Konsep Agama mnrt Barat Postmodern

advertisement
1
Agama dalam pemikiran
Barat modern dan post-modern
Oleh: Hamid Fahmy
Pendahuluan
Diskursus mengenai agama dalam konteks situasi yang sekarang kini disebut
modern dan post-modern sangat marak dikalangan sosiolog, filosof dan pemikir
keagamaan. Akbar S Ahmed,1 Ernest Gellner,2 David Griffin,3 and Huston Smith4, adalah
sedikit contoh dari mereka yang membahas masalah ini. Diskursus ini menjadi marak
bukan karena semakin meningkatnya peran agama dalam kehidupan masyarakat postmodern, akan tetapi karena post-modernisme itu telah menjelma menjadi gerakan yang
bermuatan doktrin-doktrin filsafat dan bahkan ditunggangi oleh kepentingan politik. Yang
jelas menurut Gellner postmodernisme telah mempengaruhi kajian antropologi,
kesusasteraan, filsafat dan agama.5
Untuk memahami makna agama dalam pemikiran Barat postmodern diperlukan
elaborasi mengenai pemikiran yang berkembang di Barat era modern. Sebab, seperti yang
disinyalir Akbar, pemahaman kita tentang Barat modern merupakan pra-kondisi bagi
pemahaman Barat post-modern.6 Bahkan bagi Silverman makna penting postmodernisme
adalah memarginalkan (to marginalize), membatasi (delimit) dan mengesampingkan
(decentre) kerja-kerja yang telah dilakukan oleh modernis.7 Oleh sebab itu untuk
memahami pemikiran post-modern diperlukan kajian tentang pemikiran modernis, sebab
pemikiran post-modernis itu “menelan” pemikiran modernis. Konsekuensinya, untuk
mengkaji konsep dan makna agama dalam pemikiran post-modernis perlu menelusur
kembali pandangan pemikir yang post-modern yang dianggap telah menyerang pemikiran
keagamaan modern Barat. Untuk itu akan dipaparkan disini pemikiran filosof post-modern
yang sangat berperan dalam meruntuhkan tradisi keagamaan melalui wacana-wacana
filsafat mereka yang spekulatif itu. Filosof seperti Nietzsche (1884-1900), Wittgenstein
1
2
Akbar S.Ahmed, Postmodernisme and Islam, Routledge, London, 1992.
Ernest Gellner, Postmodernism, Reason and Religion, Routledge, London, 1992.
3
Griffin, David, God and Religion in Postmodern World, Albany, N.Y. State University of
New York Press, 1989.
4
Smith, Huston, Beyond The Post-Modern Mind, Quest Book, The Theosophical
Publishing House, Wheaton, Illinois, USA, 1989.
5
Ernest Gellner, Postmodernism, Reason and Religion, 23.
6
Akbar S.Ahmed, Postmodernisme and Islam, 6.
7
Hugh J.Silverman, “The Philosophy of Postmodernism”, in Hugh J.Silverman (ed)
Postmodernism-Philosophy and the Art, London, Routledge, 1990, 1.
1
2
(1889-1951) dan Heidegger (1889-1976), adalah tokoh penting yang memiliki pandangan
cukup berpengaruh dimasa itu dan karena itu cukup representatif untuk dirujuk
Munculnuya postmodernism
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai pandangan para post-modernis
mengenai agama, perlu disinggung sedikit mengenai munculnya gerakan post-modernisme
di Barat. Post-modernisme hakekatnya istilah yang masih kontorversial. Tonggak sejarah
Barat yang dimulai dari aktifitas seni itu tidak jelas kapan bermula dan dalam bentuk apa.
Ia merupakan proses perubahan dan reformasi yang panjang yang benih-benihnya telah
ada pada zaman modern itu sendiri. Tapi meskipun terjadi perdebatan tentang hal itu,
asumsi yang diteima umum adalah bahwa pertanda bangkitnya post-modernisme adalah
berakhirnya modernitas. Pertanda yang menarik untuk di cermati adalah dalam pemikiran
tentang agama. Perubahan pemikiran keagamaan yang mencolok dari era pra-moden
kepada zaman modern dan post-modern nampak dari beralihnya pendekatan yang bersifat
teistik kepada pendekatan sekuler ateistik. Artinya perubahan konsep Tuhan dari era pramodern kepada era modern dan post-modern di Barat sangat drastis.
Pendekatan yang bersifat teistik pada pemikir Barat, menurut Huston Smith hanya
berjalan hingga abad ke sebelas dan ini ditandai oleh adanya trend pemikiran yang
berkembang dikalangan filosof dan teolog yang memposisikan konsep Tuhan secara
sentral dalam berbagai diskursus.8 Pada abad-abad berikutnya pemikiran Barat yang
kemudian disebut dengan “akal modern” (modern mind), telah membawa angin baru yang
ditandai oleh “cara baru” dalam melihat sesuatu yang menghasilkan kelahiran sains
modern, pada saat itulah pandangan hidup orang Barat telah berubah secara fundamental.9
Diskursus yang meletakkan Tuhan secara sentral hanya terbatas pada para teolog,
sedangkan para filosof lebih tertarik pada sains. Modernisme terus berjalan dan
berkembang pada abad-abad berikutnya. Habermas menyatakan bahwa proyek
modernisasi dan berkulminasi pada abad ke 18, di saat mana model pemikiran rasional
menjajikan liberalisasi masyarakat dari mitologi irrasional, agama dan takhyul.10 Inilah
sebenarya gerakan secular yang berupaya untuk menyuntikkan gagasan desakralisasi ilmu
dan organisasi sosial. Menurut, James E.Crimmins proses desakralisasi, atau dalam istilah
Weber ‘disenchantment’ ini memang sengaja diarahkan untuk melawan agama dan
digambarkan sebagai agen utama untuk menggusur dan menggeser agama tradisional.11
Hasil dari gerakan ini adalah desakralisasi agama itu sendiri dan peminggiran agama dari
8
Smith, Huston, Beyond The Post-Modern Mind, 5.
9
Ibid, 4.
David Harvey, The Condition of Postmodernity, Cambridge, Blackwell, 1991, 12-3.
10
11
James E.Crimmins, (ed) Religions, Secularizatin dan Political Thought, London,
Routledge, 1990, 7.
2
3
fungsinya yang sentral dalam berbagai diskursus. Alain Finkielkraut dalam bukunya The
Defeat of the Mind menggambarkan kondisi agama pada era modern sbb:
What they called God was no longer the Supreme Being, but collective reason……From now on God
existed within human intelligence, not beyond it, guiding people’s action and shaping their thoughts
without their knowing it. Instead of communicating with all creatures, as His namesake did, by means
of the Revelation, God no longer spoke to man in a universal tongue; He now spoke within him, in
the language of his nation. 12
Artinya apa yang disebut Tuhan bukan lagi Zat Yang Maha Kuasa, tapi merupakan
akal kolektif. Artinya Tuhan berada dalam akal manusia itu sendiri, Ia memberi
bimbingan tanpa diketahui oleh manusia sendiri. Sarana komunikasi Tuhan dengan
makhluknya bukan lagi wahyu, Tuhan tidak lagi biacara dalam bahasa universal, Ia
bicara dalam bahasa nasional. Ini berarti bahwa Tuhan tidak diperlukan lagi oleh
manusia, karena manusia telah “merasa” mampu menyelesaikan masalah-masalah dunia
tanpaNya.
Gambaran ini menunjukkan bahwa dengan dihapusnya nila-nilai transcendental,
maka Tuhan telah direduksi menjadi semangat kebangsaan dan kebudayaan. Ini juga
berimplikasi pada pembebasan pemikiran rasional dari agama dan segala macam
kepercayaan yang ada di masyarakat. Pada zaman ini (yakni modern) pemikiran yang
mendiskusikan apakah Tuhan itu ada atau tidak, sebagaimana pada zaman pra-modern
sudah tinggal sedikit, yang ada hanya diskusi yang justru menggugat agama. Meskipun
demikian Alain sendiri percaya bahwa pada abad ke 18 itu masih dapat dianggap abad
metafisika,13 namun fondasi metafisis yang menjadi pembela kebenaran agama perlahanlahan mulai tidak dapat dipertahankan lagi dan tinggal menunggu penghapusan
metafisika pada abad berikutnya.
Abad kesembilan belas adalah era dimana modernitas mulai dipertanyakan oleh
suatu gerakan filsafat yang berpegang pada prinsip yang meragukan bahwa realitas
memiliki struktur yang dapat difami oleh manusia. Ini adalah pengingkaran terhadap
absolutisme dan sekaligus merupakan serangan yang serius terhadap salah satu disiplin
ilmu filsafat yang terpenting, yaitu metafisika obyektif. Munculnya eksistensialisme dan
filsafat analitik, yang merupakan dua gerakan yang sangat dominan pada waktu itu,
merupakan buah ciptaan akal post-modern (postmodern mind). Inilah yang kemudian
menggantikan sistim matifisika. Silverman menyatakan bahwa penutupan jalan pemikiran
metafisika bertepatan dengan berakhirnya era modernisme.14 Sistim yang baru ini disebut
dengan Post-Modernisme, yaitu suatu sistim yang tanpa pemikiran metafisis. Namun
12
Alain Finkielkraut, The Defeat of The Mind, (trans. by Judith Friedlander, New York
Columbia University Press, 1995, 18.
13
Ibid, 19.
14
Hugh J.Silverman, “The Philosophy of Postmodernism”, 5.
3
4
munculnya post-modernisme tidak hanya ditandai oleh penghapusan metafisika obyektif
dengan sistim baru, tapi juga mengesampingkan atau malah meremehkan doktrin
keagamaan yang berdasarkan pada metafisika. Titik perubahan dari metode berfikir
metafisis kepada metode berfikir analitis dapat dirujuk kepada pandangan-pandangan Karl
Marx dan Nietzsche tentang agama.15 Jadi, seperti yang terlah disebutkan diatas, di era
postmodern agama didekati dengan pemikiran yang telah bersifat ateistik. Pandangan para
postmodernis tentang agama tercermin dari doktrin-doktrin mereka tentang nilai.
Konsep nilai post-modernisme
Doktrin yang dipergunakan para pemikir post-modern untuk menggugat agama
adalah konsep mereka tentang nilai. Seperti disebutkan diatas, program post-modernisme
adalah penghapusan nilai (dissolution of value) dan penggusuran tendensi yang
mengagungkan otoritas. Hal ini dilakukan dengan merduksi makna nilai yang dijunjung
tinggi dan dinilai sebagai absolute oleh agama dan masyarakat.16 Doktrin penghapusan
nilai yang terkenal yang di dengungkan pertama kali oleh Nietzsche (1844-1900) adalah
doktrin nihilisme. Dalam karyanya Will to Power Nietzsche menggambarkan nihilisme
sebagai situasi dimana “manusia berputar dari pusat ke arah titik X”, artinya “nilai
tertinggi mengalami devaluasi dengan sendirinya.17 Heidegger (1889-1976) denan nada
yang sama mendefinisikan nihilisme sebagai “suatu proses dimana pada akhirnya tidak
ada lagi yang tersisa”18 Keduanya mempunyai mindset dan kecenderungan yang sama
saja. Dalam pandangan Nietzsche proses nihilisme adalah devaluasi nilai tertinggi, yang
membawa pada kesimpulan doktrin “kematian Tuhan”. Dalam pandangan Heidegger
nihilisme menunjukkan penghapusan Being dengan sedemikian rupa sehingga menjelma
menjadi nilai. Disini realitas tidak lagi difaham dalam bentuk suatu susunan dimana sanga
pencipta berada pada puncak hirarki yang absolut. Keduanya menuju suatu titik dimana
manusia tidak lagi berpegang pada struktur nilai, nilai tidak lagi mempunyai makna. Suatu
konsep tentang apapun tidak lagi berdasarkan pada sesuatu yang metafisis, religious
ataupun mengandung unsur ketuhanan (divine)
Meskipun doktrin yang kemudian dinamakan European nihilism ini mengusung
proyek devaluasi nilai, namun mereka masih menganggap merupakan hal ini sebagai suatu
jala baru dalam menentukan konsep nilai yang berbeda dari kepercayaan dalam agama.
Nilai tidak lagi berkaitan dengan agama dan kepercayaan. Jadi nihilisme, kata Snyder,
15
For detail discussion on this issue see Nancy Love, Marx, Nietzsche, and Modernity,
New York, Columbia University Press, 1986, especially chapter one, 1-7 and chapter
four, 113-134.
16
Gianni Vattimo, The End of Modernity, 167.
17
Nietzsche, F, Will To Power, 8-9.
18
Gianni Vattimo, The End of Modernity, 19.
4
5
berhubungan dengan perubahan kebenaran kedalam nilai, tapi nilai yang telah diwarnai
oleh kepercayaan dan opini manusia.19 Dalam terminologi Nietzsche perubahan
kebenaran menjadi sekedar nilai berbentuk apa yang dia istilahkan “will to power.” Ini
berarti bahwa filsafat nihilism bertujuan untuk mengkaji dan kemudian menghapuskan
segala klaim yang dilontarkan oleh pemikiran metafisika tradisional. Metafisika, dimana
konsep Tuhan merupakan foundasi pemikiran dan nilai dihilangkan atau disingkirkan.
Sebab, seperti yang dinyatakan oleh Nietzsche, ketika metafisika telah mencapai suatu
poin dimana kebenaran telah dianggap seperti Tuhan, sebenarnya itu tidak lebih dari nilainilai yang subyektif yang boleh jadi salah sepertimana kepercayaan dan opini manusia
yang lain. Baginya tidak ada perbedaan antara benar dan salah, keduanya hanyalah
kepercayaan yang salah (delusory) yang keduanya tidak dapat diandalkan. Maka dari itu,
kalau kita menolak kesalahan kita juga harus menolah kebenaran. Membuang yang satu
berarti juga harus membuang yang lain (to do away with one is to do away with other
too).20 Berdasarkan pada doktrin ini maka Nietzsche mendefinisikan metafisika secara
pejoratif sebagai “ilmu yang membahas tentang kesalahan manusia yang fundamental,
seakan-akan semua itu kebenaran yang fundamental”.21 Serangan doktrin nihilisme
terhadap metafisika ini menunjukkan dengan jelas sebagai serangan agama sebagai asas
bagi moralitas
Teori tentang European nihilism dapat dilihat dengan lebih jelas lagi dari apa yang
kini disebut sebagai “the philosophy of difference”, yang dinisbatkan kepada Nietzsche
and Heidegger. Segala perbedaan antara kepalsuan dan kebenaran, rasional dan irrasional
harus di letakkan diluar jangkauan bahasa dan konsep-konsep yang melekat dengannya.
Difference adalah produk dari “will to power” (kehendak untuk berkuasa) yang ada dalam
diri manusia atau kehendak untuk menafsirkan (will to interpret). Ini berarti bahwa segala
sesuatu yang kita hadapi dalam pengalaman kita di dunia tidak kurang dan tidak lebih dari
suatu penafsiran; dan segala sesuatu di dunia ini selalu ditafsiri sesuai dengan nilai-nilai
subyektif dalam diri kita. Karena kecenderungan untuk selalu menafsirkan itulah maka
bagi post-modernis dunia yang dapat diketahui hanyalah dunia yang berbeda-beda atau
dunia interpretasi. The philosophy of difference ini kemudian menjadi salah penghubung
antara nihilisme dan hermenutika (filsafat interpretasi).22
Jadi, singkatnya nihilisme dan filsafat perbedaan (philosophy of difference)
merupakan tanda berkembangnya post-modernisme yang pada perkembangan berikutnya
19
Jon R.Snyder, (trans.) in Gianni Vattimo, The End of Modernity, , xi.
20
Nietzsche, Friedrich, Twilight of the Idol, trans. R.J. Hollingdale (Harmondsworth:
Penguin, 1968), p.41. In his Will To Power, he says that “Truth is the kind of error”, see
Nietzsche, Friedrich, The Will To Power, see section 493.
21
Jon R.Snyder, in Gianni Vattimo, The End of Modernity, xii.
22
Ibid, xiii.
5
6
menjadi penolakan terhadap kebenaran transcendental. Ernest Gellner menyatakan bahwa
atmosfir pemikiran post-modern dapat digambarkan melalui pernyataan bahwa “segala
sesuatu adalah teks, dan materi dasar teks itu yang berupa masyarakat dan bahkan nyaris
segala sesuatu difahami sebagai makna, dan makna itu harus didekonstruksi; pernyataan
tentang realitas obyektif harus dicurigai”.23 Formulasi Gellner adalah tepat sebab dalam
diskursus para pemikir post-modernis dunia ini dianggap sebagai makna. Bahkan segala
sesuatu adalah makna dan makna adalah segala sesuatu, dan hermeneutika adalah
“nabinya”. Dalam kondisi yang seperti ini, Gellner bahkan sampai pada kesimpulan
bahwa post-modernisme cenderung memihak kepada relativisme dan bahkan
menunjukkan peperangan terhadap ide kebenaran yang ekslusif, obyektif dan transenden.
Sebab pikiran post-modern berpegang pada pendapat bahwa kebenaran adalah sesuatu
yang internal dan subyektif sifatnya, sedangkan dunia ini bukan sebagai totalitas dari
sesuatu, tapi sebagai totalitas fakta.
Singkatnya, filsafat post-modern melebur nilai tertinggi, menyingkirkan Tuhan
rujukan segala bentuk nilai sebagai fondasinya. Nilai baru yang diperkenalkan postmodernisme adalah nilai yang memiliki hubungan dengan nilai-nilai lain atau bahkan
saling tukar menukar, karena ia memilki status yang sama dalam wajah yang universal.
Oleh sebab itu bentuk segala macam nilai adalah nilai yang layak untuk saling tukar
menukar antara satu peradaban dengan peradaban lain. Disini lagi-lagi nampak bahwa
metafisika tradisional mulai melebur dan tenggelam.
Masalahnya, jika dalam pandangan post-modernis segala sesuatu direduksi menjadi
nilai yang relative, yang berimplikasi pada adanya kemungkinan penafsiran terhadap
realitas secara tak terbatas, maka disana tidak ada lagi nilai yang diakui dan memiliki
kelebihan dari nilai-nilai lain. Akibatnya setiap orang akan terlibat dalam kerja intepretasi
terhadap setiap aspek wujud yang tiada ada habisnya. Agama tidak lagi berhak mengklaim
punya kuasa lebih terhadap sumber-sumber nilai yang dimiliki manusia seperti yang telah
di formulasikan oleh para filosof. Jadi agama difahami sebagai sama dengan persepsi
manusia sendiri yang tidak mempunyai kebenaran absolute. Oleh sebab itu ia mempunyai
status yang kurang lebih sama dengan filsafat. Jika demikian maka agama dalam
pemikiran post-modern telah digambarkan dalam bentuk dan sifat yang sangat berbeda
dari sebelumnya. Bagaimana sejatinya detail tentang pandangan itu, berikut ini kita akan
paparkan.
Pandangan post-modernis tentang agama
23
Pernyataan aslinya adalah sbb: everything is text, that the basic material of text,
societies and almost anything is meaning, that meaning are there to be decoded or
‘deconstructed’, that the notion of objective reality is suspect. Lihat Ernest Gellner,
Postmodernism, Reason and Religion, 23.
6
7
Dalam urain diatas telah jelaslah bahwa pemikiran Barat tentang agama telah
mengalami perubahan yang menyolok: dari sifatnya the teistik dan kemudian pada eras
modern difahami dengan pendekatan secular dan pada akhirnya pada era post-modern
menjadi ateistik. Pemikiran postmodernis di Barat itu tidak hanya diwarnai oleh sikap
ateistik, tapi juga ditandai oleh kecenderungan dikalangan filosofnya untuk mereduksi
teologi menjadi antropologi,24 yang dengan itu Tuhan orang-orang Kristen digambarkan
sebagai produk dan refleksi dari pikiran manusia yang luar biasa (supernatural human
mind). Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa gambaran Tuhan secara
antropologis berkembang menjadi penjelasan situasi sejarah manusia. Karl Marx,
misalnya, berhujjah bahwa agama itu mengekspressikan penderitaan manusia yang
disebabkan oleh perubahan ekonomi atau pemisahan kehidupan manusia yang egoistis
dalam masyarakat sipil dari kehidupannya sebagai makhluk mansuia dalam masyarakat
politik.25
Nietzsche juga breanggapan bahwa agama adalah ekspresi penderitaan, tapi
penderitaan yang jenisnya berbeda. Manusia menderita karena ia adalah hewan yang sakit
(sickly animal); ia menderita karena internalisasi instinknya sendiri oeh sebab kehidupan
sosialnya. Apa yang membuat manusia menderita adalah eksistensinya yang tidak berarti
itu. Jadi, dari situ mereka berkesimpulan bahwa manusia menderita karena problem
tentang makna dirinya.26 Ide ini menjelaskan bahwa realitas, nilai dan kekuasaan yang
absolute, yakni Tuhan, telah diremehkan dan diganti dengan nilai-nilai kemanusiaan. Oleh
karena itu Alfred North Whitehead mencatat bahwa trend pemikiran baru pada abad ke
dua puluh adalah “jauh dari keimanan” (away of faith).27 Kesimpulan yang sama
digambarkan oleh Akbar, yaitu bahwa kecenderungan pemikiran post-modern adalah
penolakan terhadap agama yang telah mapan.28 Foucoult menggambarkan keadaan era
post-modern dari melalui konsekuensi-konsekuensi loginya:
24
Fuerbach, Ludwig, The Essence of Christianity, George Eliot, tr. New York:Harper and
Row, 1957, xii, xli.
25
Karl Marx, Early Writing, Quinton Hoare, ed.; Gregor Benton and Rodney Livingston,
trs. New York: Random House, 1975, 1:378.
26
As quoted by Nancy S.Love, in Nancy S.Love, Marx, Nietzsche, and Modernity, 124.
27
Huston Smith, Beyond The Post-Modern Mind, 8
28
Akbar S.Ahmed, Postmodernisme and Islam, 27.
7
8
Most of us no longer believe that ethic is founded in religion, nor do we want a legal system
to intervene in our moral, personal, private life. Recent liberation movements suffer from the
fact that they cannot find any principle on which to base the elaboration of a new ethic. They
need an ethic, but they cannot find any other ethic than an ethic founded on so-called
scientific knowledge of what the self is, what desire is, what the unconscious is and so on.29
Artinya, kebanyakan kita tidak lagi percaya bahwa etika itu berdasarkan pada agama, kita
juga tidak ingin jika suatu sistim hukum mengintervensi kehidupan moral, pribadi, dan privat.
Gerakan liberalisasi yang terjadi akhir-akhir ini disebabkan oleh suatu kenyataan bahwa mereka
tidak dapat menemukan prinsip apapun untuk mengelaborasi prinsip etika baru. Mereka
membutuhkan etika, tapi mereka tidak dapat menemukan etika yang lain kecuali etika yang
didasarkan pada apa yang disebut dengan pengetahuan ilmiyah tentang
apa itu diri, apa itu
keinginan, apa itu kesadaran dan lain-lain.
Jadi gambaran yang menonjol tentang agama dalam pandangan post-modernis
adalah agama yang telah diputuskan dari status terdahulunya sebagai sumber nilai dan
kebenaran bagi manusia. Pendekatannya sekarang telah berubah menjadi konsep akal yang
dipisahkan dari konsep kepercayaan atau konsep Tuhan dan karena itu ia menjadi eteistik.
Pendekatan ini akan menggoyang konsep kepercayaan, keberagamaan, dan kebenaran
yang selama ini dipegang oleh masyarakat beragama.
Sebenarnya, pendekatan yang eteistik terhadap agama itu disebebakan oleh kegagalan
para pemikir post-modern dalam memahami konsep Tuhan. Pernyataan Nietzsche tentang
“kematian Tuhan” yang lebih merupakan pernyataan filosofis ketimbang teologis, merupakan
bukti yang jelas tentang kegagalan itu. Dalam bukunya Beyond Good and Evil Nietzsche
mengkiritik konsep Tuhan (para teolog) yang kabur itu bertanggung jawab terhadap theisme di
Eropah. Baginya, God dalam Kristen tidak dapat mendengar, dan jikapun Ia dapat Ia tidak tahu
bagaimana untuk menolong. Tuhan juga tidak dapat menjadikan dirinya mudah dimengerti dan
Ia sendiri juga kabur tentang diriNya dan tentang apa yang Ia maksud.30 Tapi anehnya, karena
ia tidak dapat memahami Tuhan maka ia menformulasikan konsepnya sendiri tentang Tuhan
berdasarkan pada persepsinya sendiri. Menurutnya Tuhan adalah persepsi manusia tentang
sesuatu yang kuat dan agung dalam dirinya. Ia mengatakan:
…religion is the product of a doubt concerning the unity of person, an alteration of the personality: in
so far as everything great and strong in man has been conceived as superhuman and external, man has
belittled himself – he has separated the two side of himself, one very paltry and weak, one very
strong and astonishing into two sphere, and called the former ‘man’, the latter ‘God’. 31
P.Rabinow, Harmonsworth, ed. “The Foucoult Reader”, Penguin, 1984, as quoted by
David Owen, in Maturity and Modernity, London, Routledge, 1994, 200.
30
Nietzsche, Friedrich, Beyond Good and Evil, trans. by R.J.Hollingdale, London, Penguin
Classic, 1972, 62.
31
Nietzche, Friedrich, The Will To Power, 86-87.
29
8
9
Artinya, agama adalah hasil dari suatu keraguan tentang kesatuan seseorang,
perubahan kepribadian: segala sesuatu yang dianggap agung dan kuat oleh manusia telah
difahami sebagai manusia super (superhuman) yang berada diluar dirinya, manusia telah
merendahkan dirinya – ia telah memisahkan dua sisi yang ada dalam dirinya menjadi dua
bidang, yang satu reme dan lemah, yang lain sangat kuat dan mengagumkan. Yang pertama
disebut manusia dan yang kedua disebut “Tuhan”.
Pernyataan diatas sangat jelas menggambarkan cara pandangnya yang sangat ateistik, dan
menunjukkan bahwa Nietzsche tidak percaya bahwa Tuhan itu ada, riel dan berada diluar diri
manusia, sebab bagi dia Tuhan hanyalah persepsi manusia tentang sesuatu yang kuat. Mengenai
ajaran agama Kristen, seperti yang dia tulis dalam karyanya Will to Power, ia menyatakan
“keseluruhan ajaran Kristen yang harus diyakini itu dan juga keseluruhan “kebenaran” Kristen
itu sebenarnya adalah kepalsuan dan penipuan yang tak berarti: dan ini persis kebalikan dari apa
yang menjadi inspirasi gerakan Kristen pada permulaannya. Pandangan hidup Kristen kurang
lebih sama dengan fantasi pada pandangan hidup Buddha: ia adalah jalan menuju kebahagiaan.32
Nampaknya, Nietzsche mencurahkan rasa frustrasinya terhadap agama sehingga ide-ide
yang dikemukakannya tidak jauh dari apa yang dirasakannya. Hal ini terbukti ketika ia
menyatakan bahwa :”Agama Kristen masih dapat diterima kapan saja, tapi ia tidak semestiya
bergantung kepada dogma, tidak memerlukan dokrtin tentang Tuhan yang personal dan juga
doktrin tentang Tuha yang azali, tidak pula memerlukan doktrin pengampunan, doktrin
keimanan dan sama sekali tidak memerlukan metafisika 33 Barangkali agama yang diinginkan
Nietzsche adalah agama dalam bentuk pandangan hidup dan bukan sistim kepercayaan dengan
konsep-konsep yang diberikan dalam bentuk doktrin. Yaitu agama yang memberitahu manusia
bagaimana melakukan sesuatu dan bukan apa yang harus dipercayai. Dan apa yang harus
dilakukan hanya terkait dengan masalah-masalah dunia ketimbang masalah-masalah kehidupan
di akherat.
Seperti Nietzsche, penolakan Heidegger terhadap Tuhan yang metafisis sejalan dengan
persepsinya tentang Tuhan secara non-metafisis. Baginya akhir dari pemikiran teologis adalah
berhentik berfikir tentang Tuhan sebagai cause sui, yaitu Tuhan yang dianggap sebagai kekuatan
penyebab yang mencipta dan menjaga alam kosmos, dan sebagai gantinya adalah Tuhan yang
manusia dapat menari dan melutut didepanNya. Inilah yang ia sebut Tuhan yang sebenarnya
(Truly Divine God).34 Pandangan Tuhan Heidegger yang metafisis dan non-metafisis sejalan
dengan pandangan Witgenstein. Ia mengaku bahwa ia memahami konsep Tuhan sejauh hal itu
“The Christian way of life is no more a fantasy than the Buddhist way of life: it is a means to being
happy “ Ibid, 98.
33
“Christianity is still possible at any time”, but it does not necessarily rely on dogma, require neither
the doctrine of personal God nor that of immortality, nor that of redemption, nor that of faith and it has
absolutely no need of metaphysics. Ibid, 124-125.
34
John D.Caputo, “Heidegger and Theology”, in Charles B.Guignon ed. The Cambridge
Companion to Heiddeger, (Cambridge, Cambridge University Press, 1993), 285
32
9
10
menyangkut kesadaran individu tentang dosa dan kesalahan pribadinya, tapi ia tidak memahami
konsep Tuhan sebagai Pencipta.35 Sebagai seorang filosof Witgenstein tentu tahu apa
konsekuensi filosofisnya memahami Tuhan sebagai pencipta, penjaga dan penyebab terjadinya
alam semesta ini. Penolakan konsep Tuhan Tuhan sebagai pencipta telah ada sejak zaman
Aristotle dan pengikut Aristotle dikalangan Muslim. Sebab jika Tuhan difahami sedemikian itu
akan mengakibatkan rusaknya sistim filsafat mereka.
Dalam bukunya Notebooks terbit tahun 1916 Witgenstein mengatakan bahwa berbicara
tentang dunia adalah bicara tentang maknanya, dan berdoa adalah berfikir tentang arti
kehidupan; dan beriman kepada Tuhan sama dengan melihat bahwa hidup ini mempunyai suatu
makna. Sebab Tuhan tidak tidak menampakkan diriNya di dunia ini. 36 Disini jelas sekali
Witgenstein ingin mengganti keimanan kepada Tuhan dengan makna kehidupan, dan berdoa
diganti dengan berfikir tentang makna kehidupan. Dia tidak menjelaskan makna dan esensi
berdoa dalam kegiatan keagamaan, khususnya makna berfikir itu sendiri dalam kegiatan
beragama.
Dalam karyanya yang diberi judul Lecture and Conversation ia mengatakan bahwa ketika
pemikiran tentang kehidupan manusia ditemui dalam peribadatan dalam bentuk pujian dan
pujaan, ia tidak mengarah atau merujuk kepada Tuhan, ia sekedar ibadah (worship) kepada
Tuhan.37 Yang janggal disini adalah bahwa disatu sisi ia mengakui kegiatan ritual dalam agama
dan disisi lain ia menolak Tuhan yang menjadi obyek yang menjadi tujuan dari kegiatan itu.
Menerima agama dan melaksanakan peribadatan tanpa percaya akan adanya Tuhan, adalah tidak
masuk akal. Yang nampak janggal dalam pemikiran Wittgenstein dan Nietzsche adalah
penolakan mereka terhadap konsep bahwa agama itu bergantung kepada asas metafisika, tapi
ketika mereka mengaplikasikan penolakan ini dalam kehidupan beragama ataupun dalam hal-hal
yang non-metafisis argumentasi mereka tidak dapat dipertahankan.
Cara-cara pemikir post-modernis memahami Tuhan dan agama membawa berbagai
konsekuensi. Artinya jika agama difahami seperti itu maka religiusitas akan dimaknai selaras
dengan pemahaman itu. Bagi Witgenstein religiusitas bukan sifat yang diambil dari kegiatan
ritual keagamaan yang biasanya ditandai oleh banyaknya doa, tapi diandai oleh kegiatan social,
seperti misalnya menolong orang lain:
But remember that Christianity is not a matter saying a lot of prayers; in fact we are told not to do
that. If you and I are to live religious lives, it mustn’t be that we talk a lot about religion, but that our
Engelmann, Paul, “Letter from Ludwig Wittgenstein with a Memoir”, ed.
B.F.McGuinness, tr.Lfurtmuller, Oxford, Blackwell, 77. Cf. Norman Malcolm,
Wittgenstein: A Religious Point of View, ed. Peter Winch, Ithaca, Cornell University
Press, 1994, 9.
36
L.Wittgenstein, “Notebooks 1914-1916” , 2nd edn, ed. G.H.von Wright and G.E.
M.Anscombe, tr. G.E. M.Anscombe, Oxford, Blackwell, 1979, 74, as quoted by
Norman Malcolm, Wittgenstein: A Religious Point of View, 10.
37
L. Wittgenstein, Lecture and Conversation on Aesthetics, Psychology and Religious
Belief, ed. C.Barret, (Oxford, Blackwell, 1966), 56.
35
10
11
manner of life is different. It is my belief that only if you try to be helpful to other people will you in the end
of your way to God.38
Konsep keberagamaan Witgenstein secara kebetulan sama dengan pengertian Nietzsche
tentang agama. Jika bagi Witgenstein menganggap keberagamaan merujuk kepada kegiatan
social dan bukan ritual, Nietzsche menyatakan bahwa agama tidak semestinya berdasarkan pada
keimanan, dogma atau kepercayaan pada Tuhan yang personal. Tapi, dalam pendapat ini tidak
dijelaskan apa yang menjadi asas bagi kegiatan social itu. Jika kegiatan social hanya
berdasarkan ketentuan manusia dan tidak berhubungan dengan keseluruhan konsep agama, ia
tidak lagi dapat disebut religius, sebab agama dan Tuhan tidak ada kaitannya dengan kegiatan
itu. Jika menjadi sosial dimaksudkan sebagai ciri dari keberagamaan maka secara koseptual
harus berdasarkan pada perintah agama itu. Perintah dalam agama mengharuskan adanya konsep
keimanan kepada Tuhan. Disini problematiknya konsep Wittgenstein, sebab ia sendiri memiliki
keyakian bahwa bukti filosofis tentang eksistensi Tuhan tidak dapat membawa seseorang
kepada keimanan kepadaNya. Meskipun seseorang itu dapat membuktikan eksistensi Tuhan
dalam analisa ilmiyah ia sendiri tidak akan pernah percaya dengan pembuktian itu. Sebab,
kilahnya, seseorang hanya dapat meyakinkan orang lain tentang eksitensi Tuhan melalui proses
pendidikan, dengan mengarahkan kehidupannya dengan jalan pengamalan.39 Selain itu
pernyataan ini mengindikasikan bahwa Wittgenstein melihat religiusitas dari kuantitas kerja,
tapi masalahnya karena kerja-kerja itu dipisahkan dari konsep dan kepercayaan, maka ia tidak
lagi menjadi bagian dari konsep keimanan.
Sejalan dengan konsepnya tentang pemisahan aktifitas social dari agama, ia
mempredikasi bahwa dimasa depan kehidupan keagamaan tidak akan bergantung kepada gereja
lagi dan pendeta. Maka dari itu nanti harus hidup nyaman tanpa terikat dengan gereja.40 Disini
sudah mulai dapat dibaca bahwa ia mulai menolak otoritas keagamaan. Suatu semangat postmodern yang berakar pada doktrin nihilisme. Penyataan Snyder diatas bahwa kebenaran agama
melebur menjadi nilai yang muncul dalam bentuk kepercayaan manusia dan opini kini telah
terbukti. Tapi pandangan ini ditentang oleh Dupre, segala upaya rasional untuk mengukuhkan
atau menggoyakan kebenaran agama pada akhirnya akan membawa distorsi terhadap kebenaran
itu sendiri.41 Sekarang marilah kita lihat bagaimana pandangan post-modernis tentang
kebenaran agama.
Dalam karyanya Will to Power Nietzsche menyatakan bahwa kebenaran dalam pengertian
lama adalah benar hanya karena didukung oleh sistim moralitas lama, oleh karena itu kita saat ini
tidak lagi memerlukan kebenaran yang berlaku dimasa lalu. Kebenaran itu bergantung kepada
38
Norman Malcolm, Wittgenstein: A Religious Point of View, 11.
Wittgenstein’s Vermischte Bemerkungen, pp.85-6, as quoted by Norman Malcolm,
Wittgenstein: A Religious Point of View, 19
40
Rush Rhees (ed) “Ludwig Wittgenstein’s Personal Collections”, p.129, as quoted by
Norman Malcolm, Wittgenstein: A Religious Point of View, 20.
41
Louis Dupre, “Truth in Religion and Truth of Religion” in Daniel Guerriere (ed),
Phenomenology of the Truth Proper to Religion, New York, SUNY, 1990, 19, 28.
39
11
12
moral dan moral adalah nilai luhur yang ditetapkan oleh adanya dekadensi. Oleh sebab itu, ia
menyimpulkan, kita harus menghapuskan nilai-nilai luhur itu dan kemudian moralitas itu sendiri.
Sebagai pengganti dari nilai-nilai metafisis dan religius ia memperkenalkan ia namakan nilai alami
“naturalistic value”, yang dikukuhkan oleh “presupposisi tentang apa dan seperti apa seharusnya
nilai itu kita kenal”.42
Pernyataan ini jelas sekali tidah hanya menunjukkan doktrin nihilismenya, tapi juga
usahanya untuk meleburkan kebenaran agama kealam nilai atau mengganti kebenaran agama
dengan kebenaran filosofis. Ia ingin mengganti kualitas ontologis dan moral dari kebenaran itu
dengan kualitas yang melulu kognitif.
Pandangan ini cukup dominan dikalangan filosof post-modernis sehingga banyak yang
pesimis dengan prospek kebenaran agama. Untuk menghindarkan masalah yang akan terjadi maka
mereka terpaksa mencari dukungan dari pengetahuan empiris dan memperkenalkan suatu teori baru
tentang kebenaran yang disebut teori bahasa (linguistic theory). Reputasi Witgenstein dalam teori
ini sangat menonjol melalui karyanya Philsophical Investigation. Akan tetapi karena teori bahasa
ini hanya membenarkan suatu diskursus dalam lingkup kebahasaan saja dan terlepas dari wacana
lain, maka teori-teori itu mesti dikaitkan dengan apa yang secara tradisional difahami sebagai
kebenaran agama. Untuk itu diperlulkan beberapa syarat. Diantaranya adalah bahwa teori-teori itu
harus koheren, bukan hanya dalam dirinya tapi juga dengan teori lain. Intepretasi pengalaman
hendaklah sejalan atau tidak bertentangan dengan sistim interpretasi yang lebih tinggi yang
dibangun dari kebenaran agama. Disini para filosof itu menghadapi masalah, sebab kebanaran
agama dan filsafat bagi mereka tidak dapat disatukan. Disatu sisi, agama tidak dapat menjustifikasi
kebenaran filsafat dan disisi lain filsafat menolak untuk menerima kebenaran agama. Disini agama
ditantang untuk berkongsi dalam beberapa asumsi dasarnya dengan area kebenaran yang lain. Jika
tidak maka istilah kebenaran didalamnya tidak akan dapat dipertahankan lagi.
Untuk memenuhi tangan itu para filosof terpaksa kembali kepada wacana kebenaran
ontologis. Karena itu Heiddeer berusaha untuk menformulasikan teori kebenaran agama yang
memprioritaskan kebenaran ontologis dari kebenaran epistemis. Ia menganggap bahwa kebenaran
yang diambil dari pemahaman terhadap sesuatu, meskipun itu benar, tidak lebih penting daripada
sikap “keterbukaan” (openness) atau pretensi (pretense) yang berkaitan dengan eksistensi kita.
Berdasarkan hal inilah kita dapat membuat keputusan penting yang menentukan kemurnian
hubungan kita dengan orang lain. Jadi, kebenaran tidak mempunyai tempat dalam proposisi, tapi ia
ada dalam pengungkapan (disclosure) yang diwarai oleh sikap keterbukaan.43 Artinya esensi
kebenaran tidak berfokus pada subyek tapi pada sikap terbuka yang pada giliranya akan muncul
sesuatu apa yag disebut Being. Dengan teori ini diarahkan untuk mendekati esensi kebenaran agama
dan dianggap berasal dari agama itu sendiri. Namun karena teori ini bergantung kepada pandangan
agama yang tradisional, filsafat tidak akan menerimanya. Seakan akan teori pengungkapan ini
42
43
Nietzsche, Will to Power, 249-255.
Martin Heidegger, “On The Essence of Truth” trans. John Sallis, in Basic Writings,
ed.David F.Krell (New York: Harper & Row, 1976) 129-33. See also in Magda King,
Heidegger’s Philosophy, New York, The Macmillan Company, 1964, 148-49. Cf. Ernst
Tugendhat, “Heiddeger’s Idea of Truth”, in Christopher Macann (ed), Martin Heidegger,
vol.III:Language, London, Routledge, , 1992, 80.
12
13
(disclosure theory) menungu kedatangan atau perkembangan filsafat hermenutika, yang
berupaya untuk memberi justifikasi dengan suatu analisa yang cermat tentang model
pemahaman (cognition) tanpa dibatasi oleh syarat-syarat epistemologis dari sains positif.
Menyimpulkan kondisi ini Huston Smith menyatakan bahwa dalam pemikiran post-modern
tidak ada kebenaran dalam realitas, bahkan para post-modernis ragu apakah kebenaran itu
mempunyai arti.44 Dari pembahasan diatas dan juga kesimpulan Smith dapat dinyatakan bahwa
makna kebenaran dalam pemikiran post-modern itu problematik, karena itu ia memerlukan suatu
evaluasi dan perubahan sebab kebenaran tidak lagi dianggap absolute.
Kesimpulan
Poin yang perlu dicatat disini adalah bahwa post-modernism membangun suatu “teologi”
berdasarkan pada asasnya sendiri, meskipun tidak disebut teologi. Dalam “teologi” ini Tuhan
dimasukkan kedalam sistim penjelasan rasional yang tertutup (closed system of rational
explanation), seperti yang terdapat dalam pemikiran modern. Karena akal manusia tidak dapat
memahami hakekat Tuhan, pikiran post-modern merobohkan jalan berfikir matafisis. Akibatnya,
post-modernis memahami agama dengan cara yang sangat berbeda dari dan bertentangan dengan
kepercayaan yang dianut para teolog. Konsep-konsep mereka tentang Tuhan, religiusitas dan
kebenaran agama tidak sesuai lagi
doktrin-doktrin keagamaan. Sebenarnya, seperti hal
modernisme, postmodernisme dihadapkan secara vis a vis dengan agama dalam bentuk yang
antagonistis dan bahkan bentuk pertarungan. Kemenangan bukan pada keduanya, namun yang
bertanggung jawab dalam hal ini adalah keduanya. Filsafat post-modern gagal memahami konsep
agama tentang Tuhan, tentang kebenaran dan tentang aktifitas keagamaan. Agama, dalam hal in
Kristen, tidak dapat menunjukkan dirinya dalam bentuk penjelasan rasional yang terbuka sehingga
dapat dipertahankan dari serangan filsafat apapun. David Harvey menunjukkan bahwa karena akal
dalam pikiran postmodern dimaknai tanpa tujuan spiritual dan moral, maka krisi yang terjadi pada
zaman ini disebabkan oleh absennya kebenaran Tuhan. Oleh sebab itu, katanya, proyek teologis
post-modernisme adalah menegaskan kemabli kebenaran Tuhan tanpa meninggalkan kekuatan
akal.45 Jadi rekonsiliasi antara teori kebenaran para teolog dan para filosof adalah tugas yang perlu
dikerjakan agar terhindar dari malapetaka.
44
45
Huston Smith, Beyond The Post-modern Mind, 233.
David Harvey, The Condition of Postmodernity, 41.
13
14
Bibliography
2.
3.
4.
5.
6.
7.
1. Akbar S.Ahmed, Postmodernisme and Islam, Routledge, London, 1992.
Alain Finkielkraut, The Defeat of The Mind, (trans. by Judith Friedlander, New York
Columbia University Press, 1995.
Christopher Macann (ed), Martin Heidegger, vol.III:Language, London, Routledge, 1992.
Daniel Guerriere (ed), Phenomenology of the Truth Proper to Religion, New York, SUNY,
1990.
David F.Krell (ed), Basic Writings, ed. New York: Harper & Row, 1976.
David Harvey, The Condition of Postmodernity, Cambridge, Blackwell, 1991.
Norman Malcolm, Wittgenstein: A Religious Point of View, ed. Peter Winch, Ithaca, Cornell
University Press, 1994.
8.
Ernest Gellner, Postmodernism, Reason and Religion, Routledge, London, 1992.
9.
Fuerbach, Ludwig, The Essence of Christianity, George Eliot, tr. New York:Harper and Row,
1957.
10. Hugh J.Silverman, “The Philosophy of Postmodernism”, in Hugh J.Silverman (ed)
Postmodernism-Philosophy and the Art, London, Routledge, 1990.
11. James E.Crimmins, (ed) Religions, Secularizatin dan Political Thought, London,
Routledge, 1990.
12. Charles B.Guignon ed. The Cambridge Companion to Heiddeger, Cambridge, Cambridge
University Press, 1993.
13. Karl Marx, Early Writing, Quinton Hoare, ed.; Gregor Benton and Rodney Livingston, trs.
New York: Random House, 1975.
14. L. Wittgenstein, Lecture and Conversation on Aesthetics, Psychology and Religious Belief,
ed. C.Barret, Oxford, Blackwell, 1966.
15. L.Wittgenstein, “Notebooks 1914-1916” , 2nd edn, ed. G.H.von Wright and G.E.
M.Anscombe, tr. G.E. M.Anscombe, Oxford, Blackwell, 1979.
16. Norman Malcolm, Wittgenstein: A Religious Point of View, Ithaca, Cornell University
Press, 1993.
17.
Magda King, Heidegger’s Philosophy, New York, The Macmillan Company, 1964.
18. Nietzsche, Friedrich, Beyond Good and Evil, trans. by R.J.Hollingdale, London, Penguin
Classic, 1972.
19. Nietzsche, Friedrich, Twilight of the Idol, trans. R.J. Hollingdale, Harmondsworth:
Penguin, 1968.
20. David Owen, in Maturity and Modernity, London, Routledge, 1994.
21. Smith, Huston, Beyond The Post-Modern Mind, Quest Book, The Theosophical Publishing
House, Wheaton, Illinois, USA, 1989.
14
Download