23 Bab 2 Landasan Teori 2.1 Teori Semantik Kata semantik berasal

advertisement
Bab 2
Landasan Teori
2.1 Teori Semantik
Kata semantik berasal dari kata Yunani, semainen yang artinya ‘bermakna’ atau
‘berarti’. Istilah semantik berpadanan dengan kata semantique dalam bahasa Perancis
yang diserap dari bahasa Yunani tersebut dan diperkenalkan oleh M. Breal. Semantik
merupakan cabang linguistik yang menelaah makna. Berdasarkan Encyclopedia
Britannica (1965 : 313), pengertian semantik adalah studi tentang hubungan antara suatu
pembeda linguistik dengan hubungan proses mental atau simbol dalam aktivitas bicara.
Hiejima Ichiro (1991 : 1-3), seorang ahli semantik modern, mengemukakan bahwa
semantik adalah ilmu yang mempelajari makna dari kata, frase dan kalimat.
Menurutnya, bila melihat sebuah makna dengan sudut pandang secara objektif ataupun
secara fisik, banyak hal yang berbeda dan tidak sesuai. Dalam melihat sebuah makna
dalam kondisi seperti itu, lebih baik menggunakan sudut pandang secara subjektif. Hal
ini dikarenakan kata atau kalimat merupakan sesuatu yang digunakan oleh manusia
dalam kehidupan sehari-hari dan dari setiap individu akan lahir makna-makna yang
berbeda antara satu dengan yang lainnya. Hal yang serupa juga dikemukakan oleh
Kambartel. Dikutip dari Bauerle (1979 : 195), Kambartel menyatakan bahwa semantik
mengasumsikan bahwa bahasa terdiri dari struktur yang menampakkan makna apabila
dihubungkan dengan objek dalam pengalaman dunia manusia. Sedangkan Lehrer (1974 :
1) mengatakan bahwa semantik merupakan bidang kajian yang sangat luas karena turut
menyinggung mengenai aspek-aspek struktur dan fungsi bahasa sehingga dapat
dihubungkan dengan psikologi, filsafat dan antropologi.
23
Menurut F. R. Palmer dalam bukunya yang berjudul Semantics (1976, 192-197),
kajian semantik terbagi atas dua, yaitu:
1. Semantik Formal
Semantik formal adalah semantik yang mempelajari makna ujaran tanpa
menghubungkan ujaran tersebut dengan konteks dan situasinya. Dapat dikatakan,
dalam semantik formal, sebuah dari kata atau frase diartikan dalam makna yang
sebenarnya. Contohnya adalah:
-
‘snow is white’ if and only if snow is white
(‘salju adalah putih’ jika dan hanya jika salju berwarna putih)
Dalam kalimat di atas, dapat langsung diketahui bahwa salju memang berwarna
putih tanpa harus mengaitkan kalimat tersebut dengan situasi.
2. Semantik Referensial
Semantik referensial adalah semantik yang mempelajari makna ujaran dengan
mengaitkan ujaran tersebut dengan situasi dan konteks dimana kalimat tersebut
diujarkan, sehingga ada makna baru yang ditambahkan selain makna yang
merupakan sebuah kenyataan. Contohnya adalah:
-
Mary believes that the President is handsome
(Mary yakin bahwa Presiden itu tampan)
Dalam kalimat di atas, yang dimaksud Mary sebagai seseorang yang tampan bukan
A yang pada kenyataanya menjabat sebagai presiden, tetapi B, siapapun itu yang ada
24
dalam pikiran Mary adalah presiden yang tampan. Jadi disini ada perluasan makna
dari presiden bahwa menurutnya yang tampan bukanlah A, yang memang adalah
presiden, melainkan B yang ada dalam pikiran Mary.
2.1.1
Makna Kata
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, semantik adalah sebuah studi tentang
makna. Untuk memahami suatu ujaran dalam konteks yang tepat, seseorang harus
memahami makna dalam komunikasi (Keraf, 1984 : 25). Pada umumnya, makna kata
dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
1. Makna Denotatif
Makna denotatif adalah makna dari sebuah kata atau frase yang tidak
mengandung arti atau perasaan-perasaan tambahan. Makna denotatif disebut juga
makna kognitif karena makna itu bertalian dengan kesadaran atau ilmu pengetahuan;
stimulus dari pihak pembicara dan respon dari pihak pendengar menyangkut hal-hal
yang dapat diserap kesadaran dan rasio manusia. Selain itu, makna ini disebut juga
makna proporsional karena karena ia bertalian dengan informasi-informasi atau
pernyataan-pernyataan yang bersifat faktual.
Seorang penulis yang hanya ingin menyampaikan informasi, khususnya dalam
bidang ilmiah, akan cenderung untuk mempergunakan kata-kata yang denotatif.
Sebab tujuan utamanya adalah memberi pengarahan yang jelas terhadap fakta. Ia
tidak menginginkan interpretasi tambahan dari tiap pembaca (Keraf, 1984 : 28).
2. Makna Konotatif
Makna konotatif merupakan makna kata yang mengandung arti tambahan,
perasaan tertentu, atau nilai rasa tertentu di samping makna dasar yang umum. Dapat
25
dikatakan, makna konotatif adalah suatu jenis makna dimana stimulus dan respon
mengandung nilai-nilai emosional. Makna tersebut sebagian terjadi karena
pembicara ingin menimbulkan perasaan setuju-tidak setuju, senang-tidak senang dan
sebagainya pada pihak pendengar. Sementara, di sisi lain, kata yang dipilih itu
memperlihatkan bahwa pembicaranya juga memendam perasaan yang sama.
Konotasi pada dasarnya timbul karena masalah hubungan sosial atau hubungan
interpersonal, yang mempertalikan seseorang dengan orang lain. Sebab itu, bahasa
manusia tidak hanya menyangkut masalah makna denotative atau ideasional dan
sebagainya (Keraf, 1984 : 29).
2.1.2 Majas
Sebuah konotasi atau makna konotatif berhubungan erat dengan penggunaan
majas. Pengertian majas sendiri adalah bahasa indah yang dipergunakan untuk
meningkatkan efek dengan cara memperkenalkan serta membandingkan suatu benda
atau hal tertentu dengan benda atau hal lain yang lebih umum. Karena itu, penggunaan
majas tertentu dapat mengubah serta menimbulkan konotasi tertentu (Dale et al, 1971 :
220). Menurut Warriner (1977 : 602), majas adalah cara mempergunakan bahasa secara
imajinatif, bukan dalam pengertian yang benar-benar alamiah saja.
Majas merupakan bentuk retorik, yaitu penggunaan kata-kata dalam berbicara
dan menulis untuk meyakinkan atau mempengaruhi penyimak dan pembaca. Kata
‘retorik’ berasal dari bahasa Yunani ‘rhetor’ yang berarti orator atau ahli pidato
(Tarigan. 1986 : 5).
Keraf (1984 : 113) mendefinisikan gaya bahasa atau majas sebagai cara
mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan
26
kepribadian penulis. Majas memungkinkan kita dapat menilai pribadi, watak, dan
kemampuan seseorang yang mempergunakan bahasa itu.
Dalam buku berjudul Semantik Leksikal (Pateda, 2001 : 233) dijelaskan
pengertian majas sebagai berikut:
1. Pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseorang dalam berututur atau menulis
2. Pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu
3. Keseluruhan ciri bahasa sekelompok penulis sastra
4. Cara khas dalam menyatakan pikiran dan perasaan dalam bentuk tulisan atau
lisan.
2.1.2.1 Majas Metafora
Metafora adalah pemakaian kata-kata bukan dalam arti yang sebenarnya,
melainkan
sebagai
lukisan
yang
berdasarkan
persamaan
atau
perbandingan
(Poerwadarminta, 1976 : 648). Metafora berasal dari bahasa Yunani metaphora yang
berarti ‘memindahkan’. Istilah tersebut memiliki kata dasar meta (di atas; melebihi) dan
pherein (membawa). Sebagai perbandingan langsung, metafora tidak menggunakan
kata-kata yang menyatakan persamaan secara eksplisit. Sehingga di dalam metafora,
tidak terdapat kata-kata seperti, ibarat, bak, sebagai, umpama, laksana sebagaimana
halnya simile (Keraf, 1984 : 139).
Struktur dasar metafora yaitu ada sesuatu yang dibicarakan dan ada sesuatu yang
dipakai sebagai perbandingan. Itu sebabnya Badudu (1983 : 70) mengatakan bahwa
majas metafora adalah majas yang memperbandingkan suatu benda dengan benda lain.
27
2.1.2.2 Majas Personifikasi
Personifikasi berasal dari bahasa Latin ‘persona’ (orang, pelaku, aktor atau
topeng yang dupakai dalam drama) dan ‘fic’ (membuat). Personifikasi adalah semacam
majas kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak
bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan. Karena itulah, penggunaan
personifikasi menunjukkan ciri-ciri atau kualitas pribadi seseorang kepada benda-benda
yang tidak bernyawa ataupun kepada gagasan-gagasan (Dale et al, 1971 : 221). Dengan
kata lain, personifikasi adalah jenis majas yang melekatkan sifat-sifat insani kepada
barang yang tidak bernyawa. Seperti halnya dengan simile dan metafora, personifikasi
mengandung suatu unsur persamaan (Keraf, 1984 : 140).
2.1.2.3 Majas Simile
Kata simile berasal dari bahasa latin yang bermakna ‘seperti’. Simile adalah
perbandingan dua hal yang pada hakikatnya berlainan dan sengaja kita anggap sama.
Simile merupakan perbandingan yang bersifat eksplisit. Yang dimaksud dengan
perbandingan yang bersifat eksplisit ialah bahwa ia langsung menyatakan sesuatu sama
dengan hal yang lain. Untuk itu, ia memerlukan upaya yang secara eksplisit
menunjukkan kesamaan itu, yaitu kata-kata: seperti, sama sebagai, bagaikan, laksana
dan sebagainya (Keraf, 1984 : 138).
2.2 Konsep Masyarakat Jepang terhadap Majas
Untuk mengetahui mengenai majas di Jepang, kita harus melihat kembali sejarah
retorika di negara tersebut. Menurut Massimiliano Tomasi (2004 : 27), retorika Jepang
memiliki pengaruh dari barat. Hal ini dimulai pada era Meiji. Pada saat itu, banyak
karya-karya sastra dari barat mulai masuk ke Jepang. Namun, di samping itu, terdapat
28
pula bagian dari retorika yang memang telah ada sebelum era Meiji, yaitu melalui
rakugo, kodan dan rokyoku. Juga menurut Tomasi, puisi-puisi klasik Jepang
menunjukkan penggunaan bahasa yang sangat teratur secara linguistik dan bernilai
estetik.
Retorika dalam puisi-puisi Jepang seringkali menggunakan majas perbandingan
seperti metafora, simile dan personifikasi. Majas seperti ini seringkali digunakan untuk
memberikan sebuah gambaran dari sebuah konsep, untuk menekankan sebuah pemikiran
dan untuk membuat seseorang terpengaruh dalam tingkat emosional dan intelektual.
Namun, sebagai pengecualian, tidak seperti puisi-puisi Jepang lainnya, haiku tidak
menggunakan majas semacam itu (Wakan, 1993 : 62).
Dalam karya-karya Jepang, majas yang paling sering ditemui adalah majas
metafora. Metafora selalu menjadi majas yang paling menonjol, seperti yang
diungkapkan oleh Sato (1992 : 113) di bawah ini:
古代から、現代でもなお、隠喩はつねにレトリックの中心的な関心のま
とである。 一九世紀後半に古典レトリックがすっかり見捨てられたのち
も、隠喩だけはいつも哲学者、詩人たちの興味をひきつづけている。 か
ぞえてみることなどとても不可能だが、古来、研究され書かれてきた隠
喩論の書物や論文は、何百、いや何千か、数知れず、隠喩にかかわる問
題はもう出つくしているのではないかとさえ思われるありさまだ。
Terjemahan:
Sejak jaman dahulu, bahkan sampai sekarang, metafora selalu menjadi titik
perhatian dalam retorika. Pada paruh kedua abab ke-sembilan belas, retorika
klasik telah benar-benar ditinggalkan, namun hanya metafora yang terus menarik
minat para filsuf dan penyair. Jika dihitung, memang tidak mungkin, namun,
buku-buku dan disertasi mengenai teori metafora yang telah diteliti terdapat
ratusan, ribuan, bahkan tidak terhitung. Pertanyaan mengenai metafora pun telah
muncul, bahkan telah dipikirkan.
29
Satu pendapat lagi mengatakan bahwa masyarakat Jepang seringkali menggunakan
metafora untuk menunjukkan secara halus bahwa mereka tidak menyukai sesuatu atau
seseorang (Truth, 2005).
Berikut adalah beberapa contoh kalimat dalam bahasa Jepang yang mengandung
majas perbandingan:
a. Metafora
- 彼女の口は機関銃だ
(Mulutnya adalah senapan mesin)
Senapan mesin adalah senapan yang dapat menembakkan peluru tanpa henti. Jika
mulutnya adalah senapan mesin, maka kata-katanya adalah peluru yang terus-menerus
keluar. Kalimat di atas menggambarkan keadaan seseorang dimana ia terus-terusan
berbicara tanpa berhenti, namun dalam konteks yang mengganggu. Dengan kata lain, ia
adalah orang yang cerewet.
b. Personifikasi
- 金がものを言う
(uang berbicara)
Kalimat di atas seringkali digunakan untuk menggambarkan bahwa kekayaan
memiliki andil dalam kehidupan sekaligus menentukan kekuasaan seseorang, sehingga
seseorang itu dapat berbuat sesuka hatinya.
c. Simile
- 彼女は猫の目のように変わる
(ia berubah seperti mata kucing)
30
Kalimat di atas menggambarkan keadaan dimana seseorang sering berubah
pikiran atau tidak tegas.
31
Download