Menilik RPJMN 2015-2019 dari Perspektif Hak atas Pembangunan Penulis: Adzkar Ahsinin Pemerhati isu perempuan dan anak. Saat ini aktif sebagai staf Elsam. Pasal 4 UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional menyatakan, RPJMN disusun sebagai penjabaran dari tujuan dibentuknya pemerintahan Negara Indonesia, sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Pembukaan UUD 1945 merupakan visi dan misi abadi Negara serta menjadi arah pembangunan nasional. Apabila ditilik lebih dalam, Pembukaan UUD 1945 merupakan deklarasi alasan ontologis hakikat dasar keberadaan Indonesia, yakni untuk menjamin penikmatan hak asasi manusia (HAM) warga negaranya. Jaminan penikmatan HAM ini terefleksikan dalam rumusan Pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam bingkai ini, seharusnya RPJMN tahun 2015-2019 diletakkan sebagai dimensi aksiologis jaminan penikmatan warga Negara sebagai bentuk pelaksanaan tiga kewajiban utama Negara untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi setiap warga Negara. Artinya, RPJMN harus dibaca sebagai upaya sadar penyelenggara Negara untuk mengarahkan kebijakan dan strategi pembangun berlandaskan HAM. Flávia Piovesan (2013) menyatakan, pembangunan sebagai HAM mencakup tiga atribut kunci sebagai berikut: 1. Keadilan sosial (melalui inklusi, kesetaraan dan non-diskriminasi, mendudukkan manusia sebagai subjek utama pembangunan dan menaruh perhatian khusus kepada kelompok yang tercerabut dan tereksklusi dalam pembangunan); 2. Partisipasi, akuntabilitas, dan transparansi (melalui partisipasi secara aktif bebas, dan bermakna dan dengan fokus pada pemberdayaan); 3. Kerja sama internasional (hak untuk pembangunan adalah solidaritas universal berbasis hak). Untuk melaksanakan hak atas pembangunan, Negara memiliki tanggung jawab utama menghormati kebebasan individu dalam mengambil tindakan; kedua, melindungi individu dan sumber daya mereka terhadap agresivitas aktor lainnya; dan ketiga, membantu pemenuhan kebutuhan kesejahteraan dengan memberikan bantuan untuk menciptakan kesempatan yang sama, bagi individu atau kelompok dan melalui pemberian langsung dari sumber daya yang tersedia (Report of the Global Consultation on the Right to Development as a Human Right, 2013). RPJMN sebagai dokumen politik pembangunan semestinya didudukkan sebagai bagian integral dari kewajiban Negara untuk menjamin penikmatan hak atas pembangunan. Secara etis dan yuridis, Negara ini terikat pada standar norma universal HAM. Dalam konteks hak ini, menurut Navi Pillay (2013) seperti halnya HAM, hak untuk pembangunan juga mencakup hak-hak yang bersifat khusus, seperti hak untuk berpartisipasi, berkontribusi, dan menikmati pembangunan ekonomi, sosial, budaya dan politik. Lebih jauh, Navi Pillay mengatakan, hak atas pembangunan yang tercantum dalam Pasal 1 Deklarasi Hak atas Pembangunan memiliki unsur-unsur sebagai berikut: 1. Pembangunan yang berpusat pada manusia, deklarasi ini menegaskan, setiap pribadi manusia merupakan sebagai subjek sentral pembangunan, yakni sebagai pihak yang terlibat sekaligus penerima manfaat pembangunan; 2. Pembangunan berbasis hak, deklarasi ini secara khusus mensyaratkan bahwa pelaksanaan pembangunan harus dapat merealisasikan sepenuhnya semua HAM dan kebebasan fundamental setiap warga Negara; 3. Partisipasi, deklarasi menyerukan, setiap warga Negara dapat berpartisipasi secara aktif, bebas, dan bermakna dalam pembangunan; 4. Keadilan, deklarasi ini menggarisbawahi ketersediaan mekanisme distribusi yang adil dalam menikmati manfaat pembangunan; 5. Non-diskriminasi, deklarasi ini menegaskan, pembangunan harus berprinsip tidak membedakan atas dasar ras, jenis kelamin, bahasa, atau agama; 6. Penentuan nasib sendiri, deklarasi ini mengintegrasikan hak penentuan nasib sendiri, termasuk kedaulatan penuh atas sumber daya alam, sebagai unsur penting untuk melaksanakan hak untuk pembangunan. Sementara Arjun K. Sengupta (2013) berpandangan, Pasal 1 Deklarasi Hak atas Pembangunan merinci tiga prinsip berikut ini: (i) ada HAM yang tidak dapat dicabut yang disebut hak atas pembangunan; (ii) ada proses tertentu, baik melalui aspek ekonomi, sosial, budaya dan politik pembangunan agar semua HAM dan kebebasan dasar dapat sepenuhnya direalisasikan; dan (iii) hak untuk pembangunan adalah HAM dalam rangka menjamin bahwa setiap pribadi manusia dan semua orang berhak untuk berpartisipasi, berkontribusi, dan menikmati proses pembangunan. Apabila dilihat secara sekilas, maka RPJMN memiliki arah kebijakan dan strategi pembangunan yang berkaitan dengan jaminan penikmatan HAM, baik hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya maupun perlindungan terhadap hak-hak yang bersifat khusus seperti perlindungan terhadap anak, perempuan, dan kelompok rentan lainnya. Meskipun telah memuat jaminan HAM, menurut pembacaan kritis Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), RPJMN belum berparadigma HAM. Salah satu indikator yang dapat dijadikan sebagai parameter adalah penerapan pendekatan berbasis hak dalam menyusun RPJMN. Namun demikian, agenda HAM dalam RPJMN masih menjadi bagian kecil dari agenda pembangunan hukum dan hanya menjadi agenda sektoral dalam pembangunan. Pendekatan berbasis hak untuk pembangunan dimulai dari premis dasar bahwa pencapaian HAM menjadi tujuan proses apapun, yang bertujuan untuk meningkatkan kondisi manusia. Pendekatan berbasis hak menggunakan berbagai konsep yang berhubungan dengan HAM sebagai acuan untuk menyusun kebijakan pembangunan (Francisco Sagasti, 2013). Berdasarkan pendekatan ini, semestinya RPJMN dapat menjamin warga Negara untuk mengklaim hak-haknya apabila Negara dalam menyusun program pembangunan menegasikan atau mereduksi penikmatan suatu hak. Di sisi lain, RPJMN juga harus memperkuat Negara sebagai pengemban kewajiban, melalui aparatnya dalam mengemban kewajiban atributifnya, untuk memenuhi hak asasi setiap warga negaranya. Dengan kata lain, RPJMN harus mengintegrasikan dan menguatkan norma, prinsip, dan standar sistem HAM internasional melalui penetapan arah kebijakan dan pemilihan strategi pembangunan. Namun demikian, apabila melihat RPJMN sasaran, arah kebijakan, dan strategi yang ada cenderung belum mengarah pada bagaimana menyadarkan warga Negara, khususnya kelompok rentan untuk mengklaim hak-hak apabila dilanggar. Hal itu sesuai dengan pandangan Stephen P. Marks yang menyatakan, pembangunan sebagai HAM harus memberdayakan semua orang untuk mengklaim partisipasi aktif mereka dalam keputusan yang mempengaruhi mereka dan untuk mengklaim manfaat yang dihasilkan dari hasil pembangunan (Flávia Piovesan, 2013). RPJMN sebagai dokumen politik pembangunan cenderung menggunakan pendekatan ekonomi yang dilengkapi dengan data-data statistik. Di samping itu, RPJMN menetapkan ukuran yang bersifat selektif karena memprioritaskan atau tidak memprioritaskan masalah-masalah utama pembangunan yang dampaknya langsung dirasakan masyarakat. RPJMN tidak fokus secara khusus pada HAM, sehingga secara efektif berpotensi meminggirkan sebagian hak asasi manusia yang tidak menjadi prioritas kebijakan dan strategi. Dalam konteks ini, Irene I. Hadiprayitno (2013) menyatakan, dominasi paradigma ekonomik dalam menyusun RPJMN berpotensi mereduksi masalah kemiskinan menjadi statistik dengan pembangunan ekonomi dan angka agregat pertumbuhan ekonomi diperlakukan sebagai solusi untuk penghapusan kemiskinan Contoh lain, RPJMN belum menyasar pada akar masalah yang menyebabkan terjadinya gejala feminisasi kemiskinan, seperti hambatan perempuan dalam mengakses kepemilikan tanah atau aset lain yang bernilai ekonomis. Program reforma agraria yang dijadikan tumpuan penghapusan kemiskinan dalam RPJMN belum menyentuh pola relasi ini. Akibatnya gejala feminisasi kemiskinan akan tetap terus terjadi. Situasi ini terkait dengan pola relasi kuasa perempuan dengan laki-laki yang tidak seimbang yang termanifestasikan secara struktural dan kultural. Dalam konteks ini, meskipun RPJMN telah membuka ruang partisipasi bagi perempuan untuk terlibat dalam proses pembangunan, perempuan akan tetap sulit untuk berpartisipasi karena perempuan secara kultural masih berada di ruang domestik, sementara ruang publik masih menjadi otoritas laki-laki. Pola pembagian yang domestik dan publik ini semestinya juga menjadi skala prioritas pembangunan agar perempuan tidak lagi mendapatkan hambatan secara kultural untuk berpartisipasi dalam pembangunan, yang dianggap sebagai ruang publik yang politis. Terkait ini, Irene I. Hadiprayitno (2013) mengutip pandangan Arjun K. Sengupta yang menyatakan, orangorang yang hidup dalam kemiskinan biasanya korban diskriminasi atas dasar kelahiran, kepemilikan, asal-usul negara dan sosial, ras, warna kulit, jenis kelamin, dan agama. Pola diskriminasi membuat orang tetap berada dalam kemiskinan yang pada akhirnya justru akan melanggengkan sikap dan praktik diskriminasi terhadap mereka. Dengan kata lain, diskriminasi menyebabkan kemiskinan, tetapi kemiskinan juga menyebabkan diskriminasi. Titik kritis selanjutnya, RPJMN belum menempatkan anak sebagai subjek pembangunan yang setara sebagai warga Negara sehingga strategi pemberdayaan anak-anak sebagai subjek pembangunan juga belum terakomodasi. Padahal partisipasi merupakan hak yang fundamental bagi setiap warga Negara, termasuk anak-anak. Pada titik ini, RPJMN belum sepenuhnya sejalan dengan prinsip-prinsip hak atas pembangunan, khususnya prinsip partisipasi secara aktif bebas, dan bermakna, tanpa diskriminatif. Anak-anak sering dikecualikan untuk berpartisipasi dalam hal-hal yang menjadi perhatian mereka. Kepentingan anak-anak seringkali diwakili oleh orang dewasa. Kapasitas anak sering tidak diakui dalam proses penyusunan kebijakan sehingga anak tidak diakui sebagai pemegang hak yang aktif, namun dianggap hanya sebagai penerima bantuan yang pasif. Penegasian partisipasi anak merupakan bentuk diskriminasi interseksional terhadap anak, baik diskriminasi interseksionalitas secara struktural maupun diskriminasi interseksionalitas secara politik dan representasi. Anak mengalami diskriminasi interseksionalitas secara structural terjadi karena struktur yang ditetapkan oleh kebijakan dan praktik lembaga serta otoritas negara menyebabkan ketidakberdayaan anak sebagai subjek hak. Di samping itu, anak juga mengalami diskriminasi interseksionalitas secara politik dan representasi, karena kepentingan anak dalam demokrasi prosedural dianggap terwakili oleh orang dewasa, yang memiliki otoritas menetapkan kebijakan (Camilla Ida Ravnbøl, 2009). Dengan kata lain, tanpa partisipasi secara penuh, maka hasil pembangunan tidak terdistribusi secara adil kepada kelompok masyarakat yang tidak terwakili dalam proses penyusunan kebijakan. Padahal hak atas pembangunan juga mensyaratkan adanya distribusi keuntungan yang adil. Prinsip ini dimaknai bahwa proses pembangunan harus dirancang untuk melayani, memihak, dan menguntungkan bagi semua penerima manfaat pembangunan, dan khususnya kepada mereka yang rentan terhadap dampak yang merugikan dari proyek atau program pembangunan. Distribusi hasil pembangunan yang adil, sesuai dengan prinsip kedua John Rawls yang memberikan afirmasi bagi kelompok masyarakat yang mengalami kesulitan untuk mengakses sumber daya sosial dan ekonomi. Prinsip kedua John Rawls berkaitan dengan keadilan distributif Aristoteles, yang mengacu pada pembagian berdasarkan pertimbangan proporsionalitas (Irene I. Hadiprayitno, 2013).