penerapan hukum pada kesetaraan jender dan harapan

advertisement
Sinta Uli: Penerapan Hukum pada Kesetaraan Jender dan Harapan …
PENERAPAN HUKUM PADA KESETARAAN JENDER DAN
HARAPAN MEWUJUDKAN KETERWAKILAN DI BIDANG
POLITIK
Sinta Uli
Dosen Fakultas Hukum USU dan Ketua Penyunting Jurnal Equality
Abstract: Some of national and International products of law discuss about woman equality with man. Indonesia has
retificated The Convention on The Elimination of all The Farms of Discrimination against woman by The Regulation
number 7/1984. Many new law products have regulated about gender equality and gender eligibility. The practicing of
these law has not practiced yet. Wisely, woman’s right is not disscussed because of policy macro in the development
field still blind of gender.
Kata kunci: Hukum, Kesetaraan jender, Keadilan
Berbagai konfrensi dan pertemuan tingkat tinggi PBB telah dilakukan untuk membahas masalah wanita, mulai dari
pertemuan Meksiko, Kopenhagen, Nairobi, dan Bejing membahas berbagai topik yang bertujuan untuk memberi
perubahan terhadap eksistensi wanita. Indonesia meratifikasi konvensi wanita itu dengan Undang-Undang No.7/1984
dan wajib untuk dilaksanakan. Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dimuat dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia No.165 Tahun 1999, dalam salah satu pertimbangan dalam konsideran undangundang ini, dikatakan bahwa bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mengemban tanggung
jawab moral dan hukum untuk menjunjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia
yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Berbagai instrumen Internasional lainnya mengenai hak asasi
manusia yang diterima negara Republik Indonesia. Dengan demikian seharusnya setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan hukum yang
sama di depan hukum. Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia tanpa
diskriminasi. Perubahan paradigma dalam kehidupan politik dan ketatanegaraan di Indonesia, yaitu dari sistem
otoritarian kepada sistem demokrasi dan sistem sentralistis kepada sistem otonomi. Perubahan paradigma tersebut sudah
tentu berdampak terhadap sistem hukum yang dianut selama ini yang menitikberatkan kepada produk-produk hukum
yang lebih banyak berpihak kepada penguasa daripada kepentingan rakyat. Produk hukum yang lebih mengedepankan
dominasi kepentingan pemerintah pusat daripada kepentingan pemerintah daerah. Perubahan paradigma tersebut
selayaknya wanita ikut berada di antara fenomena-fenomena yang terjadi di dalam percaturan politik dan kehidupan
ketatanegaraan ini (Indonesia). Perubahan sistem politik dan sistem ketatanegaraan berdampak mendasar terhadap
perkembangan sistem hukum. Program pembangunan hukum telah memasukkan program kesetaran jender sesuai
dengan tuntutan reformasi dalam menata sistem hukum nasional. Persoalan hukum, politik, sosial, dan budaya sangat
mempengaruhi kehidupan masyarakat. Politik dan hukum dua hal yang diminati oleh wanita untuk aktualisasi dirinya di
masyarakat.
KESETARAAN JENDER
Jender merupakan konsep yang menunjukan pada suatu sistem peranan dan hubungannya antara laki-laki dan
wanita yang tidak ditentukan oleh perbedaan biologis akan tetapi oleh lingkungan sosial dan budaya. Jender merupakan
perbedaan antara laki-laki dan wanita yang berdasarkan sosial budaya. Nilai-nilai perbedaan jender yang
dikonstruksikan oleh sistem sosial budaya dilegitimasi ke dalam hukum positif. Mengenai istilah ini memang masih
diperdebatkan cara menulisnya jender atau gender. Penulis menetapkan dengan ”jender” yang dipakai pada saat ini.
Penulis menggunakan istilah ”wanita” yang maksudnya juga perempuan. Ketentuan hukum terumus dengan
mencerminkan konsep jender tertentu. Persoalannya sekarang bagaimana mewujudkan kesetaraan jender dan
keadilannya. UUD 1945 pada Bab X tentang Warga Negara, pasal 27 ayat (1) menentukan, semua orang mempunyai
kedudukan yang sama di muka hukum. Sejak tahun 1945 prinsip kesetaran wanita dan laki-laki di depan hukum telah
diakui. Berarti tidak membedakan jenis kelamin di muka hukum.
Kesetaraan wanita dan laki-laki, baik dimuka hukum maupun pemerintah dijamin UUD 1945. Ketentuan pasal 28
H ayat 2 UUD 1945 menyebutkan setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk
memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama, guna mencapai persamaan dan keadilan. Dalam rangka menuju
kepastian hukum, pemerintah telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita
melalui UU No.7 Tahun 1984. Undang-Undang ini menentang diskriminasi lalu apakah hal ini dijalankan dengan baik.
Bagaimana setelah semua orang menyadari kesetaraan wanita dan laki-laki. Bagaimana pelaksanaannya. Dalam hal ini
12
JURNAL EQUALITY, Vol. 10 No. 1 Februari 2005
ukuran yang dipakai dalam persamaan jender adalah ukuran dari UNDP (United Nations Development Program)
Persamaan jender diukur dengan Gender Development Index (GDI) dan Gender Empowerment Measure (GDM).
Ukuran ini berdasarkan konsep kesetaran usia harapan hidup, jumlah pendapatan, serta kesetaraan sama rata,
berpenghasilan sama, atau proporsi politik aktif yang sama. Angka GDI dan GDM adalah sama 1:1 (Sumiarni, 2004).
Kesetaraan dan keadilan antara wanita dan laki-laki (equality dan equity) yaitu persamaan hak dan kesempatan serta
perlakuan yang sama di segala bidang dan segala kegiatan. Tetapi kebijakan makro di bidang pembangunan masih ada
yang buta jender.
PENERAPAN HUKUM DAN HARAPAN MEWUJUDKANNYA
Membangun civil society pada era reformasi dan demokratisasi ini mempunyai arti membangun ruang publik di
mana semua warga negara laki-laki dan wanita dapat mengembangkan kepribadian, potensi dan memberi peluang bagi
pemenuhan kebutuhan mereka. Dalam hal ini wanita merupakan bagian mutlak dari warga bangsa. Jumlahnya lebih dari
setengah penduduk Indonesia. Jadi jelaslah wanita merupakan kelompok strategis dan partisipasinya merupakan
komponen kunci membangun demokrasi. Apakah perundang-undangan kita responsif jender dan berprespektif jender?
Pertanyaan ini dapat dijawab dengan melihat sesuatu yang riil di masyarakat. Harapan dan kenyataan digantungkan
pada pemerintah sekarang. Pemberdayaan wanita, perwujudan keadilan jender dan penghapusan diskriminasi di
berbagai bidang dilakukan pemerintah melalui bidang hukum. Program pembangunan hukum telah memasukan
kesetaraan jender sesuai dengan tuntutan reformasi dalam menata sistem hukum nasional. Program itu menjadi
komitmen negara untuk dilaksanakan dan tertuang dalam Undang-Undang No.25 Tahun 2000 tentang Program
Pembangunan Nasional (Sahala, 2002 ).
Menciptakan Undang-Undang No.39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Partai Politik dan
Undang-Undang Pemilu, mendorong pemerintah untuk mewujudkan keberadaan wanita dalam eksekutif dan yudikatif.
Bagaimana pelaksanaan undang-undang ini.
Hukum harus sebagai “a tool of social engineering”. Hukum harus pula dilihat dari berbagai segi dari prospektif
dan perspektif kepentingan stakeholder. Fungsi dan peranan hukum dapat dilaksanakan secara optimal, maka hukum
tidak semata-mata dipandang sebagai wujud dari komitmen politik melainkan harus dipandang sebagai sarana untuk
merubah sikap (attitude) dan perilaku (behavior).
Hukum tidak dapat dilepaskan dari proses politik yang berlangsung ketika hukum dibuat. Berbagai kepentingan
tertentu dimenangkan sehingga akan terlindungi dalam rumusan hukum. Ketentuan hukum yang dirumuskan merupakan
kompromi dari nilai-nilai yang diperjuangkan oleh golongan-golongan yang bertarung untuk terintegrasi ke dalam
aturan-aturan yang hendak disusun. Thomas Aquinas menyatakan bahwa ada dasar moral bagi hukum positif, yaitu
harus selaras dengan hukum kodrat. Hukum haruslah membantu manusia berkembang sesuai dengan kodratnya yaitu
menjunjung keluhuran martabat manusia, bersifat adil, menjamin kesamaan, kebebasan dan memajukan kepentingan
umum. Proses hukum hakekatnya merupakan proses harmonisasi antar kepentingan. Outputnya adalah keadilan atau
hukum yang adil yang kemudian diberlakukan pada masyarakat. Hasil dari penerapan hukum itu kemudian menjadi
masukan bagi proses hukum berikutnya. Apabila masyarakat tidak memperoleh pelayanan serta keadilan sebagaimana
yang diharapkan, maka mereka mengupayakan sistem di luar sistem yang berlaku yang tentu saja dapat menimbulkan
ekses yang sama sekali tidak diharapkan. Muncul fenomena main hakim sendiri, dan lain-lain.
Telah jelas di dalam hukum tidak ada perbedaan laki-laki dan wanita (setara). Karena itu perlu wanita
diberdayakan dan ini merupakan pemberdayaan masyarakat. Baik dalam bentuk meningkatkan akses masyarakat ke
dalam kinerja pemerintah maupun peningkatan kesadaran masyarakat.
Beberapa produk hukum internasional dan nasional yang membahas tentang kesetaraan (hak wanita). Undangundang Dasar 1945, memuat beberapa pasal yang mengatur hak dan kesamaan kedudukannya. Dapat dilihat pada Pasal
27 ayat 1: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung
hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
Pasal 28 A: “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.”
Pasal 28 H:
1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang
baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang
sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia
yang bermartabat.
4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenangwenang oleh siapapun.
Pasal 28 I:
1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum
yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
13
Sinta Uli: Penerapan Hukum pada Kesetaraan Jender dan Harapan …
2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan
perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.
4) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama
pemerintah.
5) Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka
pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita yang disingkat “Konvensi Wanita”
dikenal dengan sebutan lain sebagai Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women
(Cedaw), yang diratifikasi melalui UU No.7 Tahun 1984 Tanggal 24 Juli 1984, merupakan yang penting untuk
dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia. Merupakan komitmen negara-negara di dunia menekankan kesetaraan dan
keadilan antara wanita dan laki-laki (equality dan equity). Pada pasal 2 memuat: negara-negara peserta mengutuk
diskriminasi terhadap wanita dalam segala bentuknya, bersepakat untuk menjalankan dengan segala cara yang tepat dan
tanpa ditunda-tunda, kebijaksanaan diskriminasi terhadap wanita, dan untuk tujuan ini berusaha: a) mencantumkan asas
persamaan antara laki-laki dan wanita dalam undang-undang dasar nasional mereka atau perundang-undangan yang
tepat lainnya, jika belum termasuk di dalamnya dan untuk menjamin realisasi praktis dari asas ini, melalui hukum dan
cara-cara yang tepat; b) membuat peraturan perundang-undangan yang tepat, dan peraturan-peraturan lainnya, termasuk
sanksi-sanksi di mana perlu, melarang semua diskriminasi terhadap wanita; c) menegakkan perlindungan hukum
terhadap hak-hak wanita atas dasar yang sama dengan kaum pria dan untuk menjamin melalui pengadilan nasional yang
kompeten dan badan-badan pemerintah lainnya, perlindungan kaum wanita yang efektif terhadap tiap tindakan
diskriminasi; d) tidak melakukan suatu tindakan atau praktek diskriminasi terhadap kaum wanita, dan untuk menjamin
bahwa pejabat-pejabat pemerintah dan lembaga-lembaga negara akan bertindak sesuai dengan kewajiban ini; e)
membuat peraturan-peraturan yang tepat untuik menghapus perlakuan diskriminasi terhadap wanita oleh tiap orang,
organisasi atau perusahaan; f) membuat peraturan-peraturan yang tepat, termasuk pembuatan undang-undang, untuk
mengubah dan menghapuskan undang-undang, peraturan-peraturan, kebiasaan-kebiasaan dan praktek-praktek yang
ada, yang merupakan diskriminasi terhadap wanita; g) mencabut semua ketentuan pidana nasional yang merupakan
diskriminasi terhadap wanita.
Pasal 7: “Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk menghapus diskriminasi
terhadap wanita dalam kehidupan politik dan kehidupan kemasyarakatan negaranya, khususnya menjamin bagi wanita,
atas dasar persamaan dengan pria, hak: a) untuk memilih dan dipilih; b) untuk berpartisipasi dalam perumusan
kebijaksanaan pemerintah dan implementasinya dan memegang jabatan dalam pemerintahan serta melaksanakan segala
fungsi pemerintahan di semua tingkat; c) untuk berpartisipasi dalam organisasi-organisasi dan perkumpulanperkumpulan non-pemerintah yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat dan politik negara.
Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia No.39 Tahun 1999 memuat:
Pasal 2: “Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar
manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi,
dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan
serta keadilan.”
Pasal 45: “Hak wanita dalam Undang-undang ini adalah hak asasi manusia.”
Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM), memuat tentang hak-hak dan persamaan hak. Tersurat pada
Pasal 1: “Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal
dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam semangat persaudaraan.”
Pasal 2: “Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum dalam pernyataan ini
dengan tak ada perkecualian apapun, seperti kebebasan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik, atau
pandangan lain, asal-usul kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik kelahiran ataupun kedudukan lain…”
Program pembangunan hukum memerlukan perumusan, kebijakan dan program yang responsif jender. Maksudnya,
kebijakan dan program itu memperhatikan secara konsisten dan sistematis pembedaan wanita dan laki-laki dalam
masyarakat serta mengupayakan menghilangkan hambatan sturuktural dalam mencapai keadilan dan kesetaraan jender.
Inpres No.9 tahun 2000 tentang pengarusutamaan jender yang merupakan padanan istilah gender mainstreaming
yaitu suatu strategi yang digunakan untuk mencapai keadilan dan kesetaraan jender (KKJ) melalui kebijakan publik.
Perlu diamati inpres ini karena berbagai data menunjukkan rendahnya tingkat partisipasi dan representasi wanita dalam
pembangunan. Masalah ketimpangan dan keadilan yang dialami wanita ditanggapi serius oleh pemerintah, dijabarkan
dalam UU No.25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) dan UU No.35 Tahun 2000 tentang
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2001 dan Rencana Pembangunan Tahunan (Raperta) 2001. Di antara
program tersebut adalah program pemberdayaan lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum. Pemahaman aparat
penegak hukum (Polisi, Jaksa dan Hakim) dalam menyelesaikan masalah ketidakadilan jender dan kekerasan terhadap
wanita, perlu diberikan secara menyeluruh. Meningkatkan wawasan jender aparat penegak hukum, meningkatkan
14
JURNAL EQUALITY, Vol. 10 No. 1 Februari 2005
persentase pelayanan hukum dan bantuan hukum kepada wanita harus menjadi perhatian yang serius dan dilaksanakan
dengan benar. Pada bidang peraturan perundang-undangan seperti melakukan penelitian dan pengkajian tentang
peraturan perundang-undangan yang masih bias jender, memberikan hasil bahwa peraturan-peraturan yang sering
dilanggar terutama mengenai imbalan dan tunjangan, hak atas pekerjaan yang sama dan cuti hamil. Merevisinya dan
meratifasi konvensi internasional seperti Konvensi Internasional tentang Perdagangan Wanita dan Anak. Dari hasil
penelitian di bidang politik terlihat bahwa UU tidak diskriminatif (netral jender), namun manfaat yang diperoleh wanita
masih kurang. Representasi wanita belum proporsional dalam keanggotaan perwakilan baik di MPR, DPR, DPRD dan
PNS sebagai pengambil kebijakan. Sebagai contoh kita lihat hasil Pemilu tahun 2004.
PELUANG KETERWAKILAN DI POLITIK
Perubahan lingkungan dan sosial memberi fenomena di mana orang mulai menegaskan haknya untuk
berpartisipasi dalam pemerintahannya sendiri. Hal ini sangat menuntut kepemimpinan yang dapat memberi kecerahan
kepada semua, bukan hanya kepada yang paling kuat. Dalam mewujudkan masyarakat demokratis yang menghormati
hak-hak, kebebasan, keadilan dan kesetaraan di antara semua warga dan kelompok-kelompok dalam masyarakat, maka
representasi warga atau kelompok secara langsung dalam arena pengambilan keputusan harus diperhitungkan. Di
samping mempertimbangkan aspirasi atau kepentingan kelompok tersebut di dalam proses pembuatan kepentingan.
Pembangunan nasional, tidaklah semata-mata pembangunan ekonomi melainkan juga diperlukan pembangunan di
bidang infrastruktur, termasuk sumber daya manusia dan kelembagaannya. Untuk itu wanita harus mempresentasi
dirinya sendiri dan menyuarakan aspirasi, kepentingan keterbukaan dan prioritasnya sendiri di dalam arena
pengambilan keputusan. Untuk itu wanita harus diintegrasikan ke dalam politik dan bersama-sama dengan para politisi
laki-laki ikut mendefenisikan realitas politik. Kini peluang telah dibuka untuk mencapai posisi dalam dunia legislatif.
Setelah perubahan UUD 1945, Dewan Perwakilan Rakyat menurut pasal 20 ayat 3, memiliki kekuasaan membentuk
undang-undang dan pemerintah dapat mengajukan rancangan undang-undang sebagai usul inisiatif (pasal 5). Semangat
perubahan UUD 1945 dalam pembentukan undang-undang yang melimpahkan tugas dan tanggung jawab penuh
kepada Dewan Perwakilan Rakyat dapat dikatakan sebagai perubahan baru dan mendasar dalam politik perundangundangan (legislative) di Indonesia saat ini. Perubahan politik perundang-undangan tersebut harus ditindaklanjuti
dengan mendalami faktor kultural, geografis, etnis dan agama. Peranan wanita dalam dunia politik mendapat tempat
yang berarti. Keterwakilan wanita di lembaga pengambilan keputusan direkomendasikan kepada presiden dengan
ketetapan MPR-RI No.VI/MPR/2002. Tersurat pada pasal 65 Undang-Undang Pemilu No.12 Tahun 2003, bahwa
setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan anggota DPR, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota untuk
setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan wanita sekurang-kurangnya 30%. Berarti pada hasil
pemilu di tahun 2004 harus dapat mengisi 30% tersebut. Partai-partai harus melaksanakan aturan hukum yang
ditetapkan. Law enforcement bagi dunia politik dicoba untuk adil dan konsekuen. Political will dan komitmen
pemerintah harus terlihat untuk saat ini. Persoalan mendasar dan sangat penting untuk kepentingan masa depan hukum
di Indonesia adalah mempersiapkan pembentukan lembaga penegakan hukum dalam arti luas. Sejak rekrutmen sumber
daya manusia sampai kepada kinerja yang bebas dan mandiri. Pembentukan hukum dan penegakan hukum oleh para
pengamat dikatakan jauh dari kenyataan dan merupakan utopia. Keadaan ini berkaitan dengan proses politik yang
membawa kehidupan bangsa dan negara. Jika kita lihat fakta yang sedang bergulir, politisi wanita perlu untuk banyak
belajar dan merenung dengan analisis yang tajam, agar tidak mengalami kemunduran dari fakta yang ada. Melihat hasil
Pemilu 1999, keterwakilan wanita di DPR-RI dalam arena politik formal mengalami penurunan, tercatat hanya
mencapai 9% (data dan fakta 1999 – 2001). Penyebaran anggota wanita di dewan dalam komisi-komisi masih
merefleksikan pola pembagian kerja tradisional antara laki-laki dan wanita. Sebagai contoh persentase anggota wanita
terbesar terdapat pada Komisi VII yang membahas masalah kesejahteraan rakyat, termasuk pemberdayaan wanita.
Persentase dan jumlah wanita terbesar kedua ada pada Komisi VI yang membidangi agama, pendidikan dan
kebudayaan. Di komisi-komisi lain persentase dan jumlah anggota wanita sangat jauh dari memadai (di bawah 10%).
Minimnya jumlah wanita pada komisi ini bisa disebabkan karena bidang ini membahas masalah politik, yang sering
dianggap bukan bidang wanita. Kemudian alasan lain karena pembahasan yang mengambil waktu panjang sampai dini
hari. Penyebaran anggota wanita dalam komisi-komisi di DPR-RI berdasarkan fraksi kebanyakan ditentukan oleh
pimpinan fraksi, artinya mereka tidak memilih sendiri sesuai dengan kompetensinya. Gambaran lain di partai yang
besar seperti PDIP menempatkan anggota wanita terbesar di DPR tidak memiliki wakil wanita di setiap komisi.
Berbeda dengan Golkar yang menempatkan anggota wanita hampir merata di semua komisi kecuali komisi IX. Tingkat
representasi wanita di DPRD propinsi menunjukkan kecenderungan yang rendah, sebagai contoh propinsi Sumatera
Utara 3,4% dari total anggota 89 orang (Data 1999-2001). Diwakili oleh PDIP dan Golongan Karya (Golkar) tingkat ini
lebih rendah dari tingkat keterwakilan wanita di DPR-RI. Untuk tingkat kabupaten/kota, belum mendapatkan data
yang valid di DPRD II. Diperkirakan rata-rata angka keterwakilan wanita lebih rendah lagi dari keterwakilan wanita di
DPRD I. Pada tingkat yang lebih rendah adalah pada penyelenggaraan pemerintah desa melalui Badan Pemerintahan
Desa (BPD). Wanita semakin sulit melibatkan diri dalam berbagai pengambilan keputusan bersama karena minimnya
sumber daya manusia. Sementara itu konstruksi sosial masih dipegang oleh masyarakat lokal dalam hal domestikasi
peran wanita. Data dan fakta ini memberi fenomena masih adanya hambatan dan dihambat oleh berbagai kendala
struktural dan kultural. Kendala lainnya adalah sikap para penegak hukum dan juga peran aktivisnya perempuan yang
15
Sinta Uli: Penerapan Hukum pada Kesetaraan Jender dan Harapan …
kurang kuat dan selalu harus mengalah. Keadaan ini menjadikan suara wanita yang merepresentasikan nilai, aspirasi,
kepentingan dan prioritas lebih dari separuh warga negara tidak akan mewarnai perubahan konstitusi yang dihasilkan.
Produk perundang-undangan yang dihasilkan DPR ada 56 undang-undang dan rancangan undang-undang yang isinya
mengenai wanita tidak banyak. Tetapi harapan tetap kita hidupkan agar kesetaraan jender dan keadilannya jadi
kenyataan di semua aspek.
KESIMPULAN
Kesetaraan jender memberi peluang bagi wanita untuk berbuat maksimal dalam masyarakat. Melaksanakan
amanat undang-undang memajukan kehidupan dan mencerdaskan kehidupan bangsa, oleh sebab itu wanita harus turut
di lembaga legislatif. Setelah meratifikasi konvensi wanita melalui undang-undang no. 7 tahun 1984, seharusnya
negara-negara yang meratifikasinya melaksanakan komitmennya, melaksanakan kesetaraan dan keadilan wanita dan
laki-laki (equality dan equity). Melihat masalah ketimpangan dan keadilan yang dialami wanita ditanggapi serius oleh
pemerintah dijabarkan dalam Undang-Undang No.25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas).
Program pembangunan hukum memerlukan perumusan, kebijakan, dan program itu memperhatikan secara konsisten
dan sistematis pembedaan wanita dan laki-laki dalam masyarakat serta mengupayakan menghilangkan hambatan
struktur dalam mencapai keadilan dan kesetaraan jender. Melihat harapan untuk wanita itu banyak dimuat dalam
undang-undang namun penerapan hukumnya masih belum berjalan.
Keterwakilan wanita di lembaga pengambilan keputusan direkomendasikan kepada Presiden dengan Ketetapan
MPR RI No.VI/MPR/2002. Keterwakilan wanita dalam politik dimulai dari adanya kesadaran akan hak dan kewajiban
sebagai manusia dari elemen bangsa ini. Kemudian diikuti dengan perundang-undangan yang telah mengaturnya.
Undang-Undang No.12 Tahun 2003 pasal 65 ayat 1: “Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon
anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan
keterwakilan wanita sekurang-kurangnya 30%. Akan tetapi maksud ini belum tercapai.
DAFTAR PUSTAKA
Budhiati
Ida.
2003.
Kuota
Wanita
dalam
Undang-Undang
Politik.
(Online)
(http://www.
polarhome.com/pipermail/nasional-m) diakses 26 Mei 2003.
Convention Watch Pusat Kajian dan Jender. Universitas Indonesia. 2004. Hak Asasi Perempuan Instrumen Hukum
Untuk Mewujudkan Keadilan Gender. Yayasan Obor Jakarta.
Convention Watch Pusat Kajian Wanita dan Jender. Universitas Indonesia. 2004. Kisah Perjalanan Panjang Konvensi
Wanita di Indonesia. Yayasan Obor Jakarta.
Data dan Fakta: Keterwakilan Wanita Indonesia di Partai Politik dan Lembaga-Lembaga Legislatif 1999-2001.
(Executive Summary)
(http:// www. polarhome.com/pipermail/nasional-m) diakses 26 Mei 2003.
IDEA. 2002. Demokrasi di Tingkat Lokal. Buku Panduan Internasional. Idea Mengenai Keterwakilan, Pengelolaan
Konflik dan Kepemerintahan. Ameepro. Jakarta.
IDEA. 2000. Peter Harris dan Ben Reilly. Demokrasi dan Konflik yang Mengakar Sejumlah Pilihan untuk Negosiator.
Ihromi Tapi Omas dkk. 2000. Penghapusan Diskriminasi terhadap Wanita. Alumni. Bandung.
Irianto, Sulystiowati. 2003. Perempuan di Antara berbagai Pilihan Hukum. Yayasan Obor Jakarta.
Musdah, Mulia, Siti. 2005. Muslimah Reformis. Mizan. Jakarta
Notosusanto, Smita. Purwandari, E. Kristi. 1997. Wanita dan Pemberdayaan. Program Studi Kajian Wanita. Obor. Jakarta.
Sahala Sumijati, 2002. Pengarusutamaan Gender sebagai Suatu Strategi bagi Tercapainya Program Pembangunan
Hukum. Stri, Jurnal Studi Wanita. Jakarta.
Sumiarni, Endang. 2004 Jender dan Feminisme. Wonderful Publishing Company. Yogyakarta.
Sumiarni, Endang. 2004. Kajian Hukum Perkawinan yang Berkeadilan Jender. Wonderful Publishing Company.
Yogyakarta.
Peraturan-peraturan.
Undang-Undang Dasar 1945.
Ketetapan-Ketetapan MPR No.VI Tahun 2002.
Undang-Undang No.12 Tahun 2003 tentang Pemilu.
Undang-undang No. 31 Tahun 2003 tentang Partai Politik.
Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang No.7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita.
16
Download