Konsumerisme Barang Bermerek: Perkawinan Materialisme dengan Cara Berpikir Mitis Oleh: Bagus Takwin Di kota-kota besar Indonesia bisa kita saksikan berbagai benda hasil produksi yang dinilai berharga tinggi. Di berbagai mal atau pusat pertokoan, benda-benda itu dijual. Salah satu penentu utama dari tingginya harga benda-benda itu adalah mereknya. Merek tertentu dinilai lebih bernilai tinggi dari merek lainnya karena berbagai alasan. Ada yang terbukti kualitas produknya memang baik. Ada yang karena produknya sedang trendy. Ada juga merek yang produknya berharga tinggi karena ditampilkan secara sangat menarik dan iklannya menggunakan orang-orang terkenal. Tetapi, kesamaan di antara benda-benda itu adalah itu merupakan produk dari merek yang terkenal. Dilihat dari alasannya, tidak semua produk dengan merek terkenal bernilai tinggi pada dirinya sendiri atau secara inheren memang memiliki kualitas yang baik. Banyak di antara produk itu jadi bernilai tinggi karena alasan-alasan selain mutu. Tak jarang kita temukan mutu yang rendah pada produk-produk itu tetapi karena terkenal atau trendy harganya jadi sangat mahal. Lalu orang-orang pun membelinya karena percaya ada kelebihan-kelebihan lain dari produk-produk itu meskipun mutunya jauh lebih rendah dari harganya. Di situ kita saksikan gejala orang-orang menilai tinggi benda-benda karena atribut-atribut lain di luar bendanya. Lebih jauh lagi, kita bisa temukan gejala mengagungkan benda-benda produk merek terkenal yang dijual dengan harga tinggi. Banyak orang membeli benda-benda itu berapapun harganya. Orang-orang juga cenderung menjadikan benda-benda itu sebagai patokan dari harga diri atau derajat status sosial seseorang. Mereka yang membeli dan menggunakan benda-benda itu seolah-olah menjelma menjadi orang yang lebih baik, lebih berharga dan lebih terhormat. Kualitas intrinksik dari benda tidak lagi jadi pertimbangan penting sebab yang bernilai bukan lagi benda pada dirinya sendiri melainkan makna yang ditempelkan padanya dari lingkungan sosial. Benda-benda itu menjadi simbol dari hal-hal yang dianggap bernilai tinggi meski secara objektif dapat ditemukan bahwa mutunya jauh lebih rendah dari harganya. Gejala mengagungkan benda-benda itu dapat kita cermati dalam dua arti. Pertama, gejala itu menunjukkan adanya kecenderungan materialisme dalam arti kecenderungan untuk menempatkan benda-benda sebagai unsur utama dari dunia dan kehidupan manusia. Benda-benda menjadi patokan baik-buruknya kehidupan, juga patokan bagi kualitas hidup yang dijalani seseorang. Semakin banyak benda yang dinilai berharga dimiliki seseorang, maka dianggap semakin tinggi kualitas hidupnya. Sebaliknya, semakin sedikit benda yang dimiliki seseorang, maka semakin rendah kualitas hidupnya. Benda sebagai wujud materi menjadi standar dalam penilaian kehidupan. Kedua, gejala itu menunjukkan juga adanya kecenderungan berpikir mitis yaitu cara menjelaskan hubungan antara dua atau lebih hal tidak berdasarkan karakteristik objektif hal-hal yang dihubungkan, melainkan berdasarkan atribut-atribut lain di luar halhal itu yang secara objektif tidak relevan dengan hal-hal itu. Menilai sebuah benda berharga karena ia dipakai oleh orang terkenal adalah contoh hasil berpikir mitis. Secara objektif, tidak ada hubungan antara kualitas benda dan dipakainya benda itu oleh orang terkenal. Orang terkenal yang memakai benda itu tidak memberikan pengaruh objektif apapun terhadap benda itu. Jika benda itu memang bermutu baik, maka itu tetap bermutu baik lepas dari apakah itu dipakai orang terkenal atau tidak. Begitu juga jika benda itu bermutu jelek, tetap saja akan bermutu jelek siapapun yang memakainya. Menganggap benda tertentu jadi baik mutunya karena dipakai orang terkenal tidak punya dasar objektif. Anggapan itu didasari oleh asumsi tentang adanya kekuatan di luar benda itu yang menjadikannya bernilai baik dan kekuatan itu tak dapat dikenali secara objektif atau rasional keberadaannya. Oleh karena tak dapat dikenali secara objektif atau dipikirkan secara rasional maka dapat disimpulkan bahwa kekuatan itu bersifat mitis. Kecenderungan untuk memberi nilai lebih kepada benda berdasarkan atributatribut di luar ciri-ciri inherennya sudah berlangsung sangat lama dalam peradaban manusia. Jejaknya dapat kita lacak dari jaman-jaman prasejarah. Ada benda tertentu yang dianggap punya kekuatan supranatural, seperti senjata pusaka, batu yang disembah karena dianggap mengandung daya-daya gaib, juga patung-patung yang biasa disebut totem yang dianggap perwakilan dari dewa tertentu. Nilai lebih semacam itu juga dapat kita temukan dalam tradisi jimat. Pemakaian jimat masih dapat kita temukan dewasa ini di Indonesia. Jimat biasanya adalah benda yang dianggap memiliki daya gaib yang dapat menolong pemiliknya dalam menjalani hidupnya. Gejala memberi nilai lebih kepada benda dengan dasar kekuatan yang tidak objektif atau tidak rasional merupakan peninggalan masa lalu yang menempatkan mitos sebagai pengetahuan yang dijadikan pegangan menjalani kehidupan. Ternyata jejaknya belum hilang di jaman modern, bahkan di masa sekarang yang sedang kita jalani. Manusia modern ternyata masih membawa cara berpikir mitis dan menampilkannya melalui kecencerungan menilai tinggi suatu benda bukan berdasarkan kualitas yang dikandung benda itu. Sejalan dengan perkembangan kapitalisme yang wujudnya dapat kita temukan dalam produksi dan pemasaran benda-benda yang gencar dilakukan dewasa in, kecenderungan berpikir mitis dikawinkan dengan kecenderungan materialisme. Hasilnya adalah konsumerisme. Orang-orang digerakkan terus-menerus secara intensif untuk menjadi konsumen dari benda-benda hasil produksi. Bujuk rayu untuk membeli kita temukan di mana-mana, termasuk juga membeli barang-barang bermerek. Lalu kita temukan kecenderungan konsumsi barang-barang bermerek di manamana. Merek menjadi ‘kekuatan gaib’ yang menyihir benda-benda biasa menjadi bendabenda luar biasa. Merek juga menjadi ‘kekuatan gaib’ yang menyihir orang-orang untuk tergerak membelinya, bahkan memuja-mujanya. Konsumerisme barang bermerek pun jadi gaya hidup, bahkan bagi beberapa orang jadi keyakinan yang menghasilkan ritualritual seperti dalam agama. Kecenderungan itu terus berlangsung, diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya, beranak-pinak. Kita pun menyaksikan konsumerisme barang bermerek dibina seperti keluarga, seolah-olah itu adalah hasil dari perkawinan. Dengan begitu, secara metaforik dapat kita sebut bahwa konsumerisme barang bermerek adalah hasil perkawinan antara materialisme dan kecenderungan berpikir mitis.***