REPRESENTASI KONSUMERISME DALAM FILM “CONFESSIONS

advertisement
REPRESENTASI KONSUMERISME DALAM FILM “CONFESSIONS
OF A SHOPAHOLIC”
(Studi Analisis Semiotika Representasi Konsumerisme Dalam Film
“Confessions of a Shopaholic”)
KAREN
ABSTRAK
Penelitian ini berjudul Representasi Konsumerisme dalam Film “Confessions
of a Shopaholic” studi analisis semiotika yang terdapat dalam film
“Confessions of a Shopaholic”. Objek penelitian dalam penelitian ini adalah
film “Confessions of a Shopaholic” yang bercerita tentang kehidupan wanita
bernama Rebecca Bloomwood yang merupakan seorang shopaholic atau
penggila belanja yang tinggal di Amerika Serikat Penelitian ini merupakan
analisis semiotika yang menganalisis sistem tanda dan makna dengan
perangkat analisis semiotika Roland Barthes, yakni pemaknaan terhadap sign
(tanda) yang terdapat dalam film melalui Signifikansi Dua Tahap dengan
menentukan denotasi dan konotasi tanda yang ada dalam film. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa film “Confessions of a Shopaholic” telah
mengkomunikasikan adanya gaya hidup konsumerisme yang ditunjukkan
melalui tokoh utama wanita dalam film tersebut. Dalam beberapa adegan,
film ini menggambarkan bagaimana seorang manusia bisa sangat konsumeris
dalam berbelanja. Secara keseluruhan, peneliti menyimpulkan gaya hidup
konsumerisme memang banyak terjadi di sekitar kehidupan kita.
Kata Kunci :
Konsumerisme
Film,
Semiotika
Roland
Barthes,
Representasi,
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sebuah media massa menyajikan berbagai produk tayangan yang
kemudian dikemas dengan sedemikian rupa dengan tujuan dapat memenuhi
kebutuhan masyarakat, mulai dari berita, film, program keluarga, kuis, dan
sebagainya. Berbicara mengenai film berarti kita berbicara tentang sebuah
media komunikasi massa yang cukup kompleks. Film merupakan salah satu
media massa yang sedang populer karena dunia film yang gemerlap selalu
mengundang keingintahuan masyarakat. Film telah terlebih dahulu ada
sebelum manusia mengenal televisi. Tidak pernah ada sejarah yang pasti
mengenai film, baik itu secara estetika maupun secara teknik.
Potret konsumerisme banyak ditampilkan dalam berbagai media
massa, baik itu melalui surat kabar/majalah, iklan, televisi, buku, serta film.
1
Konsumerisme sendiri merupakan suatu gaya hidup dimana seorang
individu ingin terus menerus membelanjakan uangnya, baik itu untuk
memperoleh suatu barang maupun jasa. Hal ini akan menjadikan manusia
sebagai pecandu produk, sehingga akan terjadi ketergantungan dan tidak
dapat/susah dihilangkan. Pada masa yang semakin berkembang ini,
seseorang bahkan bisa membelanjakan sesuatu tanpa menggunakan uang
dengan adanya kartu kredit (credit card) yang bisa memacu pola hidup
masyarakat yang semakin konsumtif.
Konsumerisme sudah menjadi suatu kebiasaan bagi pola hidup
sebagian masyarakat di dunia. Gaya hidup konsumtif sudah ada sejak awal
peradaban manusia seperti masa-masa kerajaan Mesir kuno, Babylonia kuno,
dan jaman Romawi kuno (www.wikipedia.org). Pada dasarnya pola hidup
konsumtif ada dalam diri setiap manusia. Yang membedakan hanyalah kadar
konsumerisme pada setiap diri manusia yang berbeda-beda. Kadar
konsumerisme seseorang juga bisa dipengaruhi dari lingkungan tempat
tinggal, lingkungan pergaulan, dan lingkungan pekerjaan.
Seorang wanita cenderung digambarkan lebih konsumtif daripada
seorang pria. Hal ini dikarenakan pada kenyataannya kebutuhan hidup
seorang wanita memang jauh lebih banyak dari seorang pria. Salah satunya
digambarkan dalam film “Confessions of a Shopaholic” yang diadaptasi
melalui novel yang mempunyai judul yang sama yang ditulis oleh Sophie
Kinsella. Daripada menggambarkannya sebagai wanita Inggris, sutradara
film ini, P.J Hogan menggambarkan tokoh Rebecca Bloomwood sebagai
seorang wanita Amerika. Dalam film ini ada 2 isu utama yang dapat terlihat
yaitu soal keglamoran dan sifat konsumerisme seorang wanita.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti ingin memperlihatkan serta
menjelaskan mengenai gaya hidup konsumerisme yang mungkin saja terjadi
pada sebagian besar orang di muka bumi. Hanya saja banyak dari orangorang yang mengalaminya justru tidak sadar dengan gaya hidup mereka
masing-masing. Dengan adanya film “Confessions of a Shopaholic”yang
berdurasi 104 menit yang mengangkat tema keglamoran dan konsumerisme
sebagai tema sentralnya, peneliti tertarik untuk menjadikannya karya ilmiah.
Fokus Masalah
Fokus masalah yang dapat ditarik oleh peneliti berdasarkan latar
belakang masalah di atas adalah: “Bagaimanakah konsumerisme
digambarkan dalam film‘Confessions of a Shopaholic’?”
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran konsumerisme yang
digambarkan dalam film “Confessions of a Shopaholic” serta mengungkap
sistem tanda yang digambarkan dalam film tersebut.
2
KAJIAN PUSTAKA
Film
Film merupakan salah satu media yang berpotensi untuk
mempengaruhi khalayaknya, karena kekuatan dan kemampuannya
menjangkau banyak segmen sosial. Dalam hubungannya, film dan
masyarakat dipahami secara linier. Artinya, film selalu mempengaruhi dan
membentuk masyarakat berdasarkan muatan pesan di baliknya, tanpa pernah
berlaku sebaliknya. Kritik yang muncul terhadap perspektif ini didasarkan
atas argumen bahwa film adalah potret dari masyarakat dimana film itu
dibuat (Sobur, 2004:127)
Dalam satu penggunaannya, film adalah medium komunikasi massa,
yaitu alat penyampaian berbagai jenis pesan dalam peradaban modern ini.
Dalam penggunaan lain, film menjadi medium apresiasi artistik, yaitu
menjadi alat bagi seniman-seniman film untuk mengutarakan gagasan, ide,
melalui suatu wawasan keindahan. Kedua pemanfaatan tersebut secara unik
terjalin dalam perangkat teknologi film yang dari waktu ke waktu semakin
canggih.
Semiotika Roland Barthes
Menurut Barthes, semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis
untuk mengkaji tanda. Semiotika pada dasarnya hendak mempelajari
bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai
(to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan
mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objekobjek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu
hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem yang terstruktur
(Sobur, 2004:15).
Nilai semiotika dapat dipakai untuk menunjukkan kemampuan suatu
mitos yang ‘ditukarkan’ dengan suatu ide (ideologi) dan ‘dibandingkan’
dengan mitos-mitos lain. Roland Barthes merupakan seorang penganut
Saussure dari Prancis. Gagasan-gagasannya memberi gambaran yang luas
mengenai media kontemporer. Dalam kerangka Barthes, konotasi identik
dengan operasi ideologi yang disebutnya sebagai ‘mitos’ dan berfungsi untuk
memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu
periode tertentu.
Barthes mengembangkan dua tingkat penandaan yang memungkinkan
untuk dihasilkannya makna yang bertingkat-tingkat atau lebih dikenal
dengan order of signification. Pada signifikasi tahap kedua, tanda bekerja
melalui mitos (myth). Mitos adalah cerita yang digunakan suatu kebudayaan
untuk menjelaskan atau memahami beberapa aspek dan realitas atau alam.
Menurut Barthes (Sobur, 2004:65), mitos merupakan cara berpikir dari suatu
kebudayaan tentang sesuatu, cara untuk mengkonseptualisasikan atau
3
memahami sesuatu. Dengan mitos kita dapat menemukan ideologi dalam
teks dengan jalan meneliti konotasi-konotasi yang terdapat dalam mitos itu
sendiri. Fokus perhatian Barthes lebih tertuju pada gagasan tentang
signifikasi dua tahap (two orders of signification ), seperti gambar di bawah
ini:
Gambar 1
Dua tatanan pertandaan Barthes
tatanan pertama
realitas
tatanan kedua
tanda
kultur
bentuk
penanda
konotasi
denotasi
pertanda
isi
mitos
Sumber: John Fiske. Cultural and Communication Studies, Terjemahan:
Drs. Yosal Iriantara, M.S dan Idy Subandy Ibrahim. Yogyakarta: Jalasutra.
2004. hal: 122.
Analisis mitos difokuskan pada sistem semiotika tingkat dua. Mitos
atau sistem mitis dibuat menggunakan sistem semiotika tingkat pertama
sebagai signifier bagi sistem semiotika tanda tingkat kedua. Signifier baru
disebut form dan signified disebut concept. Hubungan antara form dan
concept disebut signification atau mitos itu sendiri. Ideologi ada selama
kebudayaan ada, dan itulah sebabnya Barthes berbicara tentang konotasi
sebagai suatu ekspresi budaya.
Sistem penandaan yang digunakan Barthes dalam analisisnya
terhadap novel Sarrasine, dijelaskan tentang bagaimana logika disusun oleh
adanya narasi. Kode yang dikemukakan oleh Barthes menggambarkan
bagaimana penonton juga berperan sebagai pengamat karena mereka
memecah kembali narasi yang telah ada. Penonton akan memecah narasinarasi tersebut berdasarkan lima kode narasi yang dikemukakan oleh Barthes
(Lacey, 2000:72):
1. Kode hermeneutika atau hermeneutic codes yaitu kode yang mempuyai
fungsi untuk mendapatkan kebenaran dari tanda-tanda yang muncul .
4
2.
Kode proairetik atau action codes, yaitu kode yang didasari oleh
tindakan, kode ini merupakan kode yang dimengerti oleh penonton
secara umum.
3. Kode semik atau semic code merupakan kode konotasi, dimana kesankesan konotasi bisa didapat oleh penonton melalui objek, tokoh, maupun
tempat.
4. Kode simbolik atau symbolic codes berkaitan erat dengan tema atau arti
yang sebenarnya.
5. Kode kultural atau cultural codes, yaitu kode referensial yang berwujud
suara kolektif anonim yang bersumber pada pengalaman manusia, bisa
juga melalui sumber pengetahuan dan sistem nilai yang tersirat.
Ideologi dan mitos-mitos dalam sebuah film dapat ditemukan dengan
jalan meneliti konotasi-konotasi yang ada dalam film tersebut. Untuk itulah
dalam peneliti akan mencoba membongkar mitos-mitos dan ideologi yang
terdapat dalam film “Confessions of a Shopaholic”.
Representasi
Menurut John Fiske (2004:287), representasi adalah sesuatu yang
merujuk pada proses
yang dengannya realitas disampaikan dalam
komunikasi, via kata-kata, bunyi, citra, atau kombinasinya. Dalam hal ini,
proses pertama memungkinkan kita untuk memaknai dunia dengan
mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara sesuatu dengan
sistem peta konstektual kita. Dalam proses kedua, kita mengkonstruksi
seperangkat korespondensi antara peta konseptual dengan bahasa atau simbol
yang berfungsi mempresentasikan konsep-konsep kita tentang sesuatu.
Relasi antara ‘sesuatu’ , ‘peta konseptual’, dan ‘bahasa atau simbol’ adalah
jantung dari produksi makna lewat bahasa. Proses ini yang terjadi bersamasama itulah yang kita sebut representasi.
Konsumerisme
Konsumerisme adalah sebuah gaya hidup yang berdasarkan pada
keinginan seseorang untuk membelanjakan uangnya untuk memperoleh
sebuah barang atau jasa yang diinginkan dan bahkan terkadang bisa dalam
jumlah yang besar. Dalam bidang ekonomi, konsumerisme bisa diartikan
sebagai suatu kegiatan ekonomi yang menekankan pada kegiatan konsumtif
(www.britannica.com). “Konsumerisme” perlu dibedakan dari ‘konsumsi’.
Konsumsi berkait pemakaian barang/jasa untuk hidup layak dalam konteks
sosio-ekonomis-kultural tertentu. Konsumsi menyangkut kelayakan survival
(kemampuan untuk bertahan hidup). Bagi banyak orang, konsumerisme
seperti perburuan prestasi. Dan, seperti yang diketahui, sentra baru gejala itu
adalah munculnya berbagai macam pusat perbelanjaan yang akan berdiri di
5
atas penggusuran ruang publik, lahan konservasi, dan wilayah hunian kaum
miskin (Priyono, 2006).
METODOLOGI PENELITIAN
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Sedangkan jenis
penelitian yang dipakai adalah penelitian eksploratif, dimana peneliti akan
menggali lebih dalam permasalahan yang akan diteliti, yakni representasi
konsumerisme dalam film “Confessions of a Shopaholic”. Pendekatan
kualitatif ini digunakan dengan pertimbangan bahwa penelitian ini nantinya
akan menganalisis secara mendalam.
Subjek dan Objek Penelitian
Sasaran atau subjek dari penelitian film ini adalah tokoh utama
perempuan dalam film “Confessions of a Shopaholic.”, yaitu Rebecca
Bloomwood (Becky). Adapun yang menjadi objek dari penelitian ini adalah
film “Confessions of a Shopaholic” yang akan dianalisis secara tekstual.
Kerangka Analisis
Dalam penelitian ini, unit analisis yang dipergunakan adalah unsurunsur representasi film.Tanda-tanda dalam gambar bergerak (film) telah
dikombinasikan menjadi kode-kode sehingga dapat memungkinkan suatu
pesan untuk disampaikan. Dalam studi semiotika film, Barthes menguraikan
unsur-unsur representasi film, seperti aktor, kostum, lanskap, dan gerak
isyarat.
Kerangka Konsep
Adapun kerangka konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah
memakai perangkat analisis Roland Barthes, yaitu signifikasi dua tahap (two
orders of signification).
Operasional Konsep
Operasional konsep dalam penelitian ini meliputi:
1. Tanda
2. Konotasi
3. Denotasi
4. Mitos
5. Unsur Sinematografi
6. Unsur Mise en Scene
6
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dibagi menjadi dua,
yaitu:
1. Studi Observasi
2. Studi Kepustakaan
Teknik Analsis Data
Adapun teknik analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Diseleksi
2. Diklasifikasi
3. Dianalisis dan diinterpretasikan
4. Ditarik Kesimpulan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Isi
Analisis Adegan I
Gambar 4.3: Gambar potongan dari adegan kedua
( Sequence 4, Scene 3, Shot 1,2, dan 3)
A. Analisis Kode Leksia
1. Becky terlihat sedang berjalan di trotoar
2. Terlihat sebuah etalase dengan 3 patung yang sedang dipajang.
3. Label toko terlihat jelas pada etalase toko tersebut.
4. Pada gambar terakhir terlihat tangan seorang pramuniaga yang
meletakkan papan SALE.
5. Papan SALE yang diletakkan berwarna hitam, kontras dengan latar
belakang yang berwarna emas dan perak.
B. Kode Hermeneutika
1. Mengapa Becky memandang ke sebelah kiri gambar?
2. Mengapa tulisan SALE menggunakan warna yang kontras dengan
latar belakangnya?
3. Mengapa pengambilan gambar lebih banyak menggunakan sudut
pandang Becky?
7
C. Kode Proairetik
Pada gambar pertama kita bisa melihat Becky yang sedang berjalan
di trotoar salah satu jalanan di kota New York. Pada saat berjalan, pandangan
Becky tertuju pada etalase toko sambil berjalan melewatinya sebelum
kemudian tertuju pada etalase toko yang memajang papan tanda SALE.
D. Kode Semik
Pada gambar pertama pengambilan gambar Becky diambil dengan
jarak kamera medium close-up dimana kita bisa melihat sutradara ingin
menonjolkan ekspresi wajah Becky yang tertarik pada suatu objek. Pada
gambar kedua, sutradara mengganti sudut pandang penonton dengan
menunjukkan sudut pandang Becky kepada penonton, supaya penonton bisa
tahu bahwa Becky sedang melihat ke arah etalase toko Henri Bendel.
E. Kode Simbolik
Bila diperhatikan pada kaca etalase terdapat tulisan “DENNY &
GEORGE, has landed exclusively on HENRI BENDEL” bila diterjemahkan
ke bahasa Indonesia kalimat tersebut akan berarti “DENNY & GEORGE tiba
dengan eksklusif di HENRI BENDEL”. Henri Bendel merupakan salah satu
toko yang menjual pakaian dan aksesoris perancang terkenal. Apalagi,
dengan penekanan kata “eksklusif” membuat penonton bisa membayangkan
barang-barang yang dijual pada toko tersebut terlihat mahal.
F. Kode Kultural
Dalam kehidupan masyarakat, potongan harga selalu bisa
mengalihkan perhatian seseorang. SALE membuat masyarakat yang awalnya
tidak membutuhkan apa-apa akan muncul dengan kebutuhan palsu dalam
benaknya dan membuat dia merasa membutuhkan benda tersebut. Dalam
apapun keadaannya SALE akan membuat seseorang mencari alasan untuk
bisa berbelanja dengan alasan barang yang diperoleh akan jauh lebih murah.
Analisis Adegan II
Gambar 4.5: Gambar potongan adegan keempat
(Sequence 4, Scene 3, Shot 1,5 dan 8)
8
A. Analisis Kode Leksia
1. Pada gambar pertama terlihat Becky memegangi dompet sambil
tersenyum.
2. Pada gambar kedua dan ketiga sudut pengambilan gambar terlihat
sama.
3. Pada gambar kedua, pramuniaga menerima kartu kredit Becky yang
berwarna biru.
4. Pada gambar ketiga, Becky membayar menggunakan kartu kredit
berwarna emas.
5. Teknik pengambilan gambar dilakukan dengan menggunakan
medium close-up.
B. Kode Hermeneutika
1. Mengapa ekspresi wajah Becky terlihat bahagia?
2. Mengapa Becky membayar menggunakan kartu kredit yang
berbeda?
3. Apa yang menyebabkan Becky memutuskan untuk membeli scarf
tersebut?
C. Kode Proairetik
Pada gambar pertama, bahasa tubuh yang ditunjukkan oleh Becky
jelas terlihat gembira. Hal ini bisa terlihat dari wajah Becky yang sedang
tersenyum ke arah pramuniaga toko sambil memegang dompet. Pada gambar
kedua dan ketiga kita bisa melihat bahwa latar belakang dan sudut kamera
pengambilan tersebut sama. Yang membedakannya hanyalah tindakan Becky
yang membayar menggunakan kartu kredit yang berbeda.
D. Kode Semik
Pada gambar pertama pengambilan gambar diambil menggunakan
medium shot dan sudut kamera straight-on-angle. Gambar diambil dari
samping untuk mempermudah penonton melihat ekspresi kedua aktris secara
keseluruhan. Pada latar belakang gambar kita bisa melihat manekin yang
awalnya menggunakan scarf berwarna hijau sudah tidak mengenakan scarf
lagi, membuktikan bahwa Becky memang membeli scarf yang dilihatnya
tadi. Pada gambar kedua dan ketiga, gambar diambil dengan jarak medium
close-up supaya bisa memperlihatkan dengan jelas perbedaan kartu kredit
yang digunakan oleh Becky.
E. Kode Simbolik
Perilaku shopaholic Becky terlihat jelas dalam adegan ini. Pada
awalnya, Becky sempat bimbang untuk membeli scarf hijau tersebut, karena
Becky melihat adanya tanda sale dan setelah melalui perdebatan dengan
dirinya, Becky memutuskan untuk membelinya karena merasa membutuhkan
scarf tersebut. Sebelumnya, Becky tidak membutuhkan scarf tersebut untuk
berjalan di tengah musim dingin. Sarung tangan dan mantel yang digunakan
pada umumnya sudah cukup untuk menghalau udara dingin.
9
F. Kode Kultural
Penggunaan kartu kredit sampai melebihi batas merupakan
pemakaian kartu kredit yang tidak pada fungsinya lagi. Awal mulanya kartu
kredit dibuat untuk mempermudah manusia membayar, sehingga manusia
tidak perlu repot-repot membawa uang tunai. Pada adegan ini, konteks kartu
kredit digunakan sebagai kartu untuk berhutang. Scarf hijau yang dibeli
Becky mempunyai lambang prestise dan gengsi baginya. Hal tersebut lah
yang memicu gaya hidup konsumtif.
Analisis Adegan III
Gambar 4.6: Gambar potongan adegan kelima
(Sequence 6, Scene 2, Shot 1)
A. Analisis Kode Leksia
1. Becky sedang memegang sebuah sepatu.
2. Latar belakang Becky dipenuhi sepatu dengan berbagai macam
warna.
3. Tepat di belakang Becky juga telrihat tumpukan kotak-kotak sepatu.
4. Pada gambar kedua terlihat latar belakang yang dipenuhi dengan
berbagai macam baju dan tas
5. Bahkan di sebelah kiri rak terlihat tas-tas bertumpuk.
6. Terlihat berbagai tali pinggang, celana dan tas-tas yang berbagai
macam dan berbagai warna.
B. Kode Hermeneutika
1. Mengapa ekspresi wajah Becky terlihat sedih?
2. Mengapa terdapat begitu banyak baju dan sepatu?
3. Mengapa pengambilan gambar menggunakan ruang offscreen?
4. Mengapa Suze menunjukkan ekspresi kebingungan?
C. Kode Proairetik
Pada gambar pertama, gambar Becky diambil dengan jarak medium
shot dan ekspresi wajah Becky terlihat sedih dan sedang memandangi salah
satu sepatunya. Perilaku Becky yang sedang memegang sepatu dengan wajah
sedih menunjukkan bahwa ia seolah-olah tidak ingin kehilangan sepatusepatu tersebut. Pada gambar kedua, penonton juga bisa mengambil
kesimpulan bahwa Suze sedang mencoba membantu Becky dalam
menyelesaikan masalah yang dihadapinya.
10
D. Kode Semik
Setting pada kedua gambar di atas banyak menggambarkan
kehidupan si pemilik kamar, Becky yang dalam kehidupannya menjadi
seorang shopaholic. Bisa terlihat dengan banyaknya baju-baju dan sepatu
serta tas-tas yang bisa ditemukan baik di gambar pertama maupun gambar
kedua. Kita bisa melihat pada kedua gambar tersebut setting didominasi
dengan warna-warna cerah dari benda-benda kepunyaan Becky.
E. Kode Simbolik
Sepatu yang dipajang juga didominasi oleh sepatu dengan hak tinggi/
high heels. Penggunaan sepatu high heels yang terdiri dari berbagai macam
warna sebagai latar semakin menegaskan penonton bahwa Becky merupakan
seorang yang shopaholic. Penggunaan sepatu high heels bagi sebagian
wanita adalah untuk keperluan kerja. Bila dilihat dari jumlah sepatu high
heels yang dimiliki oleh Becky, sepatu-sepatu yang dimiliki tidak mungkin
hanya sekedar untuk keperluan kerja. Begitu pula dengan pakaian-pakaian
dan tas yang ada di kamar Becky, dengan jumlah pakaian sebanyak itu,
terbukti bahwa Becky memang seorang shopaholic dan menganut gaya
hidup konsumerisme.
F. Kode Kultural
Penonton bisa menilai bahwa berbelanja sudah menjadi gaya hidup
Becky. Berbelanja bukan lagi sekedar untuk kebutuhan hidup tapi telah
menjadi gaya hidup. Dengan adanya pemikiran tersebut di masyarakat, maka
gaya hidup konsumerisme terus berkembang. Sampai-sampai muncul istilah
“I am, what I have and what I consume” (Erich Fromn) yang bisa diartikan
“Saya berbelanja, maka saya ada”. Kegiatan konsumsi sendiri pada jaman
sekarang bukan lagi sebagai suatu pemenuhan kebutuhan bagi masyarakat,
melainkan sebagai gaya hidup yang telah berkembang di masyarakat.
Analisis Adegan IV
Gambar 4.8: Gambar potongan adegan kunci ketujuh
(Sequence 10, Scene 6, Shot 9, 10, dan 15)
11
A. Analisis Kode Leksia
1. Becky terlihat sedang memegang sepasang sepatu boots berwarna
pink.
2. Pada gambar kedua sepatu boots yang sebelumnya dipegang Becky
sudah berpindah ke tangan orang lain.
3. Wanita-wanita dalam gambar terlihat berkerumun sambil membawa
belanjaan mereka yang banyak.
4. Pada gambar ketiga, Becky bertengkar dengan wanita yang
mengenakan mantel hitam.
5. Wanita-wanita di sekeliling mereka menunjukkan sikap tidak peduli
terhadap pertengkaran mereka.
B. Kode Hermeneutika
1. Mengapa Becky mengambil sepatu boots tersebut dan
memandanginya?
2. Apakah Becky membutuhkan sepatu tersebut?
3. Mengapa Becky bertengkar dengan wanita tersebut?
4. Mengapa warna sepatu boots menggunakan warna pink?
C. Kode Proairetik
Pada gambar pertama Becky terlihat sedang memegangi sebuah
sepatu boots berwarna pink, pada gambar kedua seorang wanita bermantel
hitam sedang memegangi sepatu tersebut dan Becky terlihat menoleh ke
arahnya. Pada gambar terakhir, kita bisa melihat Becky dan wanita tersebut
saling berebutan sepatu boots tersebut. Sementara wanita-wanita di sekitar
Becky terlihat sibuk sendiri dan tidak memperhatikan apapun yang terjadi di
sekeliling mereka.
D. Kode Semik
Pada gambar kedua, kamera menggunakan teknik medium long shot
untuk mendapatkan gambar yang bagus, hanya saja sudut pandang kamera
sudah mengarah ke seorang wanita yang sedang memegang sepatu boot pada
gambar pertama awalnya dipegang oleh Becky. Gambar ketiga diambil
dengan sudut low angle untuk sudut pandang yang lebih jelas dalam
memperlihatkan pertengkaran mereka.
E. Kode Simbolik
Kode simbolik yang terdapat dari ketiga gambar di atas bisa terlihat
dari banyaknya wanita dan barang-barang sebagai latar belakangnya.
Banyaknya wanita yang berada dalam tempat tersebut adalah untuk
menggambarkan kepada penonton bahwa sebagian besar wanita menganut
gaya hidup konsumerisme. Wanita-wanita tersebut sudah menganut gaya
hidup konsumerisme. Maka, tanpa memperdulikan apakah mereka butuh
benda tersebut atau tidak mereka akan membelinya.
12
F. Kode Kultural
Di dalam masyarakat kontemporer telah terjadi perubahan mendasar
mengenai sikap atau perilaku dalam mengkonsumsi barang atau produk.
Bukan lagi aspek fungsi tetapi sifatnya lebih pada keuntungan emosional
(emotional benefits). Sisi egois wanita-wanita tersebut muncul karena
mereka sendiri masih ingin memilih benda ‘SALE’ yang mereka inginkan
sebelum benda yang mereka inginkan juga ikut direbut oleh orang lain.
Konsumerisme pada potongan gambar di atas membuat sifat manusia
menjadi agresif dan individualistis.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Konsumerisme merupakan sebuah fenomena yang telah lama populer
di kalangan masyarakat Barat. Dalam sistem kapitalisme Barat, konsumsi
yang tidak terkontrol terhadap produk-produk dan membeli barang tidak
sesuai dengan kebutuhan merupakan hal yang wajar. Dalam sistem ini,
prioritas utama dalam hidup masyarakat telah berganti menjadi keinginan
dan kesenangan terhadap materi dan barang-barang mewah. Dalam sistem
yang demikian, tujuan masyarakat dalam mencari uang adalah untuk
dihabiskan dalam mendapatkan materi-materi yang diinginkannya.
Ada beberapa adegan yang menampilkan Becky yang selalu bertanya
kepada dirinya sendiri “Do I need this?” (Apakah saya memerlukan ini?) dan
setiap kali pula Becky selalu kalah oleh keinginannya dan berakhir dengan
membeli benda tersebut. Kebanggaan dan kesenangan terhadap barangbarang yang dibelinya hanya akan berlangsung sebentar. Setelah Becky
pulang ke rumah, dia baru akan menyadari bahwa barang-barang yang dibeli
semuanya tidak terlalu dia butuhkan. Kesenangan yang Becky peroleh
hanyalah kesenangan semu yang berakhir pada penyesalan. Namun, tetap
saja hal tersebut akan berulang kembali pada nantinya.
Budaya menabung di masyarakat sudah digantikan dengan budaya
membayar hutang. Masyarakat tidak lagi memikirkan untuk menabung
karena uang yang diterima setiap bulan akan habis untuk membayar dari
belanja hasil penggunaan kartu kredit. Memiliki kartu kredit pun telah
menjadi hal yang membanggakan bagi sebagian masyarakat Indonesia,
mereka merasa prestise mereka akan terangkat apabila mereka memiliki
kartu kredit. Kartu kredit tidak lagi dipandang sebagai alat pembantu
pembayaran melainkan sebagai media yang digunakan untuk berhutang.
Dulunya, masyarakat akan merasa malu karena memiliki hutang namun
sekarang kebanyakan orang akan bangga dengan berbelanja menggunakan
kartu kredit.
Film “Confessions of a Shopaholic” menjadi cerminan bagi
kehidupan masyarakat Amerika Serikat yang didominasi oleh komunitas
konsumer serta para pemuja citra yang terdapat dalam satu komoditi. Budaya
13
konsumerisme merupakan sebuah arena dimana produk-produk konsumer
merupakan salah satu media untuk membentuk kepribadian, gaya hidup dan
citra, serta diferensiasi status sosial yang berbeda-beda. Piliang menyatakan
bahwa budaya konsumerisme merupakan budaya yang dibentuk oleh hal-hal
semu yang dikonstruksi secara sosial melalui media sebagai kekuatan tanda
kapitalisme.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Sutradara menampilkan dengan jelas gaya hidup konsumerisme yang
dianut oleh masyarakat Amerika Serikat. Gambaran tersebut bisa
diwakilkan oleh Becky yang ditampilkan sebagai wanita yang sangat
hobi berbelanja.
2. Sistem tanda digambarkan dengan jelas melalui unsur mise en scene
dalam film yang meliputi karakter, latar, kostum dan gerak isyarat
yang digambarkan dalam film. Latar dan kostum menampilkan
unsur-unsur konsumerisme yang bisa dianalisa secara denotasi
maupun konotasi.
Saran
Beberapa saran yang ingin disampaikan oleh penulis adalah:
1. Masyarakat harus jeli untuk memilih antara yang menjadi keinginan
dan kebutuhan. Mereka harus bisa mengendalikan diri mereka dalam
membelanjakan sesuatu yang mereka butuhkan. Masyarakat tidak
bisa mengandalkan orang lain untuk mengingatkan mereka.
2. Masyarakat juga harus berhenti menghubungkan gaya hidup dengan
status sosial dan ekonomi. Bila penilaian berdasarkan status sosial
dan kepemilikan materi berhenti maka gaya hidup konsumerisme
akan berkurang dengan sendirinya karena masyarakat tidak akan
memperdulikan lagi materi yang mereka belanjakan.
3. Untuk negara Indonesia, pemerintah harus menggalakkan gerakan
‘cinta produk dalam negeri’ supaya masyarakat Indonesia tidak lagi
selalu berbelanja barang-barang mewah dari luar negeri. Padahal
tidak jarang pula produk buatan dalam negeri lebih murah dan
dengan kualitas yang serupa pula.
14
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Berger, Arthur Asa. 2005. Pengantar Semiotika: Tanda-Tanda dalam
Kebudayaan Kontemporer. Yogyakarta:Tiara Wacana Yogya.
Birowo, Antonius. 2004. Metode Penelitian Komunikasi Teori dan Aplikasi.
Yogyakarta: Gitanyali.
Fiske, John. 2004. Cultural and Communication Studies, Terjemahan: Drs.
Yosal Iriantara, M.S. dan Idy Subandy Ibrahim, Yogyakarta:
Jalansutra.
Lacey, Nick. 2000. Narrative and Genre: Key Concepts in Media Studies.
London:Macmillan Press Ltd.
Nawawi, Hadari. 1995. Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta:
Gadjah
Mada Universitas Press.
Pratistha, H. 2008. Memahami film. Yogyakarta: Homerian Pustaka.
Pilliang, Yasraf Amir. 2003. Cultural Studies atas Matinya Makna.
Yogyakarta: Jalasutra.
Internet
http://www.imdb.com/title/tt1093908. (diakses tanggal 09 November 2011)
http://www.kompas.cm/kompas-cetak/0303/08/opini/170768.htm.(diakses
tanggal 14 April 2012)
http://en.wikipedia.org/wiki/Consumerism. (diakses tanggal 25 April 2011)
15
Download