotatif yang sebenarnya menjurus pada aktivitas persetubuhan, sehingga
persentuhan kulit semata-mata tidaklah berakibat pada batalnya wudu’
seseorang. Pendapat pertama dipegangi umumnya oleh kalangan madzhab
Syafi‘i dan Maliki, meski ada perbedaan diantara keduanya;14 sedangkan
pandangan kedua dipegangi oleh kelompok madzhab Hanafi. Dari dua
pendapat ini, pendapat Abu Hanifa kali ini nampak lebih moderat
dibandingkan dengan pendapat dalam madzhab lain seperti Syafi’i dan Maliki
yang mengesankan adanya sesuatu hal dalam tubuh perempuan yang begitu
mudah bisa membatalkan wudu bagi laki-laki yang menyentuhnya.15
3. Kalala
Kosa kata lain dalam bahasa Arab yang memiliki makna ganda, sehingga
menimbulkan perbedaan pandangan mengenai penetapan hukum yang terkait
dengan masalah itu dapat pula dicontohkan dalam makna yang dikandung oleh
lafazh kalala. Dalam ayat pembagian waris QS. 4:12, “Jika seorang laki-laki atau
perempuan (meninggal dalam keadaan) tidak memiliki ayah ataupun anak, dan
ia memiliki seorang saudara laki-laki atau seorang saudara perempuan, maka
masing-masing keduanya memperoleh bagian seperenam. Jika jumlah mereka
ternyata lebih banyak dari itu, maka mereka bersekutu untuk (mendapatkan)
bagian sepertiga....” Dalam hal ini, makna kalala didefinisikan sebagai
Perbedaan antara kedua madzhab ini dipaparkan oleh Ibn Rusyd dalam Bidayat al-Mujtahid
sebagai akibat hukum yang didasarkan pada asas pengambilan keputusan hukum yang berbeda.
Kelompok madzhab Maliki memandang persoalan tersebut dari sudut pandangan yang umum
dengan menghendaki sesuatu yang bersifat khusus (bab al-‘am urida bihi al-khash), oleh karena
itu mereka mensyaratkan terjadinya batal wudu’ jika akibat persentuhan tersebut menimbulkan
syahwat. Sementara kelompok Syafiiyah menganggapnya dari sudut pandangan umum dengan
menghendaki keumumannya (bab al-‘am urida bihi al-‘am) sehingga tidak ada syarat apakah
persentuhan tersebut menimbulkan syahwat atidak, tetap saja hal tersebut dianggap telah
membatalkan wudu. Lihat Ibn Rusyd, Bidayat al-Mujtahid. Singapura: Sulaiman Mara’i, tt, i, 38.
14
15
Lihat Nasaruddin Umar, op.cit., 219.
“seseorang yang tidak memiliki anak maupun orang tua.”16 Perbedaan
pendapat menyeruak ketika timbul pertanyaan kepada siapa status kalala itu
dikenakan, apakah kepada si mayit yang tidak meninggalkan anak dan orang
tua, ataukah kepada kaum kerabat terdekatnya yang ditinggalkan yang bukan
merupakan ayah ataupun anak dari yang meninggal? Kedua makna tersebut
sama-sama diakui keberadaannya oleh ahli bahasa Arab. Perbedaan pandangan
mengenai makna mana yang boleh diambil untuk lafazh kalala menyebabkan
lahirnya perbedaan dalam hal penetapan hukum, apakah berlaku bagian yang
sama-sama seperenam untuk saudara baik laki-laki maupun perempuan,
ataukah melalui cara pembagian lain yang terkesan bias jender seperti yang
ditunjukkan dalam hadis Jabir bin Abdillah di mana kaum laki-laki memperoleh
porsi dua kali lebih besar dibandingkan dengan bahagian perempuan.17
Dari ketiga contoh kosa kata bahasa Arab yang memiliki makna ganda
(musyarak) sebagimana diuraikan di atas nampak bahwa perbedaan makna
menyebabkan terjadinya perbedaan keputusan hukum yang berimplikasi pada
munculnya bias jender, ketika masing-masing pendapat yang dikemukakan
memunculkan perbedaan perlakuan yang didasarkan atas nama perbedaan jenis
kelamin. Dalam hal ini, dominasi budaya patriarkhis memojokkan kaum
perempuan pada posisi yang tidak menguntungkan, atau bahkan minimal tidak
diperlakukan setara dengan kaum laki-laki. Ketiga contoh di atas cukup
memberikan gambaran betapa kaum perempuan diharuskan untuk menjalani
waktu iddah yang lama, atau bahkan lebih lama lagi akibat perbedaan
16
Lisan al-Arab, xi, 592.
17
Lihat Nasaruddin Umar, op.cit. 219.
parameter quru’; tubuh perempuan menjadi sebab yang membatalkan wudu
bagi laki-laki yang menyentuhnya, serta pembagian waris yang tidak seimbang
dengan bagian waris laki-laki. Kesemua perlakuan yang tidak didasarkan pada
asas kesetaraan jender tersebut berakar pada perbedaan ketetapan hukum
sebagai akibat dari perbedaan makna yang dikandung dalam kosa kata
(mufradat) bahasa Arab yang memiliki makna ganda. Dalam hal ini, sebenarnya
bukanlah teks al-Qur’an yang mengandung bias jender, tetapi perbedaan
istinbat hukum yang didasarkan pada perbedaan makna dalam penggunaan
lafazh tertentu dalam pemakaian bahasa Arab di kalangan penuturnya
menjadikan proses interpretasi yang dilakukan seorang mujtahid kerap
menghasilkan keputusan hukum yang jatuh terjerembab dalam bias jender, di
mana kepentingan kaum perempuan dinomorduakan dibandingkan dengan
kepentingan laki-laki.
C. Struktur Bahasa Arab yang didominansi Bentuk Maskulin
Selain aspek kosa katanya yang memberikan makna yang bias jender, bahasa
Arab
memiliki
beberapa
struktur
yang
bentuk
maskulinnya
terkesan
mendominasi, sehingga penyebutan sebuah bentuk maskulin mencakup pula di
dalamnya masuknya jenis jender feminin, dan bahkan beberapa bentuk
maskulin terkesan begitu dominan sehingga tidak memiliki bentuk feminin yang
menjadi padanan katanya. Dalam dua kasus ini, pokok persoalan yang
bermuara pada dominasi bentuk jender maskulin dalam struktur bahasa Arab
nampak sebagai akibat domain sosiologis yang bias ketika peran sosial laki-laki
lebih ditonjolkan dibandingkan dengan peran perempuan, bahkan cenderung
terdapat kesan bila kaum perempuan berada di bawah sub-ordinas laki-laki.
1. Pemakaian Khitab Maskulin
Struktur bahasa Arab yang kerap menimbulkan bias jender berasal dari
kenyataan bahwa bahasa Arab merupakan bagian dari rumpun bahasa Semitik
yang lebih dominan memakai bentuk maskulin dibandingkan dengan bentuk
feminin. Contoh yang paling gamblang dalam hal ini adalah pemakaian khitab
laki-laki yang dianggap pula mencakup pula jender feminin di dalamnya, bila
keduanya berkumpul dalam sebuah tempat yang sama. Dengan kata lain, selain
berarti khusus laki-laki khitab maskulin juga bisa diartikan sebagai khitab
universal yang tidak saja mencakup jender laki-laki, tetapi juga mencakup
jender perempuan pada tempat yang sama. Kondisi semacam ini dipandang
memiliki kaitan dengan konsepsi kosmologi bangsa Semit yang menganggap
perempuan berasal dari tulang rusuk laki-laki, sehingga jika laki-laki dan
perempuan berkumpul di tempat yang sama, maka menyebutkan laki-laki
dirasakan sudah mencakup pula kaum perempuan di dalamnya.18
Beberapa sebutan yang menggunakan khitab laki-laki untuk maksud universal di
dalam teks al-Qur’an dapat disebutkan seperti penyebutan khitab panggilan Ya
ayyuha alladzina amanu (wahai orang-orang yang beriman); ya ayyuha alkafirun (wahai orang-orang kafir), dan lain sebagainya, dengan jelas
mengindikasikan pemakaian bentuk maskulin untuk tujuan universal. Di
18
Lihat Nasaruddin Umar, ibid., 227.
samping itu, untuk hampir semua khitab universal al-Qur’an juga menyebutnya
dengan bentuk maskulin, seperti aqimu al-salat, atimmu al-hajja, dst.
Bentuk lain dominasi budaya patriakhis dalam struktur bahasa Arab tercermin
dalam urut-urutan penyebutan yang mendahulukan laki-laki baru kemudian
perempuan dalam urutan kata dalam sebuah kalimat seperti QS. 4:1, ...wa
batstsa minhuma rijalan katsiran wa nisa’a..., QS. 4:7, lirrijali nasibun...wa lin
nisa’i..., QS. 4:12, ...wa in kana rajulun yuratsu kalalatan aw imra’atun..., QS.
5:38, Al-sariqu was sariqatu faqta’u..., dsb. Tata urutan penyebutan semacam
itu yang mendahulukan sebutan bagi laki-laki dibandingkan perempuan
merupakan bentuk normal, karena ketika penyebutannya dibalik seperti dalam
kasus yang menyangkut hukuman pidana bagi pezina dalam QS. 24:2, al-
zaniyatu wa al-zani fajlidu..., maka hal ini dianggap sebagai kasus khusus yang
memerlukan penjelasan.
Sebagian mufassir menafsirkan didahulukannya
penyebutan pelaku zinah perempuan (zaniyah) dalam ayat ini sebagai sebuah
peringatan (warning) yang kuat atas dasar alasan bahwa karena syahwat dalam
diri kaum perempuan dianggap lebih besar, sehingga perlu didahulukan
penyebutannya.19
Walhasil, struktur bahasa Arab yang lebih banyak didominasi oleh pemakaian
khitab maskulin, penggunaan kata ganti (dhamir) mudzakkar dalam lingkup
yang juga mencakup perempuan di dalamnya sebagai sebuah kesatuan, dan
penyebutan urutan laki-laki yang didahulukan dari perempuan merupakan
beberapa contoh yang mencerminkan adanya bias jender dalam bahasa Arab
19
Tafsir al-Baghawi, xii, 160.
yang terjadi akibat produk budaya masyarakat yang patriarkhis. Kenyataan ini
menjadi keniscayaan yang tidak mungkin hilang, mengingat budaya patriarkhis
dalam masyarakat Arab memang telah menciptakan dominasi laki-laki dan
memojokkan posisi kaum perempuan dalam peran dan relasi sosial dan
keagamaan mereka, yang pada gilirannya juga menciptakan konsep-konsep
agama yang lebih dominan memberikan bentuk-bentuk dan hak-hak khusus
bagi kaum laki-laki dan cenderung menafikan peran kaum perempuan di
dalamnya,
sebagaimana
sudah
diuraikan
dalam
pertemuan-pertemuan
terdahulu.
2. Beberapa Bentuk Khusus Maskulin
Beberapa ungkapan dalam bahasa Arab ada yang cenderung memiliki struktur
dalam bentuk laki-laki saja, dan tidak memiliki struktur dalam bentuk feminin.
Dalam hal ini, kata imam dan khalifah dengan jelas menunjukkan bahwa dua
kata tersebut merupakan bentuk kata benda maskulin yang tidak memiliki
bentuknya dalam jender feminin. Kenyataan yang sangat bias jender dan
cenderung patriarkhis ini pada gilirannya menyumbang amat besar bagi
lahirnya konsep-konsep keagamaan yang kemudian hanya diperuntukkan
sebagai hak bagi kaum laki-laki. Kata imam yang tidak memiliki bentuk nomina
feminin pada gilirannya selalu ditonjolkan sebagai sesuatu yang berkonotasi
laki-laki, seperti predikat imam sebagai pemimpin dalam salat berjamaah,
pemimpin agama, atau bahkan pemuka masyarakat. Struktur bahasa Arab yang
didominasi bentuk maskulin kemudian memberi kesan lebih jauh bahwa konsep
imam melulu menjadi otoritas yang dimiliki kaum laki-laki,20 dan sebaliknya
meminggirkan atau bahkan meniadakan peran perempuan di dalamnya.
Sementara itu, kata khalifah meskipun memiliki ciri feminin dengan tambahan
ta’ marbutah di akhir dianggap sebagai sebuah kata yang digolongkan ke dalam
bentuk mudzakkar dengan dua buah bentuk jamak khulafa’ dan khala’if.
Bentuk jamak yang pertama selalu menampilkan bentuk mudzakar, sementara
bentuk jamak yang kedua bisa pula dianggap sebagai mu’annats. Di sini, berkait
dengan makna kata ini, bentuk yang selalu mudzakkar diberikan untuk kata
benda tunggal khalifah maupun bentuk jamaknya yang membawa arti
“pemimpin (imam) tertinggi yang tidak ada lagi imam di atasnya”.21
Walhasil, kekhususan bentuk mudzakar dalam contoh dua kata imam dan
khalifah menjadi dasar bagi lahirnya konsepsi-konsepsi sosial dan politik yang
kemudian turut pula menyeret dominasi hak-hak khusus dan peran yang
diperuntukkan hanya untuk kaum laki-laki. Dalam hal ini, struktur bahasa Arab
yang cenderung didominasi laki-laki menyumbang peranan yang sangat besar
bagi
bias jender yang asalnya sangat bersifat liguistik ini, ketika kemudian
dominasi
budaya
patriarkhis
yang
mendasari
penafsiran
terhadap
al-
Qur’an,misalnya, tidak jarang pula memberikan sokongan bagi lahirnya
legitimasi secara keagamaan. Stempel keagamaan untuk konsep-konsep yang
bias jender ini merupakan dampak langsung dari aktivitas interpretasi dalam
bentuk ijtihad yang dilandasi pemakaian bahasa yang didominasi oleh budaya,
20
Lihat Ibn Mandzur, Lisan al-Arab, xii, 22-27. Lihat pula Nasaruddin Umar, op.cit., 229.
Lihat L. Ma’louf, al-Munjid, Beirut: Dar el-Masyriq, 1986, 192. Dukungan terhadap dominasi
mudzakkar bagi makna tersebut diberikan pula oleh Sibawaih dan Ibn Sayyidih. Lihat Ibn
Mandzur, Lisan al-Arab, ix, 84.
21
pemikiran, dan ideologi masyarakat Arab secara umum yang masih patriarkhis
dan meninggikan peran laki-laki.
D. Kaidah Bahasa yang Bersifat Ambigu
Bias jender dalam bahasa Arab juga dapat dilihat dalam penerapan beberapa
kaidah kebahasaan yang terkesan bersifat ambigu. Kaidah-kaidah yang ambigu
ini terdapat dalam beberapa macam kasus seperti tentang fungsi dan makna
huruf waw, apakah huruf itu berfungsi sebagai huruf ‘athaf, ataukah sebagai
hal, dan fungsi-fungsi gramatikal yang lain; begitu juga dengan kasus
ketidakjelasan mengenai ruang lingkup batas pengecualian (istitsna); dan
penetapan rujukan kata ganti (dhamir). Ketiga macam kasus di atas merupakan
persoalan konkrit yang ditemukan di dalam teks al-Qur’an yang berbahasa
Arab, ketika tidak ada kaidah yang jelas mengatur bagaimana seharusnya fungsi
dan makna elemen-elemen kebahasaan tadi bisa diterapkan secara standar, dan
dengan begitu bisa diberikan makna secara lebih pasti menurut tata kaidah
bahasa Arab yang dianggap benar.
1. Fungsi dan Makna Huruf Waw
Huruf waw yang terletak di tengah-tengah kalimat dalam bahasa Arab
seringkali dipahami secara berbeda menyangkut status dan fungsi gratikalnya.
Perbedaan ini pada gilirannya menimbulkan perbedaan makna yang dikandung
oleh kalimat dimaksud. Berbeda dengan waw yang terletak di muka kalimat
yang sering dirujuk dalam status qasam, di mana fungsi huruf ini menjadi kata
pembuka sumpah yang mengiringi penyebutan nama Tuhan atau tempat dan
objek yang dianggap sakral, huruf waw yang berada di tengah kalimat
lazimnya dirujuk sebagai huruf athaf (kata sambung atau conjunction) dan hal
(circumstantial expression).
Huruf waw yang berfungsi sebagai kata sambung yang dipahami secara berbeda
maknanya oleh para ulama dapat dilihat dalam contoh QS. 4:3, wa in khiftum
an la tuqsitu fi al-yatama, fankihu ma thaba lakum min al-nisa’i matsna wa
tsulatsa wa ruba’, fa in khiftum an la ta’dilu fa wahidah... ‘Dan jikalau kamu
khawatir tidak akan bisa berlaku adil terhadap perempuan yatim, maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Jika
kemudian kamu khawatir tidak dapat berlaku adil, maka seorang saja...”
Terjemahan seperti di muka merupakan pendapat jumhur ulama yang
cenderung memaknai huruf waw dalam kalimat matsna wa tsulatsa wa ruba’
sebagai huruf athaf yang mewakili lambang “koma” dalam aksara latin dan
bermakna “atau”22 yang dalam bahasa Arab menempati fungsi sebagai
“pengganti” (badal).23 Oleh karena itu, tidak dibolehkan bagi laki-laki muslim
menikahi wanita lebih dari empat orang. Bila kemudian Nabi SAW sendiri
menikahi sembilan isteri, maka hal itu merupakan pengecualian yang diberikan
oleh Allah kepada beliau.
Akan tetapi, ada pendapat di kalangan sekte Syi’ah dan sebagian penganut
aliran Zhahiri yang membolehkan seorang lelaki muslim untuk menikahi wanita
lebih dari empat orang. Untuk itu mereka menafsirkan huruf athaf waw dalam
fungsi makna penjumlahan (lil jam’i), sehingga ungkapan matsna wa tsulatsa wa
ruba’ dimaknai sebagai 2+3+4=9. Jumlah ini, menurut kaum Syi’ah sesuai
22
Nasaruddin Umar, Teologi Jender, 227.
23
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, II, 97.
dengan jumlah isteri yang boleh dimiliki oleh Nabi SAW. Bahkan, pendapat
yang lebih buruk lagi diungkapkan oleh sebagian kelompok Zhahiri yang
menafsirkan matsna sebagai dua-dua, dst. Sehingga, jumlah wanita yang boleh
dinikahi adalah 18 orang dari hasil penjumlahan 2+2+3+3+4+4=18.24
Beberapa penafsiran yang berbeda menyangkut status, fungsi dan makna waw
sebagai huruf athaf dilatarbelakangi oleh perbedaan masing-masing penafsir
dalam memberikan makna bagi status dan fungsi waw sendiri yang memang
tidak saja bersifat multi-tafsir. Dalam tradisi pemakaian bahasa Arab, waw yang
berfungsi sebagai athaf dengan makna penjumlahan memang lazim dipakai
oleh penutur bahasa Arab, sehingga untuk mengatakan jumlah total sembilan,
orang Arab biasa mengatakan: “dua, tiga, dan empat”. Begitu juga dengan
ungkapan matsna untuk menunjuk "kelompok dua", seperti ungkapan “mereka
datang berdua-dua” maksudnya dalam kelompok-kelompok yang terdiri dari
dua orang dua orang. Sementara itu, jumhur membatasi jumlah wanita yang
dinikahi sebatas empat sebagaimana mereka menggunakan pertimbangan dalil
lain yang berasal dari hadis yang menegaskan kembali batasan itu.25 Walhasil,
perbedaan cara istinbat hukum, utamanya ketika menyertakan pengambilan
argumentasi menurut pemakaian bahasa Arab secara umum turut memberikan
kontribusi dalam penafsiran teks al-Qur’an menyangkut makna apa yang mesti
dikenakan terhadap huruf athaf yang ambigu maknanya dan disimbolkan
dengan huruf waw tersebut. Kesemua penafsiran tentang makna waw sebagai
huruf athaf di atas sangat jelas mencerminkan bagaimana bahasa Arab dipahami
24
Ibid.
25
Ibid., 96-98.
dan dibentuk dalam kultur yang sangat bias jender. Akibat ketimpangan jender
ini, nasib kaum perempuan terkesan sangat dirugikan secara kultural.
2. Penetapan Batas Pengecualian (istisna)
Makna yang ambigu dalam kaidah bahasa Arab juga tercermin dalam kaidah
dalam menetapkan batas pengecualian (istisna) apakah hanya kalimat yang
berada dalam urutan terdekat saja, ataukah bisa menjangkau sebagian atau
keseluruhan kalimat yang sudah disebutkan. Contoh yang cukup gamblang
dapat dilihat dalam contoh kasus QS. 24:4-5, walladzina yarmuna al-
muhshanati tsumma lam ya’tu bia rba’ati syuhada’a fajliduhum tsamanina
jaldah, wa la taqbalu lahum syahadatan abada, wa ula’ika hum al-fasiqun (4).
Illa alladzina tabu min ba’di dzalika...(5) “Dan orang-orang yang menuduh
(berzina terhadap) wanita-wanita yang baik, kemudian tidak mendatangkan
orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera,
dan janganlah kalian terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Mereka
itulah orang-orang yang fasik. Kecuali orang-orang yang yang bertaubat
sesudah itu dan memperbaiki dirinya. Maka sesungguhnya Allah maha
Pengampun lagi Penyayang.” Terdapat perbedaan pandangan terhadap aspek
mana sajakah yang termasuk dalam pengecualian yang disebutkan di dalam
ayat kelima dari surat al-Nur ini. Ada tiga hal yang menjadi elemen hukuman
bagi mereka yang melakukan tuduhan palsu terhadap perbuatan zina: (1)
hukuman 80 cambuk, (2) ditolak kesaksiannya, (3) digolongkan ke dalam
kelompok fasik. Abu Hanifa mengatakan bahwa pengecualian hanya berlaku
bagi penggolongan terhadap kelompok fasik. Oleh karena itu, jika si pelaku
bertaubat maka dia dikeluarkan dari kategori fasik di hadapan Allah. Sementara
penolakan terhadap kesaksian dan hukuman cambuk tetap berlaku. Akan
tetapi, ulama lain secara umum memandang bahwa selain dikeluarkan dari
kategori fasik, maka pelaku tuduhan palsu yang sudah bertaubat juga
dikeluarkan dari kelompok yang ditolak kesaksiannya. Dengan demikian, istisna
juga diberlakukan terhadap elemen yang kedua, sehingga penolakan terhadap
kesaksian digugurkan oleh taubat yang dilakukannya. Meskipun demikian
mereka tetap sepakat bahwa taubat tidak bisa menggugurkan hukuman dera
yang termaktub dalam elemen pertama.26 Perbedaan penerapa hukuman akibat
perbedaan pandangan mengenai penetapan batas pengecualian ini tentu saja
menimbulkan dampak yang bias jender, karena pandangan jumhur ulama yang
membebaskan
penolakan
terhadap
kesaksian
dengan
taubat
terkesan
memberikan keringanan hukuman kepada para pelaku tuduhan palsu yang
umumnya merupakan kaum laki-laki.27
3. Penetapan Rujukan Kata Ganti (dhamir)
Kaidah-kaidah dalam bahasa Arab yang mengesankan terjadinya bias jender
akibat ambiguitas yang ditunjuk dalam pemakaian istisna juga didapati dalam
penetapan rujukan kata ganti (dhamir). Dalam hal ini, di dalam al-Qur’an juga
terdapat pemakaian kata ganti yang tidak jelas ke mana rujukan yang
sebenarnya. Salah satu contoh yang kalau kita analisis lebih jauh akan
menimbulkan bias jender yang menjadi akar pemahaman yang juga bias jender
Lihat Tafsir al-Qurtubi, xii, 179. Lihat pula Ali al-Sabuni, Tafsir ayat ahkam, II, 76 dalam
Nasaruddin Umar, Teologi Jender, 225.
26
27
Nasarudin Umar, ibid.
dalam teologi penciptaan manusia, sebagaimana tertuang dalam QS. 4:1, Ya
ayyuha al-nas (i)ttaqu rabbakum alladzi khalaqakum min nafsin wahidah wa
khalaqa minha zawjaha... “Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang
telah menciptakan kamu dari diri yang satu (nafs wahida), dan dari padanya
(minha) Allah menciptakan pasangannya (zawjaha)...” Terdapat dua buah kata
ganti (dhamir) ha’ yang diperselisihkan ke mana kembalinya. Umumnya
mufassir mengembalikan rujukan dhamir ha tersebut kepada kata nafsin wahida
yang dimaknai sebagai Adam, sehingga dhamir ha’ dalam kata zawjaha
dimaknai sebagai pasangan Adam, yaitu Hawa. Bias jender yang cenderung
berpangkal dari keyakinan Israiliyat bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk
Adam yang bengkok yang kemudian dikuatkan pula oleh sebuah hadis Nabi
menjadikan penafsiran ayat ini menjadi penguat bagi lahirnya kultur dan
budaya yang menempatkan kedudukan wanita secara ontologis sebagai
makhluk yang tersubordinasi oleh kedudukan dan kekuasaan laki-laki.
Penafsiran yang berbeda terhadap ayat ini diungkapkan oleh Abduh. Mengikuti
pendapat Abu Muslim al-Isfahani, Abduh mengembalikan kata ganti dhamir ha
hanya kepada kata nafsin yang bermakna diri yang satu yang menjadi unsur
pembentuk Adam. Sementara dhamir kedua ha dimaknai sebagai pasangan
genetik dari diri yang satu.28 Penetapan rujukan kata ganti dhamir ha dalam
ayat di atas, sebagaimana ditunjukkan dalam perbedaan penafsiran ayat
tersebut menunjukkan dengan jelas, bagaimana budaya patriarkhis masyarakat
Arab yang ditunjukkan dalam penggunaan bahasa Arab memberikan kontribusi
28
Lihat Nasaruddin Umar, Teologi Jender, 219-224.
yang sangat besar bagi terjadinya ketimpangan jender dalam memahami ayatayat al-Qur’an yang seyogianya paralel dengan semangat al-Qur’an yang
menjunjung tinggi kesamaan derajat semua manusia di hadapan Allah, tidak
peduli apa jenis kelamin dan peran sosialnya yang tercipta dari perbedaan jenis
kelamin itu.
Bias jender yang terjadi dalam memahami teks-teks al-Qur’an, sebagaimana
tercermin dalam pandangan-pandangan yang tertuang dalam kitab-kitab tafsir
yang mu’tabar secara umum berpangkal dari penggunaan bahasa Arab yang
bias jender. Kasus-kasus yang memberi ruang bagi kemungkinan mufradat yang
memiliki makna ganda, struktur bahasa yang didominasi jender maskulin,
ataupun kaidah-kaidah yang terkadang bersifat ambigu akibat kurang jelasnya
batasan pengecualian maupun rujukan kata ganti dhamir yang disebut
menjadikan pemahaman terhadap teks-teks berbahasa Arab kerapkali dibarengi
dengan lahirnya penafsiran yang bias pula dan menempatkan laki-laki setingkat
lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan. Penafsiran semacam ini tidak
sejalan dengan semangat persamaan jender yang diusung oleh al-Qur’an,
sehingga sudah selayaknya untuk mulai ditinjau kembali. Wallahu a’lam
Daftar Pustaka
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya.
Rabin, C. “Arabiyya” dalam Encyclopaedia of Islam. Leiden: Brill, 1999 (CD
ROM Edition) i, 564a.
Umar, Nasaruddin. Teologi Jender Antara Miitos dan Teks Kitab Suci. Jakarta:
Pustaka Cicero, 2003.
Mc Auliffe, J.D. Qur’anic Christians An Analysis of Classical and Modern
Exegesis. Cambridge: Cambridge Univ Press, 1991,
Suyuti, al-Itqan, Beirut: Dar el Fikr, 1979, 2 vols.
Farmawi, Abd al-Hayy. al-Bidaya fi al-tafsir al-mawdu’i, Kairo: Matba’ah alhadarat al-arabiyya, 1977.
Ma’louf, L. al-Munjid, Beirut: Dar el-Masyriq, 1986.
Ibn Mandzur, Lisan al-Arab.
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah. Semarang: Toha Putra, tt, II, 279.
Ibn Rusyd, Bidayat al-Mujtahid. Singapura: Sulaiman Mara’i, tt, i, 38.
Tafsir al-Baghawi.
Tafsir al-Qurtubi.
Sabuni, Ali al-. Tafsir ayat ahkam, 2 vols.
Download