model kipkanmas

advertisement
MODEL KIPKANMAS
KAWASAN INDUSTRI PENGOLAHAN IKAN MILIK MASYARAKAT
Diabstraksikan oleh;
Prof Dr Ir Soemarno MS
Bahan kajian MK. Metode Perencanaan dan Pengembangan Wilayah
PM PSLP PPSUB 2010
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1.
2.
3.
4.
Pemberdayaan ekonomi masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan pesisir,
melalui pengembangan KIPKANMAS
Antisipasi peningkatan kebutuhan produk-produk olahan ikan pada pasar
domestik
Sistem Produksi dan Distribusi ikan di NTT, Indonesia:
- Lemahnya posisi tawar nelayan/petani ikan
- Industri pengolahan ikan sulit diakses oleh masyarakat nelayan
- Produksi ikan hasil tangkapan sebagian mudah rusak
- Sistem kemitraan nelayan
- Industri pengolah ikan “kurang adil”
Biaya produksi /penangkapan relatif tinggi
Industri hilir masih terbatas pada produk-produk tertentu.
1.2. TUJUAN
Memberdayakan ekonomi masyarakat pedesaan pesisir-pantai melalui KIPKANMAS
guna peningkatan daya saing produk ikan olahan dan kesejahteraan masyarakat
nelayan kecil:
1. Menginisiasi berkembangnya KIPKANMAS yang didukung oleh adanya technoindustrial cluster yang relevan
2. Pengembangan teknologi pengolahan diversivikasi produk ikan: Ikan kering,
tepung ikan, pupuk organik limbah ikan, dan aneka makanan tradisional dan
lainnya
3. Pengembangan kelembagaan Badan Usaha Bersama pengelola KIPKANMAS
1.3. Evaluasi Kelayakan KIPKANMAS
1.3.1. KEKUATAN
a.
b.
c.
d.
e.
Ketersediaan bahan baku ikan yang didukung oleh keunggulan komparatif
sumberdaya wilayah pesisir-pantai
Sifat unggul produk olahan ikan untuk pasar regional dan nasional
Ketersediaan SDM dan masyarakat perikanan/nelayan yang etos kerjanya
tinggi
Sarana / prasarana dan kelembagaan penunjang yang komitmennya tinggi
terhadap perikanan dan industri pengolahan ikan
Potensi pasar hasil olahan ikan yang sangat besar.
1
1.3.2. KELEMAHAN
a. Kesenjangan hasil LITBANG ke aplikasi komersial
b. Industri pengolahan ikan bertindak juga sebagai “lembaga pemasaran”
c. Belum terbentuknya keterkaitan-kemitraan yang adil antar pelaku (cluster)
penangkapan/petani ikan - industri pengolahan & distribusi produk olahan
d. Produk olahan ikan umumnya masih berkualitas rendah.
e. Tingginya komponen biaya transportasi dalam struktur biaya produksi ikan
1.3.3. PELUANG
a. Pasar domestik (lokal, regional dan nasional) sangat terbuka
b. Diversifikasi produk-produk olahan ikan sangat potensial
c. Kebutuhan pengembangan keterkaitan antara cluster nelayan dengan cluster
industri pengolahan dalam kelembagaan KIPKANMAS
d. Kebutuhan Pemberdayaan sistem kelembagaan agribisnis ikan .
1.3.4. ANCAMAN
a. Hambatan-hambatan sistem distribusi ikan olahan domestik
b. Persaingan dengan produk impor
c. Persaingan dengan komoditi non-ikan dalam penggunaan sumberdaya
d. Hambatan-hambatan sistem industri pengolahan ikan yang ada, kemitraan
yang kurang adil antara juragan dengan nelayan/petani ikan.
1.3.5. PROGRAM PENGEMBANGAN
1. Pemberdayaan KOPMINA Pengelola KIPKANMAS
2. Pengembangan KIPKANMAS dengan komponen utamanya:
a. Cluster KSP (Kawasan Sentra Produksi) ikan
b. Cluster Industri Pengolahan Ikan (IPI)
c. Cluster Industri Pupuk Organik Limbah Ikan/ Pakan ternak
d. Cluster Industri Aneka Makanan Tradisional
e. Cluster ALSINTAN & SAPROTAN
f. Cluster Agrokimia/ Bahan-bahan pendukung
g. Cluster LITBANG, DIKLAT, INFOTEK dan Informasi Pasar
h. Cluster Pengemasan dan Pengepakan
g. Cluster Transportasi dan Pemasaran.
3. Kajian Keunggulan kualitas produk Pengolahan ikan
4. Sosialisasi dan Komersialisasi hasil-hasil kajian
5. Implementasi sistem Quality Assurance (QA)
1.3.6. OUTCOME
1.
2.
3.
4.
Berkembangnya KIPKANMAS dengan keterkaitan yang adil di antara clustercluster yang ada di dalamnya
Terbentuknya Badan Usaha Bersama pengelola KIPKANMAS yang mampu
mengkoordinasikan sistem produksi dan sistem distribusi ikan olahannya.
Berkembangnya aktivitas pengolahan ikan sekala kecil
Meningkatnya citra dan keunggulan produk ikan olahan
2
1.3.7. DAMPAK
1. Sinergi kelembagaan industri pengolahan ikan dalam “CLUSTER”
2. Sinergi antar pelaku bisnis dalam KIPKANMAS
3. Tumbuh-kembangnya semangat masyarakat untuk memproduksi ikan olahan
yang kualitasnya bagus
4. Tumbuh-kembangnya pasar produk-produk olahan ikan
5. Tumbuhnya semangat untuk melestarikan sumberdaya dan lingkungan
perikanan.
II. KELEMBAGAAN KIPKANMAS
MANAJEMEN PENDANAAN DAN TEKNOLOGI
INVESTASI
PUBLIK / PRIVAT
BOT SYSTEM
LITBANG
DIKLAT
Teknol
dana
Informasi
Teknologi &
SIM-Pasar
BADAN USAHA BERSAMA
pengelola KIPKANMAS
KSP perikanan
Penangkapan/Budidaya
Industri Pengolahan IKAN
(IPI)
Kelembagaan
Kemitraan &
Pendampingan
Industri
Hasil Samping/
Komplemen
3
KETERKAITAN ANTAR CLUSTER DALAM KIPKANMAS
Cluster SAPROTAN
ALSINTAN
KSP
IKAN
Rakyat
INDUSTRI
PengOlahan
Ikan
IKAN
olahan
Cluster
pangan
IKANI
PASAR
Regional
limbah
IKAN
Konsentrat
Bahan bahan
penolong
Pakan
ternak &
Cluster
pakan &
Peternakan
Cluster
Pemasaran &
Transportasi
Cluster
Agrokimia
Industri
Makanan
Tradisional
Industri
Pupuk
Organik,
Cluster
Kemas &
Packaging
SISTEM PERBANKAN DAN ASURANSI
Pasar
Nasional
4
III. POLA PEMBIAYAAN
Koperasi Agribisnis Perikanan rakyat (KOPMINA) dapat dijadikan sebagai
wadah untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat dengan ALTERNATIF pola
pengembangan sebagai berikut:
Pola I: Koperasi Pengelola KIPKANMAS
Masyarakat membentuk KOPMINA, membangun kawasan sentra produksi
(KSP) perikanan rakyat dan fasilitas Industri Pengolahan IKAN (IPI), serta
mengembangkan sarana dan prasarana penunjangnya. Dalam proses
pengembangan koperasi seperti ini masyarakat anggota dan pengurus koperasi
dapat meminta bantuan pihak ke tiga (manajemen profesional) berdasarkan suatu
KONTRAK PEKERJAAN (KP) .
Biaya pembangunan KSP perikanan rakyat, fasilitas industri pengolahan
ikan, sarana dan prasarana agroindustri serta biaya KP, 100 persen bersumber dari
dana/investasi masyarakat per ”IKAN” an, yakni ANGGOTA dan PENGURUS
Koperasi.
KOPMINA
ANGGOTA
PENGURUS
DANA INVESTASI & MASYARAKAT
KIPKANMAS
KSP
Penangkapan
Budidaya
IPI
Penunjang
Komplemen
5
Pola II: Patungan Koperasi dan Investor membentuk Badan Usaha Bersama.
Pola ini merupakan modifikasi dari pola PIR (Perusahaan Inti Rakyat), yaitu
menghilangkan pembatas kelembagaan antara plasma dan inti. Dalam Pola II, sejak
awal masyarakat perikanan membentuk KOPMINA dan berpatungan dengan suasta
sebagai satu unit usaha patungan KIPKANMAS. Dengan pola ini secara menyeluruh
komposisi pemilikan saham antara KOPMINA dan SUASTA dapat beragam sesuai
kesepakatan, misalnya 65 persen : 35 persen.
Pola III: Patungan Investor dan Koperasi.
Seperti Pola II, tetapi kontribusi KOPMINA lebih terbatas, yaitu pada "in kind
contribution” yang disetarakan dengan nilai uang, misalnya lahan usaha perikanan
rakyat milik KOPMINA (sebagai saham). Secara menyeluruh pangsa KOPMINA
pada tahap awal sekurangnya 20%, yang selanjutnya secara bertahap meningkat
sesuai dengan perkembangan kondisi usaha KIPKANMAS.
Pola IV. BOT (Building-Operating-Transfer).
Pola ini terbuka bagi investor (termasuk PEMERINTAH). Dalam pola ini investor
membangun KSP perikanan rakyat, industri pengolahan ikan (IPI) dan sarana serta
prasarana pendukungnya (KIPKANMAS), termasuk pula membangun KOPMINA
yang akan menerima dan melanjutkan usaha KIPKANMAS. Tahapan dan
persyaratan yang diperlukan untuk membangun, mengoperasikan dan mentransfer
dirancang kesesuaiannya dengan karakteristik komoditas ikan dan kondisi pasarnya.
Pada dasarnya KSP perikanan rakyat dan industri pengolahan ikan (IPI) ditransfer
pada saat KOPMINA sudah siap dan kondisi KSP perikanan rakyat dan Industri
Pengolahan Ikan masih menguntungkan secara teknis-ekonomis untuk dikelola oleh
koperasi.
Pola V. BTN (Bank Tabungan Negara)
Pola ini mengadopsi dari pola pengembangan perumahan rakyat yang
dikembangkan oleh Bank Tabungan Negara. Pemerintah bukan hanya menyediakan
paket kredit untuk mengembangkan KSP perikanan rakyat dan industri pengolahan
ikan (IPI), tetapi juga mengembangkan kelembagaan keuangan (seperti BTN)
sebagai lembaga yang membiayai pembangunan KIPKANMAS, yang dilaksanakan
oleh developer. Developer dibatasi kepada BUMN/D/BUMS yang memiliki “core
competence” di bidang perikanan. Kapling KSP perikanan rakyat dan IPI yang telah
dibangun dapat dimiliki oleh para pihak yang berminat menanamkan modalnya
dalam bentuk agribisnis perikanan. KOPMINA dikembangkan untuk mengelola
KIPKANMAS secara utuh dengan dukungan dana operasionalnya bersumber dari
hasil usahanya.
6
IV. PEMBERDAYAAN KOPERASI
(BADAN USAHA BERSAMA)
SEBAGAI PENGELOLA KIPKANMAS
4.1. Peluang dan Tantangan
Memasuki abad 21, bangsa Indonesia dihadapkan pada kenyataan bahwa
kondisi ekonomi sebagian besar anggota masyarakat pedesaan pesisir-pantai
masih sangat memprihatinkan. Sementara itu tantangan terbesar yang juga harus
diantisipasi adalah kesiapan masyarakat dalam memasuki era perdagangan bebas
yang penuh kompetisi. Terjadinya krisis dan kelangkaan bahan kebutuhan pokok,
seperti beras, gula, minyak dan lainnya, merupakan salah satu wujud dari dampak
perdagangan bebas yang sekaligus menjadi indikasi kekurang-siapan masyarakat
dalam menghadapinya. Krisis “komoditas ikan”, apabila terjadi, dapat berdampak
pada gairah petani ikan / nelayan untuk memproduksi ikan, sehingga pendapatan riil
masyarakat menurun dan pada akhirnya juga akan diikuti oleh pertumbuhan
ekonomi yang menurun. Akibat lanjutannya adalah banyak tenaga kerja pedesaan
yang kehilangan kesempatan kerja, yang apabila dibiarkan akan memunculkan
kerawanan sosial.
Salah satu potensi masyarakat yang belum secara optimal didaya-gunakan
adalah lembaga-lembaga sosial-tradisional yang telah mengakar di masyarakat
pedesaan pantai, seperti Koperasi Primer Perikanan (KOPMINA) di wilayah sentra
produksi perikanan, dan bentuk-bentuk lembaga tradisional lainnya.
Pada saat ini terdapat banyak KOPMINA dengan berbagai sekala usaha dan
tingkat perkembangan yang berbeda-beda. Beberapa perihal penting yang dihadapi
KOPMINA saat ini adalah sebagai berikut :
a. Masih adanya kebijakan pemerintah yang belum sepenuhnya memihak kepada
pemberdayaan koperasi perikanan. Hal ini mengakibatkan lemahnya “bargaining
power” koperasi dalam bertransaksi dengan industri pengolahan ikan dan
lembaga distribusi produk-produk perikanan.
b. Masih terlalu banyaknya kendala-kendala yang ikut mengendalikan “agribisnis
perikanan rakyat” sehingga mengakibatkan berbagai bentuk distorsi yang
merugikan petani ikan/nelayan
c. Lemahnya dukungan permodalan dari lembaga keuangan formal / sistem perbankan kepada Koperasi (atau Badan Usaha Bersama, BUBA) sektor perikanan.
Oleh karena itu, lembaga KOPMINA (BUBA) milik masyarakat ini perlu
segera lebih diberdayakan dengan pertimbangan rasional sebagai berikut:
1. Lembaga KOPMINA (dengan segala fasilitasnya) yang sudah tersebar di sentra
produksi merupakan infrastruktur yang sudah tersedia sebagai sarana dalam
rangka mengembangkan aspek sosial ekonomi masyarakat di sekitarnya.
Sehingga pemerintah tidak memerlukan program dan biaya untuk membangun
prasarana kelembagaan baru.
2. Sebagian besar penduduk pedesaan pesisir-pantai merupakan kelompokkelompok nelayan produktif dengan basis penangkapan ikan sebagai usahanya.
Kelompok-kelompok masyarakat tersebut memiliki kepentingan ekonomi yang
sama dan pada umumnya telah membina rasa kebersamaan untuk mengatasi
masalah mereka. Sehingga dengan pilihan program-program terobosan yang
tepat sasaran dan tepat guna dapat mempercepat gerak roda perekonomiam di
tingkat bawah (grass-roots).
7
3.
4.
5.
Dengan pilihan program pemberdayaan yang tepat, fungsi KOPMINA dapat
ditingkatkan dari sebatas “simpan pinjam” menjadi pusat kegiatan perekonomian
(center of economic activities) masyarakat di sekitarnya. Peningkatan peranan
ini sekaligus membuka peluang bagi para tenaga terampil terdidik untuk
diperan-sertakan dalam memberdayakan ekonomi rakyat. Dengan demikian,
tenaga terampil terdidik diberdayakan untuk berperan dalam pengembagan
kewira-usahaan dan kegiatan-kegiatan agribisnis ikan bersama masyarakat.
Pada sebagian KOPMINA juga telah tumbuh dan berkembang unit usaha
WASERDA yang melayani saprodi dan kebutuhan bahan pokok masyarakat.
Selain itu juga telah berkembang unit usaha “Lembaga Keuangan” khusus bagi
kelompok petani ikan. Sebagai lembaga keuangan alternatif keberadaannya
sangat dibutuhkan oleh masyarakat pedesaan, terutama untuk memerangi
praktek “para pelepas uang”.
Sejalan dengan upaya Pemerintah untuk membangun sistem produksi ikan dan
jaringan distribusi ikan dalam rangka menghindari kelangkaan akibat ulah para
spekulan menimbun barang, maka keberadaan KOPMINA (BUBA) dapat
diberdayakan sebagai pengelola KIPKANMAS.
Berdasarkan pertimbangan sebagaimana diuraikan di atas, maka
dipandang sangat urgen dan relevan untuk diupayakan Program "Pemberdayaan
KOPMINA (BUBA) sebagai Lembaga Ekonomi Rakyat yang Mengakar dan Mandiri,
serta layak mengelola KIPKANMAS”.
Program seperti ini merupakan salah satu bentuk investasi masyarakat
yang berkelanjutan melalui Pola Badan Usaha Bersama diharapkan dapat
menimbulkan efek rambatan pada tumbuh dan berkembangnya kegiatan ekonomi
rakyat sesuai dengan potensi ekonomis di wilayah sekitarnya.
Sasaran pemberdayaan selanjutnya adalah agar dapat memperluas dan
meningkatkan nilai tambah (value added) dan kesempatan kerja (employment
generation) di berbagai sektor riil lainnya yang mempunyai keterkaitan dengan
agribisnis perikanan rakyat.
4.2. Tujuan Pemberdayaan
(1). Ikut menggerakkan roda perekonomian rakyat pada tingkat akar rumput (grass
- roots) petani ikan, nelayan dan pengolah ikan
(2). Memberdayakan KOPMINA dan BUBA di wilayah pedesaan pesisir-pantai
dengan dukungan investasi sosial-masyarakat untuk menerapkan MODEL
TIGA RODA (Unit usaha KSP perikanan rakyat, Unit usaha IPI, dan Unit usaha
Jasa-jasa penunjang) untuk mempermudah akses terhadap peluang-peluang
bisnis perikanan.
(3). Memberdayakan KOPMINA dan BUBA dengan dukungan Kredit SemiKomersial guna membantu memperlancar produksi dan distribusi ikan dan ikut
melindungi kepentingan petani ikan , nelayan , pengolah ikan dan masyarakat
luas,
(4). Mengembangkan mekanisme kemitraan yang “adil” di antara CLUSTER yang
terkait dalam KIPKANMAS, utamanya kemitraan petani/nelayan – pengolah pedagang.
4.3. Lingkup Pemberdayaan
8
1.
2.
3.
4.
5.
Sosialisasi konsep KIPKANMAS yang mensinergikan segenap mata rantai
utama dalam sistem produksi dan distribusi ikan olahan.
Rekruitmen tenaga terampil terdidik untuk dijadikan
petugas pendamping
lapangan yang profesional
Pelaksanaan kegiatan LITBANG dan DIKLAT antara lain meliputi:
(a) Sistem produksi perikanan profesional;
(b) Sistem Industri Pengolahan Ikan
(c) Sistem distribusi produk-produk perikanan dan olahannya
Penyaluran modal dengan pendampingan untuk KOPMINA dan BUBA dengan
model tiga roda.
Penyaluran fasilitas kredit Agribisnis kepada KOPMINA / BUBA sesuai dengan
tahapan pelaksanaan program.
4.4. Konsep Kelembagaan
KOPMINA (Bdaan Usaha Bersama)
PENERAPAN MODEL TIGA RODA
Petani Ikan
dan POKTANI NELAYAN
tokoh masyarakat
kontak NELAYAN pedesaan
KOPMINA
Unit
KSP IKAN
Unit
IPI
Unit
Jasa-jasa
Penunjang
masyarakat luas
9
MITRA EKSTERNAL
KOPMINA:
*) Amanah
*) Profesional
BADAN USAHA BERSAMA (BUBA)
UNIT USAHA
PENANGKAPAN & BUDIDAYA
UNIT USAHA
JASA-JASA
PENUNJANG/
KOMPLEMEN
NELAYAN
PETANI IKAN
UNIT USAHA
INDUSTRI PENGOLAHAN IKAN
(IPI)
MASYARAKAT
10
BUBA SEBAGAI AGEN KENDALI DISTRIBUSI
PETANI / POKTANI
NELAYAN
Mitra
sharing modal
eksternal
BUBA
IKAN
Unit Perdagangan
Pembelian IKAN
penjualan IKAN
SISTEM
Kemitraan
Dengan Pusat Perdagangan
IPI
SISTEM
DISTRIBUSI
Eceran
11
v. Profil Industri Pengolahan Ikan
5.1. Aspek teknis usaha-usaha pengolahan
5.1.1. Usaha Pengeringan Ikan
Usaha pengeringan ikan di wilayah pesisir-pantai merupakan jenis usaha
pengolahan yang dominan. Di Ngada terdapat sejumlah unit usaha pengering skala
kecil, sedang sampai besar. Sebagian wanita nelayan di daerah ini terutama istri
pendega bekerja sebagai buruh borongan membelah ikan pada usaha pengeringan
skala besar. Upah borongan pada usaha pengeringan bervariasi antara Rp. 250,sampai Rp.500,-/kg, tergantung jenis ikan dan jenis pekerjaannya. Upah borongan
membelah ikan ukuran agak besar seperti jenis Ikan Beloso adalah Rp. 250,- per
kilogram, sedangkan untuk ikan-ikan ukuran kecil seperti jenis Ikan Trasa’ upah
borongan membelah dan menjemur sebesar Rp.500,- per kilogram. Usaha
pengeringan skala kecil umumnya dilakukan oleh wanita nelayan istri juragan
sebagai home industri. Kapasitas produksi antara 2-3 kranjang (25-50) / hari.
Peralatan yang digunakan dalam pengeringan ikan antara lain keranjang,
widig, bak plastik,dan jedingan (bak perendaman. Proses pembuatan ikan kering
adalah setelah ikan dicuci, selanjutnya ikan diatur dalam bak perendaman sambil
diberi garam dapur secara merata. Pemberian garam dapur dilakukan secra
berlapis-lapis dengan perbandingan 4 : 1.Kemudian diberi air sampai batas semua
ikan terendam cairan garam. Masa perendaman selama 11-24 jam. Setelah
perendaman, dilakukan penirisan dan pencucian untuk membersihkan garam yang
menempel pada tubuh ikan. Terakhir dilakukan penjemuran dibawah matahari
selama 2 sampai 3 hari. Sedangkan jenis ikan beloso setelah perendaman
kemudian dilakukan pembelahan sebelum perlakuan penjemuran. Dalam kegiatan
penjemuran, ikan ditata pada “widig”yang terbuat dari anyaman bambu. Proses
penjemuran ini dilakukan taaanpa menggunakan para-para, dan hanya diletakkan di
tanah. Skema tahapan proses pengeringan ikan di daerah penelitian dapat
ditunjukkan seperti berikut.
Pencucian ikan
Pengaturan ikan pada bak perendam
Sambil diberi garam dapur
Perendaman dalam air garam selama
11 – 24 jam (tergantung jenis ikan)
penirisan dan pencucian
penjemuran selama 2 –3 hari
12
Jenis-jenis ikan yang dikeringkan antara lain beloso, teri, belanak, kope’,
cumi-cumi, trasak, layang, dan gerabah. Ikan kering jenis beloso dan trasa’
mendominasi hasil olahan ikan kering.
Pemasaran ikan kering pada pengolah skala besar melalui pedagangpedagang yang sudah menjadi langganannya. Daerah pemasarannya antara lain
kota-kota sekitarnya. Sementara untuk pengering skala kecil pemasarannya terbatas
di daerah Ngada, NTT, dengan mengirim langsung kepada pedagang atau toko-toko
yang sudah menjadi pelanggan.
5.1.2. Usaha Pemindangan
Usaha pemindangan pada umumnya dalam skala kecil dengan volume
produksi antara 15-50 kg setiap kali produksi. Jumlah pengolah yang
mengusahakan pemindang hanya 3 orang. Dalam usaha pemindangan ini dilakukan
pengolah yang kebanyakan wanita tanpa dibantu tenaga kerja lain. Namun, bila
musim ikan dimana kapasitas produksi mencapai 100 kg, maka wanita nelayan
menggunakan tambahan tenaga borongan untuk merebus ikan pindang dan
“ngreyeng”. Tenaga merebus pindang biasanya laki-laki. Upah yang dikeluarkan
untuk membayar tenaga borongan mencapai Rp. 20.000,00 per hari.
Usaha pemindangan dilakukan secara tradisional sebagai home industri. Hal
tersebut terlihat dari peralatan yang digunakan. Beberapa peralatan yang digunakan
dalam pemindangan antara lain plat eser, tungku pemanas, ember plastik, dan
gayung/gembor. Seadng ikan pindang dikemas dalam keranjang bambu (reyeng).
Adapun bahan-bahan yang digunakna untuk pembuatan pindang antara lain: garam,
air, kayu bakar, dan daun kelapa muda untuk lapisan bawah reyeng.
Jenis-jenis sebagai bahan baku pemindangan antara lain tongkol, salem,
ekor merah, kembung dan lemuru. Jenis ikan tongkol, layang, salem, dan kembung
banyak ditemukan pada bulan Maret sampai dengan Oktober. Sedangkan bulan
Nopember sampai Januari terutama ikan lemuru.
Proses pengolahan pindang adalah, setelah ikan dicuci bersih dalam ember
plastik kemudian diatur dalam reyeng yang sudah dilapisi dengan daun kelapa atau
merang. Ikan yang sudah tersusun dalam reyeng diatasnya ditaburi garam berat
20% dari berat ikan. Kemudian direbus dalam bak pemindangan (plat eser) yang
berisi larutan garanm yang telah mendidih kurang lebih selama 15 menit. Selama
perebusan plat eser ditutup dengan anyaman bambu dan pemberat. Setelah ikan
matang, dilakukan penirisan dengan cara diangin-anginkan. Skema-skema tahapan
proses pemindangan didaerah ditunjukkan pada bagan berikut.
13
Pencucian ikan
Pengaturan ikan dalam reyeng
Penaburan garam
Perebusan selama 15 menit
Penirisan
Produksi ikan olahan di daerah Ngada terutama dikhususkan untuk
memenuhi kebutuhan pasar setempat. Pemasaran ikan ini dilakukan secara
langsung kepada konsumen di pasar, tanpa melalui pedagang. Daerah
pemasarannya sekitar pasar Kabupaten Ngada, NTT.
5.1.3. Usaha Pembuatan Kerupuk Ikan
Usaha pembuatan kerupuk yang banyak dilakukan wanita nelayan
menggunakan bahan baku ikan Beloso. Ikan Beloso merupakan salah satu hasil
tangkapan yang dominan di daerah penelitian. Produksi kerupuk ikan beloso ini
merupakan salah satu hasil iakn olahan yang menjadi ciri khas dari daerah
penelitian. Beberapa peralatan yang digunakan dalam proses produksi kerupuk ikan
adalah; mampan plastik, ember, meja, cobek besar, dandang, pisau, dan “widig”.
Sedangkan bahan tambahan untuk kerupuk antara lain; tepung tapioka, bawang
putih, gula, dan garam. Tahapan proses pembuatan kerupuk ikan digambarkan
dalam skema berikut.
14
Pencucian dan penyiangan ikan
Penghalusan ikan, bumbu, pencampuran tepung dan air, dibentuk adonan/gelondong diatas meja dan dibungkus daun pisang
Pengukusan dalam dandang
Pendinginan selama 12 jam
Pengirisan, ketebalan + 2,7 mm
Penjemuran diatas para-para sampai kering
Dalam memasarkan hasil kerupuk ikan dapat dilakukan tanpa menggunakan
pengemasan dalam plastik dan dipasarkan sendiri oleh pengolah. Pemasaran
kerupuk ikan selain untuk memenuhi pasar lokal, dan sekitar Ngada, NTT juga dapat
sampai pada luar daerah seperti di daerah NTT lainnya.
5.1.4. Usaha Pengolahan Terasi
Usaha pembuatan terasi dapat dilakukan oleh 5 orang pengolah dengan
skala kecil dengan cara yang sangat sederhana. Bahan baku terasi dari udang
rebon untuk jenis terasi yang berkualitas I. Sedangkan terasi kualitas II
menggunakan bahan campuran antara kepala udang windu dan ikan (selar,
kembumg, dan ikan rucah dari tambak). Beberapa peralatan yang digunakan dalam
pembuatan terasi antara lain bak plastik, lumpang batu, penumbuk kayu (alu), widig
dan keranjang.
Setelah bahan baku dicuci dan diberi garam, lalu ditumbuk setengah halus
dan dijemur setengah kering. Kemudian ditumbuk lagi sambil diberi bahan pewarna
merah. Setelah ditumbuk dilakukan penjemuran lagi, ditata diatas widig. Penjemuran
terasi hanya diletakkan diatas tanah tanpa menggunakan para-para. Bahan terasi
yang telah kering dicetak diatas meja dan dijemur sebentar. Terakhir dilakukan
pemeraman (fermentasi) selama 2-3 minggu dengan menggunakan keranjang yang
ditutup rapat dengan plastik.
Pemasaran terasi dilakukan sendiri oleh pengolah kepada pedagang atau
toko yang sudah menjadi langganannya. Pembungkusan terasi sangat sederhana,
hanya dilakukan dengan menggunakan daun. Daerah sasaran pemasaran hanya di
sekitar kota Ngada, NTT dan sekitarnya.
Skema tahapan proses pembuatan terasi di daerah Ngada dapat ditunjukkan
seperti bagan berikut.
15
Bahan baku dicampur garam
Ditumbuk setengah halus
Dijemur setengah kering
Ditumbuk sambil diberi pewarna merah
Dijemur sampai kering
Pemeraman/fermentasi selama 2-3 minggu
5.1.5. Usaha Pengolahan Ikan Asap
Usaha pengasapan atau pemanggangan ikan dapat dijumpai di daerah
penelitian, namun demikian skala usaha pengasapan relatif masih sangat kecil bila
dibandingkan dengan skala usaha untuk usaha jenis pengolahan lainnya. Usaha
pengasapan hanya dilakukan oleh pengasap, tanpa menggunakan tenaga kerja dari
luar (upahan). Skala produksi berkisar antara 15 kg sampai 25 kg untuk setiap kali
mengasap.
Jenis-jenis ikan yang diasap/dipanggang biasanya hanya jenis-jenis ikan
tertentu seperti keting, kembung, dan pari. Di daerah Ngada usaha pengasapan
banyak dilakukan pada saat musim ikan kembung, sedangkan pada saat di luar
musim ikan kembung biasanya hanya pada waktu-waktu tertentu, yaitu pada saat
tersedia iakn keting atau pari.
Teknologi atau cara pengasapan yang dilakukan masih sangat sederhana.
Alat yang digunakan untuk mengasap adalah berupa tungku yang dibuat sendiri,
kemudian dibagian atasnya diberi potongan besi atau kawat sebaagi penyangga.
Bahan bakar yang digunakan adalah sabut kelapa.
Pemasaran ikan asap dilakukan langsung oleh produsen kepada konsumen
tanpa melalui pedagang. Daerah pemasarannya hanya terbatas di daerah sekitar.
5.1.6. Usaha Pengolahan Ikan Rebus (Teri Nasi)
Usaha pengolahan perebusan ditujukan pada ikan teri nasi dan rajungan,
dan merupakan usaha skala rumah tangga yang prospektif. Usaha pengolahan teri
nasi dapat dilakukan kalau bahan baku teri nasi merupakan salah satu hasil
tangkapan yang dominan.
Tehnologi pengolahan teri nasi yang dilakukan dalam skala kecil, namun
belum memenuhi standar kualitas yang memadai. Untuk menyimpan hasil olahan
teri nasi selama proses produksi, belum memiliki cold storage. Oleh karena itu,
setelah melakukan pengolahan teri nasi langsung dikirim kepada pedagang.
16
Beberapa tahapan pengolahan teri nasi adalah sebagai berikut :
1. Pencucian, dilakukan pada bak pencuci yang terbuat permanen dari semen
(jedingan) berjajar 3, yang merupakan tempat pencucian awal, pembilasan 1 dan
2.
2. Perebusan, dilakukan pada peralatan perebusan berupa bak terbuat dari logam
tahan karat berukuran 80 X 120 X 25 cm, dengan menggunakan larutan garam
yang mendidih. Perbandingan garam yang digunakan sebanyak 6 %. Artinya
dalam volume air perebus 1.000 liter, maka garam yang dilarutkan sebanyak 60
kg. Lama perebusan sekitar 3 – 5 menit atau sampai ikan tersebut masak yang
ditandai dengan mengambangnya ikan di permukaan.
3. Penirisan dan pengipasan, yakni teri nasi yang telah masak diletakkan pada
keranjang plastik kecil dan diangin-anginkan dibawah kipas angin agar air dari
perebusan segera berkurang.
4. Pengeringan, yakni menjemur ikan teri nasi tersebut pada “widig” yang berukuran
60 x 90 cm dan dilapisi dengan waring. Pengeringan dilakukan dengan
menggunakan sinar matahari, diatas para-para setinggi 100 meter dari tanah.
Lama penjemuran dalam keadaan panas antara 4 – 5 jam.
5. Menampi, yaitu menggoyang-goyangkan teri nasi kering dalam nyiru agar teri
nasi kering yang akan disortasi dalam keadaan bersih dari teri nasi yang hancur.
Dengan demikian mempermudah sortasi.
6. Sortasi, yaitu menggolongkan teri nasi kering menurut stratifikasi grade yang
telah ditetapkan. Teri nasi yang tidak masuk dalam standar ekspor, dipasarkan
untuk konsumsi lokal.
7. Packing, menggunakan bahan pengemas dari kantong plastik kemudian
dimasukkan lagi dalam kotak dos berlapis lilin dengan kapasitas 5 kg teri nasi
kering.
5.2. Aspek Ekonomi Industri Pengolahan Ikan
Masa berproduksi usaha pengolahan hampir tidak dapat dilakukan sepanjang
waktu secara kontinyu. Hal ini disebabkan karena hasil tangkapan ikan sebagai
bahan baku pengolahan sangat dipengaruhi oleh musim ikan.
5.3. Struktur Pemasaran
Struktur pasar ikan olahan sangat beragam tergantung dari jenis ikan olahan
dan volume produksi. Struktur pemasaran ikan olahan melibatkan beberapa
lembaga pemasaran yang berfungsi baik penumpul, perantara, maupun pengecer,
terutama untuk ikan kering dari pengolah skala kecil. Sedangkan jenis ikan olahan
lainnya, langsung dilakukan oleh pengolah dan pedagang skala kecil untuk
dipasarkan pada pasar setempat. Sedangkan pemasaran ikan teri nasi langsung
ditujukan pada eksportir yang telah mempunyai hubungan.
Pemasaran ikan kering oleh produsen slaka kecil terkonsentrasi pada
pedagang pengumpul lokal dan selanjutnya dikirim ke pedagang besar baik di dalam
maupun di luar Propinsi NTT. Sedangkan pengolah skala besar ada kecenderungan
dipasarkan sendiri pada pedagang pengumpul di luar wilayah Ngada. Harga yang
terjadi sangat ditentukan oleh supplai ikan di pasar, sehingga ada kecenderungan
harga ditetapkan oleh pedagang ikan.
17
Pengering
/produsen
Pdg. besar luar
Kabupaten
pengering/pedagang
pengumpul
Pedagang besar
Luar Propinsi
Pengecer
lokal
Pengecer luar
Kabupaten
Konsumen
5.4. Kelayakan pengembangan usaha pengolahan ikan kering dan
kerupuk ikan
Berdasarkan pada analisis usaha dan ketersediaan bahan baku, maka
pengembangan kawasan industri perikanan masyarakat diarahkan pada
pengembangan pengolahan ikan kering dan kerupuk ikan skala rakyat. Berdasarkan
pada perhitungan analisis rugi laba, maka pengembangan usaha pengeringan ikan
membutuhkan modal investasi untuk pembelian peralatan dan bangunan .
Dengan asumsi masa produksi ikan kering selama 10 bulan dengan
kapasitas produksi sebesar 100 kg per produksi, maka usaha pengeringan ikan
akan memberikan nilai tambah yang cukup besar.
VI. PROSPEK PENGEMBANGAN INDUSTRI PERIKANAN MILIK
MASYARAKAT
Selama dua puluh tahun terakhir, usaha pengolahan ikan telah menjelma
sebagai salah satu alternatif lapangan usaha yang mampu memberikan sejumlah
pendapatan dan menyerap tenaga kerja, khususnya nelayan kecil dan warga desa
pantai. Data menunjukkan, bahwa industri pengolahan dan pengawetan ikan
didominasi oleh beberapa macam pengolahan dan pengawetan, yaitu: Industri
pengolahan ikan tradisional, yang didominasi oleh:
(1) pengolahan yang bertujuan mengawetkan ikan mentah secara pengurangan
kadar air melalui pengeringan bantuan sinar matahari (ikan kering dan teri nasi);
(2) pengolahan yang bertujuan mengawetkan ikan mentah secara pendinginan
(dibantu dengan es) sehingga ikan diusahakan tetap segar;
(3) pengolahan yang bertujuan mengawetkan ikan dengan cara dimasak dalam
bentuk pindang, terasi dan kerupuk ikan.
Dari olahan dan awetan tersebut, maka jenis pengolahan pengeringan ikan
dan pengolahan kerupuk ikan merupakan usaha yang memiliki peluang dalam
pengembangan Industri Pengolahan ikan milik masyarakat.
18
6.1. Keadaan Teknologi yang Ada Sekarang
Pada umumnya pengolahan pengeringan ikan dilakukan dalam skala kecil
sebagai home industri seperti terlihat dari peralatan yang digunakan. Keadaan
teknologi pengolahan dan pengawetan yang ada sekarang seperti tersebut di atas
ternyata selama 20 tahun terakhir hampir tidak ada perubahan (perkembangan).
Bahkan cara penjemuran masih kurang menunjukkan sanitasi dan higienis yang
baik, sehingga baik mutu maupun daya awet (daya simpan) dari ikan yang
diawetkan cukup rendah yang merupakan salah satu kendala terbatasnya
pemasaran ikan tersebut.
Kalau ditinjau dari aspek teknologi pengolahan pengeringan ikan, faktorfaktor yang mempengaruhi mutu produk olahan adalah, antara lain: bahan baku
(mentah), pengolahannya sendiri dan pengkemasan yang telah diuraikan di atas
sudah cukup baik karena umumnya menggunakan suhu cukup tinggi karena
menggunakan sinar matahari. Sehingga sekarang yang perlu diperhatikan adalah
keadaan bahan baku dan pengkemasannya. Keadaan bahan baku untuk produk
perikanan tergantung dari keadaan saat ditangkap, demikian juga pengkemasannya.
Sedangkan tehnologi pengolahan kerupuk ikan, pembuatan adonan
dilakukan secara tradisional. Pengirisan kerupuk dilakukan secara manual. Dengan
tehnologi yang ada tersebut, hasil olahan kerupuk menunjukkan ketidak seragaman
baik dari bentuk maupun ketebalannya sehingga menimbulkan kesan tidak menarik
dan tidak rapi. Selain itu, dalam pengkemasan dilakukan sangat sederhana, bahkan
tanpa kemasan. Dengan demikian dalam pengembangan industri pengolahan
kerupuk ikan milik masyarakat perlu diperhatikan tehnologi pengolahan dan
pengkemasannya.
6.2. Perubahan Teknologi Pengolahan Ikan
Perubahan yang terjadi dalam teknologi pengolahan tradisional hanya
terbatas pada penggantian alat perendaman yang menggunakan bak-bak plastik.
Namun beberapa tahun terakhir di Kecamatan Ngada ada kecenderungan
berkembangnya pengolahan teri nasi dan rajungan untuk tujuan ekspor. Akan tetapi
sama halnya pengolahan ikan lainnya, pengolahan teri nasi dan rajungan yang
dilakukan usaha kecil tersebut masih kurang memperhatikan aspek sanitasi dan
higienis.
Berkaitan dengan pengembangan teknologi yang didukung oleh empat hal,
seperti perbaikan harga, kualitas, distribusi dan promosi, maka akibat penerapan
teknologi produksi yang masih sangat terbatas, maka industrialisasi pengolahan ikan
di desa pantai masih menghadapi banyak kendala, yaitu: harga dan kualitas produk
yang masih rendah, bahan baku yang sangat tergantung pada musim.
Peranan kemasan untuk ikan kering, khususnya untuk komoditas ekspor,
seperti ikan teri, cukup memberi alasan bahwa teknologi kemas akan memegang
peranan penting dalam pengembangan industrialisasi pengolahan ikan di desa
pantai.
6.3. Bahan Baku, Musim Ikan dan Perubahan Teknologi
Perbaikan teknologi penangkapan diharapkan mampu merubah peta musim
penangkapan di Kabupaten Ngada. Sekalipun masih juga mengenal musim
paceklik, tapi kegiatan pengolahan maupun pengawetan ikan hampir telah
19
berlangsung sepanjang tahun meskipun dalam skala kecil. Kendala yang dialami
dalam pengembangan industri masyarakat terutama bahan baku yang tidak
kontinyu, ditambah dengan menurunnya bahan baku dari kualitas dan ukurannya.
Dengan demikian, strategi para pengolah dipengaruhi sedikitnya oleh halhal sebagai berikut: (1) Jenis komoditi ikan yang dihasilkan di sekitar desanya, yang
biasanya merupakan daerah penangkapan ikan; (2) Variasi komoditi yang bisa
diolah atau diawetkan dengan teknologi dan sarana pengolahan yang dimiliki para
pengolah tersebut; (3) Keluwesan penggunaan sarana pengolahan untuk berbagai
macam jenis olahan atau awetan.
Dengan memperhatikan ruang pengambilan keputusan oleh para pengolah,
tampak bahwa mampu tidaknya pengolah tradisional untuk mengoperasikan alat
olahan sepanjang tahun, tergantung beberapa hal, diantaranya adalah: (a) Potensi
sumberdaya perairan laut, termasuk tingkat teknologi penangkapan yang ada; (b)
Harga ikan dan potensi pasar yang ada.
Mutu hasil olahan kering sangat tergantung pada teknologi pemanasan.
Apabila cukup mendapatkan panas dari sinar matahari yang cukup, maka mutu ikan
kering tersebut akan bagus. Namun apabila musim hujan, seringkali pengolahan
ikan kering kurang sempurna, yang mengakibatkan mundurnya mutu ikan kering.
Hal ini merupakan salah satu kendala pengembangan usaha pengolahan ikan
kering.
Sementara itu, persaingan harga ikan olahan sangat ditentukan oleh biaya
transportasi. Akibatnya, nilai tambah pengolahan dan pengawetan banyak tercurah
untuk biaya transport. Di sisi lain, pemasaran ikan kering ini banyak didominasi oleh
pedagang ikan kering skala besar, serta memiliki jaringan pemasaran yang cukup
luas. Sedangkan pengolah skala kecil hanya sebatas pada pasar lokal. Dengan
demikian masalah pengembangan industri pengolahan ikan di desa pantai
Kecamatan Ngada Kabupaten Ngada, NTT, khususnya pengolahan tradisional,
sangat ditentukan oleh kemampuan para pengolah untuk mengintegrasikan potensi
sumberdaya alam yang ada, teknologi tepat, penguasaan jaringan distribusinya
(transportasi) dan respon konsumen (promosi) di pelosok desa dan kota. Oleh
karena itu guna meningkatkan bargaining position dari pengolah ikan serta guna
memperluas jaringan pemasaran dan menekan biaya pemasaran, ini maka perlu
dibentuk suatu kelompok industri kecil perikanan dipedesaan.
Di sisi lain, nelayan sebagai penyedia bahan baku ikan yang diolah juga
menghadapi beberapa permasalahan antara lain;
(a). Kemungkinan terjadinya benturan daerah penangkapan antar nelayan
lokal maupun dengan nelayan dari daerah lain. Benturan kepentingan
tersebut dapat menimbulkan konflik yang serius.
(b). Teknologi alat tangkap nelayan kecil hanya dilengkapi dengan kapal
penangkapan dengan skala dibawah 15 GT, hanya menjangkau perairan
di Pantai Ngada, NTT, dimana perairan ini sudah padat dan "over fishing".
Operari penangkapan dilakukan selama satu hari kerja.
(b). Ikatan "kemitraan" antara juragan dengan para nelayan Anak Buah Kapal
(ABK) dipandang tidak kondusif dan dapat menjadi penghambat
memperbaiki diri. Demikian juga ikatan antara nelayan terhadap pelepas
uang tersebut mengharuskan nelayan menjual hasil tangkapannya kepada
pemilik modal dengan harga yang ditentukan secara sepihak.
6.4. Pemberdayaan Kawasan Industri Pengolahan Ikan Milik Masyarakat
(KIPKANMAS)
20
Pembangunan seyogianya dilaksanakan oleh masyarakat sendiri dan
pemerintah sebagai pihak yang memperlancar pelaksanaan dengan memberikan
pelayanan sebaik-baiknya. Paradigma yang berorientasi pada rakyat menegaskan
pentingnya pemberdayaan ekonomi rakyat dalam menyelenggarakan pembangunan
guna mengembangkan kemampuan masyarakat sendiri. Dengan demikian
masyarakat setempat mempunyai hak, wewenang dan kewajiban untuk mengatur
dan mengurus sendiri atas inisiatif sendiri dalam urusan rumah tangga daerahnya.
Berdasarkan pada potensi dan kendala yang ada tersebut, maka model yang
dapat diterapkan dalam rangka pemberdayaan KIPKANMAS melalui pembentukan
Kelompok Industri Perikanan Terpadu (KIPT) milik masyarakat yang tumbuh dari
bawah, melibatkan nelayan dan pengolah ikan serta lembaga pemasarannya.
Kelompok Industri Perikanan Terpadu ini terdiri atas CLUSTER antara lain :
(a). Kelompok nelayan sebagai penyedia bahan baku,
(b). Kelompok pengolah ikan (ikan kering dan kerupuk ikan) yang melakukan usaha
pengolahan secara bersama guna memperkuat "bargaining position" sekaligus
memperluas jaringan pemasarannya melalui KIPT.
Bagan kelembagaan KIPKANMAS melalui pengelolaan (KIPT) disajikan
berikut.
Tokoh
masyarakat
Kelompok Industri
Perikanan Terpadu (KIPT)
sebagai penyelenggara
KIPKANMAS
Kelompok Nelayan
Instansi Terkait :
- Sektor Publik
- Swasta
Kelompok Pengolah Ikan
Masyarakat Sekitar
Berdasarkan pada fungsi dan tugas
pemberdayaan dapat dirinci sebagai berikut :
masing-masing
dari
unsur
1. Kelompok Industri Perikanan Terpadu (KIPT)
- Sebagai lembaga yang mewadahi kelompok nelayan dan Kelompok
pengolah ikan untuk mengefektifkan proses pembinaan
- Beranggotakan seluruh peserta dari kelompok nelayan maupun pengolah
ikan, serta pengurus yang dipilih oleh anggota dan terdiri dri unsur Ketua,
Sekretaris dan Bendahara yang berasal dari anggota kelompok.
21
-
Sebagai penghubung dengan instansi terkait dalam memberikan program
pemberdayaan
Memperluas jaringan pemasaran produk ikan
2. Tokoh masyarakat
- Berperan membantu dalam memberikan dorongan moral kepada kelompok
usaha produktif
- Menciptakan rasa aman dan damai dalam pelaksanaan usaha bersama
melalui KIPT
3. Instansi terkait
- Sektor pemerintah melalui lembaga terkait melakukan pembinaan dibidang
tehnologi, permodalan, pemasaran dan pemberdayaan, serta memberikan
bantuan dana kegiatan sosial-ekonomi produktif.
- Sektor swasta dapat melakukan kerjasama dalam usaha dan penanaman
modal.
4. Kelompok nelayan
- Masing masing kelompok terdiri dari 10 nelayan sesuai dengan jenis alat
tangkap yang dimiliki
- Pembentukan kelompok dimaksudkan guna memudahkan dalam
pembinaan dan pemberian bantuan dana bergulir
5. Kelompok pengolah ikan ( ikan kering / kerupuk ikan)
- Masing masing kelompok terdiri dari 10 pengolah ikan kering atau pengolah
kerupuk ikan.
- Pembentukan kelompok dimaksudkan guna memudahkan dalam pembinaan
dan pemberian bantuan dana bergulir
6. Masyarakat sekitar
Pembentukan Kelompok Industri Perikanan Terpadu (KIPT) diharapkan dapat
memberikan manfaat kepada masyarakat terutama sebagai salah satu penyedia
lapangan pekerjaan masyarakat di sekitar
Untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam pemberdayaan
masyarakat pantai, maka fungsi dan peran masing-masing komponen kelompok
tersebut sangat diharapkan. Penyiapan masyarakat dilakukan dalam wadah
kelompok tersebut diharapkan dapat tumbuh menjadi embrio lembaga pengelola
dana pembangunan yang mampu merencanakan, melaksanakan dan melestarikan
kegiatan yamg dilakukan sendiri oleh masyarakat.
6.5. Aktivitas pembinaan dan
Perikanan Terpadu (KIPT)
pendampingan
Kelompok
Industri
Langkah awal dalam melakukan pembinaan adalah membentuk KIPT melalui
identifikasi dan analisis stake holder dalam masyarakat yang mewakili masingmasing kelompok masyarakat secara representatif. Dari daftar stake holder dan
22
tokoh masyarakat setempat dapat ditentukan pengurus KIPT dan anggota
kelompok.
Berdasarkan pada analisis permasalahan pengelolaan sumberdaya
perikanan yang ada, maka dapat dalam pembinaan masing-masing kelompok
diarahkan sebagai berikut.
1. Pembinaan kelompok nelayan
Dalam rangka mengurangi konflik akibat penggunaan sumberdaya lautdan
pantai, serta peningkatan supply bahan baku ikan olahan maka dikembangkan
penangkapan ikan pada lepas pantai dengan menggunakan Kapal Perikanan
berskala 20 GT. Dalam rangka pengenalan dan sosialisai Kapal perikanan lepas
pantai tersebut, maka aktivitas pembinaan nelayan antara lain :
- Pengadaan kapal latih berskala 20 GT dengan dilengkapi multi alat tangkap
- Melakukan pelatihan penangkapan ikan di laut lepas, antara lain;
mengoperasikan alat tangkap, alat deteksi ikan seperti GPS, fish finder dan
sonar.
- Penanganan pasca tangkap diatas kapal guna mempertahankan mutu ikan
dengan cool chain system
Perawatan kapal dan alat tangkap
- Manajemen operasi penangkapan dengan melatih cara-cara perhitungan
pembiayaan dan keuntungan.
2. Pembinaan kelompok pengolah ikan kering:
-
-
Beberapa aktivitas pembinaan antara lain :
Pengenalan tehnologi tepat guna usaha pengeringan ikan melalui alat pengering
mekanik. Hal ini ditujukan untuk mengatasi pengeringan terutama pada saat
musim hujan.
Pengenalan sistim managemen pemasaran meliputi : grading kemas, cara
perluasan pasar, penentuan harga juas dan sistim berkelompok.
Pengenalan Inovasi Tehnologi Kemasan : Pengenalan contoh kemasan ikan
kering yang telah beredar di pasar bebas.
Demonstrasi dan pelatihan tehnologi tepat guna, sistim manajemen pemasaran
dan tehnologi sablon kemas.
3. Pembinaan kelompok pengolah kerupuk ikan
Beberapa aktivitas pembinaan antara lain :
- Pengenalan tehnologi tepat guna alat pemotong kerupuk dengan sistem
mekanik dengan kapasitas kerja 40 kg/jam serta pengenalan tehnologi tepat
guna alat pencetak adonan untuk meningkatkan produktivitas dan sekaligus
memperbaiki kualitas produktivitas dan sekaligus memperbaiki kualitas
morvologi kerupuk dalam bentuk dan irisan yang lebih baik.
- Pengenalan sistim managemen pemasaran meliputi : grading dan standarisasi
kemas, cara perluasan pasar, penentuan harga juas dan sistim berkelompok.
- Pengenalan Inovasi Tehnologi Kemasan : Pengenalan contoh kemasan
kerupuk ikan yang telah beredar di pasar bebas.
- Demonstrasi dan pelatihan tehnologi tepat guna, sistim manajemen
pemasaran dan tehnologi sablon kemas.
Download