1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pajak alat regulasi merupakan sumber pembiayaan negara (budgeter) dan (reguleren) dalam melaksanakan kebijakan-kebijakan pemerintah. Sebagai sumber pembiayaan negara, target penerimaan pajak setiap tahun mengalami peningkatan secara signifikan, hal ini dapat dilihat dari struktur penerimaan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pada tahun 2005 sampai tahun 2010 pajak memberi kontribusi ± 71% setiap tahun dari total pendapatan negara dan hibah. Persentase ini kemungkinan masih terus meningkat, karena pajak merupakan sumber penerimaan negara yang potensial dibanding sumber penerimaan lainnya. Penerimaan pajak dari tahun 2005 – 2010 serta perbandingan penerimaan pajak dengan pendapatan negara dan hibah serta penerimaan dalam negeri dapat dilihat dalam Tabel 1.1. Selain target penerimaan yang cukup besar, fenomena yang dihadapi oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) saat ini adalah, (1) menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat sebagai akibat adanya beberapa kasus yang melibatkan oknum pegawai Direktorat Jenderal Pajak, (2) masih rendahnya tingkat kepatuhan Wajib Pajak, dan (3) rendahnya tingkat produktivitas pegawai. (DJP, Siaran Pers, 11 Oktober 2010). 2 Tabel 1.1 Penerimaan Pajak Terhadap APBN & Penerimaan Dalam Negeri Periode 2005-2010 (Dalam triliun) Tahun Pendapatan Penerimaan Penerimaan Penerimaan Penerimaan Negara dan dalam perpajakan pajak pajak Hibah negeri terhadap terhadap APBN APBN penerimaan dalam negeri 2005 495,224 493,919 347,031 70 % 70 % 2006 637,987 636,153 409,203 64 % 64 % 2007 707,806 706,108 490,987 69 % 69 % 2008 981,609 979,305 658,701 67 % 67 % 2009 872,632 871,640 652,122 75 % 75 % 2010 911,475 910,054 729,165 80 % 80 % Sumber: Data Pokok Nota Keuangan 2005 – 2010 (data diolah) Catatan : Tahun 2009 menggunakan angka RAPBN-RP dan tahun 2010 RAPBN Fenomena lain adalah hasil perbandingan antara jumlah penerimaan pajak dibandingkan dengan Produk Domestik Bruto (tax ratio) pada tahun 2010 juga dianggap rendah. Pada tahun 2010 tax ratio Indonesia sekitar 13%, angka ini masih dibawah angka rata-rata internasional yaitu sebesar 20%. Data Direktorat Jenderal Pajak juga menunjukkan Jumlah Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan (SPT PPh) yang dilaporkan hingga akhir tahun 2010 mencapai 8,5 juta (untuk Wajib Pajak pribadi) dan 0,466 juta (untuk Wajib Pajak badan usaha). Jumlah penduduk Indonesia yang menjadi dasar perhitungan adalah 240 juta jiwa dan 22,6 juta unit perusahaan. Dari jumlah penduduk tersebut, ada 110 juta jiwa yang bekerja aktif dan 12,9 juta perusahaan yang masih berjalan. Dengan demikian rasio antara jumlah SPT yang diserahkan terhadap jumlah penduduk saat ini mencapai 3,5 persen untuk Wajib Pajak orang pribadi. Untuk Wajib Pajak badan 2,1 persen. Itu jauh lebih rendah dibanding Jepang yang mampu 30 persen tax coverage-nya. 3 Tax coverage adalah alat ukur tingkat kepatuhan pajak yang ditandai dengan pengembalian surat pemberitahuan (SPT) pajak. Tingkat kepatuhan yang tinggi adalah sampai 40 persen terhadap jumlah penduduk. Namun, untuk Indonesia, mencapai 20 persen saja sudah sangat tinggi. Itu disebabkan tingkat kepatuhan yang ada saat ini masih rendah, yakni 7,73 persen. Data Ditjen Pajak juga menunjukkan, piutang pajak hingga saat ini mencapai Rp 54 triliun. Ini sulit dihimpun kembali ke kas negara karena kelemahan data. (kuliahviablog.wordpress.com, tanggal 25 November 2011) Dalam rangka memenuhi target penerimaan pemerintah yang cukup besar serta mengurangi masalah yang dihadapi oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP), pemerintah telah melakukan berbagai usaha. Salah satu usaha yang dilakukan oleh pemerintah adalah melalui reformasi perpajakan baik dalam reformasi peraturan perundangundangan perpajakan maupun dalam reformasi administrasinya. Sasaran reformasi administrasi perpajakan adalah mengubah pola pikir dan perilaku aparat, struktur organisasi, proses bisnis, teknologi komunikasi dan informasi, serta sarana dan prasarana. Reformasi perpajakan saat ini memasuki reformasi perpajakan jilid dua. Reformasi perpajakan jilid satu yang telah dilaksanakan meliputi tiga kegiatan utama, yaitu: modernisasi administrasi perpajakan, reformasi kebijakan serta intensifikasi dan ekstensifikasi. Reformasi jilid satu tersebut telah memberikan banyak manfaat bagi Wajib Pajak, antara lain pemberian pelayanan yang lebih baik, terpadu dan personal dengan 4 konsep One Stop Service, pelayanan oleh petugas Account Representative (AR), pemanfaatan Informasi Teknologi (IT) dalam layanan e-filing, e-SPT, e-registration dan pembentukan call center untuk pelayanan informasi dan pengaduan. Selain itu, rasa keadilan juga dirasakan Wajib Pajak melalui tindakan penegakan hukum seperti pemeriksaan, penagihan dan penyidikan yang lebih transparan dan profesional serta penerapan dan penegakan good governance di semua lini. Reformasi perpajakan jilid dua direncanakan berjalan dari tahun 2009 sampai tahun 2013 dan merupakan lanjutan serta penyempurnaan reformasi perpajakan jilid satu. Fokus utama pada dua hal, yaitu : Sistem dan Manajemen Sumber Daya Manusia (SDM) dan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Program yang dilakukan untuk mendukung fokus utama ini adalah Project for Indonesia Tax Administration Reform (PINTAR) yang mengadopsi “best practice” sistem administrasi perpajakan di dunia, baik dalam aspek pelayanan perpajakan maupun pengawasan kepatuhan yang bertujuan meningkatkan kepatuhan sukarela Wajib Pajak. (DJP, siaran pers 22 Juni 2009) Dalam rangka meningkatkan penerimaan daerah yang bersumber dari pungutan pajak dan retribusi daerah, pemerintah telah melakukan penyempurnaan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan retribusi daerah. Penyempurnaan ini untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah serta membangun hubungan keuangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang lebih ideal. antara 5 Kebijakan perpajakan dan retribusi daerah juga diarahkan untuk lebih memberikan kepastian hukum, penguatan local taxing power, peningkatan efektivitas pengawasan dan perbaikan pengelolaan pendapatan pajak dan retribusi daerah. Kebijakan terakhir dalam Undangundang pajak dan retribusi daerah ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) yang mulai berlaku secara efektif sejak tanggal 1 Januari 2010. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 ini merupakan ketentuanketentuan pokok yang memberikan pedoman kebijaksanaan dan arahan bagi daerah dalam pelaksanaan pemungutan pajak dan retribusi. Selain itu, UU PDRD juga sekaligus menetapkan pengaturan untuk menjamin penerapan prosedur umum perpajakan daerah dan retribusi daerah serta mengatur hak dan kewajiban Wajib Pajak (tax payer) dan petugas pajak (tax authority). Sistem pemungutan pajak daerah di Indonesia, yaitu self assessment system dan official assesment system. Self assessment system, yaitu sistem yang memberi kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan jumlah pajak terutang. Official assesment system, yaitu sistem yang memberi kewenangan pemerintah untuk menentukan besarnya pajak yang terutang. James and Alley (2004) meyakini self assessment system lebih baik dari sistem perhitungan oleh pihak administrator pajak (official assesment system). Oleh sebab itu, banyak negara maju dan berkembang mengubah sistem pemungutan pajaknya dari official assement menjadi 6 self assessment. Self assessment dianggap dapat meningkatkan penerimaan pajak dan efesien dalam penggunaan sumber daya manusia. Tetapi self assessment system yang menggeser perhitungan pajak dari petugas pajak ke Wajib Pajak, membuat Wajib Pajak harus mengetahui peraturan perpajakan yang sering mengalami perubahan. Kepatuhan sukarela Wajib Pajak sangat diharapkan dalam sistem self assessment. Sampai akhir tahun 2011, hotel yang ada di Kota Makassar sebanyak 188 (seratus delapan puluh delapan). Hotel yang menggunakan self assesment system sebanyak 33 (tiga puluh tiga) hotel dan yang menggunakan official assesment system sebanyak 155 (seratus lima puluh lima) hotel (Sumber : Dispenda Kota Makassar, 2011). Pemilihan sistem pemungutan pajak yang digunakan oleh Wajib Pajak Hotel yang berada dalam wilayah Kota Makassar dimungkinkan karena UU PDRD Pasal 96 ayat 2, serta Pasal 83 dan Pasal 84 Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2010 Kota Makassar mengatur bahwa setiap Wajib Pajak wajib membayar Pajak yang terutang berdasarkan surat ketetapan pajak (official assesment system) atau dibayar sendiri oleh Wajib Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan (self assesment system). Pemilihan sistem pemungutan pajak self assesment system dan official assesment system dalam sistem pemungutan pajak hotel oleh Wajib Pajak Hotel cukup menarik untuk diteliti khusunya dalam perilaku Wajib Pajak Hotel yang memilih menggunakan sistem pemungutan pajak tersebut. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Beck dan Ajzen 7 (1991) dalam Ajzen (1991), Bobek & Hatfield (2003), Mustikasari (2007), Chau dan Leung (2009), Hidayat dan Nugroho (2010), Palil (2010) dan Barbuta (2011) meneliti Wajib Pajak yang menggunakan self assesment system dalam memenuhi kewajiban pajak yang dipungut oleh negara/pusat. Pengusaha dibidang perhotelan bukan hanya memiliki kewajiban perpajakan yang terkait dengan Pajak Daerah (Pajak Hotel, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan/BPHTB, Pajak Bumi dan Bangunan/PBB dan pajak daerah lainnya) tetapi juga kewajiban yang terkait dengan Pajak Pusat (Pajak Penghasilan/PPh, Pajak Pertambahan Nilai/PPN dan Bea Materai). Menurut UU No 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Penjualan ats Barang Mewah (PPN dan PPn BM) pasal 4 A, usaha jasa di bidang perhotelan bukan termasuk jasa yang dikenakan PPN namun terkena Pajak Daerah atas jasa pelayanan yang diberikan kepada tamu hotel atas penggunaan fasilitas hotel. Jika hotel menyediakan fasilitas hotel dan hiburan yang diperuntukkan bukan untuk tamu hotel atau hotel menyewakan tempat untuk toko, bank, kantor, salon dan lain sebagainya yang ditawarkan kepada khalayak umum di hotel maka hotel tersebut harus memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas kegiatan tersebut. Anggaran dan realisasi penerimaan pajak hotel Kota Makassar dari tahun 2007 sampai tahun 2010 selalu mengalami peningkatan. Tetapi kenaikan anggaran dan realisasi penerimaan pajak hotel tersebut tidak selalu diikuti dengan prosentase pencapaian realisasinya. Tahun 2007 8 hanya tercapai sebesar 91,33% dari anggaran. Tahun 2008 realisasi sebesar 102,62%, tetapi tahun 2009 dan tahun 2010 mengalami lagi penurunan. Jumlah anggaran dan realisasi dari tahun 2007 sampai tahun 2010 penerimaan pajak hotel pemerintah daerah Kota Makassar secara lengkap dapat dilihat dalam tabel 1.2 sebagai berikut: Tabel 1.2 Anggaran dan Realisasi Pajak Hotel Kota Makassar Tahun Anggaran 2007 - 2010 Tahun Anggaran (Rp) Realisasi (Rp) % 2007 17.618.996.664 16.091.730.685 91,33% 2008 21.216.704.760 21.773.095.114 102,62% 2009 27.627.281.850 26.320.810.853 95,27% 2010 32.323.240.000 31.617.040.229 97,82% Sumber : Dispenda Kota Makassar Tahun 2011 Pemerintah Daerah Kota Makassar menganggarkan penerimaan dari pajak hotel sebesar Rp34 milyar lebih atau 14,58% dari jumlah anggaran penerimaan pajak Kota Makassar sebesar Rp 238 milyar lebih. Anggaran sebesar Rp34 miliar tersebut, ternyata hingga kwartal pertama 2011 hanya mampu terealisasi sebesar 15 persen dari target realisasi sebesar 25 persen. Selain pencapaian realisasi anggaran yang kurang, terdapat juga 14 hotel berbintang yang memiliki tunggakan hingga ratusan juta rupiah selama setahun terakhir ini. Kepala Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Kota Makassar, Shabir L. Ondo menyampaikan bahwa pajak hotel di Makassar rawan kebocoran akibat petugas taksasi pajak yang belum mampu melakukan penghitungan potensi pendapatan asli daerah dari usaha-usaha tersebut. Selama ini Dispenda terkesan hanya sebagai pemungut, dan upaya untuk meningkatkan kesadaran Wajib 9 Pajak masih minim. Tetapi sudah beberapa upaya yang dilakukan Dispenda dalam mencapai setiap target pendapatan yang diembankan ke dinasnya, yakni melakukan intensifikasi obyek pajak, peremajaan data serta meningkatkan pengawasan di seluruh sektor pengelolaan pendapatan (Tribun Timur.Com - Minggu, 29 Mei 2011 dan bisnis-kti.com 27 Mei 2011). Berbagai upaya telah dilakukan dalam rangka peningkatan penerimaan pajak dari Wajib Pajak. Salah satu yang dapat ditempuh adalah meningkatkan kesadaran dan kepatuhan Wajib Pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya. Kesadaran dan kepatuhan Wajib Pajak yang dilakukan secara sukarela akan sangat membantu dalam penerimaan pajak. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian mengenai kepatuhan pajak (tax compliance) di Amerika Serikat. Penelitian yang dilakukan oleh Nowak (dalam Zain, 2007:31) menemukan bahwa pengaruh verifikasi perpajakan, efektivitas para ahli hukum, para akuntan dan teknisi lainnya serta keputusan peradilan pajak, hanya merupakan 3 sampai dengan 5% dari seluruh penerimaan pajak, sedangkan sisanya ± 97% - 95% adalah hasil dari pengembangan iklim perpajakan. Iklim perpajakan (tax climate) itu sendiri adalah suatu faktor yang tidak berwujud (intangible factor) dalam keseimbangannya antara usaha-usaha bertahan untuk tidak membayar pajak (tax resistence) dan kesadaran serta kepatuhan memenuhi kewajiban perpajakan (tax compliance). Kepatuhan pajak (tax compliance) menurut Zain (1990) merupakan gambaran realisasi kehendak Wajib Pajak dalam memenuhi 10 kewajibannya, baik secara sukarela maupun karena terpaksa. Hal yang sama disampaikan oleh Andreoni, Erard, dan Feinstein (1998), Kirchler (2007) dalam Palil (2010) bahwa kepatuhan pajak merupakan kemauan dan kesediaan pembayar pajak untuk mematuhi undang-undang pajak. Secara teoritis, kepatuhan pajak dipengaruhi oleh beberapa faktor (Alm, 1999). Menurut James and Elley (1999) kepatuhan pajak dapat dilihat dari dua pendekatan (approaches). Pertama, menggunakan pendekatan ekonomi (economic approach) dengan konsep tax gap. Tax gap merupakan selisih antara jumlah potensi pajak yang dapat dipungut (taxes owed) dengan jumlah realisasi penerimaan pajak (taxes paid). Tax gap menunjukkan potensi penerimaan yang belum berhasil direalisasikan oleh otoritas pajak suatu negara. Dengan memakai tax gap, kinerja otoritas pajak suatu negara diukur dengan kemampuannya mengumpulkan penerimaan pajak dibandingkan dengan yang seharusnya dikumpulkan. Ukurannya adalah seberapa mampu otoritas pajak suatu negara membuat para pembayar pajaknya patuh dalam melaksanakan kewajiban pajaknya sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku. Upaya memperkecil tax gap antara lain dengan meningkatkan kemampuan otoritas pajak dalam mengakses data serta meningkatkan voluntary compliance Wajib Pajak. Pendekatan kedua menggunakan perilaku (behavioral approach). Pendekatan perilaku kepatuhan sukarela menekankan kewajiban (behavioral (willingness). approach) menggunakan Pendekatan yang konsep kedua ini perilaku Wajib Pajak untuk patuh dalam memenuhi perpajakannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku 11 (voluntary compliance). Untuk meningkatkan voluntary compliance, instansi yang menangani pajak tidak dapat berjalan sendirian, karena perbaikan pelayanan yang dituntut pembayar pajak tidak hanya pelayanan perpajakan, melainkan seluruh pelayanan publik yang notabene dibiayai oleh pembayar pajak. Pembayar pajak akan sukarela membayar pajaknya jika mereka merasakan manfaatnya dalam bentuk pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah diberbagai bidang, seperti pendidikan, kesehatan, keamanan, serta pelayanan publik lainnya. James dan Alley (1999) pada akhir penelitiannya menyimpulkan bahwa sebaiknya kedua pendekatan tersebut saling mendukung. Diperlukan suatu kebijakan yang bisa mengakomodir dalam rangka penyatuan economic approach dan behavioral approach untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak secara sukarela. Jika James dan Alley membagi pendekatan kepatuhan pajak berdasar pendekatan ekonomi dan pendekatan perilaku, maka Fischer et.al (1992) dalam Chau and Leung (2009) dan Alabede et.al (2011) membuat suatu model kepatuhan pajak yang memuat komponenkomponen sosial, ekonomi dan psikologis. Model Fischer et.al (1992) didasari oleh penelitian Jackson and Milliron (1986) yang mengidentifikasi adanya 14 faktor yang mempengaruhi kepatuhan pajak. Fischer et.al (1992) kemudian membagi keempat belas faktor tersebut kedalam empat kelompok yaitu (i) demographic (e.q. age, gender and education), (ii) noncompliance opportunity (e.g. income level, income source and occupation), (iii) attitudes and perceptions (e.g. fairness of the tax system 12 and peer influence), and (iv) tax system/structure (e.g. complexity of the tax system, probability of detection and penalties and tax rates). Model Fischer et al. (1992) dikembangkan lagi oleh Chau and Leung (2009) dengan menambahkan faktor budaya (culture). Dengan demikian Model Fischer et al (1992) yang dimodifikasi oleh Chau and Leung (2009), telah mencakup berbagai aspek yang mempengaruhi perilaku kepatuhan pajak dari para pembayar pajak, seperti aspek ekonomi, sosial, budaya dan psikologi. Peneliti lain yang mengidentifikasi faktor-faktor ekonomi, sosial dan faktor psikologis sebagai faktor yang mempengaruhi perilaku kepatuhan pajak para pembayar pajak adalah Alm (1999). Chau dan Leung (2009) menggunakan dimensi budaya Hofstede. Hofstede (2001) menurunkan konsep budaya dari program mental yang dibedakan dalam tiga tingkatan yaitu universal, collective, dan individual. Program mental dijelaskan dengan dua konstruk yaitu values (nilai) dan culture (budaya). Berdasarkan analisis faktor, Hofstede (2001) menemukan ada empat dimensi program mental, yaitu perbedaan kekuasaan (power distance), pengelakan terhadap ketidak pastian (uncertainty avoidance), individualitas vs kolektivitas, dan maskulinitas vs femininitas. Faktor budaya (culture) digunakan sebagai faktor yang mempengaruhi kepatuhan pajak berdasarkan hasil penelitian Hofstede (2001) yang menemukan adanya perbedaan signifikan antara budaya Amerika dengan budaya China. Dimensi budaya yang dimaksud adalah 13 kolektivisme dan individualisme. Orang Amerika atau budaya barat, memiliki kultur kolektivitas yang rendah namun memiliki kultur individualisme yang tinggi, sehingga mereka lebih fokus terhadap kepentingan diri sendiri dari pada kepentingan kelompok. Sebaliknya, masyarakat China atau masyarakat dengan budaya timur memiliki individualisme yang rendah dan lebih memandang kepada kolektivitas kelompok. Masyarakat dengan kultur kolektivitas tinggi akan berusaha untuk mengikuti dan menganut nilai-nilai yang ada dalam kelompoknya atau lingkungan sosial disekitarnya, agar dapat diterima dan memiliki status di dalam lingkungan tersebut. Menurut Menteri Ekonomi Jerman, Graf dalam Widodo (2010:12) bahwa budaya pajak tidak dapat ditanamkan dalam satu tahun. Budaya pajak adalah seperangkat interaksi baik meliputi Wajib Pajak, pemerintah, budaya nasional maupun perangkat aturan perpajakannya. Budaya pajak merupakan keseluruhan dari semua lembaga formal dan informal yang relevan yang terhubung dengan sistem pajak nasional dan pelaksanaan praktis, yang secara historis tertanam dalam budaya nasional, termasuk ketergantungan dan ikatan yang disebabkan oleh interaksi mereka yang terus menerus. Penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan pajak (tax compliance) juga dilakukan di Rumania. Barbuta (2011) mengelompokkan variabel-variabel yang mempengaruhi kepatuhan pajak menjadi dua faktor yaitu faktor ekonomi (economic factors) dan faktor non ekonomi (non-economic factors). Hasil penelitian dari Barbuta (2011) 14 sejalan dengan beberapa penelitian sebelumnya, bahwa sikap Wajib Pajak terhadap sistem perpajakan dan perlakuan petugas pajak terhadap pelayanan Wajib Pajak mempengaruhi kepatuhan Wajib Pajak. Kajian dan penelitian tentang kepatuhan pajak (tax compliance) dengan pendekatan perilaku (behavioral approach) atau faktor non ekonomi diantaranya menggunakan theory of planned behavior (TPB) atau perilaku yang direncanakan. Theory of Planned Behavior (TPB) merupakan pengembangan dari theory of reasoned action (TRA) oleh Icek Ajzen (1991) dengan menambahkan sebuah konstruk yang belum ada di TRA yaitu kontrol perilaku persepsian (perceived behavioral control). Dengan penambahan konstruk ini, maka teori perilaku yang direncanakan terdiri dari konstruk sikap terhadap perilaku (attitude towards behavior), norma subyektif (subjective norm) dan kontrol perilaku persepsian (perceived behavior control). Theory of planned behavior ini menjelaskan bahwa niat (intention) untuk berperilaku dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu attitude toward behavior, subjective norm dan perceived behavioral control (PBC). Attitude toward behavior dibentuk oleh outcome belief, yaitu keyakinan akan hasil dari suatu perilaku. Subjective norm adalah sejauhmana seseorang memiliki motivasi untuk mengikuti pandangan orang terhadap perilaku yang akan dilakukannya (normative belief). Perceived behavioral control, yaitu keyakinan bahwa suatu perilaku dapat dilaksanakan berdasarkan pengalaman yang diperoleh, pengetahuan, keterampilan dan ketersediaan waktu untuk melaksanakan perilaku tersebut, tersedianya fasilitas untuk 15 melaksanakan dan memiliki kemampuan untuk mengatasi setiap kesulitan yang menghambat pelaksanaan perilaku. Theory of planned behavior (TPB) telah digunakan oleh beberapa peneliti untuk melihat perilaku Wajib Pajak. Bobek & Hatfield (2003) dan Benk et.al (2011) menggunakan TPB sebagai kerangka teori dalam rangka meneliti niat Wajib Pajak orang pribadi untuk patuh terhadap ketentuan perpajakan yang ada. Sementara Mustikasari (2005), Harinurdin (2009) serta Hidayat dan Nugroho (2010) menggunakan teori ini sebagai kerangka teori untuk mengkaji kepatuhan Wajib Pajak Badan. Bobek and Hatfield (2003) menambahkan variabel kewajiban moral (moral obligation). Benk et.al (2011) mengembangkan penelitiannya dari Efebera dan et.al (2004) yang menggunakan tiga komponen dasar yaitu equity attitudes, normative expactatioan dan legal saction. Dari hasil penelitian Bobek and Hatfield (2003) ditemukan bahwa variabel sikap, norma subyektif, perilaku yang dipersepsikan (PBC) dan niat untuk patuh (intentions) yang merupakan variabel-variabel dari TPB yang mempengaruhi kepatuhan pajak. Hasil penelitian Bobek and Hatfield (2003) sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Benk et.al (2011) Tetapi penelitian Bobek and Hatfield (2003) menemukan tidak adanya pengaruh yang signifikan antara PBC dan perilaku. Dalam konteks tertentu bukan hanya tekanan sosial yang dirasakan tetapi perlu mempertimbangkan kewajiban moral untuk melakukan atau menolak melakukan sesuatu perilaku. Beck dan Ajzen (1991) dalam Ajzen (1991), Bobek & Hatfield (2003), Mustikasari (2007), 16 Hidayat dan Nugroho (2010) telah membuktikan bahwa kewajiban moral sebagai variabel yang turut mempengaruhi perilaku kepatuhan pajak individu. Kaplan dan Reckers (1985), Roth et.al (1989), Hanno dan Violette (1996) dalam Bobek & Hatfield (2003) juga telah menemukan bahwa kewajiban moral memiliki pengaruh langsung terhadap kepatuhan pajak. Moralitas pajak dapat didefinisikan sebagai motivasi yang muncul dalam diri individu untuk membayar pajak. Motivasi ini dapat muncul dari kewajiban moral atau keyakinan untuk berkontribusi kepada negara dengan membayar pajak, atau merupakan kemauan individu untuk membayar pajak yang dapat dinyatakan sebagai sikap kepatuhan pajak (Widodo, 2010:9) Perilaku (behavior) merupakan tindakan-tindakan (action) atau reaksi-reaksi (reactions) dari suatu objek atau organisma. Perilaku dapat berupa sadar (conscious) atau tidak sadar, terus terang atau diam-diam, sukarela atau tidak sukarela. Dengan demikian, perilaku Wajib Pajak adalah tindakan atau reaksi Wajib Pajak terhadap kebijakan perpajakan yang dibuat oleh pemerintah. Pendekatan perilaku dalam melihat tingkat kepatuhan Wajib Pajak menarik diteliti untuk melihat bahwa mungkin ada faktor lain selain pertimbangan keuangan yang dapat memotivasi Wajib Pajak dalam meningkatkan kepatuhan. Ilmu sosiologis dan psikologi melihat bahwa individu tidak hanya independen, egois, utility maximisers, mereka juga berinteraksi dengan manusia lainnya yang memiliki sikap, keyakinan, norma dan peran yang berbeda. 17 Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka penelitian ini diberi judul “Pengaruh dimensi budaya, kewajiban moral dan planned behaviour terhadap Kepatuhan Wajib Pajak”. B. Rumusan Masalah Kepatuhan Wajib Pajak dalam menjalankan hak dan kewajiban sesuai peraturan yang ada merupakan masalah yang dihadapi oleh beberapa negara, termasuk negara Indonesia. Direktorat Jenderal Pajak pada tanggal 11 Oktober 2010 dalam salah satu Siaran Persnya menginformasikan tentang masih rendahnya tingkat kepatuhan Wajib Pajak dengan melihat tax ratio dan tax coverage yang rendah serta perbandingan jumlah penduduk dan jumlah Wajib Pajak yang juga masih rendah. Selain tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam menyelesaikan kewajiban pajak pusat, tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam menyelesaikan pajak daerah khususnya pajak hotel juga mengalami masalah. Dinas Pendapatan Daerah Kota Makassar menginformasikan bahwa ada beberapa Wajib Pajak Hotel yang menunggak dan kemungkinan kesalahan taksasi pada penentuan jumlah pajak terutang yang harus dilunasi oleh Wajib Pajak. (Tribun Timur.Com - Minggu, 29 Mei 2011 dan bisnis-kti.com 27 Mei 2011). Fenomena-fenomena tentang tingkat kepatuhan Wajib Pajak mendorong diadakannya beberapa penelitian tentang kepatuhan Wajib Pajak di beberapa negara dengan beberapa pendekatan. James and Elley 18 (1999) menemukan bahwa ada dua pendekatan dalam mengukur tingkat kepatuhan Wajib Pajak, yaitu pendekatan ekonomi (economic approach) dan pendekatan perilaku (behavioral approach). Pendekatan perilaku (behavioral approach) menggunakan konsep kepatuhan sukarela (willingness). Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan pendekatan perilaku dalam rangka menganalisis tingkat kepatuhan Wajib Pajak Hotel dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Pendekatan perilaku digunakan dengan pertimbangan bahwa mungkin ada faktor lain selain pertimbangan keuangan yang dapat memotivasi Wajib Pajak dalam meningkatkan kepatuhan, khususnya faktor internal dan faktor eksternal Wajib Pajak. Faktor internal dalam penelitian ini menggunakan variabel kewajiban moral sesuai teori deontologi dan hasil penelitian Beck dan Ajzen (1991) dalam Ajzen (1991), Bobek & Hatfield (2003), Mustikasari (2007), Hidayat dan Nugroho (2010). Faktor ekternal Wajib Pajak dalam penelitian ini akan menggunakan variabel budaya pajak sesuai hasil dimensi budaya Hofstede (2001) dan hasil penelitian Chau and Leung (2009) dan Chan et.al (2000). Variabel kewajiban moral dan variabel budaya sebagai variabel yang mempengaruhi kepatuhan Wajib Pajak dimoderasi oleh variabel sikap, norma subjektif dan perilaku yang dipersepsikan. Ketiga variabel moderasi tersebut dalam penelitian ini akan menggunakan theory of planned behavior (TPB) dari Icek Ajzen (1991). Selain teori of planned behavior, peneliti akan merujuk hasil penelitian dari Bobek & Hatfield 19 (2003), Mustikasari (2005), Harinurdin (2009), Hidayat dan Nugroho (2010) serta Benk et.al (2011). Berdasarkan uraian fenomena dan masalah tentang rendahnya kepatuhan Wajib Pajak dalam menyelesaikan kewajiban sesuai peraturan yang ada, maka diidentifikasi permasalahan dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Apakah kewajiban moral Wajib Pajak Hotel berpengaruh terhadap sikap untuk berperilaku patuh ?. 2. Apakah kewajiban moral Wajib Pajak Hotel berpengaruh terhadap norma subjektif ?. 3. Apakah budaya Wajib Pajak Hotel berpengaruh terhadap sikap untuk berperilaku patuh ?. 4. Apakah budaya Wajib Pajak Hotel berpengaruh terhadap kontrol keprilakuan yang dipersepsikan ?. 5. Apakah sikap, norma subjektif dan kontrol keprilakuan yang dipersepsikan Wajib Pajak Hotel berpengaruh terhadap kepatuhan Wajib Pajak Hotel ?. C. Tujuan Penelitian Penelitian ini mempunyai tujuan untuk menganalisis pengaruh perilaku Wajib Pajak Hotel dalam meningkatan kepatuhan Wajib Pajak. Selanjutnya tujuan tersebut diurai sebagai berikut: 20 1. Menganalisis pengaruh kewajiban moral Wajib Pajak Hotel terhadap sikap untuk berperilaku patuh. 2. Menganalisis pengaruh kewajiban moral Wajib Pajak Hotel terhadap norma subjektif. 3. Menganalisis pengaruh budaya Wajib Pajak Hotel terhadap sikap untuk berperilaku patuh. 4. Menganalisis pengaruh budaya Wajib Pajak Hotel terhadap kontrol keprilakuan yang dipersepsikan. 5. Menganalisis pengaruh sikap, norma subjektif dan kontrol keprilakuan yang dipersepsikan Wajib Pajak Hotel terhadap kepatuhan Wajib Pajak Hotel. D. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah: Dapat menambah pengetahuan tentang perilaku Wajib Pajak Daerah khususnya Wajib Pajak Hotel dalam pelaksanaan self assessment dan official assesment sehingga kepatuhan pajak (tax compliance) secara sukarela dapat terwujud. Bagi Dinas Pendapatan Daerah sebagai pemungut pajak, merupakan masukan untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam rangka penyusunan kebijakan tentang pemenuhan kepatuhan pajak sehingga dapat lebih meningkatkan penerimaan pajak daerah. 21 Sebagai pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang akuntansi perilaku dan akuntansi perpajakan. E. Orisinalitas Penelitian Penelitian ini menganalisis perilaku Wajib Pajak Hotel. Ada beberapa perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya, yaitu: 1) Penelitian-penelitian sebelumnya, Beck dan Ajzen (1991) dalam Ajzen (1991), Bobek & Hatfield (2003), Mustikasari (2007), Chau dan Leung (2009), Hidayat dan Nugroho (2010), Palil (2010) dan Barbuta (2011) menguji kepatuhan pajak dalam sistem pemungutan pajak self assesment, yaitu Wajib Pajak menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri jumlah pajaknya. Dalam penelitian ini, pembayar pajak (tax payer) menggunakan sistem self assesment dan sistem official assesment dalam memenuhi kewajiban perpajakan, hal ini dimungkinkan karena peraturan perundang-undangan memperbolehkan memilih di antara kedua sistem pemungutan pajak tersebut. 2) Penelitian sebelumnya mengkaji perilaku Wajib Pajak Badan atau Orang Pribadi dalam menyelesaikan kewajiban pajak pusat, sementara dalam penelitian ini yang akan dikaji adalah perilaku Wajib Pajak Daerah, khususnya Wajib Pajak Hotel dalam menyelesaikan kewajiban pajaknya. 22 3) Penelitian mengenai perilaku wajib pajak daerah cukup menarik, karena pelimpahan kewenangan ke daerah menuntut pemerintah daerah untuk mencari bentuk-bentuk kebijakan yang akan mendorong peningkatan penerimaan pendapatan asli daerah dalam rangka ketersediaan dana untuk pelayanan ke masyarakat.