MODEL KIPKANMAS KAWASAN INDUSTRI PENGOLAHAN IKAN MILIK MASYARAKAT Diabstraksikan oleh; Prof Dr Ir Soemarno MS Bahan kajian MK. Metode Perencanaan dan Pengembangan Wilayah PM PSLP PPSUB 2010 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. 2. 3. 4. Pemberdayaan ekonomi masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan pesisir, melalui pengembangan KIPKANMAS Antisipasi peningkatan kebutuhan produk-produk olahan ikan pada pasar domestik Sistem Produksi dan Distribusi ikan di NTT, Indonesia: - Lemahnya posisi tawar nelayan/petani ikan - Industri pengolahan ikan sulit diakses oleh masyarakat nelayan - Produksi ikan hasil tangkapan sebagian mudah rusak - Sistem kemitraan nelayan - Industri pengolah ikan “kurang adil” Biaya produksi /penangkapan relatif tinggi Industri hilir masih terbatas pada produk-produk tertentu. 1.2. TUJUAN Memberdayakan ekonomi masyarakat pedesaan pesisir-pantai melalui KIPKANMAS guna peningkatan daya saing produk ikan olahan dan kesejahteraan masyarakat nelayan kecil: 1. Menginisiasi berkembangnya KIPKANMAS yang didukung oleh adanya technoindustrial cluster yang relevan 2. Pengembangan teknologi pengolahan diversivikasi produk ikan: Ikan kering, tepung ikan, pupuk organik limbah ikan, dan aneka makanan tradisional dan lainnya 3. Pengembangan kelembagaan Badan Usaha Bersama pengelola KIPKANMAS 1.3. Evaluasi Kelayakan KIPKANMAS 1.3.1. KEKUATAN a. b. c. d. e. Ketersediaan bahan baku ikan yang didukung oleh keunggulan komparatif sumberdaya wilayah pesisir-pantai Sifat unggul produk olahan ikan untuk pasar regional dan nasional Ketersediaan SDM dan masyarakat perikanan/nelayan yang etos kerjanya tinggi Sarana / prasarana dan kelembagaan penunjang yang komitmennya tinggi terhadap perikanan dan industri pengolahan ikan Potensi pasar hasil olahan ikan yang sangat besar. 1 1.3.2. KELEMAHAN a. Kesenjangan hasil LITBANG ke aplikasi komersial b. Industri pengolahan ikan bertindak juga sebagai “lembaga pemasaran” c. Belum terbentuknya keterkaitan-kemitraan yang adil antar pelaku (cluster) penangkapan/petani ikan - industri pengolahan & distribusi produk olahan d. Produk olahan ikan umumnya masih berkualitas rendah. e. Tingginya komponen biaya transportasi dalam struktur biaya produksi ikan 1.3.3. PELUANG a. Pasar domestik (lokal, regional dan nasional) sangat terbuka b. Diversifikasi produk-produk olahan ikan sangat potensial c. Kebutuhan pengembangan keterkaitan antara cluster nelayan dengan cluster industri pengolahan dalam kelembagaan KIPKANMAS d. Kebutuhan Pemberdayaan sistem kelembagaan agribisnis ikan . 1.3.4. ANCAMAN a. Hambatan-hambatan sistem distribusi ikan olahan domestik b. Persaingan dengan produk impor c. Persaingan dengan komoditi non-ikan dalam penggunaan sumberdaya d. Hambatan-hambatan sistem industri pengolahan ikan yang ada, kemitraan yang kurang adil antara juragan dengan nelayan/petani ikan. 1.3.5. PROGRAM PENGEMBANGAN 1. Pemberdayaan KOPMINA Pengelola KIPKANMAS 2. Pengembangan KIPKANMAS dengan komponen utamanya: a. Cluster KSP (Kawasan Sentra Produksi) ikan b. Cluster Industri Pengolahan Ikan (IPI) c. Cluster Industri Pupuk Organik Limbah Ikan/ Pakan ternak d. Cluster Industri Aneka Makanan Tradisional e. Cluster ALSINTAN & SAPROTAN f. Cluster Agrokimia/ Bahan-bahan pendukung g. Cluster LITBANG, DIKLAT, INFOTEK dan Informasi Pasar h. Cluster Pengemasan dan Pengepakan g. Cluster Transportasi dan Pemasaran. 3. Kajian Keunggulan kualitas produk Pengolahan ikan 4. Sosialisasi dan Komersialisasi hasil-hasil kajian 5. Implementasi sistem Quality Assurance (QA) 1.3.6. OUTCOME 1. 2. 3. 4. Berkembangnya KIPKANMAS dengan keterkaitan yang adil di antara clustercluster yang ada di dalamnya Terbentuknya Badan Usaha Bersama pengelola KIPKANMAS yang mampu mengkoordinasikan sistem produksi dan sistem distribusi ikan olahannya. Berkembangnya aktivitas pengolahan ikan sekala kecil Meningkatnya citra dan keunggulan produk ikan olahan 2 1.3.7. DAMPAK 1. Sinergi kelembagaan industri pengolahan ikan dalam “CLUSTER” 2. Sinergi antar pelaku bisnis dalam KIPKANMAS 3. Tumbuh-kembangnya semangat masyarakat untuk memproduksi ikan olahan yang kualitasnya bagus 4. Tumbuh-kembangnya pasar produk-produk olahan ikan 5. Tumbuhnya semangat untuk melestarikan sumberdaya dan lingkungan perikanan. II. KELEMBAGAAN KIPKANMAS MANAJEMEN PENDANAAN DAN TEKNOLOGI INVESTASI PUBLIK / PRIVAT BOT SYSTEM LITBANG DIKLAT Teknol dana Informasi Teknologi & SIM-Pasar BADAN USAHA BERSAMA pengelola KIPKANMAS KSP perikanan Penangkapan/Budidaya Industri Pengolahan IKAN (IPI) Kelembagaan Kemitraan & Pendampingan Industri Hasil Samping/ Komplemen 3 KETERKAITAN ANTAR CLUSTER DALAM KIPKANMAS Cluster SAPROTAN ALSINTAN KSP IKAN Rakyat INDUSTRI PengOlahan Ikan IKAN olahan Cluster pangan IKANI PASAR Regional limbah IKAN Konsentrat Bahan bahan penolong Pakan ternak & Cluster pakan & Peternakan Cluster Pemasaran & Transportasi Cluster Agrokimia Industri Makanan Tradisional Industri Pupuk Organik, Cluster Kemas & Packaging SISTEM PERBANKAN DAN ASURANSI Pasar Nasional 4 III. POLA PEMBIAYAAN Koperasi Agribisnis Perikanan rakyat (KOPMINA) dapat dijadikan sebagai wadah untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat dengan ALTERNATIF pola pengembangan sebagai berikut: Pola I: Koperasi Pengelola KIPKANMAS Masyarakat membentuk KOPMINA, membangun kawasan sentra produksi (KSP) perikanan rakyat dan fasilitas Industri Pengolahan IKAN (IPI), serta mengembangkan sarana dan prasarana penunjangnya. Dalam proses pengembangan koperasi seperti ini masyarakat anggota dan pengurus koperasi dapat meminta bantuan pihak ke tiga (manajemen profesional) berdasarkan suatu KONTRAK PEKERJAAN (KP) . Biaya pembangunan KSP perikanan rakyat, fasilitas industri pengolahan ikan, sarana dan prasarana agroindustri serta biaya KP, 100 persen bersumber dari dana/investasi masyarakat per ”IKAN” an, yakni ANGGOTA dan PENGURUS Koperasi. KOPMINA ANGGOTA PENGURUS DANA INVESTASI & MASYARAKAT KIPKANMAS KSP Penangkapan Budidaya IPI Penunjang Komplemen 5 Pola II: Patungan Koperasi dan Investor membentuk Badan Usaha Bersama. Pola ini merupakan modifikasi dari pola PIR (Perusahaan Inti Rakyat), yaitu menghilangkan pembatas kelembagaan antara plasma dan inti. Dalam Pola II, sejak awal masyarakat perikanan membentuk KOPMINA dan berpatungan dengan suasta sebagai satu unit usaha patungan KIPKANMAS. Dengan pola ini secara menyeluruh komposisi pemilikan saham antara KOPMINA dan SUASTA dapat beragam sesuai kesepakatan, misalnya 65 persen : 35 persen. Pola III: Patungan Investor dan Koperasi. Seperti Pola II, tetapi kontribusi KOPMINA lebih terbatas, yaitu pada "in kind contribution” yang disetarakan dengan nilai uang, misalnya lahan usaha perikanan rakyat milik KOPMINA (sebagai saham). Secara menyeluruh pangsa KOPMINA pada tahap awal sekurangnya 20%, yang selanjutnya secara bertahap meningkat sesuai dengan perkembangan kondisi usaha KIPKANMAS. Pola IV. BOT (Building-Operating-Transfer). Pola ini terbuka bagi investor (termasuk PEMERINTAH). Dalam pola ini investor membangun KSP perikanan rakyat, industri pengolahan ikan (IPI) dan sarana serta prasarana pendukungnya (KIPKANMAS), termasuk pula membangun KOPMINA yang akan menerima dan melanjutkan usaha KIPKANMAS. Tahapan dan persyaratan yang diperlukan untuk membangun, mengoperasikan dan mentransfer dirancang kesesuaiannya dengan karakteristik komoditas ikan dan kondisi pasarnya. Pada dasarnya KSP perikanan rakyat dan industri pengolahan ikan (IPI) ditransfer pada saat KOPMINA sudah siap dan kondisi KSP perikanan rakyat dan Industri Pengolahan Ikan masih menguntungkan secara teknis-ekonomis untuk dikelola oleh koperasi. Pola V. BTN (Bank Tabungan Negara) Pola ini mengadopsi dari pola pengembangan perumahan rakyat yang dikembangkan oleh Bank Tabungan Negara. Pemerintah bukan hanya menyediakan paket kredit untuk mengembangkan KSP perikanan rakyat dan industri pengolahan ikan (IPI), tetapi juga mengembangkan kelembagaan keuangan (seperti BTN) sebagai lembaga yang membiayai pembangunan KIPKANMAS, yang dilaksanakan oleh developer. Developer dibatasi kepada BUMN/D/BUMS yang memiliki “core competence” di bidang perikanan. Kapling KSP perikanan rakyat dan IPI yang telah dibangun dapat dimiliki oleh para pihak yang berminat menanamkan modalnya dalam bentuk agribisnis perikanan. KOPMINA dikembangkan untuk mengelola KIPKANMAS secara utuh dengan dukungan dana operasionalnya bersumber dari hasil usahanya. 6 IV. PEMBERDAYAAN KOPERASI (BADAN USAHA BERSAMA) SEBAGAI PENGELOLA KIPKANMAS 4.1. Peluang dan Tantangan Memasuki abad 21, bangsa Indonesia dihadapkan pada kenyataan bahwa kondisi ekonomi sebagian besar anggota masyarakat pedesaan pesisir-pantai masih sangat memprihatinkan. Sementara itu tantangan terbesar yang juga harus diantisipasi adalah kesiapan masyarakat dalam memasuki era perdagangan bebas yang penuh kompetisi. Terjadinya krisis dan kelangkaan bahan kebutuhan pokok, seperti beras, gula, minyak dan lainnya, merupakan salah satu wujud dari dampak perdagangan bebas yang sekaligus menjadi indikasi kekurang-siapan masyarakat dalam menghadapinya. Krisis “komoditas ikan”, apabila terjadi, dapat berdampak pada gairah petani ikan / nelayan untuk memproduksi ikan, sehingga pendapatan riil masyarakat menurun dan pada akhirnya juga akan diikuti oleh pertumbuhan ekonomi yang menurun. Akibat lanjutannya adalah banyak tenaga kerja pedesaan yang kehilangan kesempatan kerja, yang apabila dibiarkan akan memunculkan kerawanan sosial. Salah satu potensi masyarakat yang belum secara optimal didaya-gunakan adalah lembaga-lembaga sosial-tradisional yang telah mengakar di masyarakat pedesaan pantai, seperti Koperasi Primer Perikanan (KOPMINA) di wilayah sentra produksi perikanan, dan bentuk-bentuk lembaga tradisional lainnya. Pada saat ini terdapat banyak KOPMINA dengan berbagai sekala usaha dan tingkat perkembangan yang berbeda-beda. Beberapa perihal penting yang dihadapi KOPMINA saat ini adalah sebagai berikut : a. Masih adanya kebijakan pemerintah yang belum sepenuhnya memihak kepada pemberdayaan koperasi perikanan. Hal ini mengakibatkan lemahnya “bargaining power” koperasi dalam bertransaksi dengan industri pengolahan ikan dan lembaga distribusi produk-produk perikanan. b. Masih terlalu banyaknya kendala-kendala yang ikut mengendalikan “agribisnis perikanan rakyat” sehingga mengakibatkan berbagai bentuk distorsi yang merugikan petani ikan/nelayan c. Lemahnya dukungan permodalan dari lembaga keuangan formal / sistem perbankan kepada Koperasi (atau Badan Usaha Bersama, BUBA) sektor perikanan. Oleh karena itu, lembaga KOPMINA (BUBA) milik masyarakat ini perlu segera lebih diberdayakan dengan pertimbangan rasional sebagai berikut: 1. Lembaga KOPMINA (dengan segala fasilitasnya) yang sudah tersebar di sentra produksi merupakan infrastruktur yang sudah tersedia sebagai sarana dalam rangka mengembangkan aspek sosial ekonomi masyarakat di sekitarnya. Sehingga pemerintah tidak memerlukan program dan biaya untuk membangun prasarana kelembagaan baru. 2. Sebagian besar penduduk pedesaan pesisir-pantai merupakan kelompokkelompok nelayan produktif dengan basis penangkapan ikan sebagai usahanya. Kelompok-kelompok masyarakat tersebut memiliki kepentingan ekonomi yang sama dan pada umumnya telah membina rasa kebersamaan untuk mengatasi masalah mereka. Sehingga dengan pilihan program-program terobosan yang tepat sasaran dan tepat guna dapat mempercepat gerak roda perekonomiam di tingkat bawah (grass-roots). 7 3. 4. 5. Dengan pilihan program pemberdayaan yang tepat, fungsi KOPMINA dapat ditingkatkan dari sebatas “simpan pinjam” menjadi pusat kegiatan perekonomian (center of economic activities) masyarakat di sekitarnya. Peningkatan peranan ini sekaligus membuka peluang bagi para tenaga terampil terdidik untuk diperan-sertakan dalam memberdayakan ekonomi rakyat. Dengan demikian, tenaga terampil terdidik diberdayakan untuk berperan dalam pengembagan kewira-usahaan dan kegiatan-kegiatan agribisnis ikan bersama masyarakat. Pada sebagian KOPMINA juga telah tumbuh dan berkembang unit usaha WASERDA yang melayani saprodi dan kebutuhan bahan pokok masyarakat. Selain itu juga telah berkembang unit usaha “Lembaga Keuangan” khusus bagi kelompok petani ikan. Sebagai lembaga keuangan alternatif keberadaannya sangat dibutuhkan oleh masyarakat pedesaan, terutama untuk memerangi praktek “para pelepas uang”. Sejalan dengan upaya Pemerintah untuk membangun sistem produksi ikan dan jaringan distribusi ikan dalam rangka menghindari kelangkaan akibat ulah para spekulan menimbun barang, maka keberadaan KOPMINA (BUBA) dapat diberdayakan sebagai pengelola KIPKANMAS. Berdasarkan pertimbangan sebagaimana diuraikan di atas, maka dipandang sangat urgen dan relevan untuk diupayakan Program "Pemberdayaan KOPMINA (BUBA) sebagai Lembaga Ekonomi Rakyat yang Mengakar dan Mandiri, serta layak mengelola KIPKANMAS”. Program seperti ini merupakan salah satu bentuk investasi masyarakat yang berkelanjutan melalui Pola Badan Usaha Bersama diharapkan dapat menimbulkan efek rambatan pada tumbuh dan berkembangnya kegiatan ekonomi rakyat sesuai dengan potensi ekonomis di wilayah sekitarnya. Sasaran pemberdayaan selanjutnya adalah agar dapat memperluas dan meningkatkan nilai tambah (value added) dan kesempatan kerja (employment generation) di berbagai sektor riil lainnya yang mempunyai keterkaitan dengan agribisnis perikanan rakyat. 4.2. Tujuan Pemberdayaan (1). Ikut menggerakkan roda perekonomian rakyat pada tingkat akar rumput (grass - roots) petani ikan, nelayan dan pengolah ikan (2). Memberdayakan KOPMINA dan BUBA di wilayah pedesaan pesisir-pantai dengan dukungan investasi sosial-masyarakat untuk menerapkan MODEL TIGA RODA (Unit usaha KSP perikanan rakyat, Unit usaha IPI, dan Unit usaha Jasa-jasa penunjang) untuk mempermudah akses terhadap peluang-peluang bisnis perikanan. (3). Memberdayakan KOPMINA dan BUBA dengan dukungan Kredit SemiKomersial guna membantu memperlancar produksi dan distribusi ikan dan ikut melindungi kepentingan petani ikan , nelayan , pengolah ikan dan masyarakat luas, (4). Mengembangkan mekanisme kemitraan yang “adil” di antara CLUSTER yang terkait dalam KIPKANMAS, utamanya kemitraan petani/nelayan – pengolah pedagang. 4.3. Lingkup Pemberdayaan 8 1. 2. 3. 4. 5. Sosialisasi konsep KIPKANMAS yang mensinergikan segenap mata rantai utama dalam sistem produksi dan distribusi ikan olahan. Rekruitmen tenaga terampil terdidik untuk dijadikan petugas pendamping lapangan yang profesional Pelaksanaan kegiatan LITBANG dan DIKLAT antara lain meliputi: (a) Sistem produksi perikanan profesional; (b) Sistem Industri Pengolahan Ikan (c) Sistem distribusi produk-produk perikanan dan olahannya Penyaluran modal dengan pendampingan untuk KOPMINA dan BUBA dengan model tiga roda. Penyaluran fasilitas kredit Agribisnis kepada KOPMINA / BUBA sesuai dengan tahapan pelaksanaan program. 4.4. Konsep Kelembagaan KOPMINA (Bdaan Usaha Bersama) PENERAPAN MODEL TIGA RODA Petani Ikan dan POKTANI NELAYAN tokoh masyarakat kontak NELAYAN pedesaan KOPMINA Unit KSP IKAN Unit IPI Unit Jasa-jasa Penunjang masyarakat luas 9 MITRA EKSTERNAL KOPMINA: *) Amanah *) Profesional BADAN USAHA BERSAMA (BUBA) UNIT USAHA PENANGKAPAN & BUDIDAYA UNIT USAHA JASA-JASA PENUNJANG/ KOMPLEMEN NELAYAN PETANI IKAN UNIT USAHA INDUSTRI PENGOLAHAN IKAN (IPI) MASYARAKAT 10 BUBA SEBAGAI AGEN KENDALI DISTRIBUSI PETANI / POKTANI NELAYAN Mitra sharing modal eksternal BUBA IKAN Unit Perdagangan Pembelian IKAN penjualan IKAN SISTEM Kemitraan Dengan Pusat Perdagangan IPI SISTEM DISTRIBUSI Eceran 11 v. Profil Industri Pengolahan Ikan 5.1. Aspek teknis usaha-usaha pengolahan 5.1.1. Usaha Pengeringan Ikan Usaha pengeringan ikan di wilayah pesisir-pantai merupakan jenis usaha pengolahan yang dominan. Di Ngada terdapat sejumlah unit usaha pengering skala kecil, sedang sampai besar. Sebagian wanita nelayan di daerah ini terutama istri pendega bekerja sebagai buruh borongan membelah ikan pada usaha pengeringan skala besar. Upah borongan pada usaha pengeringan bervariasi antara Rp. 250,sampai Rp.500,-/kg, tergantung jenis ikan dan jenis pekerjaannya. Upah borongan membelah ikan ukuran agak besar seperti jenis Ikan Beloso adalah Rp. 250,- per kilogram, sedangkan untuk ikan-ikan ukuran kecil seperti jenis Ikan Trasa’ upah borongan membelah dan menjemur sebesar Rp.500,- per kilogram. Usaha pengeringan skala kecil umumnya dilakukan oleh wanita nelayan istri juragan sebagai home industri. Kapasitas produksi antara 2-3 kranjang (25-50) / hari. Peralatan yang digunakan dalam pengeringan ikan antara lain keranjang, widig, bak plastik,dan jedingan (bak perendaman. Proses pembuatan ikan kering adalah setelah ikan dicuci, selanjutnya ikan diatur dalam bak perendaman sambil diberi garam dapur secara merata. Pemberian garam dapur dilakukan secra berlapis-lapis dengan perbandingan 4 : 1.Kemudian diberi air sampai batas semua ikan terendam cairan garam. Masa perendaman selama 11-24 jam. Setelah perendaman, dilakukan penirisan dan pencucian untuk membersihkan garam yang menempel pada tubuh ikan. Terakhir dilakukan penjemuran dibawah matahari selama 2 sampai 3 hari. Sedangkan jenis ikan beloso setelah perendaman kemudian dilakukan pembelahan sebelum perlakuan penjemuran. Dalam kegiatan penjemuran, ikan ditata pada “widig”yang terbuat dari anyaman bambu. Proses penjemuran ini dilakukan taaanpa menggunakan para-para, dan hanya diletakkan di tanah. Skema tahapan proses pengeringan ikan di daerah penelitian dapat ditunjukkan seperti berikut. Pencucian ikan Pengaturan ikan pada bak perendam Sambil diberi garam dapur Perendaman dalam air garam selama 11 – 24 jam (tergantung jenis ikan) penirisan dan pencucian penjemuran selama 2 –3 hari 12 Jenis-jenis ikan yang dikeringkan antara lain beloso, teri, belanak, kope’, cumi-cumi, trasak, layang, dan gerabah. Ikan kering jenis beloso dan trasa’ mendominasi hasil olahan ikan kering. Pemasaran ikan kering pada pengolah skala besar melalui pedagangpedagang yang sudah menjadi langganannya. Daerah pemasarannya antara lain kota-kota sekitarnya. Sementara untuk pengering skala kecil pemasarannya terbatas di daerah Ngada, NTT, dengan mengirim langsung kepada pedagang atau toko-toko yang sudah menjadi pelanggan. 5.1.2. Usaha Pemindangan Usaha pemindangan pada umumnya dalam skala kecil dengan volume produksi antara 15-50 kg setiap kali produksi. Jumlah pengolah yang mengusahakan pemindang hanya 3 orang. Dalam usaha pemindangan ini dilakukan pengolah yang kebanyakan wanita tanpa dibantu tenaga kerja lain. Namun, bila musim ikan dimana kapasitas produksi mencapai 100 kg, maka wanita nelayan menggunakan tambahan tenaga borongan untuk merebus ikan pindang dan “ngreyeng”. Tenaga merebus pindang biasanya laki-laki. Upah yang dikeluarkan untuk membayar tenaga borongan mencapai Rp. 20.000,00 per hari. Usaha pemindangan dilakukan secara tradisional sebagai home industri. Hal tersebut terlihat dari peralatan yang digunakan. Beberapa peralatan yang digunakan dalam pemindangan antara lain plat eser, tungku pemanas, ember plastik, dan gayung/gembor. Seadng ikan pindang dikemas dalam keranjang bambu (reyeng). Adapun bahan-bahan yang digunakna untuk pembuatan pindang antara lain: garam, air, kayu bakar, dan daun kelapa muda untuk lapisan bawah reyeng. Jenis-jenis sebagai bahan baku pemindangan antara lain tongkol, salem, ekor merah, kembung dan lemuru. Jenis ikan tongkol, layang, salem, dan kembung banyak ditemukan pada bulan Maret sampai dengan Oktober. Sedangkan bulan Nopember sampai Januari terutama ikan lemuru. Proses pengolahan pindang adalah, setelah ikan dicuci bersih dalam ember plastik kemudian diatur dalam reyeng yang sudah dilapisi dengan daun kelapa atau merang. Ikan yang sudah tersusun dalam reyeng diatasnya ditaburi garam berat 20% dari berat ikan. Kemudian direbus dalam bak pemindangan (plat eser) yang berisi larutan garanm yang telah mendidih kurang lebih selama 15 menit. Selama perebusan plat eser ditutup dengan anyaman bambu dan pemberat. Setelah ikan matang, dilakukan penirisan dengan cara diangin-anginkan. Skema-skema tahapan proses pemindangan didaerah ditunjukkan pada bagan berikut. 13 Pencucian ikan Pengaturan ikan dalam reyeng Penaburan garam Perebusan selama 15 menit Penirisan Produksi ikan olahan di daerah Ngada terutama dikhususkan untuk memenuhi kebutuhan pasar setempat. Pemasaran ikan ini dilakukan secara langsung kepada konsumen di pasar, tanpa melalui pedagang. Daerah pemasarannya sekitar pasar Kabupaten Ngada, NTT. 5.1.3. Usaha Pembuatan Kerupuk Ikan Usaha pembuatan kerupuk yang banyak dilakukan wanita nelayan menggunakan bahan baku ikan Beloso. Ikan Beloso merupakan salah satu hasil tangkapan yang dominan di daerah penelitian. Produksi kerupuk ikan beloso ini merupakan salah satu hasil iakn olahan yang menjadi ciri khas dari daerah penelitian. Beberapa peralatan yang digunakan dalam proses produksi kerupuk ikan adalah; mampan plastik, ember, meja, cobek besar, dandang, pisau, dan “widig”. Sedangkan bahan tambahan untuk kerupuk antara lain; tepung tapioka, bawang putih, gula, dan garam. Tahapan proses pembuatan kerupuk ikan digambarkan dalam skema berikut. 14 Pencucian dan penyiangan ikan Penghalusan ikan, bumbu, pencampuran tepung dan air, dibentuk adonan/gelondong diatas meja dan dibungkus daun pisang Pengukusan dalam dandang Pendinginan selama 12 jam Pengirisan, ketebalan + 2,7 mm Penjemuran diatas para-para sampai kering Dalam memasarkan hasil kerupuk ikan dapat dilakukan tanpa menggunakan pengemasan dalam plastik dan dipasarkan sendiri oleh pengolah. Pemasaran kerupuk ikan selain untuk memenuhi pasar lokal, dan sekitar Ngada, NTT juga dapat sampai pada luar daerah seperti di daerah NTT lainnya. 5.1.4. Usaha Pengolahan Terasi Usaha pembuatan terasi dapat dilakukan oleh 5 orang pengolah dengan skala kecil dengan cara yang sangat sederhana. Bahan baku terasi dari udang rebon untuk jenis terasi yang berkualitas I. Sedangkan terasi kualitas II menggunakan bahan campuran antara kepala udang windu dan ikan (selar, kembumg, dan ikan rucah dari tambak). Beberapa peralatan yang digunakan dalam pembuatan terasi antara lain bak plastik, lumpang batu, penumbuk kayu (alu), widig dan keranjang. Setelah bahan baku dicuci dan diberi garam, lalu ditumbuk setengah halus dan dijemur setengah kering. Kemudian ditumbuk lagi sambil diberi bahan pewarna merah. Setelah ditumbuk dilakukan penjemuran lagi, ditata diatas widig. Penjemuran terasi hanya diletakkan diatas tanah tanpa menggunakan para-para. Bahan terasi yang telah kering dicetak diatas meja dan dijemur sebentar. Terakhir dilakukan pemeraman (fermentasi) selama 2-3 minggu dengan menggunakan keranjang yang ditutup rapat dengan plastik. Pemasaran terasi dilakukan sendiri oleh pengolah kepada pedagang atau toko yang sudah menjadi langganannya. Pembungkusan terasi sangat sederhana, hanya dilakukan dengan menggunakan daun. Daerah sasaran pemasaran hanya di sekitar kota Ngada, NTT dan sekitarnya. Skema tahapan proses pembuatan terasi di daerah Ngada dapat ditunjukkan seperti bagan berikut. 15 Bahan baku dicampur garam Ditumbuk setengah halus Dijemur setengah kering Ditumbuk sambil diberi pewarna merah Dijemur sampai kering Pemeraman/fermentasi selama 2-3 minggu 5.1.5. Usaha Pengolahan Ikan Asap Usaha pengasapan atau pemanggangan ikan dapat dijumpai di daerah penelitian, namun demikian skala usaha pengasapan relatif masih sangat kecil bila dibandingkan dengan skala usaha untuk usaha jenis pengolahan lainnya. Usaha pengasapan hanya dilakukan oleh pengasap, tanpa menggunakan tenaga kerja dari luar (upahan). Skala produksi berkisar antara 15 kg sampai 25 kg untuk setiap kali mengasap. Jenis-jenis ikan yang diasap/dipanggang biasanya hanya jenis-jenis ikan tertentu seperti keting, kembung, dan pari. Di daerah Ngada usaha pengasapan banyak dilakukan pada saat musim ikan kembung, sedangkan pada saat di luar musim ikan kembung biasanya hanya pada waktu-waktu tertentu, yaitu pada saat tersedia iakn keting atau pari. Teknologi atau cara pengasapan yang dilakukan masih sangat sederhana. Alat yang digunakan untuk mengasap adalah berupa tungku yang dibuat sendiri, kemudian dibagian atasnya diberi potongan besi atau kawat sebaagi penyangga. Bahan bakar yang digunakan adalah sabut kelapa. Pemasaran ikan asap dilakukan langsung oleh produsen kepada konsumen tanpa melalui pedagang. Daerah pemasarannya hanya terbatas di daerah sekitar. 5.1.6. Usaha Pengolahan Ikan Rebus (Teri Nasi) Usaha pengolahan perebusan ditujukan pada ikan teri nasi dan rajungan, dan merupakan usaha skala rumah tangga yang prospektif. Usaha pengolahan teri nasi dapat dilakukan kalau bahan baku teri nasi merupakan salah satu hasil tangkapan yang dominan. Tehnologi pengolahan teri nasi yang dilakukan dalam skala kecil, namun belum memenuhi standar kualitas yang memadai. Untuk menyimpan hasil olahan teri nasi selama proses produksi, belum memiliki cold storage. Oleh karena itu, setelah melakukan pengolahan teri nasi langsung dikirim kepada pedagang. 16 Beberapa tahapan pengolahan teri nasi adalah sebagai berikut : 1. Pencucian, dilakukan pada bak pencuci yang terbuat permanen dari semen (jedingan) berjajar 3, yang merupakan tempat pencucian awal, pembilasan 1 dan 2. 2. Perebusan, dilakukan pada peralatan perebusan berupa bak terbuat dari logam tahan karat berukuran 80 X 120 X 25 cm, dengan menggunakan larutan garam yang mendidih. Perbandingan garam yang digunakan sebanyak 6 %. Artinya dalam volume air perebus 1.000 liter, maka garam yang dilarutkan sebanyak 60 kg. Lama perebusan sekitar 3 – 5 menit atau sampai ikan tersebut masak yang ditandai dengan mengambangnya ikan di permukaan. 3. Penirisan dan pengipasan, yakni teri nasi yang telah masak diletakkan pada keranjang plastik kecil dan diangin-anginkan dibawah kipas angin agar air dari perebusan segera berkurang. 4. Pengeringan, yakni menjemur ikan teri nasi tersebut pada “widig” yang berukuran 60 x 90 cm dan dilapisi dengan waring. Pengeringan dilakukan dengan menggunakan sinar matahari, diatas para-para setinggi 100 meter dari tanah. Lama penjemuran dalam keadaan panas antara 4 – 5 jam. 5. Menampi, yaitu menggoyang-goyangkan teri nasi kering dalam nyiru agar teri nasi kering yang akan disortasi dalam keadaan bersih dari teri nasi yang hancur. Dengan demikian mempermudah sortasi. 6. Sortasi, yaitu menggolongkan teri nasi kering menurut stratifikasi grade yang telah ditetapkan. Teri nasi yang tidak masuk dalam standar ekspor, dipasarkan untuk konsumsi lokal. 7. Packing, menggunakan bahan pengemas dari kantong plastik kemudian dimasukkan lagi dalam kotak dos berlapis lilin dengan kapasitas 5 kg teri nasi kering. 5.2. Aspek Ekonomi Industri Pengolahan Ikan Masa berproduksi usaha pengolahan hampir tidak dapat dilakukan sepanjang waktu secara kontinyu. Hal ini disebabkan karena hasil tangkapan ikan sebagai bahan baku pengolahan sangat dipengaruhi oleh musim ikan. 5.3. Struktur Pemasaran Struktur pasar ikan olahan sangat beragam tergantung dari jenis ikan olahan dan volume produksi. Struktur pemasaran ikan olahan melibatkan beberapa lembaga pemasaran yang berfungsi baik penumpul, perantara, maupun pengecer, terutama untuk ikan kering dari pengolah skala kecil. Sedangkan jenis ikan olahan lainnya, langsung dilakukan oleh pengolah dan pedagang skala kecil untuk dipasarkan pada pasar setempat. Sedangkan pemasaran ikan teri nasi langsung ditujukan pada eksportir yang telah mempunyai hubungan. Pemasaran ikan kering oleh produsen slaka kecil terkonsentrasi pada pedagang pengumpul lokal dan selanjutnya dikirim ke pedagang besar baik di dalam maupun di luar Propinsi NTT. Sedangkan pengolah skala besar ada kecenderungan dipasarkan sendiri pada pedagang pengumpul di luar wilayah Ngada. Harga yang terjadi sangat ditentukan oleh supplai ikan di pasar, sehingga ada kecenderungan harga ditetapkan oleh pedagang ikan. 17 Pengering /produsen Pdg. besar luar Kabupaten pengering/pedagang pengumpul Pedagang besar Luar Propinsi Pengecer lokal Pengecer luar Kabupaten Konsumen 5.4. Kelayakan pengembangan usaha pengolahan ikan kering dan kerupuk ikan Berdasarkan pada analisis usaha dan ketersediaan bahan baku, maka pengembangan kawasan industri perikanan masyarakat diarahkan pada pengembangan pengolahan ikan kering dan kerupuk ikan skala rakyat. Berdasarkan pada perhitungan analisis rugi laba, maka pengembangan usaha pengeringan ikan membutuhkan modal investasi untuk pembelian peralatan dan bangunan . Dengan asumsi masa produksi ikan kering selama 10 bulan dengan kapasitas produksi sebesar 100 kg per produksi, maka usaha pengeringan ikan akan memberikan nilai tambah yang cukup besar. VI. PROSPEK PENGEMBANGAN INDUSTRI PERIKANAN MILIK MASYARAKAT Selama dua puluh tahun terakhir, usaha pengolahan ikan telah menjelma sebagai salah satu alternatif lapangan usaha yang mampu memberikan sejumlah pendapatan dan menyerap tenaga kerja, khususnya nelayan kecil dan warga desa pantai. Data menunjukkan, bahwa industri pengolahan dan pengawetan ikan didominasi oleh beberapa macam pengolahan dan pengawetan, yaitu: Industri pengolahan ikan tradisional, yang didominasi oleh: (1) pengolahan yang bertujuan mengawetkan ikan mentah secara pengurangan kadar air melalui pengeringan bantuan sinar matahari (ikan kering dan teri nasi); (2) pengolahan yang bertujuan mengawetkan ikan mentah secara pendinginan (dibantu dengan es) sehingga ikan diusahakan tetap segar; (3) pengolahan yang bertujuan mengawetkan ikan dengan cara dimasak dalam bentuk pindang, terasi dan kerupuk ikan. Dari olahan dan awetan tersebut, maka jenis pengolahan pengeringan ikan dan pengolahan kerupuk ikan merupakan usaha yang memiliki peluang dalam pengembangan Industri Pengolahan ikan milik masyarakat. 18 6.1. Keadaan Teknologi yang Ada Sekarang Pada umumnya pengolahan pengeringan ikan dilakukan dalam skala kecil sebagai home industri seperti terlihat dari peralatan yang digunakan. Keadaan teknologi pengolahan dan pengawetan yang ada sekarang seperti tersebut di atas ternyata selama 20 tahun terakhir hampir tidak ada perubahan (perkembangan). Bahkan cara penjemuran masih kurang menunjukkan sanitasi dan higienis yang baik, sehingga baik mutu maupun daya awet (daya simpan) dari ikan yang diawetkan cukup rendah yang merupakan salah satu kendala terbatasnya pemasaran ikan tersebut. Kalau ditinjau dari aspek teknologi pengolahan pengeringan ikan, faktorfaktor yang mempengaruhi mutu produk olahan adalah, antara lain: bahan baku (mentah), pengolahannya sendiri dan pengkemasan yang telah diuraikan di atas sudah cukup baik karena umumnya menggunakan suhu cukup tinggi karena menggunakan sinar matahari. Sehingga sekarang yang perlu diperhatikan adalah keadaan bahan baku dan pengkemasannya. Keadaan bahan baku untuk produk perikanan tergantung dari keadaan saat ditangkap, demikian juga pengkemasannya. Sedangkan tehnologi pengolahan kerupuk ikan, pembuatan adonan dilakukan secara tradisional. Pengirisan kerupuk dilakukan secara manual. Dengan tehnologi yang ada tersebut, hasil olahan kerupuk menunjukkan ketidak seragaman baik dari bentuk maupun ketebalannya sehingga menimbulkan kesan tidak menarik dan tidak rapi. Selain itu, dalam pengkemasan dilakukan sangat sederhana, bahkan tanpa kemasan. Dengan demikian dalam pengembangan industri pengolahan kerupuk ikan milik masyarakat perlu diperhatikan tehnologi pengolahan dan pengkemasannya. 6.2. Perubahan Teknologi Pengolahan Ikan Perubahan yang terjadi dalam teknologi pengolahan tradisional hanya terbatas pada penggantian alat perendaman yang menggunakan bak-bak plastik. Namun beberapa tahun terakhir di Kecamatan Ngada ada kecenderungan berkembangnya pengolahan teri nasi dan rajungan untuk tujuan ekspor. Akan tetapi sama halnya pengolahan ikan lainnya, pengolahan teri nasi dan rajungan yang dilakukan usaha kecil tersebut masih kurang memperhatikan aspek sanitasi dan higienis. Berkaitan dengan pengembangan teknologi yang didukung oleh empat hal, seperti perbaikan harga, kualitas, distribusi dan promosi, maka akibat penerapan teknologi produksi yang masih sangat terbatas, maka industrialisasi pengolahan ikan di desa pantai masih menghadapi banyak kendala, yaitu: harga dan kualitas produk yang masih rendah, bahan baku yang sangat tergantung pada musim. Peranan kemasan untuk ikan kering, khususnya untuk komoditas ekspor, seperti ikan teri, cukup memberi alasan bahwa teknologi kemas akan memegang peranan penting dalam pengembangan industrialisasi pengolahan ikan di desa pantai. 6.3. Bahan Baku, Musim Ikan dan Perubahan Teknologi Perbaikan teknologi penangkapan diharapkan mampu merubah peta musim penangkapan di Kabupaten Ngada. Sekalipun masih juga mengenal musim paceklik, tapi kegiatan pengolahan maupun pengawetan ikan hampir telah 19 berlangsung sepanjang tahun meskipun dalam skala kecil. Kendala yang dialami dalam pengembangan industri masyarakat terutama bahan baku yang tidak kontinyu, ditambah dengan menurunnya bahan baku dari kualitas dan ukurannya. Dengan demikian, strategi para pengolah dipengaruhi sedikitnya oleh halhal sebagai berikut: (1) Jenis komoditi ikan yang dihasilkan di sekitar desanya, yang biasanya merupakan daerah penangkapan ikan; (2) Variasi komoditi yang bisa diolah atau diawetkan dengan teknologi dan sarana pengolahan yang dimiliki para pengolah tersebut; (3) Keluwesan penggunaan sarana pengolahan untuk berbagai macam jenis olahan atau awetan. Dengan memperhatikan ruang pengambilan keputusan oleh para pengolah, tampak bahwa mampu tidaknya pengolah tradisional untuk mengoperasikan alat olahan sepanjang tahun, tergantung beberapa hal, diantaranya adalah: (a) Potensi sumberdaya perairan laut, termasuk tingkat teknologi penangkapan yang ada; (b) Harga ikan dan potensi pasar yang ada. Mutu hasil olahan kering sangat tergantung pada teknologi pemanasan. Apabila cukup mendapatkan panas dari sinar matahari yang cukup, maka mutu ikan kering tersebut akan bagus. Namun apabila musim hujan, seringkali pengolahan ikan kering kurang sempurna, yang mengakibatkan mundurnya mutu ikan kering. Hal ini merupakan salah satu kendala pengembangan usaha pengolahan ikan kering. Sementara itu, persaingan harga ikan olahan sangat ditentukan oleh biaya transportasi. Akibatnya, nilai tambah pengolahan dan pengawetan banyak tercurah untuk biaya transport. Di sisi lain, pemasaran ikan kering ini banyak didominasi oleh pedagang ikan kering skala besar, serta memiliki jaringan pemasaran yang cukup luas. Sedangkan pengolah skala kecil hanya sebatas pada pasar lokal. Dengan demikian masalah pengembangan industri pengolahan ikan di desa pantai Kecamatan Ngada Kabupaten Ngada, NTT, khususnya pengolahan tradisional, sangat ditentukan oleh kemampuan para pengolah untuk mengintegrasikan potensi sumberdaya alam yang ada, teknologi tepat, penguasaan jaringan distribusinya (transportasi) dan respon konsumen (promosi) di pelosok desa dan kota. Oleh karena itu guna meningkatkan bargaining position dari pengolah ikan serta guna memperluas jaringan pemasaran dan menekan biaya pemasaran, ini maka perlu dibentuk suatu kelompok industri kecil perikanan dipedesaan. Di sisi lain, nelayan sebagai penyedia bahan baku ikan yang diolah juga menghadapi beberapa permasalahan antara lain; (a). Kemungkinan terjadinya benturan daerah penangkapan antar nelayan lokal maupun dengan nelayan dari daerah lain. Benturan kepentingan tersebut dapat menimbulkan konflik yang serius. (b). Teknologi alat tangkap nelayan kecil hanya dilengkapi dengan kapal penangkapan dengan skala dibawah 15 GT, hanya menjangkau perairan di Pantai Ngada, NTT, dimana perairan ini sudah padat dan "over fishing". Operari penangkapan dilakukan selama satu hari kerja. (b). Ikatan "kemitraan" antara juragan dengan para nelayan Anak Buah Kapal (ABK) dipandang tidak kondusif dan dapat menjadi penghambat memperbaiki diri. Demikian juga ikatan antara nelayan terhadap pelepas uang tersebut mengharuskan nelayan menjual hasil tangkapannya kepada pemilik modal dengan harga yang ditentukan secara sepihak. 6.4. Pemberdayaan Kawasan Industri Pengolahan Ikan Milik Masyarakat (KIPKANMAS) 20 Pembangunan seyogianya dilaksanakan oleh masyarakat sendiri dan pemerintah sebagai pihak yang memperlancar pelaksanaan dengan memberikan pelayanan sebaik-baiknya. Paradigma yang berorientasi pada rakyat menegaskan pentingnya pemberdayaan ekonomi rakyat dalam menyelenggarakan pembangunan guna mengembangkan kemampuan masyarakat sendiri. Dengan demikian masyarakat setempat mempunyai hak, wewenang dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri atas inisiatif sendiri dalam urusan rumah tangga daerahnya. Berdasarkan pada potensi dan kendala yang ada tersebut, maka model yang dapat diterapkan dalam rangka pemberdayaan KIPKANMAS melalui pembentukan Kelompok Industri Perikanan Terpadu (KIPT) milik masyarakat yang tumbuh dari bawah, melibatkan nelayan dan pengolah ikan serta lembaga pemasarannya. Kelompok Industri Perikanan Terpadu ini terdiri atas CLUSTER antara lain : (a). Kelompok nelayan sebagai penyedia bahan baku, (b). Kelompok pengolah ikan (ikan kering dan kerupuk ikan) yang melakukan usaha pengolahan secara bersama guna memperkuat "bargaining position" sekaligus memperluas jaringan pemasarannya melalui KIPT. Bagan kelembagaan KIPKANMAS melalui pengelolaan (KIPT) disajikan berikut. Tokoh masyarakat Kelompok Industri Perikanan Terpadu (KIPT) sebagai penyelenggara KIPKANMAS Kelompok Nelayan Instansi Terkait : - Sektor Publik - Swasta Kelompok Pengolah Ikan Masyarakat Sekitar Berdasarkan pada fungsi dan tugas pemberdayaan dapat dirinci sebagai berikut : masing-masing dari unsur 1. Kelompok Industri Perikanan Terpadu (KIPT) - Sebagai lembaga yang mewadahi kelompok nelayan dan Kelompok pengolah ikan untuk mengefektifkan proses pembinaan - Beranggotakan seluruh peserta dari kelompok nelayan maupun pengolah ikan, serta pengurus yang dipilih oleh anggota dan terdiri dri unsur Ketua, Sekretaris dan Bendahara yang berasal dari anggota kelompok. 21 - Sebagai penghubung dengan instansi terkait dalam memberikan program pemberdayaan Memperluas jaringan pemasaran produk ikan 2. Tokoh masyarakat - Berperan membantu dalam memberikan dorongan moral kepada kelompok usaha produktif - Menciptakan rasa aman dan damai dalam pelaksanaan usaha bersama melalui KIPT 3. Instansi terkait - Sektor pemerintah melalui lembaga terkait melakukan pembinaan dibidang tehnologi, permodalan, pemasaran dan pemberdayaan, serta memberikan bantuan dana kegiatan sosial-ekonomi produktif. - Sektor swasta dapat melakukan kerjasama dalam usaha dan penanaman modal. 4. Kelompok nelayan - Masing masing kelompok terdiri dari 10 nelayan sesuai dengan jenis alat tangkap yang dimiliki - Pembentukan kelompok dimaksudkan guna memudahkan dalam pembinaan dan pemberian bantuan dana bergulir 5. Kelompok pengolah ikan ( ikan kering / kerupuk ikan) - Masing masing kelompok terdiri dari 10 pengolah ikan kering atau pengolah kerupuk ikan. - Pembentukan kelompok dimaksudkan guna memudahkan dalam pembinaan dan pemberian bantuan dana bergulir 6. Masyarakat sekitar Pembentukan Kelompok Industri Perikanan Terpadu (KIPT) diharapkan dapat memberikan manfaat kepada masyarakat terutama sebagai salah satu penyedia lapangan pekerjaan masyarakat di sekitar Untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam pemberdayaan masyarakat pantai, maka fungsi dan peran masing-masing komponen kelompok tersebut sangat diharapkan. Penyiapan masyarakat dilakukan dalam wadah kelompok tersebut diharapkan dapat tumbuh menjadi embrio lembaga pengelola dana pembangunan yang mampu merencanakan, melaksanakan dan melestarikan kegiatan yamg dilakukan sendiri oleh masyarakat. 6.5. Aktivitas pembinaan dan Perikanan Terpadu (KIPT) pendampingan Kelompok Industri Langkah awal dalam melakukan pembinaan adalah membentuk KIPT melalui identifikasi dan analisis stake holder dalam masyarakat yang mewakili masingmasing kelompok masyarakat secara representatif. Dari daftar stake holder dan 22 tokoh masyarakat setempat dapat ditentukan pengurus KIPT dan anggota kelompok. Berdasarkan pada analisis permasalahan pengelolaan sumberdaya perikanan yang ada, maka dapat dalam pembinaan masing-masing kelompok diarahkan sebagai berikut. 1. Pembinaan kelompok nelayan Dalam rangka mengurangi konflik akibat penggunaan sumberdaya lautdan pantai, serta peningkatan supply bahan baku ikan olahan maka dikembangkan penangkapan ikan pada lepas pantai dengan menggunakan Kapal Perikanan berskala 20 GT. Dalam rangka pengenalan dan sosialisai Kapal perikanan lepas pantai tersebut, maka aktivitas pembinaan nelayan antara lain : - Pengadaan kapal latih berskala 20 GT dengan dilengkapi multi alat tangkap - Melakukan pelatihan penangkapan ikan di laut lepas, antara lain; mengoperasikan alat tangkap, alat deteksi ikan seperti GPS, fish finder dan sonar. - Penanganan pasca tangkap diatas kapal guna mempertahankan mutu ikan dengan cool chain system Perawatan kapal dan alat tangkap - Manajemen operasi penangkapan dengan melatih cara-cara perhitungan pembiayaan dan keuntungan. 2. Pembinaan kelompok pengolah ikan kering: - - Beberapa aktivitas pembinaan antara lain : Pengenalan tehnologi tepat guna usaha pengeringan ikan melalui alat pengering mekanik. Hal ini ditujukan untuk mengatasi pengeringan terutama pada saat musim hujan. Pengenalan sistim managemen pemasaran meliputi : grading kemas, cara perluasan pasar, penentuan harga juas dan sistim berkelompok. Pengenalan Inovasi Tehnologi Kemasan : Pengenalan contoh kemasan ikan kering yang telah beredar di pasar bebas. Demonstrasi dan pelatihan tehnologi tepat guna, sistim manajemen pemasaran dan tehnologi sablon kemas. 3. Pembinaan kelompok pengolah kerupuk ikan Beberapa aktivitas pembinaan antara lain : - Pengenalan tehnologi tepat guna alat pemotong kerupuk dengan sistem mekanik dengan kapasitas kerja 40 kg/jam serta pengenalan tehnologi tepat guna alat pencetak adonan untuk meningkatkan produktivitas dan sekaligus memperbaiki kualitas produktivitas dan sekaligus memperbaiki kualitas morvologi kerupuk dalam bentuk dan irisan yang lebih baik. - Pengenalan sistim managemen pemasaran meliputi : grading dan standarisasi kemas, cara perluasan pasar, penentuan harga juas dan sistim berkelompok. - Pengenalan Inovasi Tehnologi Kemasan : Pengenalan contoh kemasan kerupuk ikan yang telah beredar di pasar bebas. - Demonstrasi dan pelatihan tehnologi tepat guna, sistim manajemen pemasaran dan tehnologi sablon kemas.