Laporan Kasus TERAPI MIKOSIS FUNGIODES DENGAN STEROID TOPIKAL DAN METOTREKSAT Suci Budhiani, Anis Irawan Anwar Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK Universitas Hasanuddin/RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar ABSTRAK Limfoma sel T kulit Cutaneous T-cell lymphoma/CTCL adalah kanker limfosit T yang terutama mengenai kulit namun juga dapat melibatkan darah, kelenjar getah bening dan/atau organ dalam pada tahap lebih lanjut. Mikosis fungoides (MF) merupakan tipe CTCL yang paling umum, ditandai dengan perjalanan yang lambat dengan manifestasi klinis khas pada kulit berupa makula, plak, atau nodus tumor. Penatalaksanaan utamanya berdasarkan stadium penyakit. Stadium awal biasanya memberi respons baik dengan terapi topikal, namun stadium lanjut membutuhkan kombinasi dengan terapi sistemik. Steroid merupakan salah satu pilihan pengobatan topikal pada MF yang selain mempunyai efek imunosupresif juga bersifat antipruritus sehingga sangat bermanfaat untuk kasus yang disertai dengan pruritus berat. Metotreksat merupakan obat sistemik yang bersifat antimetabolik dan sitotoksik yang bekerja sebagai antifolat sehingga dapat menghambat pertumbuhan sel tumor. Dilaporkan satu kasus CTCL tipe MF pada pasien laki-laki usia 52 tahun yang diterapi dengan kombinasi steroid topikal dan metotreksat dan memberikan hasil yang cukup baik.(MDVI 2014; 41/2:70 - 72) Kata kunci : CTCL, mikosis fungoides, steroid topikal, metotreksat ABSTRACT Cutaneous T-cell lymphoma (CTCL) are cancers of the T lymphocytes that mainly affect the skin but can also involve the blood, lymph nodes and/or internal organs in patients with advanced disease. Mycosis fungoides (MF) is the most common type of CTCL which is characterized by slow progression and skin manifestation of patch, plaque and tumour. Management of the disease is mainly based on disease's stage, with early stage usually responds well to skin-directed therapies, but advance stage generally requires combination with systemic therapies. Steroid is one of topical treatment for MF which express both immunosuppresion and antipruritic action, makes it superior for cases with severe pruritus. Methotrexate is a systemic agent with antimetabolic and cytotoxic effect and work as an antifolate which enable inhibition of tumour growth. We reported one case of CTCL type mycosis fungoides on 52 years old man who were being treated with combination of topical steroid and methotrexate and respond well enough to the treatment.(MDVI 2014; 41/2:70 - 72) Key words: CTCL, mycosis fungoides, topical steroid, methotrexate Korespondensi : Jl. Perintis Kemerdekaan - Makassar Telp. 04 1-580345 Email: oetjy_doc@ya hoo.com 70 MDVI Vol. 41 No. 2 Tahun 2014; 70 - 72 PENDAHULUAN LAPORAN KASUS Limfoma sel T kulit (cutaneous T-cell lymphoma/CTCL) merupakan kelompok kelainan limfoproliferatif heterogen yang ditandai oleh akumulasi klonal limfosit T neoplastik di kulit. Insidensnya lebih tinggi pada kelompok Afrika-Amerika, dan lebih banyak pada laki-laki dibandingkan perempuan. Subtipe yang paling umum adalah mikosis fungoides (MF), sindrom Sezary (SS), limfoma sel besar anaplastik kulit primer, dan papulosis limfomatoid. Semua kelainan tersebut berjumlah sekitar 95% dari seluruh kasus CTCL.1 MF merupakan tipe CTCL yang paling umum, sekitar 50% dari semua kasus CTCL, biasanya terjadi pada dewasa usia pertengahan sampai lanjut (rerata usia pada saat terdiagnosis adalah 55-60 tahun) dan menunjukkan dominasi pada laki-laki dengan perbandingan terhadap perempuan 2:1. MF merupakan penyakit kronik yang berkembang lambat, yang ditandai oleh perkembangan makula, plak, atau tumor.1, 2 Terdapat dua modalitas terapi MF yaitu terapi langsung pada kulit (topikal) dan sistemik. Sebagian besar pasien memberi respons dengan baik dengan terapi topikal, termasuk kemoterapi topikal (nitrogen mustard atau carmustine), kortikosteroid topikal, retinoid topikal, fototerapi termasuk UVA dan UVB, PUVA, radioterapi, laser, terapi fotodinamik, dan radiasi kulit elektron total. Terapi sistemik umumnya dibutuhkan untuk penyakit yang refrakter, tahap lanjut dan luas, dan seringkali dikombinasikan dengan terapi topikal.3 Terapi sistemik, misalnya metotreksat, klorambusil, retinoid atau interferon dosis rendah seringkali ditambahkan untuk memperkuat respons terhadap terapi topikal.4 Berikut dilaporkan satu kasus CTCL tipe MF pada seorang laki-laki berusia 52 tahun yang diterapi dengan steroid topikal dan metotreksat dan memberikan hasil yang cukup baik. Seorang laki-laki, 52 tahun, datang ke RS Ibnu Sina (4 Juli 2013) dengan nodus eritematosa, hiperpigmentasi, dan ekskoriasi pada wajah dan kulit kepala serta makula hiperpigmentasi, hipopigmentasi, eritema, erosi, dan skuama pada hampir seluruh tubuh. Pemeriksaan laboratorium dan apusan darah tepi dalam batas normal. Pemeriksaan histopatologik didapatkan gambaran yang sesuai untuk limfoma kutis (T-cell lymphoma / mycosis fungoides). Diagnosis penyakit pasien ini berdasarkan gambaran histopatologik yaitu CTCL tipe MF dan dari gambaran klinis adanya tumor meskipun belum ditemukan limfadenopati sehingga pasien didiagnosis sebagai MF stadium IIB. Pasien diberikan terapi berupa doksisiklin 2 x 100 mg/hari, metotreksat 1 x 2,5 mg/hari yang diminum setiap 2 hari sekali, loratadin 1 x 10 mg/hari, krim klobetasol propionat dicampur dengan krim gentamisin yang dioleskan 2 kali sehari di seluruh bagian tubuh yang luka. Pada perawatan hari ke-8 luka di wajah sebagian besar mengering, kemerahan berkurang dan nyeri pada luka berkurang. Pada perawatan hari ke-10, nyeri sudah tidak dirasakan lagi dan gatal sedikit berkurang. Hasil pemeriksaan SGOT, SGPT, ureum, kreatinin dan apusan darah tepi dalam batas normal. Pengobatan oral dilanjutkan. Pada perawatan hari ke-12, gatal semakin berkurang, namun muncul lesi baru di tangan kiri dan kanan berupa bercak dan bintik coklat kehitaman. Pada perawatan hari ke-15, tampak sebagian bercak kehitaman terkelupas, gatal semakin berkurang dan bercak serta bintik kecoklatan di tangan berkurang. Tidak ditemukan lesi baru yang muncul. Pengobatan oral dan topikal dilanjutkan. Pasien diperbolehkan pulang dan dianjurkan kontrol di poliklinik rawat jalan. 1a Gambar 1. Foto pasien saat masuk. a.Tampak nodus eritematosa, hiperpigmentasi dan erosi di regio fasialis dan skalp; b.Tampak makula eritematosa,hiperpigmentasi, hipopigmentasi, erosi, dan skuama di hampir seluruh tubuh. 71 1b S Budhiani & AI Anwar Terapi mikosis fungiodes dengan steroid topikal dan metotreksat 2b 2a Gambar 2. a dan b. Foto pasien setelah diterapi dengan metotreksat dan steroid topikal selama 15 hari. Tampak luka di wajah mengering dan bercak kehitaman terkelupas. DISKUSI Prinsip pemilihan terapi pada CTCL tipe MF didasarkan pada stadium penyakit apakah pasien berada pada stadium awal (stadium IA-IIA) atau stadium lanjut (stadium IIB-IV).1 Kombinasi pengobatan topikal dan sistemik dibutuhkan pada penyakit yang luas atau stadium lanjut. 5 Pada kasus ini, pasien diberikan pengobatan kombinasi topikal dan sistemik, sesuai dengan kondisi penyakit pasien yang berada pada stadium IIB. Pengobatan topikal yang diberikan adalah krim klobetasol propionat yang merupakan kortikosteroid kelas I (superpoten) yang dikombinasikan dengan krim antibiotik gentamisin dan diaplikasikan dua kali sehari pada lesi di badan dan wajah. Kortikosteroid topikal selain sebagai antiinflamasi, juga berfungsi mengurangi proliferasi sel-T dan menginduksi apoptosis sel-T, yang merupakan bagian dari efek imunosupresifnya.2 Waktu terjadinya respons bergantung pada tahapan penyakit dan ketebalan lesi.1 Penambahan antibiotik topikal, yaitu krim gentamisin dilakukan mengingat tingginya insidens infeksi pada CTCL.6 Pengobatan sistemik pasien ini berupa metotreksat 2,5 mg dosis tunggal yang diminum setiap 2 hari sekali. Metotreksat merupakan obat antimetabolik dan sitotoksik yang telah disetujui oleh FDA untuk pengobatan psoriasis dan MF stadium lanjut. Metotreksat merupakan agen antifolat yang mengganggu pertumbuhan sel tumor. Dosis rendah 7,5 mg hingga 25 mg per minggu berefek imunomodulator, sementara dosis yang lebih tinggi bersifat sitotoksik.2 Pemberian agen kemoterapi misalnya metotreksat dapat menyebabkan komplikasi infeksi oportunistik.2 Selain itu, pada pasien ini ditemukan banyak erosi di tubuhnya, sehingga diberikan antibiotik doksisiklin 100 mg dengan dosis dua kali sehari. Alasan pemilihan doksisiklin karena doksisiklin memiliki efek lain selain antibakteri, yaitu efek antiinflamasi, serta data eksperimental menunjukkan bahwa doksisiklin dapat menghambat pertumbuhan tumor.7 Terapi suportif ditambahkan untuk membantu mengatasi gejala pruritus yang merupakan gejala paling sering dan paling awal. Pada tahap awal, pruritus dapat dikurangi dengan kortikosteroid topikal. 8 Pemberian antihistamin dapat mengurangi rasa gatal,5 oleh karena itu pasien diberikan antihistamin loratadin 10 mg dengan dosis satu kali sehari sebagai pengobatan suportif. Pada perawatan hari ke-8 lesi mulai mengering, dan pada perawatan hari ke-15 pasien diperbolehkan pulang. Obat oral dan topikal dilanjutkan dan dianjurkan kontrol. DAFTAR PUSTAKA 1. Wollina U. Cutaneous T cell lymphoma: update on treatment. Int J Dermatol. 2012; 51: 1019-3 2. Assaf C, Sterry W. Cutaneous lymphoma. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilcherst BA, Paller AS, Leffell DJ, penyunting. Fitzpatrick's dermatology in general medicine. Edisi ke-7. New York: McGraw-Hill Companies; 2008.h.1386. 3. Sikorska M, Sokolowska_Wojdylo M, Kowalczyk A, Roszkiewicz J. Effectiveness of interferon in mycosis fungiodes therapy. Post Dermatol Alergol. 2012; 29: 51-5. 4. Prince HM. New strategies in the treatment of T-cell lymphoma. Clin Adv Hematol Oncol. 2008; 6: 4-10. 5. Kim YH. Cutaneous T-cell lymphoma facts. Canada: Leukemia and lymphoma Society; 2011.h.1-9. 6. Willerslev-Olsen A, Kresjgaard T, Lindahl LM, Bonefeld CM, Wasik MA, Koralov SB, dkk. Bacterial toxins fuel disease progression in cutaneous T-cell lymphoma. Toxins. 2013; 5: 1403-20. 7. Sapadin AN, Fleischmajer R. Tetracyclines: nonantibiotic properties and their clinical implications. J Am Acad Dermatol. 2006; 54: 258-63. 8. Meyer N, Paul C, Misery L. Pruritus in cutaneous T-cell lymphomas: frequent, often severe and difficult to treat. Acta Dermatol Venereol. 2010; 90: 12-7. 72