Bagaimana Menjadi Percaya Diri

advertisement
Bagaimana Menjadi Percaya Diri ?
Kategori Individual
Oleh : Ubaydillah, AN
Jakarta, 10 November 2006
GABUNGAN 3M
Dalam bahasa gaul harian, pede yang kita maksudkan adalah percaya diri. Semua orang
sebenarnya punya masalah dengan istilah yang satu ini. Ada orang yang merasa telah
kehilangan rasa kepercayaan diri di hampir keseluruhan wilayah hidupnya. Mungkin terkait
dengan soal krisis diri, depresi, hilang kendali, merasa tak berdaya menatap sisi cerah masa
depan, dan lain-lain. Ada juga orang yang merasa belum pede dengan apa yang dilakukannya
atau dengan apa yang ditekuninya. Ada juga orang yang merasa kurang percaya diri ketika
menghadapi situasi atau keadaan tertentu. Berdasarkan praktek hidup, kita bisa mengatakan
bahwa yang terakhir itu normal dalam arti dialami oleh semua manusia.
Sebenarnya apa sih yang kita maksudkan dengan istilah pede itu? Kalau melihat ke literatur
ilmiahnya, ada beberapa istilah yang terkait dengan persoalan pede ini. Di sini saya hanya ingin
menyebutkan empat saja:




Self-concept: bagaimana Anda menyimpulkan diri anda secara keseluruhan, bagaimana
Anda melihat potret diri Anda secara keseluruhan, bagaimana Anda mengkonsepsikan
diri anda secara keseluruhan.
Self-esteem: sejauh mana Anda punya perasaan positif terhadap diri Anda, sejauhmana
Anda punya sesuatu yang Anda rasakan bernilai atau berharga dari diri Anda, sejauh
mana Anda meyakini adanya sesuatu yang bernilai, bermartabat atau berharga di dalam
diri Anda
Self efficacy: sejauh mana Anda punya keyakinan atas kapasitas yang Anda miliki untuk
bisa menjalankan tugas atau menangani persoalan dengan hasil yang bagus (to
succeed). Ini yang disebut dengan general self-efficacy. Atau juga, sejauhmana Anda
meyakini kapasitas anda di bidang anda dalam menangani urusan tertentu. Ini yang
disebut dengan specific self-efficacy.
Self-confidence: sejauhmana Anda punya keyakinan terhadap penilaian Anda atas
kemampuan Anda dan sejauh mana Anda bisa merasakan adanya "kepantasan" untuk
berhasil. Self confidence itu adalah kombinasi dari self esteem dan self-efficacy (James
Neill, 2005)
Berdasarkan itu semua, kita juga bisa membuat semacam kesimpulan bahwa kepercayaan-diri itu adalah
efek dari bagaimana kita merasa (M1), meyakini (M2), dan mengetahui (M3). Orang yang punya
kepercayaan diri rendah atau kehilangan kepercayaan diri memiliki perasaan negatif terhadap dirinya,
memiliki keyakinan lemah terhadap kemampuan dirinya dan punya pengetahuan yang kurang akurat
terhadap kapasitas yang dimilikinya. Ketika ini dikaitkan dengan praktek hidup sehari-hari, orang yang
memiliki kepercayaan rendah atau telah kehilangan kepercayaan, cenderung merasa / bersikap sebagai
berikut :






Tidak memiliki sesuatu (keinginan, tujuan, target) yang diperjuangkan secara sungguh-sungguh
Tidak memiliki keputusan melangkah yang decissive (ngambang)
Mudah frustasi atau give-up ketika menghadapi masalah atau kesulitan
Kurang termotivasi untuk maju, malas-malasan atau setengah-setengah
Sering gagal dalam menyempurnakan tugas-tugas atau tanggung jawab (tidak optimal)
Canggung dalam menghadapi orang




Tidak bisa mendemonstrasikan kemampuan berbicara dan kemampuan mendengarkan yang
meyakinkan
Sering memiliki harapan yang tidak realistis
Terlalu perfeksionis
Terlalu sensitif (perasa)
Sebaliknya, orang yang kepercayaan diri bagus, mereka memiliki perasaan positif terhadap dirinya, punya
keyakinan yang kuat atas dirinya dan punya pengetahuan akurat terhadap kemampuan yang dimiliki. Orang
yang punya kepercayaan diri bagus bukanlah orang yang hanya merasa mampu (tetapi sebetulnya tidak
mampu) melainkan adalah orang yang mengetahui bahwa dirinya mampu berdasarkan pengalaman dan
perhitungannya.
Berbagai studi dan pengalaman telah menjelaskan bahwa kepercayaan diri seseorang terkait dengan dua hal
yang paling mendasar dalam praktek hidup kita.
Pertama, kepercayaan diri terkait dengan bagaimana seseorang memperjuangkan keinginannya untuk
meraih sesuatu (prestasi atau performansi). Ini seperti dikatakan Mark Twin: "Apa yang Anda butuhkan
untuk berprestasi adalah memiliki komitment yang utuh dan rasa percaya diri. "
Kedua, kepercayaan diri terkait dengan kemampuan seseorang dalam menghadapi masalah yang
menghambat perjuangannya. Orang yang kepercayaan dirinya bagus akan cenderung berkesimpulan bahwa
dirinya "lebih besar" dari masalahnya. Sebaliknya, orang yang punya kepercayaan diri rendah akan
cenderung berkesimpulan bahwa masalahnya jauh lebih besar dari dirinya. Ini seperti yang diakui
Mohammad Ali. "Satu-satunya yang membuat orang lari dari tantangan adalah lemahnya kepercayaan diri."
Kesimpulan Bandura (Dr. Albert Bandura, 1994), menjelaskan bahwa self-efficacy yang bagus punya
kontribusi besar terhadap motivasi seseorang. Ini mencakup antara lain: bagaimana seseorang merumukan
tujuan atau target untuk dirinya, sejauh mana orang memperjuangkan target itu, sekuat apa orang itu
mampu mengatasi masalah yang muncul, dan setangguh apa orang itu bisa menghadapi kegagalannya.
Tak hanya Bandura yang kesimpulan semacam itu. Pakar pendidikan juga punya kesimpulan yang bernada
sama. Self-efficacy yang bagus akan menjadi penentu keberhasilan seseorang (pelajar) dalam menjalankan
tugas. Mereka lebih punya kesiapan mental untuk belajar, lebih punya dorongan yang kuat untuk bekerja
giat, lebih tahan dalam mengatasi kesulitan dan lebih mampu mencapai level prestasi yang lebih tinggi
(Pajares & Schunk, The Development of Achievement Motivation, San Diego: Academic Press, 2002.).
Sisi Negatif
Secara normal bisa dikatakan bahwa semua orang ingin memiliki kepercayaan diri yang tinggi atau kuat.
Ini misalnya terkait dengan dua hal yang sudah kita bahas di muka. Hanya memang ada satu hal yang perlu
kita waspadai bahwa ada beberapa sisi-sisi negatif di balik kepercayaan diri yang tinggi itu. Sisi-sisi negatif
ini perlu kita kelola secara proporsional agar tidak membuahkan sikap dan perilaku yang merugikan atau
merusak. Di antara sisi negatif itu adalah:
1. Arogansi. Kita merendahkan orang lain (looking down atau humiliate) karena merasa lebih tinggi atau
lebih di atas. Arogansi seperti ini ditolak oleh semua tatanan nilai di dunia ini. Sah-sah saja kita merasa
lebih dari orang lain tetapi yang paling penting di sini adalah jangan sampai kita memandang rendah orang
lain, apalagi menghina baik dengan kata-kata maupun perbuatan.
2. Merasa paling benar sendiri dan tidak bisa menerima kebenaran milik orang lain. Terkadang memang
ada alasan untuk merasa benar tetapi yang perlu kita waspadai adalah munculnya perasaan paling benar
yang membuat kita menyimpulkan orang lain semua salah. Biarpun kita benar tetapi kalau kita merasa
semua orang lain salah, ini bisa membuat kita salah.
3. Menolak opini orang lain / tidak bisa mendengarkan pendapat orang lain, saran orang lain, tidak mau
mengambil pelajaran dari pengalaman orang lain atau keras kepala (stubbornness). Opini orang lain
memang tidak semuanya perlu kita dengarkan tetapi juga tidak semuanya perlu ditolak. Ada hal-hal positif
yang bisa kita ambil dari opini orang lain. Konon, salah satu faktor yang membuat para pengusaha ambruk
setelah mengalami kejayaan adalah karena menolak mendengarkan opini orang lain, menolak belajar dari
orang lain, bersikap fleksibel terhadap perubahan. Mereka menjadi orang yang tertutup oleh pengalaman
kejayaannya selama ini.
4. Memiliki model komunikasi yang agresif, otoriter, bergaya memaksa atau tanpa empati. Model
komunikasi demikian kerap menimbulkan kualitas hubungan yang kurang "sincere", di samping juga lebih
banyak mengundang konflik, perlawanan atau resistensi. Secara naluri, orang lain akan lebih nyaman bila
didekati dengan model komunikasi yang empatik, asertif atau persuasif.
5. Kurang perhitungan terhadap bahaya potensial atau kurang perhatian terhadap hal-hal yang detail. Berani
menghadapi tantangan, punya keyakinan yang tinggi atas kemampuan dalam mengatasi masalah atau
berpikir "beyond the technique" itu memang positif dan dibutuhkan. Tetapi jika ini membuat kita terbiasa
menyepelekan, menganggap enteng atau careless, sembrono, dan semisalnya, tentu membahayakan.
6. Kurang bisa mempercayai kapasitas orang lain atau terlalu perfeksionis dalam menilai orang lain. Tidak
mudah mempercayai omongan orang lain atau tidak mudah mempercayai penjelasan orang lain atas
kemampuannya sebelum ada bukti-bukti yang nyata, memang ini dibutuhkan. Ada kalanya kita tidak bisa
100% mempercayai orang lain. Tetapi akan jadi masalah jika kita tidak bisa mempercayai orang lain untuk
semua hal, tidak bisa mendelegasikan pada orang lain untuk semua pekerjaan, selalu underestimate, selalu
ingin menjadi "polisi" atas orang lain dan semisalnya, ini bisa menyusahkan diri sendiri.
7. Punya penilaian-diri yang "over", mematok imbalan yang terlalu tinggi, menuntut diperlakukan secara
terlalu idealis. Sah-sah saja kita punya penilaian diri yang setinggi langit sekali pun, mematok "harga"
setinggi-tingginya, namun jika itu malah membuat hidup kita sempit, berarti kita perlu memunculkan
pemikiran alternatif dan belajar menjadi fleksibel. Jangan sampai kita patah gara-gara kita terlalu keras.
Jangan sampai pula kita tidak bisa membedakan antara tahu diri dan tidak tahu diri dalam praktek. Bedanya
sangat tipis.
Sisi-sisi negatif yang saya sebutkan di atas mungkin bisa kita sebut dengan istilah "terlalu pede". Ini juga
berbeda dengan pede. Menurut kaidah yang berlaku dalam praktek hidup, sesuatu yang sudah terlalu, itu
biasanya jelek dan dipandang jelek.
Membangun Kepercayaan Diri
Bagi sebagian kita yang punya masalah seputar rendahnya kepercayaan-diri atau merasa telah kehilangan
kepercayaan diri, mungkin Anda bisa menjadikan langkah-langkah berikut ini sebagai proses latihan:
1. Menciptakan definisi diri positif.
Steve Chandler mengatakan, "Cara terbaik untuk mengubah sistem keyakinanmu adalah mengubah definisi
dirimu." Bagaimana menciptkan definisi diri positif. Di antara cara yang bisa kita lakukan adalah:



Membuat kesimpulan yang positif tentang diri sendiri / membuat opini yang positif tentang diri
sendiri. Positif di sini artinya yang bisa mendorong atau yang bisa membangun, bukan yang
merusak atau yang menghancurkan.
Belajar melihat bagian-bagian positif / kelebihan / kekuatan yang kita miliki
Membuka dialog dengan diri sendiri tentang hal-hal positif yang bisa kita lakukan, dari mulai yang
paling kecil dan dari mulai yang bisa kita lakukan hari ini.
Selain itu, yang perlu dilakukan adalah menghentikan opini diri negatif yang muncul, seperti misalnya saya
tidak punya kelebihan apa-apa, hidup saya tidak berharga, saya hanya beban masyarakat, dan seterusnya.
Setelah kita menghentikan, tugas kita adalah menggantinya dengan yang positif, konstruktif dan motivatif.
Ini hanya syarat awal dan tidak cukup untuk membangun kepercayaan diri.
2. Memperjuangkan keinginan yang positif
Selanjutnya adalah merumuskan program / agenda perbaikan diri. Ini bisa berbentuk misalnya memiliki
target baru yang hendak kita wujudkan atau merumuskan langkah-langkah positif yang hendak kita
lakukan. Entah itu besar atau kecil, intinya harus ada perubahan atau peningkatan ke arah yang lebih
positif. Semakin banyak hal-hal positif (target, tujuan atau keinginan) yang sanggup kita wujudkan,
semakin kuatlah pede kita. Kita perlu ingat bahwa pada akhirnya kita hanya akan menjadi lebih baik
dengan cara melakukan sesuatu yang baik buat kita. Titik. Tidak ada yang bisa mengganti prinsip ini.
3. Mengatasi masalah secara positif
Pede juga bisa diperkuat dengan cara memberikan bukti kepada diri sendiri bahwa kita ternyata berhasil
mengatasi masalah yang menimpa kita. Semakin banyak masalah yang sanggup kita selesaikan, semakin
kuatlah pede. Lama kelamaan kita menjadi orang yang tidak mudah minder ketika menghadapi masalah.
Karena itu ada yang mengingatkan, begitu kita sudah terbiasa menggunakan jurus pasrah atau kalah, ini
nanti akan menjadi kebiasaan yang membuat kita seringkali bermasalah.
4. Memiliki dasar keputusan yang positif.
Kalau dibaca dari praktek hidup secara keseluruhan, memang tidak ada orang yang selalu yakin atas
kemampuannya dalam menghadapi masalah atau dalam mewujudkan keinginan. Orang yang sekelas
Mahatma Gandhi saja sempat goyah ketika tiba-tiba realitas berubah secara tak terduga-duga. Tapi, Gandhi
punya cara yang bisa kita tiru: "Ketika saya putus asa maka saya selalu ingat bahwa sepanjang sejarah,
jalan yang ditempuh dengan kebenaran dan cinta selalu menang. Ada beberapa tirani dan pembunuhan
yang sepintas sepertinya menang tetapi akhirnya kalah. Pikirkan ucapan saya ini, SELALU". Artinya,
kepercayaan Gandhi tumbuh lagi setelah mengingat bahwa langkahnya sudah dilandasi oleh prinsip-prinsip
yang benar.
5. Memiliki model / teladan yang positif
Yang penting lagi adalah menemukan orang lain yang bisa kita contoh dari sisi kepercayaan dirinya. Ini
memang menuntut kita untuk sering-sering membuka mata melihat orang lain yang lebih bagus dari kita
lalu menjadikannya sebagai pelajaran. Saking pentingnya peranan orang lain ini, ada yang mengatakan
bahwa kita bisa memperbaiki diri dari dua hal: a) pengalaman pribadi (life experiencing) dan b) duplicating
(mencontoh dan mempelajari orang lain). Buktikan! Selamat mencoba.
Download