Mengembangkan Tafsir Sensitif Jender Farid Muttaqin Tafsir ajaran agama sensitif jender merupakan keniscayaan dalam menegakkan keadilan jender. Ini terkait dengan kuatnya ajaran agama dijadikan sebagai legitimasi berbagai bentuk diskriminasi serta kekerasan terhadap perempuan. Tafsir bias jender sebagai gambaran dominasi pemikir patriarki telah banyak memarjinalkan dan menutup jalan tumbuhnya pemikir perempuan yang bisa terlibat dalam berbagai pergulatan pemikiran Islam. Hal ini menjadikan produk pemikiran bias jender semakin tak tertandingi. Sayangnya, perubahan menuju berkembangnya tafsir sensitif jender tidak mudah. Produk tafsir bias jender telah menjadi realitas kebenaran yang dipercaya kesahihannya hampir oleh seluruh umat Islam. Mereka bahkan tidak memedulikan implikasi produk tafsir tersebut yang telah membuahkan kekerasan terhadap perempuan. Produk tafsir ini juga menjelmakan otoritas pemegang tafsir bias jender itu yang tidak boleh ditentang! Pengembangan tafsir sensitif jender dianggap sebagai upaya menentang kebenaran Islam yang bertahun-tahun mereka percayai sekaligus subversi terhadap pihak-pihakotoritatif yang bertahun-tahun jadi panutan. Selain itu, selama ini usaha penafsiran masih dianggap sebagai pekerjaan eksklusif, hanya boleh dilakukan elite intelektual yang dianggap memiliki penguasaan atas berbagai bidang keilmuan agama, seperti ulumul quran, ulumul hadits, nahw, sharaf, balaghah, dan lainnya, yang hampir mustahil dipenuhi mereka yang marjinal dalam pergulatan pemikiran Islam, seperti kaum perempuan. Menurut saya, ada dua hal penting yang bisa dilakukan untuk melampaui masalah di atas. Pertama, membangun pemahaman masyarakat Islam agar lebih sensitif terhadap persoalan perempuan sebagai upaya membangun penghargaan yang adil melalui prinsip antidiskriminasi. Prinsip ini harus disosialisasikan melalui forum seperti bahtsul masail, pengajian, tablig, dan khotbah Jumat, yang otomatis menuntut kita memberi perhatian terhadap terbangunnya pandangan sensitif jender pada kelompok strategis dakwah Islam seperti kiai, ustadz, guru mengaji, mubalig, dan tokoh agama 1/3 Mengembangkan Tafsir Sensitif Jender lainnya. Kedua, mengubah pandangan bahwa penafsiran bukanlah upaya eksklusif yang hanya menjadi hak sekelumit elite intelektual Islam. Upaya penafsiran adalah hak semua umat beragama seiring dengan akal dan interaksi eksperimental baik secara sosial maupun spiritual mereka. Setiap umat beragama berhak mempertanyakan, merasa tidak puas, dan menyusun pandangan baru atas suatu pandangan agama klasik sebagai jalan tafsir. Hal ini karena beragama adalah proses mencari kebenaran yang tidak boleh berhenti sampai pemeluk agama merasa puas lahir dan batin, rasional dan dogmatis (spiritual), lalu ikhlas dan sadar menerima ajaran agama dengan tetap berprinsip pada nilai dasar agama: keadilan, antikekerasan, dan kemanusiaan. Dengan perspektif ini, kita bisa memberi peluang setara untuk melakukan kerja tafsir bagi perempuan yang tidak bisa mengakses sumber-sumber Islam yang dominan berbahasa Arab. Untuk itu, kita perlu membangun metode tafsir sensitif jender yang sederhana yang bisa dipakai penganut agama yang tidak memiliki kelebihan dalam mengakses sumber ajaran dan pengetahuan Islam. Dengan cara ini, kita dapat menggugurkan pandangan eksklusif atas kerja penafsiran agama serta membangun dasar perspektif bagi tafsir yang sensitif jender. Untuk membangun tafsir secara sederhana itu dapat dengan memahami dan mengaplikasikan analisis jender pada tafsir itu, yaitu mampu membedakan antara seks dan jender. Seks adalah jenis kelamin, sedangkan jender adalah jenis kelamin berdasarkan konstruksi sosial budaya yang memiliki ciri berubah-ubah dan bisa menjadi sifat, peran, dan ciri siapa pun tanpa memandang jenis kelamin seksualnya. Sebagai contoh, tafsir atas kepemimpinan (qiwamah) yang dalam tafsir bias jender diklaim hanya menjadi hak laki-laki. Jika qiwamah merupakan ciri lintas seksual, terbukti misalnya dalam sejarah terdapat pula pemimpin perempuan, maka jelas itu merupakan jender yang tidak tergantung pada jenis kelamin seksual. Oleh karena itu, tidaklah tepat memaknai kepemimpinan hanya sebagai hak eksklusif laki-laki. Penelusuran 2/3 Mengembangkan Tafsir Sensitif Jender Cara lain dengan penelusuran sejarah ayat/hadis dan mengontekstualisasikannya dengan realitas saat ini. Memahami sejarah teks memberi pemahaman mengenai maksud dan tujuan ayat tersebut yang tentu tidak ahistoris, tetapi sangat tergantung pada situasi tertentu. Karena tidak ahistoris, kita bisa merelevansikan maksud dan tujuan ayat tersebut dengan kehidupan saat ini. Untuk mengatasi ketidakmampuan berbahasa Arab dan alat tafsir yang lain, bisa memanfaatkan terjemahan sebagai sumber dasar, meski banyak produk terjemahan Al Quran serta hadis yang bias jender. Analisis jender yang menjadi dasar perspektif akan membimbing kita untuk konsisten melakukan tafsir dengan perspektif jender. Selain itu, juga sangat penting membangun tradisi di kalangan perempuan untuk aktif bertanya kepada kiai atau ustadz, misalnya meminta dibacakan suatu teks ayat atau pemikiran dalam kitab kuning untuk kemudian kita mencoba memahaminya sesuai dengan perspektif jender dan mengonstekskannya dengan situasi sosial-budaya kita. Kita sadar, kita tidak sedang mengubah ayat, hadis, atau kalimat apa pun dalam suatu kitab. Kita hanya sedang menghadirkan pemahaman baru yang lebih sensitif atas ayat, hadis, dan kalimat-kalimat dalam kitab itu. Akhirnya, kita berharap pengembangan tafsir berperspektif jender ini tidak sekadar akan merevisi berbagai pandangan bias jender dalam tafsir klasik yang patriarki, tetapi memberikan kesempatan yang besar bagi perempuan untuk terlibat dalam pergulatan pemikiran Islam. Farid Muttaqin Koordinator Program PUAN Amal Hayati Jakarta 3/3