STUDI EVALUASI PROGRAM PENDIDIKAN INKLUSIF BAGI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SEKOLAH DASAR KABUPATEN PONTIANAK Gusti Nono Haryono Dosen Pembimbing (I) Uray Husna Asmara, Pembimbing (II) Bahari Sindju Program Studi Magister Administrasi Pendidikan FKIP Untan Pontianak Email : [email protected] Abstrak : Judul Penelitian ini adalah “Studi Evaluasi Program Pendidikan Inklusif bagi ABK di Sekolah Dasar Kabupaten Pontianak”. Penelitian ini bertujuan mendapatkan informasi yang komprehenship mengenai efektifitas program pendidikan inklusif. Metode yang digunakan adalah analisis kualitatif yaitu mendeskripsikan dan memaknai data dari masing-masing komponen yang dievaluasi. Sumber data dalam penelitian ini meliputi kepala sekolah, guru pembimbing, guru kelas, siswa normal, orang tua siswa serta pejabat Dinas Pendidikan terkait. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, observasi, dokumentasi dan angket. Hasil temuan komponen konteks menunjukkan konteks landasan hukum penyelenggaraan pendidikan inklusif secara jelas dan tegas belum tertuang dan ditemukan dalam UU Sistem Pendidikan Negara kita. Hasil temuan komponen input menunjukkan input ABK yang bersekolah jumlahnya cukup besar dibanding populasi seluruh siswa yang ada. Hasil temuan komponen proses menunjukkan kegiatan perencanaan, proses dan evaluasi pembelajaran untuk setiap aspek dinilai masuk dalam katagori baik dan cukup baik. Hasil temuan komponen produk menunjukkan produk perkembangan aspek akademik ABK berdasarkan nilai UAS dan UN dinilai cukup menggembirakan. Kata kunci : Evaluasi, Program, Pendidikan Inklusif Abstract : The title of this research is “The Evaluation of Inclusive Education for Children with Special Needs in Elementary School of Pontianak Regency”. This study aims to gather comprehensive information on the effectiveness inclusive education program. The research method used qualitative analysis by describing and explaining data from each evaluated component. The data of research includes principles of schools, supervisor teachers, classroom teachers, normal students, parents, and some officers of education department. The data was collected by interview, observation, documentation and questionnaire. The research findings on contextual component show that the legal process of inclusive education has not been shown clearly according to regulation of Education System in Indonesia. Based on the result of input component, it show that input students with special needs are outnumber over all population of students. According to the result of process component, it shows that the teaching plan, process and evaluation of teaching and learning in every aspect is good and also good. The research findings on product component demonstrate that academic aspect of students with special needs based on the result of School Examination and National Examination is good. Keywords: Evaluation, Program, Inclusive Education 1 2 Pendidikan Inklusif merupakan suatu sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. (Permendiknas No.70 tahun 2009). Adapun Kebijakan dan peraturan perundang-undangan secara nasional yang mendukung penyelenggaraan pendidikan inklusif saat ini merujuk pada Undang-Undang Dasar 1945 alenia ke 4 pasal 31 ayat (1), Undang-Undang nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat dalam pasal 6 ayat (1), Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam pasal 9 ayat (2), pasa 51 dan pasa 52, serta Permendiknas nomor 70 tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan kecerdasan bakat/istimewa dalam pasal 3 ayat (1), pasal 5 ayat (2), pasal 6 ayat (1) dan (2) serta ayat (3). Berdasarkan data dari Dinas Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat Provinsi Kalbar tahun 2010 diketahui bahwa jumlah orang cacat di Kabupaten Pontianak sebanyak 526 orang. Dari jumlah tersebut diketahui anak cacat usia sekolah berjumlah 434 orang. Sedangkan menurut data Dinas Pendidikan Provinsi Kalbar tahun 2011/2012 jumlah ABK yang bersekolah di Kabupaten Pontianak seluruhnya hanya berjumlah 123 siswa. Dari data tersebut menunjukkan bahwa jumlah ABK yang dapat terlayani pendidikannya baru terserap sekitar 23,34 %. Sudah tentu angka ini sangat kecil dibandingkan dengan jumlah seluruh ABK yang ada di Kabupaten Pontianak. Kenyataan ini menunjukkan bahwa masih banyak ABK yang belum memperoleh haknya mendapatkan layanan pendidikan baik di lembaga pendidikan khusus secara segregatif maupun di lembaga sekolah reguler secara inklusif. Kondisi ini disebabkan antara lain keadaan ekonomi orang tua yang kurang menunjang, jarak antara rumah dan sekolah cukup jauh, dan masih dijumpai sekolah reguler yang masih enggan menerima anak dengan kebutuhan khusus untuk belajar bersama dengan dengan teman sebanyanya dengan alasan sekolah tidak memiliki tenaga guru pembimbing khusus. Kenyataan lain yang ditemui adalah bahwa tidak semua orang tua yang memiliki anak normal mau menerima ABK belajar bersama dengan anak mereka dengan alasan takut tertular dan dapat mengganggu anak mereka, demikian juga orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus belum sepenuhnya bersedia menyekolahkan anak mereka di sekolah inklusif dengan alasan tidak mau anak mereka menjadi bahan ejekan, tertawaan dan dimanfaatkan oleh anak sebayanya yang normal. Oleh karena itu keberadaan program pendidikan inklusif yang diselenggarakan saat ini sangat perlu untuk dievaluasi keberadaannya, sebab sepengetahuan peneliti selama diselenggarakannya program inklusif di Kabupaten ini belum pernah ada penelitian yang mengevaluasi program tersebut, dan peneliti juga merasa perlu untuk memberikan suatu solusi bagi perbaikan program yang diselenggarakan. Penelitian ini difokuskan hanya pada evaluasi program pendidikan inklusif dengan menggunakan evaluasi model CIPP yang dikembangkan oleh Stufflebeam yang terdiri dari empat komponen evaluasi yaitu Contexs, Input, Prosess, dan Product yang saling berkaitan, dengan pertanyaan penelitian sebagai berikut yaitu: 1) Bagaimanakah komponen konteks penyelenggaraan pendidikan inklusif 3 yang meliputi aspek kebijakan pelaksanaan program, tujuan program dan konteks hubungannya dengan sosial budaya masyarakat, 2) Bagaimanakah komponen input penyelenggaraan pendidikan inklusif yang meliputi aspek peserta didik (siswa), tenaga pendidik (guru), kurikulum, sarana prasarana, serta pembiayaan penyelenggaraan program di sekolah inklusif, 3) Bagaimanakah komponen proses penyelenggaraan pendidikan inklusif yang meliputi aspek kegiatan perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran serta kesulitan yang dihadapi guru dalam mengajar ABK di sekolah inklusif, 4) Bagaimanakah komponen produk penyelenggaraan pendidikan inklusif yang meliputi aspek hasil perkembangan akademik anak berkebutuhan khusus dan aspek perkembangan keterampilan sosial siswa di sekolah inklusif. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi yang komprehensip terhadap efektifitas pelaksanaan dan keberhasilan program pendidikan inklusif di sekolah penyelenggara dengan mendeskripsikan dan menilai setiap komponen konteks, input, proses dan produk untuk dibandingkan dengan kriteria penyelenggaraan pendidikan inklusif yang telah ditetapkan serta untuk memberikan rekomendasi kepada pemberi keputusan untuk perbaikan program yang diselenggarakan. Kegunaan dalam penelitian ini dibedakan menjadi kegunaan secara teoritis dan kegunaan secara praktis. Kegunaan secara teoritis adalah sebagai refrensi ilmiah yang diharapkan dapat memperkaya khasanah kepustakaan berkaitan dengan pelaksanaan pogram pendidikan inklusif. Sedangkan kegunaan secara praktis diharapkan dapat memberikan informasi yang akurat sebagai bahan masukan kepada pihak-pihak yang terkait sebagai upaya peningkatan penyelenggaraan program pendidikan inklusif. Istilah Inklusi berasal dari bahasa inggris “inclusion” yang dapat berarti sebagai penerimaan anak-anak yang memiliki hambatan ke dalam kurikulum, lingkungan, interaksi sosial dan konsep diri atau visi misi sekolah (Smith, 2009:45). Inklusif juga dapat diartikan sebagai cara berfikir dan bertindak yang memungkinkan setiap individu merasakan diterima dan dihargai. Lebih jauh lagi inklusif berarti bahwa semua anak dapat diterima meskipun konsep “semua anak” harus cukup jelas, dan masih sulit bagi banyak orang untuk memahaminya (Sapon-Shepin, 2007:10). Adapun pengertian pendidikan inklusif sendiri adalah suatu cara untuk menghilangkan model segregasi atau pemisahan anak-anak berkelainan yang belajar dengan cara yang berbeda (Khalsa, 2004:2). Pendapat lainnya mendefinisikan pendidikan inklusif adalah sebagai sistem layanan pendidikan yang mempersyaratkan agar semua anak berkelainan dilayani di sekolah-sekolah terdekat di kelas reguler bersama-sama teman seusianya (SaponShepin dikutip Geniofam, 2010:61). Sedangkan menurut Depdiknas menegaskan bahwa pendidikan inklusif didefinisikan sebagai Sistem layanan pendidikan yang mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak sebayanya di sekolah reguler yang terdekat dengan tempat tinggalnya (Depdiknas, 2007:4). Dengan demikian penyelenggaraan pendidikan inklusif menuntut pihak sekolah untuk melakukan penyesuaian baik dari segi kurikulum, sarana prasarana pendidikan, maupun sistem pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik peserta didik (siswa). 4 Tujuan penyelenggaraan pendidikan inklusif adalah untuk memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai kebutuhan dan kemampuannya, selain itu untuk mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik. (Permendiknas No.70 tahun 2009 pasal 2 ayat 1 dan 2). Adapun tujuan lain diselenggarakannya pendidikan inklusif ini adalah untuk memberikan kesempatan yang setara berupa layanan pendidikan yang efektif kepada semua siswa termasuk mereka yang memiliki kelainan dengan alat bantu tambahan yang diperlukan sesuai usia dan kelas dilingkungan mereka dengan tujuan untuk mempersiapkan siswa untuk hidup secara produktif sebagai anggota masyarakat (Lipsky & Gartner dikutip Depdiknas, 2009:2). Sedangkan yang menjadi landasan acuan penyelenggaraan pendidikan inklusif adalah landasan filosofis, landasan yuridis, landasan pedagogis dan landasan empiris (Depdiknas, 2009:5-10). Dalam setting penyelenggaraan program pendidikan inklusif di sekolah reguler terdapat sejumlah anak berkebutuhan khusus yang merupakan sebagian kecil dari jumlah peserta didik (siswa) yang bersekolah. Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang dalam pendidikan memerlukan pelayanan yang spesifik, berbeda dengan anak pada umumnya (Depdiknas, 2007:3). Anak berkebutuhan khusus juga didefinisikan sebagai anak yang mempunyai karakteristik yang berbeda antara satu dan lainnya.(Delphie, 2010:1), Sedangkan pendapat lain menyebutkan anak berkebutuhan khusus adalah anak yang dianggap memiliki kelainan penyimpangan dari kondisi rata-rata anak normal umumnya, baik hal fisik, mental maupun karakteristik perilaku sosialnya (Efendi, 2006:2). Katagori anak berkebutuhan khusus dalam aspek fisik meliputi anak dengan kelainan indera mata (tunanetra), kelainan kemampuan bicara (tunarungu), dan kelainan fungsi anggota tubuh (tunadaksa). Adapun Katagori ABK dalam aspek mental meliputi anak yang memiliki kemampuan mental lebih atau unggul (Cerdas Istimewa/Bakat Istimewa), dan memiliki kemampuan mental sangat rendah (tunagrahita). Sedangkan katagori ABK dalam aspek sosial adalah anak yang memiliki kesulitan dalam menyesuaikan perilakunya terhadap lingkungan sekitar yang disebut juga anak tunalaras (Efendi, 2006:3). Evaluasi merupakan suatu proses menyediakan informasi yang dapat dijadikan sebagai pertimbangan untuk menentukan harga dan jasa dari tujuan yang dicapai, desain, implementasi dan dampak untuk membantu membuat suatu keputusan, membantu pertanggungjawaban dan meningkatkan pemahaman tentang phenomena yang terlibat (Stufflebeam dan Shinkfield, 1985:159). Evaluasi juga merupakan proses yang berkaitan dengan penyiapan berbagai wilayah keputusan melalui pemilihan informasi yang tepat, pengumpulan dan analisis data, serta pelaporan yang berguna bagi para pengambil keputusan (Alkin dikutip Sudjana, 2008:20). Pendapat lainnya tentang definisi evaluasi adalah usaha untuk menentukan manfaat atau kegunaan sosial dari kebijakan atau program, dan bukan sekedar mengumpulkan informasi tentang keluaran tindakan kebijaksanaan baik yang diperkirakan sebelumnya maupun yang tidak diperkirakan (Dunn, 2003:608). Evaluasi juga didefinisikan sebagai identifikasi, 5 klarifikasi dan penerapan kriteria untuk menentukan nilai suatu obyek yang dievaluasi baik berupa nilai maupun jasa dalam kaitannya dengan kriteria tersebut (Fitzpatrick, Sander dan Worthen, 2004:5). Sedangkan menurut Owen evaluasi merupakan suatu penilaian layak dari sebuah program dan hasil pengetahuan berdasarkan penelitian secara sistematis untuk membantu pengambilan keputusan tentang suatu program (Owen, 2006:18). Tujuan evaluasi adalah untuk mengumpulkan informasi dan menentukan nilai dan manfaat obyek evaluasi, mengontrol, memperbaiki dan mengambil keputusan mengenai obyek (Wirawan, 2011:9). Evaluasi juga bertujuan untuk memperoleh informasi yang akurat dan obyektif tentang suatu program (Widoyoko, 2011:75). Selain tujuan tersebut evaluasi juga memiliki tujuan lainnya yaitu untuk menunjukkan pada penggunaan metode penelitian, menekankan pada hasil suatu program, penggunaan kriteria untuk menilai dan memberikan kontribusi terhadap pengambilan keputusan dan perbaikan program di masa mendatang (Weiss dikutip Widoyoko (2011:5). Program adalah kegiatan atau aktivitas yang dirancang untuk melaksanakan kebijakan yang dilaksanakan untuk waktu yang tidak terbatas (Wirawan, 2011:17). Program juga didefinisikan sebagai suatu unit atau kesatuan kegiatan yang merupakan realisasi atau implementasi dari suatu kebijakan, berlangsung dalam proses yang berkesinambungan dan terjadi dalam suatu organisasi yang melibatkan sekelompok orang (Suharsimi, 2009:4). Adapun evaluasi program merupakan evaluasi yang menilai suatu aktivitas di bidang pendidikan dengan menyediakan data yang berkelanjutan ( Joint Committee on Standars for Educational Evaluation dikutip Widoyoko, 2011:9). Evaluasi program juga didefinisikan sebagai upaya menyediakan informasi untuk disampaikan kepada pengambil keputusan ( Cornbach dikutip Suharsimi, 2009:5). Sedangkan pendapat selanjutnya mendefinisikan evaluasi program adalah metode sistematis untuk mengumpulkan, menganalisis dan memakai informasi untuk menjawab pertanyaan dasar mengenai program (Wirawan, 2011:17). Sependapat dengan Wirawan, evaluasi program dapat pula didefinisikan sebagai kegiatan sistematis untuk mengumpulkan, mengolah, menganalisis dan menyajikan data sebagai masukan untuk pengambilan keputusan (Sudjana, 2008:21). Adapun pendapat lainnya menegaskan bahwa evaluasi program merupakan kegiatan pengumpulan data atau informasi secara sistematis tentang bagaimana program tersebut berjalan, tentang dampak yang mungkin terjadi atau menjawab pertanyaanpertanyaan yang diminati (Farida Yusuf, 2008:9). Dalam mengevaluasi penyelenggaraan program inkusif digunakan prosedur evaluasi dengan model CIPP, yaitu evaluasi terhadap konteks, input, proses dan produk. Evaluasi konteks merupakan penggambaran dan spesifikasi tentang lingkungan program, kebutuhan yang belum dipenuhi, karakteristik populasi dan sampel dari individu yang dilayani dan tujuan program (Sax dikutip Widoyoko, 2011:181). Orientasi utama evaluasi konteks adalah untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan yang dimiliki obyek yang dievaluasi (Stufflebeam & Shinkfield, 1986:169). Evaluasi input dimaksudkan untuk membantu mengatur keputusan, menentukan sumber-sumber yang ada, alternatif apa yang diambil, apa rencana dan strategi mencapai tujuan serta bagaimana prosedur kerja untuk mencapainya 6 (Widoyoko, 2011:182). Pada dasarnya evaluasi input harus mengindentifikasi dan menilai pendekatan yang relevan untuk membantu para pengambil keputusan mempersiapkan pendekatan yang dipilih dalam memberikan suatu keputusan (Stufflebeam, 2002:291). Evaluasi Proses merupakan pengecekan yang berkelanjutan pada implementasi perencanaan dan proses dokumentasi (Stufflebeam, 2007:341). Evaluasi proses menekankan pada tiga tujuan, pertama yaitu untuk mendeteksi atau memprediksi rancangan prosedur atau rancangan implementasi selama tahap implementasi, kedua untuk menyediakan informasi untuk keputusan program dan ketiga sebagai rekaman atau arsip prosedur yang telah terjadi (Worthen dan Sander dikutip Widoyoko, 2011:182). Sedangkan evaluasi produk diharapkan dapat membantu pimpinan untuk membuat keputusan yang berkenaan dengan kelanjutan, akhir maupun modifikasi program ( Sax dikutip Widoyoko, 2011:183). Evaluasi produk juga digunakan untuk membantu membuat keputusan selanjutnya, baik mengenai hasil yang telah dicapai maupun apa yang dilakukan setelah program berjalan (Farida Yusuf, 2008:14). Hasil penelitian Terry Irenewaty dan Aman (2006) menunjukkan bahwa tidak ada standard/kriteria khusus dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif. Pelaksanaan pendidikan inklusif tergantung dari kesediaan sekolah itu sendiri. Pendidikan inklusif dapat diselenggarakan kalau sekolah merasa siap dan mampu menyelenggarakannya. Hasil penelitian lain yang ditunjukkan oleh Istiningsih (2008) dilihat dari pelaksanaan manajemen pendidikan inklusif menunjukkan cukup bagus, tujuan yang ingin dicapai cukup ideal, hal tersebut didasarkan pada rekrutmen/identifikasi anak yang dilakukan oleh para guru dan guru pembimbing khusus telah memperoleh hasil yang cukup bagus. METODE Ditinjau dari sumber dan jenis data yang diperlukan, penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang melakukan evaluasi dengan model CIPP yaitu dengan mendeskripsikan dan memaknai data dari masing-masing komponen konteks, input, proses dan produk kemudian dibandingkan dengan kriteria keberhasilan penyelenggaraan program yang telah ditetapkan. Penetapan kriteria dilakukan sebelum evaluasi dilaksanakan, namun kriteria tersebut dapat dikembangkan pada saat pelaksanaan evaluasi berdasarkan pendapat teoritis, pedoman maupun hasil kesepakatan dari acuan-acuan yang ditentukan dilapangan. Adapun dasar acuan penentuan kriteria keberhasilan evaluasi dalam penelitian ini didapat dari berbagai sumber antara lain berbagai kebijakan dan peraturan serta ketentukan perundang-undangan tentang penyelenggaraan pendidikan inklusif, disamping itu dasar acuan didapat juga diperoleh dari buku-buku pedoman serta teori-teori dan pendapat ahli tentang pendidikan inklusif. Pada evaluasi komponen konteks penetapan kriteria keberhasilan penyelenggaraan pendidikan inklusif dalam penelitian ini meliputi beberapa aspek sebagai berikut yaitu 1) adanya kebijakan perundang-undangan sebagai landasan formal yang tertuang dengan jelas dan tegas, 2) adanya tujuan penyelenggaraan program penyelenggaraan pendidikan inklusif yang jelas dan terarah, dan 3) adanya kondisi sosial budaya masyarakat yang mendukung penyelenggaraan program pendidikan inklusif. 7 Adapun pada evaluasi komponen input penetapan kriteria keberhasilan penyelenggaraan pendidikan inklusif dalam penelitian ini meliputi beberapa aspek sebagai berikut yaitu 1) adanya peserta didik (siswa) berkebutuhan khusus yang meliputi aspek proses kegiatan penerimaan dan identifikasi siswa baru bagi ABK yang mendaftar sesuai ketentuan yang berlaku yaitu dengan jumlah proporsi ideal ABK yang bersekolah sebesar 10 % dari jumlah populasi seluruh siswa dengan jenis kelainan ABK yang beragam, 2) adanya tenaga pendidik (guru) yang mengajar sudah berkualifikasi minimal sarjana (S1) dan berstatus PNS dengan jumlah guru pembimbing ABK yang memadai sesuai dengan jumlah siswa, 3) adanya pemberlakukan kurikulum yang disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik ABK, 4) adanya sarana dan prasarana khusus yang mendukung serta sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik ABK, 5) adanya penyediaaan anggaran yang cukup yang bersumber dari pemerintah dan masyarakat, serta 6) adanya sikap yang positif dari siswa normal terhadap ABK dan sikap postif orang tua siswa terhadap pelaksanaan program inklusif. Untuk evaluasi komponen proses penetapan kriteria keberhasilan dalam penelitian ini meliputi seluruh aktivitas guru pembimbing ABK dalam melaksanakan kegiatan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembelajaran yang masuk dalam katagori baik selama kegiatan proses pembelajaran. Sedangkan untuk komponen produk, penetapan kriteria keberhasilan dalam penelitian ini meliputi aspek 1) adanya tingkat keberhasilan perolehan nilai akademik siswa berkebutuhan khusus pada pelaksanaan UAS dan UN, serta 2) adanya keberhasilan perkembangan keterampilan sosial siswa dilingkungan sekolah. Adapun lokasi penelitian yang dipilih dalam penelitian ini adalah di SDN No.15 Mempawah Timur dan SDN No.16 Mempawah Hilir yang merupakan dua sekolah penyelenggara program pendidikan inklusif pada dua wilayah Kecamatan di Kabupaten Pontianak. Salah satu pertimbangan peneliti memilih dua sekolah ini adalah karena dua sekolah ini merupakan sekolah yang sudah termasuk cukup lama menyelenggarakan program pendidikan inklusif di wilayah Kabupaten Pontianak dimana selama pelaksanaanya sepengetahuan peneliti belum pernah ada suatu evaluasi menyeluruh yang dilakukan dan menjadi tolok ukur terhadap keberhasilan penyelenggaraan program. Penelitian ini menggunakan dua sumber data yaitu sember data primer dan sumber data sekunder. Adapun yang menjadi sumber data primer dalam penelitian ini adalah Kepala Sekolah, guru pembimbing ABK, guru kelas, orang tua siswa, siswa normal, Kepala SLB Negeri, Pejabat Dinas Pendidikan Kabupaten dan Provinsi terkait. Sedangkan sumber data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dengan cara studi kepustakaan, yaitu dengan membaca literatur dan dokumendokumen yang ada di sekolah dan tempat lain yang terkait, mengkaji peraturan serta kebijakan perundang-undangan yang berkaitan dengan fokus penelitian. Prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini adalah menggunakan beberapa teknik dan alat pengumpulan data seperti melalui observasi, wawancara terstruktur dan mendalam, studi dokumentasi serta dilengkapi angket. Instrumen penelitian menggunakan pedoman observasi berupa tabel checklist, pedoman wawancara, dokumentasi dan instrumen angket. Sedangkan teknik keabsahan 8 temuan dalam penelitian ini menggunakan member chek dan melakukan trianggulasi baik trianggulasi sumber, trianggulasi teknik maupun trianggulasi waktu. Penelitian ini menggunakan analisis kualitatif yang mendeskripsikan dan memaknai data dari masing-masing komponen yang dievaluasi, dan hasil perhitungan sebagian disajikan dalam bentuk tabel frekuensi dan prosentase yang didapat dari hasil penelitian. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil temuan komponen konteks tentang kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif menunjukkan bahwa saat ini belum tertuang secara jelas dan tegas dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan di Negara kita. Hasil temuan ini dinilai belum sepenuhnya sesuai dengan kriteria pennyelenggaraan pendidikan inklusif, padahal menurut Peraturan Standar PBB nomor 6 pada paragrap 6 tentang persamaan kesempatan bagi penyandang cacat secara jelas telah menyebutkan bahwa Negara seyogyanya memiliki kebijakan yang “jelas”, memiliki kurikulum yang fleksibel, menyediakan materi yang berkualitas, serta memberikan pelatihan guru dan dukungan yang berkelanjutan (dikutip Stubbs, 2002:122). Pernyataan ini diperkuat oleh pernyataan Konferensi Samalanca dan Kerangka Aksi tentang Pendidikan khusus tahun 1994 dalam pasal 3 bahkan lebih tegas lagi menuntut agar Pemerintah seyogyanya untuk “menetapkan prinsip pendidikan inklusif sebagai Undang-Undang atau kebijakan … kecuali terdapat alasan yang memaksa untuk menetapkan lain (dikutip Stubb, 2002:123). Ini berarti bahwa Pemerintah dalam hal ini dituntut dengan sewajarnya agar memasukkan penyelenggaraan pendidikan inklusif secara lebih tegas dan jelas ke dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan di Negara kita. Terkait hasil temuan penelitian menunjukkan bahwa tujuan penyelenggaraan pendidikan inklusif sudah sesuai dan sejalan dengan tujuan pendidikan nasional. Hasil temuan ini dinilai sudah sesuai dengan kriteria penyelenggaraan pendidikan inklusif sebab tujuan utama pendidikan nasional dan tujuan penyelenggaraan pendidikan inklusif sebenarnya adalah sama-sama untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yaitu memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada anak bangsa yang memiliki kelainan fisik, mental, intelektual dan sosial bersama-sama dengan anak normal lainnya mendapatkan akses pendidikan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa tanpa adanya diskriminasi. Sedangkan hasil temuan penelitian lainnya menunjukkan bahwa kondisi geografis wilayah kabupaten Pontianak umumnya sangat luas dan hampir sebagian wilayahnya sulit terjangkau, sedangkan penyebaran ABK sendiri hampir merata di setiap wilayah kecamatan dan desa. Kondisi ini menyebabkan sebagian ABK yang ingin bersekolah terpaksa tidak dapat bersekolah dikarenakan lokasi SLB berada jauh di ibu kota Kabupaten. Sementara jika akan bersekolah di sekolah reguler yang terdekat dengan tempat tinggal mereka biasanya sekolah menolak dan tidak bersedia menerima ABK dengan alasan tidak memiliki guru khusus yang dapat memberikan layanan secara khusus. Hasil temuan ini dinilai tidak sepenuhnya sesuai dengan kriteria penyelenggaraan pendidikan inklusif dan hal ini dinilai bertentangan dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 11 ayat (1) yang secara tegas menyatakan 9 bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga Negara tanpa adanya diskriminasi. Oleh karena itu salah satu solusi yang dapat dipergunakan untuk mengatasi hal tersebut adalah Pemerintan Daerah segera menetapkan sekolah reguler yang berpotensi di wilayah binaan mereka untuk menyelenggaraan program pendidikan inklusif. Terkait hasil temuan penyelenggaraan pendidikan inklusif terhadap sosial budaya masyarakat menunjukkan budaya masyarakat kita sangat mendukung sebab hal ini sudah sejalan dengan filosofi masyarakat kita yaitu Pancasila dengan landasan Bhineka Tunggal Ika nya yaitu suatu wujud pengakuan kita tentang adanya keberagaman yang dimiliki setiap manusia. Hasil temuan ini sudah sesuai dengan kriteria penyelenggaraan pendidikan inklusif. Hal ini diperkuat oleh Depdiknas menegaskan bahwa Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbudaya dengan lambang Negara Burung Garuda yang berarti Bhineka Tunggal Ika (Depdiknas, 2009:5). Sementara itu filosofi Bhineka Tunggal Ika juga menyakini bahwa dalam diri manusia terdapat potensi kemanusiaan yang apabila dikembangkan melalui pendidikan yang benar dapat berkembang kearah yang lebih baik. Berdasarkan hasil temuan penelitian komponen input terhadap peserta didik menunjukkan bahwa proses penerimaan siswa baru bagi ABK diberlakukan sama dengan anak lainnya. Hasil temuan ini dinilai sudah sesuai dengan kriteria penyelenggaraan pendidikan inklusif. Temuan ini diperkuat oleh Surat Edaran Kementrian Kemendikbud tentang Penerimaan Siswa Baru dalam salah satu pointnya menegaskan bahwa setiap Sekolah Dasar wajib menerima peserta didik tanpa tes masuk dan tetap memprioritaskan pada anak-anak yang berusia 7 – 12 tahun dari lingkungan sekitarnya tanpa diskriminasi sesuai daya tampung satuan pendidikan yang bersangkutan. Adapun hasil temuan penelitian dalam mengidentifikasi ABK pada proses penerimaan siswa baru menunjukkan bahwa sekolah hanya melakukan pengamatan secara fisik terhadap jenis kelainan yang dimiliki ABK saat mendaftar. Hasil temuan ini dinilai belum sepenuhnya sesuai dengan kriteria, padahal menurut Depdiknas secara tegas menyatakan bahwa dalam rangka mengidentifikasi ABK diperlukan pengetahuan tentang berbagai jenis dan tingkat kelainan anak diantaranya adalah mengetahui kelainan fisik, mental, intelektual, sosial dan emosi (Depdiknas, 2007:1). Dengan demikian untuk mengidentifikasi jenis kelainan ABK seharusnya tidak hanya melihat secara fisik saja, akan tetapi diperlukan peralatan dan pengetahuan secara khusus. Berdasarkan hasil temuan penelitan terhadap jumlah ABK yang bersekolah menunjukkan bahwa prosentase jumlah siswa dinilai cukup besar yaitu 21,97 % jika dibandingkan dengan jumlah populasi seluruh siswa yang ada. Hasil temuan ini dinilai belum sepenuhnya sesuai dengan kriteria penyelenggaraan pendidikan inklusif dan belum sesuai dengan jumlah ideal yang diharapkan sebab konsep lain yang patut dipahami dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif adalah jumlah siswa penyandang cacat harus terwakili di sekolah dalam proporsi alami, artinya jumlah anak-anak cacat merupakan sepuluh persen dari keseluruhan populasi siswa yang ada (Sapon-Shepin, 2007:9). Ini berarti jumlah ideal ABK yang bersekolah dinilai melebihi jika dibandingkan dengan populasi siswa yang ada. 10 Adapun hasil temuan penelitian terhadap jenis kelainan ABK menunjukkan bahwa jenis kelainan ABK yang ada diketahui cukup beragam dengan jumlah prosentase terbesar adalah siswa lamban belajar (slow learner) sebanyak 78,75%. Hasil temuan ini dinilai sudah sesuai dengan kriteria penyelenggaraan pendidikan inklusif dan ini diperkuat pendapat Efendi menyebutkan bahwa jenis kelainan ABK umumya sangat beragam yang terdiri dari berbagai katagori seperti anak tunanetra, tunagrahita, tunarungu, tunadaksa, tunalaras, cerdas istimewa dan bakat istimewa, serta anak lamban belajar dan berkesulitan belajar (Efendi, 2006:3). Sedangkan hasil temuan penelitian terhadap sikap siswa normal melalui data hasil angket menunjukkan bahwa rata-rata siswa normal memiliki sikap yang positif terhadap ABK. Ini berarti bahwa seluruh siswa normal menerima keberadaan ABK yang berada satu kelas dengan mereka. Hasil temuan ini dinilai sudah sesuai dengan kriteria penyelenggaraan pendidikan inklusif. Hal ini diperkuat oleh pendapat kelompok para ahli seperti Fishbein & Ajzen, Oskamp, Petty & Cacioppo menyebutkan bahwa Sikap tidak lain adalah penilaian positif atau negatif terhadap suatu obyek (dikutip Azwar, 211:6). Dengan demikian sikap postif yang ditunjukkan oleh siswa normal terhadap ABK merupakan salah satu tolok ukur keberhasilan penyelenggaraan program inklusif. Berdasarkan hasil temuan penelitian terhadap latar belakang pendidikan dan status kepegawaian guru menunjukkan bahwa guru yang mengajar sebagian besar sudah sarjana (S1) dan berstatus PNS. Hasil penelitian ini sudah sesuai dengan kriteria penyelenggaraan pendidikan khusus dan ini menurut Undang-Undang Guru dan Dosen dalam pasal 9 yang menyebutkan bahwa Tenaga pendidik (guru) wajib memiliki kualifikasi akademik melalui lulusan pendidikan tinggi atau program sarjana (UU nomor 14 tahun 2005). Ini menunjukkan bahwa seorang guru yang profesional diharuskan memiliki latar belakang pendidikan akademik yang sesuai dengan kompetensi dan tuntutan Undang-Undang. Terkait hasil temuan penelitian menunjukkan bahwa seluruh guru yang mengajar di sekolah penyelenggara program tidak ada yang berlatar belakang pendidikan khusus atau pendidikan luar biasa. Hasil temuan ini dinilai belum sepenuhnya sesuai dengan kriteria penyelenggaraan pendidikan inklusif, padahal idealnya bahwa dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di sekolah inklusif selain diperlukan guru kelas, guru mata pelajaran juga harus ada guru pendidikan khusus yang memiliki kompetensi sesuai keahlian (Depdiknas, 2007:3). Terkait temuan ini, maka sekolah menetapkan guru kelas yang telah mengikuti Diklat menangani ABK sebagai guru pembimbing khusus. Hal ini didukung dan dibenarkan oleh Depdiknas menegaskan bahwa Guru pendidikan khusus adalah guru yang mempunyai latar belakang pendidikan khusus/pendidikan luar biasa atau pernah mendapat pelatihan tentang pendidikan khusus/luar biasa yang ditugaskan di sekolah inklusif (Depdiknas, 2007:3). Terkait hasil temuan penelitian terhadap jumlah guru pembimbing ABK menunjukkan jumlah yang cukup kecil dibandingkan dengan jumlah seluruh guru dan seluruh ABK yang diajarkan. Hasil temuan ini dinilai belum sesuai dengan kriteria penyelenggaraan pendidikan inklusif, padahal menurut Depdiknas menegaskan bahwa Bagi sekolah penyelenggara inklusif diharapkan memiliki guru pembimbing khusus yang cukup untuk bertugas mendampingi guru-guru 11 mata pelajaran di sekolah inklusif dalam proses pembelajaran, memberikan pengayaan, melakukan terapi dan membimbing anak-anak sesuai kekhususannya (Depdiknas, 2007:9). Idealnya jumlah guru pembimbing ABK harus sesuai dengan banyaknya ABK, namun dikarenakan keterbatasan sumber daya, maka sekolah hanya memanfaatkan guru kelas yang telah mengikuti Diklat cara menangani ABK sebagai guru pembimbing ABK di sekolahnya. Berdasarkan hasil temuan penelitian terhadap kurikulum menunjukkan bahwa kurikulum yang digunakan sekolah adalah kurikulum reguler (umum) yang diduplikasikan atau diberlakukan sama baik untuk siswa normal maupun ABK. Hasil temuan ini dinilai sudah sesuai dengan kriteria penyelenggaraan program pendidikan inklusif dan ini diperkuat Depdiknas yang menegaskan Kurikulum yang digunakan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif pada dasarnya menggunakan kurikulum standar nasional yang sama berlaku di sekolah umum (Depdiknas, 2009:69). Selanjutnya Depdiknas juga menyebutkan bahwa model duplikasi kurikulum berarti mengembangkan dan memberlakukan kurikulum untuk ABK secara sama atau serupa (duplikasi) dengan kurikulum yang digunakan untuk siswa normal baik pada tujuan, isi/materi, proses maupun pada evaluasi pembelajaran (Depdiknas, 2009:69). Ini berarti bahwa kurikulum yang diberlakukan adalah kurikulum reguler yang sama baik pada tujuan, isi/materi, proses maupun evaluasi semuanya diberlakukan sama bagi seluruh siswa. Terkait hasil temuan penelitian terhadap sarana umum sekolah menujukkan katagori cukup memadai dan ini berarti sarana umum sekolah dinilai sebagian besar sudah dimiliki. Hasil temuan ini dinilai sudah sesuai dengan kriteria penyelenggaraan pendidikan inklusif walaupun sebagian sarana umum tersebut tidak dimiliki oleh sekolah, padahal menurut Depdiknas menyebutkan bahwa Sarana dan prasarana umum yang dibutuhkan di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif relatif sama dengan sekolah reguler pada umumnya termasuk minimal memiliki ruang praktikum/laboratorium, ruang BP/BK, ruang UKS dan ruang ibadah (Depdiknas, 2009:94). Sedangkan berdasarkan hasil temuan penelitian terhadap sarana dan prasarana khusus bagi ABK yang dimiliki sekolah menunjukkan katagori kurang memadai dan ini berarti sarana dan prasarana khusus tersebut sebagian tidak dimiliki sekolah untuk menunjang pelaksanaan program. Hasil temuan ini dinilai belum sepenuhnya sesuai dengan kriteria penyelenggaraan pendidikan inklusif, padahal menurut Depdiknas menyebutkan bahwa Penggunaan sarana dan prasarana khusus lebih bersifat fleksibel artinya penggunaanya tidak dikhususkan untuk setiap anak dan tiap bidang pengajaran saja, akan tetapi dapat digunakan oleh anak-anak lain dalam bidang studi yang berbeda dan dalam kelas yang berbeda pula (Depdinas, 2007:29). Berdasarkan hasil temuan penelitian terhadap pembiayaan program menunjukkan bahwa saat ini pembiayaan penyelenggaraan program pendidikan inklusif hanya dibiayai dari bantuan subsidi pemerintah pusat dan pemerintah provinsi melalui dana dekonsentrasi tanpa adanya bantuan dana dari masyarakat dan kalangan dunia usaha. Hasil temuan ini dinilai belum sepenuhnya sesuai dengan penyelenggaraan pendidikan inklusif, padahal idealnya Pendanaan pendidikan bersumber dari pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat (PP nomor 48 tahun 2008 Bab V pasal 51 ayat 2). Oleh karena itu aspek pembiayaan 12 baik yang bersumber dari pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun masyarakat akan ikut menentukan keefektipan program yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan tersebut. Berdasarkan hasil temuan penelitian melalui angket tentang sikap orang tua siswa menunjukkan bahwa rata-rata orang tua siswa memiliki sikap positif terhadap penyelenggaraan program pendidikan inklusif. Hasil temuan ini dinilai sudah sesuai dengan kriteria penyelenggaraan pendidikan inklusif dan ini diperkuat pendapat Elwood N. Chapman menyebutkan bahwa sikap positif adalah perwujudan nyata dari suatu pikiran terutama memperhatikan hal-hal yang baik. Selanjutnya beliau juga menegaskan bahwa keadaan jiwa seseorang yang dipertahankan melalui usaha-usaha yang sadar bila sesuatu terjadi pada dirinya supaya tidak membelokkan fokus mental seseorang pada yang negatif (Chapman, 2012). Dengan demikian sikap positif orang tua siswa merupakan salah satu tolok ukur yang dapat menunjukkan dukungan seluruh orang tua siswa terhadap penyelenggaraan program pendidikan inklusif yang diselenggarakan. Berdasarkan hasil temuan penelitian komponen proses melalui angket terhadap penilaian kegiatan perencanaan pembelajaran pada program pendidikan inklusif menunjukkan katagori cukup baik. Hasil temuan pada setiap aspek dinilai sudah sesuai dengan kriteria penyelenggaraan pendidikan inklusif, walaupun hasil temuan tersebut terdapat beberapa aspek perencanaan pembelajaran yang masih memiliki nilai skor lebih rendah. Adapun penilaian kegiatan perencanaan pembelajaran yang memiliki skor terendah antara lain adalah aspek mengembangkan kurikulum sekolah sesuai karakteristik ABK. Perolehan skor pada aspek ini dinilai rendah disebabkan saat ini sekolah masih menggunakan kurikulum reguler (umum) bagi siswa normal yang diberlakukan juga untuk ABK serta belum sepenuhnya disesuaikan dengan karakteristik ABK, dan kalaupun ada penyesuaian (modifikasi) hanya dilakukan pada penambahan jam belajar di siang dan sore hari, padahal menurut Depdiknas menegaskan bahwa kegiatan pembelajaran hendaknya dirancang sesuai dengan kebutuhan peserta didik, kemampuan dan karakteristik peserta didik, serta mengacu pada kurikulum yang dikembangkan (Depdiknas, 2007:3). Terkait hasil temuan penelitian melalui angket terhadap penilaian kegiatan pelaksanaan pembelajaran pada program inklusif menunjukkan katagori baik. Hasil temuan ini dinilai sesuai kriteria penyelenggaraan pendidikan inklusif walaupun masih terdapat aspek lainnya yang memiliki skor lebih rendah. Adapun penilaian kegiatan pelaksanaan pembelajaran yang memiliki skor terendah antara lain adalah melaksanakan proses pembelajaran di kelas disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik ABK. Perolehan skor pada aspek ini dinilai rendah disebabkan pelaksanaan proses pembelajaran yang diberikan oleh guru kelas masih disamakan untuk seluruh siswa. Hal ini dilakukan guru dikarenakan apabila proses pembelajaran siswa normal dibedakan dengan ABK, maka akan menghabiskan waktu dan mungkin saja siswa normal lainnya akan merasa terabaikan sehingga saat ini ABK hanya menyesuaikan dengan proses pembelajaran yang ada. Hasil temuan ini dinilai belum sepenuhnya sesuai dengan kriteria penyelenggaraan pendidikan inklusif, padahal menurut Depdiknas bahwa pelaksanaan kegiatan pembelajaran pada model kelas tertentu mungkin berbeda 13 dengan pelaksanaan kegiatan pembelajaran pada kelas yang lain (Depdiknas, 2007:17). Ini berarti bahwa pembelajaran pada kelas reguler (umum) bahan belajar yang digunakan bagi ABK dan siswa normal biasanya tidak sama, dan bahkan sesama ABK yang memiliki kelainan yang tidak sama pun dapat berbeda. Sedangkan hasil temuan penelitian melalui angket terhadap penilaian kegiatan evaluasi pembelajaran pada program pendidikan inklusif menunjukkan katagori cukup baik. Hasil temuan ini dinilai sesuai dengan kriteria penyelenggaraan pendidikan inklusif walaupun masih terdapat aspek lain yang memiliki skor lebih rendah. Adapun penilaian kegiatan evaluasi pembelajaran yang memiliki skor terendah antara lain adalah pada aspek melaksanakan evaluasi pembelajaran kepada peserta didik menggunakan standar kelulusan yang berbeda. Perolehan skor pada aspek ini dinilai rendah dikarenakan alat khusus untuk ABK yang dimiliki sekolah masih sangat terbatas, sedangkan sekolah masih menggunakan standar kelulusan yang sama baik untuk siswa normal maupun untuk ABK. Hal ini dilakukan guru untuk mengantisipasi ketidaklulusan ABK yang akan bersaing dengan siswa normal untuk mengikuti ujian nasional yang memberlakukan standar kelulusan yang sama bagi seluruh siswa. Berdasarkan hasil temuan penelitian tentang kesulitan yang dihadapi guru dalam aspek kegiatan perencanaan pembelajaran khususnya dalam menyusun RPP menunjukkan bahwa guru merasa kesulitan dalam menuangkan indikator untuk dijadikan materi yang harus disesuaikan dengan kemampuan dan karakteristik ABK. Demikian juga dalam menyiapkan bahan/materi dan merencanakan sumber belajar menunjukkan bahwa guru merasa kesulitan karena harus membuat bahan/ materi ajar yang sesuai dengan karakterstik ABK. Hasil temuan ini dinilai belum sepenuhnya sesuai dengan kriteria penyelenggaraan pendidikan inklusif, padahal menurut Depdiknas menyebutkan bahwa kegiatan pembelajaran hendaknya dirancang sesuai dengan kebutuhan peserta didik, kemampuan dan karakteristiknya, serta mengacu kepada kurikulum yang dikembangkan (Depdiknas, 2007:3). Terkait hasil temuan penelitian kesulitan yang dihadapi guru dalam aspek kegiatan pelaksanaan pembelajaran khususnya dalam menyajikan/menyampaikan materi dan menggunakan alat/media pembelajaran menunjukkan bahwa guru merasa kesulitan dikarenakan harus memberikan penjelasan dan mendemonstrasikan alat/media secara berulang-ulang kepada ABK. Kondisi ini disebabkan selain alat/media yang digunakan kondisinya sangat terbatas juga dikarenakan guru kurang menggunakan alat/media pembelajaran yang menarik dan sesuai dengan karakteristik ABK. Hasil temuan ini belum sepenuhnya sesuai dengan kriteria penyelenggaraan pendidikan inklusif, padahal menurut Nasution menegaskan bahwa semua alat/media pengajaran sama baiknya dan tidak ada satupun yang melebihi yang lain dalam segala hal (Nasution, 2011:198). Selanjutnya Nasution juga mengemukakan bahwa pada umumnya alat/media tertentu tidak menunjukkan keunggulannya pada orang tertentu (Nasution, 2011:198). Sedangkan hasil temuan penelitian kesulitan yang dihadapi guru dalam aspek kegiatan evaluasi pembelajaran khususnya dalam penilaian hasil belajar siswa menunjukkan bahwa guru merasa kesulitan dalam memberikan penilaian kepada ABK dikarenakan tidak adanya petunjuk dan panduan yang baku sehingga penilaian yang diberikan 14 guru kepada ABK lebih bersifat subyektif. Kondisi ini juga belum sepenuhnya sesuai dengan kriteria penyelenggaraan pendidikan inklusif yang diselenggarakan. Berdasarkan hasil temuan penelitian komponen produk terhadap perkembangan aspek akademik ABK menujukkan bahwa perolehan nilai hasil belajar ABK dinilai cukup menggembirakan, artinya ABK yang mengikuti ujian dapat dinyatakan lulus seluruhnya, dan bahkan ada beberapa ABK yang memperoleh nilai melebihi nilai rata-rata kelas, disamping itu terdapat pula ABK yang memperoleh nilai dibawah nilai rata-rata kelas. Sedangkan hasil temuan penelitian terhadap perkembangan aspek sosial siswa menunjukkan hasil yang sangat bagus. Hasil temuan ini dinilai sudah sesuai dengan kriteria penyelenggaraan pendidikan inklusif dan ini diperkuat pendapat Ambar Arum menyatakan bahwa pendidikan inklusif tidak hanya menekankan pencapaian tujuan pembelajaran dalam bentuk kompetensi akademik tetapi juga kompetensi sosial (Arum, 2005:85). Ini berarti bahwa dengan adanya program pendidikan inklusif, siswa normal lebih menerima keberagaman dan perbedaan serta memahami kondisi teman bermainnya yang berkelainan. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Komponen konteks Kebijakan dan landasan hukum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif belum sepenuhnya memenui kriteria dilihat dari belum tertuang dan ditemukannya secara jelas dan tegas dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan di Negara kita. Konteks tujuan penyelenggaraan pendidikan inklusif sudah sesuai dengan tujuan pendidikan nasional dan telah memenuhi kriteria, ini dilihat dari dasar tujuan pendidikan nasional dan tujuan pendidikan inklusif sama-sama mencerdaskan kehidupan bangsa. Konteks geografis penyelenggaraan pendidikan inklusif telah memenuhi kriteria, ini dilihat dari penyebaran ABK di Kabupaten Pontianak ada di beberapa wilayah kecamatan dan desa. Sedangkan Konteks sosial budaya masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif telah memenuhi kriteria dilihat dari penyelenggaraan pendidikan inklusif yang sudah sejalan dengan filosofi masyarakat kita yaitu Bhineka Tunggal Ika. Komponen input penerimaan siswa baru ABK telah memenuhi kriteria, ini dilihat dari banyaknya ABK saat mendaftar diberlakukan sama dengan anak normal. Input identifikasi ABK saat mendaftar belum sepenuhnya memenuhi kriteria dilihat dari guru hanya melakukan pengamatan dengan cara melihat secara fisik jenis kelainan yang dimiliki ABK. Input jumlah ABK yang bersekolah belum sepenuhnya memenuhi kriteria dilihat dari jumlah prosentase ABK yang cukup besar dari jumlah ideal. Input jenis kelainan ABK telah memenuhi kriteria dilihat dari jenis kelainan ABK yang sangat beragam. Input sikap siswa normal telah memenuhi kriteria dilihat dari hasil angket yang menunjukkan seluruh siswa normal bersikap positif terhadap ABK. Adapun Input guru telah memenuhi kriteria dilihat dari sebagian besar jumlah guru sudah Sarjana (S1) dan berstatus PNS. Input jumlah guru pembimbing ABK belum sepenuhnya memenuhi kriteria dilihat masih kecilnya prosentase guru umum sebagai guru pembimbing ABK. Input kurikulum telah memenuhi kriteria dilihat model kurikulum yang digunakan sekolah penyelenggara khusus bagi ABK. Input sarana umum dinilai cukup 15 memadai sedangkan input sarana khusus bagi ABK dinilai kurang memadai dan belum sepenuhnya memenuhi kriteria dilihat dari sarana khusus itu sebagian besar tidak dimiliki oleh sekolah. Input pembiayaan penyelenggraaan program belum sepenuhnya memenuhi kriteria dilihat dari jenis dan sumber bantuan yang menyediakan. Sedangkan sikap orang tua siswa telah memenuhi kriteria dilihat dari hasil angket bahwa seluruh orang tua memiliki sikap positif terhadap penyelenggaraan program inklusif. Komponen proses penilaian kegiatan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembelajaran secara umum telah memenuhi kriteria dilihat dari nilai skor yang masuk katagori baik dan cukup baik. Adapun proses kesulitan yang dihadapi guru dalam perencanaan pembelajaran seperti dalam aspek menuangkan indikator untuk dijadikan materi pelajaran yang harus disesuaikan dengan ABK dan menyiapkan bahan/materi dan merencanakan sumber belajar belum sepenuhnya memenuhi kriteria dilihat dari sekolah masih menggunakan kurikulum reguler yang diberlakukan sama untuk seluruh siswa. Proses kesulitan yang dihadap guru dalam pelaksanaan pembelajaran seperti dalam aspek menyajikan materi pelajaran dan menggunakan sumber belajar serta alat/media pembelajaran belum sepenuhnya memenuhi kriteria dilihat dari kondisi ABK yang lemah dalam menyerap materi pelajaran sehingga harus dijelaskan dan didemonstrasikan oleh guru secara berulang-ulang. Sedangkan proses kesulitan yang dihadapi guru dalam evaluasi pembelajaran dalam aspek memberikan penilaian hasil belajar siswa ABK belum sepenuhnya memenuhi kriteria dilihat kondisi karakteristik ABK yang berbeda dengan siswa normal. Komponen produk perkembangan tingkat pencapaian hasil belajar akademik ABK telah memenuhi kriteria dilihat dari perolehan nilai hasil UAS dan UN yang menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan dan masuk dalam katagori baik dan cukup baik. Sedangkan produk perkembangan aspek sosial siswa menunjukkan perkembangan yang sangat bagus dan memenuhi kriteria dilihat dari sikap seluruh siswa normal yang mau menerima keberadaan ABK di sekolah. Saran/rekomendasi Beberapa saran/rekomendasi yang dapat diungkapkan sebagai berikut yaitu : 1) Bagi Pemerintah perlu mempertahankan keberadaan program pendidikan inklusif di sekolah reguler agar anak yang memiliki kelainan dapat memperoleh pendidikan bersama-sama teman sebanyanya yang normal tanpa adanya diskriminasi. Disisi lain Pemerintah juga perlu untuk memasukkan landasan hukum yang lebih jelas dan tegas tentang penyelenggaraan pendidikan inklusif dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, 2) Dalam mengoptimalkan kemampuan dan keterampilan guru dalam membimbing ABK, diperlukan pelatihan khusus bagi guru reguler yang belum mendapat Diklat cara menangani ABK di sekolah inklusif, 3) Untuk menunjang proses pembelajaran yang lebih baik diperlukan adanya tambahan sarana dan prasarana khusus yang sesuai karakteristik ABK, 4) Dalam upaya menunjang penyelenggaraan program inklusif yang lebih efektif diperlukan tambahan dana bantuan subsidi operasional inklusif bagi setiap sekolah penyelenggara program, 5) Bagi Pemerintah Provinsi dalam upaya memberikan semangat bagi ABK untuk terus berprestasi dan mau 16 bersekolah diperlukan penambahan besarnya jumlah dana beasiswa bagi masingmasing ABK. Disisi lain dalam rangka meningkatkan kemampuan dan prestasi ABK dalam bidang olah raga dan seni perlu diprogramkan lomba-lomba olah raga dan seni khusus ABK di sekolah inklusif di tingkat Provinsi, 6) Dalam upaya mengoptimalkan kemampuan guru-guru yang berlatar belakang pendidikan khusus yang mengajar di SLB Negeri, Pemerintah Kabupaten perlu melakukan upaya kerja sama dengan melibatkan guru SLB Negeri untuk dapat membantu guru reguler di sekolah inklusif menangani ABK di sekolah inklusif. Disisi lain Pemerintah Kabupaten juga perlu mengupayakan penugasan dan penempatan kembali guru yang berlatar belakang pendidikan khusus dan mengajar di sekolah umum untuk mengajar di sekolah penyelenggara program inklusif terdekat, dan 7) Bagi sekolah penyelenggara program dalam upaya mengoptimalkan proses pembelajaran bagi ABK di sekolah inklusif perlu memberlakukan juga kurikulum individual khusus bagi ABK yang tidak dapat mengikuti kurikulum reguler dan kurikulum modifikasi. Disisi lain dalam rangka mensosialisasikan penyelenggaraan program inklusif yang lebih efektif kepada masyarakat dan sekolah umum perlu menghimbau kepada masyarakat sekitar untuk menyekolahkan ABK yang masih bersekolah di sekolah umum biasa agar bersekolah di sekolah penyelenggara program inklusif yang terdekat dengan tempat tinggal mereka. DAFTAR RUJUKAN Bandi Delphie. (2010). Pembelajaran Anak Tunagrahita Suatu Pengantar Dalam Pendidikan Inklusi. Refika Aditama : Bandung Direktorat Pembinaan SLB. (2007). Pedoman Pendidikan Inklusif. Depdiknas : Jakarta Umum Penyelenggaraan ________________. (2009). Training Of Trainers (ToT) Pendidikan Inklusif. Depdiknas : Jakarta Dunn, William N. (2003). Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Terjemahan oleh Samudra Wibawa dkk. Gadjah Mada University Press : Yogjakarta Djudju Sudjana. (2008). Evaluasi Program Pendidikan Luar Sekolah Untuk Pendidikan Nonformal dan Pengembangan Sumber Daya Manusia. Remaja Rosdakarya : Bandung Eko Putro Widoyoko. (2011). Evaluasi Program Pembelajaran Panduan Praktis bagi Pendidik dan Calon Pendidik. Pustaka Pelajar : Yogjakarta Farida Yusuf Tayibnapis. (2008). Evaluasi Program dan Instrumen Evaluasi untuk Program Pendidikan dan Penelitian. Rineka Cipta : Jakarta Fitzpatrick, Jody L, James R. Sander & Blaine R. Worthen. (2004). Program Evaluation Alternative Approaches and Practical Guidelines. Pearson Education Inc : Boston Geniofam. (2010). Mengasuh & Mensukseskan Anak Berkebutuhan Gerai Ilmu : Yogjakarta Khusus. 17 Istiningsih. (2008). Manajemen Pendidikan Inklusif di Sekolah Dasar Negeri Klego 1 Kabupaten Boyolali. (http://etd.eprints.ums.ac.id/7014/1/ Q100030097.pdf) diakses pada tanggal 8 Maret 2012 Khalsa, SiriNam S. (2004). Inclusive Classroom A Practical Guide for Educators. Permission Publisher : Laverett Muhammad Efendi. (2006). Pengantar Psikopedagogik Anak berkelainan. Bumi Aksara : Jakarta Nasution, S. (2011). Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar & Mengajar. Bumi Aksara : Jakarta Owen, John M. (2006). Program Evaluation Forms And Approaches. Allen & Unwin : Crows Nest Permendiknas Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif Peserta Didik yang memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi CIBI. (2011). Direktorat Pembinaan PK-LK Dikdas : Jakarta Saifuddin Azwar. (2011). Sikap Manusia : Teori dan Pengukurannya (Edisi ke 2). Pustaka Pelajar : Yogjakarta Sapon-Shevin, Mara. (2007). Widening the Circle the Power of Inclusive Classrooms. Bacon Press : Boston _________________ (2010). Because We Can Change The World : A Practical Guide to Building Cooperative, Inclusive Classroom Communities (Second Edition). Corwin : California Suharsimi Arikunto. (2009). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi). Bumi Aksara : Jakarta Suharsimi Arikunto & Cepi Safruddin Abdul Jabar. (2009). Evaluasi Program Pendidikan Pedoman Teoritis Praktis Bagi Mahasiswa Praktisi Pendidikan. Bumi Aksara : Jakarta Smith, David D. (2012). Sekolah Inklusif Konsep dan Penerapan Pembelajaran (Edisi III),Terjemahan oleh Ny. Enrica Denis. Nuansa : Bandung Stubbs, Sue. (2002). Pendidikan Inklusif ketika hanya sedikit sumber. Terjemahan oleh Susi Septaviana. Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) : Bandung Stufflebeam, Daniel L, Madaus, George F, & Kellaghan, Thomas (Eds). (2002). Evaluation Models Viewpoints On Education And Human Services Evaluation (Second Edition). Kluwer Academic Publishers : Boston 18 Stufflebeam, Daniel L. & Shinfield, Anthony J. (1986). Sistematic Evaluation A Self – Instructional Guide to Theory and Practice.. Kluwer-Nijhoff Publishing : Boston _______. (Eds). (2007). Evaluation Model Theory, Models, & Applications. Jossey-Bass A Wiley Imprint : San Fransisco Terry Irenewaty & Aman. (2006). Evaluasi Kebijakan Pendidikan Inklusif di SMA Muhammadiyah 4 Yogjakarta. (online), (http://www.staff.uny. ac.id/ system/files/penelitian.html ) diakses 9 Pebruari 2012 The Joint Committee On Standars For Educational Evaluation. (1994). The Program Evaluation Standars How to Assess Evaluations of Educational Programs (2nd Edition). Sage Publications : California Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. (2011). Pustaka Yustisia : Yogjakarta Undang-undang Republik Indonnesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. (2011). KPAID Kalimantan Barat : Pontianak Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang cacat Wahyu Sri Ambar Arum (2006). Persepektif Pendidikan Luar Biasa dan Implikasinya bagi penyiapan tenaga kependidikan. (http:// revitarenda.blogspot.com/2009/05/html.) diakses tanggal 4 Agustus 2012 Wirawan. (2011). Evaluasi Teori, Model, Standar, Aplikasi dan Profesi. RajaGrafindo Persada : Jakarta