BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Kerangka Teori dan Literatur 2.1.1 Pajak 2.1.1.1 Definisi Pajak Pada Pembukaan UUD 1945 alenia keempat, dinyatakan bahwa tujuan suatu negara adalah “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan keadilan sosial.” Dari pernyataan tersebut, terlihat bahwa untuk memenuhi tujuan tersebut negara membutuhkan dana untuk kepentingan rakyat. Dana ini sebagian besar bersumber dari penerimaan pajak, seperti yang tercermin dari target penerimaan pajak tahun 2014 yang dinyatakan oleh Direktorat Jenderal Pajak yaitu sebesar Rp 1.1110,2 Triliun atau 66,6% dari penerimaan negara. Oleh karena itu, kesadaran warga negara untuk membayar pajak merupakan hal yang sangat penting untuk mendukung jalannya negara. Untuk memahami peran pajak yang dibayarkan terhadap pembangunan negara, maka perlu diketahui terlebih dahulu tentang pengertian pajak itu sendiri. Berikut ini pengertian pajak dari beberapa sumber: Menurut Undang-Undang No 28 Tahun 2007: ”Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesarbesarnya kemakmuran rakyat.” (Indonesia, 2007: 1.2) Menurut prof. Dr. P. J. A. Andriani: "Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturanperaturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai 7 8 pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara yang menyelenggarakan pemerintahan". (Waluyo, 2011:2) Menurut Prof. Dr. MJH. Smeets: “Pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma-norma umum dan yang dapat dipaksakannya, tanpa adanya kontraprestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal yang individual, dimaksudkan untuk membiayai pengeluaran pemerintah.” (Waluyo, 2011:2) Menurut Sommerfeld Ray M.,Anderson Herschel M.,&Brock Horace R.: “Pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan.” (Mohammad Zain, 2010:11) 2.1.1.2. Fungsi pajak Menurut Dr. Mardiasmo, MBA., Ak. (2009:1), pajak memiliki 2 fungsi, antara lain : 1. Fungsi Penerimaan (Budgeter) Pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran pemerintah. Sebagai contoh: dimasukkannya pajak dalam APBN sebagai penerimaan dalam negeri. 2. Fungsi Mengatur (Reguler) Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan di bidang sosial dan ekonomi. Sebagai contoh: dikenakannya pajak yang lebih tinggi terhadap minuman keras, dapat ditekan. Demikian pula terhadap barang mewah. 2.1.1.3. Pengelompokan pajak Mengacu pada buku Perpajakan Indonesia karangan Waluyo (2011:12), Pajak dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok, adalah sebagai berikut: 9 1. Menurut golongan atau pembebanan, dibagi menjadi berikut ini: a. Pajak Langsung, adalah pajak yang pembebanannya tidak dapat dilimpahkan ke pihak lain, tetapi harus menjadi beban langsung Wajib Pajak yang bersangkutan. Contoh : Pajak Penghasilan. b. Pajak Tidak Langsung, adalah pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan kepada pihak lain. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai. 2. Menurut Sifat Pembagian pajak menurut sifat dimaksudkan pembedaan dan pembagiannya berdasarkan ciri-ciri prinsip adalah sebagai berikut. a. Pajak Subjektif, adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya yang selanjutnya dicari syarat objektifnya, dalam arti memperhatikan keadaan dari Wajib Pajak. Contoh: Pajak Penghasilan b. Pajak Objektif, adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. 3. Menurut pemungut dan pengelolanya, adalah sebagai berikut. a. Pajak pusat, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara. Contoh: Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, dan Bea Meterai. b. Pajak daerah, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Contoh: pajak reklame, pajak hiburan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Pajak Bumi dan Bangunan sektor perkotaan dan pedesaan. 2.1.1.4. Ciri-ciri pajak Ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak, adalah sebagai berikut: 10 1. Pajak dipungut berdasarkan Undang-undang serta aturan pelaksanaannya dapat dipaksakan. 2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah. 3. Pajak dipungut oleh negara baik pemerintah pusat maupun daerah. 4. Pajak diperuntukkan membiayai berbagai pengeluaran pemerintah. 2.1.1.5. Dasar Teori Pemungutan Pajak Menurut Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton terdapat beberapa teori yang menjadi dasar pemungutan pajak sebagai berikut. 1. Teori Asuransi Teori asuransi diartikan dengan suatu kepentingan masyarakat yang harus dilindungi oleh negara. Masyarakat seakan mempertanggungkan keselamatan dan keamanan jiwanya kepada negara. Dengan adanya kepentingan dari masyarakat itu sendiri, maka masyarakat harus membayar “premi” kepada negara 2. Teori Kepentingan Teori kepentingan diartikan sebagai negara yang melindungi kepentingan harta benda dan jiwa warga negara dengan memperhatikan pembagian beban pajak yang harus dipungut dari seluruh warga berdasarkan kepentingan dari warga negara yang ada. Warga negara yang memiliki harta yang banyak , membayar pajak lebih besar kepada negara untuk melindungi kepentingannya. 3. Teori Gaya Pikul Dasar teori ini adalah asas keadilan, yaitu setiap orang yang dikenakan pajak harus sama beratnya. Pajak yang harus dibayar ukurannya sama dengan besarnya penghasilan dan pengeluaran yang dilakukan. Berdasarkan teori gaya pikul, keharusan untuk membayar pajak baru timbul setelah kebutuhan primer seseorang telah terpenuhi. Kebutuhan primer merupakan asas minimum bagi kehidupan seseorang. Jika telah terpenuhi, barulah pembayaran pajak dilakukan. Dalam konteks UU PPh asas minimum 11 kehidupan sebagaimana dimaksud tersebut sama dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Apabila penghasilan seseorang dibawah PTKP maka orang tersebut tidak perlu membayar pajak. Gaya pikulnya untuk membayar pajak adalah nihil. 4. Teori Gaya Beli Teori ini menekankan bahwa pembayaran pajak yang dilakukan kepada negara dimaksudkan untuk memelihara masyarakat dalam negara bersangkutan. Gaya beli suatu rumah tangga dalam masyarakat adalah sama dengan gaya beli suatu rumah tangga negara. Pembayaran pajak lebih ditekankan pada fungsi mengatur (regulerent) agar masyarakat tetap eksis. Dengan kata lain, kesejahteraan masyarakat akan tetap terjamin dengan pembayaran pajak berdasarkan teori gaya beli ini. 5. Teori Bakti Teori ini menekankan pada paham organische staatsleer yang mengajarkan bahwa karena sifat suatu negara sebagai suatu organisasi (perkumpulan) dari individu-individu, maka timbul hak mutlak negara untuk memungut pajak. Teori bakti ini bisa dikatakan sebagai adanya perjanjian dalam masyarakat untuk membentuk negara dan menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada negara untuk memimpin masyarakat. Karena adanya kepercayaan yang diberikan masyarakat kepada negara, maka pembayaran pajak yang dilakukan merupakan bukti bakti dari masyarakat kepada negara. 2.1.1.6. Yurisdiksi Pemungutan Pajak Yurisdiksi yang dimaksud adalah batas kewenangan yang dapat dilakukan oleh suatu negara dalam memungut pajak terhadap warga negaranya. Secara umum, terdapat 2 asas yang digunakan sebagai dasar pemungutan pajak terhadap penghasilan yang diperoleh wajib pajak dalam negeri maupun luar negeri. a. Asas Domisili Suatu negara yang menganut asas domisili akan memajaki penghasilan dari wajib pajaknya berdasarkan domisilinya. Atas 12 penghasilan dari wajib pajak yang negaranya menganut asas domisili, tidak melihat penghasilan yang didapat tersebut berasal dari negara mana, jika diperoleh warganya, akan dikenakan pajak oleh negara tersebut. b. Asas Sumber Suatu negara yang menganut asas sumber akan memajaki penghasilan dari wajib pajaknya berdasarkan tempat sumber penghasilan tersebut didapat. Atas penghasilan dari wajib pajak dalam negeri maupun luar negeri yang memperoleh penghasilan dari negara yang menganut asas sumber, maka tidak melihat status dari wajib pajak, jika mempunyai penghasilan yang berasal dari negara tersebut, penghasilan tersebut akan dipajaki. 2.1.1.7. Pajak Penghasilan Menurut Prof. Dr. Gunadi, penghasilan didefinisikan sebagai peningkatan manfaat ekonomi selama satu periode akuntansi tertentu dalam bentuk pemasukan atau penambahan aktiva atau penurunan kewajiban yang mengakibatkan kenaikan ekuitas yang tidak berasal dari kontribusi penanaman modal.” (Gunadi, 2009:147) Sementara menurut pengertian penghasilan yang dikutip dari UU pajak penghasilan pasal 4 ayat (1) adalah: “Setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk unsur-unsur sebagai berikut : a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diteriam atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini. b. Hadiah dari penghargaan.” undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan 13 2.1.1.8. Subjek Pajak Wajib pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan disebut sebagai subjek pajak. Subjek Pajak dikelompokan sebagai berikut: a. Orang Pribadi Orang pribadi sebagai subjek pajak dapat tinggal atau berada di Indonesia atau berada di luar Indonesia. b. Warisan yang belum terbagi Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan subjek pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris. c. Badan Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara (BUMN) atau badan usaha milik daerah (BUMD). d. Bentuk Usaha Tetap Bentuk Usaha Tetap (permanent establishment) merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan. 2.1,2. Perpajakan Internasional 2.1.2.1. Pengertian Hukum Pajak Internasional Berikut ini beberapa pengertian hukum pajak internasional menurut ahli hukum pajak. Menurut pendapat Prof. Dr. Rochmat Soemitro, bahwa hukum pajak internasional adalah hukum pajak nasional yang terdiri atas kaedah, baik berupa kaedah - kaedah nasional maupun kaedah yang berasal dari traktat antar negara dan dari prinsif atau kebiasaan yang telah diterima baik oleh negera-negara di dunia, untuk mengatur soalsoal perpajakan dan di mana dapat ditunjukkan adanya unsur-unsur asing. Menurut pendapat Prof. Dr. P.J.A. Adriani, hukum pajak internasional adalah suatu kesatuan hukum yang mengupas suatu 14 persoalan yang diatur dalam UU Nasional mengenai pemajakan terhadap orang-orang luar negeri, peraturan-peraturan nasional untuk menghindarkan pajak ganda dan traktat-traktat. Sedangkan menurut pendapat Prof. Mr. H.J. Hofstra, hukum pajak internasional sebenarnya merupakan hukum pajak nasional yang di dalamnya mengacu pengenaan terhadap orang asing. 2.1.2.2. Timbulnya Pajak Berganda Internasional Dalam era globalisasi ini, segala kegiatan yang dilakukan antar negara menjadi mudah dan lancar seolah tidak ada pembatas yang mengahalangi. Kemudahan tersebut juga berpengaruh pada hubungan ekonomi antar negara, di mana perusahaan dapat memperluas usahanya, melakukan kegiatan perdagangan, dan memperoleh penghasilan di negara lain. Transaksi lintas negara menimbulkan tantangan sendiri dari sisi perpajakan, sebab perbedaan asas-asas perpajakan yang dianut oleh masing-masing negara dapat menimbulkan permasalahan pajak berganda internasional. Timbulnya pajak berganda (double tax) adalah karena adanya pertemuan dari kedua asas yang berbeda yang digunakan dua negara. Selain menimbulkan double tax, pertemuan kedua asas juga dapat menyebabkan adanya pembebasan pajak (double exemption). Jika wajib pajak yang berasal dari negara yang mempergunakan asas domisili mempunyai penghasilan dari negara yang mempergunakan asas sumber, maka atas penghasilan tersebut akan dikenakan pajak di dua negara. Sebaliknya jika wajib pajak yang berasal dari negara yang mempergunakan asas sumber mempunyai penghasilan dari negara yang mempergunakan asas domisili, maka atas penghasilan tersebut tidak akan dikenakan pajak di kedua negara. 2.1.2.3. Dampak Pengenaan Pajak berganda Secara ekonomis, pajak merupakan pengorbanan sumber daya yang harus ditanggung oleh wajib pajak. Pajak Berganda Internasional 15 sebagai akibat dari pemajakan oleh dua ketentuan pemajakan dari dua negara memberikan tambahan beban terhadap wajib pajak. Pajak berganda internasional ini kenyataannya akan merugikan wajib pajak, karena wajib pajak akan memikul beban pajak lebih dari satu kali atas suatu objek pajak yang sama. Hal ini akan menghambat perkembangan ekonomi global karena menjadi pertimbangan dari pelaku bisnis. Oleh karena itu, diperlukan adanya kebijakan untuk menghindari terjadinya pajak berganda ini 2.1.2.4. Penghindaran Pajak Berganda Secara Unilateral Penghindaran pajak berganda secara unilateral ditempuh dengan cara suatu negara melengkapi undang-undang domestic di negaranya dengan metode penghindara pajak berganda. Beberapa metode penghindaran pajak berganda yang umumnya digunakan yaitu: 1. Metode Pembebasan/ pengecualian ( exemption ) Metode ini berupaya untuk secara total menghilangkan Pajak Berganda. Metode tersebut menghendaki suatu Negara pemegang yurisdiksi pemajakan untuk rela melepaskan hak pemajakannya dan sepertinya mengakui pemajakan eksklusif di Negara lain. Metode ini meliputi : a. Pembebasan subjek, umumnya diberlakukan terhadap anggota korps diplomatik, konsuler, dan organisasi internasional seperti para duta besar yang sesuai dengan hukum internasional, mendapat privilage pemajakan. Mereka hanya dikenakan pajak oleh negara asalnya saja. b. Pembebasan objek, atau lebih dikenal dengan full exemption diberikan dengan mengeluarkan penghasilan luar negeri dari basis pemajakan Wajib Pajak Dalam Negeri negara tersebut. Karena penghasilan luar negeri dikeluarkan dari basis penghitungan pajka atas penghasilan global, maka secara wajar, kerugian juga dikeluarkan sebagai pengurang basis penghitungan pajak. 16 c. Pembebasan pajak. Pada prinsipnya penghasilan luar negeri dibebaskan dari pajak domestik, namun untuk keperluan penghitungan pajak pengaruh progresi penghasilan luar negeri terhadap pengenaan pajak atas penghasilan global dipertahankan. Apabila negara residen memberlakukan tarif flat, maka pengaruh tersebut adalah nihil. Pengaruh tersebut akan menjadi positif apabila penghasilan luar negeri negatif, karena kerugian tersebut dapat diperhitungkan sebagai pengurang dari dasar penghitungan pajak. Hal ini merupakan salah satu perbedaan antara metode pembebasan penghasilan dengan pembebasan pajak. Pengaruh ini akan terasa dampaknya di negara yang menganut tarif pajak progresif. 2. Metode Kredit (Credit Method) Berbeda dengan metode eksemsi, metode kredit memberikan keringanan dengan cara mengkreditkan (mengurangkan atau mengimputasikan) pajak luar negeri terhadap pajak penghasilan global yang merupakan porsi penghasilan luar negeri. 2.1.2.5. Penghindaran Pajak Berganda Secara Bilateral Penghindaran pajak berganda secara bilateral ditempuh dengan cara suatu negara membuat persetujuan dengan negara lain mengenai penghindaran pajak berganda. Perjanjian perpajakan ini (Tax Treaty) atau lebih dikenal dengan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda adalah suatu istilah yang dikenal dalam UU Pajak Penghasilan (PPh). Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang selanjutnya disebut P3B adalah perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak suatu implementasi dari pasal 32A UU PPh yang mengatakan pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak. Ketentuan-ketentuan dalam P3B yang dimaksudkan untuk mencegah pengenaan pajak berganda ini misalnya : 17 1. Adanya ketentuan untuk menyelesaikan kasus dual residence di mana seseorang atau badan diakui sebagai subjek pajak dalam negeri (resident tax person) oleh dua negara yang berbeda. Aturan ini dikenal dengan istilah Tie Breaker Rule yang dicantumkan dalam Pasal 4 ayat (2) P3B. 2. Adanya ketentuan tentang Corresponding Adjustment terhadap lawan transaksi di suatu negara dalam hal negara yang lain melakukan koreksi terhadap satu Wajib Pajak yang melakukan transfer pricing. 3. Adanya ketentuan tentang penerapan metode penghindaran pajak berganda yang diatur dalam Pasal 23 P3B. 4. Adanya ketentuan tentang Mutual Agreement Procedures (MAP) di mana jika satu Wajib Pajak diperlakukan tidak sesuai dengan ketentuan P3B di negara lain maka Wajib Pajak tersebut dapat meminta otoritas pajak untuk menyelesaikan masalahnya melalui MAP ini. 2.1.2.6. Tujuan perjanjian penghindaran pajak berganda Menurut Anang Mury Kurniawan, terdapat 2 tujuan utama dari dibuatnya P3B, yaitu: 1. Untuk menghindari terjadinya pajak berganda 2. Untuk mencegah penghindaran dan pencegahan pajak (fiscal evasion and avoidance) Selain itu, P3B juga mempunyai tujuan lain yang lebih luas, diantaranya: 1. Untuk mendorong investasi 2. Untuk harmonisasi kriteria pemajakan 3. Untuk melindungi wajib pajak 4. Untuk mencegah diskriminasi Untuk mencegah terjadinya penghindaran dan pengelakan pajak dalam suatu transaksi internasional, suatu perjanjian perpajakan biasanya memuat ketentuan tentang pertukaran informasi. Informasi dari negara lain dapat digunakan untuk menyelesaikan kasus-kasus 18 penghindaran atau pengelakan pajak seperti kasus treaty shopping (memanfaatkan ketentuan tax treaty yang tidak semestinya), kasus transfer pricing ataupun kasus tindak pidana perpajakan. 2.1.2.7. Model P3B Model P3B dibuat untuk mempermudah negara-negara dalam membuat P3B. Dalam mengadakan persetujuan dengan negara lain, biasanya negara-negara di dunia mengunakan Model P3B sebagai acuan. Terdapat 2 jenis Model P3B, yaitu: 1. OECD Model OECD Model merupakan model P3B yang digunakan sebagai acuan negara-negara yang tergabung dalam organisasi OECD (Organization for Economic Cooperation and Development). OECD Model dibuat oleh negara-negara maju, sehingga ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam OECD model lebih mencerminkan negara maju. Pembagian hak pemajakan dalam OECD Model lebih banyak mengedepankan asas domisili. 2. UN Model UN Model merupakan model P3B yang dikembangkan oleh organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nation/ UN). Kebalikan dengan OECD Model, UN Model dibuat dengan lebih mengedepankan kepentingan negara-negara berkembang. UN model lebih banyak mengakomodasi asas sumber, di mana pada umumnya negara berkembang menjadi sumber dari pembayaran penghasilan. Dalam prakteknya masing-masing negara yang membuat P3B akan melakukan perubahan Model P3B sesuai dengan kepentingan negaranya. Amerika Serika memiliki model P3B sendiri yang sesuai dengan kepentingan negaranya yang disebut dengan istilah US Model. Sedangkan Indonesia juga memiliki model P3B yang sudah diubah sesuai dengan kepentingan Indonesia sejalan dengan undang-undang 19 perpajakan di Indonesia yang disebut dengan istilah Model P3B Indonesia. 2.1.2.8. Jenis-Jenis Penghindaran Pajak Berganda 1. Tax Haven Country dan Preferential Tax Regime Yang dimaksud dengan Tax Haven adalah kebijakan pajak suatu negara yang dengan sengaja memberikan fasilitas pajak. Berupa penetapan tarif pajak yang rendah kepada wajib pajak (WP) negara lain agar penghasilan dari WP negara lain tersebut dialihkan ke negara mereka. 2. Controlled Foreign Corporations (CFC) CFC adalah perusahaan terkendali yang dimiliki oleh Wajib Pajak dalam negeri yang berada di negara-negara yang mengenakan pajak rendah atau tidak mengenakan pajak sama sekali (tax haven country) yang dibentuk dengan maksud untuk menunda pengakuan penghasilan dalam rangka penghindaran pajak (tax avoidance). Aturan CFC pada dasarnya untuk mencegah wajib pajak di suatu negara melakukan tax deferral atas penghasilannya, dengan cara melakukan transaksi atau investasi di negara-negara yang dikenal dengan sebutan "tax haven", karena tarif pajak di negara-negara tersebut sangat rendah atau bahkan tidak ada pajak sama sekali. Di Indonesia, CFC diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat (2) UndangUndang Pajak Penghasilan. 3. Treaty Shopping Treaty shopping adalah negara ketiga memanfaatkan suatu P3B dengan cara menggunakan penduduk dari salah satu negara pihak pada persetujuan yang berhak menikmati treaty protection. Transaksinya biasanya merupakan transaksi segitiga. Berkaitan dengan transfer pricing, treaty shopping dilakukan dengan melakukan rekayasa arus dana melalui negara mitra perjanjian untuk mendapatkan keringanan pajak. 2.1.2.9. Penghasilan dari Modal Penghasilan dari modal atau yang disebut dengan passive income meliputi penghasilan berupa bunga, dividen, royalti dan 20 keuntungan dari pengalihan harta. Perlakuan perpajakannya berbeda dengan penghasilan dari kegiatan usaha yang hanya dapat dikenakan pajak di negara sumber apabila ada BUT, tetapi biasanya hak pemajakannya diterapkan lebih rendah daripada tarif menurut Undang-Undang domestik negara sumber. 2.1.2.9.1. Dividen Menurut Tax Treaty, pengertian dividen adalah penghasilan dari saham-saham, atau hak-hak lainnya yang bukan merupakan surat-surat piutang yang berhak atas pembagian laba serta penghasilan dari hak-hak perseroan lainnya yang mendapatkan perlakuan perpajakan yang sama dengan penghasilan dari saham-saham menurut undangundang perpajakan negara dimana perseroan yang membagikan dividen itu berkedudukan. Namun demikian, pengertian dividen itu bersifat relatif tergantung bagaimana masing-masing negara menterjemakan pengertian dividen. 2.1.2.9.2. Bunga Penghasilan dari modal laiinnya adalah bunga. Menurut PPh bunga merupakan objek pajak.Bunga disini termasuk di dalamnya adalah premium, diskonto dan imbalan. Pengertian bunga dalam Tax Treaty adalah penghasilan dari segala macam tagihan utang, baik yang dijamin dengan hipotik maupun tidak, dan baik yang berhak atas bagian laba debitur atau tidak, dan khususnya penghasilan dari surat-surat perbendaharaan negara dan penghasilan dari obligasi atau surat-surat hutang, termasuk premi dan hadiah yang terikat pada surat-surat obligasi atau surat-surat utang. Definisi ini akan tergantung bagaimana masing-masing negara menterjemahkan pengertian bunga dan apabila negara yang bersangkutan tidak terikat perjanjian Tax Treaty dengan Indonesia maka pengertian bunga tunduk pada undang-undang domestik. 21 2.1.2.9.3. Royalti Royalti menurut Tax Treaty adalah setiap jenis pembayaran yang diterima sebagai imbalan atas penggunaan atau atas hak untuk menggunakan setiap hak cipta kesusasteraan, kesenian, atau kerja ilmiah, termasuk film sinematografi, paten, merek, dagang, pola atau model, perencanaan, rumus rahasia atau cara pengolahan, atau untuk penggunaan hak untuk menggunakan alat-alat perlengkapan industri, perdagangan, atau ilmu pengetahuan, atau untuk informasi di bidang industri, perdagangan atau pengalaman ilmu pengetahuan. 2.1.2.9.4. Capital Gain Keuntungan pengalihan harta (capital gain) dapat terjadi atas pengalihan harta bergerak maupun harta tak bergerak. Perlakuan capital gain sesuai yang diatur pada undang-undang PPh tidak jauh berbeda dengan yang diatur pada P3B. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta yang diatur dalam UU PPh meliputi: 1. Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal. 2. Keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, atau badan lainnya. 3. Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apapun. 4. Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, 22 badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil. 5. Keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam usaha pertambangan. 2.2 Penelitian terdahulu Penelitian mengenai Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda antara Indonesia dengan Belanda juga pernah dilakukan oleh Ratyan Noer Hartiko (2012) dengan judul “Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda: Studi Kasus Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda Indonesia Belanda”. Permasalahan yang menjadi fokus penelitian ini adalah sebagai berikut. a. Apa yang menimbulkan permasalahan pajak berganda dan bagaimana penyelesaiannya? b. Bagaimanakah Penanganan Pajak Berganda dalam Hukum Internasional? c. Bagaimanakah pengaturan masalah pajak berganda dalam persetujuan penghindaran pajak berganda Indonesia-Belanda? Dari penelitian tersebut, peneliti menyimpulkan hal-hal sebagai berikut. a. Permasalahan pajak berganda dalam hukum internasional merupakan permasalahan dari bentrokan yuridiksi pemungutan pajak masing-masing negara. Kedaulatan negara untuk menarik pajak atas warga negaranya di negara lain serta kegiatan warga negara asing di wilayah teritorial negara yang berhubungan dengan transaksi lintas batas negara menyebabkan terjadinya pajak berganda. Setiap negara mempunyai cara tersendiri untuk menghindarkan permasalahan pajak berganda baik secara bilateral, unliteral, maupun multilateral. Secara unilateral biasanya termuat dalam peraturan perpajakan domestik mereka, dalam pasalnya terdapat mengenai metode penghindaran pajak berganda. Kemudian melalui perjanjian penghindaran pajak berganda yaitu secara bilateral. Dalam hal beberapa kawasan memiliki kesamaan sistem perpajakan dan wilayah 23 yang berdekatan, perjanjian perpajakan dilakukan secara multilateral/ regional yang dibuat dalam suatu traktat. b. Penanganan permasalahan pajak berganda dalam hukum internasional dilakukan melalui perjanjian antara dua negara baik secara bilateral maupun secara multilateral. Karena merupakan kesepakatan bersama, pemberian keringanan pajak berganda ini lebih bersifat harmonisasi ketentuan perpajakan masing-masing negara terkait. c. Persetujuan penghindaran pajak berganda Indonesia dengan Belanda menggunakan metode campuran baik UN Model juga OECD Model yang keduanya diambil dan dipakai sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan perpajakan Indonesia. Persetujuan ini mengatur hak pemajakan negara terhadap penghasilan–penghasilan tertentu dan besarnya pajak yang diterima pihak asing atas kegiatannya di Indonesia yang dimuat dalam pasal 26 UU PPh . Walaupun dalam undang-undang pajak penghasilan wajib pajak luar negeri dikenai pajak sebesar 20% namun bila ada perjanjian penghindaran pajak berganda, seperti persetujuan penghindaran pajak berganda antar Indonesia Belanda yang dibuat tahun 2002 tersebut, tarif pajak bisa dikurangi. Dalam persetujuan penghindaran pajak berganda Indonesia dengan Belanda 2002, tarif PPh pasal 26 akan berubah sebagai berikut. 1. Bunga (Interest) sebesar 10% maksimal dari jumlah bruto (pasal 11 ayat (2)); 2. Royalti sebesar 10% maksimal dari jumlah bruto (pasal 12 ayat (2)); 3. Dividen sebesar 10% maksimal dari jumlah bruto (pasal 10 ayat (2)); 4. Branch profit tax sebesar 10% maksimal dari jumlah bruto (pasal 10 ayat (8)). Sehingga persetujuan penghindaran pajak berganda antara Indonesia dengan Belanda akan menguntungkan Indonesia karena selain untuk menghindarkan pajak berganda juga akan memberikan insentif pajak untuk investor. Hal ini dapat meningkatkan penerimaan negara dari pajak serta meningkatkan investasi dalam negeri. Namun menurut Ratyan Noer Hartiko, masih ada beberapa kekurangan dalam persetujuan yang memerlukan renegosiasi ulang, terutama mengenai tarif karena masih ada beberapa pasal 24 yang membuat Indonesia dirugikan dalam hal penerimaan pajak. Selain itu, menurut Ratyan Noer Hartiko lagi, perjanjian penghindaran pajak berganda bertujuan untuk menghindarkan terjadinya pajak negara, perjanjian ini juga merupakan salah satu pintu masuk pendapatan negara dari pajak. Sehingga melaksanakan perjanjian penghindaran pajak berganda dengan negara tax haven merupakan suatu kerugian bagi Indonesia karena akan menghilangkan hak pemajakan bagi Indonesia. Dalam jurnal berjudul “Indonesia Reissues New Tax Regulations with Clarifications on the Beneficial Ownership Test: Encouraging News for High Yield and Private Equity Structuring” yang ditulis oleh Joel R Hogarth, dibahas mengenai dua revisi Peraturan Direktorat Jenderal Pajak yaitu peraturan nomor PER-25/PJ/2010 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dan PER-24/PJ/2010 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. Kedua peraturan ini memberikan kejelasan untuk penerapan tes beneficial owner dengan memperjelas struktur transaksi internasional yang melibatkan perusahaan Indonesia.Revisi ini memberikan keuntungan untuk pemegang saham di luar negeri maupun bagi penerbitan high-yield debt bagi perusahaan atau anak perusahaan luar negeri yang sebagian besar dari emisinya digunakan di dalam negeri. Pada catatan akhir dari jurnal tersebut, Hogarth menuliskan bahwa perjanjian penghindaran pajak berganda antara Indonesia dengan Hongkong akan memberikan efisiensi yang lebih kepada Hongkong, mengingat perjanjian tersebut mengatur tarif sebesar 5% untuk pendapatan dividen, namun pada peraturan perpajakan domestik Hongkong, tidak dikenakan pajak untuk pendapatan dividen. Joel R. Hogarth, Larry Sussman, dan Anita Choi juga membuat penelitian mengenai pemajakan yang berkaitan dengan penanaman modal asing dengan judul “Indonesian Equity Investment – Selecting a Tax Efficient Holding Jurisdiction, a Comparison of Hongkong and Singapore in light of the new Hongkong –Indonesia Tax Treaty”.Penelitian ini membahas tentang penerapan regulasi beneficial owner dalam investasi modal, serta kelebihan relatif dari Hongkong dan Singapura sebagai yurisdiksi untuk menanamkan 25 modal. Pada akhir dari penelitian, para peneliti tersebut menyimpulkan bahwa perbandingan antara Singapura dan Hongkong sebagai yurisdiksi penanaman modal adalah pilihan yang sulit. Singapura memiliki tarif pajak penghasilan utama badan yang bagi pemegang saham utama.Perjanjian dengan Hongkong juga memberikan keuntungan dengan pengecualian pengenaan pajak penghasilan atas capital gain dari penjualan saham Indonesia. Perjanjian penghindaran pajak berganda antara Indonesia dengan Hongkong akan membuka opsi penataan baru bagi investasi saham di Indonesia, khususnya bagi Investor ekuitas swasta. Namun, Singapura juga mungkin menarik untuk investasi karena tingkat pajak penghasilan badan yang rendah dan jaringan perjanjian pajak yang luas.Yang dapat menjadi pertimbangan adalah sejauh mana investor telah melaksanakan operasi serta kemampuannya untuk mematuhi regulasi beneficial owner di kedua negara tersebut. Pada penelitian yang berjudul “Analisis Ketentuan Anti Shopping dalam Upaya Pencegahan Penyalahgunaan Treaty Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) di Indonesia” yang ditulis oleh Eny Setyowati (2011) dikatakan bahwa salah satu pelanggaran yang terjadi karena tax treaty adalah treaty shopping. Treaty shopping ini dilakukan oleh wajib pajak dalam negeri Indonesia, khususnya perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dengan cara pembentukan Special Purpose Vehicle (SPV) yang mempunyai kegiatan pembiayaan. SPV tersebut paling banyak didirikan di Belanda, karena Belanda dianggap mempunyai treaty benefit yang lebih menguntungkan dibandingkan dengan negara lain. 26