Grafik Sikap Responden Jika Politik Uang (Money

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Sejak reformasi bergulir enam belas tahun silam, bangsa Indonesia terus berupaya menjaga
stabilitas politik, salah satunya dengan mengadopsi sistem politik demokrasi. Meski diakui
bukan sistem yang terbaik, demokrasi merupakan sistem yang paling cocok untuk diterapkan
dalam negara modern dengan wilayah luas dan penduduk besar. Demokrasi juga diyakini
sebagai sistem yang mampu menjaga keberagaman bangsa Indonesia. Salah satu hal
terpenting dalam proses demokrasi adalah proses transisi kepemimpinan, mulai dari kepala
desa, bupati/walikota, gubernur, anggota legislatif, hingga presiden.
Dalam kurun waktu lima tahun, masyarakat Indonesia setidaknya melewati empat sampai
lima kali pemilihan, yaitu pemilihan kepala desa, bupati/walikota, gubernur, anggota
legislatif (DPRD II, DPRD I, DPR RI, dan DPD RI), dan presiden. Berarti selama lima tahun
kita melaksanakan 501 kali pemilihan bupati/walikota, 34 kali pemilihan gubernur, dan satu
kali pemilihan anggota legislatif dan presiden.
Pada setiap pelaksanaan pemilu negara harus “merogoh koceknya” dengan jumlah yang
besar. Misalnya, pelaksanaan pemilihan bupati Tangerang menghabiskan dana Rp 60 miliar
(Joniansyah, 2012), pemilihan gubernur Jawa Timur Rp 800 miliar (Jajeli, 2013), dan pilgub
Jawa Tengah Rp 746 miliar (Purniawan, 2012). Adapun pada Pemilu 2014 Kementerian
Keuangan menganggarkan dana sebesar Rp 16 triliun (Satyagraha, 2013).
Pemilihan bupati/walikota setidaknya rata-rata menghabiskan dana sebesar Rp25 miliar dan
pemilihan gubernur Rp 500 miliar. Jika dana Rp 25 miliar itu dikalikan 505 kabupaten/kota
dan Rp 500 miliar dikalikan 34 provinsi (Kemendagri, 2013), kemudian ditambah biaya
Pemilu 2014 sebesar Rp16 triliun, maka dalam jangka waktu lima tahun rakyat harus
membiayai pesta demokrasi sebesar Rp 45 triliun lebih.
Jumlah di atas belum termasuk biaya kampanye setiap calon yang jumlahnya tidak kalah
besar. Sebagai gambaran, biaya kampanye calon presiden 2014 ditaksir mencapai Rp7 triliun
(Rakyat Merdeka, 2013), sementara ongkos kampanye caleg DPR RI mencapai Rp10 miliar
(Aco, 2013). Biaya kampanye calon gubernur Jawa Barat ditaksir mencapai Rp175 miliar
(Amri, 2012), sedangkan calon gubernur Jawa Timur Rp750 Miliar (Radar Jatim, 2013).
Adapun kebutuhan dana kampanye calon bupati Pacitan, Jawa Timur, diprediksi sebesar Rp7
miliar (Kawiyan, 2010). Jika setiap perhelatan pemilihan terdapat minimal dua calon, maka
jumlah dana kempanye tersebut bisa jadi lebih besar dari anggaran penyelenggaraan pemilu
itu sendiri. Berarti dalam jangka waktu lima tahun dana pemilu dan kampanye mencapai
sekitar Rp100 triliun.
Dana besar itu mungkin tidak menjadi masalah jika pemilu diselenggarakan dengan jujur dan
bebas dari kecurangan sehingga bisa menghasilkan pemimpin yang benar-benar berkualitas.
Kenyataan berkata lain, tidak semua pelaksanaan pemilu terbebas dari kecurangan (ICW,
2014). Kecurangan-kecurangan pemilu selalu didominasi politik uang (Solicha, 2014).
Misalnya : pada Pileg 2014, kecurangan terkait politik uang mendominasi (Indikator, 2014).
1
Jumlahnya pada Pileg 2014 meningkat dua kali lipat dibandingkan sebelumnya (ICW, 2014).
Praktik politik uang sangat berbahaya bagi alam demokrasi di Indonesia (Dariyanto, 2014).
Dengan demikian, praktik politik uang harus menjadi perhatian semua elemen bangsa. Maka
tidak berlebihan jika politik uang dikatakan sebagai tema penting yang harus terus dikaji dan
diteliti agar bisa ditemukan solusi.
A.1. Definisi Politik Uang (Money Politic)
Money politic dalam bahasa Indonesia (1994) adalah suap. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia disebut uang sogok. Menurut Yusril, money politic adalah mempengaruhi massa
pemilu dengan imbalan materi (Ismawan, 1999). Secara umum money politic biasa diartikan
sebagai upaya untuk mempengaruhi perilaku orang dengan menggunakan imbalan tertentu.
Ada yang mengartikan money politic sebagai tindakan jual beli suara pada sebuah proses
politik dan kekuasaan.
Politik uang adalah suatu bentuk pemberian atau janji menyuap seseorang baik supaya orang
itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan
cara tertentu pada saat pemilihan umum. Pemberian bisa dilakukan menggunakan uang atau
barang. (http://id.wikipedia.org/wiki/Politik_uang). Politik uang adalah sebuah bentuk
pelanggaran kampanye. Politik uang umumnya dilakukan simpatisan, kader, atau bahkan
pengurus partai politik menjelang pemilihan umum. Praktik politik uang dilakukan dengan
cara pemberian berbentuk uang atau sembako kepada masyarakat dengan tujuan menarik
simpati masyarakat agar mereka memberikan suaranya untuk partai yang bersangkutan
(Wikipedia).
Menurut Fitriyah (2013), politik uang adalah uang yang ditujukan dengan maksud-maksud
tertentu, seperti untuk melindungi kepentingan bisnis dan politik tertentu. Politik uang bisa
juga terjadi ketika seorang kandidat membeli dukungan partai politik tertentu atau membeli
suara dari pemilih untuk memilihnya dengan iming-iming imbalan yang bersifat finansial.
Politik uang bisa juga terjadi ketika pihak penyandang dana berkepentingan bisnis maupun
politik tertentu.
Money politic adalah semua tindakan sengaja untuk memberi atau menjanjikan uang atau
materi lainya kepada seseorang supaya ia tidak menggunakan hak pilihnya, memilih peserta
pemilu tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu (Saifullah, 2012).
Memperhatikan kondisi politik yang berkembang saat ini , sebagian besar masyarakat sarat
dengan praktek politik uang (money politik) baik pada saat pemilu Presiden, Gubernur,
Bupati, bahkan sampai pemilihan Kepala desa (pilkades). Dikemas dalam berbagai bentuk
seperti pemberian hadiah, pembagian kupon, tambahan uang lembur, uang transport,
sumbangan, dan sebagainya. Karena sudah melekatnya dengan masyarakat seolah tidak ada
ruang untuk memberantasnya. Dalam Kompas.com, disebutkan bahwa “Badan Pengawas
Pemilihan Umum (Bawaslu) menemukan 85 kasus politik uang terkait dengan pemilihan
legislatif 9 April 2014 lalu”. (kompas.com)
2
A.2.Landasan Teori
Dalam konsep demokrasi kita kenal istilah dari rakyat, oleh rakyat,dan untuk rakyat.Ini
berarti rakyat berhak menentukan pilihannya kepada calon yang di kehendakinya tanpa ada
intervensi dari pihak lain. Namun dengan adanya praktek politik uang maka semua itu seolah
dalam teori belaka. Karena masyarakat terikat oleh sebuah parpol yang memberinya uang dan
semisalnya. Karena sudah diberi uang masyarakat merasa berhutang budi kepada parpol yang
memberinya uang tersebut, dan satu-satunya cara untuk membalas jasa tersebut adalah
dengan memilih/mencoblos parpol tersebut. Sehingga motto pemilu yang bebas, jujur, dan
adil hanya sebuah kata-kata yang terpampang di tepi-tepi jalan tanpa pernah di realisasikan.
Politik uang jelas melukai demokrasi Indonesia, karena Pancasila sebagai falsafah bangsa
Indonesia sudah jelas terlihat nilai atau asas yang moralitas. Politik uang jelas sangat tidak
bermoral, karena asas pemilu yang jujur adil umum bebas dan rahasia sia-sia hanya karena
politik uang.
Pemimpin harus mendapatkan legitimasi dari rakyat yang memilihnya, dan harus dijalankan
dengan prisnsip demokratis, politik uang sendiri bertentangan dengan asas demokrasi dan
nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila, dalam sila ke-2 disebutkan “kemanusiaan
yang adil dan beradab”, sudah jelas disini politik uang bertentangan dengan asas kemanusian
yang adil dan beradab.
Politik uang bertentangan dengan prinsip etika politik, yang mana dalam etika politik
dikatakan bahwa penyelenggaraan dan pelaksanaan negara harus sesuai dengan hukum yang
berlaku. Jelas politik uang yang dilakukan agar seseorang untuk mendapatkan legitimasi
kekuasaan bertentangan dengan etika politik, dengan demikian kekuasaan tersebut tidak
mendapatkan legitimasi yang sah.
Beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya praktik politik uang
Beberapa ahli memberikan analisis terkait sebab-sebab terjadinya politik uang, di antaranya :
a. Sistem Proporsional Terbuka
Oleh sebagian kalangan, sistem proporsional terbuka dianggap paling ideal sebagai wujud
keterwakilan rakyat. Sistem ini bisa menciptakan kompetisi di antara sesama caleg dalam
satu partai bahkan dianggap lebih demokratis di internal partai, mengikis sistem oligarki
partai, dan bisa menghasilkan calon terpilih yang lebih bertanggung jawab kepada
konstituennya. Melalui sistem ini hanya caleg yang meraih dukungan penuh dari rakyat yang
bisa duduk di kursi legislatif.
Namun sistem proporsional terbuka justru tidak mendidik masyarakat karena membuka
peluang terjadinya praktik money politic dan membuat biaya kampanye semakin mahal.
Penerapan putusan MK tersebut menjadikan pemilu 2009 terburuk sepanjang sejarah. Sistem
tersebut, menurut beberapa ahli, juga menimbulkan persaingan tak sehat (Effendy, 2012).
Pernyataan diatas sejalan dengan pandangan Muhtadi (2014). Menurutnya, desain
kelembagaan yang membuat sistem proporsional terbuka yang berbasis pemilih personal dan
3
kandidat menyebabkan maraknya politik uang (Kumoro, 2014). Persaingan antar caleg
semakin terbuka, kesempatan meraih kursi antara caleg nomor urut 1 dan nomor urut 2 sama.
Karena itu, segala daya yang dimiliki caleg dikerahkan untuk memobilisasi dukungan, baik
dengan pengaruh ketokohan maupun finansial.
b. Deideologisasi Politik
Thohari (2014) mengulas tentang asal muasal pergeseran politik ideologi ke politik nonideologi yang berorientasi pemecahan masalah dan pragmatisme. Menurutnya, dulu, untuk
menghindari konflik-konflik ideologi yang cenderung keras, seperti yang dominan dalam dua
dasawarsa setelah kemerdekaan, diberlakukan kebijakan deideologisasi politik, terutama,
antara lain, melalui asas tunggal.
Deideologisasi pada perkembangannya bersifat eksesif dan depolitisasi. Partai-partai politik
dilarang menonjolkan ideologi dalam setiap kontestasi transisi kekuasaan, apalagi bersifat
ideology-oriented, tetapi harus tampil dengan pendekatan program dan penyelesaian masalah.
Kebijakan ini, sekilas memang berhasil. Konflik-konflik keras ideologi hampir tak pernah
terjadi hingga Orde Baru tumbang. Namun pada era reformasi, tokoh-tokoh politik baru
bermunculan serta berupaya menghidupkan kembali ideologi partai dari kuburnya, meski
eksperimen ini gagal. Partai-partai ideologis justru terlempar di era reformasi. Beberapa
partai yang bisa bertahan adalah partai yang mengklaim dirinya terbuka, lintas ideologi, etnis,
budaya, dan agama (Thohari, 2014).
Menurut Thohari (2014), pergeseran dari politik ideologi ke non-ideologi ternyata kini jadi
eksesif, yaitu berkembangnya pragmatisme politik. Tidak ada lagi perjuangan ideologi dalam
politik, tetapi perjuangan kepentingan. Pengertian “kepentingan” mengalami reduksi dan
distorsi sedemikian rupa menjadi sekadar kepentingan materi dan uang. Inilah akar politik
transaksional yang kini menyelimuti perpolitikan di Indonesia.
c. Semakin Menguatnya Mental Materialisme dan Konsumerisme
Menurut Firmanzah (2008), politik uang terjadi karena semua elemen yang terlibat dalam
urusan politik memandang penting materi. Segalanya harus dapat diuangkan dan dijadikan
objek. Hal-hal yang bersifat ideologi, program kerja, nilai, dan norma politik menjadi kurang
relevan. Baik pemilih maupun kontestan sama-sama menekankan aspek materi. Pemilih di
Indonesia, misalnya, sangat tidak peduli dengan hal-hal yang berbau abstrak ideologis dan
program kerja partai. Semangat pragmatisme membuat dunia politik semakin menjauh dari
wacana ideologi. Menyadari bahwa ideologi sukar sekali dicerna dan diimplementasikan
membuat politikus hanya berkutat dengan hal-hal yang bersifat riil.
Faktor lain yang mengakibatkan tumbuh suburnya politik uang, menurut Firmanzah (2008),
adalah merasuknya semangat konsumerisme dalam aktivitas politik. Konsumerisme yang
dimaksud adalah suatu sifat dan karakter yang menekankan aktivitas konsumsi.
Saat ini, masyarakat menilai manusia dan individu berdasarkan objek yang dikonsumsi.
Semakin mahal dan gemerlap objek yang dikonsumsi, semakin tinggi nilai individu atau
manusia tersebut dalam struktur dan interaksi sosial bermasyarakat. Inilah yang sekarang
menghinggapi para politikus. Tekanan untuk mendapatkan objek yang bernilai tinggi
4
membutuhkan sumber finansial yang mahal. Akibatnya, berpolitik untuk berkuasa dan
mendapatkan akses sumber daya finansial tidak jarang dipraktikkan dalam dunia politik.
Sementara itu, nilai dari calon atau kandidat lebih diukur dengan seberapa besar kemampuan
finansial mereka. Kemampuan manajerial yang terekam dalam ‘track record’ tidak terlalu
diperhatikan, sejauh si calon dan kandidat memiliki kekuatan finansial yang besar
(Firmanzah, 2008)
Belakangan ini kita sering melihat calon atau kandidat “menebar pesona” dengan kelebihan
harta dan uangnya. Aksi bagi-bagi uang di jalanan dalam beberapa kasus malah menjadi
kebanggaan tim sukses dan calon. Justru yang tidak melakukan politik uang dianggap pelit
dan tak baik hati.
d. Minimnya Komunikasi Partai Politik Kepada Rakyat
Asrinaldi (2014) menengarai maraknya politik uang disebabkan pola komunikasi partai
politik dengan masyarakat hanya massif pada saat menjelang pemilu saja. Setelah pemilu
usai, masyarakat dibiarkan dan bahkan tidak ada komunikasi sama sekali sehingga
masyarakat menjadi alergi dengan ide-ide dan gagasan serta ideologi partai politik.
Partai politik maupun kader partai selama ini tidak pernah membangun komunikasi yang
intensif kepada masyarakat sehingga ketika kader politik hadir sebagai caleg, masyarakat
tidak mengenal. Karena itulah, pola yang digunakan untuk mobilisasi suara adalah uang.
Kondisi berbeda terjadi jika kader partai mempunyai ikatan emosional yang baik dengan
masyarakat. Maka secara otomatis masyarakat akan mau memilihnya tanpa ada imbalan
tertentu.
Karena tidak ada ikatan psikologis maupun ideologis dengan partai politik atau calon, relasi
transaksional dengan partai politik menjadi satu-satunya pendekatan yang digunakan oleh
masyarakat. Bisa jadi masyarakat berbuat demikian sebagai kompensasi dukungan yang
diberikan. Jika mengharapkan kompensasi program ataupun kemanfaatan jangka panjang,
masyarakat seolah lelah dengan penantian-penantian dan bosan dengan janji-janji. Apalagi
janji-janji itu keluar dari seseorang yang baru ia kenal dan tak ada rasa saling percaya.
e. Politisi Selalu Menggunakan Uang untuk Memobilisasi Dukungan
Berbagai praktik yang berbau politik uang ini, baik yang dilakukan langsung maupun tidak
langsung, tersamar atau terang-terangan, membuat politik menjadi mahal. Biaya yang
dikeluarkan seorang calon kepala daerah di Jawa, sejak berniat mencalonkan diri hingga
pilkada usai, diyakini lebih dari Rp100 miliar. Padahal gaji gubernur, lengkap dengan
berbagai tunjangannya, sebulan kurang dari Rp100 juta—atau hanya Rp1,2 miliar setiap
tahun. Defisit “investasi” itu bisa memunculkan korupsi dalam jabatan.
f. Lemahnya Regulasi Pengelolaan Keuangan Partai Politik
Di Nigeria, sebab utama terjadinya praktik politik uang secara besar-besaran adalah karena
tidak adanya undang-undang yang mengatur secara ketat tentang keuangan partai politik
sehingga memungkinkan partai politik dan politisi menggunakan uang untuk memobilisasi
pemilih dan meraih sebuah jabatan tertentu (Adetula et al., 2008).
5
Sebagian besar negara-negara Eropa telah mengambil langkah-langkah untuk mengatur partai
politik dan pembiayaan kampanye dengan undang-undang tentang keterbukaan keuangan.
Partai diminta untuk melaporkan sumbangan yang diterima, termasuk asal usul sumbangan,
jumlah, dan pengeluaran partai. Beberapa negara telah melarang beberapa jenis sumbangan
yang dianggap lebih rentan terhadap korupsi, seperti sumbangan dari perusahaan-perusahaan
besar. Cara lain ditempuh dengan memperpendek masa kampanye dan memberikan subsidi
untuk sosialisasi di media. Hanya dua dari 25 negara yang dinilai tidak memiliki aturan yang
mengikat apa pun untuk mengatur sumbangan politik, yaitu Swedia dan Swiss (Mulcahy,
2012).
Beberapa negara Eropa, seperti Belgia, Estonia, Perancis, Hungaria, Latvia, Lithuania,
Polandia, dan Portugal telah menerbitkan larangan lengkap tentang sumbangan perusahaan.
Meskipun peraturan pembiayaan partai di sebagian besar negara-negara Eropa diperketat,
namun tidak semua diikuti dengan penegakan hukum yang efektif. Penilaian nasional
mengungkapkan bahwa hukum sering dilanggar dengan imunitas. Agar hukum menjadi
efektif, penting dibentuk badan pengawas independen yang diberi wewenang melakukan
pengawasan dan memberikan sanksi. Di sejumlah negara, banyak ditemukan lembaga
penegak pembiayaan politik melemah. Ini khususnya menjadi masalah di Yunani dan
Belanda (Mulcahy, 2012).
Sebaliknya, di Polandia, Komisi Nasional Pemilihan mengendalikan keuangan partai politik.
Partai politik akan diberi sanksi berat jika tidak memenuhi kewajiban transparansi. Beberapa
partai politik, termasuk Partai Petani Polandia, Partai Demokrat, Serikat Buruh, dan Sosial
Demokrasi Polandia, mendapat pelajaran yang menyakitkan tentang ketidakpatuhan ini.
Mereka kehilangan hak untuk menerima subsidi publik selama tiga tahun sebagai akibat dari
laporan keuangan mereka ditolak (Mulcahy, 2012).
Bailey (2004) menyimpulkan bahwa keterlibatan pihak luar dalam sumbangan dana
kampanye politik sangat mengkhawatirkan. Oleh sebab itu, ia pun menyarankan agar terdapat
regulasi keuangan politik secara ketat karena sumbangan dari pihak lain akan sangat mampu
memengaruhi kebijakan.
Di beberapa negara, termasuk Indonesia, biaya politik sangat mahal. Sebagaimana
digambarkan oleh Deny (2006) dalam “Uang dan Politik”, di negara kaya seperti Amerika
Serikat, seorang calon tidak dapat membiayai pengeluaran pemilu sendirian. Pemilihan
kongres, gubernur, dan presiden sudah sedemikian mahal. Untuk merebut Gedung Putih,
biaya yang dikeluarkan Presiden Bill Clinton dan penantangnya, Senator Robert, sebesar US$
80 juta. Empat tahun kemudian, calon George W. Bush dan Albert Gore menghabiskan US$
307 juta untuk kampanye pemilihan presiden. Pada tahun 2004 pengeluaran petahana Bush
dan lawannya, John Kerry, dijumlahkan lebih dari US$ 550 juta. Angka terakhir ini tidak
termasuk pengeluaran oleh kelompok-kelompok advokasi dan partai politik (Stratmann,
2005).
Bagusnya, Amerika Serikat memiliki mekanisme untuk meminimalisasi pengaruh uang
swasta di dunia politik. Federal Election Campaign Act of 1974 hanya membolehkan
sumbangan pihak swasta kepada politisi dalam jumlah yang sangat kecil. Sumbangan
perorangan kepada seorang politikus hanya boleh paling banyak US$ 1.000 (atau sama
dengan Rp2,3 juta berdasarkan nilai tukar 1996). Jika menyumbang ke banyak politikus, total
6
sumbangannya tidak boleh lebih dari US$ 25.000 (Rp57,5 juta) dalam satu masa pemilihan.
Adapun sumbangan perusahaan kepada seorang kandidat dibatasi US$ 5.000 (Rp11,5 juta)
(Fitriyah, 2013).
Di Indonesia, pengaturan tentang dana kampanye tertuang dalam Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004, yang juga memuat tentang pembatasan sumbangan dana pemilu. Namun,
menurut Badoh (2010), pengaturannya tidak jelas dan mudah sekali disalahgunakan.
Lemahnya regulasi ini ikut menyumbang potensi masuknya dana ilegal kepada calon dan
terjadinya politik uang dalam pilkada.
g. Persepsi Pemilihan Sebagai Perayaan
Menurut Sutoro (2004), politik uang terjadi karena kuatnya persepsi bahwa pilkada sebagai
perayaan, kultur pragmatisme jangka pendek, lemahnya dialektika untuk mencari nilai-nilai
ideal dan membangun visi bersama, lemahnya aturan main, dan seterusnya.
Semakin maraknya politik uang membuat sebagian rakyat melihat pilkada bukan sebagai
momentum untuk memilih pemimpin yang dapat memperjuangkan kepentingan mereka,
namun merupakan saat suara rakyat dibutuhkan untuk mengantarkan seseorang menjadi elit
politik. Karena itu, mereka merasa berhak mendapatkan upah atas dukungan yang diberikan
kepada (seorang) calon (Susilo & Hernowo, 2008).
Dalam keadaan demikian, pemilih dan yang dipilih sama-sama mengabaikan persoalan
moralitas dan hukum. Persoalan apakah menerima uang tersebut melanggar hukum atau tidak
adalah nomor sekian; yang terpenting masyarakat mendapatkan manfaat secara pragmatis dan
caleg memperoleh dukungan.
Dalam konteks ini, teori Machiavelli menemukan relevansinya. Bukunya, Il Principe, yang
ditulis tahun 1500-an Masehi, menginspirasi para petualang politik bahwa kekuasaan bisa
diperoleh dengan cara apa pun. Bagi Machiavelli, dunia politik itu bebas nilai. Politik jangan
dikaitkan dengan persoalan moralitas. Dalam politik, yang terpenting bagaimana seseorang
berusaha dengan berbagai macam cara mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan, meski
cara-cara tersebut inkonstitusional atau bahkan bertentangan dengan nilai-nilai moral
(Prayitno, 2014).
h. Sikap Permisif Masyarakat Pada Politik Uang
Suburnya politik uang tidak lepas dari cara pandang masyarakat pemilih yang permisif
terhadap politik uang. Karena dianggap suatu kewajaran, masyarakat tidak peka terhadap
bahayanya. Mereka membiarkannya karena tidak merasa bahwa politik uangsecara normatif
adalah perilaku yang harus dijauhi (Fitriyah, 2013).
Survei yang dilakukan Indikator pada bulan September-Oktober 2013 di 39 dapil di seluruh
Indonesia menyimpulkan bahwa toleransi pemilih terhadap politik uang cukup tinggi.
Sebanyak 41,5 persen pemilih menilai praktik politik uang sebagai suatu kewajaran dan
hanya 57,9 persen yang menilai politik uang tak bisa diterima (Indikator, 2013). Temuan
tersebut menunjukkan bahwa masyarakat masih sangat permisif terhadap politik uang,
bahkan sebagian menganggapnya wajar.
7
Bisa jadi, sikap permisif tersebut muncul karena masyarakat tidak memiliki kedekatan
psikologis ataupun ideologis dengan partai politik sehingga masyarakat menggunakan relasi
transaksional dengan partai politik. Pemilih menjadikan politik uang dan pendekatan
kampanye yang bersifat partikularistik sebagai kompensasi kepada partai politik (Indikator,
2013).
Tingkat pendidikan juga memengaruhi penerimaan masyarakat terhadap politik uang.
Semakin tinggai pendidikan masyarakat, semakin kecil kecenderungan penerimaan
pemberian. Politik uang lebih mendapat respons pada pemilih yang tingkat pendidikannya
rendah, tidak merasa dekat dengan partai, dan pernah mengalami politik uang (ditawari uang
atau barang) (Indikator, 2013).
Dampak yang ditimbulkan oleh adanya praktek politik uang pun sangat merugikan,
diantaranya :
1. Korupsi
Ini merupakan dampak terbesar dari adanya praktek politik uang, karena ini merupakan salah
satu cara para pejabat yang terpilih untuk mengembalikan biaya-biaya pada saat pemilu
adalah dengan cara korupsi.Atau bisa kita katakan korupsi dilakukan untuk mengembalikan
modal yang telah di investasikan ketika melakukan kampanye..
2. Merusak Tatanan Demokrasi
Hal ini sudah pasti terjadi, dampak dari adanya politik uang adalah membuat demokrasi
dinegara kita menjadi tidak sehat.
3. Akan Makin Tingginya Biaya Politik
Dengan adanya praktek politik uang , maka sebuah parpol dituntut untuk lebih memeras
kantong, mengingat sudah terbiasanya masyarakat dengan pemberian uang dan barang
lainnya atau bisa kita katakan parpol yang lebih banyak mengeluarkan biaya akan keluar
menjadi pemenang. Oleh karena itu parpol-parpol tersebut akan berusaha memberikan uang
dan semisalnya kapada masyarakat melebihi parpol pesaingnya, agar masyarakat
memilihnya.
Karena praktek politik uang dan korupsi merupakan masalah yang sangat besar,akar-akarnya
telah menjalar keseluruh lapisan masyarakat, maka untuk memberantasnya diperlukan
kerjasama,usaha,dan dukungan dari semua pihak baik pemerintah, penegak hukum, dan
masyarakat. Jika salah satu dari komponen tersebut tidak mendukung, maka pemerintahan
yang bersih dari politik uang dan korupsi akan sulit terwujud.
8
B. Rumusan masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana dampak politik uang (money
politic) terhadap partisipasi politik dan perilaku pemilih pada pemilihan umum anggota DPD,
DPRD dan DPRD kabupaten Bombana tahun 2014?
C.Maksud Dan Tujuan Penelitian
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui dampak dari adanya politik uang (money
politic) terhadap tingkat partisipasi politik dan perilaku pemilih pada pemilihan umum
anggota DPD, DPR dan DPRD Tahun 2014 di kabupaten Bombana.
D.Manfaat Penelitian
1. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat mengetahui apa dampak dari politik uang
(money politic) terhadap partisipasi politik masyarakat di kabupaten Bombana pada
pemilihan umum anggota DPD, DPR dan DPRD Tahun 2014.
2. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat mengetahui bagaimana perilaku pemilih
menyikapi adanya politik uang (money politic) dimasyarakat pada pemilihan umum anggota
DPD, DPR dan DPRD Tahun 2014 di kabupaten Bombana.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
http://sahabudinrasyid.blogspot.com/2012/06/makalah-politik-uang-money-politic.htm
http://id.wikipedia.org/wiki/Politik_uang
http://horduka.blogspot.com/2011/01/politik-uang-dalam-pilkada-langsung.htm
Kompas.com.
Detik.com
Tempo.com
Kaelan, Pendidikan Pancasila. Yokyakarta: Paradigma, 2010.
Acemoglu, Daron, & Robinson, James A. (2012). Why nations fail: The origins of power,
prosperity, and poverty. New York: Crown Publishers.
Adetula, Victor A. O., et al. (2008). Money and politics in Nigeria. Abuja: Petra Digital
Press.
Badoh, Ibrahim Zuhdhy Fahmi. (Januari 2010). Kajian potensi-potensi korupsi pilkada.
Jakarta: ICW.
Bailey, Michael. (2004). The two sides of money in politics: A synthesis and framework.
Election Law Journal, 3, 653-669.
Bryan, Shari, & Baer, Denise (Ed.). (2005). Money in politics: A study of party financing
practices in 22 countries. Washington, DC: National Democratic Institute for International
Affairs.
Haryatmoko. (2014). Etika politik & kekuasaan. Jakarta : Kompas Media Nusantara
Huda, Muhammad Nurul. (2011). Penetrasi kapitalisme dan transformasi sosial di
Bojonegoro: Studi kasus proyek migas Blok Cepu. Jakarta: Universitas Indonesia.
Mulcahy, Suzanne. (2012). Money, politics, power: Corruption risks in Europe. Berlin:
Transparency International.
National Democratic Institute for International Affairs. (2014). Money in politics: Challenges
and strategies for Africa, Washington, DC: Author.
Stratmann, Thomas. (2005). Some talk: Money in politics. A (partial) review of the literature.
Journal of Department of Economics, George Mason University, 124, 135-156.
Vicente, Pedro C. (2007). Is vote-buying effective? Evidence from a field experiment in West
Africa. Paper presented at Manchester, Oxford, and the Oxford-LSE RPC Workshop.
10
Asrinaldi, A. ( 14 April 2014). Politik uang dan perilaku caleg. Haluan, h. 3.
Effendy, Rusmin. (3 Januari 2012). Proporsional terbuka vs tertutup. Harian Suara Karya, h.
4.
Eko, Sutoro. (Januari 2004). Pilkada secara langsung: Konteks, proses dan implikasi, bahan
diskusi dalam expert meeting “Mendorong partisipasi publik dalam proses penyempurnaan
UU No. 22/1999 di DPR RI”. Makalah dipresentasikan pada seminar yang diselenggarakan
oleh Yayasan Harkat Bangsa, Jakarta.
Thohari, Hajriyanto Y. (16 Juni 2014). Berpolitik yang indah. Harian Kompas, h. 7
Yuniarto, Topan. (28 April 2014). Noda politik uang di pemilu. Harian Kompas, h. 11.
Aco, Hasanuddin. (2013), Pramono Anung : Biaya caleg dpr bisa capai 20 milyar. 8 Juli
2014.
http://wartakota.tribunnews.com/2013/04/23/-pramono-anung-biaya-caleg-dpr-bisacapai-rp-20-miliar
Dariyanto, Erwin. (21 Maret 2014). Ini bahaya praktik politik wani piro. 12 Mei 2014.
http://news.detik.com/pemilu2014/read/2014/03/21/144105/2532925/1562/ini-bahayapraktik-politik-wani-piro
Endang. (28 Oktober 2013). Marzuki Ali: Pragmatisme rusak karakter pemuda. 6 Juli 2014.
http://www.lensaindonesia.com/2013/10/28/marzuki-alie-pragmatisme-rusak-karakterpemuda-indonesia.html
Faisal. (25 November 2011). Peran pemuda dalam meniti demokrasi Pancasila. 16 Mei 2014.
http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=Peran%20Pemuda%20Dalam%20Meniti%20
Demokrasi%20Pancasila&&nomorurut_artikel=518
Firmanzah. (2008). Mengelola partai politik: Komunikasi dan positioning ideologi politik di
era demokrasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Fitriyah. (2013). Fenomena politik uang dalam pilkada. 10 November
http://ejournal.undip.ac.id/index.php/politika/article/download/4824/4373
2013.
Ika. (26 September 2013). Politik uang masih warnai pemilu di Asia Tenggara. 26 Desember
2013. ugm.ac.id/id/berita/8264-politik.uang.masih.warnai.pemilu.di.asia.tenggara
Indikator. (12 Desember 2013). Laporan konpers rilis survey “sikap dan perilaku pemilih
terhadap money politics”. 12 Mei 2014.
http://www.indikator.co.id/news/details/1/41/Laporan-Konpers-Rilis-Survei-Sikap-danPerilaku-Pemilih-terhadap-Money-Politics(2 Juli 2004). Politik uang dan pemenangan pemilu. 12 Mei
http://antikorupsi.org/en/content/politik-uang-dan-pemenangan-pemilu-020704
11
2014.
(2014). 313 Kasus politik uang ditemukan dalam pileg 2014. 11 Mei 2014.
http://www.antikorupsi.org/id/content/313-kasus-politik-uang-ditemukan-dalam-pileg-2014
Indonesia Corruption Watch. (2014). Temuan final pemantauan politik uang pemilu legislatif
2014. 12 Mei 2014.
http//antikorupsi.orgsitesantikorupsi.orgfilesdocPublikasiTemuan%20Final%20Pemantauan
%20Politik%20Uang%20Pemilu%20Legislatif%202014%20ICW.pdf
Ismawan, Indra. (1999). Money politics: Pengaruh uang dalam pemilu. Yogyakarta: Media
Presindo.
Jajeli, Rois. (2013). Biaya pemilihan gubernur jatim hampir 800 milyar. 8 Juli 2014.
http://news.detik.com/surabaya/read/2013/05/08/153345/2241234/466/biaya-pemilihangubernur-jatim-hampir-rp-800-miliar
Joniansyah. (2012). Biaya pemilihan bupati tangerang rp 60 milyar. 8 Juli 2014.
http://www.tempo.co/read/news/2012/07/13/064416749/Biaya-Pemilihan-Bupati-TangerangRp-60-Miliar
Kawiyan. (2010). Begitu mahalnya menjadi bupati. 8 Juli 2014.
http://nasional.inilah.com/read/detail/490041/begitu-mahalnya-menjadi-bupati
Kemendagri. (2013). Daerah otonom (provinsi, kabupaten, dan kota) di indonesia per
desember 2013. 8 Juli 2014.
http://otda.kemendagri.go.id/images/file/data2014/file_konten/jumlah_daerah_otonom_ri.pdf
Kumoro, Heru Sri. (26 April 2014). Uang, anomali pemilihan umum kita. 27 April 2014.
http://nasional.kompas.com/read/komentar/2014/04/26/1638430/Uang.Anomali.Pemilihan.U
mum.Kita
Prayitno, Adi. (8 April 2014). Menyoal money politics. 28 April 2014.
http://pemilu.sindonews.com/read/2014/04/07/114/851657/menyoal-money-politics
Puji, Siwi Tri, B. (16 November 2010). Ketua KNPI Sulteng divonis setahun penjara. 28 Mei
2014.
http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/hukum/10/11/16/146929-ketua-knpisulteng-divonis-setahun-penjara.
Purniawan, Arif. (2012). Anggaran pilgub jateng disepakati rp746 m. 8 Juli 2014.
12
http://m.sindonews.com/read/660772/28/anggaran-pilgub-jateng-disepakati-rp746-m
Radar Jatim. (2013). Biaya kampanye calon gubernur jatim mencapai angka 750 miliar. 8 Juli
2014.
http://radarjatim.com/biaya-kampanye-calon-gubernur-jatim-mencapai-angka-750miliar/
Rakyat Merdeka. (2013). Capres butuh 7 triliun rayu 70 juta pemilih. 8 Juli 2014.
http://www.rmol.co/read/2013/08/19/122384/Capres-Butuh-7-Triliun-Rayu-70-Juta-PemilihSabili, Muhtadin. (28 Oktober 2011). Intrik & politik uang di kongres KNPI undang
keprihatinan
ketum
PB
Pemuda
Muslimin
Indonesia.
6
Juli
2014.
http://politik.kompasiana.com/2011/10/28/intrik-politik-uang-di-kongres-knpi-undangkeprihatinan-ketum-pb-pemuda-muslimin-indonesia-407471.html
Saifullah, Muhammad. (18 Januari 2012). Money politics (politik uang) dalam kacamata
Islam. 19 Juni 2014. http://onniesandi.wordpress.com/2012/01/18/money-politics-politikuang-dalam-kacamata-islam/
Satyagraha. (2013). Rp 16 triliun, biaya pemilu 2014. 8
http://www.antaranews.com/berita/363483/rp16-triliun-biaya-pemilu-2014
Juli
2014.
Solicha, Zumrotun. (2014). Pengamat: Politik Uang Bayangi Pemilu 2014. 8 Juli 2014.
http://antarajatim.com/lihat/berita/129565/pengamat-politik-uang-bayangi-pemilu-2014
Susilo, Nina, & Hernowo, M. (17 Juli 2008). Politik uang dan demokrasi kita. 10 November
2013. http://nasional.kompas.com/read/2008/07/17/0042470/politik.uang.dan.demokrasi.kita
Zey. (27 november 2013). Aksi borong OKP buktikan pragmatisme pemuda. 28 Mei 2014.
http://mediabanten.com/content/aksi-borong-okp-buktikan-pragmatisme-pemuda
13
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Metodologi yang digunakan pada penelitian ini adalah metodologi kuantitatif. Yakni
sebuah metodologi penelitian dengan terlebih dahulu menetapkan landasan teori dan
rumusan masalah dari penelitian yang akan dilaksanakan.
A. 1. Definisi Metodologi Penelitian Kuantitatif Menurut Para Ahli :
Metode Penelitian Kuantitatif adalah metode yang lebih menekankan pada aspek
pengukuran secara obyektif terhadap fenomena sosial. Untuk dapat melakukan
pengukuran, setiap fenomena sosial dijabarkan kedalam beberapa komponen masalah,
variabel dan indikator. Setiap variabel yang di tentukan di ukur dengan memberikan
simbol – simbol angka yang berbeda – beda sesuai dengan kategori informasi yang
berkaitan dengan variabel tersebut. Dengan menggunakan simbol – simbol angka
tersebut, teknik perhitungan secara kuantitatif matematik dapat dilakukan sehingga
dapat menghasilkan suatu kesimpulan yang belaku umum di dalam suatu parameter.
Tujuan utama dati metodologi ini ialah menjelaskan suatu masalah tetapi
menghasilkan generalisasi. Generalisasi ialah suatu kenyataan kebenaran yang terjadi
dalam suatu realitas tentang suatu masalah yang di perkirakan akan berlaku pada
suatu populasi tertentu. Generalisasi dapat dihasilkan melalui suatu metode perkiraan
atau metode estimasi yang umum berlaku didalam statistika induktif. Metode estimasi
itu sendiri dilakukan berdasarkan pengukuran terhadap keadaan nyata yang lebih
terbatas lingkupnya yang juga sering disebut “sample” dalam penelitian kuantitatif.
Jadi, yang diukur dalam penelitian sebenarnya ialah bagian kecil dari populasi atau
sering disebut “data”. (Kepustakaan : Drs.Sumanto.M.A. , 1995 , Metodologi
Penelitian Sosial Dan Pendidikan , Yogyakarta : Andi Offset)
Penelitian kuantitatif merupakan studi yang diposisikan sebagai bebas nilai (value
free).Dengan kata lain, penelitian kuantitatif sangat ketat menerapkan prinsip-prinsip
objektivitas. Objektivitas itu diperoleh antara lain melalui penggunaan instrumen yang
telãh diuji validitas dan reliabilitasnya. Peneliti yang melakukan studi kuantitatif
mereduksi sedemikian rupa hal-hal yang dapat membuat bias, misalnya akibat
masuknya persepsi dan nilai-nilai pribadi. Jika dalam penelaahan muncul adanya bias
itu maka penelitian kuantitatif akan jauh dari kaidah-kaidah teknik ilmiah yang
sesungguhnya (Sudarwan Danim, 2002: 35).
Di dalam metodologi kuantitatif ada beberapa metode yang dapat digunakan pada
proses pengumpulan data. Yakni : metode deskriptif, metode survey, metode
komparatif, penelitian tindakan, metode korelasional dan metode ekspos facto. Pada
penelitian ini, tim peneliti mengfokuskan penelitian dengan menggunakan metode
survey. Metode survey adalah salah satu cara pengumpulan data dan informasi dengan
14
melakukan wawancara langsung kepada responden yang telah ditentukan, dengan
instrument kuisioner/angket.
Dalam metode penelitian kuantitatif, masalah yang diteliti lebih umum memiliki
wilayah yang luas, tingkat variasi yang kompleks. Penelitian kuantitatif lebih
sistematis, terencana, terstruktur, jelas dari awal hingga akhir penelitian.
Berdasarkan rumusan masalah yang telah peneliti tetapkan yaitu : “Bagaimana
Dampak Politik Uang (Money Politic) Terhadap Partisipasi Politik Dan Perilaku
Pemilih Pada Pemilihan Umum Anggota DPD, DPR dan DPRD Kabupaten Bombana
Tahun 2014?” maka metode yang paling tepat untuk memperoleh data yang akan
menjadi dasar dan acuan dalam melakukan analisa dalam upaya mencari sebuah
kesimpulan terhadap rumusan masalah tersebut adalah metode survey. Mengapa
metode survey? Sebab dengan menggunakan metode survey sangat dimungkinkan
akan adanya interaksi langsung antara pengumpul data dan sumber data. Interaksi
langsung dalam bentuk wawancara dan tatap muka dengan menggunakan instrument
kuisioner/angket antara pengumpul data dan sumber data (responden) sangat penting
dilakukan untuk mendapatkan data yang benar-benar valid.
Pada penelitian ini, untuk menentukan lokasi survey dan calon responden survey di
tentukan secara acak (sampling random) dan secara sengaja/dengan pertimbangan
tertentu (sampling purposive).
A. 2. Sistem Pengambilan Sampel Secara Acak (Sampling Random)
Sistem pengambilan sampel secara acak (sampling random) digunakan untuk
menentukan kecamatan dan desa/kelurahan mana saja yang akan menjadi lokasi
penelitian dengan jumlah sampel sebanyak 30 % dari jumlah kecamatan yang ada di
kabupaten Bombana dan 30 % dari jumlah desa/kelurahan yang tersebar pada masingmasing kecamatan di kabupaten Bombana.
A. 3. Sistem Pengambilan Sampel Secara Sengaja/Pertimbangan Tertentu
(Sampling Purposive)
Sistem pengambilan sampel secara sengaja/dengan pertimbangan tertentu (sampling
purposive) digunakan untuk menentukan lokasi TPS yang akan menjadi lokasi
penelitian dan untuk menentukan responden yang akan diwawancarai oleh tim
pengumpul data. Jumlah TPS ditentukan secara sengaja yakni 2 TPS untuk setiap
desa/kelurahan yang telah terpilih menjadi lokasi survey. Jumlah responden
ditentukan secara sengaja yakni 2 responden untuk setiap TPS yang telah terpilih yang
terbagi dalam 1 orang laki-laki dan 1 orang perempuan.
Persentasi lokasi survey dan jumlah responden secara sengaja ditetapkan 30 % untuk
lokasi survey (kecamatan dan desa/kelurahan), 2 TPS pada masing-masing
15
desa/kelurahan yang terpilih dan 2 orang (1 orang laki-laki dan 1 orang perempuan)
untuk jumlah responden pada TPS yang terpilih. Hal ini disesuaikan dengan jumlah
anggaran survey yang tersedia.
B. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan teknik survey. Teknik
survey adalah salah satu metode penelitian yang merupakan bagian dari metodologi
kuantitatif. Dalam metode survey, peneliti menggunakan beberapa format instrument
yaitu : format 1A, format 1B, format 1C dan format 1D.
-
Format 1A adalah daftar urutan nama-nama kecamatan di kabupaten Bombana.
Format 1B adalah daftar urutan nama-nama desa/kelurahan dimasing-masing
kecamatan.
Format 1C adalah tabel acak.
Format 1D adalah kuisioner/angket.
Format-format tersebut digunakan oleh tim pengumpul data survey dalam
menentukan lokasi survey dan calon responden survey. Jenis data yang akan
dikumpulkan dari penelitian ini adalah informasi dan jawaban responden terkait
dengan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan tujuan penelitian. Teknik
pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara langsung kepada responden
dengan menggunakan kuisioner/angket. Wawancara kepada responden dilaksanakan
oleh tim pengumpul data yang telah dibentuk pada penelitian ini.
C. Teknik Analisa Data
Teknik analisa data yang digunakan dalam survey ini adalah analisa data kuantitatif.
Yaitu analisa data yang dilakukan oleh peneliti setelah seluruh data yang dibutuhkan
terkumpul. Data-data yang dibutuhkan diperoleh dari tim pengumpul data yang
bertugas melakukan pengumpulan data dilapangan dengan cara wawancara langsung
terhadap responden yang dipilih secara sengaja/pertimbangan tertentu dengan
menggunakan instrument kuisioner/angket. Analisa data meliputi pengelompokan
data, tabulasi data dan perhitungan persentase. Analisa data dilakukan untuk
menjawab rumusan masalah yang telah ada.
16
Langkah-Langkah Penelitian Kuantitatif :
Landasan teori
Rumusan
Masalah
Analisa Data
Pengumpulan
Data
Penentuan
Populasi
Pengambilan
Sampel
Penyajian Data
& Kesimpulan
Kesimpulan data yang diperoleh dari hasil analisa disajikan dalam bentuk tabel dan
grafik.
D. Waktu Dan Tempat
Waktu Pelaksanaan Penelitian
Waktu pelaksanaan penelitian, diawali dari masa persiapan penelitian, pelaksanaan
penelitian dan mengambil kesimpulan terhadap hasil penelitian adalah April 2015
sampai dengan Juli 2015.
Tempat/Lokasi Penelitian
Kabupaten Bombana
No.
Kecamatan
Jumlah Desa/Kelurahan
1.
Kabaena
4
2.
Kabaena Barat
5
3.
Kabaena Selatan
4
4.
Kabaena Tengah
7
5.
Kabaena Timur
7
17
6.
Kabaena Utara
6
7.
Kepulauan Masaloka Raya
5
8.
Lentari Jaya S (Lentari Jaya)
10
9.
Mata Oleo
10
10.
Mata Usu
5
11.
Poleang
10
12.
Poelang Barat
10
13.
Poleang Selatan
5
14.
Poleang Tengah
4
15.
Poleang Tenggara
4
16.
Poleang Timur
5
17.
Poleang Utara
8
18.
Rarowatu
8
19.
Rarowatu Utara
8
20.
Rumbia
5
21.
Rumbia Tengah
5
22.
Tontonunu/Tontonuwu
5
Total
140
18
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Berdasarkan analisa terhadap penelitian yang telah dilakukan, dengan sistem metode survey
yakni salah satu metode dalam metodologi kuantitatif dengan kuisioner/angket sebagai acuan,
maka diperoleh hasil :
Tabel I : Motivasi Responden Menggunakan Hak Pilihnya
No
Motivasi Responden
Persentase
1
Kesadaran Akan Pentingnya Demokrasi
88,14 %
2
Di Ajak Keluarga/Teman
4,72 %
3
Keluarga/Teman Adalah Peserta Pemilu
0%
4
Politik Uang (Money Politic)
7,14 %
Dari tabel tersebut, terlihat dengan sangat jelas bahwa keberadaan politik uang (money
politic) adalah bukan hal yang utama dapat mempengaruhi motivasi responden dalam
menggunakan hak pilihnya. Responden yang mewakili populasi di Kabupaten Bombana
dengan sangat sadar menggunakan hal pilihnya pada pemilihan umum anggota DPD, DPR
dan DPRD Tahun 2014 karena termotivasi akan pentingnya demokrasi, ini terlihat dari
tingkat persentase yakni 88,14 %. Kemudian sebanyak 4,72 % responden menggunakan hak
pilihnya karena diajak oleh teman atau keluarga dan 7,14 % responden menggunakan hak
pilihnya karena politik uang (money politic). Politik uang (money politic) hanya berada
diurutan kedua dalam hal mempengaruhi tingkat motivasi responden dalam menggunakan
hak pilihnya. Untuk Kabupaten Bombana, keberadaan teman/keluarga yang menjadi peserta
Pemilu tidak berpengaruh besar, dalam tabel hasil survey hanya terlihat 0 %. 0 % bukan
berarti tidak ada. Ada tetapi tidak signifikan. Dengan sampel kecamatan 30 %,
desa/kelurahan 30 %, maka angka 0 % yang tertera pada tabel hasil survey adalah angka yang
tidak menyatakan tidak ada.
19
Grafik Motivasi Responden Menggunakan Hak Pilihnya
100.00%
90.00%
80.00%
70.00%
60.00%
50.00%
Series1
40.00%
30.00%
20.00%
10.00%
0.00%
Kesadaran Akan
Pentingnya
Demokrasi
Di Ajak
Keluarga/Teman
Keluarga/Teman Politik Uang (Money
Adalah Peserta
Politic)
Pemilu
Tabel II : Pemahaman Responden Terhadap Politik Uang (Money Politic)
No
Pemahaman Responden
Persentase
Adalah Pelanggaran Terhadap Undang-Undang Pemilu
1
83,33 %
Dan Merusak Sistem Demokrasi
2
Adalah Sesuatu Yang Wajar Dan Sah-Sah Saja
20
16,67 %
Dari tabel tersebut, terlihat bahwa responden yang mewakili populasi pemilih di Kabupaten
Bombana pada Pemilihan Umum Anggota DPD, DPR dan DPRD Tahun 2014, mayoritas
tahu dan sadar bahwa politik uang (money politic) adalah sesuatu yang salah, adalah
pelanggaran terhadap undang-undang pemilu dan merusak sistem demokrasi. Ini terlihat dari
persentase pemahaman mereka yakni 83,33 %. Tetapi responden yang menganggap bahwa
politik uang (money politic) adalah sesuatu yang wajar dan sah-sah saja cukup besar yakni
16,67 %. Bagi responden yang menganggap bahwa politik uang adalah sesuatu yang wajar
dan sah-sah saja adalah mereka yang menganggap bahwa pemberian uang atau barang dari
seorang calon adalah bukan untuk menyuap mereka tetapi lebih pada ucapan terima kasih
bagi sang calon karena telah didukung/dipilih oleh mereka. Dan karena itu ucapan terima
kasih maka tidak boleh ditolak atau harus diterima.
Grafik Pemahaman Responden Terhadap Politik Uang (Money Politic)
90.00%
80.00%
70.00%
60.00%
50.00%
40.00%
Series1
30.00%
20.00%
10.00%
0.00%
Adalah Pelanggaran Terhadap Undang- Adalah Sesuatu Yang Wajar Dan Sah-Sah
Undang Pemilu Dan Merusak Sistem
Saja
Demokrasi
21
Tabel III : Apakah Politik Uang (Money Politic)
Mempengaruhi Partisipasi Politik Responden
No
Partisipasi Politik Responden
Persentase
1
Ya, Berpengaruh
7,14 %
2
Tidak Berpengaruh
92,86 %
Apakah politik uang (money politic) mempengaruhi tingkat partisipasi politik responden?
Dari hasil penelitian yang dilakukan, ditemukan bahwa persentase responden yang
menyatakan bahwa keberadaan pemberian berupa uang atau barang kepada mereka
(responden yang mewakili populasi warga Kabupaten Bombana) akan mempengaruhi tingkat
partisipasi mereka untuk datang ke TPS menyalurkan hak pilihnya adalah 7,14 %. Mereka ini
adalah kelompok yang apatis terhadap Pemilu. Bagi mereka untuk apa datang ke TPS kalau
tidak memberikan keuntungan. Kelompok ini yang menyuburkan praktek jual beli suara,
karena mereka akan datang ke TPS menyalurkan hak pilihnya jika mendapatkan uang atau
barang dari peserta Pemilu. Sementara persentase responden yang menyatakan bahwa
keberadaan politik uang (money politic) tidak mempengaruhi tingkat partisipasi politik
mereka adalah 92,86 % adalah angka yang cukup besar. Arti dari “Tidak Berpengaruh”
adalah bahwa ada atau tidak ada pemberian dari peserta pemilu mereka tetap akan datang ke
TPS menyalurkan hak pilihnya. Tetapi jika ada peserta pemilu yang memberikan uang atau
barang sebagian dari mereka akan menerima dengan pertimbangan tertentu dan sebagian dari
mereka akan menolak dengan pertimbangan tertentu.
22
Grafik Apakah Politik Uang (Money Politik) Mempengaruhi Partisipasi Politik
Responden
90.00%
80.00%
70.00%
60.00%
50.00%
40.00%
Series1
30.00%
20.00%
10.00%
0.00%
Adalah Pelanggaran Terhadap
Undang-Undang Pemilu Dan
Merusak Sistem Demokrasi
Adalah Sesuatu Yang Wajar Dan
Sah-Sah Saja
Tabel IV : Sikap Responden Jika Politik Uang (Money Politic)
Adalah Sesuatu Yang Wajar Dan Sah- Sah Saja
No
Sikap Responden
Persentase
1
Menerima Pemberian Dan Memilih Yang Memberikan
19,06 %
2
Menerima Pemberian Dan Tidak Memilih Yang Memberikan
7,14 %
3
Menolak Pemberian Dan Memilih Yang Memberikan
11,90 %
4
Menolak Pemberian Dan Tidak Memilih Yang Memberikan
61,90 %
Bagaimana sikap/perilaku pemilih responden yang mewakili warga Kabupaten Bombana, jika
kita mengandaikan bahwa politik transaksional, politik uang (money politic) adalah sesuatu
yang wajar dan sah-sah saja?
23
Dalam penelitian ini, tim peneliti mencoba mengandaikan hal tersebut, dan diperoleh hasil
yang terlihat pada tabel dan grafik bahwa persentase responden yang menolak adanya
transaksi dan jual beli suara cukup besar, terlihat 61,90 % responden bersikap menolak
pemberian dan tidak memilih yang memberikan. Selebihnya 19,06 % responden bersikap
menerima pemberian dan memilih yang memberikan dan 7,14 % responden bersikap
menerima pemberian dan tidak memilih yang memberikan. Kemudian 11,90 % dari
responden bersikap menolak pemberian dan memilih yang memberikan.
Grafik Sikap Responden Jika Politik Uang (Money Politik) Adalah Sesuatu Yang
Wajar dan Sah-Sah Saja
70.00%
60.00%
50.00%
40.00%
30.00%
Series1
20.00%
10.00%
0.00%
Menerima
Pemberian Dan
Memilih Yang
Memberikan
Menerima
Menolak Pemberian Menolak Pemberian
Pemberian Dan
Dan Memilih Yang Dan Tidak Memilih
Tidak Memilih Yang
Memberikan
Yang Memberikan
Memberikan
24
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian adalah ;
1. Dari penelitian yang telah dilaksanakan, ditemukan bahwa keberadaan politik uang
(money politic) tidak memberikan pengaruh yang besar terhadap tingkat partisipasi
politik warga untuk datang ke TPS menyalurkan hak pilihnya. Mayoritas warga
Kabupaten Bombana, ada atau tidak ada politik uang (money politic) tetap akan
datang ke TPS menyalurkan hak pilihnya, ini semua dipengaruhi dengan kesadaran
mereka akan pentingnya demokrasi.
2. Politik transaksional/politik uang (money politic) bagi warga Kabupaten Bombana
adalah sesuatu yang salah, melanggar undang-undang kepemiluan dan merusak sistem
demokrasi Indonesia, walaupun ada juga sebagian warga Kabupaten Bombana yang
menganggap hal tersebut adalah sesuatu yang wajar dan sah-sah saja. Ini di pengaruhi
dari tingkat pendidikan dan pemahaman warga Kabupaten Bombana terhadap
undang-undang pemilu. .
3. Bagi warga Kabupaten Bombana yang menganggap bahwa politik transaksional,
politik uang (money politic) adalah sesuatu yang wajar dan sah-sah saja dikarenakan
peserta pemilu yang telah terpilih sangat jarang menepati janji kampanyenya sehingga
momen pemilu dijadikan oleh warga sebagai momen transaksional/jual beli suara.
4. Jika kita mengandaikan bahwa politik uang adalah sesuatu yang wajar dan sah-sah
saja. Maka kita menemukan hasil bahwa responden yang melakukan penolakan
terhadap politik uang dan tidak memilih peserta pemilu yang melakukan politik uang
menempati persentase tertinggi.
5. Dari pertanyaan terbuka yang peneliti tanyakan kepada responden tentang tanggapan
mereka terhadap politik uang (money politic). Mayoritas responden sangat tidak
sepakat dengan adanya politik uang, dan mengharapkan sanksi bagi pelaku politik
uang.
6. Pertanyaan yang tentunya ada dibenak kita semua, pada Pemilihan Umum Anggota
DPD, DPR dan DPRD Tahun 2014 Kabupaten Bombana kita mendengar hampir
disemua wilayah Kabupaten Bombana terjadi transaksional politik/jual beli suara,
walaupun secara langsung kita tidak menyaksikannya. Bahwa itu benar, dari hasil
penelitian yang dilakukan ditemukan bahwa walaupun motivasi utama warga
Kabupaten Bombana dalam menggunakan hak pilihnya adalah karena kesadaran akan
pentingnya demokrasi, karena ajakan keluarga dan teman, karena ingin membantu
keluarga dan teman yang menjadi peserta pemilu tetapi mereka tidak akan menolak
ketika ada keluarga/teman yang menjadi peserta pemilu yang memberikan uang.
Responden menganggap ini adalah hal yang wajar sebagai ucapan terima kasih atau
sebagai uang traktiran karena telah membantu dukungan suara. Jadi sebenarnya yang
salah adalah peserta pemilu yang telah menyuburkan politik transaksional. Karena
25
seandainya semua peserta pemilu sepakat bahwa mereka akan berpolitik secara ideal
berdasarkan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku tanpa adanya politik
transaksional, maka tidak akan mempengaruhi motivasi responden dalam
menggunakan hak pilihnya. Karena momen pemilu adalah momen lima tahunan,
tanpa ada embel-embel politik uang, warga tetap akan datang ke TPS.
B. Saran
Beberapa hal yang perlu dilakukan untuk memberantas praktek politik uang
(money politic) adalah:
1. Menanamkan nilai-nilai kejujuran dan keimanan kepada Allah SWT, Tuhan Yang
Maha Esa sejak dini pada setiap individu. Karena hanya dengan kejujuran dan
keimanan yang dilandaskan rasa takut kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa,
maka seseorang tidak akan berani melakukan hal-hal yang melanggar norma dan
hukum yang berlaku.
2. Harus ada sanksi yang keras dan tegas bagi para pelanggar undang-undang pemilu.
3. Lembaga penyelenggara pemilu dalam hal ini KPU dan Bawaslu harusnya duduk
bersama merumuskan sebuah formulasi yang tepat dalam bentuk regulasi untuk
menindak para pelanggar undang-undang kepemiluan, salah satunya adalah pelaku
politik uang (money politic).
4. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilu harus segera
direvisi mengingat pilkada serentak sudah didepan mata. Wewenang Bawaslu dan
seluruh jajarannya dalan Undang-Undang tersebut harusnya diubah, bukan hanya
sekedar memberikan rekomendasi tetapi sampai pada level penuntutan bagi pelaku
pelanggar undang-undang kepemiluan.
Yang harus dilakukan untuk meningkatkan partisipasi politik masyarakat :
1. Penyelenggara pemilu dalam hal ini KPU dan seluruh jajarannya sebagai
penyelenggara teknis Pemilu, harusnya lebih kreatif dalam mensosialisasikan Pemilu
kepada masyarakat. Pertemuan langsung dengan masyarakat dalam rangka
menjelaskan pentingnya Pemilu, memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang
pentingnya Pemilu harusnya lebih intensif dilaksanakan.
2. Anggaran sosialisasi Pemilu harus ditingkatkan, sehingga dengan anggaran yang
memadai, maka sosialisasi Pemilu bisa dilakukan dengan banyak cara dan lebih
kreatif, tidak sekedar beriklan lewat media.
3. Tempat Pemungutan Suara harusnya dibuat semenarik mungkin pada hari
pemungutan suara sehingga masyarakat akan tertarik datang ke TPS, layaknya sebuah
pesta demokrasi, maka TPS juga harus dibuat sebagaimana tempat penyelenggaraan
pesta, sehingga masyarakat lebih simpati untuk datang ke TPS.
26
Dokumentasi Survey Kabupaten Bombana
Tim Survey KPU Kabupaten Bombana Saat Mewawancarai Responden
Tim Survey KPU Kabupaten Bombana Saat Mewawancarai Responden
27
Tim Survey KPU Kabupaten Bombana Saat Mewawancarai Responden
Tim Survey KPU Kabupaten Bombana Saat Mewawancarai Responden
28
Tim Survey KPU Kabupaten Bombana Saat Mewawancarai Responden
Tim Survey KPU Kabupaten Bombana Saat Mewawancarai Responden
29
Tim Survey KPU Kabupaten Bombana Saat Mewawancarai Responden
Tim Survey KPU Kabupaten Bombana Saat Mewawancarai Responden
30
Tim Survey KPU Kabupaten Bombana Saat Mewawancarai Responden
Tim Survey KPU Kabupaten Bombana Saat Mewawancarai Responden
31
Tim Survey KPU Kabupaten Bombana Saat Mewawancarai Responden
32
Kuisioner/Angket
Kabupaten Bombana
Kuesioner Survei
Dampak Politik Uang (Money Politic) Terhadap Partisipasi Politik dan Perilaku
Pemilih Pada Penyelenggaraan Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD Dan DPRD
Tahun 2014 Di Kabupaten Bombana
Nomor Kuesioner
Pengantar
Assalamu A’laikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Kami Tim Pengumpul Data KPU Kabupaten Bombana sedang mengadakan penelitian
tentang “Dampak Politik Uang (Money Politic) Terhadap Partisipasi Politik dan Perilaku
Pemilih Di Kabupaten Bombana” Pada Penyelenggaraan Pemilihan Umum Anggota DPR,
DPD Dan DPRD Tahun 2014. Untuk keperluan tersebut kami meminta kesediaan
bapak/ibu/saudara(i) untuk kami wawancarai. Kami menjamin semua kerahasiaan jawaban
atas pertanyaan yang kami ajukan. Semua data akan kami olah hanya untuk keperluan
penelitian.
Atas partisipasi bapak/ibu/saudara(i) kami ucapkan terima kasih.
Petunjuk Pengisian Kuesioner ;
-
Kuesioner nomor ganjil untuk responden laki-laki.
Kuesioner nomor genap untuk responden perempuan.
Berilah tanda silang atau lingkari jawaban yang menjadi pilihan bapak/ibu/saudara(i).
Bombana,
Juni 2015
…………………………
Tim Pengumpul data
33
Karakteristik Responden
Nama Responden
:
Jenis Kelamin
:
Alamat
:
TPS
:
Desa/Kelurahan
:
Kecamatan
:
Kabupaten
: Bombana
Provinsi
: Sulawesi Tenggara
1. Berapa usia bapak/ibu/saudara(i) saat ini?
a. 17-25 Tahun
b. 26-35 Tahun
c. 36-45 Tahun
d. 46-55 Tahun
e. Lebih Dari 55 Tahun
2. Status perkawinan bapak/ibu/saudara(i)?
a. Belum Kawin
b. Kawin
c. Janda
d. Duda
3. Agama bapak/ibu/saudara(i)?
a. Islam
b. Katolik
c. Protestan
d. Hindu
e. Budha
f. Konghucu
4. Apa pendidikan terakhir bapak/ibu/saudara(i)?
a. Tidak Pernah Sekolah
b. Tidak Tamat SD
34
c. Tamat SD
d. Tamat SLTP
e. Tamat SLTA
f. Tamat Akademi/Diploma
g. Tamat S-1
h. Tamat S-2
i. Tamat S-3
5. Apa bapak/ibu/saudara(i) bekerja?
a. Ya, Bekerja
b. Tidak Bekerja
6. Jenis pekerjaan bapak/ibu/saudara(i) saat ini? (Pilih salah satu jawaban)
a. Petani
b. Buruh
c. Pedagang
d. Wiraswasta
e. Pegawai Swasta
f. PNS
g. Pejabat Publik (Camat, Walikota, Gubernur, dll)
h. Profesional (Dokter, Pengacara, Peneliti, Guru, Dosen, dll)
i. Pegawai BUMN
j. Pengrajin/Industri Kecil
k. Pelajar/Mahasiswa
l. Lainnya (Sebutkan)………………………………………………..
7. Berapa kisaran penghasilan bapak/ibu/saudara(i) perbulan?
a. Kurang dari Rp.1.000.000,b. Rp 1.000.000,- s/d Rp 2.000.000,c. Rp.2.000.000,- s/d Rp 3.000.000,d. Lebih dari Rp 3.000.000,-
Partisipasi Politik & Perilaku Memilih
8. Apakah bapak/ibu/saudara(i) menggunakan hak pilih pada Pemilu Tahun 2014?
35
a. Ya
b. Tidak (jika tidak mengapa?)………………………………………………....
9. Jika Ya, sejak Pemilu tahun berapa bapak/ibu/saudara(i) mulai menggunakan hak
pilih?
a. Sebelum Pemilu Tahun 2009
b. Pemilu Tahun 2009
c. Pemilu Tahun 2014
10. Apa yang memotivasi bapak/ibu/saudara(i) menggunakan hak pilih?
a. Kesadaran akan pentingnya demokrasi
b. Diajak oleh keluarga/teman
c. Ada keluarga/teman yang menjadi peserta Pemilu
d. Ada peserta pemilu yang memberikan barang berupa sembako, sarung, dll.
e. Ada peserta pemilu yang memberikan sejumlah uang.
11. Apakah kedatangan bapak/ibu/saudara(i) ke TPS menggunakan hak pilih karena ada
yang memberikan uang?
a. Ya
b. Tidak
12. Apakah bapak/ibu/saudara(i) pernah mendengar istilah money politic?
a. Ya
b. Tidak
13. Menurut bapak/ibu/saudara(i), apa itu money politic?
a. Money politic adalah peserta pemilu memberikan sejumlah uang kepada warga
agar memilihnya.
b. Money politic adalah peserta pemilu memberikan sejumlah barang (sembako,
sarung, dll) kepada warga agar memilihnya.
c. Money politic adalah seseorang menggunakan hak pilihnya karena memperoleh
sejumlah uang dari kontestan pemilu.
d. Money politic adalah seseorang menggunakan hak pilihnya karena memperoleh
sejumlah barang (sembako, sarung, dll) dari kontestan pemilu.
14. Bagaimana menurut pandangan bapak/ibu/saudara(i), tentang money politic?
a. Sesuatu yang tidak dibolehkan/melanggar undang-undang kepemiluan.
b. Sesuatu yang wajar dan sah-sah saja.
36
c. Sesuatu yang tidak dibolehkan karena merusak sistem demokrasi.
15. Pada Pemilu Tahun 2014 apakah ada/pernah salah seorang kontestan/tim sukses
kontestan melakukan money politic kepada bapak/ibu/saudara(i)?
a. Ada/Pernah
b. Tidak Ada/Tidak Pernah
16. Jika pernah, apa yang bapak/ibu/saudara(i) lakukan terkait money politic yang
dialami?
a. Menolak uang/barang yang diberikan
b. Menerima uang/barang yang diberikan
17. Bagaimana sikap bapak/ibu/saudara(i) terhadap kejadian money politic yang di alami
pada Pemilu tahun 2014?
a. Saya menerima pemberian tersebut dan memilih kontestan yang memberikan
uang/barang yang dimaksud.
b. Saya menerima pemberian tersebut dan tidak memilih kontestan yang
memberikan uang/barang yang dimaksud.
c. Saya tidak menerima pemberian tersebut dan memilih kontestan yang
memberikan uang/barang yang dimaksud.
d. Saya tidak menerima pemberian tersebut dan tidak memilih kontestan yang
memberikan uang/barang yang dimaksud.
Pertanyaan Terbuka
Mohon berikan tanggapan/saran dan kritikan terhadap Money Politic yang terjadi ditengahtengah masyarakat pada hampir setiap perhelatan Pemilu di Indonesia!
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
=======Selesai=======
Jangan Lupa Ucapkan Terima Kasih Kepada Responden
Wassalam
37
Download