PELUCUTAN NILAI IDENTITAS PADA PRODUK HASIL BUDAYA

advertisement
Jurnal Tingkat Sarjana bidang Senirupa dan Desain
PELUCUTAN NILAI IDENTITAS PADA PRODUK HASIL BUDAYA
KONSUMERISME MELALUI PROSES BERKARYA
“IMITASI PRODUK ANARKI”
Muhammad Ilham Akbar
Dr. Tisna Sanjaya, M.Sch.
Program Studi Sarjana Seni Rupa, Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB
Email: [email protected]
Kata Kunci : anarki, found object, konsumerisme, krisis identitas, seni auto-destruktif, seni instalasi.
Abstrak
Penelitian penulisan tugas akhir ini dilatarbelakangi oleh fenomena permasalahan sosial yang dialami oleh penulis sendiri, terutama tentang cara
pandang penulis dalam melihat perilaku konsumtif masyarakat pada lingkungan sekitar. Yaitu fenomena krisis identitas budaya konsumerisme pada
individu-individu masyarakat dalam melalukan proses konsumsi mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup yang tidak lagi menjadi sesuai dengan
fungsinya. Melihat fenomena tersebut, penulis secara kontemplatif berusaha menganalisa dan merpresentasikan kondisi absurd tersebut melalui proses
berkarya. Penulis menilai adanya pemunculan ide-ide anarkis yang terjadi pada diri penulis dan juga khusunya masyarakat konsumer dalam
memenuhi kebutuhan konsumsi mereka. Hingga akhirnya menjadi berhubungan erat dengan nilai-nilai identitas yang tercerminkan melalui tandatanda dalam produk hasil budaya konsumerisme tersebut. Dengan latar belakang fenomena tersebut penulis mencoba merangkum melalui kajian dan
proses berkarya hingga akhirnya membentuk sebuah visual karya tugas akhir seni rupa melalui metode seni auto-destruktif untuk
mengimplementasikan ide anarki yang dikemas pada karya instalasi.
Abstract
This writing research is triggered by social phenomenon problem that had been experienced too by the writer itself, particularly in the point of view
of what writer saw about consumptive behavior of people who are around at the same environment with the writer. The phenomenon is about identity
crisis in consumerism culture that happened in every person of consumer society while doing consumption process to fulfill their needs are not fit
anymore with its function. Seeing such a phenomenon like that, the writer in a contemplative way trying to mirroring and equate the absurdity with
making artworks. The writer had assumption that appearing of anarchy ideas is happening in his self and particularly in consumer society are
happened because of their consumption process to fulfill their needs. Then finally it became connected with identity values that represented by signs
in all of consumerism culture products. With that background phenomenon, the writer is trying to summarize through making artworks using autodestructive methods to implementing the ideas of anarchy and packing it with installation art.
1. Pendahuluan
Dewasa ini masyarakat Indonesia selalu disuguhi oleh produk-produk global yang terus menerus diperbaharui,
meningkatnya keinginan untuk mengkonsumsi barang mewah menjadi kebutuhan setiap lapisan, baik yang berlebihan
maupun kekurangan. Prioritas antara kebutuhan dengan keinginan menjadi semakin bias, penghasilan yang pas-pasan
terkadang tidak menjadi beban untuk memenuhi kepuasan mereka (Baudrillard, 2005). Menurut Mike Feathersone
(2005) gaya hidup tersebut kemudian menjadi sebuah pola, pola yang berakibat merubah cara pandang mereka terhadap
kehidupan untuk mengkonsumsi sesuatu, sehingga munculah istilah budaya konsumerisme.
Perilaku akan budaya konsumerisme ini menyerang pada setiap lapisan masyarakat, baik kalangan atas, menengah
ataupun bawah. Memang pada hakikatnya sifat dari konsumerisme ini selalu berdampingan dengan kelas atau strata
sosial. Hal tersebut diperoleh karena setiap sosok individu dalam lapisan tersebut tidak pernah puas sehingga
mengakibatkan paradigma akan status sosial dalam benak mereka (Narwoko & Susanto, 2007).
Budaya konsumerisme adalah sebuah paham yang dijadikan sebagai gaya hidup yang menganggap barang mewah
sebagai ukuran kebahagiaan, kesenangan, dan pemuasan diri sendiri, budaya konsumerisme ini bisa dikatakan sebagai
contoh gaya hidup yang tidak hemat (Chaney, 2004). Jika budaya konsumerisme ini menjadi gaya hidup, maka akan
menimbulkan suatu kebutuhan yang tidak pernah bisa dipuaskan oleh apa yang dikonsumsi dan membuat orang terus
mengonsumsi. Saat ini banyak dari beberapa bahkan semua lapisan masyarakat belum bisa memprioritaskan antara
barang yang harus dipenuhi dengan keinginan memenuhi hasrat belaka.
Herbert Marcuse (1968) memiliki argument bahwa secara tidak sadar manusia adalah seorang makhluk yang terus
memiliki kebutuhan untuk segera dipenuhi, selalu dalam batas kurang dan kurang, dan tidak pernah merasa cukup
dengan apa yang dimiliki saat ini. Kebutuhan itu diantaranya adalah makanan sehari-hari, fashion, transportasi, te
knologi, tempat tinggal dan lain sebagainya. Manusia selalu membutuhkan sesuatu karena manusia butuh untuk bisa
mengupayakan dan mempertahankan hidupnya.
Mengerucut pada sosok individu yang akhirnya dapat dilihat dari paham eksistensial menurut Sartre, dikatakan bahwa
menurut asal kata eks berarti keluar dan sistensi berarti menempatkan, berdiri. Atau bisa dikatakan juga bahwa yang
dimaksud dengan eksistensi adalah cara manusia berada di dunia ini. Cara itu hanya khusus bagi manusia, jadi yang
bereksistensi itu hanya manusia. (Driyarkara, 2006a:1281-1282).
Dengan demikian cara pandang tersebut memiliki benang merah antara memenuhi kebutuhan mereka dengan apa yang
menjadi panutan seseorang untuk hidup dalam lingkungan sosialnya adalah dengan cara mengkonsumsi. Namun
terkadang perilaku mengkonsumsi ini akhirnya tidak lagi hanya sekedar memenuhi kebutuhan tersebut, tapi lebih pada
persoalan memenuhi keinginan untuk hadir di lingkungan sosial sehingga akhirnya ia harus mengkonsumsi sesuatu.
Ketidakmaampuan untuk memenuhi kondisi atau hasrat untuk memuaskan keinginan tersebut, terkadang menjadi beban
seseorang, yang akhirnya mengakibatkan berubahnya perilaku juga mental mereka. Asumsi diatas diperkuat oleh
fenomena masyarakat sosial kita khususnya remaja-remaja kelas menengah atau bawah yang sering terjadi di zaman
post-modern seperti sekarang ini yaitu kehilangan identitas diri atau krisis identitas.
Analisis penulis tentang gejala krisis identitas tersebut akhirnya mengerucut juga pada tindak perlawanan atau
kegelisahan sosok individu dalam menentukan posisi dirinya pada ruang lingkup sosial karena tidak bisa memenuhi
kebutuhan hasrat konsumtifnya. Banyak fakta-fakta yang akhirnya menunjukan kekuatan perlawanan atau rebellion dari
sosok individu tersebut berujung pada tindakan negatif, seperti perilaku pencurian, tawuran, hingga premanisme. Tidak
dapat dipungkiri bahwa perilaku anarkis merupakan ekspresi kekuatan sosok individu dalam melepaskan emosi
jiwanya. Seperti penjelasan Mikhail Bakunin tentang ideologi anarki yang kemudian ditulis ulang oleh Sam Dogolf
dalam bukunya ‘Bakunin on Anarchy’, sosok individu adalah bentuk yang sempurna, independensi yang absolut, jauh
terpisah dari atau diluar masyarakat. sebagai sosok yang bebas, ia sebisamungkin membentuk sebuah masyarakat
dengan melakukan tindakan tanpa paksaan, seperti sebuah kontrak, menjadikannya berperilaku baik secara insting atau
secara sadar, secara dipahami atau tidak.(Dolgoff, 1971).
Memang menurut Bakunin, bahwa bentuk sifat anarki atau perlawanan tersebut hadir dari dalam jiwa individu sendiri,
tanpa pengaruh dari masyarakat atau ruang lingkup sosial yang ada. Namun dari pernyataan tersebut dapat diambil
kesimpulan juga bahwa kebebasan sosok individu untuk melakukan tindak anarki tersebut dipastikan memiliki sebab
karena adanya kegelisahan terhadap ruang lingkup sosial.
Dengan observasi atas wacana krisis identitas budaya konsumerisme ini maka penulis akan menginterpretasikan secara
visual bagaimana manifestasi tindak anarki sosok individu bersama dengan perlawanannya terhadap ruang lingkup
sosial dan produk-produk kapital tersebut melalui proses berkarya. Proses tersebut penulis lakukan dengan pendekatan
secara kognitif terhadap teori-teori tentang budaya konsumerisme, identitas sosial, juga anarkisme lalu dirangkum
kedalam bentuk visual yang dibuat melalui proses gaya seni rupa auto-destructive dengan hasil akhir sebuah karya
berbentuk instalasi menyerupai pasar-swalayan.
Karya tugas akhir berbentuk instalasi ini nantinya akan dilakukan dengan proses secara spontan atau intiuitif dalam
pemilihan objek-objek produk berkemasan untuk direproduksi ulang secara auto-destructive. Proses reproduksi tersebut
yakni dilakukan dengan cara menghilangkan identitas-identitas pada produk-produk berkemasan yang sudah dipilih.
Baik dengan cara mengecat ulang dengan cat-semprot, mengganti isi produk-produk kemasan tersebut, atau sekedar
mencabut stiker pada produk tersebut. Karya ini juga secara keseluruhan berbicara tentang metafora akan tindakan
anarkis didalamnya. Dengan tujuan bahwa sebuah karya visual secara kontemplatif dapat mengajak apresiator untuk
memahami kondisi budaya konsumerisme yang sudah melekat dalam diri mereka juga penulis sekalipun bahwa secara
tidak sadar akan berakibat pada tindak perlawanan.
2. Proses Studi Kreatif
(Tabel di halaman berikut)
Jurnal Tingkat Sarjana Senirupa dan Desain No.1| 2
Muhammad Ilham Akbar
I.6 Alur Kerja
“IMITASI PRODUK ANARKI”
Latar belakang:
Penulis mencoba obeservasi terhadap
budaya konsumerisme dengan adanya
hipotesa tentang krisis identitas pada setiap
individu yang terpengaruh. Penulis
memutuskan untuk menarasikan hasil
observasi tersbut dalam bentuk deskriptif
proses pengerjaan karya seri instalasi yang
memanfaatkan gaya seni auto-destructive.
Landasan teori:
1.Teori Social Inequality
2.Teori Social Identity
3.Teori Konsumerisme
4.Aplikasi Ideologi Anarki sebagai
Proses Berkarya
5. Metode Proses Berkarya melalui Seni
Auto-Destructive dan Auto-Creative
6. Found Object
7. Seni Instalasi
8.Kaji Banding Seniman
Rumusan masalah:
1.
2.
3.
Bagaimana wacana tentang krisis identitas dalam budaya konsumerisme dapat
diolah menjadi karya visual melalui modifikasi found-object?
Bagaimana mengolah ideologi anarkisme terhadap found-object dapat
diimplementasikan melalui karya visual dengan metode proses berkarya autodestructive?
Bagaimana menghadirkan gabungan antara modifikasi found-object dengan
nilai identitas produk yang berbeda-beda dapat dikemas kedalam komposisi
instalasi?
Batasan masalah:
Penelitian kemudian dibatasi secara khusus untuk membahas hal-hal yang
mempengaruhi sosok individu saat menghadapi krisis identitas diri dalam menjalani
pola atau gaya hidup budaya konsumerisme tersebut. Adapun hal-hal yang
memepengaruhi individu tersebut nantinya akan menjadi acuan sebagai representasi
visual dalam karya yang akan dibuat. Penggambaran hipotesis mapupun asumsi dari
objek-ojek yang berkaitan dan menjadi representasi visual dalam karya tersebut
merupakan hasil penelitian atau penggambaran menurut teori-teori konsumerisme,
identitas sosial dan anarkisme. Manifestasinya adalah pencarian benang merah
antara permasalahan psikologis dalam hal ini identity crisis dengan budaya
konsumerisme yang nantinya akan dirangkum menjadi bentuk visual.
Proses berkarya:
1. Pemilihan objek-objek dari produk berkemesan untuk dimodifikasi
2. Reproduksi kemasan objek tersebut dengan cara menghilangkan tanda visual identitasnya .
3. Penggabungan objek-objek hasil modifikasi dalam komposisi instalasi yang menyerupai
rak pasar swalayan , prasar tradisional, dan etalase toko bernuansa kemewahan.
KARYA AKHIR
Kesimpulan
Jurnal Tingkat Sarjana Senirupa dan Desain No.1 | 3
Gambar 1 Konfigurasi akhir karya instalasi.
3. Hasil Studi dan Pembahasan
Konsep kekaryaan ini awal mulanya berangkat dari konsep krisis identitas budaya konsumerisme dimana penulis ingin
menyampaikan pengalaman juga hasil observasinya tentang proses konsumsi yang akhir-akhir ini fungsinya menjadi
berbagai macam, atau bahkan tidak sesuai sama sekali dengan fungsi awalnya. Dengan penyajian visual berbentuk
instalasi menyerupai pasar tradisional, pasar swalayan dan toko di mall yang menghadirkan produk-produk siap
konsumsi namun telah diolah kembali identitasnya, penulis ingin mengajak audiens/apresiator untuk memahami
emosinya atau ide-ide yang tertuang dalam karya instalasi tersebut, sehingga audiens juga secara kontemplatif
menghasilkan cara pandang baru nantinya disaat mereka akan melakukan proses konsumsi.
Selain itu juga karya ini berbicara mengenai proses penghancuran atau penghilangan identitas pada produk-produk siap
konsumsi tersebut yang dimana penulis berbicara tentang metafora dirinya atau individu-individu yang telah kehilangan
identitasnya oleh dampak budaya konsumerisme. Pemilihan warna pada objek atau produk yang tertuang didalamnya
merupakan simbol-simbol mengenai kegelisahan-kegelisahan atau emosi yang penulis rasakan dalam usahanya untuk
terlepas dari kontaminasi budaya konsumerisme tersebut.
Maka dari itu metode konstruksi visual yang penulis pilih sebagai proses berkarya adalah menggunakan metode autodestructive, dimana relevansinya terhadap ide anarki dapat diimplementasikan secara langsung pada objek-objek visual
yang penulis pilih. Objek-objek visual disini bentuknya konkritnya adalah berupa produk-produk makanan olahan yang
dikemas dalam satu wadah yang nantinya akan didistribusi kembali untuk diperjual-belikan. Namun identitas yang
sudah ada pada objek-objek tersebut diolah kembali melalui proses berkarya dengan menggunakan metode autodestructive, yakni dengan cara menghilangkannya melalui proses seperti mengecat, mengganti atau menghilangkan
label, mengisi ulang isi kemasan dengan objek baru, dan membuat kemasan baru sehingga identitas awal dari objek
tersebut benar-benar tidak dapat identifikasi atau juga menimbulkan kesan kebaruan terhadap identitas pada objek
tersebut.
Objek-objek yang telah dimodifikasi ulang identitasnya tersebut kemudian akan disusun dalam bentuk instalasi
menyerupai etalase pasar swalayan, pasar tradisional, dan etalase toko bernuansa kemewahan. Dimana penempatan
objek-objek disusun menurut tingkat nilai identitas kemewahannya dan kemudian ditempatkan pada nilai identitas yang
berlawanan. Seperti misalnya objek-objek yang dianggap memiliki tingkat nilai kemewahannya tinggi dari segi
identitasnya akan ditempatkan pada etalase yang memiliki tingkat nilai kemewahannya rendah, atau dalam hal ini
secara spesifik adalah etalase pasar tradisonal. Penggunaan medium instalasi yang didukung oleh found object tersebut
secara keseluruhan merepresentasikan perilaku masyarakat menurut strata sosial mereka, dimana penulis memiliki
hipotesa berdasarkan analisis yang ia lakukan bahwa terkadang mayoritas masyarakat kita memiliki selera kebutuhan
Jurnal Tingkat Sarjana Senirupa dan Desain No.1| 4
Muhammad Ilham Akbar
konsumsi yang berbanding terbalik dengan tingkat ekonomi yang mereka miliki. Bentuk found object yang penulis pilih
juga akhirnya secara spesifik tertuju pada objek-objek yang bersifat edible atau dapat dikonsumsi dengan cara dimakan
dan diminum, karena objek-objek tersebut merupakan gambaran dari perilaku mengkonsumsi yang paling mendasar.
Pada instalasi pasar tradisional objek-objek yang menempatinya adalah objek-objek konsumsi makanan dan minuman
yang dikenal memiliki identitas untuk dikonsumsi oleh masyarakat kelas atas. Contohnya seperti makanan kaleng
bermerk Campbell’s, Heinz, juga Del Monte, dimana merk-merk tersebut penulis nilai sebagian besar hanya dikenali
oleh masyarakat Indonesia dengan tingkat strata sosial atas. Permainan menukar identitas yang dilakukan disini secara
spesifik yakni terlihat melalui penempatan found object pada instalasi juga pada proses auto-destructive dengan cara
mengganti bahan label asli dari objek tersebut menggunakan bahan kertas berwarna dengan teknik xerography untuk
mencetak labelnya. Tujuan proses tersebut pada akhirnya berbicara mengenai pertukaran nilai identitas dari objek yang
awalnya memiliki nilai identitas tinggi menjadi tereduksi karena adanya perubahan bahan kertas juga proses penciptaan
visual melalui teknik xerography.
Kemudian pada instalasi pasar swalayan objek-objek yang hadir adalah berupa makanan dan minuman ringan yang
kemasannya telah dicat ulang menggunakan cat semprot. Dimana proses tersebut masih berbicara mengenai metafora
identitas yang secara spesifik adalah masyarakat kelas menengah. Namun apabila berbicara mengenai teknis pada
instalasi ini proses yang dilakukan secara keseluruhan adalah murni tentang penghilangan identitas dengan metode
auto-destructive. Objek-objek yang hadir pada instalasi pasar swalayan ini tetap diproses menggunakan ide autodestructive, namun kali ini prosesnya adalah menghilangkan atau menutupi identitas pada setiap found object dengan
menggunakan cat semprot atau spray-paint. Tanpa ada tambahan teknis atau metode proses penciptaan visual lainnya,
penghilangan atau menutupi identitas objek-objek pada instalasi ini secara filosofis juga berbicara mengenai layer atau
lapisan-lapisan tanda visual yang merepresentasikan nilai identitas sebuah objek yang kemudian menjadi menghilang
atau tertutup karena adanya tambahan lapisan lain yakni warna-warna bersifat formalis.
Pada instalasi ketiga yakni instalasi toko kemewahan atau luxury shop, dengan bentuk spesifik etalase rak berkesan
mewah yang diisi oleh objek-objek makanan tradisional. Pada instalasi ini metode auto-destructive tidak diperlihatkan
secara gamblang, namun lebih pada implementasi konseptual yang memiliki ide dasar anarkisme kemudian diolah
dengan sudut pandang kontradiktif atau paradoks. Eksekusi visualnya adalah berupa dua buah etalase kayu berbentuk
kubus yang didalamnya merupakan found-object berbentuk jajanan pasar. Secara narasi filosofis intalasi pada bagian ini
berbicara mengenai metafora masyarakat kelas bawah yang terkadang berusaha untuk mengkonsumsi objek-objek yang
memiliki nilai identitas tinggi, maka dari itu eksekusi visual diolah seminimalis mungkin agar secara bias para audiens
dapat menginterpretasikan kejanggalan hubungan antara medium instalasi dengan kehadiran objek tersebut. Dimana
penempatannya sangatlah bertolak belakang, karena secara mayoritas jajanan pasar biasanya ditempatkan atau hadir
pada warung-warung dimana masyarakat kelas bawah itulah yang biasanya mengkonsumsi objek tersebut.
Gambar 2 Salah satu bagian instalasi.
Jurnal Tingkat Sarjana Senirupa dan Desain No.1 | 5
4. Penutup / Kesimpulan
Krisis identitas dalam budaya konsumerisme adalah satu fenomena global yang memang tidak bisa dihindari oleh setiap
lapisan masyarakat konsumer terutama pada negara berkembang seperti di Indonesia. Kesadaran akan adanya
pergeseran fungsi proses konsumsi yang bukan hanya sekedar memenuhi kebutuhan hidup, menyebabkan beberapa
individu dalam ruang lingkup sosial tertentu pada setiap lapisan masyarakat tersebut menjadi kehilangan identitas
dirinya. Sebagai salah satu korban dari fenomena itu, penulis seperti berusaha untuk mengeluarkan diri dari perasaan
ketidaknyamanan yang dia rasakan, sehingga akhirnya mencapai pada titik perasaan-perasaan kejengahan untuk sekilas
berpikir melakukan tindakan anarkis. Maka dari itu, untuk meredam perasaan dan mencegah timbulnya perilaku
tersebut penulis mencoba mengatasinya melalui sebuah karya instalasi sebagai interpretasi personal juga kritisi terhadap
krisis identitas budaya konsumersime dengan metode berkarya seni auto-destructive.
Karya berjudul “Imitasi Produk Anakri” ini merupakan penggabungan beberapa medium berbeda yang pada dasarnya
memiliki prinsip serupa yakni implementasi ide anarkisme terhadap proses berkarya melalui metode seni autodestructive, dimana proses penghancuran, penghilangan, dan penambahan tanda-tanda menjadi penggerak utama.
Pilihan medium tersebut jatuh kepada modifikasi found-object yang dikemas melalui bentuk instalasi dengan penerapan
konsep auto-destructive, dan auto-creative. Selain itu, sebagai bentuk anarkisme konseptual, penulis juga memutuskan
untuk mengolah tanda-tanda visual melalui pendekatan parodi dan satir dengan cara mencampuradukkan nilai-nilai
yang hadir dalam modifikasi found-object tersebut.
Dengan kata lain, karya seni instalasi ini merupakan interpretasi personal penulis mengenai implementasi ide anarkisme
terhadap krisis identitas dalam budaya konsumerisme menjadi suatu kritik metafora bagi identitas individu-individu
dalam masyarakat konsumer dan perilaku konsumsi mereka. Adanya proses penghancuran dan penghilangan identitas
dari produk-produk tersebut, baik secara langsung maupun kontemplatif membantu penulis dalam menerapkan ide-ide
tentang anarkisme yang bertujuan untuk meredam hasrat perilaku konsumtif pada individu-individu di setiap lapisan
masyarakat konsumer juga terhadap penulis sendiri. Pada akhirnya penulis tiba pada pemahaman bahwa seni pada
dasarnya merupakan bentuk cerminan budaya yang dapat membawa perubahan, dan karya ini menunjukan bahwa
proses berkesenian dapat mewujud menjadi sebuah proses ekspresi implementasi ide-ide juga penyampaian kritik
terhadap kondisi sosial di masyarakat.
Ucapan Terima Kasih
Artikel ini didasarkan kepada catatan proses berkarya/perancangan dalam MK Tugas Akhir* Program Studi Sarjana
Seni Rupa FSRD ITB. Proses pelaksanaan Pra TA/Kolokium/Tugas Akhir* ini disupervisi oleh pembimbing Dr. Tisna
Sanjaya, M.Sch.
Daftar Pustaka
Literatur:
Barker, Chris. 2014. Kamus Kajian Budaya. Yogyakarta, Kanisius.
Baudrillard, Jean. 1998. The Consumer Society: Myths and Structures. London: Sage Publication.
Beteille, Andre. 1970. Social Inequality. London: Penguin Books.
Bimo, Walgito. 2004. Pengantar Psikologi Umum. Jakarta: Penerbit Andi.
Budiman, Hikmat. 2002. Lubang Hitam Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
Bungin, Burhan. 2001. Imaji Media Massa. Yogyakarta: Penerbit Jendela.
Featherstone, Mike. 2007. Consumer Culture and Postmodernism. London: Sage Publication.
Frida, Treurini. 2012. Driyakarya Si Jenthu – Napak Tilas Filsuf Pendidik. Jakarta: Buku Kompas.
Herbert, Marcus. 2002. One Dimensional Man. New York: Routledge.
Hogg & Abrams. 2001. Intergroup Relations. Philadelphia: Psychology Press.
Kroger, Jane. 2000. Identity Development: Adolescence Through Adulthood. London: Sage Publication.
Narwoko & Susanto. 2007. Sosiologi. Jakarta: Penerbit Kencana.
Piliang, A. Yasraf. 2012. Dunia yang Dilipat. Bandung: Penerbit Matahari.
Piliang, A. Yasraf. 1999. Hiperrealitas Kebudayaan. Yogyakarta: LKIS.
Strinati, Dominic. 2008. Budaya Populer: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer. Yogyakarta: Penerbit Jejak.
Turner, Bryan. 2000. Teori-teori Sosiologi Modernitas dan Posmodernnitas. Yogyakarta: Panta Rhei Books.
William, L. Rivers. 2004. Media Massa dan Masyarakat Modern. Jakarta: Prenada Media.
Jurnal Tingkat Sarjana Senirupa dan Desain No.1| 6
Muhammad Ilham Akbar
Website:
Pollack, B. 2012. Under Destruction. http://www.artnews.com/2012/06/21/under-destruction/, diakses pada 17
September 2016, 16:20.
Sainato, Michael. 2012. How Modern Consumerism Has Changed Art and Culture.
https://democracychronicles.com/how-modern-consumerism-has-changed-art-and-culture/, diakses pada 17
September 2016, 21:05.
https://gerakgeraksenirupa.wordpress.com/2010/11/19/gerakan-seni-rupa-baru-dan-kelompok-seni-rupa-di-indonesia/,
diakses pada 16 September 2016, 19:38.
Jurnal Tingkat Sarjana Senirupa dan Desain No.1 | 7
Download