BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Walaupun sejarah belum bisa memastikan film pertama apa yang sudah dibuat di Indonesia, tetapi yang jelas bioskop telah hadir terlebih dahulu pada tahun 19001. Begitulah film kemudian masuk di Indonesia seiring dengan perkembangan bioskop di tanah air. Film tidak bisa berdiri sendiri sebagai film itu sendiri, akan ada banyak hal yang membuat film itu bisa menjadi perfilman. Akan ada pengusaha film, akan ada insan film, dan akan ada penonton film. Sebagai sebuah negara yang telah memutuskan sebagai negara demokrasi, maka Indonesia wajib mengakui adanya HAM. Bukan hanya mengakui adanya HAM tetapi juga memberi kepastian dan perlindungan akan HAM. Menurut UUD tahun 1945 yang telah diamandemen pada BAB XA, tercantum mengenai HAM, salah satu isinya yaitu pada pasal 28F yang berbunyi: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memimiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia” pasal ini awal mula dari dibentuknya regulasi media, salah satunya yaitu mengenai regulasi perfilman di Indonesia. 1 Pertunjukan film yang pertama kali di Indonesia yaitu pada tanggal 5 Desember 1900, di Batavia. Belum diketahui secara pasti film apa yang pertama kali diputar di bioskop Indonesia saat itu dan bagaimana bentuknya. (Iskandar, 1987. hal. 9-12). 1 Regulasi atau kebijakan perfilman di Indonesia sudah ada sejak jaman kolonial Belanda. Sejak pertama kali bioskop pada tahun 1900 hadir di Batavia kemudian bermunculan film-film produksi Belanda dan Cina yang marak diputar di bioskop-bioskop membuat pemerintah Belanda saat itu membuat sebuah ordonansi tentang perfilman2. Bioskop, sejalan dengan perkembangan tonil, makin menancapkan jejaknya dan membawa pengaruh dalam kehidupan masyarakat Hindia Belanda. Peraturan yang dibuat dan diterapkan secara longgar oleh pemerintah kolonial, mengakibatkan banyak orang yang menganggap bioskop telah membawa pengaruh buruk bagi rakyat pribumi, termasuk mengubah pandangan inlanders terhadap tuan-tuan kulit putih yang berkuasa. Menyadari pengaruh buruk film dan bioskop, terutama yang dalam kacamata pemerintah kolonial menyerang kewibawaan mereka secara psikologis, Ordonansi 1916 pun berkali-kali mengalami pembaharuan sebagaimana yang tertera dalam Lembaran Negara 1919 No. 337, 1919 No. 688, dan 1922 No. 742. Namun, pembaharuan tersebut tetap belum mencantumkan dengan rinci batasan bagi film yang diizinkan atau ditolak. Baru pada Ordonansi Film 1925 (Film Ordonnantie 1925, Staadblad No. 477), yang diberlakukan 1 Januari 1926, dilakukan pembaharuan seputar masalah Komisi Film dengan meningkatkan sifatnya yang regional menjadi sentral bagi seluruh Hindia Belanda (lsf.go.id). 2 Seiring dengan semakin berkembangnya usaha bioskop, pemerintah kolonial Belada telah mengeluarkan ordonansi pada tahun 1916 yang mengatur tentang film dan cara penyelenggaraan usaha bioskop. Menyadari pengaruh buruk film dan bisokop, terutama yang dalam kacamata pemerintah kolonial menyerang kewibawaan mereka secara psikologis, Ordonansi 1916 pun berkali-kali mengalami perubahan. (lsf.go.id). 2 Melihat dari sejarahnya, setidaknya ada dua alasan ordonansi itu dibuat (1) ordonansi dibuat karena harus ada yang mengatur usaha bioskop, yang pada saat itu usaha bioskop adalah usaha yang sangat menguntungkan, dan (2) ordonansi dibuat karena ada dampak negatif yang dirasakan oleh pemerintah Belanda terutama pada pandangan pribumi terhadap orang-orang Belanda. Kemudian saat kejatuhan pemerintah Hindia Belanda di Indonesia, regulasi perfilman menjadi bergeser karena kemudian film diatur agar masyarakat Indonesia tidak terpengaruh pada propaganda pemerintah kolonial. Salah satu perhatiannya yaitu pada pembentukan Lembaga Sensor Film sebagai regulator perfilman yang menyatakan sebuah film layak untuk ditayangkan atau tidak dan tugas pokoknya adalah memberikan perlindungan terhadap penonton film. Tetapi Sensor Film hanyalah satu pasal dari sekian banyak pasal yang ada di dalam UU Perfilman. Lantas bagaimana dengan pasal yang lain? Regulasi perfilman termasuk dalam kebijakan publik. Kebijakan publik dibuat karena adanya keterlibatan masyarakat secara langsung, dalam sebuah sistem yang mengharuskan adanya aturan yang jelas mengenai: hak, kewajiban, dan larangan. Karena dampak yang timbul akan langsung dirasakan oleh masyarakat, oleh karena itu masyarakat harus aktif dalam sebuah proses kebijakan. Dalam sebuah Negara yang berlandaskan hukum, hak-hak asasi manusia diakui dan dilindungi, oleh karena itu dibuat peraturan-peraturan yang diupayakan agar dapat melindungi hak-hak warga negaranya. Berbagai bidang kehidupan dalam kehidupan bernegara ini diatur dalam peraturan perundang- 3 undangan. Begitu juga bidang perfilman yang mempunyai pengaturan sendiri (self regulation). Mengenai perlindungan terhadap penonton film, setidaknya mengacu pada UU Perfilman No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman, pada konsideran menimbang huruf b yang berbunyi: “ bahwa film sebagai media komunikasi massa merupakan sarana pencerdasan kehidupan bangsa, pengembangan potensi diri, pembinaan akhlak mulia, pemajuan kesejahteraan masyarakat, serta wahana promosi Indonesia di dunia internasional, sehingga film dan perfliman Indonesia perlu dikembangkann dan dilindungi”. Menggaris bawahi pada kata film dan perfilman Indonesia perlu dilindungi, itu artinya bahwa semua yang berhubungan dengan perfilman perlu dilindungi termasuk dalam perfilman adalah penonton film. Ditambah lagi dengan sebuah prinsip pembentukan perundang-undangan bahwa undang-undang itu dibuat untuk melindungi warganya karena adanya sebuah kepentingan dimana manusia sebagai individu mempunyai hak asasi salah satunya yaitu hak sebagai konsumen. Penonton film ada dalam posisi yang lemah jika dia sendiri tidak dijamin oleh undang-undang. Mengapa posisinya lemah? Karena sejauh apapun penonton film mengeluh akan kerugian yang dia dapat saat menonton sebuah film, atau dalam proses dia mencari sebuah informasi, jika belum ada undang-undang yang memuat sebuah aturan tentang bagaimana mereka itu dilindungi dari hak-haknya tersebut maka upayanya hanya akan menjadi upaya yang sia-sia. Apa dampaknya saat regulasi longgar? Sejarah perfilman mencatat bahwa saat regulasi perfilman longgar banyak kemudian film yang menayangkan pornografi, tidak penting lagi 4 sebuah cerita yang berkualitas, yang penting untung banyak. Film-film porno pun lahir, hal ini ditujukan untuk mendongkrak produksi film dalam negeri, salah satunya diloloskan adegan ciuman dan adegan seks oleh badan sensor film. Hal ini terjadi pada tahun 1970, saat sensor dilonggarkan untuk menumbuhkan kembali perfilman nasional. Selain dengan melonggarkan sensor film salah satu hal yang dilakukan untuk mendongkrak perfilman nasional yaitu dengan menekan jumlah film impor3. Pembuatan kebijakan/regulasi adalah seutuhnya wewenang dari pemerintah, artinya pemerintahlah yang berwenang penuh dalam proses sampai pada pengesahan sebuah kebijakan/regulasi. Namun dalam membuat kebijakan/regulasi ada dua sumber yang dijadikan patokan (Abrar, 2008. hal. 77), pertama, struktural/legal-formal. Menurut perspektif ini secara struktural/legal-formal, segala jenis kebijakan yang ada di Indonesia berasal dari UUD 1945, sebagai landasan hukum tertinggi di negeri ini. Kedua, secara sosio-kultural, menurut perspektif ini, kebijakan muncul sebagai akibat kebutuhan masyarakat di daerah tertentu untuk mengatur hak dan kewajiban antar individu atau kelompok. Tidak heran bila ia kemudian memunculkan apa yang disebut sebagai nilai-nilai moral atau etika. 3 Di awal 70’ an mulai terjadi pergeseran tema film yang sebenarnya merupakan dampak dari longgarnya sensor terhadap film lokal. Judul-judul film nasional lebih banyak dibuat sedemikan rupa hingga terkesan “mengundang”. Tema-tema komedi, seks, seks horor dan musik (dangdut) mendominasi produksi film di tahun-tahun tersebut. (Modul Hukum dan Etika Penyiaran, Pokok Bahasan UU Perfilman, Putra, Afdal Makkuraga, Fakulats Ilmu Komunikasi, Universitas Mercubuana) 5 Berbicara mengenai perfilman, tidak hanya bisa dilihat dari film itu sendiri. Bukan hanya sekedar konten film tersebut, atau orang yang berada di balik layar film tersebut, dan/atau pengusaha film, tetapi perfilman juga harus dilihat dari penontonnya. Film tidak akan mejadi apa-apa tanpa adanya penonton film. Dilihat dari proses sebuah komunikasi, tanpa adanya komunikan/khalayak pesan yang disampaikan menjadi tidak berarti. Membaca dari beberapa buku tentang perflman di Indonesia, ternyata masih sangat sedikit yang mengupas tentang penonton film. Kurnia, dkk. (2004) menuliskan bagaimana penonton dilindungi, yaitu dengan adanya lembaga sensor film sebagai regulator dalam regulasi perfilman. Tetapi kemudian sensor film ini malah ditengarai sebagai pengekang kebebasan berekspresi insan perfilman. Penonton film bukan hanya sekedar target pasar yang bisa dilihat dari jumlah, tetapi penonton film adalah manusia yang mempunyai hak-hak yang secara universal dilindungi. Bagaimanapun juga film sebagai media dalam kegiatan komunikasi perlu dilihat secara kontekstual dari realitas masyarakat yang menjadi ruangnya. Masyarakat yang hidup dengan berbagai aturan, norma dan budaya. Aturan tersebut salah satunya yaitu mengenai aturan perfilman yang diwujudkan dalam undang-undang. Penelitian ini akan mencoba melihat perlindungan yang didapat oleh penonton film, bukan hanya melihat dari satu bab mengenai LSF tetapi keseluruhan pasal dari UU Perfilman yang saat ini berlaku. Mari kita lihat seberapa jauh UU Perfilman membahas mengenai perlindungan penonton film dan seberapa jauh undang-undang ini absen dalam perlindungan penonton film. 6 B. Rumusan Masalah Berawal dari permasalahan tersebut di atas, rumusan masalah yang ingin dijawab dalam penelitian adalah: “Bagaimana perlindungan terhadap penonton film yang tertuang dalam UU No. 33 Tahun 2009 Tentang Perfilman?” C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui perlindungan apa saja yang didapat oleh penonton film dalam UU Perfilman. 2. Memberi masukan berupa saran yang diberikan berdasar dari hasil penelitian ini kepada pembuat kebijakan mengenai pasal-pasal yang belum sesuai pada UU Perfilman dan kemungkinan perbaikan pada pasal-pasal yang bermasalah yang berkaitan dengan perlindungan penonton film. D. Manfaat Penelitian 1. Dapat menambah pengetahuan mengenai UU Perfilman sehingga pembaca tahu isinya dan mengetahui jaminan yang didapat yang ada dalam UU tersebut. 2. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi peneliti-peneliti lain yang akan meneliti UU Perfilman. 3. Penelitian ini diharapkan sebagai sumber informasi mengenai perfilman bagi pengambil keputusan, pengusaha dan insan film. 7 E. Tinjauan Pustaka Penelitian yang terkait dengan UU Perfilman diantaranya yaitu penelitian yang dilakukan oleh lembaga PR2Media (Pemantau Regulasi dan Regulator Media). Penelitian yang dilakukan PR2Media berusaha menjelaskan perbedaan antara UU No. 33 Tahun 2009 Tentang Perfilman dengan undang-undang perfilman terdahulu yaitu UU No. 8 Tahun 1992. PR2Media menemukan adanya otoritarianisme Lembaga Sensor Film (LSF) dan tidak adanya perlindungan terhadap pekerja film pada UU No. 33 Tahun 2009 Tentang Perfilman. Penelitian yang lain datang dari Laila Mahariani, dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang meneliti Lembaga Sensor Film (2010). Salah satu hasil dari penelitian Mahariani, dia menjelaskan bahwa Lembaga Sensor Film mempunyai peranan sebagai pelindung masyarakat dari dampak negatif yang ditimbulkan oleh film. Penelitian dari PR2Media jelas berlainan dengan penelitian yang dilakukan oleh Mahariani. Terdapat perbedaan pandangan mengenai Lembaga Sensor Film dalam upaya-upayanya memberikan perlindungan akan dampak negatif film. Penelitian ini jelas akan berbeda dengan dua penelitian terdahulu tersebut. Merujuk pada penelitian yang dilakukan oleh Mahariani dan PR2Media, penelitian ini tidak hanya akan melihat LSF sebagai penyensor film yang melindungi penonton dari dampak negatif film atau LSF yang hanya mengekang kebebasan berkekspresi pembuat film, tetapi lebih kepada isi keseluruhan UU Perfilman dilihat dari hak-hak yang dimiliki oleh penonton film. Posisi penelitian 8 ini dari dua peneliti terdahulu yang menjadi rujukan peneliti adalah penelitian ini berusaha menjelaskan perlindungan penonton film seperti yang diteliti oleh Mahariani tetapi tidak sebatas pada peran LSF yang hanya ada dalam satu pasal, tetapi peneliti mencoba membedah pasal-pasal yang lain yang berkaitan dengan perlindungan penonton film. Bisa dikatakan bahwa penelitian ini menindaklanjuti penelitian yang dilakukan oleh Mahariani. Sedangkan terhadap penelitian yang dilakukan oleh PR2Media peneliti ingin memberikan kritik bahwa UU Perfilman tidak hanya melindungi insan/pekerja perfilman saja tetapi juga berperan memberikan perlindungan terhadap penonton film. F. Kerangka Pemikiran F1. Perlindungan Penonton Film a. Perlindungan Konsumen Sebelum membahas perlindungan penonton film, perlu diketahui dulu makna dari perlindungan itu sendiri. Perlindungan yang dimaksud dalam penelitian ini akan sangat berhubungan dengan istilah hukum karena penelitian ini akan membahas mengenai undang-undang. Perlindungan dalam istilah hukum berarti memberikan jaminan hukum. Menjadi kewajiban negara untuk memberikan perlindungan kepada warga negaranya dan menjadi hak warga negara untuk mendapatkan perlindungan tersebut. Perlindungan yang diberikan oleh negara disebut sebagai bentuk dari perlindungan hukum. Ada beberapa pengertian tentang perlindungan hukum: 1. Perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut diberikan 9 kepada masyarakat agar mereka dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum (Rahajo, 1993). 2. Perlindungan hukum adalah perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subjek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan (Hadjon, 1987). 3. Perlindungan hukum adalah berbagai upaya hukum yang harus diberikan oleh aparat penegak hukum, untuk memberikan rasa aman, baik secara pikiran maupun fisik dari gangguan dan berbagai ancaman dari pihak manapun (Kansil, 1989). 4. Perlindunga hukum adalah sebagai kumpulan peraturan atau kaidah yang akan dapat melindungi suatu hal dari hal yang lainnya. Berkaitan dengan konsumen, berarti hukum memberikan perlindungan terhadap hak-hak pelanggan dari sesuatu yang mengakibatkan tidak terpenuhinya hak-hak tersebut (Op.cit, hal 38). 5. Perlindungan hukum adalah penyempitan arti dari perlindungan, dalam hal ini hanya perlindungan oleh hukum saja. Perlindungan yang diberikan oleh hukum, terkait pula dengan adanya hak dan kewajiban dalam hal ini yang dimiliki oleh manusia sebagai subyek hukum dengan interaksinya dengan sesama manusia serta lingkungannya. Sebagai subyek hukum manusia memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan suatu tindakan hukum (Fadjar, 2005). Penonton film, dalam istilah komunikasi dia berarti merupakan audiens/komunikan, komunikan berarti dia merupakan penerima pesan. Dalam 10 istilah ekonomi dia merupakan konsumen film, dan dia juga merupakan warga negara. Perlindungan hukum diberikan atas dasar harkat martabat manusia dan hak asasi manusia. Penonton film akan sangat bersinggungan dengan dia sebagai konsumen film. Meminjam istilah konsumen dalam membedah hak-hak yang ada pada penonton film. Istilah konsumen yang dipakai cukup mewakili karena pada hakikatnya konsumen dalam arti luas pengertiannya adalah pemakai, pengguna dan atau pemanfaat barang dan atau jasa untuk tujuan tertentu. Konsumen tidak harus terikat dalam hubungan jual beli, sehingga dengan sendirinya konsumen tidak identik dengan pembeli (Barkatulah, 2008). Dari istilah ini maka tidak salah jika penonton film bisa disamakan dengan konsumen, yaitu konsumen film. Guidelines for Consumer Protection of 1985, yang dikeluarkan oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan: “Konsumen dimanapun mereka berada, dari segala bangsa, mempunyai hak-hak dasar sosialnya” (Barkatulah, 2008). Yang dimaksud hak-hak dasar tersebut adalah hak untuk mendapatkan informasi yang jelas, benar, dan jujur; hak untuk mendapatkan ganti rugi; hak untuk mendapatkan kebutuhan dasar manusia (cukup pangan dan papan); hak untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan bersih serta kewajiban untuk menjaga lingkungan; dan hak untuk mendapatkan pendidikan dasar. PBB menghimbau seluruh anggotanya untuk memberlakukan hak-hak konsumen tersebut di negaranya masing-masing. Gerakan-gerakan konsumen dan organisasi-organisasi semacam ini di seluruh dunia telah menyepakati 8 hak-hak konsumen yaitu: 1. Hak untuk mendapatkan kebutuhan dasar. 2. Hak atas keamanan dan keselamatan. 11 3. Hak untuk mendapat informasi yang benar. 4. Hak untuk memilih. 5. Hak untuk didengar. 6. Hak untuk mendapatkan ganti rugi. 7. Hak untuk mendapatkan pendidikan konsumen. 8. Hak untuk mendapatkan lingkungan yang sehat dan berkesinambungan. Secara universal, hak-hak tersebut adalah hak-hak yang melekat pada konsumen, maka penjabaran dan pelaksanaan hak-hak tersebut ada di dalam hukum nasional masing-masing negara. Perlindungan konsumen mutlak dilakukan oleh negara sesuai dengan Resolusi Majelis Umum PBB. Betapa pentingnya hakhak konsumen, sehingga melahirkan pemikiran yang berpendapat bahwa hak-hak konsumen merupakan “generasi keempat hak asasi manusia”, yang merupakan kata kunci dalam konsepsi hak asasi manusia dalam perkembangannya di masamasa yang akan datang (Barkatulah, 2008). Perlindungan konsumen mutlak dilakukan oleh negara sesuai dengan Resolusi Majelis Umum PBB. Hal ini tentunya berlaku bagi masyarakat penonton film yang merupakan konsumen film. Terlebih dalam sebuah proses komunikasi penonton film yang berposisi sebagai komunikan/khalayak adalah yang menerima dampak dari pesan yang disampaikan melalui film. Dalam sebuah kebijakan, masyarakat mempunyai peran yang aktif, karena pada dasarnya kebijakan itu dibuat untuk kepentingan publik dengan didasari atas kebutuhan publik. Maka dari itu tidak ada alasan untuk tidak memberikan perlindungan terhadap penonton film. 12 Tabel.1 Hak Konsumen Hak Konsumen Penjelasan Hak untuk mendapatkan Konsumen berhak untuk mendapatkan segala kebutuhan dasar macam kebutuhan dasar yang dia mau tanpa dihalang-halangi, tanpa ada paksaan dari pihak lain. Hak atas keamanan dan Adanya rasanya aman saat mengkonsumsi keselamatan barang tersebut. Adanya rasa aman saat penonton film menonton sebuah film. Tidak ada paksaan. Hak untuk mendapat informasi Adanya kriteria yang jelas dalam sebuah yang benar produk yang ditawarkan. Misalnya antara iklan film dan isi film sesuai, adanya kriteria penonton. Hak untuk memilih Bebas memilih produk mana saja dan tidak dalam tekanan dalam memilihnya, bebeas dari adanya monopoli dan persaingan tidak sehat yang ujung-ujungnya merugikan masyarakat. Mendapatkan barang sesuai dengan nilai tukar dan kondisi. Hak untuk didengar Menyampaikan keluhan atau meminta penjelasan Hak untuk mendapatkan ganti Apabila merasa dirugikan, misalnya: iklan film rugi tidak sesuai dengan isi film, tidak mendapat kepastian kriteria penonton film dsb. Hak untuk mendapatkan Mendapatkan pelatihan/pendidikan agar pendidikan konsumen memperoleh informasi yang mendalam.. Hak untuk mendapatkan Lingkungan dimana dia hidup. lingkungan yang sehat dan berkesinambungan Sumber: UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen b. Posisi Penonton Film Komunikator, media, pesan, dan komunikan adalah unsur/komponen komunikasi. Ide Lasswell ini kemudian banyak dikembangkan oleh beberapa ahli kedalam beberapa rumus yang menjadi beberapa model komunikasi. Komunikator sebagai penyampai pesan, komunikan sebagai penerima pesan. Dalam kaitannya dengan posisi penonton film dalam penelitian ini, bisa diartikan bahwa pembuat 13 film sebagai komunikator dan penonton film sebagai komunikan, sedangkan film itu sendiri adalah media komunikasi. Menurut Oey Hong Lee (1965) menyebutkan, film sebagai alat komunikasi massa yang kedua yang muncul di dunia, mempunyai massa pertumbuhannya pada akhir abad ke 19. Kekuatan dan kemampuan film menjangkau banyak segmen sosial, membuat para ahli yakin bahwa film memiliki potensi untuk mempengaruhi khalayaknya (Sobur, 2004). Film memiliki kemampuan untuk menarik perhatian orang dan sebagian lagi didasari oleh alasan bahwa film memiliki kemampuan mengantar pesan secara unik. Ringkasnya, terlepas dari dominasi penggunaan film sebagai alat hiburan dalam sejarah film, tampaknya ada semacam pengaruh yang menyatu dan mendorong kecenderungan sejarah jika menuju kepenerapannya yang bersifat didaktik-propagandis atau dengan kata lain bersifat manipulatif. Proses komunikasi berlangsung dalam sebuah masyarakat yang mempunyai wilayah, mempunyai aturan dan norma-norma. Regulasi hadir ditengahtengahnya, membuat aturan dan batasan yang jelas sehingga proses tersebut bisa diterima dan disepakati oleh masyarakat, begitu juga dengan perfilman. Regulasi perfilman termasuk dalam regulasi media, berada di bawah kebijakan publik. Alasan mengapa regulasi/kebijakan dibentuk, salah satunya yaitu untuk melindungi warga negara. Setiap individu warga negara mendapat perlindungan dari negara sesuai dengan UUD 1945 dan HAM. Penonton film merupakan salah satu individu yang termasuk di dalamnya. Maka dari itu dibentuklah undangundang yang memuat aturan mengenai perfilman termasuk didalamnya aktor- 14 aktor ada yang berperan dalam perfilman, dan salah satu aktor tersebut adalah masyarakat sebagai penonton. Penggunaan media tidak pernah hanya mengenai publik saja atau privat saja, tetapi itu selalu tentang keduanya. Media selalu terbentuk dan dibentuk oleh sosial, institusi politik dan individu yang hidup di dalamnya. Hal ini tidak bisa dipisahkan dan selalu menjadi satu kesatuan. Bagaimana dengan hubungan individu terhadap media? Pengguna media terkonstruk sebagai penonton, konsumen, dan warga negara (Papathonassopoulos dan Negrine, 210). Artinya dalam membahas penonton film tidak akan bisa terpisah dari dia sebagai penonton, dia sebagai konsumen, dan dia sebagai warga. Dan seperti itulah kebijakan komunikasi berada. F.2 Kebijakan Komunikasi Kebijakan komunikasi di Indonesia bisa terlihat di UU Penyiaran, UU Telekomunikasi, UU Pers, UU ITE, UU Perfilman, dan UU KIP. Kebijakan komunikasi merupakan kumpulan prinsip-prinsip dan norma-norma yang sengaja diciptakan untuk mengatur perilaku sistem komunikasi, menurut Unesco (dalam, Abrar, 2008). Kebijakan komunikasi sendiri merupakan bagian dari kebijakan publik, artinya kebijakan komunikasi dirumuskan oleh lembaga pemerintah. Meskipun dirumuskan oleh pemerintah, kebijakan komunikasi bukan berisikan keinginan pemerintah tentang merupakan akumulasi bagaimana komunikasi berlangsung, tetapi keinginan masyarakat agar kegiatan komunikasi yang dilakukan berbagai pihak tidak merugikan masyarakat. Dalam bahasa Paula Chakravarty dan Katharine Sarikakis, kebijakan komunikasi selalu memiliki 15 konteks, domain, dan paradigma (2006:7). Dalam menganalisis kebijakan komunikasi kita harus mengetahui tiga aspek, yaitu: 1. Konteks yaitu keterkaitan komunikasi dengan sesuatu yang melingkupi dirinya, misalnya politik-ekonomi, politik-komunikasi dan sebagainya. 2. Domain yaitu muatan nilai yang dikandung kebijakan komunikasi, seperti globalisasi, ekonomi global dan sebagainya. Karena konteksnya politik ekonomi misalnya, maka domain kebijakan komunikasinya adalah ekonomi global. 3. Paradigma yaitu kerangka cita-cita yang kepadanya kebijakan komunikasi itu menuju, seperti terbentuknya masyarakat informasi, menguatnya civil society dan sebagainya. Secara umum paradigma bisa bertolak dari bagaimana masalah yang dihadapi masyarakat bisa terselesaikan. Sebagai kebijakan publik, kebijakan komunikasi memiliki paling tidak lima kriteria, yaitu: (1) memiliki tujuan tertentu; (2) berisi tindakan pejabat pemerintah; (3) memperlihatkan apa yang akan dilakukan pemerintah; (4) bisa bersifat positif atau negatif; (5) bersifat memaksa (otoritatif). Secara umum kebijakan komunikasi adalah seluruh peraturan yang mengatur proses komunikasi masyarakat, baik yang menggunakan media (mulai dari sosial, media massa, hingga media interaktif) maupun yang tidak menggunakan media, seperti komunikasi interpersonal, komunikasi kelompok dan sebagainya (Abrar, 2008). Kebijakan komunikasi bisa disebut sebagai sarana orientasi bagi manusia dalam berkomunikasi. Dan harus diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Maka dari itu formulasi kebijakan harus diarahkan menjadi peraturan yang 16 aplikatif. Dalam konteks ini kita perlu melihat sebuah kebijakan komunikasi sebagai satu “sistem hukum”. Dalam Roem Topatimasang (2000:41) ada tiga aspek yang perlu diperhatikan yaitu: - Isi hukum. Apa sebenarnya isi kebijakan komunikasi yang tertuang di dalamnya. Tegasnya seperti apa isi teks kebijakan komunikasi itu. - Struktur hukum. Bagaimana sebenarnya perangkat kelembagaan yang bisa menjamin berlakunya kebijakan komunikasi itu dengan baik. - Budaya hukum. Bagaimana sesungguhnya persepsi, pemahaman dan penerimaan masyarakat terhadap isi dan implementasi kebijakan komunikasi. Kebijakan tidak bisa dirumuskan seenaknya, kebijakan itu secara garis besar bersumber pada dua domain. Pertama, struktural/legal-formal, segala jenis kebijakan yang ada di Indonesia berasal dari UUD 1945, sebagai landasan hukum tertinggi di negeri ini. Secara struktural/legal-formal, sumber kebijakan komunikasi berasal dari pasal 28 F Amandemen UUD 1945 yang berbunyi: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”. Kedua, sumber sosio-kultural. Sumber sosio-kultural kebijakan komunikasi bisa berbentuk tradisi. Tradisi, seperti disebut W.S Rendra adalah kebiasaan bersama dalam masyarakat manusia, yang secara otomatis akan mempengaruhi aksi reaksi dalam kehidupan sehari-hari para anggota masyarakat tersebut. 17 Sementara yang menjadi sumber kebiasaan bersama itu adalah tata nilai dan cita rasa yang hidup di dalam masyarakat itu. Tata nilai adalah pengertian baik-buruk, benar-salah, pantas-tak pantas, adil-tak adil, dan halal-tak halal, yang semuanya bersumber pada agama, kepercayaan, mitologi, dan ideologi yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian, sumber sosio-kultural kebijakan komunikasi sangat luas. Ia menyangkut semua nilai yang berlaku dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Adapun cara yang digunakan dalam menganalisis kebijakan komunikasi adalah cara yang lazim dipakai orang dalam analisis kebijakan publik lainnya, yaitu positive policy analysis dan normative policy analysis. Positive policy analysis seperti diisebut Cohcran dan Malone, lebih tertuju pada bagaimana proses kebijakan bekerja (1999:2). Sementara itu, normative analysis, masih menurut Cohcran dan Malone, lebih tertuju pada penilaian tentang apa yang seharusnya tertuang dalam kebijakan (1999:4). Menurut Parsons (2006, hal.56), Analisis kebijakan mencakup: (1) Determinasi kebijakan: ini adalah analisis yang berkaitan dengan cara pembuatan kebijakan, mengapa, kapan, dan untuk siapa kebijakan dibuat. (2) Isi kebijakan: analisis isi mencakup deskripsi tentang kebijakan tertentu dan bagaimana ia berkembang dalam hubungannya dengan kebijakan sebelumnya, atau analisis isi juga didasari oleh informasi yang disediakan oleh kerangka nilai/ teoritis yang mencoba memberikan kritik terhadap kebijakan. 18 F.3 Film Sebagai Media Komunikasi Massa Menurut Oey Hong Lee (1965) menyebutkan, film sebagai alat komunikasi massa yang kedua yang muncul di dunia, mempunyai massa pertumbuhannya pada akhir abad ke 19. Kekuatan dan kemampuan film menjangkau banyak segmen sosial, membuat para ahli yakin bahwa film memiliki potensi untuk mempengaruhi khalayaknya (Sobur, 2004). Film memiliki kemampuan untuk menarik perhatian orang dan sebagian lagi didasari oleh alasan bahwa film memiliki kemampuan mengantar pesan secara unik. Ringkasnya, terlepas dari dominasi penggunaan film sebagai alat hiburan dalam sejarah film, tampaknya ada semacam pengaruh yang menyatu dan mendorong kecenderungan sejarah jika menuju kepenerapannya yang bersifat didaktik-propagandis atau dengan kata lain bersifat manipulatif. Film menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama, lawak dan sajian teknis lainnya kepada masyarakat umum. Karakteristik masalah film sebagai usaha bisnis pertunjukan (show business) baru dalam pasar yang kian berkembang belumlah mencakup segenap permasalahan film. Dalam sejarah perkembangan film, terdapat tiga tema besar yang penting. Tema pertama adalah pemanfaatan film sebagai alat propaganda. Kedua tema lainnya dalam sejarah film adalah munculnya beberapa aliran seni film (Huaco, 1963) dan lahirnya film dokumentasi sosial. Keduanya mempunyai kaitan dengan tema “film sebagai alat propaganda”. Kenyataan tersebut sebagian terjadi secara kebetulan saja. Itulah sebabnya keduanya kadang-kadang menimbulkan krisis sosial di beberapa negara. 19 Dampak yang bisa ditimbulkan oleh film sebagai media komunikasi salah satunya yaitu: 1. Media massa berfokus pada sebagian isu dan tidak pada isu lainnya dan dengan demikian mengubah juga standar evaluasi yang digunakan khalayak untuk menilai realitas sosial yang dihadapinya (Severin, 2005: 271). Media mendorong terbentuknya pikiran yang terhubung dengan apa yang ditampilkan di media itu sendiri. Sebagai contoh, adanya kecenderungan untuk meniru adengan-adegan kekerasan yang ditampilkan di media pada orang lain di dunia nyata. 2. Adanya perubahan budaya dalam ruang lingkup yang luas yang disebabkan oleh media. Dampak yang dihasilkan oleh media, bukanlah efek yang terjadi secara monoton, namun sebagai sebuah proses timbal balik. Media merupakan suatu organisasi terstruktur, yang menjadi agen penyedia informasi bagi masyarakat. Media memiliki peran penting dalam proses pembentukan masyarakat yang lebih dewasa dan modern. Unsur lain yang tidak kalah pentingnya adalah, seberapa besar media mempengaruhi masyarakat sebagai penyimak tetap mereka. Beberapa ahli percaya, bahwa media memberikan pengaruh yang besar bagi para penontonnya. Ada beberapa teori yang menjelaskan mengenani dampak media, diantaranya yaitu: Teori Kultivasi. Teori kultivasi (Cultivation Theory) pertama kali dikenalkan oleh Profesor George Gerbner ketika ia menjadi dekan Annenberg School of Communication di Universitas Pennsylvania Amerika Serikat (AS). Teori ini mendeksripsikan bahwa media menghasilkan sebuah dampak dimana ada 20 sebagian masyarakat yang menganggap dunia nyata (kehidupannya seharihari) berjalan sesuai dengan dunia yang digambarkan oleh media. Ataupun sebaliknya, menganggap bahwa dunia dalam media itu adalah "realita". Teori Priming. Priming adalah proses di mana media massa berfokus pada sebagian isu dan tidak pada isu lainnya dan dengan demikian mengubah juga standar evaluasi yang digunakan khalayak untuk menilai realitas sosial yang dihadapinya (Severin, 2005: 271). Selain itu teori ini juga menjelaskan bahwa media mendorong terbentuknya pikiran yang terhubung dengan apa yang ditampilkan dimedia itu sendiri. Sebaga contoh, adanya kecenderungan untuk meniru adengan-adegan kekerasan yang ditampilkan dimedia pada orang lain di dunia nyata. Teori Kritis. Teori kritis pertama kali ditemukan Max Horkheimer pada tahun 1930-an. Pada mulanya teori kritis berarti pemaknaan kembali ideal-ideal modernitas tentang nalar dan kebebasan, dengan mengungkap deviasi dari ideal-ideal itu dalam bentuk saintisme, kapitalisme, industri kebudayaan, dan institusi politik borjuis.Teori kritis memungkinkan pembacaan produksi budaya dan komunikasi dalam perspektif yang luas dan beragam. Teori ini bertujuan untuk melakukan eksplorasi refleksif terhadap pengalaman yang manusia alami dan cara manusia mendefinisikan dirinya sendiri, budaya , dan dunia. Teori ini mempertanyakan teori-teori lain yang digunakan dalam menjelaskan dampak yang dihasilkan oleh media. Teori ini sendiri memfokuskan pembahasannya bukan pada efek perilaku yang diterima Individu dari media, namun melihat perubahan budaya dalam ruang lingkup 21 yang luas yang disebabkan oleh media. Teori Kritis ini juga memiliki kemampuan dalam mendeksripsikan secara lanjut hubungan antara budaya dengan media itu sendiri. Teori ini percaya, dampak yang dihasilkan oleh media, bukanlah efek yang terjadi secara monoton, namun sebagai sebuah proses timbal balik (Richard, 1994). Dampak tersebut yang ditimbulkan berdasarkan teori dampak media, menandakan bahwa memang audiens/penonton ada dalam posisi yang lemah, khususnya bagi anak-anak, kelompok minoritas, serta penonton yang tidak dibekali dengan pengetahuan yang cukup. Film sebagai media, keberadaan media dalam kegiatan komunikasi perlu dilihat secara kontekstual dari realitas masyarakat yang menjadi ruangnya (ashadisiregar.files.wordpress.com). Realitas masyarakat pada dasarnya dapat dibedakan dengan realitas empiris yang berasal dari interaksi secara sosial, dan realitas psikhis yang berasal dari dunia alam pikiran manusia. Lebih jauh, masyarakat dapat dilihat dalam dua dimensi, yaitu dalam kehidupan sosial/empiris dan kehidupan kultural/simbolik. Karenanya dikenal masyarakat empiris (nyata, real) yang terwujud dari interaksi sosial dalam dimensi politik, ekonomi dan pergaulan sosial. Sedang masyarakat kultural/simbolik dibedakan atas dua macam, bersifat statis yaitu komunitas warga yang memperoleh warisan (heritage) makna yang mempertalikan kehidupan warga dalam masyarakat real, dan bersifat dinamis yaitu komunitas warga yang memproduksi makna, baik revitalisasi makna lama maupun penciptaan makna baru untuk kehidupan yang lebih baik. 22 Di dalam sebuah ruang masyarakat yang berkaitan dengan budaya, seperti halnya bagaimana kebijakan komunikasi sendiri merupakan produk dari politik, ekonomi dan budaya dan tidak akan terlepas dari itu. Film di dalam sebuah ruang masyarakat ada di tengah-tengah antara produsen dan konsumen, komunikator dan komunikan, di tengah-tengahnya ada pemerintah yang berkuasa. Ini menjelaskan bahwa film sebagai media ada di dalam sebuah sistem yaitu antara sistem negara dan sistem masyarakat. F.4 Perihal Undang-undang Undang-undang terbentuk atas dasar norma hukum, dimana norma hukum bertujuan kepada cita kedamaian hidup antarpribadi. Tujuan kedamaian hidup bersama tersebut biasanya dikaitkan pula dengan perumusan tugas kaidah hukum, yaitu untuk mewujudkan kepastian, keadilan, dan kebergunaan. Artinya, setiap norma hukum itu haruslah menghasilkan keseimbangan antara nilai kepastian (certainty, zekerheid), keadilan (equity, billijkheid, evenredigheid), dan kebergunaan (utility) (Asshiddiqie, dalam jimly.com). Lebih jauh Asshiddiqie menjelaskan, hukum pada pokoknya adalah produk pengambilan keputusan yang ditetapkan oleh fungsi-fungsi kekuasaan negara yang mengikat subjek hukum dengan hak-hak dan kewajiban hukum berupa larangan (prohibere), atau keharusan (obligatere), ataupun kebolehan (premittere). Undang-undang dibentuk oleh lembaga legislatif dengan persetujuan bersama dengan lembaga eksekutif. Karena pada dasarnya rakyatlah yang berdaulat dalam negara demokrasi, maka rakyat pulalah yang berhak untuk menentukan kebijakan-kebijakan kenegaraan yang akan mengikat bagi seluruh rakyat. 23 Sebuah peraturan perundang-undangan tidak bisa dibuat dan ditulis sembarangan. Ada aturan dan ada hal-hal khusus yang harus ada dan menjadi pedoman dalam membuat sebuah peraturan perundang-undangan. Dari mulai pembentukan peraturan perundang-undangan, materi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, rumusan dan kerangka undang-undang. Untuk memahami suatu peraturan perundang-undangan tidak bisa hanya dilihat dari sebagian pasalpasal yang ada, tetapi harus dilihat dari keseluruhan utuh isi undang-undang. Materi Undang-Undang Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Pasal 6, materi muatan perundang-undangan harus mencerminkan asas: a. Pengayoman; b. Kemanusiaan; c. Kebangsaan; d. Kekeluargaan; e. Kenusantaraan; f. Bhineka tunggal ika; g. Keadilan; h. Keamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; i. Ketertiban dan kepastian hukum; j. Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Pembentukan Undang-undang 24 DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Setiap Rancangan Undang-Undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Rancangan Undang-Undang (RUU) dapat berasal dari DPR, Presiden, atau DPD. Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah proses pembuatan peraturan perundang-undangan yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan (UU 10/2004 Pasal 1 angka 1). Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik yang meliputi (Pasal 5): a. Kejelasan tujuan; b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan; d. Dapat dilaksanakan; e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan; f. Kejelasan rumusan; dan g. Keterbukaan. UU No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman sebagai sebuah undang-undang haruslah berasaskan seperti yang telah tertulis di atas. Undang-undang merupakan peraturan tertulis yang terdiri dari pasal-pasal. Kerangka undang-undang terdiri atas (jimly.com): a. Judul b. Pembukaan c. Batang tubuh 25 d. Penutup e. Penjelasan f. Lampiran Untuk memudahkan dalam memahami dan menganalisa suatu peraturan perundang-undangan, maka dapat dituangkan dalam suatu kerangka sebagai berikut: Tabel.2 Aspek Penyusunan Peraturan Perundang-undangan Bentuk Formal Analisis Undang- Isi Pokok-Pokok Pikiran Undang- Undang-Undang Undang Undang 1. Judul Memuat keterangan mengenai jenis, nomor, tahun pengesahan, penetapan, atau pengundangan, dan nama resmi undang-undang yang bersangkutan. 2. Pembukaan a. Konsideran Memuat uraian-uraian filosofis dan “menimbang” sosologis, belakang yang menjadi pembentukan latar undang- undang dan menggambarkan isi pokok yang hendak diatur dalam undang-undang yang bersangkutan. 26 b. Konsideran Memuat dasar hukum kewenangan “mengingat” pembentukan undang-undang dalam hal membentuk undang-undang yang bersangkutan. 3. Batang Tubuh a. Ketentuan Umum Mengatur sesuatu hal atau materi b. Materi pokok yang diatur tertentu dituangkan dalam bentuk aturan-aturan hukum dan atau c. Ketentuan Pidana yang ketentuan-ketentuan hukum dimana keseluruhan aturan hukum d. Ketentuan dan atau ketentuan hukum tersebut Peralihan (jika ada) telah dirumuskan dan dituangkan dalam bentuk pasal-pasal dalam e. Ketentuan suatu kerangka peraturan undangPenutup undang yang bersangkutan yang memuat keterkaitan dengan semua unsur-unsur peraturan perundangundangan yang lain. 4. Penutup Memuat hal-hal sebagai berikut: a. Rumusan perintah pengundangan dan penempatan peraturan perundang-undangan. 27 b. Tanda tangan pengesahan. c. Pemberian nomor. 5. Penjelasan (jika Penjelasan diperlukan) Umum Memuat uraian atau elaborasi lebih dan Penjelasan Pasal lanjut norma yang diatur dalam batang tubuh peraturan yang dijelaskan. 6. Lampiran (jika Lampiran merupakan yang diperlukan) terpisahkan dari naskah peraturan perundang-undangan tak yang bersangkutan. (Sumber: Diolah dari UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan Jimly Asshiddiqie dalam jimly.com.) F.5 Undang-Undang No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman Negara Indonesia adalah negara hukum yang mengakui dan melindungi HAM. Berbagai bidang kehidupan dalam kehidupan bernegara ini diatur dalam peraturan perundang-undangan. Begitu juga bidang perfilman yang mempunyai pengaturan sendiri (self regulation). Semenjak pemerintahan Hindia Belanda saat bioskop pertama dibangun pada tahun 1900, peraturan perfilman juga mulai dibuat. Zaman berubah, pemerintahan berubah regulasi perfilman pun berubah. Baru kemudian di Tahun 1992 dibuatlah UU No. 8 yang mengatur perfilman sendiri. Tahun 1998 terjadi reformasi kemudian UU No. 8 Tahun 1992 di revisi 28 dan sekarang berubah menjadi UU No. 33 tahun 2009 yang masih berlaku sampai sekarang4. Pasca reformasi tahun 1998, tanda bagi sejarah baru perfilman Indonesia. Di mana di zaman Orde baru perfilman di bawah naungan Departemen Penerangan dan sensor yang sangat ketat, kemudian pasca reformasi departemen ini ditiadakan. Secara singkat regulasi perfilman dari masa ke masa bisa dilihat sebagai berikut: Tabel.3 Regulasi Perfilman dari Masa ke Masa No. Nama Undang-Undang Tahun/Masa 1. Ordonansi Film No. 507 1940 Pemerintahan Penjajahan Belanda 2. UU No. 1 Pnps 1964/Orde Lama 3. UU No. 8 1992/Orde Baru 4. UU No. 33 2009/Pasca Reformasi Sumber: Panjaitan & Aryani (Kurnia, 2008) 4 Syamsa, Nyimas Gandasari, (http://www.annida-online.com/review/tidak-ada-kontroversi- soaluu-perfilman-yang-baru.html), pihak-pihak yang ikut serta dalam revisi undang-undang perfilman antara lain: 1. Komisi X DPR RI: -Mujib Rohmat (F-PG) -Heri Akhmadi (F-PDIP) -Irwan Prayitno (F-PKS) -Abdul Wahid Hamid (F-PKB) 2. Akademisi : Abdul Aziz ( Direktur Program IKJ) 3. Komunitas Perfilman Indonesia : Mira Lesmana 4. PARSI : Anwar Fuadi (Ketua Umum) 5. Produser Film : Christine Hakim 29 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2009 adalah Undang-undang (UU) perfilman yang baru yang merupakan pengganti bagi UU No. 8 tahun 1992 sebelumnya yang dinilai tidak cocok lagi baik secara definisi, substansi, serta tidak sesuai dengan perkembangan dunia perfilman sekarang ini, terutama setelah ditemukannya teknologi informasi dan komunikasi yang semakin luas, seperti internet dan lain sebagainya, yang tidak dijangkau oleh UU perfilman terdahulu. G. Kerangka Konseptual Kerangka konseptual dalam analisis isi ditentukan oleh jenis unit analisisnya. Untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai kerangka konseptual dalam penelitian terlebih dahulu mengerti mengenai gambarannya: Gambar.1 Kerangka Berfikir Penelitian PERFILMAN Hak Asasi Manusia UU No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman Perlindungan Hukum Perlindungan Konsumen Penonton Film Perlindungan Penonton Film Film, Pengusaha Perfilman, Masyarakat/Penonton Film, Pemerintah Negara, Sistem Pemerintahan, Wilayah, Budaya, Ekonomi Perlindungan penonton film di dapat salah satunya yaitu dari UU No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman. Peraturan perundang-undangan merupakan sebuah 30 kebijakan yanng dibuat oleh negara untuk memberikan jaminan hukum. Jaminan hukum ini diperlukan karena negara wajib memberikan perlindungan hukum. Sebab perlindungan hukum diperlukan oleh penonton film karena pada dasarnya penonton film ada dalam posisi yang lemah. Penonton film dalam posisi yang lemah karena media pada dasarnya memberikan dampak baik itu buruk/baik, seperti pada beberapa teori mengenai dampak media yang telah dijelaskan di atas yaitu teori kultivasi, teori priming, dan teori kritis. Yang memang menunjukkan adanya dampak yang buruk yang ditimbulkan oleh media. Saat posisi penonton itu lemah, negara memberikan perlindunngan hukum. Perlindungan hukum atas dasar apa? Atas dasar harkat dan martabat serta hak asasi manusia. Penonton film merupakan konsumen film dan sekaligus merupakan warga negara. Perlindungan penonton film akan dilihat dari hak konsumen yang berasal dari hak asasi manusia. Hak konsumen ini dipakai karena adanya pengakuan atas hak asasi manusia dalam sebuah negara yang bersistemkan demokrasi. Film sendiri tidak akan pernah lepas dari wilayah-wilayah tersebut. Film tidak akan pernah terlepas dari wilayah negara, film tidak akan pernah terlepas dari wilayah budaya, wilayah masyarakat, wilayah politik, dan wilayah ekonomi. Kebijakan hadir agar semua yang ada dalam sistem ini berjalan dengan baik, tidak berbenturan satu sama lain. Bagaimanapun juga akan banyak kepentingan dari pihak-pihak yang terlibat agar mendapatkan kekuasaan yang di dapat, masyarakat ada di tengah-tengah diantaranya, mereka justru akan tambah tidak berdaya saat tidak ada jaminan bahwa mereka dilindungi. 31 Dari kerangka pemikiran tersebut maka kerangka konseptual yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Tabel.4 Unit Analis Unit Analisis Kategori Sumber Konsideran menimbang dan UU No. 12 Tahun konsideran mengingat 2011 tentang Batang tubuh (ketentuan Pembentukan Tahun 2009 umum, materi pokok yang Peraturan Perundang- tentang diatur, ketentuan pidana, Undangan Perfilman ketentuan peralihan, Aspek a. Penyusunan UU No. 33 b. Asshiddiqie, 2006 ketentuan penutup. Perlindungan Hukum dan Hak-Hak Konsumen* a. Hak atas keselamatan dan keamanan. b. Hak untuk Consumer Protection mendapatkan informasi yang benar. c. Hak untuk memilih d. Hak untuk didengar. e. Hak untuk Guidelines for of 1985 UU HAM UU Perlindungan Konsumen mendapatkan ganti rugi. f. Hak untuk mendapatkan pendidikan konsumen. Regulator Media *Keterangan: - Definisi bisa dilihat di Tabel.1 hal. 13. - Dari 8 hak konsumen yang dijelaskan dalam Tabel.1 tersebut, peneliti hanya memakai 6 hak konsumen karena disesuaikan dengan UU Perlindungan Konsumen yang berlaku di Indonesia. 32 H. Metodologi Penelitian H.1 Objek Penelitian Penelitian ini mengkaji kebijakan perfilman di Indonesia. Oleh karena itu peneliti menggunakan peraturan perundang-undangan tersebut sebagai sumber data penelitian dan objek penelitian. H.2 Metode Penelitian Penellitian ini mengkaji isi UU No. 33 Tahun 2009 Tentang Perfilman, sebagaimana disebutkan di dalam objek penelitian di atas. Karena penelitian ini berkaitan dengan apa dan bagaimana pesan (berupa kebijakan) itu disampaikan, maka metode penelitian yang digunakan adalah content analysis (analisis isi). Istilah analisis isi (content analysis) telah berusia sekitar enam puluh tahun. Webster’s Dictionary of The English Language mencatatnya baru tahun 1961, tetapi akar intelektualnya suudah ada sejak lama, berawal dari kesadaran manusia akan kegunaan simbol dan bahasa. Di dalam kamus ini, analisis isi didefinisikan sebagai: “analysis of the manifest and the latent content of a body of commnunicated material through classification, tabulation, and evaluation of its key symbols and themes in order to ascertain its meaning and probable effect” (Krippendorf, 2004). Analisis isi adalah suatu teknik penelitian untuk membuat inferensi-inferensi yang dapat ditiru (replicable) dan sahih, dengan memperhatikan konteksnya. Sebagai suatu teknik penelitian, analisis isi mencakup prosedur-prosedur khusus untuk pemrosesan data ilmiah. Sebagaimana semua teknik penelitian, ia bertujuan memberikan pengetahuan, wawasan baru, menyajikan fakta, dan panduan praktis pelaksanaannya. Hal senada dikemukakan 33 oleh Barelson (1952), mendefinisikan sebagai teknik penelitian untuk mendeskripsikan secara obyektif, sistematik dan kualitatif isi komunikasi yang tampak. H.3 Sifat Penelitian dan Jenis Penelitian Sifat dari penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Sedangkan jenis penelitian yang dipilih adalah penelitian deskriptif. Sifat penelitian adalah kualitatif dimana lebih ditekankan pada pemaknaan teks pada objek penelitian dan penekanan utama dari analisis isi kualitatif di sini adalah untuk memperoleh pemahaman makna-makna, penonjolan, dan tema-tema dari pesan. H.4 Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data pada penelitian ini yang dilakukan adalah dengan mengumpulkan materi mengenai kebijakan perfilman yang berupa peraturan perundang-undangan dan peraturan yang ada di bawahnya, serta buku dan artikel. H.5 Langkah-langkah Pengumpulan Data Untuk menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini dilakukan langkahlangkah sebagai berikut: 1. Menyiapkan UU No. 33 Tahun 2009 Tentang Perilman Indonesia. 2. Melakukan pengkodean berdasarkan kriteria yang telah ditentukan dalam penelitian. 3. Melakukan interpretasi/penafsiran data yang diperoleh. 34 H.6. Teknik Analisis Data Dalam menganalisis temuan data dalam penelitian, peneliti menggunakan perspektif kebijakan komunikasi dengan cara analisisnya yaitu normative analysis. Abrar (2008) menjelaskan bahwa kebijakan komunikasi merupakan seluruh peraturan yang mengatur proses komunikasi masyarakat, baik yang menggunakan media (mulai dari sosial, media massa, hingga media interaktif) maupun yang tidak menggunakan media, seperti komunikasi interpersonal, komunikasi kelompok dan sebagainya. Kebijakan komunikasi harus menjamin bahwa masyarakat bisa aktif dan selamat dalam proses komunikasi. Kebijakan komunikasi harus menjamin bahwa masyarakat ikut mengendalikan perkembangan komunikasi yang terjadi pada diri mereka. Melalui perspektif ini penelitian ini akan memperoleh gambaran tentang bagaimana UU Perfilman menjamin bahwa masyarakat aktif dan selamat dalam proses komunikasi. Dengan berpedoman pada normative policy analysis. Menurut Cochcran dan Malone, normative policy analysis lebih tertuju pada penilaian tentang apa yang seharusnya tertuang dalam kebijakan (1999, hal.4). Penelitian ini akan melihat gambaran tentang nilai apa yang seharusnya tertuang dalam kebijakan komunikasi dalam hal ini dalam UU No. 33 Tahun 2009 Tentang Perfilman. Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif, yaitu dengan membandingkan temuan-temuan dalam kebijakan pemerintah yang terkait dengan perfilman Indonesia khususnya mengenai perlindungan penonton film berdasarkan unit analisis yang telah ditentukan dengan fakta lain, baik dalam 35 teori yang telah disepakati kebenarannya maupun yang tercantum dalam kebijakan pemerintah tersebut. I. Limitasi Penelitian Penelitian yang dilakukan terbatas pada analisis terhadap isi dari UU No. 33 Tahun 2009 Tentang Perfilman ditinjau dari segi perlindungan terhadap penonton film. Analisis akan dilakukan terhadap pasal yang mengatur tentang hak penonton film dalam kaitannya dengan perlindungan dan jaminan yang mereka dapat. J. Sistematika Tesis Bab I Pendahuluan Bab ini berisi mengenai pendahuluan penelitian yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, penelitian terdahulu, kerangka pemikiran, kerangka konseptual, asumsi penelitian, metodologi penelitian, dan limitasi penelitian. Bab II Perlindungan Penonton Film Menurut Hak Asasi Manusia Bab ini berisi tentang uraian isu yang akan dillihat dalam UU Perfilman yaitu perlindungan penonton film, kebijakan perfilman dan hak asasi manusia. Bab III Peraturan Perfilman di Indonesia Berisi tentang anatomi UU Perfilman Indonesia. Bab IV Hasil Penelitian Membahas tentang analisis isi terhadap UU Perfilman dan membahasnya, sesuai dengan isu yang ada dalam penelitian. Bab V Penutup Berisi tentang kesimpulan dan saran-saran dari penelitian ini. 36