filsafat tuhan - WordPress.com

advertisement
1. Filsafat Ketuhanan dalam Islam.




Siapakah Tuhan itu?
Sejarah Pemikiran Manusia Tentang Tuhan.
Tuhan Menurut Agama-agama Wahyu.
Pembuktian Wujud Tuhan.
2. Keimanan dan Ketakwaan





Pengertian Iman
Wujud Iman
Proses Terbentuknya Iman
Tanda Orang Beriman
Korelasi Keimanan dan Ketakwaan
3. Implementasi Iman dan Takwa dalam Kehidupan Modern.


Problematika, Tantangan, dan Resiko dalam Kehidupan Modern.
Peran Iman dan Takwa dalam Menjawab Problema dan Tantangan Kehidupan Modern.
Istilah-istilah Penting:





Ibadah Mahdhah: ibadah yang sudah ditentukan macam, cara, waktu, dan bacaannya.
Spiritualistis Islam: Ciri/kerohanian Islam
Karakter Islam: Watak/sifat/tabiat Islam.
Pola pikir teologis: pola pikir berkenaan dengan ilmu ke-Tuhanan.
Bersifat azali: wujud yang terbentuk secara abadi tanpa adanya permulaan.
Sasaran Pembelajaran:
1. Menjelaskan perbedaan pandangan Max Muller, Andrew Lang, dan Agama Wahyu
tentang monoteisme.
2. Berpikir dan bersikap sesuai dengan aliran teologis yang dapat menunjang perkembangan
IPTEK dan peningkatan etos kerja.
3. Membuktikan adanya Tuhan melalui kajian ilmiah, sehingga dapat memantapkan iman.
4. Bersikap dengan benar sesuai dengan prinsip dalam proses pembentukan iman
5. Bersifat dengan benar sesuai dengan prinsip dalam proses pembentukan iman.
6. Mengimplementasikan iman dengan ibadah dan amal saleh dalam kehidupan sehari-hari.
7. Menerangkan peranan iman dan takwa dalam menghadapi tantangan kehidupan modern,
sehingga meyakini benar perlunya beriman dan bertakwa.
A. Pendahuluan
Aspek keimanan yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah aspek kejiwaan dan nilai. Aspek ini
belum mendapat perhatian seperti perhatian terhadap aspek lainnya. Kecintaan kepada Allah,
ikhlas beramal hanya karena Allah, serta mengabdikan diridan tawakal sepenuhnya kepada-Nya,
merupakan nilai keutamaan yang perlu diperhatikan dan diutamakandalam menyempurnakan
cabang-cabang keimanan.
Sesungguhnya amalah lahiriah berupa ibadah mahdhah dan muamalah tidak akan mencapai
kesempurnaan, kecuali jika didasari dan diramu dengan nilai keutamaan tersebut. Sebab nilainilai tersebut senantiasa mengalir dalam hati dan tertuang dalam setiap gerak serta perilaku
keseharian.
Pendidikan modern telah mempengaruhi peserta didik dari berbagai arah dan pengaruhnya telah
sedemikian rupa merasuki jiwa generasi penerus. Jika tidak pandai membina jiwa generasi
mendatang, “dengan menanamkan nilai-nilai keimanan dalam nalar, pikir dan akal budi mereka”,
maka mereka tidak akan selamat dari pengaruh negatif pendidikan modern. Mungkin mereka
merasa ada yang kurang dalam sisi spiritualitasnya dan berusaha menyempurnakan dari sumbersumber lain. Bila ini terjadi, maka perlu segera diambil tindakan, agar pintu spiritualitas yang
terbuka tidak diisi oleh ajaran lain yang bukan berasal dari ajaran spiritualitas Islam.
Seorang muslim yang paripurna adalah yang nalar dan hatinya bersinar, pandangan akal
dan hatinya tajam, akal pikir dan nuraninya berpadu dalam berinteraksi dengan Allah
dan dengan sesama manusia, sehingga sulit diterka mana yang lebih dahulu berperan
kejujuran jiwanya atau kebenaran akalnya. Sifat kesempurnaan ini merupakan karakter
Islam, yaitu agama yang membangun kemurnian akidah atas dasar kejernihan akal dan
membentuk pola pikir teologis yang menyerupai bidang-bidang ilmu eksakta, karena
dalam segi akidah, Islam hanya menerima hal-hal yang menurut ukuran akal sehat dapat
diterima sebagai ajaran akidah yang benar dan lurus.
Pilar akal dan rasionalitas dalam akidah Islam tecermin dalam aturan muamalat dan dalam
memberikan solusi serta terapi bagi persoalan yang dihadapi. Selain itu Islam adalah agama
ibadah. Ajaran tentang ibadah didasarkan atas kesucian hati yang dipenuhi dengan keikhlasan,
cinta, serta dibersihkan dari dorongan hawa nafsu, egoisme, dan sikap ingin menang sendiri.
Agama seseorang tidak sempurna, jika kehangatan spiritualitas yang dimiliki tidak disertai
dengan pengalaman ilmiah dan ketajaman nalar. Pentingnya akal bagi iman ibarat pentingnya
mata bagi orang yang sedang berjalan.
B. Filsafat Ketuhanan dalam Islam
Siapakah Tuhan itu?
Perkataan ilah, yang diterjemahkan “Tuhan”, dalam Al-Quran dipakai untuk menyatakan
berbagai obyek yang dibesarkan atau dipentingkan manusia, misalnya dalam QS 45 (AlJatsiiyah): 23, yaitu:
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya….?”
Dalam QS 28 (Al-Qashash):38, perkataan ilah dipakai oleh Fir’aun untuk dirinya sendiri:
“Dan Fir’aun berkata: Wahai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain
aku.”
Contoh ayat-ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa perkataan ilah bisa mengandung arti
berbagai benda, baik abstrak (nafsu atau keinginan pribadi maupun benda nyata (Fir’aun atau
penguasa yang dipatuhi dan dipuja). Perkataan ilah dalam Al-Quran juga dipakai dalam bentuk
tunggal (mufrad: ilaahun), ganda (mutsanna:ilaahaini), dan banyak (jama’: aalihatun). Bertuhan
nol atau atheisme tidak mungkin. Untuk dapat mengerti dengan definisi Tuhan atau Ilah yang
tepat, berdasarkan logika Al-Quran sebagai berikut:
Tuhan (ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting) oleh manusia sedemikian
rupa, sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai oleh-Nya.
Perkataan dipentingkan hendaklah diartikan secara luas. Tercakup di dalamnya yang dipuja,
dicintai, diagungkan, diharap-harapkan dapat memberikan kemaslahatan atau kegembiraan, dan
termasuk pula sesuatu yang ditakuti akan mendatangkan bahaya atau kerugian.
Ibnu Taimiyah memberikan definisi al-ilah sebagai berikut:
Al-ilah ialah: yang dipuja dengan penuh kecintaan hati, tunduk kepada-Nya,
merendahkan diri di hadapannya, takut, dan mengharapkannya, kepadanya tempat
berpasrah ketika berada dalam kesulitan, berdoa, dan bertawakal kepadanya untuk
kemaslahatan diri, meminta perlindungan dari padanya, dan menimbulkan ketenangan di
saat mengingatnya dan terpaut cinta kepadanya (M.Imaduddin, 1989:56)
Atas dasar definisi ini, Tuhan itu bisa berbentuk apa saja, yang dipentingkan manusia. Yang
pasti, manusia tidak mungkin ateis, tidak mungkin tidak ber-Tuhan. Berdasarkan logika AlQuran, setiap manusia pasti ada sesuatu yang dipertuhankannya. Dengan begitu, orang-orang
komunis pada hakikatnya ber-Tuhan juga. Adapun Tuhan mereka ialah ideologi atau anganangan (utopia) mereka.
Dalam ajaran Islam diajarkan kalimat “la ilaaha illa Allah”. Susunan kalimat tersebut dimulai
dengan peniadaan, yaitu “tidak ada Tuhan”, kemudian baru diikuti dengan penegasan
“melainkan Allah”. Hal itu berarti bahwa seorang muslim harus membersihkan diri dari segala
macam Tuhan terlebih dahulu, sehingga yang ada dalam hatinya hanya ada satu Tuhan, yaitu
Allah.
Sejarah Pemikiran Manusia tentang Tuhan
1. Pemikiran Barat
Yang dimaksud konsep Ketuhanan menurut pemikiran manusia adalah konsep yang didasarkan
atas hasil pemikiran baik melalui pengalaman lahiriah maupun batiniah, baik yang bersifat
penelitian rasional maupun pengalaman batin. Dalam literatur sejarah agama, dikenal teori
evolusionisme, yaitu teori yang menyatakan adanya proses dari kepercayaan yang amat
sederhana, lama kelamaan meningkat menjadi sempurna. Teori tersebut mula-mula dikemukakan
oleh Max Muller, kemudian dikemukakan oleh EB Taylor, Robertson Smith, Lubbock dan
Javens. Proses perkembangan pemikiran tentang Tuhan menurut teori evolusionisme adalah
sebagai berikut:

Dinamisme
Menurut paham ini, manusia sejak zaman primitif telah mengakui adanya kekuatan yang
berpengaruh dalam kehidupan. Mula-mula sesuatu yang berpengaruh tersebut ditujukan pada
benda. Setiap benda mempunyai pengaruh pada manusia, ada yang berpengaruh positif dan ada
pula yang berpengaruh negatif. Kekuatan yang ada pada benda disebut dengan nama yang
berbeda-beda, seperti mana (Melanesia), tuah (Melayu), dan syakti (India). Mana adalah
kekuatan gaib yang tidak dapat dilihat atau diindera dengan pancaindera. Oleh karena itu
dianggap sebagai sesuatu yang misterius. Meskipun nama tidak dapat diindera, tetapi ia dapat
dirasakan pengaruhnya.

Animisme
Masyarakat primitif pun mempercayai adanya peran roh dalam hidupnya. Setiap benda yang
dianggap benda baik, mempunyai roh. Oleh masyarakat primitif, roh dipercayai sebagai sesuatu
yang aktif sekalipun bendanya telah mati. Oleh karena itu, roh dianggap sebagai sesuatu yang
selalu hidup, mempunyai rasa senang, rasa tidak senang apabila kebutuhannya dipenuhi.
Menurut kepercayaan ini, agar manusia tidak terkena efek negatif dari roh-roh tersebut, manusia
harus menyediakan kebutuhan roh. Saji-sajian yang sesuai dengan saran dukun adalah salah satu
usaha untuk memenuhi kebutuhan roh.

Politeisme
Kepercayaan dinamisme dan animisme lama-lama tidak memberikan kepuasan, karena terlalu
banyak yang menjadi sanjungan dan pujaan. Roh yang lebih dari yang lain kemudian disebut
dewa. Dewa mempunyai tugas dan kekuasaan tertentu sesuai dengan bidangnya. Ada dewa yang
bertanggung jawab terhadap cahaya, ada yangmembidangi masalah air, ada yang membidangi
angin dan lain sebagainya.

Henoteisme
Politeisme tidak memberikan kepuasan terutama terhadap kaum cendekiawan. Oleh karena itu
dari dewa-dewa yang diakui diadakan seleksi, karena tidak mungkin mempunyai kekuatan yang
sama. Lama-kelamaan kepercayaan manusia meningkat menjadi lebih definitif (tertentu). Satu
bangsa hanya mengakui satu dewa yang disebut dengan Tuhan, namun manusia masih mengakui
Tuhan (Ilah) bangsa lain. Kepercayaan satu Tuhan untuk satu bangsa disebut dengan henoteisme
(Tuhan Tingkat Nasional).

Monoteisme
Kepercayaan dalam bentuk henoteisme melangkah menjadi monoteisme. Dalam monoteisme
hanya mengakui satu Tuhan untuk seluruh bangsa dan bersifat internasional. Bentuk monoteisme
ditinjau dari filsafat Ketuhanan terbagi dalam tiga paham, yaitu: deisme, panteisme, dan teisme.
Evolusionisme dalam kepercayaan terhadap Tuhan sebagaimana dinyatakan oleh Max Muller
dan EB. Taylor (1877), ditentang oleh Andrew Lang (1898) yang menekankan adanya
monoteisme dalam masyarakat primitif. Dia mengemukakan bahwa orang-orang yang berbudaya
rendah juga sama monoteismenya dengan orang-orang Kristen. Mereka mempunyai kepercayaan
pada wujud yang Agung dan sifat-sifat yang khas terhadap Tuhan mereka, yang tidak mereka
berikan kepada wujud yang lain.
Dengan lahirnya pendapat Andrew Lang, maka berangsur-angsur golongan evolusionisme
menjadi reda dan sebaliknya sarjana-sarjana agama terutama di Eropa Barat mulai menantang
evolusionisme dan memperkenalkan teori baru untuk memahami sejarah agama. Mereka
menyatakan bahwa ide tentang Tuhan tidak datang secara evolusi, tetapi dengan relevansi atau
wahyu. Kesimpulan tersebut diambil berdasarkan pada penyelidikan bermacam-macam
kepercayaan yang dimiliki oleh kebanyakan masyarakat primitif. Dalam penyelidikan didapatkan
bukti-bukti bahwa asal-usul kepercayaan masyarakat primitif adalah monoteisme dan
monoteisme adalah berasal dari ajaran wahyu Tuhan (Zaglul Yusuf, 1993:26-27).
2. Pemikiran Umat Islam
Pemikiran terhadap Tuhan yang melahirkan Ilmu Tauhid, Ilmu Kalam, atau Ilmu Ushuluddin di
kalangan umat Islam, timbul sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW. Secara garis besar, ada
aliran yang bersifat liberal, tradisional, dan ada pula yang bersifat di antara keduanya. Sebab
timbulnya aliran tersebut adalah karena adanya perbedaan metodologi dalam memahami AlQuran dan Hadis dengan pendekatan kontekstual sehingga lahir aliran yang bersifat tradisional.
Sedang sebagian umat Islam yang lain memahami dengan pendekatan antara kontektual dengan
tektual sehingga lahir aliran yang bersifat antara liberal dengan tradisional. Ketiga corak
pemikiran ini telah mewarnai sejarah pemikiran ilmu ketuhanan dalam Islam. Aliran tersebut
yaitu:
a. Mu’tazilah yang merupakan kaum rasionalis di kalangan muslim, serta menekankan
pemakaian akal pikiran dalam memahami semua ajaran dan keimanan dalam Islam. Orang islam
yang berbuat dosa besar, tidak kafir dan tidak mukmin. Ia berada di antara posisi mukmin dan
kafir (manzilah bainal manzilatain).
Dalam menganalisis ketuhanan, mereka memakai bantuan ilmu logika Yunani, satu sistem
teologi untuk mempertahankan kedudukan keimanan. Hasil dari paham Mu’tazilah yang
bercorak rasional ialah muncul abad kemajuan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun kemajuan
ilmu pengetahuan akhirnya menurun dengan kalahnya mereka dalam perselisihan dengan kaum
Islam ortodoks. Mu’tazilah lahir sebagai pecahan dari kelompok Qadariah, sedang Qadariah
adalah pecahan dari Khawarij.
b. Qodariah yang berpendapat bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam berkehendak dan
berbuat. Manusia sendiri yang menghendaki apakah ia akan kafir atau mukmin dan hal itu yang
menyebabkan manusia harus bertanggung jawab atas perbuatannya.
c. Jabariah yang merupakan pecahan dari Murji’ah berteori bahwa manusia tidak mempunyai
kemerdekaan dalam berkehendak dan berbuat. Semua tingkah laku manusia ditentukan dan
dipaksa oleh Tuhan.
d. Asy’ariyah dan Maturidiyah yang pendapatnya berada di antara Qadariah dan Jabariah
Semua aliran itu mewarnai kehidupan pemikiran ketuhanan dalam kalangan umat islam periode
masa lalu. Pada prinsipnya aliran-aliran tersebut di atas tidak bertentangan dengan ajaran dasar
Islam. Oleh karena itu umat Islam yang memilih aliran mana saja diantara aliran-aliran tersebut
sebagai teologi mana yang dianutnya, tidak menyebabkan ia keluar dari islam. Menghadapi
situasi dan perkembangan ilmu pengetahuan sekarang ini, umat Islam perlu mengadakan koreksi
ilmu berlandaskan al-Quran dan Sunnah Rasul, tanpa dipengaruhi oleh kepentingan politik
tertentu. Di antara aliran tersebut yang nampaknya lebih dapat menunjang perkembangan ilmu
pengetahuan dan meningkatkan etos kerja adalah aliran Mu’tazilah dan Qadariah.
Tuhan Menurut Agama-agama Wahyu
Pengkajian manusia tentang Tuhan, yang hanya didasarkan atas pengamatan dan pengalaman
serta pemikiran manusia, tidak akan pernah benar. Sebab Tuhan merupakan sesuatu yang ghaib,
sehingga informasi tentang Tuhan yang hanya berasal dari manusia biarpun dinyatakan sebagai
hasil renungan maupun pemikiran rasional, tidak akan benar.
Informasi tentang asal-usul kepercayaan terhadap Tuhan antara lain tertera dalam:
1. QS 21 (Al-Anbiya): 92, “Sesungguhnya agama yang diturunkan Allah adalah satu, yaitu
agama Tauhid. Oleh karena itu seharusnya manusia menganut satu agama, tetapi mereka
telah berpecah belah. Mereka akan kembali kepada Allah dan Allah akan menghakimi
mereka.
Ayat tersebut di atas memberi petunjuk kepada manusia bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan
konsep tentang ajaran ketuhanan sejak zaman dahulu hingga sekarang. Melalui Rasul-rasul-Nya,
Allah memperkenalkan dirinya melalui ajaran-Nya, yang dibawa para Rasul, Adam sebagai
Rasul pertama dan Muhammad sebagai terakhir.
Jika terjadi perbedaan-perbedaan ajaran tentang ketuhanan di antara agama-agama adalah karena
perbuatan manusia. Ajaran yang tidak sama dengan konsep ajaran aslinya, merupakan
manipulasi dan kebohongan manusia yang teramat besar.
2. QS 5 (Al-Maidah):72, “Al-Masih berkata: “Hai Bani Israil sembahlah Allah Tuhaku dan
Tuhanmu. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti
mengharamkan kepadanya syurga, dan tempat mereka adalah neraka.
3. QS 112 (Al-Ikhlas): 1-4, “Katakanlah, Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan
yang bergantung pada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan dan
tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.”
Dari ungkapan ayat-ayat tersebut, jelas bahwa Tuhan adalah Allah. Kata Allah adalah nama isim
jumid atau personal name. Merupakan suatu pendapat yang keliru, jika nama Allah
diterjemahkan dengan kata “Tuhan”, karena dianggap sebagai isim musytaq.
Tuhan yang haq dalam konsep al-Quran adalah Allah. Hal ini dinyatakan antara lain dalam surat
Ali Imran ayat 62, surat Shad 35 dan 65, surat Muhammad ayat 19. Dalam al-quran
diberitahukan pula bahwa ajaran tentang Tuhan yang diberikan kepada Nabi sebelum
Muhammad adalah Tuhan Allah juga. Perhatikan antara lain surat Hud ayat 84 dan surat alMaidah ayat 72. Tuhan Allah adalah esa sebagaimana dinyatakan dalam surat al-Ankabut ayat
46, Thaha ayat 98, dan Shad ayat 4.
Dengan mengemukakan alasan-alasan tersebut di atas, maka menurut informasi al-Quran,
sebutan yang benar bagi Tuhan yang benar-benar Tuhan adalah sebutan “Allah”, dan
kemahaesaan Allah tidak melalui teori evolusi melainkan melalui wahyu yang datang dari Allah.
Hal ini berarti konsep tauhid telah ada sejak datangnya Rasul Adam di muka bumi. Esa menurut
al-Quran adalah esa yang sebenar-benarnya esa, yang tidak berasal dari bagian-bagiandan tidak
pula dapat dibagi menjadi bagian-bagian.
Keesaan Allah adalah mutlak. Ia tidak dapat didampingi atau disejajarkan dengan yang lain.
Sebagai umat Islam, yang mengikrarkan kalimat syahadat La ilaaha illa Allah harus
menempatkan Allah sebagai prioritas utama dalam setiap tindakan dan ucapannya.
Konsepsi kalimat La ilaaha illa Allah yang bersumber dari al-quran memberi petunjuk bahwa
manusia mempunyai kecenderungan untuk mencari Tuhan yang lain selain Allah dan hal itu
akan kelihatan dalam sikap dan praktik menjalani kehidupan.
Pembuktian Wujud Tuhan
1. Metode Pembuktian Ilmiah
Tantangan zaman modern terhadap agama terletak dalam masalah metode pembuktian. Metode
ini mengenal hakikat melalui percobaan dan pengamatan, sedang akidah agama berhubungan
dengan alam di luar indera, yang tidak mungkin dilakukan percobaan (agama didasarkan pada
analogi dan induksi). Hal inilah yang menyebabkan menurut metode ini agama batal, sebab
agama tidak mempunyai landasan ilmiah.
Sebenarnya sebagian ilmu modern juga batal, sebab juga tidak mempunyai landasan ilmiah.
Metode baru tidak mengingkari wujud sesuatu, walaupun belum diuji secara empiris. Di samping
itu metode ini juga tidak menolak analogi antara sesuatu yang tidak terlihat dengan sesuatu yang
telah diamati secara empiris. Hal ini disebut dengan “analogi ilmiah” dan dianggap sama dengan
percobaan empiris.
Suatu percobaan dipandang sebagai kenyataan ilmiah, tidak hanya karena percobaan itu dapat
diamati secara langsung. Demikian pula suatu analogi tidak dapat dianggap salah, hanya karena
dia analogi. Kemungkinan benar dan salah dari keduanya berada pada tingkat yang sama.
Percobaan dan pengamatan bukanlah metode sains yang pasti, karena ilmu pengetahuan tidak
terbatas pada persoalan yang dapat diamati dengan hanya penelitian secara empiris saja. Teori
yang disimpulkan dari pengamatan merupakan hal-hal yang tidak punya jalan untuk
mengobservasi. Orang yang mempelajari ilmu pengetahuan modern berpendapat bahwa
kebanyakan pandangan pengetahuan modern, hanya merupakan interpretasi terhadap
pengamatan dan pandangan tersebut belum dicoba secara empiris. Oleh karena itu banyak
sarjana percaya padanya hakikat yang tidak dapat diindera secara langsung. Sarjana mana pun
tidak mampu melangkah lebih jauh tanpa berpegang pada kata-kata seperti: “Gaya” (force),
“Energy”, “alam” (nature), dan “hukum alam”. Padahal tidak ada seorang sarjana pun yang
mengenal apa itu: “Gaya, energi, alam, dan hukum alam”. Sarjana tersebut tidak mampu
memberikan penjelasan terhadap kata-kata tersebut secara sempurna, sama seperti ahli teologi
yang tidak mampu memberikan penjelasan tentang sifat Tuhan. Keduanya percaya sesuai dengan
bidangnya pada sebab-sebab yang tidak diketahui.
Dengan demikian tidak berarti bahwa agama adalah “iman kepada yang ghaib” dan ilmu
pengetahuan adalah percaya kepada “pengamatan ilmiah”. Sebab, baik agama maupun ilmu
pengetahuan kedua-duanya berlandaskan pada keimanan pada yang ghaib. Hanya saja ruang
lingkup agama yang sebenarnya adalah ruang lingkup “penentuan hakikat” terakhir dan asli,
sedang ruang lingkup ilmu pengetahuan terbatas pada pembahasan ciri-ciri luar saja. Kalau ilmu
pengtahuan memasuki bidang penentuan hakikat, yang sebenarnya adalah bidang agama, berarti
ilmu pengetahuan telah menempuh jalan iman kepada yang ghaib. Oleh sebab itu harus ditempuh
bidang lain.
Para sarjana masih menganggap bahwa hipotesis yang menafsirkan pengamatan tidak kurang
nilainya dari hakikat yang diamati. Mereka tidak dapat mengatakan: Kenyataan yang diamati
adalah satu-satunya “ilmu” dan semua hal yang berada di luar kenyataan bukan ilmu, sebab tidak
dapat diamati. Sebenarnya apa yang disebut dengan iman kepada yang ghaib oleh orang
mukmin, adalah iman kepada hakikat yang tidak dapat diamati. Hal ini tidak berarti satu
kepercayaan buta, tetapi justru merupakan interpretasi yang terbaik terhadap kenyataan yang
tidak dapat diamati oleh para sarjana.
2. Keberadaan Alam Membuktikan Adanya Tuhan
Adanya alam serta organisasinya yang menakjubkan dan rahasianya yang pelik, tidak boleh tidak
memberikan penjelasan bahwa ada sesuatu kekuatan yang telah menciptakannya, suatu “Akal”
yang tidak ada batasnya. Setiap manusia normal percaya bahwa dirinya “ada” dan percaya pula
bahwa alam ini “ada”. Dengan dasar itu dan dengan kepercayaan inilah dijalani setiap bentuk
kegiatan ilmiah dan kehidupan.
Jika percaya tentang eksistensi alam, maka secara logika harus percaya tentang adanya Pencipta
Alam. Pernyataan yang mengatakan: <<Percaya adanya makhluk, tetapi menolak adanya
Khaliq>> adalah suatu pernyataan yang tidak benar. Belum pernah diketahui adanya sesuatu
yang berasal dari tidak ada tanpa diciptakan. Segala sesuatu bagaimanapun ukurannya, pasti ada
penyebabnya. Oleh karena itu bagaimana akan percaya bahwa alam semesta yang demikian
luasnya, ada dengan sendirinya tanpa pencipta?
3. Pembuktian Adanya Tuhan dengan Pendekatan Fisika
Sampai abad ke-19 pendapat yang mengatakan bahwa alam menciptakan dirinya sendiri (alam
bersifat azali) masih banyak pengikutnya. Tetapi setelah ditemukan “hukum kedua
termodinamika” (Second law of Thermodynamics), pernyataan ini telah kehilangan landasan
berpijak.
Hukum tersebut yang dikenal dengan hukum keterbatasan energi atau teori pembatasan
perubahan energi panas membuktikan bahwa adanya alam tidak mungkin bersifat azali. Hukum
tersebut menerangkan bahwa energi panas selalu berpindah dari keadaan panas beralih menjadi
tidak panas. Sedang kebalikannya tidak mungkin, yakni energi panas tidak mungkin berubah dari
keadaan yang tidak panas menjadi panas. Perubahan energi panas dikendalikan oleh
keseimbangan antara “energi yang ada” dengan “energi yang tidak ada”.
Bertitik tolak dari kenyataan bahwa proses kerja kimia dan fisika di alam terus berlangsung, serta
kehidupan tetap berjalan. Hal itu membuktikan secara pasti bahwa alam bukan bersifat azali.
Seandainya alam ini azali, maka sejak dulu alam sudah kehilangan energinya, sesuai dengan
hukum tersebut dan tidak akan ada lagi kehidupan di alam ini. Oleh karena itu pasti ada yang
menciptakan alam yaitu Tuhan.
4. Pembuktian Adanya Tuhan dengan Pendekatan Astronomi
Benda alam yang paling dekat dengan bumi adalah bulan, yang jaraknya dari bumi sekitar
240.000 mil, yang bergerak mengelilingi bumi dan menyelesaikan setiap edarannya selama dua
puluh sembilan hari sekali. Demikian pula bumi yang terletak 93.000.000.000 mil dari matahari
berputar pada porosnya dengan kecepatan seribu mil per jam dan menempuh garis edarnya
sepanjang 190.000.000 mil setiap setahun sekali. Di samping bumi terdapat gugus sembilan
planet tata surya, termasuk bumi, yang mengelilingi matahari dengan kecepatan luar biasa.
Matahari tidak berhenti pada suatu tempat tertentu, tetapi ia beredar bersama-sama dengan
planet-planet dan asteroid mengelilingi garis edarnya dengan kecepatan 600.000 mil per jam. Di
samping itu masih ada ribuan sistem selain “sistem tata surya” kita dan setiap sistem mempunyai
kumpulan atau galaxy sendiri-sendiri. Galaxy-galaxy tersebut juga beredar pada garis edarnya.
Galaxy dimana terletak sistem matahari kita, beredar pada sumbunya dan menyelesaikan
edarannya sekali dalam 200.000.000 tahun cahaya.
Logika manusia dengan memperhatikan sistem yang luar biasa dan organisasi yang teliti, akan
berkesimpulan bahwa mustahil semuanya ini terjadi dengan sendirinya, bahkan akan
menyimpulkan bahwa di balik semuanya itu ada kekuatan maha besar yang membuat dan
mengendalikan sistem yang luar biasa tersebut, kekuatan maha besar tersebut adalah Tuhan.
Metode pembuktian adanya Tuhan melalui pemahaman dan penghayatan keserasian alam
tersebut oleh Ibnu Rusyd diberi istilah “dalil ikhtira”. Di samping itu Ibnu Rusyd juga
menggunakan metode lain yaitu “dalil inayah”. Dalil ‘inayah adalah metode pembuktian adanya
Tuhan melalui pemahaman dan penghayatan manfaat alam bagi kehidupan manusia (Zakiah
Daradjat, 1996:78-80).
Pengertian Iman
Kebanyakan orang menyatakan bahwa kata iman berasal dari kata kerja amina-yu’manu-amanan
yang berarti percaya. Oleh karena itu, iman yang berarti percaya menunjuk sikap batin yang
terletak dalam hati. Akibatnya, orang yang percaya kepada Allah dan selainnya seperti yang ada
dalam rukun iman, walaupun dalam sikap kesehariannya tidak mencerminkan ketaatan dan
kepatuhan (taqwa) kepada yang telah dipercayainya, masih disebut orang yang beriman. Hal itu
disebabkan karena adanya keyakinan mereka bahwa yang tahu tentang urusan hati manusia
adalah Allah dan dengan membaca dua kalimah syahadat telah menjadi Islam.
Dalam surah al-Baqarah ayat 165 dikatakan bahwa orang yang beriman adalah orang yang amat
sangat cinta kepada Allah (asyaddu hubban lillah). Oleh karena itu beriman kepada Allah berarti
amat sangat rindu terhadap ajaran Allah, yaitu Al-Quran menurut Sunnah Rasul. Hal itu karena
apa yang dikehendaki Allah, menjadi kehendak orang yang beriman, sehingga dapat
menimbulkan tekad untuk mengorbankan segalanya dan kalau perlu mempertaruhkan nyawa.
Dalam hadits diriwayatkan Ibnu Majah Atthabrani, iman didefinisikan dengan keyakinan dalam
hati, diikrarkan dengan lisan, dan diwujudkan dengan amal perbuatan (Al-Immaanu ‘aqdun bil
qalbi waigraarun billisaani wa’amalun bil arkaan). Dengan demikian, iman merupakan kesatuan
atau keselarasan antara hati, ucapan, dan laku perbuatan, serta dapat juga dikatakan sebagai
pandangan dan sikap hidup atau gaya hidup.
Istilah iman dalam al-Qur’an selalu dirangkaikan dengan kata lain yang memberikan corak dan
warna tentang sesuatu yang diimani, seperti dalam surat an-Nisa’:51 yang dikaitkan dengan jibti
(kebatinan/idealisme) dan thaghut (realita/naturalisme). Sedangkan dalam surat al-Ankabut: 52
dikaitkan dengan kata bathil, yaitu walladziina aamanuu bil baathili. Bhatil berarti tidak benar
menurut Allah. Dalam surat lain iman dirangkaikan dengan kata kaafir atau dengan kata Allah.
Sementara dalam al-Baqarah: 4, iman dirangkaikan dengan kata ajaran yang diturunkan Allah
(yu’minuuna bimaa unzila ilaika wamaa unzila min qablika).
Kata iman yang tidak dirangkaikan dengan kata lain dalam al-Qur’an, mengandung arti positif.
Dengan demikian, kata iman yang tidak dikaitkan dengan kata Allah atau dengan ajarannya,
dikatakan sebagai iman haq. Sedangkan yang dikaitkan dengan selainnya, disebut iman bathil.
Wujud Iman
Akidah Islam dalam al-Qur’an disebut iman. Iman bukan hanya berarti percaya, melainkan
keyakinan yang mendorong seorang muslim untuk berbuat. Oleh karena itu lapangan iman
sangat luas, bahkan mencakup segala sesuatu yang dilakukan seorang muslim yang disebut amal
saleh.
Seseorang dinyatakan iman bukan hanya percaya terhadap sesuatu, melainkan kepercayaan itu
mendorongnya untuk mengucapkan dan melakukan sesuatu sesuai dengan keyakinan. Karena itu
iman bukan hanya dipercayai atau diucapkan, melainkan menyatu secara utuh dalam diri
seseorang yang dibuktikan dalam perbuatannya.
Akidah Islam adalah bagian yang paling pokok dalam agama Islam. Ia merupakan keyakinan
yang menjadi dasar dari segala sesuatu tindakan atau amal. Seseorang dipandang sebagai muslim
atau bukan muslim tergantung pada akidahnya. Apabila ia berakidah Islam, maka segala sesuatu
yang dilakukannya akan bernilai sebagai amaliah seorang muslim atau amal saleh. Apabila tidak
beraqidah, maka segala amalnya tidak memiliki arti apa-apa, kendatipun perbuatan yang
dilakukan bernilai dalam pendengaran manusia.
Akidah Islam atau iman mengikat seorang muslim, sehingga ia terikat dengan segala aturan
hukum yang datang dari Islam. Oleh karena itu menjadi seorang muslim berarti meyakini dan
melaksanakan segala sesuatu yang diatur dalam ajaran Islam. Seluruh hidupnya didasarkan pada
ajaran Islam.
Proses Terbentuknya Iman
Spermatozoa dan ovum yang diproduksi dan dipertemukan atas dasar ketentuan yang digariskan
ajaran Allah, merupakan benih yang baik. Allah menginginkan agar makanan yang dimakan
berasal dari rezeki yang halalanthayyiban. Pandangan dan sikap hidup seorang ibu yang sedang
hamil mempengaruhi psikis yang dikandungnya. Ibu yang mengandung tidak lepas dari pengaruh
suami, maka secara tidak langsung pandangan dan sikap hidup suami juga berpengaruh secara
psikologis terhadap bayi yang sedang dikandung. Oleh karena jika seseorang menginginkan
anaknya kelak menjadi mukmin yang muttaqin, maka isteri hendaknya berpandangan dan
bersikap sesuai dengan yang dikehendaki Allah.
Benih iman yang dibawa sejak dalam kandungan memerlukan pemupukan yang
berkesinambungan. Benih yang unggul apabila tidak disertai pemeliharaan yang intensif, besar
kemungkinan menjadi punah. Demikian pula halnya dengan benih iman. Berbagai pengaruh
terhadap seseorang akan mengarahkan iman/kepribadian seseorang, baik yang datang dari
lingkungan keluarga, masyarakat, pendidikan, maupun lingkungan termasuk benda-benda mati
seperti cuaca, tanah, air, dan lingkungan flora serta fauna.
Pengaruh pendidikan keluarga secara langsung maupun tidak langsung, baik yang disengaja
maupun tidak disengaja amat berpengaruh terhadap iman seseorang. Tingkah laku orang tua
dalam rumah tangga senantiasa merupakan contoh dan teladan bagi anak-anak. Tingkah laku
yang baik maupun yang buruk akan ditiru anak-anaknya. Jangan diharapkan anak berperilaku
baik, apabila orang tuanya selalu melakukan perbuatan yang tercela. Dalam hal ini Nabi SAW
bersabda, “Setiap anak, lahir membawa fitrah. Orang tuanya yang berperan menjadikan anak
tersebut menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi”.
Pada dasarnya, proses pembentukan iman juga demikian. Diawali dengan proses perkenalan,
kemudian meningkat menjadi senang atau benci. Mengenal ajaran Allah adalah langkah awal
dalam mencapai iman kepada Allah. Jika seseorang tidak mengenal ajaran Allah, maka orang
tersebut tidak mungkin beriman kepada Allah.
Seseorang yang menghendaki anaknya menjadi mukmin kepada Allah, maka ajaran Allah harus
diperkenalkan sedini mungkin sesuai dengan kemampuan anak itu dari tingkat verbal sampai
tingkat pemahaman. Bagaimana seorang anak menjadi mukmin, jika kepada mereka tidak
diperkenalkan al-Qur’an.
Di samping proses pengenalan, proses pembiasaan juga perlu diperhatikan, karena tanpa
pembiasaan, seseorang bisa saja semula benci berubah menjadi senang. Seorang anak harus
dibiasakan untuk melaksanakan apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi hal-hal yang
dilarang-Nya, agar kelak setelah dewasa menjadi senang dan terampil dalam melaksanakan
ajaran-ajaran Allah.
Berbuat sesuatu secara fisik adalah satu bentuk tingkah laku yang mudah dilihat dan diukur.
Tetapi tingkah laku tidak terdiri atas perbuatan yang tampak saja. Di dalamnya tercakup juga
sikap-sikap mental yang tidak selalu mudah ditanggapi kecuali secara fisik langsung (misalnya,
melalui ucapan atau perbuatan yang diduga dapat menggambarkan sikap mental tersebut),
bahkan secara tidak langsung itu adakalanya cukup sulit menarik kesimpulan yang teliti. Di
dalam tulisan ini dipergunakan istilah tingkah laku dalam arti luas dan dikaitkan dengan nilainilai hidup, yakni seperangkat nilai yang diterima oleh manusia sebagai nilai yang penting dalam
kehidupan, yaitu iman. Yang dituju adalah tingkah laku yang merupakan perwujudan nilai-nilai
hidup tertentu, yang disebut tingkah laku terpola.
Dalam keadaan tertentu, sifat, arah, dan intensitas tingkah laku dapat dipengaruhi melalui
campur tangan secara langsung, yakni dalam bentuk intervensi terhadap interaksi yang terjadi.
Dalam hal ini dijelaskan beberap prinsip dengan mengemukakan implikasi metodologinya, yaitu:
1. Prinsip pembinaan berkesinambungan
Proses pembentukan iman adalah suatu proses yang penting, terus menerus, dan tidak
berkesudahan. Belajar adalah suatu proses yang memungkinkan orang semakin lama semakin
mampu bersikap selektif. Implikasinya ialah diperlukan motivasi sejak kecil dan berlangsung
seumur hidup. Oleh karena itu penting mengarahkan proses motivasi agar membuat tingkah laku
lebih terarah dan selektif menghadapi nilai-nilai hidup yang patut diterima atau yang seharusnya
ditolak.
2. Prinsip internalisasi dan individuasi
Suatu nilai hidup antara lain iman dapat lebih mantap terjelma dalam bentuk tingkah laku
tertentu, apabila anak didik diberi kesempatan untuk menghayatinya melalui suatu peristiwa
internalisasi (yakni usaha menerima nilai sebagai bagian dari sikap mentalnya) dan individuasi
(yakni menempatkan nilai serasi dengan sifat kepribadiannya). Melalui pengalaman penghayatan
pribadi, ia bergerak menuju satu penjelmaan dan perwujudan nilai dalam diri manusia secara
lebih wajar dan “amaliah”, dibandingkan bilamana nilai itu langsung diperkenalkan dalam
bentuk “utuh”, yakni bilamana nilai tersebut langsung ditanamkan kepada anak didik sebagai
suatu produk akhir semata-mata. Prinsip ini menekankan pentingnya mempelajari iman sebagai
proses (internalisasi dan individuasi). Implikasi metodologinya ialah bahwa pendekatan untuk
membentuk tingkah laku yang mewujudkan nilai-nilai iman tidak dapat hanya mengutamakan
nilai-nilai itu dalam bentuk jadi, tetapi juga harus mementingkan proses dan cara pengenalan
nilai hidup tersebut. Dari sudut anak didik, hal ini bahwa seyogianya anak didik mendapat
kesempatan sebaik-baiknya mengalami proses tersebut sebagai peristiwa pengalaman pribadi,
agar melalui pengalaman-pengalaman itu terjadi kristalisasi nilai iman.
3. Prinsip sosialisasi
Pada umumnya nilai-nilai hidup bru benar-benar mempunyai arti apabila telah memperoleh
dimensi sosial. Oleh karena itu suatu bentuk tingkah laku terpola baru teruji secara tuntas
bilamana sudah diterima secara sosial. Implikasi metodologinya ialah bahwa usaha pembentukan
tingkah laku mewujudkan nilai iman hendaknya tidak diukur keberhasilannya terbatas pada
tingkat individual (yaitu hanya dengan memperhatikan kemampuan seseorang dalam
kedudukannya sebagai individu), tetapi perlu mengutamakan penilaian dalam kaitan kehidupan
interaksi sosial (proses sosialisasi) orang tersebut. Pada tingkat akhir harus terjadi proses
sosialisasi tingkah laku, sebagai kelengkapan proses individuasi, karena nilai iman yang
diwujudkan ke dalam tingkah laku selalu mempunyai dimensi sosial.
4. Prinsip konsistensi dan koherensi
Nilai iman lebih mudah tumbuh terakselerasi, apabila sejak semula ditangani secara konsisten,
yaitu secara tetap dan konsekuen, serta secara koheren, yaitu tanpa mengandung pertentangan
antara nilai yang satu dengan nilai lainnya. Implikasi metodologinya adalah bahwa usaha yang
dikembangkan untuk mempercepat tumbuhnya tingkah laku yang mewujudkan nilai iman
hendaknya selalu konsisten dan koheren. Alasannya, caranya dan konsekuensinya dapat dihayati
dalam sifat dan bentuk yang jelas dan terpola serta tidak berubah-ubah tanpa arah. Pendekatan
demikian berarti bahwa setiap langkah yang terdahulu akan mendukung serta memperkuat
langkah-langkah berikutnya. Apabila pendekatan yang konsisten dan koheren sudah tampat,
maka dapat diharapkan bahwa proses pembentukan tingkah laku dapat berlangsung lebih lancar
dan lebih cepat, karena kerangka pola tingkah laku sudah tercipta.
5. Prinsip integrasi
Hakikat kehidupan sebagai totalitas, senantiasa menghadapkan setiap orang pada problematika
kehidupan yang menuntut pendekatan yang luas dan menyeluruh. Jarang sekali fenomena
kehidupan yang berdiri sendiri. Begitu pula dengan setiap bentuk nilai hidup yang berdimensi
sosial. Oleh karena itu tingkah laku yang dihubungkan dengan nilai iman tidak dapat dibentuk
terpisah-pisah. Makin integral pendekatan seseorang terhadap kehidupan, makin fungsional pula
hubungan setiap bentuk tingkah laku yang berhubungan dengan nilai iman yang dipelajari.
Implikasi metodologinya ialah agar nilai iman hendaknya dapat dipelajari seseorang tidak
sebagai ilmu dan keterampilan tingkah laku yang terpisah-pisah, tetapi melalui pendekatan yang
integratif, dalam kaitan problematik kehidupan yang nyata.
Tanda-tanda Orang Beriman
Al-Qur’an menjelaskan tanda-tanda orang yang beriman sebagai berikut:
1. Jika disebut nama Allah, maka hatinya bergetar dan berusaha agar ilmu Allah tidak lepas
dari syaraf memorinya, serta jika dibacakan ayat al-Qur’an, maka bergejolak hatinya
untuk segera melaksanakannya (al-Anfal: 2). Dia akan memahami ayat yang tidak dia
pahami.
2. Senantiasa tawakal, yaitu bekerja keras berdasarkan kerangka ilmu Allah, diiringi dengan
doa, yaitu harapan untuk tetap hidup dengan ajaran Allah menurut Sunnah Rasul (Ali
Imran: 120, al-Maidah: 12, al-Anfal: 2, at-Taubah: 52, Ibrahim: 11, Mujadalah: 10, dan
at-Taghabun:13).
3. Tertib dalam melaksanakan shalat dan selalu menjaga pelaksanaannya (al-Anfal: 3 dan
al-Mu’minun: 2, 7). Bagaimanapun sibuknya, kalau sudah masuk waktu shalat, dia segera
shalat untuk membina kualitas imannya.
4. Menafkahkan rezki yang diterimanya (al-Anfal: 3 dan al-Mukminun:4). Hal ini dilakukan
sebagai suatu kesadaran bahwa harta yang dinafkahkan di jalan Allah merupakan upaya
pemerataan ekonomi, agar tidak terjadi ketimpangan antara yang kaya dengan yang
miskin.
5. Menghindari perkataan yang tidak bermanfaat dan menjaga kehormatan (al-Mukminun:
3,5). Perkataan yang bermanfaat atau yang baik adalah yang berstandar ilmu Allah, yaitu
al-Qur’an menurut Sunnah Rasulullah.
6. Memelihara amanah dan menepati janji (al-Mukminun: 6). Seorang mu’min tidak akan
berkhianat dan dia akan selalu memegang amanah dan menepati janji.
7. Berjihad di jalan Allah dan suka menolong (al-Anfal:74). Berjihad di jalan Allah adalah
bersungguh-sungguh dalam menegakkan ajaran Allah, baik dengan harta benda yang
dimiliki maupun dengan nyawa.
8. Tidak meninggalkan pertemuan sebelum meminta izin (an-Nur: 62). Sikap seperti itu
merupakan salah satu sikap hidup seorang mukmin, orang yang berpandangan dengan
ajaran Allah menurut Sunnah Rasul.
Akidah Islam sebagai keyakinan membentuk perilaku bahkan mempengaruhi kehidupan seorang
muslim. Abu A’la Maudadi menyebutkan tanda orang beriman sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Menjauhkan diri dari pandangan yang sempit dan picik.
Mempunyai kepercayaan terhadap diri sendiri dan tahu harga diri
Mempunyai sifat rendah hati dan khidmat
Senantiasa jujur dan adil
Tidak bersifat murung dan putus asa dalam menghadapi setiap persoalan dan situasi
Mempunyai pendirian teguh, kesabaran, ketabahan, dan optimisme.
Mempunyai sifat ksatria, semangat dan berani, tidak gentar menghadapi resiko, bahkan
tidak takut kepada maut.
8. Mempunyai sikap hidup damai dan ridha.
9. Patuh, taat, dan disiplin menjalankan peraturan Ilahi.
Korelasi Keimanan dan Ketakwaan
Keimanan pada keesaan Allah yang dikenal dengan istilah tauhid dibagi menjadi dua, yaitu
tauhid teoritis dan tauhid praktis. Tauhid teoritis adalah tauhid yang membahas tentang keesaan
Zat, keesaan Sifat, dan keesaaan Perbuatan Tuhan. Pembahasan keesaan Zat, Sifat, dan
Perbuatan Tuhan berkaitan dengan kepercayaan, pengetahuan, persepsi, dan pemikiran atau
konsep tentang Tuhan. Konsekuensi logis tauhid teoritis adalah pengakuan yang ikhlas bahwa
Allah adalah satu-satunya Wujud Mutlak, yang menjadi sumber semua wujud.
Adapun tauhid praktis yang disebut juga tauhid ibadah, berhubungan dengan amal ibadah
manusia. Tauhid praktis merupakan terapan dari tauhid teoritis. Kalimat Laa ilaaha illallah
(Tidak ada Tuhan selain Allah) lebih menekankan pengertian tauhid praktis (tauhid ibadah).
Tauhid ibadah adalah ketaatan hanya kepada Allah. Dengan kata lain, tidak ada yang disembah
selain Allah, atau yang berhak disembah hanyalah Allah semata dan menjadikan-Nya tempat
tumpuan hati dan tujuan segala gerak dan langkah.
Selama ini pemahaman tentang tauhid hanyalah dalam pengertian beriman kepada Allah, Tuhan
Yang Maha Esa. Mempercayai saja keesaan Zat, Sifat, dan Perbuatan Tuhan, tanpa
mengucapkan dengan lisan serta tanpa mengamalkan dengan perbuatan, tidak dapat dikatakan
seorang yang sudah bertauhid secara sempurna. Dalam pandangan Islam, yang dimaksud dengan
tauhid yang sempurna adalah tauhid yang tercermin dalam ibadah dan dalam perbuatan praktis
kehidupan manusia sehari-hari. Dengan kata lain, harus ada kesatuan dan keharmonisan tauhid
teoritis dan tauhid praktis dalam diri dan dalam kehidupan sehari-hari secara murni dan
konsekuen.
Dalam menegakkan tauhid, seseorang harus menyatukan iman dan amal, konsep dan
pelaksanaan, fikiran dan perbuatan, serta teks dan konteks. Dengan demikian bertauhid adalah
mengesakan Tuhan dalam pengertian yakin dan percaya kepada Allah melalui pikiran,
membenarkan dalam hati, mengucapkan dengan lisan, dan mengamalkan dengan perbuatan.
Oleh karena itu seseorang baru dinyatakan beriman dan bertakwa, apabila sudah mengucapkan
kalimat tauhid dalam syahadat asyhadu allaa ilaaha illa Alah, (Aku bersaksi bahwa tidak ada
Tuhan selain Allah), kemudian diikuti dengan mengamalkan semua perintah Allah dan
meninggalkan segala larangan-Nya.
Problematika, Tantangan, dan Resiko dalam Kehidupan Modern
Di antara problematika dalam kehidupan modern adalah masalah sosial-budaya yang sudah
established, sehingga sulit sekali memperbaikinya.
Berbicara tentang masalah sosial budaya berarti berbicara tentang masalah alam pikiran dan
realitas hidup masyarakat. Alam pikiran bangsa Indonesia adalah majemuk (pluralistik),
sehingga pergaulan hidupnya selalu dipenuhi oleh konflik baik sesama orang Islam maupun
orang Islam dengan non-Islam.
Pada millenium ketiga, bangsa Indonesia dideskripsikan sebagai masyarakat yang antara satu
dengan lainnya saling bermusuhan. Hal itu digambarkan oleh Ali Imran: 103, sebagai kehidupan
yang terlibat dalam wujud saling bermusuhan (idz kuntum a’daa’an), yaitu suatu wujud
kehidupan yang berada pada ancaman kehancuran.
Adopsi modernisme (werternisme), kendatipun tidak secara total, yang dilakukan bangsa
Indonesia selama ini, telah menempatkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang semi naturalis.
Di sisi lain, diadopsinya idealisme juga telah menjadikan bangsa Indonesia menjadi pengkhayal.
Adanya tarik menarik antara kekuatan idealisme dan naturalisme menjadikan bangsa Indonesia
bersikap tidak menentu. Oleh karena itu, kehidupannya selalu terombang-ambing oleh isme-isme
tersebut.
Secara ekonomi bangsa Indonesia semakin tambah terpuruk. Hal ini karena diadopsinya sistem
kapitalisme dan melahirkan korupsi besar-besaran. Sedangkan di bidang politik, selalu muncul
konflik di antara partai dan semakin jauhnya anggota parlemen dengan nilai-nilai qur’ani, karena
pragmatis dan oportunis.
Di bidang sosial banyak muncul masalah. Berbagai tindakan kriminal sering terjadi dan
pelanggaran terhadap norma-norma bisa dilakukan oleh anggota masyarakat. Lebih
memprihatinkan lagi adalah tindakan penyalahgunaan NARKOBA oleh anak-anak sekolah,
mahasiswa, serta masyarakat. Di samping itu masih terdapat bermacam-macam masalah yang
dihadapi bangsa Indonesia dalam kehidupan modern.
Persoalan itu muncul, karena wawasan ilmunya salah, sedang ilmu merupakan roh yang
menggerakkan dan mewarnai budaya. Hal itu menjadi tantangan yang amat berat dan dapat
menimbulkan tekanan kejiwaan, karena kalau masuk dalam kehidupan seperti itu, maka akan
melahirkan risiko yang besar.
Untuk membebaskan bangsa Indonesia dari berbagai persoalan di atas, perlu diadakan revolusi
pandangan. Dalam kaitan ini, iman dan taqwa yang dapat berperan menyelesaikan problema dan
tantangan kehidupan modern tersebut.
Peran Iman dan Takwa dalam Menjawa Problema dan Tantangan Kehidupan Modern
Pengaruh iman terhadap kehidupan manusia sangat besar. Berikut ini dikemukakan beberapa
pokok manfaat dan pengaruh iman pada kehidupan manusia.
1. Iman melenyapkan kepercayaan pada kekuasaan benda
Orang yang beriman hanya percaya pada kekuatan dan kekuasaan Allah. Kalau Allah hendak
memberikan pertolongan, maka tidak ada satu kekuatanpun yang dapat mencegahnya.
Sebaliknya, jika Allah hendak menimpakan bencana, maka tidak ada satu kekuatanpun yang
sanggup menahan dan mencegahnya. Kepercayaan dan keyakinan demikian menghilangkan sifat
mendewa-dewakan manusia yang kebetulan sedang memegang kekuasaan, menghilangkan
kepercayaan pada kesaktian benda-benda kramat, mengikis kepercayaan pada khurat, takhyul,
jampi-jampi dan sebagainya. Pegangan orang yang beriman adalah firman Allah surat alFatihah ayat 1-7 .
2. Iman menanamkan semangat berani menghadapi maut
Takut menghadapi maut menyebabkan manusia menjadi pengecut. Banyak di antara manusia
yang tidak berani mengemukakan kebenaran, karena takut menghadapi resiko. Orang yang
beriman yakin sepenuhnya bahwa kematian di tangan Allah. Pegangan orang beriman mengenai
soal hidup dan mati adalah firman Allah dalam QS 4 (al-Nisa’):78:
“Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu kendatipun kamu di dalam
benteng yang tinggi lagi kokoh“
3. Iman menanamkan sikap “self help” dalam kehidupan .
Rezeki atau mata pencaharian memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Banyak
orang yang melepaskan pendiriannya, karena kepentingan penghidupannya. Kadang-kadang
manusia tidak segan-segan melepaskan prinsip, menjual kehormatan, bermuka dua, menjilat, dan
memperbudak diri, karena kepentingan materi. Pegangan orang beriman dalam hal ini ialah
firman Allah dalam QS 11 (Hud):6:
“Dan tidak ada satu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya,
dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis
dalam kitab yang nyata. (lauh mahfud)“.
4. Iman memberikan katentraman jiwa
Download