Sinta Uli: Penerapan Hukum pada Kesetaraan Jender dan Harapan … PENERAPAN HUKUM PADA KESETARAAN JENDER DAN HARAPAN MEWUJUDKAN KETERWAKILAN DI BIDANG POLITIK Sinta Uli Dosen Fakultas Hukum USU dan Ketua Penyunting Jurnal Equality Abstract: Some of national and International products of law discuss about woman equality with man. Indonesia has retificated The Convention on The Elimination of all The Farms of Discrimination against woman by The Regulation number 7/1984. Many new law products have regulated about gender equality and gender eligibility. The practicing of these law has not practiced yet. Wisely, woman’s right is not disscussed because of policy macro in the development field still blind of gender. Kata kunci: Hukum, Kesetaraan jender, Keadilan Berbagai konfrensi dan pertemuan tingkat tinggi PBB telah dilakukan untuk membahas masalah wanita, mulai dari pertemuan Meksiko, Kopenhagen, Nairobi, dan Bejing membahas berbagai topik yang bertujuan untuk memberi perubahan terhadap eksistensi wanita. Indonesia meratifikasi konvensi wanita itu dengan Undang-Undang No.7/1984 dan wajib untuk dilaksanakan. Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia No.165 Tahun 1999, dalam salah satu pertimbangan dalam konsideran undangundang ini, dikatakan bahwa bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mengemban tanggung jawab moral dan hukum untuk menjunjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Berbagai instrumen Internasional lainnya mengenai hak asasi manusia yang diterima negara Republik Indonesia. Dengan demikian seharusnya setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan hukum yang sama di depan hukum. Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia tanpa diskriminasi. Perubahan paradigma dalam kehidupan politik dan ketatanegaraan di Indonesia, yaitu dari sistem otoritarian kepada sistem demokrasi dan sistem sentralistis kepada sistem otonomi. Perubahan paradigma tersebut sudah tentu berdampak terhadap sistem hukum yang dianut selama ini yang menitikberatkan kepada produk-produk hukum yang lebih banyak berpihak kepada penguasa daripada kepentingan rakyat. Produk hukum yang lebih mengedepankan dominasi kepentingan pemerintah pusat daripada kepentingan pemerintah daerah. Perubahan paradigma tersebut selayaknya wanita ikut berada di antara fenomena-fenomena yang terjadi di dalam percaturan politik dan kehidupan ketatanegaraan ini (Indonesia). Perubahan sistem politik dan sistem ketatanegaraan berdampak mendasar terhadap perkembangan sistem hukum. Program pembangunan hukum telah memasukkan program kesetaran jender sesuai dengan tuntutan reformasi dalam menata sistem hukum nasional. Persoalan hukum, politik, sosial, dan budaya sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat. Politik dan hukum dua hal yang diminati oleh wanita untuk aktualisasi dirinya di masyarakat. KESETARAAN JENDER Jender merupakan konsep yang menunjukan pada suatu sistem peranan dan hubungannya antara laki-laki dan wanita yang tidak ditentukan oleh perbedaan biologis akan tetapi oleh lingkungan sosial dan budaya. Jender merupakan perbedaan antara laki-laki dan wanita yang berdasarkan sosial budaya. Nilai-nilai perbedaan jender yang dikonstruksikan oleh sistem sosial budaya dilegitimasi ke dalam hukum positif. Mengenai istilah ini memang masih diperdebatkan cara menulisnya jender atau gender. Penulis menetapkan dengan ”jender” yang dipakai pada saat ini. Penulis menggunakan istilah ”wanita” yang maksudnya juga perempuan. Ketentuan hukum terumus dengan mencerminkan konsep jender tertentu. Persoalannya sekarang bagaimana mewujudkan kesetaraan jender dan keadilannya. UUD 1945 pada Bab X tentang Warga Negara, pasal 27 ayat (1) menentukan, semua orang mempunyai kedudukan yang sama di muka hukum. Sejak tahun 1945 prinsip kesetaran wanita dan laki-laki di depan hukum telah diakui. Berarti tidak membedakan jenis kelamin di muka hukum. Kesetaraan wanita dan laki-laki, baik dimuka hukum maupun pemerintah dijamin UUD 1945. Ketentuan pasal 28 H ayat 2 UUD 1945 menyebutkan setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama, guna mencapai persamaan dan keadilan. Dalam rangka menuju kepastian hukum, pemerintah telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita melalui UU No.7 Tahun 1984. Undang-Undang ini menentang diskriminasi lalu apakah hal ini dijalankan dengan baik. Bagaimana setelah semua orang menyadari kesetaraan wanita dan laki-laki. Bagaimana pelaksanaannya. Dalam hal ini 12 JURNAL EQUALITY, Vol. 10 No. 1 Februari 2005 ukuran yang dipakai dalam persamaan jender adalah ukuran dari UNDP (United Nations Development Program) Persamaan jender diukur dengan Gender Development Index (GDI) dan Gender Empowerment Measure (GDM). Ukuran ini berdasarkan konsep kesetaran usia harapan hidup, jumlah pendapatan, serta kesetaraan sama rata, berpenghasilan sama, atau proporsi politik aktif yang sama. Angka GDI dan GDM adalah sama 1:1 (Sumiarni, 2004). Kesetaraan dan keadilan antara wanita dan laki-laki (equality dan equity) yaitu persamaan hak dan kesempatan serta perlakuan yang sama di segala bidang dan segala kegiatan. Tetapi kebijakan makro di bidang pembangunan masih ada yang buta jender. PENERAPAN HUKUM DAN HARAPAN MEWUJUDKANNYA Membangun civil society pada era reformasi dan demokratisasi ini mempunyai arti membangun ruang publik di mana semua warga negara laki-laki dan wanita dapat mengembangkan kepribadian, potensi dan memberi peluang bagi pemenuhan kebutuhan mereka. Dalam hal ini wanita merupakan bagian mutlak dari warga bangsa. Jumlahnya lebih dari setengah penduduk Indonesia. Jadi jelaslah wanita merupakan kelompok strategis dan partisipasinya merupakan komponen kunci membangun demokrasi. Apakah perundang-undangan kita responsif jender dan berprespektif jender? Pertanyaan ini dapat dijawab dengan melihat sesuatu yang riil di masyarakat. Harapan dan kenyataan digantungkan pada pemerintah sekarang. Pemberdayaan wanita, perwujudan keadilan jender dan penghapusan diskriminasi di berbagai bidang dilakukan pemerintah melalui bidang hukum. Program pembangunan hukum telah memasukan kesetaraan jender sesuai dengan tuntutan reformasi dalam menata sistem hukum nasional. Program itu menjadi komitmen negara untuk dilaksanakan dan tertuang dalam Undang-Undang No.25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Sahala, 2002 ). Menciptakan Undang-Undang No.39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Partai Politik dan Undang-Undang Pemilu, mendorong pemerintah untuk mewujudkan keberadaan wanita dalam eksekutif dan yudikatif. Bagaimana pelaksanaan undang-undang ini. Hukum harus sebagai “a tool of social engineering”. Hukum harus pula dilihat dari berbagai segi dari prospektif dan perspektif kepentingan stakeholder. Fungsi dan peranan hukum dapat dilaksanakan secara optimal, maka hukum tidak semata-mata dipandang sebagai wujud dari komitmen politik melainkan harus dipandang sebagai sarana untuk merubah sikap (attitude) dan perilaku (behavior). Hukum tidak dapat dilepaskan dari proses politik yang berlangsung ketika hukum dibuat. Berbagai kepentingan tertentu dimenangkan sehingga akan terlindungi dalam rumusan hukum. Ketentuan hukum yang dirumuskan merupakan kompromi dari nilai-nilai yang diperjuangkan oleh golongan-golongan yang bertarung untuk terintegrasi ke dalam aturan-aturan yang hendak disusun. Thomas Aquinas menyatakan bahwa ada dasar moral bagi hukum positif, yaitu harus selaras dengan hukum kodrat. Hukum haruslah membantu manusia berkembang sesuai dengan kodratnya yaitu menjunjung keluhuran martabat manusia, bersifat adil, menjamin kesamaan, kebebasan dan memajukan kepentingan umum. Proses hukum hakekatnya merupakan proses harmonisasi antar kepentingan. Outputnya adalah keadilan atau hukum yang adil yang kemudian diberlakukan pada masyarakat. Hasil dari penerapan hukum itu kemudian menjadi masukan bagi proses hukum berikutnya. Apabila masyarakat tidak memperoleh pelayanan serta keadilan sebagaimana yang diharapkan, maka mereka mengupayakan sistem di luar sistem yang berlaku yang tentu saja dapat menimbulkan ekses yang sama sekali tidak diharapkan. Muncul fenomena main hakim sendiri, dan lain-lain. Telah jelas di dalam hukum tidak ada perbedaan laki-laki dan wanita (setara). Karena itu perlu wanita diberdayakan dan ini merupakan pemberdayaan masyarakat. Baik dalam bentuk meningkatkan akses masyarakat ke dalam kinerja pemerintah maupun peningkatan kesadaran masyarakat. Beberapa produk hukum internasional dan nasional yang membahas tentang kesetaraan (hak wanita). Undangundang Dasar 1945, memuat beberapa pasal yang mengatur hak dan kesamaan kedudukannya. Dapat dilihat pada Pasal 27 ayat 1: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Pasal 28 A: “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.” Pasal 28 H: 1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. 2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. 3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. 4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenangwenang oleh siapapun. Pasal 28 I: 1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. 13 Sinta Uli: Penerapan Hukum pada Kesetaraan Jender dan Harapan … 2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. 3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. 4) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. 5) Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita yang disingkat “Konvensi Wanita” dikenal dengan sebutan lain sebagai Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (Cedaw), yang diratifikasi melalui UU No.7 Tahun 1984 Tanggal 24 Juli 1984, merupakan yang penting untuk dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia. Merupakan komitmen negara-negara di dunia menekankan kesetaraan dan keadilan antara wanita dan laki-laki (equality dan equity). Pada pasal 2 memuat: negara-negara peserta mengutuk diskriminasi terhadap wanita dalam segala bentuknya, bersepakat untuk menjalankan dengan segala cara yang tepat dan tanpa ditunda-tunda, kebijaksanaan diskriminasi terhadap wanita, dan untuk tujuan ini berusaha: a) mencantumkan asas persamaan antara laki-laki dan wanita dalam undang-undang dasar nasional mereka atau perundang-undangan yang tepat lainnya, jika belum termasuk di dalamnya dan untuk menjamin realisasi praktis dari asas ini, melalui hukum dan cara-cara yang tepat; b) membuat peraturan perundang-undangan yang tepat, dan peraturan-peraturan lainnya, termasuk sanksi-sanksi di mana perlu, melarang semua diskriminasi terhadap wanita; c) menegakkan perlindungan hukum terhadap hak-hak wanita atas dasar yang sama dengan kaum pria dan untuk menjamin melalui pengadilan nasional yang kompeten dan badan-badan pemerintah lainnya, perlindungan kaum wanita yang efektif terhadap tiap tindakan diskriminasi; d) tidak melakukan suatu tindakan atau praktek diskriminasi terhadap kaum wanita, dan untuk menjamin bahwa pejabat-pejabat pemerintah dan lembaga-lembaga negara akan bertindak sesuai dengan kewajiban ini; e) membuat peraturan-peraturan yang tepat untuik menghapus perlakuan diskriminasi terhadap wanita oleh tiap orang, organisasi atau perusahaan; f) membuat peraturan-peraturan yang tepat, termasuk pembuatan undang-undang, untuk mengubah dan menghapuskan undang-undang, peraturan-peraturan, kebiasaan-kebiasaan dan praktek-praktek yang ada, yang merupakan diskriminasi terhadap wanita; g) mencabut semua ketentuan pidana nasional yang merupakan diskriminasi terhadap wanita. Pasal 7: “Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap wanita dalam kehidupan politik dan kehidupan kemasyarakatan negaranya, khususnya menjamin bagi wanita, atas dasar persamaan dengan pria, hak: a) untuk memilih dan dipilih; b) untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijaksanaan pemerintah dan implementasinya dan memegang jabatan dalam pemerintahan serta melaksanakan segala fungsi pemerintahan di semua tingkat; c) untuk berpartisipasi dalam organisasi-organisasi dan perkumpulanperkumpulan non-pemerintah yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat dan politik negara. Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia No.39 Tahun 1999 memuat: Pasal 2: “Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan.” Pasal 45: “Hak wanita dalam Undang-undang ini adalah hak asasi manusia.” Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM), memuat tentang hak-hak dan persamaan hak. Tersurat pada Pasal 1: “Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam semangat persaudaraan.” Pasal 2: “Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum dalam pernyataan ini dengan tak ada perkecualian apapun, seperti kebebasan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik, atau pandangan lain, asal-usul kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik kelahiran ataupun kedudukan lain…” Program pembangunan hukum memerlukan perumusan, kebijakan dan program yang responsif jender. Maksudnya, kebijakan dan program itu memperhatikan secara konsisten dan sistematis pembedaan wanita dan laki-laki dalam masyarakat serta mengupayakan menghilangkan hambatan sturuktural dalam mencapai keadilan dan kesetaraan jender. Inpres No.9 tahun 2000 tentang pengarusutamaan jender yang merupakan padanan istilah gender mainstreaming yaitu suatu strategi yang digunakan untuk mencapai keadilan dan kesetaraan jender (KKJ) melalui kebijakan publik. Perlu diamati inpres ini karena berbagai data menunjukkan rendahnya tingkat partisipasi dan representasi wanita dalam pembangunan. Masalah ketimpangan dan keadilan yang dialami wanita ditanggapi serius oleh pemerintah, dijabarkan dalam UU No.25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) dan UU No.35 Tahun 2000 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2001 dan Rencana Pembangunan Tahunan (Raperta) 2001. Di antara program tersebut adalah program pemberdayaan lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum. Pemahaman aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa dan Hakim) dalam menyelesaikan masalah ketidakadilan jender dan kekerasan terhadap wanita, perlu diberikan secara menyeluruh. Meningkatkan wawasan jender aparat penegak hukum, meningkatkan 14 JURNAL EQUALITY, Vol. 10 No. 1 Februari 2005 persentase pelayanan hukum dan bantuan hukum kepada wanita harus menjadi perhatian yang serius dan dilaksanakan dengan benar. Pada bidang peraturan perundang-undangan seperti melakukan penelitian dan pengkajian tentang peraturan perundang-undangan yang masih bias jender, memberikan hasil bahwa peraturan-peraturan yang sering dilanggar terutama mengenai imbalan dan tunjangan, hak atas pekerjaan yang sama dan cuti hamil. Merevisinya dan meratifasi konvensi internasional seperti Konvensi Internasional tentang Perdagangan Wanita dan Anak. Dari hasil penelitian di bidang politik terlihat bahwa UU tidak diskriminatif (netral jender), namun manfaat yang diperoleh wanita masih kurang. Representasi wanita belum proporsional dalam keanggotaan perwakilan baik di MPR, DPR, DPRD dan PNS sebagai pengambil kebijakan. Sebagai contoh kita lihat hasil Pemilu tahun 2004. PELUANG KETERWAKILAN DI POLITIK Perubahan lingkungan dan sosial memberi fenomena di mana orang mulai menegaskan haknya untuk berpartisipasi dalam pemerintahannya sendiri. Hal ini sangat menuntut kepemimpinan yang dapat memberi kecerahan kepada semua, bukan hanya kepada yang paling kuat. Dalam mewujudkan masyarakat demokratis yang menghormati hak-hak, kebebasan, keadilan dan kesetaraan di antara semua warga dan kelompok-kelompok dalam masyarakat, maka representasi warga atau kelompok secara langsung dalam arena pengambilan keputusan harus diperhitungkan. Di samping mempertimbangkan aspirasi atau kepentingan kelompok tersebut di dalam proses pembuatan kepentingan. Pembangunan nasional, tidaklah semata-mata pembangunan ekonomi melainkan juga diperlukan pembangunan di bidang infrastruktur, termasuk sumber daya manusia dan kelembagaannya. Untuk itu wanita harus mempresentasi dirinya sendiri dan menyuarakan aspirasi, kepentingan keterbukaan dan prioritasnya sendiri di dalam arena pengambilan keputusan. Untuk itu wanita harus diintegrasikan ke dalam politik dan bersama-sama dengan para politisi laki-laki ikut mendefenisikan realitas politik. Kini peluang telah dibuka untuk mencapai posisi dalam dunia legislatif. Setelah perubahan UUD 1945, Dewan Perwakilan Rakyat menurut pasal 20 ayat 3, memiliki kekuasaan membentuk undang-undang dan pemerintah dapat mengajukan rancangan undang-undang sebagai usul inisiatif (pasal 5). Semangat perubahan UUD 1945 dalam pembentukan undang-undang yang melimpahkan tugas dan tanggung jawab penuh kepada Dewan Perwakilan Rakyat dapat dikatakan sebagai perubahan baru dan mendasar dalam politik perundangundangan (legislative) di Indonesia saat ini. Perubahan politik perundang-undangan tersebut harus ditindaklanjuti dengan mendalami faktor kultural, geografis, etnis dan agama. Peranan wanita dalam dunia politik mendapat tempat yang berarti. Keterwakilan wanita di lembaga pengambilan keputusan direkomendasikan kepada presiden dengan ketetapan MPR-RI No.VI/MPR/2002. Tersurat pada pasal 65 Undang-Undang Pemilu No.12 Tahun 2003, bahwa setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan anggota DPR, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan wanita sekurang-kurangnya 30%. Berarti pada hasil pemilu di tahun 2004 harus dapat mengisi 30% tersebut. Partai-partai harus melaksanakan aturan hukum yang ditetapkan. Law enforcement bagi dunia politik dicoba untuk adil dan konsekuen. Political will dan komitmen pemerintah harus terlihat untuk saat ini. Persoalan mendasar dan sangat penting untuk kepentingan masa depan hukum di Indonesia adalah mempersiapkan pembentukan lembaga penegakan hukum dalam arti luas. Sejak rekrutmen sumber daya manusia sampai kepada kinerja yang bebas dan mandiri. Pembentukan hukum dan penegakan hukum oleh para pengamat dikatakan jauh dari kenyataan dan merupakan utopia. Keadaan ini berkaitan dengan proses politik yang membawa kehidupan bangsa dan negara. Jika kita lihat fakta yang sedang bergulir, politisi wanita perlu untuk banyak belajar dan merenung dengan analisis yang tajam, agar tidak mengalami kemunduran dari fakta yang ada. Melihat hasil Pemilu 1999, keterwakilan wanita di DPR-RI dalam arena politik formal mengalami penurunan, tercatat hanya mencapai 9% (data dan fakta 1999 – 2001). Penyebaran anggota wanita di dewan dalam komisi-komisi masih merefleksikan pola pembagian kerja tradisional antara laki-laki dan wanita. Sebagai contoh persentase anggota wanita terbesar terdapat pada Komisi VII yang membahas masalah kesejahteraan rakyat, termasuk pemberdayaan wanita. Persentase dan jumlah wanita terbesar kedua ada pada Komisi VI yang membidangi agama, pendidikan dan kebudayaan. Di komisi-komisi lain persentase dan jumlah anggota wanita sangat jauh dari memadai (di bawah 10%). Minimnya jumlah wanita pada komisi ini bisa disebabkan karena bidang ini membahas masalah politik, yang sering dianggap bukan bidang wanita. Kemudian alasan lain karena pembahasan yang mengambil waktu panjang sampai dini hari. Penyebaran anggota wanita dalam komisi-komisi di DPR-RI berdasarkan fraksi kebanyakan ditentukan oleh pimpinan fraksi, artinya mereka tidak memilih sendiri sesuai dengan kompetensinya. Gambaran lain di partai yang besar seperti PDIP menempatkan anggota wanita terbesar di DPR tidak memiliki wakil wanita di setiap komisi. Berbeda dengan Golkar yang menempatkan anggota wanita hampir merata di semua komisi kecuali komisi IX. Tingkat representasi wanita di DPRD propinsi menunjukkan kecenderungan yang rendah, sebagai contoh propinsi Sumatera Utara 3,4% dari total anggota 89 orang (Data 1999-2001). Diwakili oleh PDIP dan Golongan Karya (Golkar) tingkat ini lebih rendah dari tingkat keterwakilan wanita di DPR-RI. Untuk tingkat kabupaten/kota, belum mendapatkan data yang valid di DPRD II. Diperkirakan rata-rata angka keterwakilan wanita lebih rendah lagi dari keterwakilan wanita di DPRD I. Pada tingkat yang lebih rendah adalah pada penyelenggaraan pemerintah desa melalui Badan Pemerintahan Desa (BPD). Wanita semakin sulit melibatkan diri dalam berbagai pengambilan keputusan bersama karena minimnya sumber daya manusia. Sementara itu konstruksi sosial masih dipegang oleh masyarakat lokal dalam hal domestikasi peran wanita. Data dan fakta ini memberi fenomena masih adanya hambatan dan dihambat oleh berbagai kendala struktural dan kultural. Kendala lainnya adalah sikap para penegak hukum dan juga peran aktivisnya perempuan yang 15 Sinta Uli: Penerapan Hukum pada Kesetaraan Jender dan Harapan … kurang kuat dan selalu harus mengalah. Keadaan ini menjadikan suara wanita yang merepresentasikan nilai, aspirasi, kepentingan dan prioritas lebih dari separuh warga negara tidak akan mewarnai perubahan konstitusi yang dihasilkan. Produk perundang-undangan yang dihasilkan DPR ada 56 undang-undang dan rancangan undang-undang yang isinya mengenai wanita tidak banyak. Tetapi harapan tetap kita hidupkan agar kesetaraan jender dan keadilannya jadi kenyataan di semua aspek. KESIMPULAN Kesetaraan jender memberi peluang bagi wanita untuk berbuat maksimal dalam masyarakat. Melaksanakan amanat undang-undang memajukan kehidupan dan mencerdaskan kehidupan bangsa, oleh sebab itu wanita harus turut di lembaga legislatif. Setelah meratifikasi konvensi wanita melalui undang-undang no. 7 tahun 1984, seharusnya negara-negara yang meratifikasinya melaksanakan komitmennya, melaksanakan kesetaraan dan keadilan wanita dan laki-laki (equality dan equity). Melihat masalah ketimpangan dan keadilan yang dialami wanita ditanggapi serius oleh pemerintah dijabarkan dalam Undang-Undang No.25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas). Program pembangunan hukum memerlukan perumusan, kebijakan, dan program itu memperhatikan secara konsisten dan sistematis pembedaan wanita dan laki-laki dalam masyarakat serta mengupayakan menghilangkan hambatan struktur dalam mencapai keadilan dan kesetaraan jender. Melihat harapan untuk wanita itu banyak dimuat dalam undang-undang namun penerapan hukumnya masih belum berjalan. Keterwakilan wanita di lembaga pengambilan keputusan direkomendasikan kepada Presiden dengan Ketetapan MPR RI No.VI/MPR/2002. Keterwakilan wanita dalam politik dimulai dari adanya kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai manusia dari elemen bangsa ini. Kemudian diikuti dengan perundang-undangan yang telah mengaturnya. Undang-Undang No.12 Tahun 2003 pasal 65 ayat 1: “Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan wanita sekurang-kurangnya 30%. Akan tetapi maksud ini belum tercapai. DAFTAR PUSTAKA Budhiati Ida. 2003. Kuota Wanita dalam Undang-Undang Politik. (Online) (http://www. polarhome.com/pipermail/nasional-m) diakses 26 Mei 2003. Convention Watch Pusat Kajian dan Jender. Universitas Indonesia. 2004. Hak Asasi Perempuan Instrumen Hukum Untuk Mewujudkan Keadilan Gender. Yayasan Obor Jakarta. Convention Watch Pusat Kajian Wanita dan Jender. Universitas Indonesia. 2004. Kisah Perjalanan Panjang Konvensi Wanita di Indonesia. Yayasan Obor Jakarta. Data dan Fakta: Keterwakilan Wanita Indonesia di Partai Politik dan Lembaga-Lembaga Legislatif 1999-2001. (Executive Summary) (http:// www. polarhome.com/pipermail/nasional-m) diakses 26 Mei 2003. IDEA. 2002. Demokrasi di Tingkat Lokal. Buku Panduan Internasional. Idea Mengenai Keterwakilan, Pengelolaan Konflik dan Kepemerintahan. Ameepro. Jakarta. IDEA. 2000. Peter Harris dan Ben Reilly. Demokrasi dan Konflik yang Mengakar Sejumlah Pilihan untuk Negosiator. Ihromi Tapi Omas dkk. 2000. Penghapusan Diskriminasi terhadap Wanita. Alumni. Bandung. Irianto, Sulystiowati. 2003. Perempuan di Antara berbagai Pilihan Hukum. Yayasan Obor Jakarta. Musdah, Mulia, Siti. 2005. Muslimah Reformis. Mizan. Jakarta Notosusanto, Smita. Purwandari, E. Kristi. 1997. Wanita dan Pemberdayaan. Program Studi Kajian Wanita. Obor. Jakarta. Sahala Sumijati, 2002. Pengarusutamaan Gender sebagai Suatu Strategi bagi Tercapainya Program Pembangunan Hukum. Stri, Jurnal Studi Wanita. Jakarta. Sumiarni, Endang. 2004 Jender dan Feminisme. Wonderful Publishing Company. Yogyakarta. Sumiarni, Endang. 2004. Kajian Hukum Perkawinan yang Berkeadilan Jender. Wonderful Publishing Company. Yogyakarta. Peraturan-peraturan. Undang-Undang Dasar 1945. Ketetapan-Ketetapan MPR No.VI Tahun 2002. Undang-Undang No.12 Tahun 2003 tentang Pemilu. Undang-undang No. 31 Tahun 2003 tentang Partai Politik. Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang No.7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita. 16