Perlindungan HAM dalam Negara Hukum Indonesia: Studi Ratifikasi Konvensi Hak-hak Disabilitas (Convention on The Rights of Persons with Disabilities) Oleh: Udiyo Basuki Abstract The main characteristic of a State of Law (Rechtsstaat/ Rule of Law) is the rule of law that can protect human rights. As stated in Article 1 (3) UUD 1945 (Indonesian Constitution), Indonesia is a state of law which means that the state is run on the basis of rule of law. Law as the supreme commander should not overlook the basic value of law, i.e. justice and the protection of human rights, including justice, equality, and human rights protection for disable people. In Indonesia, the protection of the rights of disable people is state in Law No. 19 of 2011. This Act states that discrimination against any person of disability is a violation of human rights. People with disabilities have the rights and freedoms of the same protection, fairness, respect, and dignity as human beings in general. But in Indonesia, disable people are still treated in discrimination and injustice. Therefore, the Indonesian government is obliged to protect the rights of the disable people. Disability rights have become a global issue, which can no longer be neglected by a country to exist in international society. Key words: human rights, rule of law, ratification, disability, justice. Abstrak Ciri dari Negara Hukum (Rechtsstaat/Rule of Law) adalah adanya supremasi hukum yang melindungi Hak Asasi Manusia (HAM). Seperti tertuang dalam Pasal 1 (3) UUD 1945 Indonesia adalah negara hukum, yaitu negara yang penyelenggaraan kekuasaan pemerintahannya didasarkan atas hukum. Hukum sebagai panglima tertinggi (commander) tidak boleh mengabaikan nilai dasar hukum yaitu keadilan serta perlindungan terhadap HAM, termasuk keadilan, kesetaraan serta perlindungan HAM bagi penyandang disabilitas. Di Indonesia, perlindungan terhadap hak-hak penyandang disabilitas tertuang dalam UU Nomor 19 Tahun 2011. Dalam UU ini disebutkan bahwa diskriminasi atas setiap orang berdasarkan disabilitas merupakan pelanggaran HAM. Penyandang disabilitas memiliki hak-hak serta kebebasan yang sama yaitu diperlukan perlindungan, adil dan setara dengan hormat dan martabat yang sama sebagai manusia pada umumnya. Namun di Indonesia, penyandang disabilitas masih mendapatkan perlakuan diskriminatif dan ketidakadilan. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia berkewajiban untuk melindungi HAM kaum disabilitas. HAM disabilitas telah menjadi isu global, yang Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. E-mail: [email protected]. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012 18 Udiyo Basuki: Perlindungan HAM Dalam Negara Hukum... tidak lagi dapat dikesampingkan oleh suatu negara jika ingin tetap eksis dalam pergaulan Internasional. Kata kunci: hak asasi manusia, negara hukum, ratifikasi, disabilitas, keadilan. A. Pendahuluan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengeluarkan Resolusi Nomor A/61/106 tentang Convention on the Rights of Persons with Disabilities. Resolusi tersebut memuat hak-hak penyandang disabilitas dan mengatur langkah-langkah untuk menjamin pelaksanaan konvensi tersebut. Mengingat pentingnya menghormatan, perlindungan, pemenuhan, dan memajukan HAM penyandang disabilitas, pemerintah Indonesia pun menandatangani Resolusi pada tanggal 30 Maret 2007 di New York. Komitmen Indonesia selanjutnya dibuktikan dengan meratifikasi Konvensi tersebut yang kemudian dituangkan dalam UU Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on The Rights of Persons with Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas) dan telah disahkan pada hari Selasa 18 Oktober 2011.1 The Convention on The Rights of Persons with Disabilities (CRPD) 2 ini merupakan instrumen Hak Asasi Manusia (HAM) pertama yang secara komprehensif membicarakan dan memberikan perhatian pada kebutuhan orang-orang dengan segala jenis kecacatan (disabilitas). Konvensi ini 1 Indonesia secara resmi telah menyampaikan instrumen ratifikasi Konvensi Hakhak Penyandang Disabilitas kepada PBB pada 30 November 2011. Penyampaian itu dilakukan setelah DPR RI dalam Rapat Paripurna pada 18 Oktober 2011 yang menyetujui secara aklamasi RUU tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas menjadi Undang-Undang. Dengan disahkannya Undang-Undang tersebut, maka Indonesia menjadi negara ke-107 yang meratifikasi Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas. Indonesia sebagai Negara Pihak dari Konvensi akan memiliki kewajiban untuk memenuhi ketentuan-ketentuan yang ada di dalam Konvensi, yaitu melakukan berbagai penyesuaian dalam penanganan kelompok masyarakat disabilitas di berbagai bidang kehidupan. Hal ini mencakup antara lain penyediaan aksesibilitas dan perubahan pola pikir pada tingkat pembuat kebijakan serta masyarakat umum guna mewujudkan lingkungan yang inklusif bagi penyandang disabilitas. Lihat: http://www.kemlu (kementerian luar negeri).go.id/Pages/News. 06/06/12 2 Terbentuknya CRPD oleh PBB banyak dipengaruhi oleh beberapa instrumen internasional yang telah berlaku sebelumnya, antara lain: Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Tahun 1948, Peraturan Standar PBB tentang Persamaan Kesempatan bagi Para Penyandang Cacat Tahun 1993, UNESCO Tahun 1960-Konvensi Menentang Diskriminasi dalam Dunia Pendidikan, Konvensi Hak Anak Tahun 1989, Deklarasi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua Tahun 1990 serta Stavanger Tahun 2004. Lihat www.kumham.jogja.info. Dipublikasikan oleh: Serafina Shinta Dewi (Perancang Peraturan Perundang-undangan Kanwil Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia DIY. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012 Udiyo Basuki: Perlindungan HAM Dalam Negara Hukum... 19 terbentuk berdasarkan pada pertimbangan prinsip-prinsip Piagam PBB yang mengakui, memajukan, serta melindungi harkat-martabat yang melekat dan hak-hak yang setara yang tidak dapat dicabut dari semua anggota umat manusia sebagai dasar dari kebebasan, keadilan dan perdamaian di dunia. Indonesia meratifikasi CRPD berdasar pada kewajiban negara pihak dalam menjamin perlindungan Hak Asasi Manusia dan kebebasan mendasar semua orang cacat tanpa diskriminasi. Seperti diketahui, salah satu unsur negara hukum adalah adanya jaminan terhadap HAM, khususnya jaminan terhadap hak-hak kaum disabilitas.3 Yang dimaksudkan dengan negara hukum adalah negara yang penyelenggaraan kekuasaan pemerintahannya didasarkan pada hukum. Sifat negara hukum yang khas adalah adanya jaminan perlindungan HAM, yang menjadi dasar kekuasaan kenegaraan dan diletakkan kepada hukum sehingga pelaksanaan kekuasaan ini ditempatkan di bawah kekuasaan hukum.4 Tindakan pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi ini merupakan cerminan tanggung jawab Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia dalam memajukan dan melindungi hak asasi manusia untuk semua, termasuk para penyandang disabilitas. Sebagian ketentuan Konvensi yang terkait dengan hak-hak sipil penyandang disabilitas harus segera direalisasikan. Namun demikian, hak-hak ekonomi, sosial dan budaya penyandang disabilitas, termasuk penyediaan akses di berbagai bidang, dapat direalisasikan secara bertahap sesuai dengan ketersediaan sumber daya nasional.5 Komitmen pemerintah Indonesia terhadap perlindungan HAM khususnya penyandang disabilitas yang tertuang dalam regulasi hukum UU No. 19 Tahun 2011 tersebut, tentu menjadi harapan besar bagi penyandang disabilitas untuk mendapatkan pengakuan hukum, pelayanan publik, keadilan, kesetaraan serta terbebas dari perlakuan diskriminasi. Dalam Konvensi dikatakan bahwa penyandang disabilitas adalah orangorang yang memiliki disabillitas fisik, disabilitas intelektual, mengalami kesalahan kejiwaan, disabilitas sensorik, seperti tuna rungu wicara, dan tuna netra.6 3 Donal A. Rumokoy, dkk, Dimensi-dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta: UII Press, 2001), p. 7. 4 Abdul Latief, “Perlindungan HAM dalam Negara Hukum” dalam Mengurai Kompleksitas Hak Asasi Manusia: Kajian Multi Perspektif, Eko Riyadi dan Supriyanto (ed.), (Yogyakarta: PUSHAM UII), p. 132. 5Konvensi PBB tentang Hak-hak Penyandang Disabilitas ini merupakan perjanjian HAM pertama yang paling lengkap dan progresif di abad ke-21 dan konvensi HAM pertama yang terbuka untuk organisasi regional. Konvensi ini diadopsi pada tanggal 13 Desember 2006 di Markas Besar PBB di New York. 6 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan Convention on The Rights of Persons with Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas) SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012 20 Udiyo Basuki: Perlindungan HAM Dalam Negara Hukum... Tujuan dari Konvensi ini adalah untuk memajukan, melindungi, dan menjamin penikmatan semua hak asasi manusia dan kebebasan mendasar secara penuh dan setara oleh semua orang penyandang cacat, dan untuk memajukan penghormatan atas martabat yang melekat pada diri mereka. Orang-orang penyandang cacat termasuk mereka yang memiliki kerusakan fisik, mental, intelektual, atau sensorik jangka panjang yang dalam interaksinya dengan berbagai hambatan dapat merintangi partisipasi mereka dalam masyarakat secara penuh dan efektif berdasarkan pada asas kesetaraan.7 Ada beberapa hal penting terkait ratifikasi Konvensi tersebut. Pertama, pengakuan bahwa diskriminasi atas setiap orang berdasarkan disabilitas merupakan pelanggaran terhadap martabat dan nilai yang melekat pada setiap orang. Kedua, penyandang disabilitas harus memiliki kesempatan untuk secara aktif terlibat dalam proses pengambilan keputusan mengenai kebijakan dan program, termasuk yang terkait langsung dengan mereka. Ketiga, pentingnya aksesibilitas kepada lingkungan fisik, sosial, ekonomi dan kebudayaan, kesehatan dan pendidikan, serta informasi dan komunikasi, yang memungkinkan penyandang disabilitas menikmati sepenuhnya semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental. Meskipun pemerintah Indonesia telah meratifikasi, yang kemudian terwujud dalam UU No 19 Tahun 2011, serta diperkuat dengan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, penyandang disabilitas di Indonesia masih mengalami perlakuan diskriminatif, ketidaksetaraan dan ketidakadilan. Bentuk ketidakadilan bagi kaum disabilitas tercermin pada tidak diberikannya kesempatan yang sama bagi mereka untuk beraktivitas secara bebas. Para penyandang disabilitas sangat sulit untuk mendapatkan akses fasilitas publik, peran politik, akses ketenagakerjaan, perlindungan hukum, akses pendidikan, akses informasi dan komunikasi serta pelayanan kesehatan. Selain itu, fasilitas jalan dan alat transportasi umum di Indonesia tidak mudah diakses oleh penyandang disabilitas. Diskriminasi juga terjadi pada pelayanan perbankan. Tunanetra tidak dapat secara mandiri melakukan transaksi, misalnya dalam transaksi perbankan, karena dianggap tidak cakap hukum. Sehingga harus menguasakannya kepada orang lain (yang bukan tunanetra) dan memberikan kuasa tersebut harus disahkan oleh notaris.8 Ketidakadilan serta perlakuan diskriminatif yang disandang oleh kaum disabilitas menjadi keprihatinan yang cukup mendalam. Dengan masih adanya diskriminasi terhadap penyandang cacat, masyarakat atau Ibid., Pasal 1 Muladi (ed.), Hak Asasi Manusia: Hakikat, Konsep dan Implikasinya dalam Persepektif Hukum dan Masyarakat, (Bandung: PT Rafika Aditama, 2009), p. 260-261. 7 8 SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012 Udiyo Basuki: Perlindungan HAM Dalam Negara Hukum... 21 negara Indonesia dianggap telah merampas hak-hak hidup mereka. Apalagi melihat jumlah penyandang disabilitas di Indonesia semakin meningkat secara signifikan. Jumlah penyandang disabilitas menurut Organisasi Kesehatan Dunia dalam Laporan Dunia tentang kecacatan adalah sekitar 15 % dari total penduduk di negara-negara dunia. Sehingga jumlah penyandang disabilitas di Indonesia diperkirakan sejumlah 36.150.000 orang atau 15% dari jumlah penduduk Indonesia tahun 2011 yang mencapai 241 juta jiwa.9 Dari latar belakang di atas, maka upaya perlindungan terhadap hakhak disabilitas merupakan sebuah keniscayaan. Untuk itu, segala bentuk diskriminasi, harus dihapuskan. Asumsi, persepsi, dan cara pandang terhadap penyandang cacat harus diubah.10 Hal ini tentu menjadi kewajiban pemerintah Indonesia untuk secara penuh menghormati, melindungi serta memenuhi hak-hak kaum disabilitas di Indonesia. Berangkat dari konsep negara hukum, tulisan ini hendak mengurai bagaimana bentuk konsep Hak Asasi Manusia dalam negara hukum Indonesia, khususnya terkait perlindungan terhadap penyandang disabilitas. B. Konsep Hak Asasi Manusia dan Negara Hukum di Indonesia Secara etimologis, Hak Asasi Manusia (HAM)11 merupakan terjemahan langsung dari human rights dalam bahasa Inggris, “droits de l’home” dalam bahasa Perancis, dan menselijke rechten dalam bahasa Belanda. Namun ada juga yang menggunakan istilah HAM sebaga terjemahan dari basic raights dan fundamental rights dalam bahasa Inggris, serta grondrechten dan fundamental rechten dalam bahasa Belanda.12 Kemudian secara terminologis, HAM lazimnya diartikan sebagai hak-hak dasar atau hak-hak pokok yang dibawa manusia sejak lahir, sebagai anugerah atau karunia dari Allah Yang Maha Kuasa.13 Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena Tim Roda Untuk Kemanusiaan Indonesia Yogyakarta, “Konvensi PBB tentang Hak-hak Penyandang Disabilitas” makalah disampaikan dalam Seminar Nasional di UCP Roda Untuk Kemanusiaan Indonesia, Yogyakarta. 10 Kompas: http://www.kaskus.co.id/showthread.php. 07/06/12. 11Asal-usul gagasan mengenai hak asasi manusia bersumber dari teori hak kodrati (natural rights theory). Dalam bukunya, Locke menjelaskan bahwa semua individu dikaruniai oleh alam berupa hak yang melekat atas hidup, kebebasan dan kepemilikan, yang merupakan milik mereka sendiri dan tidak dapat dicabut oleh negara. Lihat: John Locke, Two Treatises of Civil Government, (ed. J.W. Gough, Blackwell), (New York: Oxford, 1964), P 28. 12 Marbangun Hardjowirogo, HAM dalam Mekanisme-mekanisme Perintis Nasional, Regional dan Internasional, (Bandung: Patma, 1977), p. 10. 13 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Masyarakat Indonesia, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1987), p. 39. 9 SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012 22 Udiyo Basuki: Perlindungan HAM Dalam Negara Hukum... diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia.14 Dalam arti ini, maka meskipun setiap orang terlahir dengan warna kulit, jenis kelamin, bahasa, budaya dan kewarganegaraan yang berbedabeda, ia tetap mempunyai hak-hak tersebut. Inilah sifat universal dari hakhak tersebut. Selain bersifat universal, hak-hak itu juga tidak dapat dicabut (inalienable). Artinya seburuk apapun perlakuan yang telah dialami oleh seseorang atau betapapun bengisnya perlakuan seseorang, ia tidak akan berhenti menjadi manusia dan karena itu tetap memiliki hak-hak tersebut. Dengan kata lain, hak-hak itu melekat pada dirinya sebagai makhluk insani.15 Dari pengertian di atas kemudan lahirlah paham persamaan kedudukan dan hak antara umat manusia berdasarkan prinsip keadilan, persamaan, yang memberikan pengakuan bahwa manusia mempunyai hak dan kewajiban yang sama tanpa membedakan jenis kelamin, ketidaksempurnaan fisik, ras suku, agama dan status sosial.16 Sejarah pemikiran HAM di Indonesia berawal di titik awal kemerdekaan yang sebelumnya terjadi perdebatan dalam sidang BPUPKI antara Soekarno dan Soepomo di satu pihak dengan Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin pada pihak lain. Perdebatan pemikiran HAM yang terjadi dalam sidang BPUPKI berkaitan dengan masalah hak persamaan kedudukan di muka hukum, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, hak untuk memeluk agama dan kepercayaan, hak berserikat, hak untuk berkumpul, hak untuk mengeluarkan pikiran dengan tulisan dan lisan. 17 Sesungguhnya pendapat yang menyatakan bahwa HAM lahir dari paham individualisme dan iberalisme, jika ditelusuri sejarah HAM itu sendiri, tidak sepenuhnya benar.18 Sebelum manusia memasuki dunia modern, jika dilihat dari sejarah agama-agama, usaha penegakan dan 14 Jack Donnely, Universal Human Rights in Theory and Practice, Cornell University Press, Ithaca and London, 2003, p. 7-21. Juga Maurice Cranston, What are Human Rights? (New York: Taplinger, 1973), p. 70. 15 Knut D. Asplund dan Rhona K. M. Smith, Hukum dan Hak Asasi Manusia, dalam Suparman Marzuki, Eko Riyadi (ed.), (Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008), p. 8. 16 Udiyo Basuki, “Perlindungan Hak Asasi Manusia di Indonesia (Ulasan terhadap Beberapa Ketentuan UUD 1945)” dalam Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 8 Tahun 2001, p. 96. 17 Pada saat sidang BPUPKI telah terjadi polemik antara pendukung HAM komunal dengan HAM individual. Soekarno dan Soepomo menolak dimasukkannya paham HAM individual di dalam UUD karena negara Indonesia akan didirikan di atas paham kekeluargaan. Paham HAM individual dianggap sebagai paham yang berasal dari barat dan tidak sesuai dengan falsafah hidup bangsa Indonesia. Namun pada pihak lain, Hatta dan Yamin mengusulkan dimasukkannya HAM dalam UUD sebagai jaminan untuk menjaga eksistensi negara agar tidak menjadi negara kekuasaan (machtsstaat). Moh. Mahfud MD, dkk, Pendidikan Kewarganegaraan dan HAM, (Yogyakarta: UII Press, 2003), p. 60. 18 Udiyo Basuki, Perlindungan Hak Asasi Manusia…, p. 102. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012 Udiyo Basuki: Perlindungan HAM Dalam Negara Hukum... 23 perlindungan HAM telah dimulai dari para Nabi dan Rasul yang diutus oleh Tuhan ke dunia. Kitab Taurat, Injil dan al-Qur’an misalnya telah memuat materi HAM. Jika dicermati materi HAM terdapat dalam Piagam Madinah dan pidato Rasulullah saw saat melaksanakan haji wada’, maka jelas sekali ia memuat rumusan HAM yang universal.19 Hal ini jelas bahwa muatan HAM tentu bukan lahir dari paham liberalisme dan individualisme. Doktrin dan kesatuan universal umat manusia di dalam Islam misalnya, adalah sumber ajaran agama ini mengenai HAM.20 Lepas dari kontroversi sejarah peradaban dalam BPUPKI, yang dapat direkam adalah bahwa proses legalisasi HAM dalam konstitusi Indonesia memang terdapat tarik-menarik pandangan dan mengalami pasang surut yang tidak bisa dibantah. Dalam konteks UUD yang pernah berlaku di Indonesia, pencantuman secara eksplisit seputar HAM muncul atas kesadaran dan keragaman konsensus. Dalam kurun berlakunya UUD di Indonesia, yakni UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, UUDS 1950, UUD 1945, dan Amandemen Keempat UUD 1945 tahun 2002 pencantuman HAM mengalami pasang surut. Dalam Amandemen Keempat UUD 1945 penuangan pasal-pasal HAM sebagai wujud jaminan atas perlindungannya dituangkan dalan bab tersendiri, yaitu pada Bab XA dengan judul “Hak Asasi Manusia”, yang di dalamnya terdapat 10 (sepuluh) pasal tentang HAM ditambah 1 pasal (Pasal 28) dari bab sebelumnya (Bab X) tentang “Warga Negara dan Penduduk”, sehingga ada 11(sebelas ) pasal tentang HAM, mulai dari Pasal 28, 28A sampai dengan Pasal 28J. Namun dari penjelasan ini dapat dikatakan bahwa seluruh konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia mengakui kedudukan HAM itu sangat penting. 21 Perlindungan HAM dalam UUD yang pernah berlaku di Indonesia membuktikan bahwa salah satu syarat bagi suatu negara hukum adalah adanya jaminan atas hak-hak asasi manusia. Penegasan Indonesia adalah negara hukum yang selama ini diatur dalam Penjelasan UUD 1945, dalam Amandemen UUD 1945 telah diangkat ke dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (3), “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Kalimat tersebut menunjukan Faisal Saleh (Penyunting), HAM Ala Rasulullah, (Jakarta: PT Arista Brahmatyasa, 1994), p. 26. Piagam Madinah sebagai konstitusi negara Islam yang disusun dan dipraktikkan oleh Nabi untuk mewujudkan kehidupan bermasyarakat dan bernegara di tengah masyarakat plural dengan aliran politik dan ideologi yang heterogen tercapai secara harmonis. Baca Mohammad Shoelhi (ed.), Demokrasi Madinah: Model Demokrasi Cara Rasulullah, (Jakarta: Republika, 2003), p.108. Tentang demokrasi dan HAM yang terkandung dalam Piagam Madinah dapat dibaca dalam Muhammad Alim, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Madinah dan UUD 1945, (Yogyakarta: UII Press, 2001), p. 52-67. 20 Yusril Ihza Mahendra. Dinamika Tata Negara Indonesia: Kompilasi Aktual Masalah Konstitusi, Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), p. 95. 21 Majda El-Muhtaj, “HAM, DUHAM, RANHAM, Indonesia” dalam Eko Riyadi dan Supriyanto (ed.), Mengurai Kompleksitas Hak Asasi Manusia: Kajian Multi Perspektif, (Yogyakarta: PUSHAM UII, 2007), p. 281. 19 SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012 24 Udiyo Basuki: Perlindungan HAM Dalam Negara Hukum... bahwa negara Indonesia merdeka akan dijalankan berdasarkan hukum, dalam hal ini adalah UUD sebagai aturan hukum tertinggi. Konsep negara hukum tersebut untuk membentuk pemerintahan negara yang bertujuan, baik untuk melindungi HAM secara undividual dan kolektif yang tercermin dalam kalimat: “…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejateraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan social…”.22 Konsekuensi dari ketentuan ini adalah bahwa setiap sikap, kebijakan dan perilaku alat negara dan penduduk harus berdasar dan sesuai dengan hukum. Lebih jauh, ketentuan ini untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan dan arogansi kekuasaan baik yang dilakukan oleh alat negara maupun penduduk. Negara hukum ialah negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Pengertian negara hukum merupakan terjemahan dari rechsstaat dan the rule of law.23 Pada paham rechsstaat dan the rule of law, terdapat sedikit perbedaan, meskipun dalam perkembangannya dewasa ini tidak dipermasalahkan lagi perbedaan antara keduanya, karena pada dasarnya kedua konsep itu mengarahkan dirinya pada suatu sasaran yang utama, yaitu pengakuan terhadap hak asasi manusia (HAM).24 Konsep rechsstaat lahir dari suatu perjuangan menentang absolutisme sehingga sifatnya revolusioner, sebaliknya the rule of law berkembang secara evolusioner. Konsep rechsstaat bertumpu atas sistem hukum kontinental yang disebut civil law, sedang konsep the rule of law bertumpu pada sistem hukum anglo saxon yang disebut common law. Ciriciri negara hukum menurut konsep rechsstaat adalah:25 1. adanya Undang-Undang Dasar atau konstitusi yang memuat ketentuan tertulis tentang hubungan antara penguasa dan rakyat 2. adanya pembagian kekuasaan negara 3. diakui dan dilindunginya hak-hak kebebasan rakyat. Ciri-ciri di atas menunjukkan bahwa ide sentral rechsstaat adalah pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM) yang bertumpu atas prinsip kebebasan, keadilan dan non diskriminasi. Adanya Undang-undang akan memberikan jaminan perlindungan terhadap asas kebebasan dan keadilan serta persamaan. Adanya pembagian kekuasaan untuk menghindari penumpukan kekuasaan dalam satu tangan yang sangat Mahfud MD, Negara Hukum Indonesia: Gagasan dan Realita di Era Reformasi, makalah disampaikan dalam Seminar Nasional “Dinamika Implementasi Negara Hukum Indonesia dan Tantangannya di Era Reformasi”, yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Sabtu 8 September 2012 di Yogyakarta, p. 5. 23 Padmo Wahjono, Ilmu Negara Suatu Sistematika dan Penjelasan 14 Teori Ilmu Negara, (Jakarta: Melati Studi Grup, 1977), p. 30. 24 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum…, p. 72. 25 Ibid., p. 72. 22 SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012 Udiyo Basuki: Perlindungan HAM Dalam Negara Hukum... 25 cenderung pada penyalahgunaan kekuasaan yang berarti pemerkosaan terhadap kebebasan, keadilan dan persamaan. Adapun ciri-ciri konsep the rule of law adalah: 26 1. supremasi absolut atau predominasi dari regular law untuk menentang pengaruh dari arbitrary power dan meniadakan kesewenang-wenangan, prerogratif atau discretionary yang luas dari pemerintah. 2. persamaan di depan hukum atau penundukan yang sama dari semua golongan kepada ordinary law of the land yang dilaksanakan oleh ordinary court, ini berarti bahwa tidak ada orang yang berada di atas hukum 3. konstitusi adalah hasil dari the ordinary law of the land, bahwa hukum administrasi bukanlah sumber, tetapi merupakan konsekuensi dari hakhak individu yang dirumuskan dan ditegaskan oleh peradilan. Jika dilihat dari segi politik, ciri negara hukum adalah: a). kekuasaan dijalankan sesuai dengan hukum positif yang berlaku, b). kegiatan negara berada di bawah kontrol kekuasaan kehakiman yang efektif, c). berdasarkan sebuah Undang-Undang Dasar yang menjamin hak-asasi manusia, dan d). menurut pembagian kekuasaan.27 Secara lengkap, Kusnardi dan Harmaily Ibrahim menambahkan unsur-unsur yang harus ada dalam suatu negara hukum, adalah: a). perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM), b). pemisahan kekuasaan, c). setiap tindakan pemerintah harus didasarkan oleh peraturan perundang-undangan dan d). adanya peradilan administrasi yang berdiri sendiri.28 Paham negara hukum tidak dapat dipisahkan dari paham kerakyatan sebab pada akhirnya, hukum yang mengatur dan yang membatasi kekuasaan negara atau pemerintah diartikan sebagai hukum yang dibuat atas dasar kekuasaan atau kedaulatan rakyat. Begitu eratnya hubungan antara paham atau konsep negara hukum yang demokratis atau democratisce rechtsstaat. 29 Scheltema memandang kedaulatan rakyat (democratie beginsel) sebagai salah satu dari empat asas negara hukum, selain rechtszekerheid beginsel, gelijkheid beginsel dan het beginsel van de dienendeoverhied. Dalam kaitannya dengan negara hukum, kedaulatan rakyat merupakan unsur material negara hukum, selain masalah kesejahteraan rakyat. Selain itu, 26 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2006), p. 73-75. Frans Magnis Suseno, Etika Politik Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999), p. 295-298. 28 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi HTN UI Jakarta, 1981), p. 19. 29 D.J Elzinga, “De Democratische Rechtsstaat Als Ontwikkeling Perspektif”, dalam Scheltema (ed.) De Rechtsstaat Herdacht, W.E.J. Tjeenk Willink, Zwole, 1989, p. 43. Dikutip kembali dalam Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, (Jakarta: Sinar Harapan, 1994), p. 167. 27 SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012 26 Udiyo Basuki: Perlindungan HAM Dalam Negara Hukum... tujuan dari negara hukum adalah untuk memelihara ketertiban hukum dan sebaliknya pula hukum dijalankan dan ditegakkan melalui otoritas negara.30 C. Upaya Memerangi Diskriminasi HAM di Indonesia Tujuan nasional yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian, abadi dan keadilan sosial. Dalam tujuan tersebut terkandung visi bangsa Indonesia di bidang HAM yang hendak mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan sejahtera dengan menegakkan hak asasinya. Untuk mewujudkan visi tersebut, dilaksanakan misi pembangunan di segala bidang, termasuk pembangunan manusia Indonesia yang mengarah kepada perlindungan HAM. Dalam memerangi diskriminasi HAM, pemerintah Indonesia telah mewujudkan komitmennya dengan pembentukan berbagai lembaga dan pembuatan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan HAM. Dalam hal kelembagaan, telah dibentuk Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) dengan Keputusan Presiden No. 50 Tahun 1993 yang kemudian dikukuhkan dengan UU. No. 39 Tahun 1999. Pembentukan legislasi Anti Kekerasan terhadap Perempuan dengan Keputusan Presiden No. 181 Tahun 1998, Pembentukan Kantor Menteri Negara HAM pada tahun 1999 yang kemudian digabungkan dengan Departemen Hukum dan Perundang-undangan (Depkumdang), yang berubah menjadi Departemen Kehakiman dan HAM (Depkumham), dan terakhir berubah lagi menjadi Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Selain pembentukan kelembagaan, pemerintah Indonesia juga telah banyak merumuskan kebijakan perundangundangan yang berkaitan dengan HAM. Meskipun banyak ketentuan hukum Internasional maupun nasional yang menentang secara tegas adanya diskriminasi di bidang HAM, namun dalam kenyataannya pelaksanaannya tidaklah semudah yang diharapkan. Indonesia sebagai salah satu anggota PBB yang mempunyai kewajiban melaksanakan ketentuanketentuan hukum internasional di bidang HAM ternyata belum semuanya bisa diimplementasikan dalam peraturan hukum nasionalnya. Negara Indonesia sudah berusaha sedemikian rupa ingin melindungi HAM para warga negaranya. Bahkan pada Sowandi, Hak-hak Dasar dalam Konstitusi Demokrasi Modern, (Jakarta: PT Pembangunan, 1957), p 12. 30 SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012 Udiyo Basuki: Perlindungan HAM Dalam Negara Hukum... 27 tingkatan konstitusi sebagai sumber hukum tertinggi, amandemen kedua UUD 1945 telah mewujudkannya.31 Dengan diaturnya HAM di dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J UUD 1945, hal itu telah menjadi landasan konstitusional bagi perlindungan HAM di Indonesia. Demikian juga dengan keberadaan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan kemudian disusul dengan diundangkannya UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM serta diperkuat dengan meratifikasi Konvensi tentang Hak-hak Penyandang Disabilitas semakin menegaskan dan membuktikan komitmen pemerintah Indonesia terhadap arti penting perlindungan HAM, khususnya perlindungan terhadap hak-hak kaum disabilitas.32 Hal ini juga semakin menegaskan eksistensi Indonesia sebagai sebuah negara yang berkomitmen terhadap perlindungan Hak Asasi Manusia. Namun upaya memerangi diskriminasi HAM tidak selesai atau cukup hanya dengan mengaturnya dalam berbagai instrumen hukum internasional maupun instrumen hukum nasional. Disadari bahwa instrumen hukum menjadi tidak berarti jika tidak dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. D. Perlindungan Hak-hak Penyandang Disabilitas dalam Konsep Negara Hukum di Indonesia Perlindungan HAM erat kaitannya dengan perlindungan hukum bagi rakyat, karena pada dasarnya perlindungan hukum merupakan suatu langkah konkret untuk menguatkan HAM dalam hukum positif. Dengan demikian, perlindungan HAM tidak cukup dengan instrumen normatif namun juga harus dilengkapi dengan mekanisme kelembagaan. Maka dari itu, selain dari hukum positif, HAM juga harus dilindungi melalui lembaga hukum. Dalam konteks memberikan perlindungan hukum untuk kedudukan dan hak, kewajiban dan peran para penyandang disabilitas, Pemerintah diantaranya berkewajiban untuk melindungi dan memberikan hak-hak aksesibilitas. Aksesibilitas bagi penyandang cacat (disabilitas) merupakan hal yang sangat penting untuk diwujudkan, ia merupakan bentuk kemudahan yang disediakan bagi penyandang cacat guna 31 Gregorius Sri Nurhartanto, “Membasmi Diskriminasi Hak Asasi Manusia” dalam Eko Riyadi dan Purwanto (ed.), Mengurai Kompleksitas HAM: Kajian Multi Perspektif, (Yogyakarta: PUSHAM UII, 2007), p. 309. 32 Selain itu, Indonesia sebagai anggota PBB juga telah meratifikasi ketentuan internasional di bidang HAM dengan UU maupun Peraturan Pemerintah. Instrumeninstrumen yang telah diratifikasi antara lain: Konvensi Hak Politik Wanita, Konvensi Hak Anak, Konvensi Anti Penyiksaan, Konvensi Diskriminasi Rasial, Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik, Kovenan Hak-hak Ekonomi Sosial dan Budaya. Lihat Rudi M. Rizki, “Hak Asasi Manusia” Makalah Training Hukum HAM pada Fakultas Hukum PT Negeri dan Swasta di Indonesia, PUSHAM UII-NCHR Univ. Oslo Noray, 3-7 April 2006., p. 5. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012 28 Udiyo Basuki: Perlindungan HAM Dalam Negara Hukum... mewujudkan kesamaan kesempatan dalam aspek kehidupan dan penghidupan.33 Jaminan aksesibilitas bagi disabilitas selain secara lengkap, rinci dan khusus tercantum dalam UU No. 19 Tahun 2011, secara umum juga diatur dalam Pasal 41, 42 dan 54 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menegaskan: a. Pasal 41: “Setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup layak serta untuk perkembangan pribadinya secara utuh. Setiap penyandang cacat (disabilitas), orang berusia lanjut, wanita hamil dan anakanak, berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus” b.Pasal 42 “Setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik atau caat mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan dan pelatihan, dan bantuan khusus atau biaya negara, untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat kemanusiaan”. c. Pasal 54 “Setiap anak yang cacat fisik atau cacat mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan dan pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat kemanusiaan, meningkat percaya diri dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara”. Selain bentuk perlindungan sebagaimana di atas, Pasal 28 H UUD 1945 menyebutkan bahwa: “setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. Selanjutnya, kemudahan bagi disabilitas juga dapat ditemukan dalam peraturan yang mengatur masalah ketenagakerjaan, pendidikan nasional, kesehatan, kesejahteraan sosial, lalu-lintas, pelayaran dan penerbangan. Peraturan tersebut memberikan jaminan kesamaan kesempatan terhadap penyandang disabilitas pada bidang-bidang yang menjadi cakupannya, dan dalam rangka memberikan kemudahan-kemudahan (aksesibilitas) di bidang apapun tanpa diskriminasi.34 Meskipun berbagai perlindungan hukum mengenai jaminan terhadap hak-hak kesetaraan kaum disabilitas sudah cukup memadai, namun pemberian akses bagi kaum disabilitas di Indonesia belum sepenuhnya dapat terwujud. Perlakuan diskriminatif masih kerap dirasakan penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas tidak bisa memperoleh akses yang sama dengan masyarakat lain baik di bidang sosial, pendidikan, politik, perlindungan hukum, akses komunikasi informasi dan transportasi, Muladi (ed.), Hak Asasi Manusia:…, p. 254. Uning Pratimarati, “Jaminan Aksesibilitas Bagi Penyandang Cacat”, dalam Muladi (ed.), (Bandung: PT Rafika Aditama, 2009), p. 255. 33 34 SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012 Udiyo Basuki: Perlindungan HAM Dalam Negara Hukum... 29 karena para penyandang disabilitas masih dipandang sebelah mata oleh pemerintah. Mungkin dalam hal kebijakan sudah cukup bagus, namun pada tingkat implementasi masih kurang dan banyak dari oknum pemerintah yang masih terkesan diskriminatif terhadap penyandang disabilitas; persepsi dan paradigma mereka masih jauh dari harapan, bahwa harus ada persamaan pemberlakuan penyandang disabilitas dengan masyarakat pada umumnya.35 Menurut data 1,48 juta atau 6,7% jumlah penduduk Indonesia lebih banyak di pedesaan. Untuk menjangkau permasalahan disabilitas di pedesaan, program yang strategis adalah melalui Rehabilitasi Berbasis Masyarakat (RBM). Jumlah penyandang disabilitas tidak seimbang dengan fasilitas dan sarana penunjang untuk mendukung kreativitas. Data WHO, 10% dari jumlah penduduk dunia merupakan penyandang cacat. Dengan jumlah penduduk sebesar ini, keberadaan institusi formal yang mampu memberikan sistem pelayanan terhadap penyandang disabilitas masih sedikit dan sulit dijangkau. Karena itu, keberadaan institusi non-formal yang memberikan rehabilitasi sangatlah membantu para penyandang cacat dalam mencapai kemandirian sesusai kemampuan yang masih dimilikinya. Saat ini jumlah Penyandang Cacat di Indonesia sudah mencapai 1.544.184 jiwa, dan yang diberdayakan sudah sekitar 7000 jiwa, untuk itu dengan adanya RBM ini bisa mengoptimalkan dan memberdayakan tenaga kerja untuk para penyandang disabilitas secara optimal dan manusiawi tanpa diskriminasi.36 Program Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat bagi penyandang disabilitas adalah Program Pembinaan Wilayah dalam hal pencegahan kecacatan, deteksi dan rehabilitasi penyandang disabilitas, yang meliputi rehabilitasi pendidikan, kesehatan, sosial dan keterampilan. Pembinaan berarti pemindahan pengetahuan untuk memberdayakan penyandang disabilitas, keluarga penyandang cacat dan masyarakat di wilayah binaan RBM. Pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas di Indonesia masih memerlukan dukungan agar bisa terwujud dalam kehidupan sehari-hari, tidak sedikit hambatan dan tentangan untuk mencapai kondisi ideal yang diharapkan dimana kesetaraan hidup dapat terwujud dengan baik. Semua program-program di atas merupakan tanggung jawab dan kewajiban pemerintah untuk menghormati, melindungi dan memenuhi HAM dalam hal ini adalah hak-hak para penyandang disabilitas. Kewajiban pemerintah tidak hanya berhenti kepada kebijakan formulatif (peraturan perundang-undangan) saja, namun kebijakan aplikatif serta 35Rahmadhani: http://www.rrimakassar.com/penyandang-disabilitas-rasakandiskriminasi-pemerintah.html: 08/06/12 36 Kementerian Sosial Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial 2011: “Aliansi Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat Bagi Disabilitas Indonesia” dipublikasikan oleh Tira pada 23 Maret 2011: http://rehsos.depsos.go.id/modules. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012 30 Udiyo Basuki: Perlindungan HAM Dalam Negara Hukum... kebijakan eksekutif. Aspek hukum yang menjamin perlindungan hak-hak disabilitas dari segi jumlah perundang-undangan di Indonesia sudah cukup memadai. Namun perumusannya lebih banyak yang bersifat negatif. Perumusan negatif bagi disabilitas adalah misalnya jaminan hak di bidang kesejahteraan sosial, perkeretaapian, lalu-lintas jalan, penerbangan, pelayaran, kesehatan dan pendidikan. Sedangkan perumusan positif, yaitu kewajiban untuk memberikan aksesibilitas bagi penyandang cacat antara lain ada pada ketentuan tetang perlindungan anak, bangunan gedung, dan ketenagakerjaan; padahal pelanggaran atas kewajiban tersebut diancam dengan sanksi baik sanksi pidana maupun sanksi administrasi.37 Banyaknya peraturan perundang-undangan yang belum dapat dilaksanakan terjadi karena pengaruh dari aspek struktur dan budaya hukum di Indonesia. Oleh karena itu diperlukan affirmative action, untuk mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan bagi penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas berhak mendapatkan perlakuan khusus. Aksi ini mengarah kepada penyadaran kepada publik akan pahamnya terhadap konsep HAM khususnya bagi penyandang disabilitas dan kewajiban mereka untuk berperan aktif dalam berinteraksi sosial sehat dan wajar. Selain itu, pemerintah perlu mengadakan kegiatan serta sosialisasi yang bermisi pola penyadaran kepada para penyandang disabilitas itu sendiri. Di Indonesia hanya sedikit penyandang disabilitas yang mempunyai kesadaran akan hak-haknya dan gigih dalam memperjuangkan hak dan kewajibannya. Kendala yang paling utama adalah perasaan inferior yang merupakan problem psikologis yang cenderung dimiliki oleh kebanyakan penyandang disabilitas terutama mereka yang tinggal di pedesaan serta pelosok-pelosok dan yang tidak mengenyam dunia pendidikan yang lebih tinggi. Perasaan inferior karena problem atau keterbatasan fiskal dan paradigma menerima kondisi apa adanya yang menimpanya seakan menjadi legitimasi untuk tidak berfikir kritis, berjuang lebih keras, tidak mudah menyerah dan bersikap wajar. Hambatanhambatan psikologis inilah yang pertama kali harus dihilangkan. Para penyandang disabilitas perlu sadar terhadap hak-hak kesetaraan yang ada pada dirinya. E. Catatan Penutup Dari apa yang telah diuraikan di atas terbaca komitmen serta penghargaan pemerintah Indonesia terhadap Perlindungan HAM khususnya hak-hak penyandang disabilitas dalam bingkai negara hukum, dibuktikan dengan meratifikasi Convention on The Rights of Persons with Disabilities yang kemudian lahir dalam UU Nomor 19 Tahun 2011 tentang 37 Uning Pratimarati, Jaminan Aksesibilitas.., p. 262. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012 Udiyo Basuki: Perlindungan HAM Dalam Negara Hukum... 31 Pengesahan Convention on The Rights of Persons with Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas). Namun, meskipun Indonesia telah meratifikasi Konvensi dan masih diperkuat dengan instrumen-instrumen HAM lainnya, pelanggaran terhadap hak-hak penyandang disabilitas di Indonesia masih terus bertambah secara signifikan. Oleh karena itu, upaya memerangi diskriminasi HAM khususnya hak-hak penyandang disabilitas tidak selesai hanya dengan mengaturnya dalam berbagai instumen hukum internasional maupun hukum nasional, perlu dilakukan program Rehabilitasi Berbasis Masyarakat (RBM). Selain itu perlu upaya penyadaran kepada masyarakat dan pemerintah akan penghargaan HAM khususnya bagi penyandang disabilitas dan kewajiban mereka untuk berperan aktif dalam berinteraksi sosial sehat dan wajar tanpa diskriminasi. Wa Allahu a’lam bi as-Sawab. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012 32 Udiyo Basuki: Perlindungan HAM Dalam Negara Hukum... Daftar Pustaka Alim, Muhammad, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Madinah dan UUD 1945, Yogyakarta: UII Press, 2001. Basuki, Udiyo, “Perlindungan Hak Asasi Manusia di Indonesia (Ulasan terhadap Beberapa Ketentuan UUD 1945)” dalam Jurnal Asy-Syir’ah No. 8 Tahun 2001. Cranston, Maurice, What are Human Right?, New York: Taplinger, 1973. Donnely, Jack, Universal Human Rights in Theory and Practice, Cornell University Press, Ithaca and London, 2003. Elzinga, D.J., “De Democratische Rechtsstaat Als Ontwikkeling Perspektif”, dalam Scheltema (ed.), De Rechtsstaat Herdacht, W.E.J. Tjeenk Willink, Zwole, 1989. Hadjon, Philipus M., Perlindungan Hukum Bagi Masyarakat Indonesia, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1987. Hardjowirogo, Marbangun, HAM dalam Mekanisme-mekanisme Perintis Nasional, Regional dan Internasional, Bandung: Patma, 1977. http://www.kemlu 06/06/12. (kementerian luar negeri).go.id/Pages/News. Huda, Ni’matul, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo, 2006. Kementerian Sosial Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial 2011: “Aliansi Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat Bagi Disabilitas Indonesia” dipublikasikan oleh Tira pada 23 March 2011: http://rehsos.depsos.go.id/modules. Keputusan Presiden No. 181 Tahun 1998. Keputusan Presiden No. 50 Tahun 1993. Knut D. Asplund dan Rhona K. M. Smith, Hukum dan Hak Asasi Manusia, dalam, Suparman Marzuki, Eko Riyadi (ed.) Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008. Kompas: http://www.kaskus.co.id/showthread.php. 07/06/12. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012 Udiyo Basuki: Perlindungan HAM Dalam Negara Hukum... 33 Kusnardi, Moh. dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi HTN UI Jakarta, 1981. Lock, John, Two Treatises of Civil Government, (ed. J.W. Gough, Blackwell), New York: Oxford, 1964. Mahendra, Yusril Ihza, Dinamika Tata Negara Indonesia: Kompilasi Aktual Masalah Konstitusi Dewan Perwakilan dan Sistem Kepertania, Jakarta: Gema Insani Press, 1996. Mahfud MD, Moh., dkk, Pendidikan Kewarganegaraan dan HAM, Yogyakarta: UII Press, 2003. _____, Negara Hukum Indonesia: Gagasan dan Realita di Era Reformasi, makalah disampaikan dalam Seminar Nasional “Dinamika Implementasi Negara Hukum Indonesia dan Tantangannya di Era Reformasi”, yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Sabtu 8 September 2012 di Yogyakarta, Manan, Bagir, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Jakarta: Sinar Harapan, 1994. Muladi (ed.), Hak Asasi Manusia: Hakikat, Konsep dan Implikasinya dalam Persepektif Hukum dan Masyarakat”, Bandung: PT Rafika Aditama, 2009 Rahmadhani: http://www.rrimakassar.com/penyandang-disabilitasrasakan-diskriminasi-pemerintah.html: 08/06/12 Riyadi, Eko dan Supriyanto (ed.), Mengurai Kompleksitas Hak Asasi Manusia: Kajian Multi Perspektif, Yogyakarta: PUSHAM UII, 2007. Rizki, Rudi M., “Hak Asasi Manusia”, Makalah Training Hukum HAM pada Fakultas Hukum PT Negeri dan Swasta di Indonesia, PUSHAM UII-NCHR Univ. Oslo Noray, 3-7 April 2006. Rumokoy, Donal A., dkk, Dimensi-dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: UII Press, 2001 Saleh, Faisal (Penyunting), HAM Ala Raslullah, Jakarta: PT Arista Brahmatyasa, 1994. Shoelhi, Mohammad (ed.), Demokrasi Madinah: Model Demokrasi Cara Rasulullah, Jakarta: Republika, 2003. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012 34 Udiyo Basuki: Perlindungan HAM Dalam Negara Hukum... Sowandi, Hak-hak Dasar dalam Konstitusi Demokrasi Modern, Jakarta: PT Pembangunan, 1957. Suseno, Frans Magnis, Etika Politik Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999. Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan Convention on The Rights of Persons with Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas). Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Wahyono, Padmo, Ilmu Negara Suatu Sistematika dan Penjelasan 14 Teori Ilmu Negara, (Jakarta: Melati Studi Grup, 1977. www.kumham.jogja.info. Dipublikasikan oleh: Serafina Shinta Dewi (Perancang Peraturan Perundang-undangan Kanwil Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia DIY. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012