1 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Efektivitas Pengajaran Guru 2.1.1

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Efektivitas Pengajaran Guru
2.1.1
Guru
2.1.1.1
Definisi Guru
Definisi yang kita kenal dalam kehidupan sehari-hari adalah bahwa
guru merupakan orang yang harus digugu dan ditiru, dalam arti orang yang
memiliki kharisma atau wibawa hingga perlu untuk ditiru dan diteladani.
“Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,
mengajar,
membimbing,
mengarahkan,
melatih,
menilai,
dan
mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur
pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.”
(Pasal 1 ayat (1) UURI No.14 thn.2005 tentang Guru dan Dosen)
Dari beberapa definisi di atas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa
guru adalah suatu jabatan profesional yang tugas utamanya mendidik para
siswa agar memiliki ilmu dan pengetahuan. Guru wajib memiliki
kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan
rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan
nasional. (Undang Undang Nomor 14 tahun 2005 Pasal 8).
2.1.1.2
Peran Guru
Peranan guru sangat penting dalam dunia pendidikan karena selain
berperan mentransfer ilmu pengetahuan ke peserta didik, guru juga
dituntut memberikan pendidikan karakter dan menjadi contoh karakter
yang baik bagi anak didiknya. Peran guru menurut Crow & Crow (dalam
Willis, 2012: 86-89) mengungkapkan 5 peranan pokok seorang guru:
7
8
a.
Mengarahkan dan membimbing belajar siswanya. Dalam hal ini guru
mengusahakan gangguan-gangguan yang timbul di lingkungan siswa dapat
dihindarkan. Guru kemudian menciptakan suasana belajar yang kondusif,
mantap, dan bertujuan. Guru hendaknya menguasai mata pelajaran dan
metode mengajar yang sesuai dengan suasana, dan menciptakan kegiatan
belajar yang melibatkan seluruh kelas, dapat memotivasi siswa agar
mereka bisa dengan giat.
b.
Guru dapat merangsang murid sehingga menerbitkan minat belajar
di kalangan siswa. Dengan timbulnya minat belajar, maka mereka
termotivasi untuk rajin belajar dan timbul semangat bersaing di antara
murid. Jika ada murid yang lemah dalam belajar harus diselidiki apakah
dia tidak mempunyai waktu untuk belajar di rumah, maka guru harus
membimbing mereka yang lemah agar bisa mengikuti teman-temannya
yang lain.
c.
Membantu mengembangkan sikap-sikap yang positif pada murid-
murid,
dan menghilangkan sikap-sikap yang negatif pada dirinya.
Pengembangan
sikap-sikap
positif
bisa
dilakukan
guru
dengan
memberikan pujian bila murid berhasil melakukan perbuatan positif
misalnya dapat menjawab soal dengan baik, dapat berkomunikasi dengan
bahasa yang baik dan sopan, dapat membantu teman yang kesulitan atau
mendapat musibah, dan sebagainya. Adapun sikap-sikap dan perilaku
negatif harus dihilangkan dengan mendiamkan jika dia salah, dan atau
menegurnya.
9
d.
Memperbaiki cara-cara mengajar dengan mempelajari metodik dan
didaktik pengajaran. Di dalam mengajar tidak boleh guru melupakan
beberapa hal sebagai berikut:
1)
Hubungan antara kematangan anak dengan belajarnya. Hal ini
menyangkut penyesuaian materi dan metode dengan anak.
2)
Untuk murid yang telah dewasa, maka cerita guru hendaklah yang
berhubungan dengan pendekatan ilmiah, logis, dan sistematis.
3)
Pendekatan psikologi, suatu pendekatan yang mempertimbangkan
aspek-aspek kejiwaan murid. Penyesuaian materi pelajaran dengan kondisi
kejiwaan dan usia murid karena hal ini amat berhubungan dengan kesiapan
murid dan mudah untuk mengikuti pelajaran. Di samping itu guru juga
harus mempertimbangkan latar belakang kehidupan murid masing-masing.
e.
Guru hendaknya mengenal kualitas pribadinya (kekurangan dan
kelebihannya). Adanya guru-guru yang mengikuti sertifikasi tingkat S1 di
seluruh Indonesia adalah dalam rangka meningkatkan kualitas pribadinya
baik dalam ilmu pengetahuan maupun kualitas pribadinya. Kualitas pribadi
guru tercakup dalam tiga hal:
1)
Guru harus memiliki kecakapan yang tinggi.
2)
Tajam matanya dalam memperhatikan situasi yang timbul.
3)
Memiliki kemampuan dalam hubungan sosial yang baik.
2.1.2 Pengajaran yang Efektif
Willis (2012: 109-110) mengungkapkan asumsi dasar guru secara
sadar ataupun tidak berpandangan bahwa mengajar anak secara bersamasama, memperlakukan mereka sama secara keseluruhan. Sesungguhnya
guru harus beranggapan bahwa apapun yang diusahakannya dalam
10
kegiatan belajar mengajar di kelas mesti ada beberapa murid yang cepat
atau pintar belajarnya, sebagian besarnya sekitar dua pertiga adalah
sedang, sedang beberapa atau sepertiga sisanya ialah lambat dan mungkin
bodoh
Mengajar adalah hal yang kompleks dan siswa yang bervariasi
menyebabkan tidak ada cara tunggal untuk mengajar efektif untuk semua
hal (Diaz dalam Santrock, 2007). Guru yang efektif harus bisa menguasai
beragam perspektif dan strategi dan harus bisa mengaplikasikan secara
fleksibel (Santrock, 2007).
2.1.2.1
Strategi Pengajaran Guru
Perencanaan pengajaran melibatkan pengembangan strategi yang
sistematis dan terorganisasi untuk pelajaran. Guru harus memutuskan
materi dan cara pengajaran sebelum mereka melakukannya. Meskipun
beberapa momen pengajaran yang bagus muncul secara spontan, namun
pelajaran masih harus direncanakan dengan seksama. Menurut DarlinHammond et al., (2005: 184) dalam Santrock (2011: 141- 142) harapan
terhadap perencanaan guru telah meningkat bersamaan dengan sosialisasi
standar pembelajaran negara yang menetapkan apa yang perlu diketahui
dan bisa dilakukan oleh siswa. Namun standar ini biasanya tidak
menyatakan apa yang seharusnya dilakukan guru di dalam kelas untuk
mencapai standar tersebut. Guru harus mencari cara untuk merencanakan
dan mengatur kurikulum mereka seputar dimensi penting yang
diimplementasikan oleh standar tersebut serta menciptakan “rangkaian dan
kumpulan aktivitas pembelajaran untuk siswa tertentu yang dibina oleh
mereka”. Guru perlu mengetahui hal yang seharusnya dilakukan para
11
siswa,
kapan,
dalam
urutan
seperti
apa,
dan
bagaimana
mengimplementasikan gambar dari visi kurikuler mereka.
2.1.2.2
Aspek Pengajaran yang Efektif
Santrock (2011) menjelaskan karena kompleksitas mengajar dan
variasi individu di antara siswa, mengajar yang efektif tidak hanya “satu
ukuran cocok untuk semua”. Guru harus menguasai berbagai perspektif
dan strategi dan fleksibel dalam aplikasi. Berikut bahan-bahan kunci
keberhasilan: (1) Pengetahuan dan Keterampilan Profesional, dan (2)
Komitmen, Motivasi, dan Kepedulian.
1.
Pengetahuan dan Keterampilan Profesional (Professional Knowledge
and Skills)
Guru-guru yang efektif memiliki perintah yang baik dari materi
subjek dan inti yang solid dari keterampilan mengajar. Mereka tahu
bagaimana menggunakan strategi pengajaran yang didukung oleh metode
penetapan sasaran, perencanaan instruksional dan pengelolaan kelas.
Selain itu, mereka memahami bagaimana untuk memotivasi siswa dan
bagaimana untuk berkomunikasi dan bekerja secara efektif dengan orangorang dari berbagai tingkat keahlian dan latar belakang budaya. guru-guru
yang efektif juga bekerja sesuai tingkat teknologi di kelas.
a.
Penguasaan Materi Pelajaran (Subject-Matter Competence)
Bijaksana,
fleksibel,
dan memahami
materi
konsep sangat
diperlukan untuk menjadi guru yang efektif. Tentu saja, pengetahuan
tentang materi mencakup lebih dari sekedar fakta, istilah, dan
konsep-konsep umum. Ini juga mencakup pengetahuan tentang
pengorganisasian ide koneksi antara ide, cara berpikir dan berdebat,
12
pola perubahan dalam disiplin, keyakinan tentang disiplin, dan
kemampuan untuk membawa ide-ide dari satu disiplin ke disiplin
yang lain. Jelas, memiliki pemahaman yang mendalam mengenai
materi adalah aspek penting dari menjadi seorang guru yang
kompeten.
b.
Strategi Pengajaran (Instructional Strategies)
Pengajaran yang efektif dimulai jauh sebelum siswa memasuki ruang
kelas. Guru yang baik melakukan perencanaan terlebih dahulu.
Mereka mengidentifikasikan pengetahuan dan keterampilan yang
mereka inginkan untuk dikuasai para siswa, menentukan urutan yang
tepat untuk mengajarkan pengetahuan dan keterampilan tersebut,
serta mengembangkan pelajaran dan aktivitas kelas yang akan
memaksimalkan pembelajaran dan menjaga siswa tetap termotivasi
dan fokus pada tugas.
c.
Keterampilan Berpikir (Thinking Skills)
Berpikir kritis melibatkan pemikiran reflektif dan produktif dan
mengevaluasi bukti. Mendapatkan siswa untuk berpikir kritis itu
tidak mudah, banyak siswa mengembangkan kebiasaan pasif dari
belajar materi dan menghafal konsep daripada berpikir secara
mendalam dan merenung. Berpikir kritis juga berarti menjadi
berpikiran terbuka dan ingin tahu di satu sisi, namun berhati-hati
untuk menghindari kesalahan dalam penafsiran di sisi lain.
13
d.
Penetapan Tujuan dan Keahlian Perencanaan Instruksional (Goal
Setting and Instructional Planning)
Guru menetapkan tujuan yang tinggi untuk mengajar siswa dan
mengatur rencana untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Mereka
juga mengembangkan kriteria khusus untuk sukses. Mereka
menghabiskan waktu yang cukup lama dalam perencanaan
instruksional, mengorganisir pembelajaran untuk memaksimalkan
belajar siswa. Seperti yang mereka rencanakan, guru yang efektif
mencerminkan dan berpikir tentang bagaimana mereka dapat
membuat pembelajaran menantang dan menarik. Perencanaan yang
baik
memerlukan
pertimbangan
dari
jenis-jenis
informasi,
demonstrasi, model, diskusi, dan praktek siswa untuk memahami
konsep-konsep dan mengembangkan keterampilan tertentu.
e.
Praktik Mengajar yang Sesuai Perkembangan (Developmentally
Appropriate Teaching Practices)
Guru yang kompeten memiliki sebuah pemahaman yang baik
tentang perkembangan anak dan tahu cara membuat bahan
pengajaran yang sesuai untuk tingkat perkembangan mereka.
Memahami perkembangan jalur dan progress, sangat penting untuk
mengajar dengan cara yang optimal bagi setiap anak.
f.
Keterampilan Manajemen Kelas (Classroom Management Skills)
Aspek penting dari menjadi seorang guru yang efektif adalah
menjaga kelas yang bekerja bersama-sama secara keseluruhan dan
berorientasi
terhadap
tugas-tugas
kelas.
Guru
yang
efektif
membangun dan memelihara lingkungan di mana pembelajaran
14
dapat terjadi. Untuk menciptakan lingkungan belajar yang optimal
ini, guru perlu sebuah strategi untuk membangun peraturan dan
prosedur, mengorganisir kelompok, pemantauan dan mondar-mandir
dalam kegiatan kelas, dan penanganan kenakalan.
g.
Keterampilan Memotivasi (Motivational Skills)
Guru yang efektif memiliki strategi yang baik untuk membantu
siswa dapat memotivasi diri dan bertanggung jawab untuk
pembelajaran mereka. Siswa termotivasi ketika mereka dapat
membuat pilihan yang sesuai dengan keinginan pribadi mereka.
Guru yang efektif memberi mereka kesempatan untuk berpikir
kreatif dan mendalam tentang proyek-proyek. Selain membimbing
siswa untuk dapat memotivasi diri, guru perlu menetapkan harapan
yang tinggi untuk prestasi siswa. Setelah membuat harapan yang
tinggi, kunci aspek dari pendidikan adalah untuk memberikan anakanak instruksi dan dukungan yang efektif untuk memenuhi harapan
ini.
h.
Keterampilan Berkomunikasi (Communication Skills)
Juga sangat diperlukan untuk mengajar adalah keterampilan
berbicara, mendengarkan, mengatasi hambatan komunikasi verbal,
dan menyelesaikan konflik secara konstruktif. Keterampilan
komunikasi sangat penting tidak hanya dalam mengajar tetapi juga
dalam
berinteraksi
dengan
orang
tua.
Guru
yang
efektif
menggunakan keterampilan komunikasi yang baik ketika mereka
berbicara 'dengan' daripada 'ke' siswa, orang tua, administrator dan
lain-lain, kritik yang minimal, dan memiliki gaya komunikasi yang
15
tegas daripada agresif, manipulatif, atau pasif. Guru yang efektif
juga bekerja untuk meningkatkan komunikasi siswa. Keterampilan
komunikasi siswa sangat penting karena mereka telah dinilai sebagai
keterampilan yang paling dicari sekarang ini.
i.
Lebih dari Sekedar Mengajar ke Beragam Individu (Paying More
Than Lip Service to Individual Variations)
Hampir setiap guru tahu seberapa penting penggunaan variasi
mengajar ke masing-masing individu, tetapi hal ini tidak selalu
mudah dilakukan. Siswa memiliki berbagai tingkat kecerdasan, pola
berpikir dan gaya belajar yang berbeda, dan memiliki temperamen
yang berbeda dan beragam kepribadian (Martinez, 2010 dalam
Santrock). Guru memiliki beberapa siswa yang yang berbakat dan
siswa lain dengan kekurangan dalam berbagai hal (Darragh,
2010;Friend, 2011 dalam Santrock).
Mengajar kelas dengan beragam karakteristik siswa membutuhkan
banyak usaha dan pikiran. Perbedaan instruksi merupakan tantangan
guru untuk mengenali variasi pengetahuan, kesiapan, minat, dan
karakteristik
lain
siswa,
kemudian
perbedaan-perbedaan
ini
diperhitungkan dalam perencanaan kurikulum dan keterlibatan
instruksi. Dengan demikian, perbedaan instruksi bertujuan untuk
menyesuaikan tugas untuk memenuhi kebutuhan dan kemampuan
siswa.
16
j.
Bekerja secara Efektif dengan Siswa dari Beragam Latar Belakang
Budaya (Working Effectively with Student from Culturally Diverse
Backgrounds)
Guru efektif harus memiliki pengetahuan tentang orang-orang dari
berbagai latar belakang budaya dan peka terhadap kebutuhan
mereka. Mereka harus mendorong siswa untuk memiliki kontak
pribadi yang positif dengan siswa lain dari latar belakang berbeda
dan memikirkan cara-cara untuk membuat pengaturan di mana
interaksi seperti itu dapat terjadi. Guru efektif akan membimbing
siswa dalam berpikir kritis tentang isu-isu budaya dan etnis saat
mengambil tindakan untuk mencegah atau mengurangi bias dan
mengembangkan penerimaan. Guru sebagai mediator antar siswa
atau, apabila diperlukan, antara budaya sekolah dan budaya siswa,
terutama mereka yang gagal secara akademis.
k.
Penilaian Pengetahuan dan Keterampilan (Assessment Knowledge
and Skills)
Guru yang berkompeten memiliki pengetahuan dan keterampilan
penilaian yang baik. Guru harus memutuskan tipe penilaian apa yang
akan digunakan untuk mendokumentasikan kinerja siswa setelah
pembelajaran. Sebagai contoh, sebelum mengajar satu unit di
lempeng tektonik, Guru dapat memutuskan untuk menilai apakah
siswa sudah familiar dengan istilah-istilah seperti benua, gempa
bumi dan gunung berapi.
Selama pembelajaran, guru mungkin menggunakan pengamatan
berkelanjutan dan pemantauan untuk menentukan apakah instruksi
17
sudah pada tingkat yang dapat menantang siswa dan mendeteksi
mana siswa yang membutuhkan perhatian. Guru perlu menilai siswa
untuk memberikan tanggapan mengenai prestasi siswa.
l.
Keterampilan Teknologi (Technological Skills)
Teknologi itu sendiri tidak selalu meningkatkan kemampuan siswa
untuk belajar, tetapi dapat mendukung pembelajaran. Kondisi yang
mendukung penggunaan teknologi secara efektif dalam pendidikan
yaitu termasuk visi dan dukungan dari para pemimpin pendidikan,
guru yang terampil dalam menggunakan teknologi untuk belajar,
standar isi dan sumber daya kurikulum, penilaian terhadap
efektivitas teknologi untuk belajar, dan penekanan pada anak sebagai
peserta aktif, dan pembelajar yang konstruktif.
Ada
kesenjangan
yang mendalam
antara
pengetahuan
dan
keterampilan teknologi yang siswa dapat di sekolah dan yang
mereka butuhkan di tempat kerja. Siswa akan mendapatkan
keuntungan
dari
guru
yang
meningkatkan
wawasan
dan
keterampilan mengenai teknologi, dan mengintegrasikan komputer
pada pembelajaran di dalam kelas. Integrasi ini harus cocok dengan
kebutuhan belajar siswa, termasuk kebutuhan untuk mempersiapkan
untuk pekerjaan masa depan, karena banyak di antaranya
memerlukan keahlian teknologi dan keterampilan berbasis komputer.
Selain itu, guru yang efektif mengetahui tentang berbagai alat bantu
untuk mendukung pembelajaran siswa penyandang cacat.
18
2.
Komitmen, Motivasi, dan Kepedulian (Commitment, Motivation, and
Caring)
Menjadi guru yang efektif juga memerlukan komitmen dan motivasi.
Aspek ini mencakup sikap yang baik dan perhatian terhadap murid. Guru
sering merasa membutuhkan investasi waktu dan usaha yang besar untuk
menjadi guru yang efektif. Beberapa guru, bahkan mengatakan bahwa
mereka 'tidak ada memiliki kehidupan' dari September hingga Juni.
Bahkan menambahkan jam pada malam hari dan akhir pekan, selain yang
dihabiskan di dalam kelas, masih tidak cukup untuk melakukan semuanya.
Guru yang efektif memiliki kepercayaan diri terhadap kemampuan
mereka dan tidak akan membiarkan emosi negatif mengurangi motivasi
mereka, dan membawa sikap positif dan semangat ke dalam kelas. Sifat ini
mudah menular dan membantu membuat ruang kelas nyaman bagi siswa.
2.1.2.3
Penyebab Kegagalan
Banyak para guru yang tidak pernah belajar metodik dan tidak
mengajar, sehingga mengecewakan siswa yang di didik. Penyebabnya
adalah (Willis, 2012: 84-85):
a.
Para siswa seperti dipompakan materi pelajaran sehingga membuat
murid-murid bosan dan malas belajar, karena pelajaran tidak menarik.
b.
Guru-guru tidak membuat persiapan mengajar, sehingga mereka
tidak mengetahui batasan-batasan pelajaran dan metode apa yang sesuai
dengan materi yang diajarkan.
c.
Guru tidak dapat mengajar dengan metode yang bervariasi, kecuali
hanya satu metode yaitu metode ceramah. Karena itu sangat membosankan
para murid, terutama di siang hari.
19
d.
Guru tidak memahami psikologi anak dan remaja. Dia mengajar
tanpa memperhatikan murid-muridnya, apa ada yang mengantuk, sakit,
melamun, dan sebagainya. Karena tidak memperhatikan muridnya, maka
murid pun tidak pula memperhatikannya.
2.2
Self-Efficacy (Efikasi Diri)
2.2.1
Definisi Self-Efficacy
Self-Efficacy adalah penilaian seseorang tentang kemampuannya sendiri
untuk menjalankan perilaku tertentu atau mencapai tujuan tertentu. Menurut
Bandura (1997, dalam Ormrod 2008: 20-21) orang lebih mungkin terlibat
dalam perilaku tertentu ketika mereka yakin bahwa mereka akan mampu
menjalankan perilaku tersebut dengan sukses, yaitu ketika mereka memiliki
self-efficacy yang tinggi. Self-efficacy adalah suatu komponen dari keseluruhan
perasaan diri seseorang. Ini mungkin mirip dengan konsep lain seperti konsep
diri (self-concept) dan harga diri (self-esteem), tapi sifat-sifat yang penting
membedakannya dari kedua konsep tersebut (Bong & Skaalvik, 2003; Pajares
& Schunk, 2002; Pietsch, Walker, & Chapman, 2003 dalam Ormrod 2008).
Ketika psikolog berbicara tentang self-concept dan self-esteem, mereka
biasanya menjelaskan gambaran diri yang bersifat umum yang meliputi banyak
aktivitas (mis., “Apakah aku siswa yang baik?”) dan bisa mencakup perasaanperasaan dan juga kepercayaan-kepercayaan (mis., “Seberapa banggakah aku
terhadap performaku di kelas?”). Sebaliknya, self-efficacy lebih spesifik pada
tugas atau situasi dan hanya melibatkan penilaian (bukan perasaan) (mis.,
“Dapatkah aku menguasai soal pembagian yang panjang?”).
Menurut Santrock (2011: 216) self-efficacy adalah sebuah faktor yang
sangat penting dalam menentukan apakah siswa berprestasi atau tidak. Self-
20
Efficacy mempunyai banyak kemiripan dengan motivasi kemampuan
menguasai sesuatu dan motivasi intrinsik. Self-Efficacy adalah keyakinan
bahwa “Saya dapat”; keputusasaan adalah keyakinan bahwa “Saya tidak dapat”
(Maddux, 2002; Lodewyk & Winne, 2005; Stipek, 2002 dalam Santrock 2011).
Siswa dengan efikasi diri tinggi setuju dengan pernyataan seperti “Saya tahu
bahwa saya akan mampu mempelajari materi dalam kelas ini” dan “Saya rasa
saya mampu melakukan aktivitas ini dengan baik.”. Dalam Al-Harthy (2011:
3), Bandura (1977) mendefinisikan self-efficacy sebagai penilaian pribadi
seseorang atas kemampuan seseorang untuk mengorganisir dan melakukan
tindakan untuk mencapai tujuannya.
2.2.2
Pengaruh Self-Efficacy di Kelas
Siswa yang memiliki self-efficacy tinggi, yang percaya bahwa mereka
dapat menguasai tugas-tugas dan meregulasi cara belajar mereka sendiri adalah
yang paling mungkin mencapai prestasi baik di sekolah. Self-efficacy siswa
dapat meramalkan nilai yang mereka inginkan dan dapatkan. Menurut
Zimmerman et al., (1992) dalam Papalia (2009: 49), tujuan siswa dipengaruhi
oleh tujuan orang tua mereka untuk mereka, tetapi kepercayaan diri mereka
sendiri tentang kemampuan mereka lebih berpengaruh. Peran orang yang lebih
tua disini apabila menginginkan siswa berhasil di sekolah, mereka harus
memastikan bahwa siswa memiliki pengalaman belajar yang membangun
keyakinan diri tentang kemampuan mereka untuk mencapai keberhasilan.
Dalam Ormrod (2008: 21-23) Bandura (1982, 2000) serta Schunk &
Pajares (2004) berpendapat perasaan self-efficacy siswa mempengaruhi pilihan
aktivitas mereka, tujuan mereka, dan usaha serta persistensi mereka dalam
21
aktivitas-aktivitas kelas. Dengan demikian self-efficacy pun mempengaruhi
pembelajaran dan prestasi mereka.
1) Pilihan Aktivitas
Siswa cenderung memilih tugas dan aktivitas yang mereka yakin akan
berhasil dan menghindari aktivitas yang mereka yakin akan gagal.
2) Tujuan
Siswa akan menetapkan tujuan yang lebih tinggi bagi diri mereka sendiri
ketika mereka memiliki self-esteem yang tinggi dalam bidang tertentu
3) Usaha dan Persistensi
Siswa yang memiliki self-efficacy tinggi akan mengerahkan segenap
tenaga mencoba suatu tugas baru. Mereka juga lebih gigih dan tidak
mudah menyerah.
4) Pembelajaran dan Prestasi
Ketika beberapa individu memiliki kemampuan yang sama, mereka yang
yakin dapat melakukan suatu tugas lebih mungkin menyelesaikan tugas
tersebut secara sukses daripada mereka yang tidak yakin mampu mencapai
keberhasilan. Siswa dengan self-efficacy yang tinggi bisa mencapai
tingkatan yang luar biasa sebagian karena mereka terlibat dalam prosesproses kognitif yang meningkatkan pembelajaran, menaruh perhatian,
mengorganisasi, mengelaborasi, dan seterusnya (Bong & Skaalvik, 2003;
Pintrich dan Schunk, 2002).
2.2.3
Faktor yang Mempengaruhi Self-Efficacy
Ormrod
(2008:
23-27)
berpendapat
ada
beberapa
faktor
yang
mempengaruhi perkembangan self-efficacy, diantaranya keberhasilan dan
22
kegagalan pembelajar sebelumnya, pesan yang disampaikan orang lain,
keberhasilan dan kegagalan orang lain, dan keberhasilan dan kegagalan dalam
kelompok yang lebih besar.
1) Keberhasilan dan Kegagalan Pembelajar Sebelumnya
Pembelajar lebih mungkin untuk yakin bahwa mereka dapat berhasil pada
suatu tugas ketika mereka telah berhasil pada tugas tersebut atau tugas lain
yang mirip di masa lalu (Bandura, 1986; Valentine, Cooper, Bettencourt,
& DuBois, 2002) dalam Ormrod (2008).
2) Pesan dari Orang Lain
Self-efficacy siswa dapat ditingkatkan dengan memberi mereka alasanalasan untuk percaya bahwa mereka dapat sukses di masa depan (mis.,
Zeldin & Pajares, 2000). Terkadang pesan yang kita berikan bersifat
tersirat alih-alih dinyatakan secara langsung, namun tetap dapat memiliki
dampak yang sama pada self-efficacy. Bahkan umpan balik negatif dapat
meningkatkan performa apabila umpan balik itu memberitahu siswa
bagaimana
mereka
dapat
memperbaiki
performanya
sekaligus
mengkomunikasikan keyakinan bahwa perbaikan itu mungkin (Deci &
Ryan, 1985; Parsons, Kaczala, & Meece, 1982; Pintrich & Schunk, 2002).
3) Kesuksesan dan Kegagalan Orang Lain
Siswa sering mempertimbangkan kesuksesan dan kegagalan teman-teman
kelasnya, terutama yang kemampuannya setara, ketika menilai peluang
sukses mereka sendiri. Ketika siswa melihat teman-teman yang
kemampuannya setara dengannya sukses, mereka lalu memiliki alasan
untuk optimis akan kesuksesan mereka sendiri. Jika mereka melihat
teman-teman sebaya gagal, mereka akan jauh kurang optimis.
23
4) Kesuksesan dan Kegagalan dalam Kelompok yang Lebih Besar
Kolaborasi dengan teman-teman sebaya memiliki manfaat potensial lain:
pembelajar mungkin memiliki self-efficacy yang lebih besar ketika mereka
bekerja dalam kelompok sendiri. Self-efficacy kolektif semacam ini
tergantung tidak hanya pada persepsi siswa akan kapabilitasnya sendiri
dan orang lain, melainkan juga pada persepsi mereka mengenai bagaimana
mereka dapat bekerja bersama secara efektif dan mengkoordinasi peran
dan tanggung jawab mereka (Bandura, 1997, 2000) dalam Ormrod (2008).
2.2.4
Dimensi dalam Self-Efficacy
Keyakinan akan keberhasilan bervariasi pada beberapa dimensi yang
memiliki implikasi kinerja yang penting. Bandura membedakan self-efficacy
kedalam tiga dimensi yaitu, level, generality, dan strength (Bandura, 1997: 42).
1) Level
Dimensi ini mengacu pada taraf kesulitan tugas yang diyakini individu
akan mampu mengatasinya. Tingkat self-efficacy seseorang berbeda satu sama
lain. Tingkatan kesulitan dari sebuah tugas, apakah sulit atau mudah akan
menentukan self-efficacy. Pada suatu tugas atau aktivitas, jika tidak terdapat
suatu halangan yang berarti untuk diatasi, maka tugas tersebut akan
sangat
mudah dilakukan dan semua orang pasti mempunyai self-efficacy yang tinggi
pada permasalahan ini. Sebagai contoh, Bandura (1997: 43) menjelaskan
keyakinan akan kemampuan meloncat pada seorang atlit. Seorang atlit menilai
kekuatan dari keyakinannya bahwa dia mampu melampaui kayu penghalang
pada
ketinggian
yang
berbeda.
Seseorang
dapat
memperbaiki
atau
meningkatkan self-efficacy dengan mencari kondisi yang mana dapat
menambahkan tantangan dan kesulitan yang lebih tinggi levelnya.
24
2) Strength
Dimensi ini terkait dengan kekuatan dari self-efficacy seseorang ketika
berhadapan dengan tuntutan tugas atau suatu permasalahan. Self-efficacy yang
lemah
dapat
dengan
mudah
ditiadakan
dengan
pengalaman
yang
menggelisahkan ketika menghadapi sebuah tugas. Sebaliknya orang yang
memiliki keyakinan yang kuat akan tekun pada usahanya meskipun pada
tantangan dan rintangan yang tak terhingga. Dia tidak mudah dilanda
kemalangan. Dimensi ini mencakup pada derajat kemantapan individu terhadap
keyakinannya. Kemantapan inilah yang menentukan ketahanan dan keuletan.
3) Generality
Dimensi ini mengacu pada variasi situasi dimana penilaian tentang selfefficacy dapat diterapkan. Seseorang dapat menilai dirinya memiliki selfefficacy pada banyak aktifitas atau pada aktivitas tertentu saja. Dengan semakin
banyak self-efficacy yang dapat diterapkan pada berbagai kondisi, maka
semakin tinggi self efficacy seseorang.
2.2.5
Strategi Meningkatkan Self-Efficacy Siswa
Menurut Stipek (1996; 2002) berikut adalah beberapa strategi yang bagus
untuk meningkatkan self-efficacy siswa (dalam Santrock, 2011: 217)
a.
Ajarkan strategi-strategi spesifik, seperti menguraikan dan merangkum
yang dapat meningkatkan kemampuan mereka fokus dalam tugas.
b.
Bimbinglah siswa dalam menetapkan tujuan jangka pendek setelah mereka
membuat tujuan jangka panjang. Terutama membantu siswa menilai kemajuan
mereka.
c.
Pertimbangkan kemampuan menguasai dengan memberikan penghargaan
yang berkaitan dengan kinerja pada siswa.
25
d.
Kombinasikan pelatihan strategi dengan tujuan. Menurut Schunk et al.,
(2001; 1989; 1993) kombinasi dari pelatihan strategi dan penetapan tujuan
dapat meningkatkan efikasi diri serta perkembangan keterampilan siswa.
Umpan balik pada siswa mengenai strategi pembelajaran yang berhubungan
dengan kinerja mereka.
e.
Berikan dukungan kepada siswa. Dukungan positif
hanya perlu
mengatakan pada siswa, “Kamu dapat melakukannya.”
f.
Pastikan bahwa siswa tidak terlalu emosional dan gelisah. Ketika siswa
terlalu khawatir dan merasa menderita mengenai prestasi, efikasi diri mereka
akan hilang.
g.
Berikan siswa model dewasa dan teman sebaya yang positif. Menyuruh
setiap siswa bekerja pada sejumlah aspek dari suatu tugas dan kemudian
meminta siswa tersebut menjelaskan bagian mereka pada anggota kelompok
lain setelah mereka menguasainya (Zimmerman & Schunk,2001). Sehingga
mengajarkan keterampilan dan meningkatkan efikasi diri orang lain.
2.3
Persepsi Siswa SMA
2.3.1
Definisi Siswa SMA
Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) adalah individu yang sedang
menjalani pendidikan di sekolah menengah atas. Apabila dilihat dari usia,
siswa SMA berada pada rentang usia 14 tahun – 19 tahun, melihat rentang usia
tersebut maka siswa SMA identik dengan remaja, maka penjelasan tentang
siswa SMA sama dengan penjelasan tentang remaja.
2.3.2
Proses Perkembangan Kognitif Siswa SMA
Menurut Piaget (dalam Papalia et al., 2009: 35), remaja memasuki tingkat
perkembangan kognitif tertinggi, saat mereka mengembangkan kapasitas untuk
26
berpikir secara abstrak. Remaja tidak lagi dibatasi oleh cara berpikir yang ada
saat ini, sehingga mereka dapat memahami waktu dan ruang dalam konteks
masa lalu. Mereka dapat menggunakan simbol untuk mewakili sesuatu
(misalnya huruf X untuk mewakili angka yang tidak diketahui) sehingga dapat
mempelajari aljabar dan kalkulus.
Penelitian Eccles et al., (2003) mengenai pemrosesan informasi telah
mengidentifikasi dua kategori besar dalam perubahan yang dapat diukur pada
kognisi remaja: perubahan struktural dan perubahan fungsional:
Perubahan struktural
Pada remaja meliputi (1) perubahan dalam kapasitas pemrosesan informasi dan
(2) meningkatnya jumlah pengetahuan yang disimpan dalam ingatan jangka
panjang. Perluasan ingatan kerja dapat membuat remaja yang lebih tua untuk
mengatasi masalah kompleks dan pengambilan keputusan yang melibatkan
beberapa bagian informasi.
Perubahan fungsional
Proses mendapatkan, mengelola, dan menyimpan informasi adalah aspek
fungsional dari kognisi. Di antaranya adalah belajar, mengingat, menalar, dan
mengambil keputusan (Papalia et al., 2009: 40-41).
2.3.3
Persepsi Siswa
Persepsi merupakan aspek mendasar dalam kehidupan manusia. Persepsi
adalah suatu sensasi atau stimulus yang diterima oleh otak kemudian
diorganisasikan dan diinterpretasi. Pesan dari reseptor sensoris
yang
dihantarkan ke otak memiliki makna sendiri kemudian diatur dan ditafsirkan
dalam proses yang kita sebut persepsi. Proses ini terjadi sama pada setiap
27
orang, namun beberapa aspek dalam persepsi berbeda terkait dengan budaya
masing-masing (Lahey, 2007).
Sedangkan siswa SMA adalah remaja yang sedang berkembang yang
membutuhkan bimbingan dan pengarahan orang lain, yaitu guru, bimbingan
tersebut dilaksanakan melalui jalur pendidikan formal yaitu sekolah. Sehingga
pengertian persepsi siswa adalah tanggapan atau penerimaan siswa dalam
mengenal dunia luar dapat berupa objek, kualitas, peristiwa dan didahului
dengan penginderaan kemudian tanggapan indera tersebut diteruskan ke otak.
Terjadi proses psikologis, sehingga siswa mengerti dan memahami apa yang
diinderakan.
Menurut Church, Elliot dan Gable (2001) dalam Suprayogi (2010: 267),
persepsi yang positif terhadap pengajaran akan membuat siswa merasakan
kesenangannya dalam belajar, mendorong mereka untuk mempelajari materi
lebih mendalam, dan pada akhirnya dapat membuat siswa lebih terlibat dalam
proses belajar mengajar.
2.3.4
Pendidikan bagi Siswa SMA
Remaja adalah peralihan masa perkembangan antara masa kanak-kanak ke
masa dewasa yang meliputi perubahan besar pada aspek fisik, kognitif, dan
psikososial. Saat ini persiapan menuju kedewasaan membutuhkan waktu lebih
panjang dan tidak memiliki batasan yang jelas (Papalia et al., 2009: 8).
Sekolah adalah pengalaman utama organisasi di kebanyakan hidup remaja.
Sekolah menawarkan kesempatan untuk mempelajari informasi, menguasai
keterampilan baru, dan mempertajam keterampilan lama; untuk mengambil
bagian dalam olahraga, kesenian, dan aktivitas lain; untuk menjelajahi pilihan
karier; dan untuk berteman. Sekolah memperluas wawasan intelektual dan
28
sosial. Bagi sebagian remaja, pengalaman bersekolah bukanlah kesempatan,
tetapi merupakan satu lagi halangan dalam perjalanan menuju kedewasaan
(Papalia et al., 2009: 48).
Kebutuhan belajar menyebabkan umat manusia menjadi unggul di dunia
ini, dengan belajar maka berbagai ilmu dan teknologi dapat diraih manusia.
Pada zaman yang sudah maju ini belajar adalah suatu kebutuhan untuk hidup.
Barang siapa pendidikannya tinggi maka ia akan dapat jabatan tinggi dengan
upah lumayan, sedang manusia yang berpendidikan rendah maka pekerjaan
kasar telah menantinya. (Willis, 2012: 69)
Willis (2012: 75-76) juga mengungkapkan tujuan pendidikan adalah untuk
memanusiakan anak. Upaya pendidikan yang bersistem, terarah, dan
bertanggung jawab seperti itu dinamakan sekolah.
Belajar pada anak di
sekolah terjadi terjadi manakala ada seorang guru yang mengajar sehingga
terjadi beberapa hal:
a.
Proses belajar mengajar. Artinya guru mengajar dan murid belajar, yang
menghasilkan penambahan ilmu, keterampilan, dan sikap yang baik pada
anak
b.
Interaksi hubungan belajar dan mengajar. Interaksi ini dimulai oleh guru
dan murid merespon dengan memperhatikan keterangan guru. Makin
banyak respon murid makin baik proses belajar dan mengajar.
c.
Maka ada istilah CBSA artinya “cara belajar siswa aktif”, dimana guru
harus bisa membuat siswa belajar lebih aktif atas sentuhan guru
d.
Alat peraga. Suatu alat bantu bagi guru untuk mengajar siswa disebut alat
peraga. Alat peraga ini dapat menjelaskan keterangan guru, lebih mantap
dan mudah dimengerti siswa.
29
2.3.4.1
Bidang Studi Fisika bagi Siswa
Mata pelajaran Fisika menuntut intelektualitas yang relatif tinggi.
Keterampilan berpikir sangat diperlukan ketika mempelajari Fisika, di
samping keterampilan berhitung, memanipulasi dan observasi, serta
keterampilan merespon suatu masalah secara kritis (Mundilarto, 2002: 35). Sifat mata pelajaran Fisika salah satunya adalah bersyarat, artinya
setiap konsep baru ada kalanya menuntut prasyarat pemahaman atas
konsep sebelumnya. Oleh karena itu bila terjadi kesulitan belajar pada
salah satu pokok bahasan akan terbawa ke pokok bahasan berikutnya, atau
bila terjadi miskonsepsi akan terbawa sampai jenjang pendidikan
berikutnya.
Fisika banyak menuntut intelektualitas yang cukup tinggi sehingga
sebagian besar peserta didik mengalami kesulitan dalam mempelajarinya.
Ini dikarenakan oleh rumus-rumus yang banyak dan juga diperlukan
gambar-gambar yang sesuai dengan materi yang diajarkan maka untuk itu
dibutuhkan suatu sistem pembelajaran untuk mempermudah siswa dalam
mempelajari suatu pelajaran dengan cepat dan menarik. Sampai saat ini
masih banyak ditemukan kesulitan - kesulitan yang dialami siswa di dalam
mempelajari Fisika. Namun tingkat kesulitan terhadap Fisika meningkat
ketika siswa mencapai jenjang SMA. Ini dikarenakan dalam Fisika SMA,
siswa dituntut untuk berlogika lebih tinggi. Sehingga siswa SMA pada
umumnya menganggap bahwa pelajaran Fisika merupakan pelajaran yang
sulit untuk dipahami.
30
2.4
Kerangka Berpikir
Penelitian ini mengembangkan sebuah kerangka berpikir berdasarkan
fenomena banyaknya siswa bermasalah dalam kegiatan belajar mengajar fisika di
dalam kelas. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada hubungan
antara persepsi siswa terhadap efektivitas mengajar guru fisika dan self-efficacy
belajar siswa kelas X SMA Negeri 6 Jakarta. Berikut ini merupakan kerangkan
berpikir yang digunakan dalam penelitian:
Subjek Penelitian
Siswa siswi kelas X SMA Negeri 6 Jakarta
Fenomena
Pengajaran fisika yang masih menggunakan metode konvensional yang
melibatkan aktif pada satu pihak yaitu guru, sedangkan siswa umumnya
pasif dalam menerima materi pelajaran yang disampaikan oleh guru. Jika
guru melontarkan pertanyaan kepada siswa, hanya beberapa siswa yang
berani dan mau menjawab. Mereka sering mendapatkan masalah untuk tidak
mengerjakan tugas, atau berkelakuan buruk.
Variabel 1
Variabel 2
Efektivitas Mengajar Guru
Self-Efficacy
Rumusan Masalah
Apakah ada hubungan antara persepsi siswa terhadap efektivitas mengajar
guru fisika dengan self-efficacy belajar siswa di kelas pada siswa kelas X
SMA Negeri 6 Jakarta?
Download