Hak Sipil dan Politik - Pusham UII

advertisement
Hak Sipil dan Politik
Budaya atau Kebijakan?1
Kita tidak bisa menjamin kesejahteraan kita
kecuali dengan menjamin kesejahteraan orang orang lain juga
jika anda ingin bahagia
anda harus rela mengusahakan orang-orang lain
agar berbahagia pula
(Betrand Russel)
Oleh Eko Prasetyo2
Secara prinsip hak asasi manusia adalah upaya bagi semua manusia untuk
memperlakukan semua orang sesuai martabatnya. Perlakuan sesuai martabat ini yang
kemudian mendorong dihindarinya sikap diskriminatif. Sikap yang membeda-bedakan
semua orang berdasar jenis kelamin, kelas sosial, agama dan etnis. Dorongan untuk
mematuhi dan menjalankan HAM ini seringkali terbentur oleh kebijakan diskriminatif.
Diantaranya adalah kebijakan politik yang memperlakukan satu negara dengan negara
lain lewat kriteria ekonomi.
Salah satu kovenan yang sangat penting dan seringkali dilanggar adalah hak
sipil dan politik. Hak yang memberikan jaminan sekaligus perlindungan bagi sikap
politik maupun dalam cara berorganisasi. Hak ini malahan memberikan perlindungan
agar setiap orang dijauhkan dari sasaran penyiksaan. Timbulnya hak sipil dan politik ini
sebagian didasari oleh keinginan untuk terhindar dari kekuasaan diktator. Suatu
kekuasaan yang menutup iklim demokrasi. Jenis kekuasaan yang enggan untuk berbagi
dan bertanggung jawab terhadap publik.
Dalam kovenan sipil dan politik memang banyak sekali pengaturan yang di satu
sisi kebebasan sekaligus pembatasan pada kuasa negara. Menyangkut pasal 6 (bebas
dari perampasan sewenang-wenang atas hidup) kemudian pasal 7 (bebas dari
penyiksaan dan perlakuan yang tidak manusiawi) lalu pasal 9 (hak untuk kebebasan
dan keamanan seseorang) lalu pasal 10 (perlakuan para tahanan secara manusiawi) dan
pasal 12 (kebebasan untuk mengadakan gerakan) merupakan cerminan dari dibatasinya
1
2
Disampaikan untuk Acara Penyegaran Aparat Trantib/Polisi Pangreh Praja tanggal 3 Maret 2004
Kepala Div Program dan Koord Harian Pusat Studi HAM Universitas Islam Indonesia
kekuasaan negara dan peluang bagi masyarakat untuk ikut serta dalam pemenuhan hak
berpolitik.
Kovenan ini dalam penyusunanya memang menghadapi banyak persoalan.
Terutama sekali bagaimana untuk mengatasi kepentingan diantara beberapa negara
yang berbeda. Di satu pihak gagasan mengenai hak asasi manusia meliputi semua hak
yang melekat dalam setiap individu dan tidak menerima persyaratan apapun. Sedang di
pihak lain ada banyak negara yang sulit untuk menerima pemberlakuan ini secara
mutlak, apalagi jika tanpa prasyarat apapun. Kiranya persoalan pilihan ini juga
membayangi di sejumlah negara yang akan meratifikasi kovenan ini.
Termasuk diantaranya adalah Indonesia yang tampak masih kontroversial
dalam memaknai pemberlakuan HAM ini. Meskipun Indonesia sudah meratifikasi anak
dari kovenan hak sipil dan politik, seperti kovenan anti penyiksaan, kovenan anak dan
kovenan perempuan tapi negara tampaknya enggan untuk secara maksimal memenuhi
kebutuhan mereka. Masih banyak penyiksaan yang dilakukan semena-mena kemudian
juga perdagangan anak dan perempuan yang tinggi dari segi jumlah. Jika diusut maka
penyebabnya terlalu banyak. Ada persoalan politik dimana memang masih rendahnya
kemauan politik pemerintah juga ada masalah ekonomi soal ketimpangan serta
persoalan kultural tentang minimnya penghargaan atas hak asasi manusia.
Walaupun demikian jaminan hukum atas Hak Asasi Manusia ini dimuat secara
utuh dalam UU No 39 tahun 1999. Apa yang dirangkum dalam hak sipil dan politik
tertuang dalam semua pasal di UU HAM ini. Keseluruh pasal secara utuh menyediakan
perlindungan bagi kebebasan berorganisasi sekaligus perlindungan atas tindakan yang
semena-mena. Ditinjau dari isi pasal memang UU HAM ini jauh lebih maju dan
progresif akan tetapi benturan yang paling menghadang adalah sikap maupun
kebijakan pemerintah. Upaya pemerintah untuk memaksimalisasi pendapatan dan
membentuk jaringan kerja sama dengan sektor swasta telah menindih banyak
kepentingan rakyat. Tindakan seperti relokasi maupun penggusuran kini menjadi
bagian yang sering mendapat gugatan.
Khususnya dalam kaitan dengan perlindungan atas kelompok rentan yang
kerapkali menjadi sasaran kebijakan. Kelompok rentan itu diantaranya adalah kaum
defabel, perempuan, anak yang karena struktur sosial berada dalam posisi pinggir.
Kisah penggusuran Jakarta yang membuat sejumlah anak tidak bisa melanjutkan
sekolah merupakan bentuk pelanggaran HAM. Hal serupa adalah menghancurkan
tempat tinggal tanpa ada lokasi pengganti tentu bukan merupakan pemecahan. Sebab
bicara soal penegakan HAM orientasi perlakuan lebih utama ketimbang bagaimana
menegakkan disiplin. Kaitan inilah yang tentu sangat penting bagi tugas Pol PP.
Sebagai bagian dari aparat negara tentu sulit untuk bekerja dengan
mempertimbangkan HAM sekaligus punya kewenangan represi. Aspek yang penting
bagi kewenangan itu adalah sejauh mana batasan kewenangan itu diperkenankan.
Batasan itu dengan mempertimbangkan bagaimana perlakuan yang layak serta
bermartabat. Upaya Represif yang diperkenankan lewat undang-undang harus
mempertimbangkan, pertama adalah perlindungan dari segala tindakan kekerasan,
kedua jikalau tindakan kekerasan diambil itu selalu merupakan langkah terakhir setelah
berbagai upaya ditempuh dan ketiga tindakan represif itu tidak membahayakan nyawa
dan keselamatan orang.
Diperkenankanya tindakan kekerasan ini tentunya setelah melihat fungsi dan
peran Pol PP. Sebab sebagai bagian dari aparat negara tentu tak bisa dilepaskan dari
kultur serta watak kekuasaan. Sebab tidak ada pelanggaran HAM yang muncul tanpa
didahului oleh struktur dan sistem yang tidak menjamin diakui dan ditegakkanya nilai
HAM. Pertanyaanya yang terakhir kemudian bagaimana sebenarnya di lingkungan
kerja Pol PP sendiri, apakah penghormatan dan perlindungan HAM menjadi tradisi
yang secara mutlak diakui dan dibudayakan? Pertanyaan yang sepatutnya anda jawab.
Sebab sekali lagi, pemuliaan dan penghormatan atas HAM dapat dikerjakan jika
institusi mengawalinya terlebih dulu.
********************
Download