Indonesia: Lima puluh tahun berlalu, para korban `65 masih

advertisement
AMNESTY INTERNATIONAL
PERNYATAAN PUBLIK
Index: ASA 21/2496/2015
23 September 2015
Indonesia: Lima puluh tahun berlalu, para korban ’65 masih
menunggu kebenaran, keadilan, dan reparasi
Padan 30 September 2015, Indonesia akan menandai peringatan ke-50 tahun peristiwa
pelanggaran masif hak asasi manusia (HAM) 1965, sebuah noda hitam dalam sejarah
negeri ini. Amnesty International dan TAPOL yakin bahwa ini adalah saatnya pemerintah
Indonesia untuk menghadapi masa lalu ini dan mengambil langkah-langkah yang telah
lama tertunda yang dibutuhkan untuk menyediakan para korban ’65 akses terhadap
kebenaran, keadilan, dan reparasi.
Setelah sebuah kudeta yang gagal di September 1965, militer Indonesia mulai melakukan
sebuah serangan yang sistematik terhadap para anggota Partai Komunis Indonesia (PKI)
dan mereka yang dituduh sebagai simpatisannya. Organisasi-organisasi HAM telah
mendokumentasikan serangkaian pelanggaran HAM dalam konteks kudeta 1965 yang
abortif tersebut, termasuk pembunuhan di luar hukum, penyiksaan, penghilangan paksa,
perkosaan, perbudakan seksual dan kejahatan-kejahatan seksual lainnya, perbudakan,
penangkapan dan penahanan semena-mena, dan kerja paksa. Diperkirkan antara 500.000
hingga satu juta orang tewas dibunuh dan ratusan ribu lainnya ditahan untuk periode
antara beberapa hari hingga lebih dari 14 tahun tanpa ada dakwaan atau peradilan sama
sekali.
Banyak korban dan keluarga mereka juga menghadapi pelanggaran-pelanggaran atas hak
ekonomi, sosial, dan budaya mereka, dan hingga hari ini terus mengalami diskriminasi
berdasarkan ketentuan hukum dan secara praktik. Pemerintahan-pemerintahan
selanjutnya secara esensial telah mengabaikan seluruh generasi dari para korban,
meninggalkan mereka tanpa kebenaran, keadilan, dan reparasi yang menjadi hak mereka
di bawah hukum internasional. Dalam semua kasus, kecuali segelintir kasus, para pelaku
pelanggaran HAM masih bebas.
Di banyak kejadian, pertemuan-pertemuan internal atau kegiatan-kegiatan public tentang
peristiwa 1965 yang diselenggarakan oleh para korban dibubarkan atau diganggu oleh
para kelompok vigilante sementara polisi seringkali gagal untuk mengintervensi.
Sebuah investigasi tiga tahun terhadap pelanggarangan HAM atas peristiwa ini, dilakukan
oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan selesai pada Juli 2012.
Komnas HAM menemukan bukti adanya pelanggaran HAM yang meluas yang dilakukan di
segala penjuru negeri ini antara 1965 dan 1966, dan pelanggaran-pelanggaran HAM
tersebut terus berlanjut di tingkat bawah hingga akhir tahun 1970-an. Menurut Komnas
HAM, temuan-temuan ini memenuhi kriteria pelanggaran HAM yang berat, dan termasuk
kejahatan terhadap kemanusiaan, yang didefinisikan oleh Undang-Undang No. 26/2000
tentang Pengadilan HAM. Pada Juli 2012, Komnas HAM menyerukan kepada Jaksa Agung
untuk memulai sebuah penyidikan berdasarkan temuan-temuannya dan untuk membawa
para pelakunya ke muka hukum. Komnas HAM juga menyerukan kepada pihak berwenang
lainnya untuk membentuk sebuah komisi kebenaran dan rekonsiliasi dan untuk melakukan
suatu pernyataan maaf resmi kepada para korban dan keluarga mereka. Namun demikian,
hingga saat ini, tidak ada indikasi bahwa Jaksa Agung akan memulai sebuah investigasi.
Sementara itu, upaya-upaya untuk membentuk sebuah komisi kebenaran di tingkat
nasional berhenti karena minimnya kemauan politik.
Pada Oktober 2014, Presiden Joko ‘Jokowi’ Widodo mulai menjabat dan berkomitmen
untuk menghormati dan melindungi hak asasi manusian di Indonesia, termasuk
menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu di negeri ini. Pada Agustus 2015
Presiden Joko Widodo, dalam pidato kenegaraan memperingati Hari Kemerdekaan,
mengumumkan bahwa dia akan membentuk sebuah mekanisme non-yudisial untuk
menyelesaikan semua kasus pelanggaran HAM masa lalu lewat sebuah ‘komite
rekonsiliasi’. Inisiatif ini dipercaya juga mencakup pelanggaran HAM 1965-66. Dalam
pidatonya, Presiden Joko Widodo juga menyatakan bahwa ‘rekonsiliasi nasional’
diperlukan agar generasi ke depan di Indonesia tidak akan terus memikul beban sejarah
masa lalu. Para korban dan Organisasi-Organisasi Non-Pemerintah (Ornop) prihatin bahwa
proses ini bisa memprioritaskan rekonsiliasi dan merendahkan kebenaran dan keadilan.
Kegagalan untuk menyelesaikan pelanggaran HAM 1965-66 menjadi penanda budaya
impunitas yang lebih luas di Indonesia. Pemerintah Indonesia juga secara konsisten telah
gagal untuk menyediakan keadilan, kebenaran, dan reparasi bagi pelanggaran-pelanggaran
HAM serius masa lalu, termasuk yang dilakukan di Aceh, Timor-Leste (dulunya TimorTimur), Papua, dan juga selama kerusuhan Mei 1998.
Pada 23 September 2015 Amnesty International dan TAPOL menyelenggarakan sebuah
kegiatan publik “Mengenang Mereka yang Terlupakan” di Inggris untuk memperingati 50
tahun peristiwa 1965.
Amnesty International juga mengorganisir inisiatif-inisiatif lainnya selama beberapa
minggu ke depan di negeri-negeri lain untuk menyerukan kepada para pihak berwenang di
Indonesia untuk memenuhi kewajibannya untuk menyediakan para korban ’65 hak untuk
mengakses kebenaran, keadilan, dan reparasi.
Amnesty International
TAPOL
Download