Bab 2 Landasan Teori Dalam bab dua, penulis akan membahas mengenai beberapa teori yang akan digunakan untuk mendukung analisis pemaknaan lagu Evergreen pada bab tiga. Teori-teori yang akan digunakan adalah teori semantik, medan makna, makna denotatif dan konotatif, pengkajian puisi serta konsep dari kata evergreen. 2.1 Teori Semantik Semantik adalah cabang linguistik yang mengkaji makna dalam suatu bahasa. Semantik tidak bisa lepas dari bahasa manapun karena kaitan langsung akan suatu bahasa dengan makna itu sendiri. Menurut Hiejima ( 1991 : 3 ) : ほんらい きゃっかんてき 意味の問題は、間違いなく本来 客 観 的 であるというよりは、むしろ しゅぎてき にちじょう し よ う 主義的 であるといえよう。なぜなら、語や文は人間が 日 常 使用 するも さ い のであり、個人によってそれらの意味には差異が生ずるものだからであ る。 Terjemahan : Permasalahan makna, dapat dikatakan bahwa dibandingkan untuk tujuan aslinya, dapat dianggap seperti prinsip. Hal ini dikarenakan manusia menggunakan bahasa dan kalimat setiap hari maka apa yang mereka maksud akan berbeda tiap individu. Dapat dikatakan bahwa semantik adalah ilmu yang mempelajari makna kata, frasa dan kalimat. Dalam melihat makna dari sebuah kalimat, makna yang tersampaikan kepada setiap orang bisa berbeda. Hal ini bergantung dari sudut pandang dari pembaca kalimat tersebut. 9 2.1.1 Teori Medan Makna Pada awalnya konsep medan makna diawali oleh Ferdinand de Saussure. Konsep yang dipelopori olehnya merupakan konsep asosiasi makna yang berarti kata-kata yang ada memiliki hubungan antar sesamanya atau hubungan asosiatif makna. Ia pun membedakan hubungan asosiatif tersebut menjadi empat yaitu, kesamaan formal, semantik, similiaritas semantik atau butir umum, similiaritas sufiks-umum biasa, dan similiaritas kebetulan. Konsep ini pun diperbaiki oleh C. Bally yang melihat medan asosiatif sebagai satu lingkaran yang mengelilingi satu tanda dan muncul ke dalam lingkungan leksikalnya. Gambar 2.1.1 Diagram medan makna Sumber : Parera ( 2004 : 138 ) Secara singkat, konsep medan makna yang diperbaiki oleh C. Bally dapat disimpulkan sebagai berikut : Medan makna adalah suatu jaringan asosiasi yang rumit berdasarkan pada similiaritas atau kesamaan, kontak atau hubungan, dan hubungan-hubungan asosiatif dengan penyebutan satu kata ( Parera, 2004 : 138 ). Setelah konsep atau ide dari Ferdinand de Saussure diperbaiki oleh muridnya, C. Bally, muncul teori medan makna dari J. Trier. Menurut J. Trier, medan makna 10 tersusun sebagai suatu mozaik. Setiap medan makna itu akan selalu tercocokkan antar sesama medan sehingga membentuk suatu keutuhan bahasa yang tidak mengenal tumpang tindih. Tabel 2.1.1 Contoh Medan Makna J. Trier. pandai cerdik bijak terpelajar berpengalaman terdidik cendikiawan Sumber : Parera ( 2004 : 139 ) 2.1.2 Makna Denotatif Makna denotatif merupakan makna yang paling dasar dari sebuah kata maka makna tersebut dapat dihubungkan dengan bahasa ilmiah, yang memang bertujuan untuk menyampaikan informasi kepada pembaca. Hal ini bertujuan supaya pembaca tidak memiliki asumsi yang berbeda dari yang ingin disampaikan oleh penulis ( Keraf, 2007 : 28 ). Makna denotatif juga memiliki beberapa istilah lain seperti, makna denotasional, makna kognitif, makna konseptual, dll. Menurut Keraf ( 2007 : 28 ) : Disebut makna denotasional, referensial, konseptual atau ideasional, karena makna itu menunjuk (denote) kepada suatu referen, konsep, atau ide tertentu dari suatu referen. Sementara menurut Parera ( 2004 : 98 ), imbuhan de- yang mengawali kata denotasi, memiliki arti tetap dan wajar sebagaimana adanya. Jadi denotasi adalah makna yang wajar, asli, yang muncul pertama, yang diketahui pada mulanya, makna sebagai adanya dan makna yang sesuai dengan kenyataannya. 11 2.1.3 Makna Konotatif Makna konotatif memiliki nilai atau stimulus emosional yang berbeda jika dipergunakan. Hal tersebut dapat digambarkan seperti berikut : Makna konotatif adalah suatu jenis makna di mana stimulus dan respons mengandung nilai-nilai emosional. Makna konotatif sebagian terjadi karena pembicara ingin menimbulkan perasaan setuju-tidak setuju, senang-tidak senang, dsb. ( Keraf, 2007 : 29 ). Hal ini bergantung dari apa yang ada di dalam konsep atau ide di dalam kepala pendengar karena awalan ko- yang mengawali kata konotasi memiliki arti “bersama yang lain, ada tambahan yang lain” terhadap notasi yang bersangkutan ( Parera, 2004 : 97 ). Contoh yang paling mudah ada pada kata mati, meninggal, wafat, gugur, mangkat, dan berpulang. Keenam kata ini memiliki makna denotasi yang sama yaitu “peristiwa di mana jiwa seseorang telah meninggalkan badannya.” Tetapi kata meninggal, wafat, gugur, mangkat, dan berpulang memiliki nilai kesopanan yang lebih daripada kata mati ( Keraf, 2007 : 29 ). Karena makna konotatif bersifat menggugah atau merangsang pancaindra, perasaan, sikap, penilaian, keyakinan, dan keperluan tertentu, maka makna konotatif dapat bersifat negatif atau positif dalam saat-saat tertentu. Hal ini tergantung pada apakah rangsangan tersebut bersifat individual atau kolektif. Seperti contohnya, kata sosialisme akan menimbulkan makna yang kurang baik apabila kita berbicara kepada orang Amerika Serikat, tetapi kata sosialisme masih dapat diterima dengan baik oleh warga Jerman ( Parera, 2004 : 99 ). 2.2 Pengkajian Puisi Puisi dapat dikaji melalui berbagai aspek. Contohnya, sebuah puisi dapat dikaji melalui aspek kesejarahan, jenisnya, ragam-ragamnya, atau unsur-unsur dan strukturnya. Sebelum mengkaji sebuah puisi, ada baiknya untuk mengetahui bahwa 12 puisi adalah struktur yang bermakna dan bernilai estetis, seperti dalam Pradopo ( 2007 : 6 ) : Penyair dalam menciptakan puisi itu memikirkan bunyi yang merdu seperti musik dalam puisinya, kata-kata disusun begitu rupa hingga yang menonjol adalah rangkaian bunyinya yang merdu seperti musik, yaitu dengan mempergunakan orkestra bunyi. Puisi dapat didefiniskan sebagai karangan yang terikat. Hal ini dapat dilihat dari banyak baris dalam setiap bait, banyak kata dalam setiap baris, banyak suku kata dalam tiap baris, rima, dan irama. Selain itu Altenberd dalam Pradopo ( 2007 : 5 ) mendefinisikan puisi sebagai pendramaan pengalaman yang bersifat penafsiran dalam bahasa berirama. Pada dasarnya banyak sekali definisi dari puisi tetapi secara garis besarnya puisi mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan perasaan, yang merangsang imajinasi panca indera dalam susunan yang berirama. Karena itu, puisi adalah karya seni yang puitis. Karya seni yang puitis adalah karya yang membangkitkan perasaan, menarik perhatian, dan menimbulkan tanggapan yang jelas ( Pradopo : 13 ). 2.3 Teori Budaya Pop (Pop Culture) Menurut Martinez ( 2001 ), “ In contrast, popular culture is the culture of the masses ; it is not about art or the intellect and is frequently held to be of no merit whatsoever.” Yang artinya “ Budaya populer adalah budaya masyarakat banyak ; hal tersebut bukan mengenai seni atau pengetahuan dan seringnya tidak memiliki arti. “ Menurutnya budaya populer bukan hanya sebagai budaya massa. Budaya tersebut adalah budaya yang dikonsumsi oleh masyarakat dengan berbagai cara. Sementara Kato ( 1989 ) mengartikan budaya populer sebagai budaya massa atau taishu bunka. Hal ini dikarenakan dalam bahasa Jepang, beliau tidak menemukan kata yang bisa berbanding sama dengan kata “popular” dalam bahasa Inggris. 13 Menurutnya para seniman-seniman kontemporer Jepang lebih memilih menggunakan kata “poppu ato” untuk menyebut kata “pop art” atau seni populer yang ada di Amerika. 2.3.1 Konsep Musik Pop Jepang Musik adalah salah satu bagian dari budaya pop yang ada di Jepang. Salah satu yang mempengaruhi dunia permusikan Jepang adalah Restorasi Meiji pada tahun 1868 dimana pada masa itu lagu dan musik barat diperkenalkan kepada masyarakat Jepang ( McClure : 9 ). Ketika sang raja rock n roll, Elvis Presley menjadi terkenal di seluruh dunia, termasuk di Jepang, para anak muda di Jepang pun memulai sebuah jenis musik yang disebut rockabilly ( Schiling : 197 ). Pada awalnya para anggota band aliran rockabilly tidak membuat lagu mereka sendiri tetapi menyanyikan lagulagu dari luar negeri seperti “Blue Suede Shoes” karya Elvis Presley. Seiring dengan berjalannya waktu, musik rockabilly tidak lagi meniru lagu-lagu barat. Kemudian pada awal tahun 1960an, Jepang mulai memunculkan musik pop Jepang. Para penulis lirik mulai menggunakan pengaruh musik barat ke dalam musik Jepang. Salah satu lagu yang cukup terkenal pada saat itu adalah “Ue no Muite Aruko”, yang lebih terkenal dengan judul “Sukiyaki”, yang dinyanyikan oleh Sakamoto Kyu. Selain penyanyi solo, fenomena lain yang ada pada musik pop Jepang adalah munculnya kawaiko-chan ( Kato : 209 ). Sebutan ini digunakan untuk menyebut penyanyi-penyanyi pop, yang mayoritas perempuan, dan masih berusia remaja. Para kawaiko-chan ini sering tampil di televisi dan mereka menyajikan lagu yang up-beat ditemani dengan tarian yang sesuai dengan irama lagu mereka. Para kawaiko-chan ini rata-rata merasakan popularitas selama dua sampai tiga tahun sebelum mereka akhirnya kalah pamor dari penyanyi yang lain. Hal ini 14 mengharuskan para agensi untuk selalu mencari pengganti dari penyanyi-penyanyi yang telah dianggap ‘tua’. Para agensi melakukan hal tersebut karena para kawaikochan tersebut memiliki target pasar remaja. Jika penampilan mereka tidak menarik para remaja, maka mereka tidak akan bisa menjual. Selain penampilan, para kawaiko-chan ini juga menyanyikan lagu-lagu yang memiliki kata-kata atau lirik dalam bahasa Inggris dan penggunaan bahasa Jepang yang tidak lazim. Hal ini dijelaskan oleh Kato ( 1989 : 210 ) : The lyrics of the songs sung by kawaiko-chan frequently include a few English words, which are often used in ways that seem out of context to a native speaker. Even the Japanese language is sometimes used incorecctly. Terjemahan : Lirik lagu yang dinyanyikan oleh para kawaiko-chan sering menggunakan beberapa kata bahasa Inggris yang penggunaannya melenceng dari konteks yang sebenarnya bahkan bagi penutur asal. Bahkan terkadang lirik mereka menggunakan bahasa Jepang yang tidak benar gramatikalnya. Penggunaan bahasa Jepang yang tidak benar secara gramatikal dapat ditemukan pada lagu “Kenjimenasai” oleh Masahiko Kondo. Seharusnya kata kenjimenasai memiliki bentuk kenjime o tsukenasai. Hal ini menyebabkan timbulnya bahasa slang di kalangan masyarakat Jepang. Masih pada era yang sama, band The Beatles mengunjungi Jepang dan membuat gitar listrik menjadi booming di Jepang. Hal ini menimbulkan satu fenomena baru yaitu ereki boom yang menyebabkan banyak anak muda menjadi tertarik untuk membeli gitar listrik dan membuat band. Pada tahun 1966, band the Blue Comets dan Spiders mengawali era Group Sounds ( GS ). Yaitu era dimana band rock lokal mulai berjaya ( Schilling : 1997 ). Tetapi era keemasan dari GS tidak bertahan lama karena pada tahun 1971, band-band besar seperti the Tigers, the Spiders, Ox, dan the Wild Ones mulai membubarkan diri dan menyebabkan era dari GS berakhir. 15 Tahun 1969, sebuah aliran musik baru mulai terbentuk. Aliran musik tersebut disebut New Rock. Pada awalnya grup band dari aliran tersebut memiliki gaya yang sama dengan band elektrik rock yang terdahulu. Setelah aliran tesebut semakin berkembang, mereka mulai menulis lagu mereka sendiri dan menggunakan bahasa Inggris untuk lirik lagu mereka. Tahun 1980, dengan disiarkannya program televisi “Ikaten”, lahirlah era kejayaan band atau yang disebut “band boom”. Pada era tersebut, para penggemar band lebih mementingkan rupa atau baju dari para pemain band. Hal ini menyebabkan banyak dari band di Jepang yang tidak memiliki kemampuan musik yang baik dan hanya membuat musik untuk menghasilkan uang saja. Pada tahun ini juga banyak bermunculan “live house” yang menyajikan penampilan langsung dari para band. Kebanyakan dari band yang melakukan pertunjukan di “live house” adalah band heavy metal dan hard rock. Yang unik dari band-band tersebut adalah kecenderungan mereka menuju gothic theatricality. Yaitu para pemain band yang menggunakan kostum yang rumit dan dandanan yang tebal. Band-band seperti X Japan, Luna Sea dan Kuroyume pun akhirnya memulai sebuah jenis musik baru yang disebut visual rock ( McClure : 1998 ). 16