KONSEP DAN ANALISIS JENDER Oleh Dr. Drs. Muhammad Idrus

advertisement
KONSEP DAN ANALISIS JENDER
Oleh Dr. Drs. Muhammad Idrus, S.Psi., M.Pd
Pengantar
Dalam banyak budaya tradisional, perempuan ditempatkan pada posisi yang dilirik
setelah kelompok laki-laki. Fungsi dan peran yang diemban perempuan dalam
mayarakat tersebut secara tidak sadar biasanya dikonstruksikan oleh budaya setempat
sebagai warga negara kelas dua. Pada posisi inilah terjadi bias gender dalam
masyarakat. Meski disadari bahwa ada perbedaan-perbedaan kodrati makhluk
perempuan dan laki-laki secara jenis kelamin dan konstruksi tubuh, namun dalam
konteks budaya peran yang diembannya haruslah memiliki kesetaraan.
Hingga saat ini masih ditengarai terjadi ketidaksejajaran peran antara laki-laki dan
perempuan, yang sebenarnya lebih didasarkan pada kelaziman budaya setempat.
Terkait dalam kehidupan keseharian, konstruksi budaya memiliki kontribusi yang
kuat dalam memposisikan peran laki-laki - perempuan. Banyaknya ketidaksetaraan ini
pada akhirnya memunculkan gerakan feminis yang menggugat dominasi laki-laki atas
perempuan. Bukan hanya itu, dalam banyak situasi hal ini mendorong digunakannya
analisis gender dalam mencandra banyak persoalan yang menyangkut ketidakadilan
sosial, terutama yang menimpa kaum perempuan.
Gender, apa itu? dimana dia?
Konsep gender berbeda dengan sex, sex merujuk pada perbedaan jenis kelamin
yang pada akhirnya menjadikan perbedaan kodrati antara laki-laki dan perempuan,
berdasar pada jenis kelamin yang dimilikinya, sifat biologis, berlaku universal dan
1
tidak dapat diubah. Adapun gender (Echols dan Shadily, 1976, memaknai gender
sebagai jenis kelamin) adalah sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang
dikonstruksi secara sosial maupun kultural (Faqih, 1999), dengan begitu tampak jelas
bahwa pelbagai pembedaan tersebut tidak hanya mengacu pada perbedaan biologis,
tetapi juga mencakup nilai-nilai sosial budaya. Nilai-nilai tersebut menentukan
peranan perempuan dan laki-laki dalam kehidupan pribadi dan dalam setiap bidang
masyarakat (Kantor Men. UPW, 1997). Secara sederhana dapat dinyatakan bahwa
gender adalah perbedaan fungsi dan peran laki-laki dan perempuan karena konstruksi
sosial, dan bukan sekadar jenis kelaminnya. Dengan sendirinya gender dapat berubah
dari waktu ke waktu sesuai kontruksi masyarakat yang bersangkutan tentang posisi
peran laki-laki dan perempuan.
Kerancuan dalam mempersepsi perbedaan seks dalam kontek sosial budaya dan
status, serta peran yang melakat pada relai laki-laki perempuan pada akhirnya
menumbuhsuburkan banyak asumsi yang memposisikan perempuan sebagai subordinat laki-laki. Ketimpangan relasi laki-laki-perempuan ini muncul dalam
anggapan, laki-laki memiliki sifat misalnya assertif, aktif, rasional, lebih kuat,
dinamis, agresif, pencari nafkah utama, bergerak di sektor publik, kurang tekun.
Sementara itu di lain sisi, perempuan diposisikan tidak assertif, pasif, emosional,
lemah, statis, tidak agresif, penerima nafkah, bergerak di sektor domestik, tekun, dll.
Berkembangnya peradaban mestinya menyadarkan banyak kalangan bahwa asumsi
yang muncul dan selalu melekat pada perempuan tidak selamanya benar, demikian
juga sebaliknya. Sebab, pada kenyataan empiris banyak ditemukan kasus yang
membuktikan bahwa hal tersebut tidak selamanya berlaku linier. Namun dalam
kenyataannya mempergunakan analisis gender dalam relasi hubungan laki-laki dan
2
perempuan kerap mengalami hambatan baik di kalangan laki-laki sendiri (terutama),
juga di kalangan perempuan.
Dalam analisisnya Fakih (1999) mencatat beberapa hal yang menyebabkan
terjadinya penolakan penggunaan analasis tersebut. Pertama, mempertanyakan status
perempauan identik dengan menggugat konsep-konsep yang telah mapan. Kedua,
adanya
kesalahpahaman
tentang
mengapa
permasalahan
kaum
perempuan
dipersoalkan? Ketiga, diskursus tentang relasi laki-laki perempuan pada dasarnya
membahas hubungan kekuasaan yang sangat pribadi, yang melibatkan pribadi
masing-masing serta menyangkut "hal-hal khusus" yang dinikmati oleh setiap
individu.
Bagi penulis, penolakan itu terjadi salah satunya juga disebabkan "main frame"
budaya lebih mengedepankan peran laki-laki dibanding perempuan, sehingga
sebenarnya penolakan itu terjadi dilakukan oleh institusi "abstrak" yang bernama
budaya. Setidaknya kasus penelitian Kohlberg tentang tahapan pengembangan moral
membuktikan analisis ini, bahwa pada banyak budaya --apapun-- posisi laki-laki lebih
dikedepankan. Imanuel Kant tentang imperatifnya, yang menyatakan bahwa sulit
dipercaya perempuan mampu menerima prinsip-prinsip imperatif (kategoris,
hipotesis).
Fenomena-fenomena tersebut lebih menyadarkan kita bahwa gender ternyata ada
dalam konsep sosial masyarakat. Dalam paparannya Sugiah (1995) menyimpulkan
bahwa di dalam masyarakat selalu ada mekanisme yang mendukung konstruksi sosial
budaya jender. Beberapa kecenderungan di masyarakat dan keluarga yang
menyebabkan terjadinya gender adalah pemposisian peran anak laki-laki dan anak
perempuan yang berbeda, baik dalam status, peran yang melekat ataupun hak-hak
3
yang sebanarnya merupakan hak universal. (Kerap terjadi orang tua menyatakan anak
laki-laki tidak boleh menangis, secara tidak sengaja hal ini mengisyaratkan bahwa
anak perempuan boleh; anak perempuan harus bermain pasar-pasaran, boneka dan
lain-lain permainan yang identik sebagai permainan perempuan, dan sebaliknya anak
laki-laki dilarang melakukan hal serupa seperti anak perempuan).
Selain itu dalam keluarga secara tidak sengaja juga dilakukan sosialisasi
pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin. Anak perempuan membantu memasak,
anak laki-laki membantu ayah mengerjakan pekerjaan ayah --tentunya juga
mengerjakan pekerjaan yang identik laki-laki--. Proses pewarisan nilai ini pada
akhirnya akan menjadikan anak terus memegang ajaran apa yang harus dilakukan oleh
anak laki-laki dan apa yang tidak boleh dilakukannya, demikian juga untuk anak
perempuan ada seperangkat aturan yang tidak boleh dilanggarnya karena budaya
melarangnya, konsep ini belakang dikenal dengan ideologi peran gender (gender role
ideology, Matsumoto, 1996).
Mengatasi bias Gender
Banyak lagi kasus-kasus di masyarakat yang mentengarai terjadinya gias gender,
baik dalam situasi pendidikan, organisasi sosial, kemasyarakatan dan politik, struktur
pelaku ekonomi, apresiasi pekerjaan. Hal yang sama juga terjadi dalam pendekatan
pembangunan yang dilaksankan, yang jika dicandra secara cermat betapa perempuan
kerap dalam posisi obyek penyerta pembangunan. Rasionalitas atas itu semua
menjadikan maraknya dilakukan pendekatan perlunya melakukan posisi ulang atas
perempuan dalam pembangunan.
Gagasan itu marak untuk kalangan dunia ketiga, yang kemudian dikenal dengan
istilah WID (Woment in development, perempuan dalam pembangunan) --konsep
4
WID marak tatkala pemerintah Amerika mengumumkan the percy amendment to the
1973 Assistance Act (Undang-undang bantuan luar negeri) tahun 1970-an yang secara
tegas mencantumkan perempuan dalam program pembangunan internasional, pada
akhirnya program-program tersebut mempengaruhi PBB, yang menjadikan tahun
1976-1985 sebagai International Decade of Women--.
Pada awalnya WID menjadi "main program" di banyak negara berkembang --juga
yang dilakukan di Indonesia-- yang memberi perhatian pada perempuan, dan tatkala
model ini dimunculkan banyak kalangan yang menyakininya sebagai alternatif terbaik
bagi penyertaan perempuan dalam proses pembangunan yang sedang berjalan. Namun
belakangan muncul kritik atas metode ini, sebab pada kenyatannya metode ini justru
melanggengkan dominasi laki-laki atas wamota di dunia ketiga melalui proses
penjinakan (kooptasi/cooptation), dan pengekangan (regulasi/regulation).
Pada akhirnya kritik-kritik ini melahirkan metode baru yang dikenal dengan GAD
(Gender and Development, gender dan pembangunan). Ada beda antara WID, dan
GAD, yang pada operasionalnya akan tetap terjadi pemisah ataupun pemersatu relasi
laki-laki dan perempuan. Pada WID, digunakan untuk meningkatkan kemampuan
perempuan agar memiliki kesejajaran dengan laki-laki melalui program khusus untuk
perempuan, sehingga dalam aktivitasnya hanya menyertakan perempuan saja.
Sementara itu, GAD adalah program pembangunan yang bersifat umum untuk lakilaki dan perempuan sehingga hasil-hasil pembangunan tidak berdampak negatif
terhadap perempuan.
Gender dalam Konsep Penelitian
Adanya konsep gender yang kerap merugikan posisi kaum perempuan mendorong
hadirnya analisi yang lebih sesuai dengan situasi tersebut. Analisis gender merupakan
5
analisis yang digunakan untuk menganalisis posisi, dan relasi perempuan laki-laki
dalam masyarakat untuk mengidentifikasi potensi, dan kebutuhan spesifik mereka
masing-masing. Adapun yang menjadi tugas utama analisis jender adalah memaknai,
fenomena-fenomena yang terkait dengan relasi perempuan laki-laki dalam konsep
budaya, serta implikasinya dalam aspek kehidupan lainnya.
Dalam kasus penelitian berperspektif gender, maka analisis ini menduduki peran
yang sangat strategis. Namun harus diingat, bahwa penelitian berprespektif gender
bukan sekadar penelitian yang menjadikan wanita sebagai obyek penelitian (penelitian
ini disebut penelitian kewanitaan, bukan berprespektif gender), tetapi yang
menganalisis relasi antara laki-laki dan perempuan pada situasi sosial dan budaya
yang ada.
Dalam penelitian berperspektif gender, maka harus ditengarai oleh beberapa hal
seperti:
1. Tujuan penelitian adalah mengangkat derajat perempuan dan memunculkan isu
tentang perempuan. Lebih dari itu, penelitian dimaksudkan sebagai upaya
mengubah konstruk budaya yang bias gender, sehingga secara langsung proses
penelitian ditujukan bagi upaya penyadaran kedudukan dan status perempuan.
2. Penelitian dilakukan dalam konteks "gender sensitive","gender conscious","gender
balance" dan meninggalkan paradima androsentrisme. Dengan begitu dalam
konsep ini dikembangkan paradigma gender non-sexist yang mengakui keabsahan
gagasan, pengalaman, kebutuhan dan kepentingan laki-laki dan perempuan secara
seimbang.
3. Penelitian harus meninggalkan parameter yang bias laki-laki.
6
4. Penelitian bukan sekadar mengambil obyek di sekitar persoalan perempuan, tetapi
menjadikan perempuan sebagai subyek otonom dan berguna bagi perempuan itu
sendiri dalam upaya mengubah kondisinya saat ini.
5. Dalam penelitian tersebut perempuan hendaklah dipandang sebagai subyek yang
memiliki unifikasi inividual dan holistik. Dengan begitu hendaklah perempuan
diberi kesempatan untuk berbicara sendiri atas nama dirinya sendiri dan tentang
dirinya.
6. Dalam pengumpulan data peneliti hendaklah melakukan pendekatan secara
partisipatif dengan mengikuti aktivitas keseharian wanita, dalam upayanya
melakukan penyadaran, penyetaraan dan pembebasan. Terkait dengan hal ini,
proses wawancara dilakukan secara mendalam. Agar proses pengumpulan data
membawa hasil baik dalam dilakukan proses participant observation, interview
mandalam, studi etnografis, analisis dokumen, case study, oral history, experiential
analysis.
7. Dalam kaitannya dengan point 6, maka relasi peneliti dan subyek peneliti tidak
berjarak, dan melakukan intersubyektifitas sebagai upaya melakukan empati
terhadap subyek yang diteliti. Dengan begitu dalam penelitiannya, peneliti tidak
menempatkan dirinya secara hirarkis.
8. Menyadari bahwa perempuan sebagai individu yang unik, maka pendekatan
penelitian tidak membatasi dalam satu lingkup kajian keilmuan sajat, sehingga
peluang interdisipliner lebih menjadikan proses penelitian membawa hasil yang
memuaskan bagi perempuan.
9. Orientasi penelitian sedapat mungkin pada pemecahan masalah perempuan, yang
dilakukan oleh subyek penelitian itu sendiri.
7
10.Desain penelitian sedapat mungkin bersifat lentur (re-design), sehingga banyak
fenomena yang dapat terungkap secara mendalam.(Muhammad Idrus 17111199)
Daftar Pustaka
Echols, John. M. dan Hassan Shadily. 1976. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta:
Gramedia.
Fakih, Mansour. 1999. Analisis Gender & dan Tranformasi Sosial. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Kantor Menteri Negara UPW. 1997. Petunjuk Penyusunan Perencanaan
Pembangunan Berwawasan Kemitrasejajaran dengan Pendekatan Jender. Jakarta:
Kantor Men.UPW.
Matsumoto, David. 1996. Culture and psychology. Pacific Grove: Brooks/Cole
Publishing Company.
Sugiah, Siti. 1995. Konsep Jender dalam Program Pembangunan Makalah
Pelatihan Metodologi Studi Jender dan Pembangunan, IPB Bogor.
8
Download