BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Kerangka Teori dan Literatur 2.1.1. Perpajakan 2.1.1.1. Pengertian Pajak Pengertian pajak menurut Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan Nomor 28 Tahun 2007: “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Dalam beberapa literatur tentang perpajakan juga dapat ditemukan pengertian pajak menurut Sommerfeld Ray M., Anderson Herschel M., & Brock Horace R.: “Suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya dalam menjalankan pemerintahan.” (Mohammad Zain, 2010:11) Santoso Brotodiharjo, S.H., dalam bukunya, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, mengemukakan beberapa pendapat ahli tentang definisi pajak, beberapa di antaranya (Wirawan B. Ilyas, Richard Burton, 2010:6): • Menurut Mr. Dr. N. J. Feldmann, Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh terutang kepada penguasa, (menurut norma – norma yang ditetapkannya secara umum), tanpa adanya kontra-prestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum. • Menurut Prof. Dr. M.J.H. Smeets, Pajak adalah prestasi kepada pemerintahan yang terutang melalui norma-norma umum, dan yang dapat dipaksakannya, tanpa adanya kontra-prestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal yang individual; maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran pemerintah”. 7 8 • Menurut Dr. Soeparman Soemahamidjaja, Pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum”. • Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H., Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapatkan jasa-timbal (kontra-prestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.” Pengertian pajak, jika dilihat dari segi ekonomi, berarti sebagai pengalihan sumber daya dari sektor privat ke sektor yang lebih publik yang dapat menimbulkan 2 keadaan. Pertama, kemampuan setiap individu dalam menguasai sumber daya untuk kepentingan penguasaan barang dan jasa akan mulai mengalami pengurangan. Kedua, bertambahnya kemampuan keuangan negara dalam penyediaan barang dan jasa. Sedangkan pajak jika dilihat dari segi hukum, menurut Soemitro, merupakan suatu perikatan yang timbul karena adanya undang-undang yang menyebabkan timbulnya kewajiban negara untuk menyetorkan sejumlah penghasilan tertentu kepada negara. Pendekatan hukum ini memperlihatkan bahwa pajak yang dipungut harus berdasarkan undang-undang sehingga menjamin adanya kepastian hukum, baik bagi fiskus sebagai pengumpul pajak maupun wajib pajak sebagai pembayar pajak. 2.1.1.2. Fungsi Pajak Sesuai dengan ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak dari berbagai definisi, Mardiasmo (2011) mengemukakan setidaknya ada dua fungsi pajak, yaitu: 1. Fungsi Anggaran (Budgetair) Fungsi Budgetair memberlakukan pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya. 2. Fungsi Mengatur (Regulerend) Fungsi Regulerend memberlakukan pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidsng sosial dan ekonomi. Contoh: 9 a. Pajak yang tinggi dikenakan terhadap minuman keras untuk mengurangi konsumsi minuman keras. b. Pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang-barang mewah untuk mengurangi gaya hidup konsumtif. c. Tarif pajak untuk ekspor sebesar 0%, untuk mendorong ekspor produk Indonesia di pasaran dunia. 2.1.1.3. Pengelompokkan Pajak Mengacu kepada isi di dalam buku Perpajakan Indonesia (Waluyo, 2013) pajak dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: 1. Menurut golongan atau pembebanan, dibagi menjadi: a. Pajak Langsung; adalah pajak yang pembebanannya tidak dapat dilimpahkan ke pihak lain, tetapi harus menjadi beban langsung Wajib Pajak yang bersangkutan. Contoh : Pajak Penghasilan. b. Pajak Tidak Langsung; adalah pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan kepada pihak lain. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai. 2. Menurut sifat, dimaksudkan pembedaan dan pembagiannya berdasarkan ciriciri prinsip, dibagi menjadi: a. Pajak Subjektif; adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya yang selanjutnya dicari syarat objektifnya, dalam arti memperhatikan keadaan dari Wajib Pajak. Contoh : Pajak Penghasilan. b. Pajak Objektif; adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. 3. Menurut pemungut dan pengelolanya, dibagi menjadi: a. Pajak Pusat; adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. 10 Contoh : Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, dan Bea Materai. b. Pajak Daerah; adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Contoh : Pajak Reklame, Pajak Hiburan, Bea Perolehan hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Pajak Bumi dan Bangunan sektor perkotaan dan pedesaan. 2.1.1.4. Asas Pemungutan Pajak Asas Pemungutan pajak dapat dibagi menjadi beberapa asas (Waluyo, 2013), adalah sebagai berikut: 1. Asas Menurut Falsafah Hukum Hukum pajak harus mendasarkan pada keadilan, selanjutnya keadilan ini sebagai asas pemungutan pajak. Untuk menyatakan keadilan kepada hak negara untuk memungut pajak, muncul beberapa teori dasar, sebagai berikut: a. Teori Asuransi Dalam perjanjian asuransi diperlukan pembayaran premi. Premi tersebut dimaksudkan sebagai pembayaran atas usaha melindungi orang dari segala kepentingannya, misalnya keselamatan atau keamanan harta bendanya. Teori asuransi ini menyamakan pembayaran premi dengan pembayaran pajak. Walaupun kenyataannya menyatakan bahwa dengan premi tersebut tidaklah tepat. b. Teori Kepentingan Pada teori kepentingan ini memperhatikan beban pajak yang harus dipungut dari masyarakat. Pembebanan ini harus didasarkan pada kepentingan setiap orang pada tugas pemerintah termasuk perlindungan jiwa dan hartanya. Oleh karena itu, pengeluaran negara untuk melindunginya dibebankan kepada masyarakat. c. Teori Gaya Pikul Teori ini mengandung maksud bahwa dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada jasa-jasa yang diberikan oleh negara kepada masyarakat berupa perlindungan jiwa dan harta bendanya. Oleh karena itu, untuk 11 kepentingan perlindungan, maka masyarakat akan membayar pajak menurut gaya pikul seseorang. d. Teori Bakti Teori bakti ini disebut juga teori kewajiban pajak mutlak. Teori ini berdasarkan pada negara mempunyai hak mutlak untuk memungut pajak. Di lain pihak, masyarakat menyadari bahwa pembayaran pajak sebagai suatu kewajiban untuk membuktikan tanda baktinya terhadap negara. Dengan demikian dasar hukum pajak terletak pada hubungan masyarakat dengan negara. e. Teori Asas Daya Beli Dalam teori ini mendasarkan bahwa penyelenggaraan kepentingan masyarakat yang dianggap sebagai dasar keadilan pemungutan pajak yang bukan kepentingan individu atau negara, sehingga lebih menitikberatkan pada fungsi mengatur. 2. Asas Yuridis Untuk menyatakan suatu keadilan, hukum pajak harus memberikan jaminan hukum kepada negara atau warganya. Oleh karena itu, pemungutan pajak harus didasarkan pada undang-undang. Landasan hukum pemungutan pajak di Indonesia adalah Pasal 23A Amandemen Undang-Undang Dasar 1945. 3. Asas Ekonomis Seperti pada uraian sebelumnya, pajak mempunyai fungsi anggaran dan fungsi mengatur. Asas ekonomi ini lebih menekankan pada pemikiran bahwa negara menghendaki agar kehidupan ekonomi masyarakat agar terus meningkat. Untuk itu, pemungutan pajak harus diupayakan tidak menghambat kelancaran ekonomi sehingga kehidupan ekonomi tidak terganggu. 4. Asas Pemungutan Pajak Lainnya Terdapat tiga asas yang digunakan untuk memungut pajak dalam Pajak Penghasilan, adalah sebagai berikut: a. Asas Tempat Tinggal Negara-negara mempunyai hak untuk memungut atas seluruh penghasilan Wajib Pajak berdasarkan tempat tinggal Wajib Pajak. Wajib Pajak yang bertempat tinggal di Indonesia dikenai pajak atas penghasilan yang 12 diterima atau diperoleh, yang berasal dari Indonesia atau berasal dari luar negeri (Pasal 4 Undang-Undang Pajak Penghasilan). b. Asas Kebangsaan Pengenaan pajak dihubungkan dengan suatu negara. Asas ini diberlakukan kepada setiap orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia untuk membayar pajak. c. Asas Sumber Negara mempunyai hak untuk memungut pajak atas penghasilan yang bersumber pada suatu negara yang memungut pajak. Dengan demikian, Wajib Pajak menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia dikenakan pajak di Indonesia tanpa memperlihatkan tempat tinggal Wajib Pajak. 2.1.1.5. Pajak Penghasilan Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pajak Penghasilan (PPh) telah beberapa kali mengalami perubahan dan terakhir kali diubah dengan UndangUndang Nomor 36 Tahun 2008. Undang-Undang ini mengatur pengenaan PPh terhadap subjek pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak, orang pribadi dan badan, dalam tahun pajak atau dapat pula dikenai pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak apabila kewajiban pajak subjektifnya dimulai atau berakhir dalam tahun pajak. Tahun pajak dapat berupa tahun kalender, akan tetapi Wajib Pajak dapat menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender, sepanjang tahun buku tersebut meliputi jangka waktu 12 bulan. Seperti yang dapat dikutip dari UU Pajak Penghasilan pasal 4 ayat (1), pengertian dari penghasilan adalah: “...setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun...” 2.1.1.6. Subjek Pajak Subjek Pajak dapat dibedakan menjadi: 13 1. Orang Pribadi Orang pribadi sebagai subjek pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun di luar Indonesia. 2. Warisan Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan subjek pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak, yaitu ahli waris. Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi subjek pajak dalam negeri yang telah meninggal dunia dianggap sebagai subjek pajak dalam negeri, mengikuti status pewaris. Adapun untuk pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakannya, warisan tersebut menggantikan kewajiban ahli waris yang berhak. Apabila warisan tersebut telah dibagi, kewajiban perpajakannya beralih kepada ahli waris. Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi sebagai subjek pajak luar negeri yang telah meninggal dunia yang tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, tidak dianggap sebagai subjek pajak pengganti karena pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi tersebut melekat pada objeknya. 3. Badan Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulann, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya seperti lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. 4. Bentuk Usaha Tetap (BUT) Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya disamakan dengan subjek pajak badan. Bentuk usaha ini dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di 14 Indonesia, yang biasanya berupa cabang perusahaan, kantor perwakilan, pabrik, gudang, dan lain sebagainya. 2.1.2. Perpajakan Internasional 2.1.2.1. Pengertian Hukum Pajak Internasional Pengertian tentang hukum pajak internasional (Wirawan B. Ilyas, Richard Burton, 2010:189) dikutip dari dua orang ahli, yaitu Prof. Dr. P.J.A. Adriani dan Prof. Dr. Rochmat Soemitro. Prof. Adriani mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan hukum pajak internasional adalah suatu kesatuan hukum yang mengupas suatu persoalan yang diatur dalam UU Nasional mengenai pemajakan terhadap orangorang luar negeri, peraturan-peraturan nasional untuk menghindarkan pajak ganda dan traktat-traktat. Prof. Adriani menekankan bahwa hukum pajak internasional merupakan hukum pajak nasional yang di dalamnya mengatur pengenaan pajak terhadap orang asing. Sementara itu, Prof. Rochmat Soemitro memberikan pengertian bahwa hukum pajak internasional adalah hukum pajak nasional yang terdiri atas kaidah, baik berupa kaidah-kaidah nasional maupun kaidah yang berasal dari traktat-traktat antarnegara dan dari prinsip atau kebiasaan yang telah diterima, baik oleh negaranegara di dunia untuk mengatur soal-soal perpajakan dan dapat ditunjukkan adanya unsur asing, baik mengenai subjeknya maupun mengenai objeknya. Prof. Rochmat Soemitro mengemukakan bahwa hukum pajak internasional terdiri dari norma-norma nasional yang diterapkan pada hubungan intenasional. Pendapat kedua orang ahli tersebut tampaknya tidak berbeda jauh. Keduanya menekankan pada adanya unsur yang sama yaitu unsur hukum pajak nasional atau norma-norma nasional serta adanya unsur asing dalam hal subjek maupun objeknya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hukum pajak internasional pada hakikatnya adalah hukum pajak nasional yang diangkat menjadi hukum pajak internasional yang diikat dengan suatu kesepakatan atau perjanjian dengan negara lain. Hukum pajak internasional merupakan norma-norma yang mengatur perpajakan karena adanya unsur asing, baik subjek maupun objeknya. Maksud unsur asing pada objeknya adalah bahwa objek pajak tersebut berada di luar negeri, tetapi 15 dimiliki oleh Wajib Pajak (WP) yang berada atau bertempat tinggal di Indonesia. Atau sebaliknya, objek pajak berada di Indonesia, tetapi dimiliki oleh orang asing yang berada di luar negeri. Sementara itu, unsur asing pada subjeknya, misalnya, orang asing yang tunduk pada hukum pajak dari negara orang asing tersebut, tetapi mempunyai penghasilan di Indonesia. Atau sebaliknya, subjek pajak orang Indonesia yang berada atau bertempat tinggal di luar negeri dan mempunyai penghasilan di luar negeri. 2.1.2.2. Pajak Berganda Internasional Penerapan asas domisili dan sumber atas suatu penghasilan yang melibatkan dua atau lebih negara dapat menimbulkan PBI, namun umumnya PBI dapat terjadi karena pada dasarnya tidak ada hukum internasional yang secara khusus mengatur dan menyebabkan terjadinya benturan hukum antar negara yang bersangkutan. Seperti pengertian yang dikemukakan oleh Velkenbond, bahwa PBI terjadi apabila pengenaan pajak dari dua negara atau lebih saling menindih sedemikian rupa, sehingga orang-orang dapat memikul beban pajak yang lebih besar dari dua negara atau lebih dibandingkan jika mereka dikenakan pajak di satu negara saja (double tax). Beban tambahan yang terjadi tidak semata-mata disebabkan karena perbedaan tarif dari negara-negara yang bersangkutan, melainkan karena dua negara atau lebih tersebut secara bersamaan memungut pajak atas objek dan subjek yang sama. Penerapan asas domisili dan asas sumber ini juga dapat menimbulkan adanya pembebasan pajak (double exemption), dimana seseorang yang berasal dari negara yang mempergunakan asas sumber mempunyai penghasilan dari negara yang mempergunakan asas domisili, sehingga penghasilan tersebut tidak akan dikenakan pajak di kedua negara. Secara ekonomis, pajak sudah termasuk sebagai pengorbanan sumber daya yang harus ditanggung oleh para Wajib Pajak, munculnya PBI dapat memperberat beban usaha, investasi, dan kegiatan internasional lainnya sehingga dapat menghambat sumber daya yang dimaksud. Sebagaimana yang dapat terjadi dalam bidang investasi, perdagangan, produksi dan distribusi, sains dan teknologi, dimana terdapat jaringan kerja sama yang luas antarnegara baik regional maupun global. Perluasan usaha ke mancanegara sudah mengundang tambahan resiko dibanding dengan usaha dalam negeri, pemajakan ganda dapat memperbesar resiko tersebut. 16 Jika tidak ada upaya untuk mencegah atau meringankan beban pajak tersebut, PBI dapat ikut memicu ekonomi global dengan biaya tinggi. 2.1.2.3. Jenis-Jenis Penghindaran Pajak Berganda 1. Controlled Foreign Corporations (CFC) CFC merupakan perusahaan terkendali yang dimiliki oleh Wajib Pajak dalam negeri yang dibentuk dengan tujuan untuk menunda pengakuan penghasilan dalam rangka menghindari pajak (tax avoidance). Aturan dalam CFC pada dasarnya untuk mencegah Wajib Pajak di suatu negara melakukan penangguhan pajak (tax deferral) atas penghasilannya, dengan melakukan transaksi atau investasi di tax haven country yang terkenal dengan tarif pajak rendah atau bahkan tidak dikenakan pajak. Penghasilan dari luar negeri akan dikenakan pajak jika telah diakui sebagai pendapatan di negara domisili, oleh karena itu para Wajib Pajak akan mengalihkan pendapatan ke CFC yang berada di tax haven country dan menunda pengumuman pembagian dividen. Dengan cara inilah Wajib Pajak dapat menghindari pengenaan pajak atas dividen yang berasal dari luar negeri di negara domisili. 2. Tax Haven Country Negara-negara yang masuk ke dalam kelompok tax haven mempunyai perlakuan pajak khusus bagi warga negara dan perusahaan asing, dimana tarif pajak jauh lebih rendah atau nihil dibandingkan negara lainnya. Namun negara-negara tersebut memiliki struktur pajak ring-fenced, yaitu warga negara dan perusahaan yang berkedudukan di negara tersebut dikecualikan dari perlakuan pajak khusus ini. Tax Haven Country menyediakan jasa kerahasiaan keuangan dan hukum dengan tidak memperbolehkan adanya pertukaran informasi yang berkaitan dengan warga negara dan perusahaan asing yang menggunakan hak pajak khusus, sehingga berdampak dengan meningkatnya penghindaran pajak dan penggelapan pajak. 3. Treaty Shopping Para Wajib Pajak yang bukan penduduk dari negara yang bersangkutan akan mencari cara tertentu untuk menikmati Tax Treaty yang 17 ada. Salah satunya dengan membentuk conduit company di salah satu negara tempat berinvestasi, yang tidak mempunyai kekuatan pajak yang kuat dan berpengaruh, sebagai sarana menampung penghasilan dari negara lain, jadi perusahaan tersebut tidak melakukan kegiatan bisnis apapun selain untuk menerima fasilitas Tax Treaty yang ada. Hal ini tentu saja dianggap ilegal karena yang seharusnya menikmati fasilitas yang terdapat di dalam perjanjian hanyalah negara yang bersangkutan, kegiatan ini dianggap tidak memiliki tujuan yang baik dan tentu saja sangat merugikan entitas perpajakan negara yang bersangkutan. 2.1.2.4. Penghindaran Pajak Berganda Secara Unilateral Penghindaran pajak berganda secara unilateral adalah metode yang dilakukan oleh suatu negara melalui undang-undang perpajakan dalam negeri sendiri, national tax law atau domestic tax law. Metode penghindaran pajak berganda secara unilateral terdiri dari: 1. Exemption Method Metode ini berupaya untuk secara total menghilangkan pajak berganda dengan menghendaki suatu negara pemegang yuridiksi pemajakan untuk rela melepaskan hak pemajakannya dan mengakui pemajakan eksklusif di negara lain. Exemption method dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu: a. Object Exemption • Exemption Without Progression Metode ini dikenal juga dengan sebutan full exemption, karena dalam metode ini seluruh penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak yang berasal dari luar negeri diabaikan, sehingga penghitungan kena pajak hanya didasarkan kepada penghasilan yang diperoleh dalam negeri saja. Karena penghasilan luar negeri dikeluarkan dari basis penghitungan pajak, maka secara wajar kerugian juga akan dikeluarkan sebagai pengurang dalam basis penghitungan pajak. • Exemption With Progression Dalam metode ini penghasilan luar negeri yang diperoleh oleh Wajib Pajak diperhitungkan untuk mendapatkan tarif yang progresif, namun 18 ketika menghitung pajak yang terutang, penghasilan tersebut tidak dapat digabungkan. b. Tax Exemption • At the Top Perhitungan besarnya pajak terutang dalam metode ini menggabungkan penghasilan dari luar negeri berdasarkan asas totalitas atau world wide income, sedangkan pajak terutang di luar negeri dapat dijadikan kredit pajak yang disesuaikan dengan lapisan tarif tertinggi yang berlaku apabila suatu negara menganut progresifitas tarif dalam menghitung besarnya pajak yang terutang. • At the Bottom Jika pada metode at the top menggunakan lapisan tertinggi tarif yang berlaku, maka metode ini merupakan kebalikannya yaitu menggunakan lapisan terendah tarif yang diberlakukan dalam menghitung besarnya pajak yang terutang. • Proporsional Sama halnya dengan metode lainnya, metode proporsional ini juga menggunakan asas world wide income, namun kredit pajak luar negeri dihitung berdasarkan suatu rumusan yaitu penghasilan luar negeri dibagi dengan penghasilan gabungan (keseluruhan atau total dari penghasilan luar dan dalam negeri) kemudian dikalikan dengan besarnya pajak terutang sebenarnya sesuai dengan tarif yang berlaku. 2. Credit Method Berbeda halnya dengan metode pembebasan (exemption method), metode kredit ini memberikan keringanan pajak dengan cara mengkreditkan atau mengurangkan pajak luar negeri terhadap pajak penghasilan global yang merupakan porsi penghasilan luar negeri. 2.1.2.5. Penghindaran Pajak Berganda Secara Bilateral dan Multilateral Penghindaran pajak berganda secara bilateral disepakati bersama antar dua negara melalui suatu perjanjian khusus yang biasa disebut Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B), sedangkan multilateral melalui perjanjian oleh lebih dari dua negara. Pencegahan pajak berganda secara multilateral pernah dilaksanakan di beberapa negara Eropa, akan tetapi hasilnya kurang memuaskan karena berbagai 19 kepentingan dari negara-negara yang melakukan perjanjian. Dengan diadakannya perjanjian penghindaran pajak ganda secara bilateral maupun multilateral, bagi negara-negara tersebut, berarti: 1. Melepaskan sebagian haknya untuk memungut pajak (memberlakukan tax exemption), seperti pemajakan dari penghasilan yang diterima seorang artis, hak pemajakan berada pada negara tempat kegiatan dilakukan; 2. Hak pemajakan atas suatu objek dibagi diantara negara yang mengadakan perjanjian (memberlakukan reduced tax), seperti di Indonesia, pengenaan tarif yang lebih rendah atas bunga tabungan yang diperoleh Wajib Pajak luar negeri dari 20% menjadi 10%; 3. Setiap negara yang mengadakan perjanjian terikat dengan rumusan-rumusan yang telah disepakati bersama, dapat meniadakan ketentuan tertentu yang diatur dalam perundang-undangan pajak nasional. Sebagai contoh, dampak perjanjian semacam itu bagi Indonesia dalam menentukan batas waktu (time test) kegiatan pemberi jasa yang dikenakan pajak penghasilan di Indonesia. 2.1.2.6. Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) Dalam sektor perpajakan untuk menghindari beban ekonomis dari pajak berganda internasional, terdapat jaringan kerja sama antarnegara yang dilakukan dengan menutup Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau Tax Treaty. P3B adalah perjanjian penghindaran pajak berganda antara dua negara bilateral yang mengatur mengenai pembagian hak pemajakan atas penghasilan yang diperoleh atau diterima penduduk dari salah satu atau kedua negara pihak pada perjanjian. Beberapa pasal dalam P3B memerlukan aturan pelaksanaan yang lebih jelas mengenai ketentuan-ketentuan tersebut (made of application), misalnya tentang pasal dividen dan bunga. Sedangkan jika terdapat perbedaan penafsiran atau penerapan yang bertentangan dengan P3B antara kedua negara, maka diperlukan adanya Mutual Agreement Procedure. Karena Indonesia tidak lagi mengenakan pajak kekayaan (wealth tax), semua P3B dimaksud berkaitan dengan pajak penghasilan saja. Sebagai salah satu instrumen yang tunduk pada hukum internasional, P3B yang telah efektif berlaku dapat memodifikasi suatu ketentuan domesti (UU PPh) yang berlaku atas suatu subjek atau objek. 20 Tujuan diberlakukannya P3B antara lain: 1. Adanya saling ketergantungan antar negara sehingga tidak terjadi pemajakan berganda yang memberatkan iklim dunia usaha; 2. Peningkatan kerjasama antar negara serta investasi modal dari luar negeri ke dalam negeri; 3. Peningkatan sumber daya manusia; 4. Memperluas pemasaran produk; 5. Pertukaran informasi guna mencegah pengelakan pajak; 6. Kedudukan yang setara dalam hal pemajakan antar kedua negara. Terdapat dua model P3B yang dibuat sebagai acuan dalam mengadakan perjanjian tersebut untuk mempermudah negara-negara dalam membuat P3B, yaitu OECD Model (model yang disusun oleh negara-negara anggota OECD – Organization for Economic Coorporation and Development) dan UN (United Stations atau Perserikatan Bangsa-Bangsa) Model. Kedua model ini digunakan sesuai dengan kebutuhan atau kesepakatan dari negara-negara yang akan melakukan perjanjian dengan berbagai variasinya. OECD Model pertama kali diselesaikan oleh Fiscal Committee OECD pada tahun 1963 yang terdiri dari 30 pasal berikut penjelasan-penjelasannya, yang kemudian disempurnakan pada tahun 1968 dan berakhir pada tahun 1977. OECD Model umumnya digunakan oleh negara-negara yang tergabung sebagai anggota OECD, biasanya adalah negara-negara maju sehingga ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam OECD model lebih mencerminkan negara maju, hak pemajakannya pun lebih luas kepada negara domisili. Lain halnya dengan UN Model yang digunakan oleh negara-negara berkembang sebagai acuan dalam perundingan karena negara-negara tersebut adalah negara-negara pengimpor modal maupun jasa. sedangkan UN Model memberikan hak pemajakan lebih luas kepada negara sumber atas penghasilan yang timbul dari wilayahnya. Dalam prakteknya masing-masing negara yang membuat P3B akan melakukan perubahan model P3B sesuai dengan kepentingan negaranya. Seperti Amerika Serikat yang memiliki model P3B sendiri yang sesuai dengan kepentingan negaranya yang disebut US Model. Begitupula dengan Indonesia yang memiliki model P3B yang sudah diubah sesuai dengan kepentingan Indonesia sejalan dengan 21 undang-undang perpajakan di Indonesia yang disebut dengan istilah Model P3B Indonesia. 2.1.2.7. Penghasilan dari Modal Penghasilan dari modal atau yang biasa disebut passive income terdiri dari penghasilan yang berupa dividen, bunga, royalti, dan keuntungan dari penjualan aktiva/harta (capital gain). Perlakuan perpajakan penghasilan yang berasal dari modal tentu saja berbeda dengan penghasilan yang dikenakan pajak di negara sumber apabila terdapat badan usaha tetap dan hak pemajakan yang diterapkan pun lebih rendah daripada tarif menurut Undang-Undang domestik yang berlaku di negara sumber. 2.1.2.7.1. Dividen Dividen merupakan penghasilan yang dihasilkan dari saham-saham atau hak-hak lainnya yang bukan merupakan surat-surat piutang yang berhak atas pembagian laba serta dari saham-saham menurut undang-undang perpajakan negara dimana perusahaan yang membagikan dividen berkedudukan. Pemberi dividen akan memotong jenis PPh dan tarif yang berbeda-beda tergantung siapa penerimanya. Namun dalam prakteknya sering dijumpai pembagian atau pembayaran dividen secara terselubung, misalnya dalam hal pemegang saham yang telah menyetor penuh modalnya dan memberikan pinjaman kepada perusahaan dengan imbalan bunga yang melebihi kewajaran. Akibatnya selisih lebih antara bunga yang dibayarkan dan tingkat bunga yang berlaku di pasar, diperlakukan sebagai dividen dan boleh dibebankan sebagai biaya oleh perusahaan yang bersangkutan. 2.1.2.7.2. Bunga Pada prinsipnya pemajakan atas bunga ada pada negara domisili, tetapi pemajakan ini tidak bersifat eksklusif karena negara sumber juga diberikan hak untuk mengenakan pajak dengan batasan tarif. Pengertian bunga di dalam tax treaty adalah penghasilan yang muncul dari berbagai macam tagihan utang, baik yang dijamin dengan hipotik maupun tidak, dan baik yang berhak atas laba debitur atau tidak, serta penghasilan dari suratsurat pembendaharaan negara dan penghasilan dari obligasi atau surat-surat 22 hutang, termasuk premi dan hadiah yang terikat. Namun definisi bunga ini juga kembali lagi tergantung bagaimana masing-masing negara menerjemahkannya, misalnya jika sebuah negara tidak terikat Tax Treaty dengan Indonesia maka definisi bunga pun ikut tunduk pada undang-undang domestik negara tersebut. 2.1.2.7.3. Royalti Royalti merupakan penghasilan yang muncul karena penggunaan hak atas kekayaan intelektual. Royalti biasanya berkaitan dengan pemakaian merk, logo, nama, dan hak paten. Contohnya seperti pengarang lagu yang menerima imbalan atas pemakaian lagunya, pengarang novel menerima imbalan atas penjualan novel karangannya, atau pemilik merk akan menerima royalti atas pemakaian merknya oleh orang lain. Menurut Tax Treaty, royalti memiliki makna yang lebih luas lagi yakni setiap jenis pembayaran yang diterima sebagai imbalan atas penggunaan setiap hak cipta kesusasteraan, kesenian, atau kerja ilmiah, termasuk film, sinematografi, paten merk, dagang, pola atau model, perencanaan, rumus rahasia atau cara pengolahan, atau untuk penggunaan hak untuk menggunakan alat-alat perlengkapan industri, perdagangan, atau ilmu pengetahuan, atau untuk informasi di bidang industri, perdagangan atau pengalaman ilmu pengetahuan. 2.1.2.7.4. Capital Gain Capital Gain atau pengalihan harta, juga dikenal dengan capital growth merupakan keuntungan yang dapat terjadi atas pengalihan harta bergerak maupun harta tak bergerak. Misalnya seperti keuntungan yang diperoleh dari penjualan aset berupa surat berharga atau efek, seperti saham, obligasi, atau dalam bidang properti, harga penjualan melibihi harga pembelian oleh pemilik sebelumnya. Perlakuan capital gain dalam undangundang domestik pun tidak jauh berbeda terhadap apa yang ada di dalam P3B. Keuntungan karena penjualan aktiva atau karena pengalihan harta meliputi: 1. Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal; 23 2. Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota; 3. Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dalam nama dan bentuk apapun; 4. Keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan atau permodalan dalam usaha pertambangan; 5. Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan. 2.2. Penelitian Terdahulu Penelitian yang dibuat oleh Ervina (2014) dengan judul “Analisa Pengaruh Penerapan Tax Treaty Indonesia – Hongkong Terhadap Investasi Modal di Indonesia” memfokuskan penelitian terhadap bagaimana hubungan Indonesia dengan Hongkong atas penerapan tax treaty Indonesia – Hongkong dalam kegiatan investasi modal serta pengaruhnya terhadap arus investasi modal di Indonesia. Penelitian mengungkapkan bahwa tax treaty Indonesia – Hongkong memiliki kekurangan yang perlu dirundingkan kembali, terutama mengenai tarif. Selain untuk kepentingan pencegahan pajak berganda, tax treaty juga merupakan salah satu pintu masuk pendapatan negara dari pajak. Tarif yang terlalu rendah merupakan suatu kerugian karena menghilangkan hak pemajakan bagi Indonesia. Selain itu, treaty benefit yang lebih pada tax treaty ini dapat menjadi sarana pelanggaran bagi wajib pajak untuk melakukan treaty shopping. Sedangkan penelitian R. Hidayat (2012) dengan judul “Tax Treaty dan Foreign Direct Investment di Indonesia”, yang mempunyai tujuan untuk menganalisis dan memeriksa hubungan antara perjanjian pajak dan investasi asing di 24 Indonesia. Sepanjang 2012, Indonesia telah melakukan perjanjian pajak bilateral dengan 60 negara mitra. Pendekatan dengan efek tetap digunakan untuk menguji hubungan ini dengan menggunakan data panel. Selain itu, beberapa variabel juga dimasukkan untuk menangkap dampak dari tax treaty. Dan hasilnya menunjukkan bahwa ada hubungan negatif dan positif antara perjanjian pajak dan FDI. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa dalam jangka pendek, terdapat hubungan yang negatif dan signifikan, sedangkan dalam jangka menengah dan jangka panjang, terdapat hubungan yang positif dan signifikan. Pusat Kebijakan Regional dan Bilateral, Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (2012) juga melakukan penelitian mengenai tax treaty dengan judul “Tax Treaty dan Pengaruhnya Terhadap Arus Investasi antara Indonesia dengan Negara-negara Mitra”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peta tax treaty yang telah dilakukan Indonesia dengan negara mitra dan mengindentifikasi pengaruh tax treaty terhadap arus perdagangan dan investasinya. Berdasarkan hasil simulasi dengan GTAP menunjukkan bahwa adanya tax treaty antara Indonesia dengan Korea Selatan memberikan pengaruh yang positif terhadap peningkatan arus perdagangan kedua negara. Kemudian Klaus Vogel dalam penelitiannya yang berjudul “Double Tax Treaties and Their Interpretation” mengungkapkan bahwa internasional pajak ganda terjadi ketika dua atau lebih negara memaksakan pajak pada wajib pajak yang sama untuk subjek yang sama. Kebanyakan pada umumnya, pajak ganda muncul bukan karena hanya aset dan transaksi domestik tapi juga aset dan transaksi di wilayah lain yang menguntungkan kependudukan wajib pajak, yang menghasilkan hak pajak yang berlebihan. Penelitian ini mengeksplorasi masalah dan isu yang signifikan yang muncul ketika menafsirkan perjanjian pajak berganda. Perjanjian pajak memiliki konsekuensi yang signifikan bagi pengenaan pajak transaksi yang melintasi perbatasan internasional. Hanya interpretasi yang seragam antara negara-negara yang efisien dan merata, yang bertujuan untuk menghilangkan pajak ganda dan mendistribusikan pendapatan pajak antara tertular negara. Penelitian ini telah menyajikan beberapa masalah yang melekat dalam penafsiran dari perjanjian pajak oleh negara-negara yang berbeda, seperti interpretasi yang tidak konsisten dari hal yang sama atau perbedaan perlakuan domestik kemitraan dan entitas yang sama. Ini telah menyarankan sebuah pendekatan untuk interpretasi umum, berdasarkan 25 pada paradigma aturan distributif, dan telah menekankan peran penting yang dimainkan oleh OECD Model Treaty sebagai dasar untuk memahami semua perjanjian pajak lainnya. Bruce A. Blonigen, Lindsay Oldenski, dan Nicholas Sly juga melakukan penelitian tentang tax treaty dengan judul “The Differential Effects of Bilateral Tax Treaties”. Penelitian ini membahas bahwa perjanjian pajak bilateral dimaksudkan untuk mempromosikan investasi asing melalui bantuan perpajakan berganda. Menggunakan data dengan level perusahaan, mereka menemukan efek positif dari perjanjian pajak bilateral pada FDI, yang lebih besar bagi perusahaan-perusahaan yang menggunakan input yang berbeda. Perjanjian pajak bilateral memungkinkan perusahaan multinasional untuk meminta bantuan dari pemerintah negara mitra dalam perjanjian jika mereka memiliki keluhan tentang bagaimana kewajiban pajak ditentukan. Ketentuan ini menguntungkan perusahaan-perusahaan dengan harga tinggi yang sulit untuk diamati, karena alokasi pendapatan di negara-negara yang lebih kompleks. Mereka menemukan efek perjanjian pajak bilateral pada penjualan dari afiliatis yang ada dan afiliatis yang baru masuk. 26