Manajemen Keuangan Publik / Proses Penyusunan Anggaran

advertisement
TEORI LEADERSHIP :
PENDEKATAN MANAJERIAL AWAL DAN
PENDEKATAN TRANSAKSIONAL.
DR. TJAHJANULIN DOMAI, MS
PROF. DR. ABD. YULI ANDI GANI, MS




:
:
:
:
[1]
DAN PENDEKATAN TRANSAKSIONAL
PENDAHULUAN
Karena leadership adalah fenomena sosial besar atau sangat
kompleks, maka tidak heran bahwa banyak teori dibuat untuk
menjelaskan leadership. Ada cerita 10 pria India buta yang tidak
pernah melihat gajah. Masing-masing mencoba mengetahui sifat
gajah menurut caranya sendiri. Masing-masing meraba bagian
berbeda dari gajah dan menarik kesimpulan berbeda. Setelah
meraba, satu orang buta mengatakan bahwa gajah seperti dinding,
dan satu orang buta lainnya setuju karena mereka meraba bagian
perut. Meski begitu, ini disangkal oleh pria buta lain yang
menganggap gajah seperti pohon setelah dia meraba kaki gajah.
Tiga pria lain yang meraba kaki gajah mengiyakan pendapat itu.
Pria buta yang meraba belalai gajah mengatakan bahwa gajah
seperti ular, tapi disangkal pria buta lain yang menganggap gajah
seperti tali setelah dia meraba ekor gajah. Pria buta lainnya malah
lebih lucu, karena menggambarkan gajah seperti tombak setelah
dia meraba gading. Para pria buta tersebut bukan hanya saling
menyangkal deskripsi sederhana, tapi juga tidak pernah saling
tanya tentang kekuatan, ketahanan, kecepatan atau manfaat dari
gajah. Dari banyaknya teori yang menjelaskan berbagai aspek
leadership, masing-masing memiliki kearifan atau keuntungan
parsial. Karena itu, kita perlu membandingkan keunggulan dan
kelemahannya.
Rangka bangun untuk teori leadership telah dijelaskan
sebelumnya. Mereview tipe kontingensi yang mempengaruhi kapan
gaya ini harus digunakan dan seberapa efektif gaya tersebut.
MODUL
TEORI LEADESHIP : PENDEKATAN MANJERIAL AWAL
Kepemimpinan Sektor Publik
3 SKS
Administrasi Publik
Penguasaan materi dalam modul ini, dirancang
sebagai landasan dasar untuk memahami, mengerti
serta mampu menjelaskan tentang teori leadership:
pendekatan manajerial awal dan pendekatan
transaksional.
1. Pendahuluan
2. Penggunaan Model RantaiKausal untuk Membandingkan
Pendekatan dan Teori
3. Pendekatan Manajemen Awal dan 4. Pendekatan Transaksional
Pendekatan Leadership
5. Kesimpulan
1.
Mata Kuliah
SKS
Jurusan
Tujuan Pembelajaran
Kepemimpinan Sektor Publik / Teori Leadership: Pendekatan Manajerial awal dan Pendekatan
Transaksional
2012
Kontingensi ini berhubungan dengan karakteristik leader, karakteristik tugas, karakteristik
bawahan, karakteristik organisasi dan karakteristik lainnya.
Selanjutnya mendeskripsikan pendekatan berbeda ke leadership, yang sering
disebut pikiran dan teori berbeda (atau model dan kerangka), dalam setiap pendekatan.
Deskripsi dan analisa yang ada menitikberatkan sebuah perspektif komparatif. Untuk
setiap teori, aspek berikut perlu didiskusikan lebih jauh:
 Apa latarbelakang teori dan apa yang ingin dijelaskan peneliti?
 Variabel atau kontingensi situasi mana yang ingin ditekankan teori?
 Gaya mana yang ingin ditekankan teori?
 Tipe kriteria kinerja apa yang ditekankan teori?
 Apa keunggulan dan kelemahan dari teori atau pendekatan yang ada?
Naskah ini menjelaskan teori leadership dari peralihan abad 20 sampai 1970-an
yang difokuskan ke leader dan follower dalam konteks organisasi yang lebih sempit.
Semua teori ini diajarkan dalam kelas manajemen dan leadership, tapi hanya sedikit dari
itu yang aktif digunakan sebagai model penelitian sekarang. Selanjutnya akan difokuskan
ke leadership dan perubahan, leadership distributif, teori etika, teori spesialis, dan teori
integratif atau komprehensif.
2.
PENGGUNAAN
MODEL
RANTAI-KAUSAL
UNTUK
MEMBANDINGKAN
PENDEKATAN DAN TEORI
Teori leadership memiliki bentuk, ukuran dan format. Beberapa di antaranya adalah
elegan, tepatnya menjelaskan kebaikan dengan variabel yang sesedikit mungkin. Tipe
analisis yang cocok dengan ini adalah teori universal. Teori leadership berusaha
menjelaskan leadership dalam cara seragam apapun situasinya. Teori tersebut
komprehensif, dan mencoba mempertimbangkan semua faktor signifikan. Beberapa teori
mencoba menjelaskan aspek sempit leadership, seperti sebab dan akibat proses atribusi
leader terhadap follower. Teori lain mencoba menjelaskan berbagai fungsi leadership,
sehingga bukan hanya produksi dan kepuasan kerja, tapi juga kebutuhan akan kecocokan
eksternal dan perubahan organisasi yang harus dibutuhkan. Kadang, gaya leadership
digunakan sebagai variabel independen, kadang sebagai variabel dependen, dan di
waktu lain sebagai kontingensi. Agar bisa memberikan basis konsisten untuk
perbandingan, maka semua teori ini perlu didiskusikan dalam model rantai-kausal.
Model leadership rantai-kausal generik yang digunakan di sini menggunakan empat
tipe variabel, yaitu model perilaku, intervensi, moderasi dan kinerja. Karena daftar perilaku
ini ekstensif, maka banyak teori mendiskusikannya dalam kluster gaya. Mengidentifikasi
sembilan gaya atau gaya gabungan dimana berbagai perilaku diharapkan dijalankan
secara simultan atau dalam sekuensi ketat. Perilaku atau gaya berada di bagian awal
rantai kausal karena ini adalah aksi pertama yang ditunjukkan ke follower, organisasi,
lingkungan dan sebagainya. Ini juga menghasilkan rantai yang dipertimbangkan praktisi,
yaitu Aksi apa yang menghasilkan kinerja apa?
Elemen selanjutnya adalah variabel intervensi. Ini didefinisikan sebelumnya sebagai
variabel yang mempengaruhi pilihan perilaku atau gaya yang bisa meningkatkan hasil.
Teori yang merekomendasikan berbagai gaya berbeda berdasarkan kontingensi situasi
akan menitikberatkan variabel intervensi. Dalam literatur leadership, teori yang
menitikberatkan variabel intervensi disebut teori kontingensi atau situasional, meski nama
[2]
Kepemimpinan Sektor Publik / Teori Leadership: Pendekatan Manajerial awal dan Pendekatan
Transaksional
2012
ini kadang diterapkan juga ke teori Fiedler (1967; Fiedler, Chemers, dan Mahar, 1976)
dan Hersey dan Blanchard (1969, 1972).
Variabel moderasi didefinisikan sebagai variabel yang mempengaruhi kekuatan,
kualitas atau kesuksesan sebuah perilaku atau gaya. Tipe paling umum dari variabel
moderasi berhubungan dengan keahlian leader dalam menjalankan gaya yang diinginkan.
Perilaku ideal dalam situasi tertentu adalah supportif, dan meski leader menunjukkan
perilaku tersebut, ini sering terlihat janggal di mata follower karena perhatian yang
diterima follower sering dianggap sebagai manajemen mikro, bukan kerelaan membantu.
Tentu saja, banyak faktor lain yang bisa mempengaruhi kesuksesan sebuah strategi
perilaku. Contoh, supervisor frontline menggunakan perilaku direktif, tapi efektivitas
jangka panjang dari ini bisa ditingkatkan atau dihapus berdasarkan kemampuan
supervisor untuk memberikan insentif ekstrinsik. Efektivitas sebuah gaya inspirasional
bisa dimoderasi oleh kohesivitas dan konsistensi tujuan.
Terakhir, ada variabel kinerja. Aslinya, kinerja dilihat selalu dari perspektif organisasi
seperti efisiensi produksi atau efektivitas organisasi dalam membagi pekerja dan
mengkoordinasi aktivitas bisnis. Literatur power membicarakan peran pengaruh leader
dengan asumsi bahwa leader adalah wakil pokok dari kepentingan agensi. Kepuasan dan
inklusi follower adalah cara penting untuk produktivitas maksimum, dan ini berguna bagi
penyelesaian masalah jangka pendek, kreativitas jangka panjang, dan struktur organisasi
dan manajemen non-hirarkis (Kaplan dan Norton, 1996; Niven, 2003). Karena organisasi
bisa efisien dan efektif dalam melakukan sesuatu, tapi tidak lagi bisa melakukan hal benar
atau menggunakan metode usang, maka kecocokan organisasi dengan perubahan
lingkungan dan organisasi menjadi variabel kinerja. Karena itu, variabel kinerja bisa
sempit atau luas, termasuk efisiensi produksi, kepuasan dan perkembangan follower,
kualitas keputusan, kecocokan eksternal, dan perubahan organisasi.
Cara leader berperilaku secara langsung bisa mempengaruhi kinerja. Tepatnya,
perilaku atau gaya yang digunakan leader mempengaruhi berapa banyak
penyelesaiannya, cara follower merasakan, seberapa baik adaptasi organisasi, dan
seterusnya. Meski begitu, faktor penting bisa mempengaruhi hubungan ini. Beberapa
faktor (variabel intervensi) sangatlah penting sehingga menentukan gaya apa yang bisa
dijalankan paling efektif dalam sebuah situasi tertentu. Contoh, di beberapa kasus,
sebuah gaya direktif adalah paling efektif, dan di kasus lain, ini disfungsional tapi gaya
inspirasional bisa terbaik. Faktor lain (variabel moderasi) malah hanya mempengaruhi
dampak sebuah gaya. Contoh, seorang leader yang menilai bahwa sebuah gaya
inspirasional memang dibutuhkan, dan berusaha menggunakan itu, tapi kurang percaya
ke follower dan yang memiliki skill bicara lemah, cenderung memiliki kesuksesan terbatas.
3.
PENDEKATAN MANAJEMEN AWAL DAN PENDEKATAN LEADERSHIP
Studi serius tentang manajemen dan leadership telah diawali di peralihan abad 20.
Bidang tersebut mengembangkan pola pikir atau paradigma yang memandu peneliti di
hampir 50 tahun. Kebutuhan akan perubahan di bidang tersebut telah didengar di akhir
1940-an (Dahl, 1947; Simon, 1947). Meski penelitian dari era ini sering digambarkan
sederhana atau salah, penilaian yang lebih fair menunjukkan bahwa meski banyak
wawasan di era tersebut yang sangat baik, kerangka yang diusulkan cenderung lebih
sempit dan lebih spesifik waktu dibanding yang dikenal saat ini. Kemajuan sains alam
membutuhkan revolusi ilmiah yang rutin (Kuhn, 1962) yang mana penggulingan kerangka
[3]
Kepemimpinan Sektor Publik / Teori Leadership: Pendekatan Manajerial awal dan Pendekatan
Transaksional
2012
penelitian satu era tidak berarti bahwa perkembangan selanjutnya tidak secara parsial
dilandasi oleh wawasan dan kegagalan selanjutnya. Tapi, perspektif baru membutuhkan
pendekatan baru untuk menjelaskan gap dan anomali dari era sebelumnya.
Bidang manajemen dan leadership mencoba mencari preskripsi universal untuk
praktek ideal. Manajemen klasik mencoba menemukan itu dengan menciptakan
sentralitas skill analitik. Teori leadership mencoba mencari sifat ideal. Meski skill analitik
dan sifat ideal adalah elemen penting dari leadership, ini tidak cukup bisa digunakan
untuk menjelaskan fenomena keseluruhan atau menspesifikasi kondisi yang
membutuhkan skill dan sifat berbeda.
3.1 Teori Manajemen Klasik
Separuh pertama dari abad 20 dianggap sebagai periode manajemen klasik dan
berisi dua pendekatan, yaitu manajemen ilmiah dan prinsip manajemen. Di United States,
gerakan manajemen ilmiah adalah reaksi ke perubahan besar yang ada di ekonomi
Amerika, yang kemudian menjadi power industri. Operasi manufaktur dan operasi bisnis –
muncul dari periode industri penginapan yang kecil dan tertata random – seringkali tertata
buruk karena gagal merubah prakteknya ketika bisnis menjadi mature dan teknologi baru
mulai muncul. Pakar manajemen ilmiah seperti Gantt (1916), Taylor (1911) dan Gilbreth
dan Gilbreth (1917), mendukung penggunaan alat analisis untuk mendesain praktek
manajemen secara efisien. Satu alat analisis yang kuat adalah studi waktu-dan-gerakan.
Pakar akan mempelajari proses dan pola aktivitas pekerja dalam menentukan (1) cara
paling efisien oleh individu dalam melakukan pekerjaan, dan (2) cara paling efisien dalam
mengkoordinasi orang di dalam tempat kerja. Selama periode ini, pelatihan
diprofesionalkan lewat standarisasi dan spesialisasi kerja yang kemudian menghasilkan
kemajuan dalam teknologi assembly-line. Meski istilah “manajemen ilmiah” tidak begitu
diinginkan, alat manajemen ilmiah dan fokus ke analisis kerja dan efisiensi dari level
pekerja dan level unit adalah bagian dari praktek manajemen standar yang baik di jaman
sekarang.
Bahkan ketika manajer meminta pekerja di protokol efisien dan menjelaskan best
practice, mereka masih punya tanggungjawab besar dalam staffing, planning, dan
communicating dengan atasan untuk persoalan produktivitas dan perencanaan.
Pendekatan prinsip menitikberatkan peran manajer level tengah dan level senior dalam
berorganisir secara rasional di level yang lebih tinggi. Ringkasan praktek Gulick dan
Urwick (1937) menjadi anagram yang terkenal di literatur manajemen, yaitu POSDCoRB,
yang menjadi singkatan dari planning, organizing, staffing, directing, coordinating,
reporting dan budgeting. Ketika manajemen ilmiah difokuskan ke studi dan desain efisien
dari sistem unit dan pekerja, pendekatan pentingnya difokuskan ke studi dan desain
efisien dari organisasi keseluruhan. Konsep penting seperti rentang kontrol dan kesatuan
komando mulai muncul. Pakar manajemen ilmiah sering melakukan analisis pakar
terhadap fungsi kerja dan koordinasi unit dari pekerja lini. Pendukung prinsip juga ini
melakukan analisis ke fungsi manajer untuk memastikan bahwa tanggungjawab telah
diberikan secara wajar dan difragmentasi secara tidak eksesif. Meski beberapa preskripsi
spesifik yang relevan mulai usang (seperti pengurangan rentang kontrol dan menjaga
kesatuan komando, yang menghasilkan hirarki yang relatif curam), ide general di balik
pendekatan prinsip ini masih valid. Tepatnya, manajemen perlu dianalisa dengan pakar
[4]
Kepemimpinan Sektor Publik / Teori Leadership: Pendekatan Manajerial awal dan Pendekatan
Transaksional
2012
dan dipelajari oleh konstituen, yang membutuhkan rasionalitas sadar-diri dan pelatihan
ekstensif.
Meski teori manajemen klasik tidak mendorong manajemen sampai ke sebuah ilmu
dan profesi dengan menjalankan analisis, perencanaan dan implementasi hati-hati di
semua level, kontribusi tidak langsung ke teori leadership jauh lebih kecil. Pendekatan ini
memiliki kontrol leader tinggi, penggunaan otoritas formal yang tinggi dan insentif
ekstrinsik, dan fokus internal. Satu-satunya gaya adalah direktif, dan satu-satunya jenis
hasil adalah produksi unit atau organisasi dan peningkatan efisiensi. Satu-satunya
variabel moderasi adalah penggunaan alat analitik dan manajemen. Ini menghasilkan
model kausal yang sederhana. Semakin digunakan gaya direktif yang menggantungkan
alat analitik, maka semakin baik kinerja unit dan organisasi.
Nilai konseptualisasi simplistik dari leadership bukannya tanpa alasan. Pertama,
gaya manajemen otoritarian pernah sangat populer dan berbeda dari gaya direktif. Gaya
direktif menggunakan analisis dan rasionalitas sebelum mengimplementasikan otoritas
formal. Gaya otoritarian menggunakan otoritas formal berdasarkan impresi personal dan
tradisi. Bahkan sekarang, kebenaran sederhana malah sering dilanggar. Beberapa leader
dipilih tanpa pengalaman atau pelatihan, dan orang dengan pengalaman terlalu sering
menggunakan otoritas dan praktek sebelumnya dibanding melakukan pengumpulan data
dan analisis. Kedua, teori manajemen klasik membantu menciptakan aspek penting yang
kemudian menjadi gaya dasar dari leader sukses.
Kelemahan manajemen klasik juga perlu dipertimbangkan. Fokusnya sangat sempit,
dan karena itu, membuat manajemen dan leadership menjadi dipertanyakan. Ada
beberapa gaya selain direktif, ada alat selain analitik dan manajemen yang
mempengaruhi kinerja, dan ada beberapa tipe kinerja selain efisiensi. Kelemahan overekstensi teori di paruh pertama abad 20 kurang begitu terlihat di iklim dimana organisasi
memiliki produk dan layanan yang lebih sederhana dan dimana pengalaman manajemen
sudah cukup bagi semua desain dan penyelesaian masalah. Ketika organisasi harus
menjalankan tugas kompleks dalam jumlah besar atau merubah produk dan layanan lebih
sering, maka gaya direktif menjadi disfungsional karena ini mencegah kontribusi pekerja
lebih jauh dan membingungkan pekerja yang ingin mencari sukses.
3.2 Teori Sifat
Asumsi di balik teori sifat adalah bahwa leader memiliki karakteristik tertentu yang
digunakan antar waktu untuk meningkatkan kinerja organisasi dan prestise leader.
Prinsipnya adalah bahwa sifat mempengaruhi perilaku dan perilaku mempengaruhi
efektivitas. Harapannya adalah mengidentifikasi sebuah master list yang berisi sifat (yaitu
gaya master) yang mencerminkan kandidat ideal atau leader ideal. Beberapa sifat leader
memiliki korelasi positif dengan leadership. “Orang rata-rata yang menempati sebuah
posisi leadership bisa melebihi anggota rata-rata dari kelompoknya dalam hal (1)
kemampuan sosial, (2) inisiatif, (3) persistensi, (4) tahu cara menyelesaikan sesuatu, (5)
konfidensi diri, (6) kesiapan ke situasi dan wawasan tentang itu, (7) kerjasama, (8)
popularitas, (9) adaptabilitas, dan (10) fasilitas verbal (Bass, 1990). Meski begitu, Stogdill
menilai dua masalah ini dengan pendekatan master list ke leadership. Pertama, tidak ada
sifat yang secara universal dibutuhkan ke leadership. Kedua, leadership berbeda menurut
“karakteristik, aktivitas dan tujuan follower” (1948).
[5]
Kepemimpinan Sektor Publik / Teori Leadership: Pendekatan Manajerial awal dan Pendekatan
Transaksional
2012
Dalam gaya leadership, asumsi dasarnya adalah bahwa master list dari sifat bisa
memberikan basis tidak langsung untuk sebuah gaya gabungan. Tepatnya, meski sifat
bukan perilaku aktual, ini memandu aktivitas (misal, tahu cara menyelesaikan sesuatu;
kemampuan sosial), dan yang penting, memandu kualitas perilaku (misal, persistensi dan
adaptabilitas). Yang disebut di atas hanyalah point awal dalam memikirkan tipe dan
kualitas perilaku yang signifikan (Zaccaro, 2007). Kelemahan pendekatan ini adalah
bahwa ini tidak menunjukkan kapan sifat yang dipilih adalah penting atau bisa dihapus
tanpa analisis situasional yang ekstensif. Dua leader bisa menggunakan sifat berbeda
dalam meraih level sukses sama, dan leader yang sama bisa menerapkan sifat sama
dalam dua situasi berbeda, yang bisa sukses di satu situasi dan bisa gagal di lain situasi
(Vroom dan Jago, 2007).
4.
PENDEKATAN TRANSAKSIONAL
Di tahun 1950-an, beberapa asumsi leadership teori manajemen awal dan teori sifat
dilawn oleh penelitian dasar yang dilakukan di Ohio State University, University of
Michigan, dan setting lainnya. Di tahun 1960-an, teori leadership mulai berkembang, dan
kemudian disebut pendekatan transaksional. Jaman keemasan pendekatan ini adalah
dari awal 1960-an sampai awal 1980-an, meski minat ke arah itu masih berlanjut sampai
sekarang. Perspektif sistem-tertutup, yang menitikberatkan ke kebutuhan organisasi
internal, tetap mendominasi pikiran pendekatan transaksional, seperti yang ditemukan di
saat periode manajemen awal. Meski begitu, pendekatan transaksional memadukan
beberapa wawasan pikiran hubungan manusia, yang juga mengedepankan pentingnya
kebutuhan pekerja dan motivasi produktivitas, retensi dan pembuatan keputusan. Ini
melawan ketergantungan ke filosofi manajerial top-down dan mentalitas “pekerja sebagai
bagian yang bisa diganti”. Pendekatan transaksional cenderung berisi gaya leader lebih
banyak atau gaya gabungan kompleks lebih banyak, yang semuanya menitikberatkan
inklusivitas pekerja lebih banyak. Ini juga cenderung berisi perspektif pengembangan dan
terfokus-pembelajaran.
Teori hubungan manusia difokuskan ke motivasi pekerja. Dikatakan bahwa motivasi
pekerja bukan hanya kompleks, tapi juga pertimbangan legitimate yang harus
diperhatikan manajer. Hirarki kebutuhan Maslow menunjukkan bahwa manusia memiliki
kebutuhan di lima level yaitu fisiologi, keamanan ekonomi, cinta dan memiliki, martabat
dan aktualisasi-diri (1954). Intinya, manusia mencoba memenuhi dulu kebutuhan
dasarnya yang pertama, dan lalu berlanjut ke kebutuhan “lebih tinggi”. Meski begitu,
karena semua kebutuhan muncul secara bersamaan, maka pemuasan kebutuhan sering
beroverlap. Lebih jauh, individu memiliki level keinginan berbeda saat pemenuhan
kebutuhan di level berbeda. Beberapa individu memiliki kebutuhan akan keamanan
ekonomi, sedangkan lainnya malah tidak ada kebutuhan tersebut sama sekali. Sebuah
pendekatan hubungan manusia memiliki banyak implikasi bagi leader yang tidak lagi
hanya mengarahkan orang berdasarkan kebutuhan analitik dan prinsip manajemen, tapi
juga memberikan perhatian melekat ke kebutuhan pekerja.
Kontributor lain ke pikiran keterlibatan pekerja dalam proses kerja adalah teori
pertukaran sosial. Teori pertukaran sosial menyatakan bahwa semua interaksi adalah
pertukaran keuntungan atau harapan yang berisi bukan hanya keuntungan tangibel
seperti pekerjaan dan uang, tapi juga keuntungan psikologi seperti rekognisi, loyalitas,
keamanan, pertemanan, martabat dan sebagainya (Homans, 1958; Thibaut dan Kelley,
[6]
Kepemimpinan Sektor Publik / Teori Leadership: Pendekatan Manajerial awal dan Pendekatan
Transaksional
2012
1959). Jika perspektif manajemen awal memiliki perspektif organisasi saja, teori
pertukaran sosial mengharuskan leader mempertimbangkan self-interest rasional dari
follower. Dengan mengoptimalkan efisiensi dan efektivitas organisasi, maka dibutuhkan
optimisasi berbagai nilai pekerja. Di versi awal pertukaran sosial, Hollander (1958)
berpendapat bahwa leader meningkatkan kompetensi pertukaran sosial sedangkan
pekerja membantu loyalitas. Leader yang mendukung inovasi dan perubahan sukses
selalu menerima affirmasi loyalitas, dan di masa depan, memberikan alowansi atas
deviasi besar dari norma sebelumnya. Hollander menyebut goodwill dan penerimaan
sebagai “kredit idiosinkrasi”. Laeder yang sangat sukses bisa memberikan solusi tegas,
dan bertindak lebih tidak konvensional. Tentu saja, kegagalan memberikan efek balik
sehingga banyak leader merasakan resistansi hanya untuk perintah logis karena sering
dihubungkan dengan kesalahan masa lalu.
Untuk gaya leadership, pendekatan transaksional berisi gaya supportif untuk
mendukung gaya direktif. Beberapa pendekatan berisi gaya partisipatif, gaya delegatif,
dan gaya orientasi pencapaian. Beberapa teori transaksional memadukan beberapa pola
perilaku ini menjadi sebuah gaya integrasi atau gabungan.
4.1 Teori Grid dari Blake dan Mouton
Pendekatan teori sifat menggunakan kepribadian atau apa yang “dimiliki” leader.
Pendekatan perilaku menitikberatkan apa yang “dilakukan” leader dan aktivitas yang
mereka jalankan. Studi Ohio State dan University of Michigan menunjukkan bahwa
perilaku yang berorientasi tugas dan yang berorientasi orang adalah tugas leadership inti.
Perilaku tugas adalah penting bagi pencapaian tujuan, sedangkan perilaku hubungan
adalah penting untuk motivasi. Salahsatu teori pertama yang digunakan untuk menalar
orientasi perilaku baru ke leadership, yaitu grid manajerial, dikemukakan oleh Robert
Blake dan Jane Mouton (1964). Ini disebut teori grid karena ini menempatkan lima gaya
leadership pada sebuah grid yang berisi dua aksis perilaku. Grid manajerial memadukan
faktor tugas dan faktor supportif dalam cara multiplikatif.
Teori grid lebih cocok dengan pendekatan universal, dibanding kontingensi. Meski
faktor situasional lebih dipertimbangkan (Blake dan Mouton, 1982), ini tidak dibicarakan
secara signifikan di dalam model. Leader harus paham dengan faktor situasional ini, dan
harus memilih perilaku ideal berdasarkan itu, dan selalu menciptakan gaya gabungan
yang dianggap ideal.
Pertimbangan hasil berada di aksis horisontal, dan pertimbangan orang berada di
aksis vertikal di teori grid. Setiap aksis memiliki nilai dari 1 (rendah) sampai 9 (tinggi).
Seorang leader (1.1) kurang peduli dengan bawahan atau produksi. Ini disebut gaya
manajemen yang “buruk”. Seorang leader (9.1) memberikan emphasis besar ke efisiensi
dan pekerja, dengan pekerja digunakan sebagai alat produksi. Karena efisiensi operasi
adalah pertimbangan eksklusif, maka “elemen manusia bisa merusak tapi dalam kadar
minimum” (Blake dan Mouton, 1985). Ini disebut sebagai gaya manajemen “kepatuhanotoritas”. Seorang leader (1.9) memberikan emphasis besar ke pertimbangan orang, yang
nantinya menciptakan “atmosfir organisasi dan tempo kerja yang ramah dan nyaman”. Ini
disebut gaya manajemen “country club”. Leader (5.5) menggabungkan pertimbangan
produksi dan orang, tapi bukan level optimal. Ini memunculkan “kinerja organisasi yang
cukup”. Ini disebut manajemen “manusia organisasi”. Gaya idealnya adalah leadership
(9.9), yang menggabungkan dua elemen (hasil dan orang) di level tinggi. “Pencapaian
[7]
Kepemimpinan Sektor Publik / Teori Leadership: Pendekatan Manajerial awal dan Pendekatan
Transaksional
2012
kerja berasal dari orang berkomitmen. Interdependensi lewat andil umum di tujuan
organisasi bisa menghasilkan hubungan kepercayaan dan kehormatan”. Ini disebut gaya
manajemen “tim”.
Manajemen tim, menurut Blake dan Mouton, membutuhkan target manajemen yang
ditentukan secara mutual, dengan klarifikasi tujuan organisasi yang disesuaikan dengan
kebutuhan pekerja, yang melibatkan penggunaan bakat dan skill pekerja, dan didasarkan
pada kepercayaan, kehormatan dan keterbukaan. Banyak manajer mendukung gaya ini
tapi, ketika memberikan feedback tentang gaya aktualnya, menemukan bahwa persepsi
miliknya dan persepsi bawahan bisa berbeda (Blake dan Mouton, 1985).
Teori grid adalah teori leadership pertama yang populer dan menggunakan dualitas
tugas-orang. Sebagian kesuksesannya disebabkan oleh elegansi dan keterarahan teori
dan tampilannya di level intuitif. Karena itu, ini memberikan kerangka heuristik untuk
tujuan pelatihan atau ideal perilaku manajemen. Meski begitu, teori ini memiliki beberapa
defisiensi. Pertama, sebagai teori universal, ini tidak memberikan penjelasan mengapa
perilaku bisa berbeda dari situasi ke situasi lain, meski disadari bahwa leader perlu
membedakan perilakunya. Ini karena kekuatan teori – elegansinya – malah menjadi
kelemahannya – terlalu sederhana. Tidak heran, dukungan empiris cenderung kecil
karena kurangnya diskriminasi situasional (Weed, Mitchell dan Moffitt, 1976). Yang lebih
problematik adalah bahwa gaya manajemen tim atau gaya high-high tidak selalu ideal.
Meski keseimbangan perilaku direktif dan supportif bisa lebih disukai di banyak waktu,
tidak sulit membayangkan situasi dimana gaya direktif atau supportif bisa lebih tepat
(misal, Miner, 1982). Seorang bawahan perfeksionis yang pekerja keras yang
menemukan errornya sendiri bisa butuh dukungan besar bukan arahan. Sedangkan
pegawai yang egois dan destruktif yang akan diberhentikan selalu salah
menginterpretasikan persoalan sebagai kelemahan yang dimanipulasi. Karena itu, gaya
high-high atau gaya satu-cara-terbaik bisa menjadi cara ideal bagi manajer baru, tapi ini
tidak memberikan advis detail atau mekanisme untuk menangani pengecualian yang
dirasakan leader di berbagai situasi yang ditanganinya setiap hari (Yammarino dan
Dansereau, 2008).
4.2 Leadership Situasional Hersey dan Blanchard
Tidak seperti pendekatan universal yang dikemukakan Blake dan Mouton, sejumlah
peneliti lain menggunakan pendekatan kontingensi yang mana gaya leadership berbeda
menggunakan faktor berbeda. Yang paling populer adalah leadership situasional yang
dikemukakan Hersey dan Blanchard di tahun 1969. Kontingensi yang dikemukakan
didasarkan pada kapasitas follower. Seberapa mampu follower dan bagaimana level
motivasinya? Tergantung pada kontingensinya, leadership situasional mempreskripsikan
empat gaya leadership berbeda: directing, coaching, supporting dan delegating (1969,
1972). Variabel kinerja yang digunakan berhubungan erat dengan produksi, tapi ini jelas
mempertimbangkan kepuasan dan perkembangan follower.
Ketika Hersey dan Blanchard menjawab kritik yang dilontarkan, mereka
membedakan aspek minor dari kontingensi yang digunakan, tapi menjaga gaya tetap
konstan. Di semua versi leadership situasional, ada variabel kontingensi gabungan yang
disebut maturitas follower yang berisi dua elemen, yaitu maturitas kerja dan maturitas
psikologi. Maturitas kerja berisi pengalaman, pendidikan dan kapasitas. Apakah follower
mampu melakukan tugasnya atau tidak? Kemajuan kompetensi atau kemampuan selalu
[8]
Kepemimpinan Sektor Publik / Teori Leadership: Pendekatan Manajerial awal dan Pendekatan
Transaksional
2012
relatif langsung setiap waktu. Kompetensi bisa meningkat dalam cara linear, yaitu berisi
instruksi dan feedback yang baik.
Elemen kedua, yang berbeda sedikit dalam versi berbeda, adalah sikap, fokus ke
kemauan atau komitmen. Selanjutnya, kemauan selalu didasarkan motivasi dan
konfidensi. Ini berfungsi dalam cara kurvilinear. Kemauan berawal dari level tinggi ketika
pegawai baru masuk kerja dengan ketertarikan dan semangat. Meski begitu, ketika realita
pekerjaan dan tantangan menguasai keahlian menurun, motivasi juga ikut kendor. Dalam
jangka panjang, meski begitu, ketika pekerja menjadi sangat kompeten dan menyerap
nilai profesional, komitmen bisa naik lagi. Aspek perkembangan dari leadership
situasional sangat tergantung dari pola ini – tinggi, rendah, tinggi – dan ini universal.
Meski begitu, ada debat apakah ini memang terjadi atau apakah ada pola sikap lain
seperti rendah, medium atau tinggi (khususnya, terkait konfidensi) atau bahkan tinggi,
medium, rendah (terkait burnout).
Gaya leader adalah kombinasi dari perilaku direktif dan supportif. Perilaku direktif
berisi pengawasan, memberikan arah, instruksi dan klarifikasi; penentuan tujuan;
penciptaan jadwal waktu; dan seterusnya. Emphasisnya adalah pada komunikasi satuarah. Perilaku supportif berisi mendengar, berbagai tipe dan level inklusi, dan
pendorongan. Gaya mengarahkan (directing) berisi perilaku direktif tinggi dan perilaku
supportif rendah. Gaya membimbing (coaching) berisi perilaku direktif dan supportif yang
tinggi. Gaya mendukung (supporting) berisi perilaku direktif rendah dan supportif tinggi.
Gaya delegasi (delegating) berisi perilaku direktif dan supportif rendah.
Hersey dan Blanchard menjelaskan bahwa follower yang rendah kompetensi tapi
tinggi komitmen, seperti pegawai baru, mau mematuhi instruksi dan struktur tapi tidak
butuh banyak perilaku supportif. Tipe situasi ini membutuhkan gaya directing. Follower
yang memiliki kompetensi moderat tapi rendah komitmen karena kurang konfidensi tetap
membutuhkan banyak perilaku direktif dan perilaku supportif untuk mendorong mereka.
Gaya coaching mendorong keterlibatan tinggi dengan bawahan, dengan leader
menunjukkan keterlibatan besar dalam tujuan dan supervisi. Ketika kompetensi follower
naik dalam range moderat, dan mampu mengatasi masalah dan isu, leader harus
memberikan arahan rendah dan dukungan tinggi. Dalam gaya supporting, leader
menekankan pentingnya partisipasi bersama di dalam pembuatan keputusan bawahan
atau ketersediaan penyelesaian masalah. Terakhir, follower yang sangat mature perlu
sedikit arahan atau dukungan. Follower mencari advis dan dukungan teknis berdasarkan
kebutuhan. Kebutuhan emosi cenderung jauh lebih lunak, seperti rekognisi keahlian,
bukan pujian. Gaya delegating (delegasi) berasumsi bahwa independensi pekerja relatif
adalah sebuah strategi reward dan efisiensi.
Keunggulan teori ini bisa terbilang signifikan. Yang pertama adalah bahwa beberapa
aspek model memiliki tampilan intuitif. Aspek mayoritas kerja memiliki validitas muka yang
besar karena ini menggunakan model pembelajaran pengembangan yang banyak
diterima. Ketika orang tidak tahu cara melakukan sesuatu, maka mereka butuh arahan.
Ketika mereka belajar, mereka kurang butuh arahan. Dalam cara sama, perilaku supportif
selalu berubah menurut tipe kebutuhan dan maturitas follower. Penjelasan Hersey dan
Blanchard bahwa follower yang kompeten moderat membutuhkan perilaku supportif
terbesar adalah benar, sedangkan follower yang sangat kompeten membutuhkan perilaku
support terkecil. Karena tampilannya intuitif, model ini digunakan paling luas dalam setting
pelatihan terapan. Selain itu, prinsip di balik model ini mudah dikuasai karena gaya
[9]
Kepemimpinan Sektor Publik / Teori Leadership: Pendekatan Manajerial awal dan Pendekatan
Transaksional
2012
leadership hanya didasarkan pada maturitas follower. Lebih jauh, model dikatakan sangat
preskriptif, yang memberikan diagnosa jelas bagi praktisi yang ingin jawaban lebih, bukan
teori abstrak. Terakhir, teori ini juga menjelaskan range dan adaptabilitas gaya leadership.
Instrumen yang digunakan (disebut Leadership Effectiveness and Adaptability
Description, atau (LEAD), yang dulunya disebut Leader Adaptability and Style Inventory
(LASI)) mencoba menemukan apakah seseorang cenderung menggunakan satu gaya di
setiap waktu, apapun situasinya. Ini adalah sebuah konsep yang harus dipahami leader
karena fleksibilitas leadership bisa meningkatkan kapasitas leadership keseluruhan.
Kelemahan model di atas juga besar. Pertama, basis untuk menentukan gaya
leadership yang benar sangatlah sempit. Gaya hanya didasarkan pada kompetensi dan
komitmen bawahan, dan ini membuang kontingensi lain seperti faktor tugas, organisasi
atau leader. Selama karakteristik follower adalah faktor paling penting, yang memang
begitu bagi supervisor frontline, kesempitan kontingensi bukanlah masalah besar. Meski
begitu, ketika faktor lain menjadi lebih penting (Slocum, 1984), teori leadership tambahan
harus digunakan dan dipadukan dengan leadership situasional. Kedua, aspek maturitas
psikologi dari teori terbilang sangat longgar, dan penjelasan tentang itu berbeda signifikan
tentang pola dan keterkaitannya dengan gaya leadership. Secara keseluruhan, pola nonlinear dalam versi leadership situasional berbeda sering tidak meyakinkan dalam sebuah
analisis yang lebih kuat. Mengapa komitmen awal selalu turun seiring waktu? Lebih jauh,
elemen maturitas psikologi bisa memadukan beberapa sub-faktor berbeda, seperti
motivasi dan konfidensi, yang bisa mendukung pendekatan leader berbeda. Bayangkan
seorang pegawai yang tidak termotivasi karena kurang berminat di pekerjaan, dan
pegawai lain suka dengan pekerjaannya tapi kurang aman karena tidak pernah diberi
peluang melakukan penilaian independen. Masalah ini menimbulkan persoalan ketiga.
Meski ada dukungan (Hambleton dan Gumpert, 1982; Yun, Faraj dan Sims, 2005), level
dukungan empiris bisa dikatakan sangat rendah. Umumnya, komunitas penelitian
merespon ini dengan temuan negatif (Blake dan Mouton, 1982; Fernandez dan Vecchio,
1997) atau kepedulian dengan penjelasan dasar teori. Versi selanjutnya dari teori
bukanlah peningkatan signifikan (Thompson dan Vecchio, 2009).
4.3 Teori Path-Goal
Teori path-goal menyatakan bahwa “leader, agar efektif, menunjukkan perilaku yang
mendukung lingkungan dan kemampuan bawahan dalam cara yang menutup defisiensi,
dan juga perilaku yang instrumental bagi kepuasan bawahan dan bagi kinerja individu dan
unit kerja” (House, 1996). Dengan kata lain, tanggungjawab leader adalah mencocokkan
tujuan pekerja dan tujuan organisasi, dan memastikan bahwa jalur pegawai (path) ke
pencapaian tujuan (goal) menjadi lancar. Pondasi teori path-goal berasal dari teori
pertukaran sosial (Hollander, 1958; Homans, 1958) dan teori ekspektansi (Vroom, 1964).
Teori path-goal berasumsi bahwa pekerja dan atasan berada dalam hubungan pertukaran
yang saling menguntungkan, dan bahwa tugas leader adalah meningkatkan resiprokitas
dan penyesuaian tujuan. Ini dikonsepkan penuh dalam teori ekspektansi, yang
menyatakan bahwa motivasi adalah fungsi multiplikatif dari kapasitas pekerja,
aksesibilitas reward, dan keinginan reward. Kapasitas pekerja berisi elemen yang
membantu penyelesaian tugas yang sukses sepreti kemampuan native, pelatihan,
kejelasan prosedur, dukungan sumberdaya dan alat, dukungan motivasi, bantuan saat
ada masalah, dan sebagainya. Aksesibilitas reward berisi elemen yang membantu
[10]
Kepemimpinan Sektor Publik / Teori Leadership: Pendekatan Manajerial awal dan Pendekatan
Transaksional
2012
pencapaian reward, seperti memastikan bahwa reward memang ada, dibagikan dengan
fair, dan dipahami dengan jelas. Keinginan reward ini berisi elemen yang membantu
pekerja dalam mencari reward, seperti penyesuaian reward dengan preferensi pekerja,
dan memastikan bahwa level reward adalah signifikan dari perspektif pekerja.
Teori path-goal menjelaskan dua tipe kontingensi yang ditemukan di model
leadership transaksional – yaitu karakteristik tugas dan bawahan – tapi lebih
komprehensif. Karena karakteristik tugas dan bawahan yang dipertimbangkan cenderung
banyak dan open-ended, maka teori path-goal menjadi sebuah kerangka, bukan teori.
Banyak gaya yang efektif mengatasi kontingensi juga open-ended, dan mulai berkembang
di beberapa tahun terakhir. Artikulasi path-goal yang paling jelas, yang dikemukakan
House dan Mitchell (1974), memiliki empat gaya, dan membentuk basis diskusi.
Perbandingan antara teori grid, leadership situasional dan teori path-goal perlu
dilakukan. Karena kedekatan historisnya, ketiganya cenderung memberikan emphasis ke
kontingensi berorientasi tugas dan berorientasi orang, dan mengabaikan faktor organisasi
dan leader. Teori grid dan teori path-goal adalah yang paling tidak mirip karena teori grid
didasarkan pada pendekatan universal dengan satu preskripsi komprehensif, sedangkan
teori path-goal adalah pendekatan kontingensi yang berskala penuh. Di permukaan,
leadership situasional dan teori path-goal memiliki persamaan. Keduanya adalah
pendekatan kontingensi diadik yang menggunakan empat gaya. Duanya memberikan
emphasis ke kebutuhan bawahan. Meski begitu, leadership situasional mencoba
menjelaskan hanya dua faktor bawahan (kematangan kerja dan kematangan psikologi),
sedangkan teori path-goal mencoba menggunakan semua faktor tugas dan faktor
bawahan. Leadership situasional menghasilkan sebuah jalur perkembangan dengan
menggunakan progresi linear gaya leader, sedangkan path-goal berasumsi bahwa ada
banyak faktor yang memberikan pengaruh countervail dan percampuran gaya berbeda.
Jika leadership situasional menjadi sempit dan rigid, maka path-goal cenderung kompleks
dan longgar.
Kontribusi penting lain dari teori ini adalah konseptualisasi kebutuhan akan
leadership. Bisa dikatakan, leadership tidak selalu dibutuhkan. Tapi, leadership mensuplai
apa yang dibutuhkan atau apa yang hilang di bawahan atau lingkungan tugasnya. Dalam
kondisi ideal, pegawai yang kooperatif, termotivasi dan terlatih dengan suplai dan insentif
yang luas membutuhkan “leadership” yang sangat minim. Karena kondisi ideal ternyata
langka, meski begitu, leadership biasanya dibutuhkan untuk meningkatkan dan menjaga
kondisi ini. Teori path-goal mempelajari banyak kontingensi yang efisien, dan
menyarankan tipe leadership yang bisa memenuhi kebutuhan tertentu. Aspek teori ini
kemudian diperluas dan diperbaiki dalam teori substitusi leadership.
Meski secara teori, jumlah kontingensi terkait-tugas terbilang banyak, penelitian
tentang teori path-goal mengidentifikasi lima variabel. Yang pertama adalah ambiguitas
tugas. Ambiguitas ini berhubungan dengan kejelasan kerja inkumben atau level
formalisasi yang ada di dalam pekerjaan. Jika inkumben tidak memahami pekerjaan,
maka itu ambigu, dan jika pekerjaan sangat rutin, maka itu tidak ambigu. Ambiguitas
rendah umumnya membutuhkan leadership rendah dan ambiguitas tinggi membutuhkan
leadership lebih banyak. Kesulitan tugas menjadi faktor lainnya. Tugas bisa sulit karena
kompleks, contohnya, yang membutuhkan informasi dan penyelesaian masalah, atau
yang melibatkan banyak variasi. Aspek lain dari kesulitan adalah kebutuhan akan
perubahan yang menjadi fungsi pekerjaan. Kesulitan rendah membutuhkan leadership
[11]
Kepemimpinan Sektor Publik / Teori Leadership: Pendekatan Manajerial awal dan Pendekatan
Transaksional
2012
rendah, dan kesulitan tinggi membutuhkan leadership lebih banyak. Elemen ketiga adalah
kualitas pekerjaan. Beberapa pekerjaan menimbulkan stress, kebosanan atau bahkan
bahaya, sedangkan pekerjaan lain cenderung lebih menarik. Path-goal menyatakan
bahwa pekerjaan berkualitas rendah membutuhkan leadership lebih banyak. Kontingensi
lainnya adalah kadar interdependensi kerja. Pekerjaan dengan interdependensi tinggi
cenderung membutuhkan leadership karena dibutuhkan koordinasi. Terakhir, path-goal
sering mempelajari kontrol pekerja terhadap pekerjaan. Beberapa pekerjaan memberikan
banyak otonomi dan feedback yang memudahkan evaluasi dan koreksi ke dalam
pekerjaan. Pekerjaan ini memberikan kontrol pekerja yang tinggi dan membutuhkan
leadership yang lebih sedikit.
Kelas kontingensi lainnya melibatkan bawahan. Yang sangat penting di sini adalah
level pendidikan, pelatihan dan pengalaman bawahan. Level rendah pelatihan dan
pengalaman membutuhkan level leadership yang lebih tinggi. Preferensi kerja juga
mempengaruhi gaya leader. Contoh, beberapa pekerja memiliki preferensi lebih tinggi ke
struktur dan lebih suka gaya “otoritarian” atau dogmatis. Mereka mengharap leadership
lebih banyak. Beberapa follower suka mengontrol kerjanya (yaitu lokus kontrol internal),
sedangkan pegawai lain merasa lebih banyak berbagi kontrol atau melakukan kontrol di
lain tempat. Preferensi ini membentuk tipe leadership yang digunakan. Terakhir, teori
path-goal mempelajari kapan bawahan suka tipe pemenuhan berbeda di waktu tertentu.
Tipe pemenuhan ini meliputi keinginan akan keamanan, kebutuhan afiliasi, rekognisi
individu, dan aspirasi untuk kesuksesan kelompok. Ketika setiap tipe pemenuhan
mendominasi follower, maka ini mempengaruhi gaya leadership yang ingin dijalankan.
Untuk menindaklanjuti kebutuhan kontingen ini, gaya direktif dan supportif
digunakan (House, 1971). House dan Mitchell (1974) menambahkan gaya partisipatif dan
orientasi pencapaian. Perilaku leader yang mengklarifikasi path-goal direktif adalah
perilaku yang diarahkan untuk memberikan struktur psikologi bagi bawahan, yaitu
“memberitahu bawahan apa yang harus dilakukan, menjadwalkan dan mengkoordinasi
kerja, memberikan panduan spesifik, dan mengklarifikasi kebijakan, aturan dan prosedur”
(House, 1996). Perilaku ini non-punitif dan non-otoritarian. Perilaku ini membantu menata
dan mengklarifikasi pekerjaan dan memberikan motivasi intrinsik dimana motivasi intrinsik
dirasa kurang.
“Perilaku leader supportif adalah perilaku yang diarahkan ke pemuasan kebutuhan
dan preferensi bawahan, seperti menunjukkan pertimbangan akan kesejahteraan
bawahan dan menciptakan sebuah lingkungan kerja yang ramah dan supportif
psikologis”. Perilaku ini bisa menjadi sumber konfidensi diri dan kepuasan sosial, dan bisa
juga menjadi sumber pengurangan stress dan penghapusan frustasi (House, 1996).
Perilaku supportif juga menenangkan bawahan atau memberikan mereka kesan
signifikansi dan/atau kesetaraan.
“Perilaku leader partisipatif adalah perilaku yang diarahkan ke dorongan ke
bawahan agar bisa mempengaruhi pembuatan keputusan dan operasi unit kerja. Ini bisa
dilakukan dengan berkonsultasi dengan bawahan dan mempertimbangkan opini dan
saran mereka ketika membuat keputusan” (House, 1996). Ada empat efek di sini.
Pertama, perilaku ini mengklarifikasi hubungan antara usaha, pencapaian tujuan dan
reward ektrinsik. Kedua, ini meningkatkan kongruensi tujuan pekerja dan atasan lewat
proses pengaruh. Ketiga, ini meningkatkan usaha dan kinerja pekerja dengan membuat
bawahan mengklarifikasi intensi bahkan ketika bertindak lebih otonom. Terakhir, ini bisa
[12]
Kepemimpinan Sektor Publik / Teori Leadership: Pendekatan Manajerial awal dan Pendekatan
Transaksional
2012
meningkatkan keterlibatan dan komitmen rekan, atau tekanan sosial yang bisa digunakan
untuk meningkatkan kinerja organisasi.
“Perilaku berorientasi pencapaian adalah perilaku yang diarahkan untuk mendorong
ekselensi kinerja, menetapkan tujuan yang menantang, mencari peningkatan,
memberikan emphasis ekselensi dalam kinerja, dan menunjukkan konfidensi bahwa
bawahan bisa meraih standar kinerja yang tinggi” (House, 1996). Perilaku ini juga
mendorong pembedaan level reward kontingen, dan menitikberatkan aktualisasi-diri lewat
tujuan kerja.
Berdasarkan kontingensi yang ada, gaya berbeda bisa mengisi bagian “hilang” di
dalam teori path-goal. Bila kejelasan kerja dan formalisasi ternyata kurang, leadership
direktif bisa memberikan struktur. Ketika pekerjaan menjadi sulit karena kompleksitas atau
perubahan, perilaku leader partisipatif menjadi berguna seperti perilaku berorientasipencapaian ketika membutuhkan standar yang lebih tinggi. Pekerjaan yang tidak
menyenangkan membutuhkan perilaku leader supportif. Pekerjaan yang sangat
interdependen membutuhkan gaya partisipatif lebih banyak. Ketika pekerja bisa lebih
banyak mengontrol pekerjaannya, perilaku leader yang berorientasi pencapaian adalah
yang lebih baik dibanding direktif. Kurangnya pelatihan dan pendidikan membutuhkan
gaya direktif lebih banyak, begitu juga pada situasi dimana bawahan memiliki preferensi
ke struktur dan tatanan. Meski begitu, ketika pekerja memiliki preferensi untuk
memberikan kontrol tinggi terhadap pekerjaan, maka gaya leadership partisipasi atau
orientasi pencapaian cenderung lebih baik. Kebutuhan afiliasi yang tinggi cenderung
membutuhkan perilaku supportif dan/atau partisipatif, sedangkan gaya direktif dan
orientasi pencapaian malah menyebabkan disfungsional. Individu dengan keinginan kuat
akan rekognisi individu lebih suka gaya supportif dan orientasi pencapaian, sedangkan
individu yang suka kesuksesan kelompok lebih perhatian ke gaya partisipatif (House,
1996).
Salahsatu kekuatan dari teori path-goal adalah fokusnya pada keterkaitan antara
leadership dan motivasi bawahan dikonteks lingkungan kerja. Follower adalah orang yang
bisa menyelesaikan pekerjaan, dan karena itu, tanggungjawab primer dari leader adalah
memastikan bahwa follower memiliki sumberdaya, arah, dukungan, dan peluang untuk
inklusi dan sukses sehingga bisa menguntungkan mereka dan organisasi. Teori
ekspektansi, yang mendasari teori path-goal, adalah model dari tipe motivasi yang lebih
transaksional yang ada di tempat kerja. Karena itu, validitas muka dari teori tidak bisa
disangkal. Tidak seperti model grid dan leadership situasional, path-goal adalah lebih
fleksibel karena ini adalah sebuah framework. Ketika hubungan baru terbentuk di dalam
kontingensi yang dirasakan bawahan dan di dalam gaya yang digunakan leader, maka
semakin mudah itu dimasukkan ke teori path-goal. Di tahun 1996, House melakukan itu,
yaitu mengemukakan hipotesis baru (sejumlah 26 hipotesis) dan gaya baru. Beberapa
gaya adalah divisi dari gaya sebelumnya, tapi dia juga menambahkan gaya yang
sepenuhnya baru, seperti leadership basis-nilai, yang sama seperti leadership
inspirasional dalam taksonomi di buku ini, atau perilaku representasi dan networking,
yang sama seperti leadership eksternal. Lebih jauh, teori ini tidak pernah membuang
campuran gaya leadership, dan mengambil gaya alternatif bila ada kebutuhan berbeda
dari bawahan. Meski teori atau framework bisa jadi kompleks, perlu dicatat bahwa
leadership adalah sebuah fenomena kompleks dan bahwa model sederhana dari
[13]
Kepemimpinan Sektor Publik / Teori Leadership: Pendekatan Manajerial awal dan Pendekatan
Transaksional
2012
leadership malah lebih sempit dalam penjelasannya, atau sangat abstrak dan tidak
spesifik.
Sifat inklusif dari teori path-goal memiliki beberapa kelemahan. Pertama, ini bukan
teori elegan. Proposisi tersebar luas sampai ranah motivasional, dan karena itu, harus
dipelajari setiap waktu. Masih ada kemungkinan bahwa 26 proposisi House bisa
bertambah atau bahwa gaya yang dikemukakan bisa semakin banyak. Tidak heran, pathgoal tidak memberikan basis program pelatihan leadership karena sifat kompleksnya.
Ironisnya, dengan segala kompleksitas dan perkembangan yang ada, teori path-goal tidak
komprehensif. Dalam versi awalnya, ini mengabaikan kontingensi leader dan organisasi.
Versi 1996 dari House berisi banyak kontingensi organisasi, tapi path-goal tetap tidak
boleh disebut sebagai teori leadership komprehensif.
4.4 Teori Leader-Member Exchange
Teori Leader-Member Exchange (LMX) difokuskan ke hubungan yang dirasakan
leader dan anggota kelompok saat bernegosiasi dan bertukar persepsi mutual, pengaruh,
tipe dan jumlah pekerjaan, loyalitas dan prasyarat, dan sebagainya. Tidak seperti teori
pertukaran lain, teori ini mempelajari leader-member exchange sebagai trend interaksi
jangka panjang, bukan kejadian diskrit yang tidak terkait, seperti di kasus teori path-goal.
Awalnya, teori ini mendeskripsikan sifat in-group dan out-group di tempat kerja.
Kemudian, teori ini bisa melihat lebih dekat efek keberadaan in-group dan out-group.
Versi awal dari teori disebut teori linkage diadik vertikal (Graen dan Cashman,
1975). Ini memisahkan follower menjadi dua kategori member berdasarkan hubungan
high-exchange dan low-exchange. Member hubungan high-exchange cenderung memiliki
peran ekspansif dan tanggungjawab yang bisa dinegosiasikan. Leader menganggap
member hubungan high-exchange sebagai lebih kompeten, bekerja keras, dan lebih
disukai. Member cenderung mendapat keuntungan lebih banyak, termasuk tugas yang
diinginkan, reward tangibel, skedul lebih baik, pujian lebih banyak, bantuan karir, dan
konsultasi dalam pembuatan keputusan. Selanjutnya, untuk memiliki dan melestarikan
status hubungan-tinggi, maka member harus mau memikul tanggungjawab atau
pekerjaan lebih banyak seperti tugas administratif, harus loyal dan/atau menghasilkan
lebih banyak. Keuntungan bagi leader adalah adanya kelompok inti yang berisi orang
berkomitmen, loyalitas, dan dukungan bagi fungsi khusus dan administratif. Meski begitu,
member hubungan-tinggi berharap ada inklusi dan dukungan lebih besar, dan
menghindari taktik koersif atau otoritarian. Member hubungan-rendah cenderung berada
di dalam peran yang didefinisikan, dan hanya melakukan lebih sedikit daripada yang
dibutuhkan, itupun bila “waktu mereka mengijinkan”. Mereka kurang komitmen ke
pekerjaan atau ke leader. Leader menganggap member hubungan low-exchange sebagai
kurang kompeten, kurang bekerja keras dan/atau kurang loyal. Karena itu, member
hubungan low-exchange jarang diberikan keuntungan ekstra, dukungan profesional atau
personal, atau dimintai konsultasi dalam keputusan organisasi.
Versi kedua dari teori LMX berpindah dari pendekatan deskriptif ke preskriptif, yang
didasarkan pada asumsi bahwa leader yang baik menciptakan sebanyak mungkin
hubungan high-exchange. Asumsi ini didasarkan pada penelitian yang menunjukkan
bahwa member high-exchange cenderung memiliki sikap yang lebih baik, menghasilkan
lebih banyak, lebih fleksibel, merasakan turnover lebih rendah, lebih sering advans, dan
lebih mau terlibat dan memajukan tujuan kelompok. Ini menghasilkan sebuah gaya ideal.
[14]
Kepemimpinan Sektor Publik / Teori Leadership: Pendekatan Manajerial awal dan Pendekatan
Transaksional
2012
Leader ideal akan selalu menjaga hubungan high-exchange. Leadership yang buruk akan
menghasilkan banyak hubungan low-exchange (Graen dan Uhl-Bien, 1995).
Teori ini tidak difokuskan ke variabel situasi atau intervensi. Ini terlihat seperti
variabel moderasi – yang mempengaruhi kekuatan gaya leader ideal. Satu karakteristik
pentingnya adalah sifat pengaruh. Dalam hubungan low-exchange, pengaruh adalah
satu-arah atau direktif (dari leader ke member), tapi dalam hubungan high-exchange,
pengaruhnya resiprokal. Tepatnya, dalam hubungan high-exchange, follower bisa
mempengaruhi leader dengan mengekspresikan opini dan ide baru. Leader sering
menggunakan perilaku partisipatif atau orientasi pencapaian. Karakteristik lain adalah
sifat peran yang dimainkan member. Dalam hubungan low-exchange, peran didefinisikan
atau dibuat oleh prosedur dan protokol. Dalam hubungan high-exchange, peran bisa lebih
cair dan ternegosiasikan. Karakteristik lain adalah jumlah rasa hormat dan kepercayaan
yang dirasakan leader dan member, yang sangat terbatas atau formalistik dalam
hubungan low-exchange. Dalam hubungan high-exchange, hormat dan kepercayaan bisa
mendalam dan relatif tanpa syarat. Ini berarti bahwa leader ideal lebih sering
menggunakan perilaku supportif agar bisa menciptakan goodwill. Terakhir, ada fokus ke
minat. Dalam hubungan low-exchange, minat member adalah ke pemuasan diri (seperti
minat manajemen), tapi dalam hubungan high-exchange, minat leader dan member
difokuskan ke kelompok, yang akan memadukan kebutuhan individu dan organisasi. Ini
akan memunculkan perilaku kelompok yang lebih baik dan perilaku kreatif (Ilies,
Nahrgang, dan Morgeson, 2007; Atwater dan Carmeli, 2009).
Gaya bisa beragam dari yang paling dibenci sampai ideal. Gaya “orang asing”
cenderung formal, direktif, dan jauh. Leader memiliki rasa hormat dan kepercayaan
rendah ke bawahannya. Gaya “kenalan” adalah yang kurang formal, kurang direktif dan
tidak jauh, tapi berhati-hati dalam mengawasi dan mengurus member. Konfidensi leader
ke member terbilang moderat. Gaya “partner” digambarkan dengan resiprokitas,
“dukungan” yang tanpa syarat, fleksibilitas, kepercayaan dan konfidensi tinggi, dan
dukungan tinggi ke kebutuhan member. Gaya partner adalah gaya ideal dalam gaya
manajemen tim yang dikemukakan Blake dan Mouton.
Salahsatu keunggulan besar dari teori ini adalah bahwa ini mendeskripsikan
persepsi realita – keberadaan in-group dan out-group, atau high producer dan low
producer. Member dari in-group mendapat “rembesan” lebih banyak tapi sering bertindak
lebih baik, lebih loyal dan lebih fleksibel. Versi terbaru menunjukkan bahwa ada
kemungkinan, meski tidak sering, untuk membentuk tim high-performing yang menghapus
keberadaan out-group. Semua member dihargai, memberikan tipe kontribusi berbeda,
dan mendapat tipe reward yang berbeda. Kompetisi difokuskan di luar unit, dan kompetisi
internal sengit dicegah.
Kekuatan lain dari teori ini adalah bahwa ini memberikan perhatian ke aspek
hubungan jangka panjang dari leadership. Meski tidak sendirian di fokus ini (Hollander,
1958), ini berbeda dari teori yang dipelajari sejauh ini. Leadership adalah lebih dari
sekadar serangkaian episode diskrit dan tidak terkait antara leader dan member yang
mana kalkulus exchange selalu baru di setiap waktu. Leader dan member berinteraksi
beberapa kali di masa lalu, dan tahu bahwa mereka akan berinteraksi juga di masa
depan. Karena itu, sentimen dan keyakinan jangka panjang menjadi motivasi besar dari
dua pihak. Dalam hubungan high-exchange, leader atau member tidak peduli dengan
[15]
Kepemimpinan Sektor Publik / Teori Leadership: Pendekatan Manajerial awal dan Pendekatan
Transaksional
2012
siapa yang mendapat apa dalam jangka pendek karena ada kepercayaan bahwa minat
resiprokal akan dipertimbangkan setiap waktu.
Terakhir, teori bersifat praktikal dan menyadari bahwa meski hubungan bersifat
kebersamaan dan bawahan membantu menciptakan itu, tanggungjawab akhir untuk
menjalankan hubungan berada di tangan leader. Leader sering memaksakan kehendak
ke follower, atau memunculkan kesan pertama disfungsional di hadapan member.
Kelemahan besar dari versi preskriptif LMX adalah bahwa ini rawan masalah
pendekatan universal. Ini cenderung simplistik dan mengabaikan variabel situasi. Contoh,
apa yang anda lakukan bila member adalah socioapth, bila unit memiliki sejarah perilaku
self-serving intensif, atau bila unit memiliki banyak pegawai yang tidak berbakat dan tidak
kompeten? Meski ideal teori menjadi patokan, ini tidak selalu cocok dengan realita atau
kebutuhan jangka pendek manajemen.
Kelemahan lain dari teori ini adalah bahwa ini tidak menjelaskan perkembangan dari
hubungan tinggi dan hubungan rendah. Penggunaan teori atribusi mungkin bisa
mengurangi masalah ini (Yukl, 2002). Teori atribusi menyatakan bahwa (1) leader
mencoba menentukan alasan bagi kinerja efektif dan tidak efektif, dan (2) leader
mengambil aksi yang tepat berdasarkan gaya/perilaku yang ada. Dalam menentukan
alasan dari kinerja yang tidak efektif, atribusi eksternal berbicara tentang masalah di luar
kontrol bawahan (misal, kurang sumberdaya atau kondisi yang tidak biasa), sedangkan
atribus internal mendefinisikan masalah seperti kurangnya kemampuan atau kurang
usaha. Bila atribusi eksternal dibuat oleh leader, maka perilaku mereka cenderung
memberikan bantuan atau dukungan, atau mengabaikan masalah secara keseluruhan.
Ketika atribusi internal bisa diberikan, leader cenderung mengawasi dan memberikan
instruksi, menetapkan tujuan yang lebih mudah, memberikan bimbingan, atau melakukan
hukuman. Masalah dari teori LMX adalah yang disebut perilaku terfosil. Sangat sulit
memecah persepsi member in-group atau member out-group. Bila kinerja ternyata
defisien, maka kecenderungannya adalah bahwa leader harus membuat atribusi eksternal
ke member hubungan-tinggi dan melakukan atribusi internal ke member hubunganrendah, apapun situasinya. Kadang, member hubungan-tinggi perlu diberikan
akuntabilitas lebih banyak. Member hubungan-rendah malah sering disalahkan bila ada
masalah, dan mendapat bantuan lebih sedikit dibanding yang diminta karena efek
stereotype leader. Ini memicu siklus benci di member low-exchange terhadap anggota ingroup atau orang favorit. Leader yang lemah cenderung memproyeksikan atribusi internal
terlalu cepat, dan tidak memberikan bantuan atau membangun kekuatan bawahan.
Beberapa strategi yang diambil untuk membantu low performer dengan defisiensi
kinerja adalah:
 Mengekspresikan keinginan serius untuk membantu dan menunjukkan konfidensi
terhadap orang tertentu.
 Menarik informasi tentang masalah kinerja sebelum mengambil tindakan dan
menghindari kecondongan atribusi.
 Memberikan feedback dengan cepat dan melakukan ini dalam situasi spesifik.
 Ketika memberikan feedback, ini dilakukan dengan tenang dan profesional dengan
menfokuskan diri ke perilaku, bukan individu.
 Menunjukkan efek buruk dari perilaku.
 Mengidentifikasi alasan dari kinerja yang tidak cukup.
[16]
Kepemimpinan Sektor Publik / Teori Leadership: Pendekatan Manajerial awal dan Pendekatan
Transaksional
2012
 Meminta orang yang bersangkutan menyarankan solusi dan bersepakat untuk
tindakan tertentu.
 Meringkas diskusi dan memverifikasi perjanjian (adaptasi dari Yukl, 2002).
4.5 Teori Keputusan-Normatif Vroom
Satu model penting dari leadership difokuskan ke pembuatan keputusan. Salahsatu
fungsi utama dari seorang leader, tapi bukan satu-satunya fungsi, adalah menetapkan
parameter untuk pembuatan keputusan di dalam organisasi atau unit. Dalam arti lebih
sempit, isu inklusi keputusan hanyalah tiga dari 21 fungsi yang dikemukakan sebelumnya,
yaitu penyelesaian masalah di level tugas, manajemen konflik di level orientasi orang, dan
pembuatan keputusan di level organisasi. Meski begitu, dalam artai luas, ini
mempengaruhi hampir separuh fungsi leadership, yang berisi semua aktivitas
perencanaan dan implementasi.
Teori dasar Vroom mengatakan bahwa empat tipe leadership harus digunakan, di
berbagai kondisi, untuk meraih keputusan baik dalam hal kualitas, penerimaan, ketepatan
waktu, dan biaya, atau memberikan peluang bagi perkembangan pegawai. Model ini
memiliki penelitian dan pondasi teori yang kuat, tapi relatif kompleks. Ini awalnya digagas
di tahun 1973 (Vroom dan Yetton) dan diperbaiki di tahun 1988 (Vroom dan Jago). Ini
disebut model keputusan-normatif karena ini menjelaskan gaya yang digunakan dalam
kondisi tertentu bagi kelompok dan individu. Untuk mudahnya, konteks keputusan
kelompok dan individu bisa digabung di dalam diskusi ini.
Ada empat tipe berbeda dari metode keputusan manajemen (Vroom dan Jago,
1988). AI dan AII adalah gaya otoritarian, CI dan CII adalah gaya consultative
(konsultatif), GI dan GII adalah gaya pembuatan keputusan bersama atau partisipatif, dan
DI adalah gaya delegasi.
AI
AII
CI
CII
GI
GII
Anda menyelesaikan masalah atau membuat keputusan dengan menggunakan
informasi yang tersedia di dalam waktu sekarang.
Anda memperoleh informasi yang dibutuhkan dari bawahan, dan kemudian,
memutuskan solusi ke masalah tersebut.
Anda berbagi masalah dengan bawahan relevan secara individu, mendapat ide dan
saran tanpa mempertemukannya sebagai kelompok. Kemudian, anda membuat
keputusan. Keputusan ini bisa atau tidak mencerminkan pengaruh bawahan.
Anda berbagi masalah dengan bawahan di dalam pertemuan kelompok. Dalam
pertemuan ini, anda memperoleh ide dan saran. Kemudian, anda membuat
keputusan, yang atau tidak merefleksikan pengaruh bawahan.
Anda berbagi masalah dengan salahsatu bawahan, dan secara bersama, anda
menganalisa masalah dan meraih solusi memuaskan di dalam atmosfir pertukaran
informasi dan ide secara bebas dan terbuka. Anda bisa membantu penyelesaian
masalah dengan kontribusi relatif dari setiap pihak dengan mengandalkan
pengetahuan, bukan otoritas formal.
Anda berbagi masalah dengan bawahan sebagai kelompok. Secara keseluruhan,
anda membuat dan mengevaluasi alternatif, dan berusaha meraih kesepakatan
(konsensus) atas sebuah solusi. Peran ini lebih mirip chairperson, yang
mengkoordinasi diskusi, membuatnya fokus ke masalah, dan memastikan bahwa
persoalan penting telah didiskusikan. Anda bisa memberikan informasi atau ide ke
[17]
Kepemimpinan Sektor Publik / Teori Leadership: Pendekatan Manajerial awal dan Pendekatan
Transaksional
DI
2012
kelompok, tapi anda tidak perlu mendesak mereka menggunakan solusi anda, dan
anda mau menerima dan mengimplementasikan solusi apapun yang mendukung
kelompok keseluruhan.
Anda mendelegasikan masalah ke salahsatu bawahan, dan memberikan orang
dengan informasi relevan, tapi memberikan orang tersebut tanggungjawab penuh
untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Solusi apapun akan mendapat dukungan
dari anda.
Ada dua variabel situasi dasar yang berhubungan dengan pembuatan keputusan
yang baik, yaitu kualitas serangkaian pertanyaan (1988). Bagi kualitas keputusan,
pertanyaan relevannya adalah:
 Seberapa penting kualitas teknis dari keputusan ini?
 Apakah anda memiliki informasi cukup untuk membuat keputusan kualitas tinggi?
 Apakah masalah terstruktur dengan baik?
 Apakah bawahan telah tahu tujuan organisasi yang harus dicapai dalam
menyelesaikan masalah?
 Apakah bawahan memiliki informasi cukup untuk membuat keputusan kualitastinggi?



Untuk penerimaan keputusan, pertanyaan relevannya adalah:
Seberapa penting komitmen bawahan ke keputusan?
Jika anda membuat keputusan secara sepihak, apakah wajar
berkomitmen ke keputusan tersebut?
Apakah sering terjadi konflik antar bawahan seputar preferensi solusi?
bawahan
Beberapa fitur dari atribut masalah ini pantas untuk dipertimbangkan. Pertama,
setiap atribut cenderung menunjukkan arah dari inklusi rendah sampai penuh di dalam
pembuatan keputusan. Model dasarnya menunjukkan berbagai perilaku yang cenderung
efektif, yang disebut set feasibel. Kedua, atribut menunjukkan level kontradiksi dari inklusi.
Set feasibel didasarkan pada penyeimbangan faktor, yang memberikan pertimbangan
rasional ke kebutuhan masalah.
Kebutuhan masalah dimoderasi lebih jauh oleh nilai pembuat keputusan tentang
pentingnya tekanan waktu, perkembangan pegawai, dan faktor biaya. Tergantung mana
dari tiga faktor ini yang penting, set feasibel bisa dipersempit. Faktor tekanan waktu dan
faktor biaya cenderung memindah keputusan ke gaya yang lebih otoritarian.
Perkembangan pegawai cenderung memindah keputusan lebih ke pembuatan keputusan
bersama atau gaya delegasi. Pertanyaan relevannya adalah:
 Apakah batasan waktu serius bisa membatasi kemampuan anda dalam melibatkan
bawahan?
 Seberapa penting anda harus memaksimalkan peluang perkembangan bawahan?
 Seberapa penting anda meminimkan waktu untuk membuat keputusan (membatasi
pengeluaran sumberdaya)?
[18]
Kepemimpinan Sektor Publik / Teori Leadership: Pendekatan Manajerial awal dan Pendekatan
Transaksional
2012
Berdasarkan atribut masalah dan faktor moderasi, leader harus menganalisa situasi
untuk menentukan level inklusi ideal dengan sebuah pohon keputusan. Model keputusan
normatif bisa dijelaskan sebagai berikut (Vroom dan Jago, 1988):
1. Menggunakan pembuatan keputusan bersama dan delegasi bila ada kebutuhan
kualitas.
2. Menghindari penggunaan gaya otoritarian dan menggunakan gaya keputusan
bersama bila leader kurang memiliki informasi yang dibutuhkan.
3. Menghindari penggunaan gaya otoritarian atau konsultatif bila masalah tidak
terstruktur.
4. Menghindari penggunaan gaya pembuatan keputusan bersama atau gaya delegasi
bila bawahan tidak paham tujuan organisasi; menggunakan gaya tersebut bila
bawahan paham.
5. Menghindari penggunaan gaya pembuatan keputusan bersama atau gaya delegasi
bila bawahan tidak memiliki informasi yang dibutuhkan.
6. Menghindari penggunaan gaya pembuatan keputusan bersama bila komitmen
bawahan tidak dibutuhkan, dan menggunakan gaya ini bila dibutuhkan komitmen
bawahan.
7. Menghindari gaya otoritarian ketika probabilitas komitmen bawahan ke keputusan
sepihak adalah rendah.
8. Menggunakan gaya pembuatan keputusan bersama bila ada konflik antar bawahan
seputar preferensi solusi, kecuali dimensi biaya atau waktu dianggap penting.
9. Menggunakan gaya otoritarian bila tekanan waktu ada.
10. Menggunakan pembuatan keputusan bersama dan delegasi bila perkembangan
bawahan menjadi pertimbangan besar.
11. Menggunakan gaya otoritarian bila bawahan tersebar, atau ada konflik bawahan
seputar preferensi solusi bila biaya keputusan adalah pertimbangan penting.
Teori keputusan-normatif memiliki keunggulan. Pertama, ini membatasi aspek
leadership yang ingin dijelaskan. Kedua, ini tidak mengoversimplifikasi kondisi fenomena
kompleks seperti pembuatan keputusan. Ketiga, karena kesempitan relatif dari teori dan
luasnya kebutuhan situasional, maka ada banyak dukungan empiris dan ini dihargai oleh
komunitas penelitian. Keempat, meski model bisa dibilang maju, preskripsinya berguna
dan bisa diakses oleh praktisi yang berpikiran serius.
Teori ini bukan tanpa kelemahan, dan beberapa di antaranya adalah sisi balik dari
keunggulan. Pertama, teori keputusan-normatif tidak boleh dianggap teori komprehensif.
Teori midlevel lain perlu digabung dengan itu agar menghasilkan frameworknya
komprehensif. Kedua, beberapa faktor yang dipertimbangkan untuk sebuah keputusan
selalu sangat ekstensif. Karena itu, meski setiap aspek teori mudah dipahami, teori
keseluruhan selalu kurang parsimoni dan sulit dikuasai karena kompleksitasnya. Ini tidak
bisa dijelaskan dengan cepat atau diterapkan secara kasual. Sessi pelatihan yang
didasarkan pada teori keputusan-normatif jarang singkat. Selain itu, beberapa peneliti
berpendapat bahwa model ini sangat kompleks (Field, 1979; Tjosvold, Wedley dan Field,
1986). Ketiga, karena banyak stipulasi, maka banyak asumsi yang ditentang (Sinha dan
Chowdry, 1981).
[19]
Kepemimpinan Sektor Publik / Teori Leadership: Pendekatan Manajerial awal dan Pendekatan
Transaksional
5.
2012
KESIMPULAN
Dua pendekatan dan tujuh teori leadership dibicarakan di bab ini. Semua teori
dibandingkan berdasarkan empat tipe variabel, yaitu variabel gaya (perilaku) leadership,
variabel intervensi, variabel moderasi dan variabel kinerja.
Gaya leader adalah kluster perilaku. Di pendekatan awal, analisis gaya cenderung
simplistik. Teori manajemen dulu berasumsi bahwa gaya direktif yang multi-tujuan bisa
dibuat efektif lewat analisis manajer. Manajemen ilmiah berasumsi bahwa leader bisa
memberikan perintah berdasarkan analisis kerja, dan manajemen klasik berasumsi bahwa
leader bisa memberikan perintah berdasarkan analisis organisasi. Tentu saja, arah yang
baik membutuhkan keahlian dan informasi akurat. Pendekatan sifat berasumsi bahwa
leader memiliki kualitas, kebanyakan bawaan, yang akan menghasilkan gaya “heroik”
universal. Meski begitu, gaya heorik adalah tidak langsung dan ambigu karena sifat tidak
sama dengan perilaku, dan banyak sifat selalu berkontradiksi satu sama lain di kondisi
berbeda. Pendekatan transaksional digunakan dalam analisis gaya dengan ada tiga atau
empat gaya di masing-masing pendekatan transaksional. Sebuah gaya partisipatif
ditemukan di tiga teori transaksional (situasional, path-goal dan keputusan-normatif), dan
juga digunakan di dua teori lainnya (grid dan LMX). Teori path-goal juga menggunakan
gaya pencapaian, dan teori grid melakukan perbandingan antara manajemen middle-ofroad dan manajemen tim. Dua teori lainnya menggunakan gaya gabungan (grid dan
LMX). Meski begitu, tidak satu pun teori yuang menggunakan gaya inspirasional atau
eksternal (kecuali teori sifat). Perhatikan bahwa teori berbeda menggunakan nama
berbeda untuk gaya yang pada dasarnya ekuivalen.
Empat teori tidak memiliki variabel intervensi. Asumsinya adalah bahwa satu gaya
bisa diterapkan ke semua atau banyak situasi leadership. Empat teori universal yang
dimaksud adalah manajemen awal, sifat, grid dan LMX. Tiga dari teori ini memberikan
variabel atau konsekuensi intervensi. Leadership situasional didasarkan pada kompetensi
dan komitmen follower. Teori keputusan-normatif didasarkan pada kualitas keputusan dan
penerimaan keputusan. Teori path-goal didasarkan pada sejumlah variabel tugas dan
follower, seperti ambiguitas peran, ambiguitas tugas, skill bawahan, komitmen tugas, dan
sebagainya.
Dalam enam dari tujuh teori yang direview, teori yang tidak memberikan variabel
intervensi masih bisa memberikan atau menghasilkan variabel yang mempengaruhi kadar
kesuksesan sebuah gaya. Variabel tersebut adalah kualitas kemampuan leader dalam
mengimplementasikan sebuah gaya yang memoderasi atau mengontrol kesuksesan.
Dalam beberapa teori, variabel tersebut bisa berupa kualitas skill, sifat, orientasi tugasorang, dan kemampuan berpartner dengan bawahan. Dalam teori keputusan-normatif,
tujuan leader bisa memoderasi minat berbeda dalam biaya, ketepatan waktu dan faktor
dukungan pegawai. Leadership situasional dan teori path-goal tidak difokuskan ke
moderasi pengaruh.
Terkait dengan variabel kinerja, manajemen ilmiah difokuskan eksklusif ke efisiensi,
dan manajemen klasik ditekankan ke efektivitas. Selain itu, pendekatan sifat
menitikberatkan ke prestise atau pengaruh leader. Semua pendekatan transaksional
berisi elemen efisiensi/efektivitas. Dalam kasus teori keputusan-normatif, teori selalu
bicara tentang kualitas keputusan, ketepatan waktu, dan biaya. Semua pendekatan
transaksional memberikan emphasis ke berbagai tipe hasil follower, meski variansi selalu
ada dalam kebutuhan bawahan versus spektrum kepuasan. Secara signifikan, teori yang
[20]
Kepemimpinan Sektor Publik / Teori Leadership: Pendekatan Manajerial awal dan Pendekatan
Transaksional
2012
disebut sejauh ini tidak menjelaskan kecocokan eksternal atau perubahan organisasi
untuk hasil signifikan. Ketiadaan penjelasan ini bisa diatasi dengan teori karismatik dan
transformasional.
TUGAS DAN DISKUSI KELAS
1. Pembuatan makalah secara individu yang akan didiskusikan dalam kelas
2. Pembuatan makalah secara kelompok yang akan didiskusikan dalam kelas
3. Makalah individu dan kelompok menjadi tugas akhir mahasiswa
REFERENSI
Dahl (1947); Simon (1947); Kuhn (1962); Cantt (1961); Taylor (1911); Gilberth dan Gilberth
(1971); Gulick dan Urwick (1937); Bass (1990). Teori Leadership : Pendekatan
Manajerial Awal dan Pendekatan Transaksional. Dalam Montgomery Van Mart
(2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory and Practice. Second
Edition. M.E. Sharpe Armonk, New York, London, England.
Fiedler (1967); Chemers dan Maher (1976); Hersey dan Blanchard (1969 – 1972); Kaplan dan
Norton (1996); Niven (2003). Teori Leadership : Pendekatan Manajerial Awal dan
Pendekatan Transaksional. Dalam Montgomery Van Mart (2011). Dynamics of
Leadership in Public Service Theory and Practice. Second Edition. M.E. Sharpe
Armonk, New York, London, England.
Graen dan Cashman (1975); Graen dan Uhl-Bien (1995); Illiees, Nahrgang, dan Morgeson
(2007); Atwater dan Carmeli (2009); Hollander (1958); Yukl (2002). Teori Leadership :
Pendekatan Manajerial Awal dan Pendekatan Transaksional. Dalam Montgomery
Van Mart (2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory and Practice.
Second Edition. M.E. Sharpe Armonk, New York, London, England.
Hersey da Blanchard (1969 – 1972); Slocum (198); Hambleton dan Gumpert (1982); Yun,
Faraj dan Sims (2005); Fernandez dan Vecchio (1997); Thompson dan Vecehio
(2009). Teori Leadership : Pendekatan Manajerial Awal dan Pendekatan
Transaksional. Dalam Montgomery Van Mart (2011). Dynamics of Leadership in
Public Service Theory and Practice. Second Edition. M.E. Sharpe Armonk, New
York, London, England.
House (1996); Hollander (1958); Homans (1958); Vroom (1964); House dan Mitchell (1974).
Teori Leadership : Pendekatan Manajerial Awal dan Pendekatan Transaksional.
Dalam Montgomery Van Mart (2011). Dynamics of Leadership in Public Service
Theory and Practice. Second Edition. M.E. Sharpe Armonk, New York, London,
England.
[21]
Kepemimpinan Sektor Publik / Teori Leadership: Pendekatan Manajerial awal dan Pendekatan
Transaksional
2012
Montgomery Van Mart (2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory and
Practice. Second Edition. M.E. Sharpe Armonk, New York, London, England. Teori
Leadership : Pendekatan Manajerial Awal dan Pendekatan Transaksional. Dalam
Montgomery Van Mart (2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory
and Practice. Second Edition. M.E. Sharpe Armonk, New York, London, England.
Robert Blake dan Jane Mouton (1964 – 1982 – 1985); Weed, Mitchell dan Moffitt (1976);
Miner (1982); Yammarino dan Dansereau (2008). Teori Leadership : Pendekatan
Manajerial Awal dan Pendekatan Transaksional. Dalam Montgomery Van Mart
(2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory and Practice. Second
Edition. M.E. Sharpe Armonk, New York, London, England.
Zaccaro (2007); Vroom dan Jogo (2007); Maslow (1954); Homans (1958); Thibaut dan Kelley
(1959); Hollander (1958). Teori Leadership : Pendekatan Manajerial Awal dan
Pendekatan Transaksional. Dalam Montgomery Van Mart (2011). Dynamics of
Leadership in Public Service Theory and Practice. Second Edition. M.E. Sharpe
Armonk, New York, London, England.
[22]
Download