MEKANISME PADA INJURY JARINGAN INFLAMASI Inflamasi bisa

advertisement
MEKANISME PADA INJURY JARINGAN
INFLAMASI
Inflamasi bisa dianggap sebagai rangkaian kejadian komplek yang terjadi karena tubuh
mengalami injury, baik yang disebabkan oleh bahan kimia atau mekanis atau proses selfdestructive (autoimun). Walaupun ada kecenderungan pada pengobatan klinis untuk
memperhatikan respon inflammatory dalam hal reaksi yang dapat membahayakan tubuh, dari
sudut pandang yang lebih berimbang sebenarnya inflamasi adalah penting sebagai sebuah
respon protektif dimana tubuh berupaya untuk mengembalikan kondisi seperti sebelum terjadi
injury (preinjury) atau untuk memperbaiki secara mandiri setelah terkena injury. Respon
inflammatory adalah reaksi protektif dan restoratif dari tubuh yang sangat penting karena tubuh
berupaya untuk mempertahankan homeostasis dibawah pengaruh lingkungan yang merugikan.
Tanda-tanda klasik inflamasi sudah dikenal dengan baik, yaitu bengkak, kemerahan, panas, sakit,
dan perubahan fungsi. Respon inflammatory sangat tergantung pada pembuluh darah yang utuh
dan sel-sel sirkulasi serta cairan di dalam pembuluh tersebut. Pada umumnya, ada tiga status
inflamasi yang diketahui yaitu akut, subakut, dan kronis, masing-masing ditetapkan berdasarkan
kriteria histologis tipikal. Respon inflammatory akut ditandai dengan dilatasi pembuluh-pembuluh
darah serta melimpahnya leukosit dan cairan. Terlihat kemerahan (eritema) disebabkan oleh
dilatasi pembuluh darah, bengkak (edema) disebabkan oleh pelepasan cairan ke dalam jaringan
lunak, dan kaku (mengeras) karena akumulasi cairan dan sel-sel. Hasil dari proses tersebut
menyebabkan hilangnya kapasitas normal pembuluh darah untuk mempertahankan cairan dan
sel-sel di dalam sistem vaskular, meskipun demikian beberapa perubahan tidak menunjukkan
adanya kerusakan struktur pembuluh. Leukosit kemungkinan tertarik oleh substansi kimia yang
berdifusi ke dalam pembuluh dari sisi ekstravaskular. Selain itu, diketahui bahwa pelepasan
faktor-faktor tertentu, misalnya histamin dari sel-sel mast jaringan, selanjutnya dapat merubah
pembuluh menjadi permeabel terhadap cairan plasma. Pada kebanyakan kasus, respon
inflammatory akut menunjukkan efek aksi mediator pada pembuluh darah, daripada injury
nonspesifik ke pembuluh, menghasilkan pelepasan selektif cairan dan sel. Setelah terjadi trauma
mekanis atau thermal injury, perubahan vasopermeabilitas terjadi lebih awal pada respon
inflammatory akut. Kenyataannya, permeabilitas histamine-dependent terjadi dalam hitungan
menit setelah thermal injury, kemungkinan disebabkan oleh pelepasan kandungan granular dari
sel-sel mast jaringan. Fase permeabilitas ini berlangsung cepat, berakhir hanya dalam beberapa
menit saja. Dalam 30 menit, dimulai fase permeabilitas yang lebih panjang (prolonged). Mediator
yang bertanggungjawab dalam memperlambat fase untuk meningkatkan permeabilitas ini belum
diketahui dengan jelas namun dipercaya melibatkan beberapa faktor, termasuk produk-produk
komplemen, kinin, dan prostaglandin.
Dalam 30 sampai 60 menit setelah injury, granulosit neutrofilik muncul. Pertama kali membentuk
cluster disepanjang sel-sel endotelial pembuluh pada area injury. Akumulasi neutrofil dalam
jumlah besar ini, yang masih di dalam lumen pembuluh, disebut dengan marginasi. Segera
setelah itu, leukosit meneruskan perjalanan keluar dari pembuluh dengan cara
menyelinap/menekan melalui junction diantara sel-sel endotelial (Fig. 12-1). Dalam beberapa
menit, granulosit sudah berada di ekstravaskular dan mulai terakumulasi pada area injury (Fig.
12-1). Ketika sudah keluar dari batas pembuluh, neutrofil membentuk garis pertahanan terhadap
invasi mikroorganisme. Fungsi utama dari neutrofil adalah untuk memakan (fagosit) atau
menghancurkan benda-benda asing potensial berbahaya, seperti bakteri. Dalam 4-5 jam, jika
respon inflammatory akut masih berlanjut, sel-sel mononuklear (termasuk limfosit dan monosit)
akan muncul pada sisi inflamasi, setelah meninggalkan pembuluh melalui mekanisme yang sama
dengan neutrofil. Kehadiran sel-sel ini menambah barier protektif diantara benda-benda asing
dan channel (saluran) limfatik, pembuluh darah, dan jaringan sekitar. Monosit memperkuat
pertahanan dengan menambah fungsi fagositnya pada area tersebut, sementara limfosit
membawa kapasitas imunologis untuk merespon terhadap benda-benda asing dengan fenomena
humoral dan cell-mediated spesifik.
Penjelasan yang ada sejauh ini masih menekankan pada fungsi protektif dari proses
inflammatory. Namun harus dipahami bahwa jika respon inflammatory menyimpang dari
biasanya, maka akan menimbulkan akibat serius. Jika cairan yang keluar dari pembuluh vaskular
ke area injury terlalu banyak/melimpah, misalnya pada otak akan menyebabkan peningkatan
tekanan intrakranial serius. Akumulasi cairan karena inflamasi pada kavitas pleural atau
perikardial secara serius dapat membahayakan fungsi organ. Demikian juga dengan kehadiran
neutrofil dalam jumlah berlebihan dan kemudian mengeluarkan kandungan enzimatiknya dapat
menyebabkan kerusakan struktural serius. Hal ini dapat digambarkan dengan baik pada kasuskasus vasculitis atau nephritis imunologik, dimana terjadi kehancuran membran basement yang
diakibatkan oleh hidrolisis enzimatik, kadang dengan akibat catastrophic. Banyak penyakit yang
dihadapi oleh dokter disebabkan oleh respon inflammatory yang tidak terkontrol. Contoh-contoh
dari penyakit yang disebabkan oleh respon inflammatory yang berlebihan atau tidak terkontrol
diantaranya kerusakan sendi pada rheumatoid arthritis, kerusakan fungsional dan struktural pada
glomerulonephritis, dan penyakit-penyakit demyelinating pada sistem saraf pusat. Treatment
untuk kelainan-kelainan ini (karena kami kekurangan informasi mengenai agen-agen
penyebabnya) adalah dengan terapi anti-inflammatory. Beberapa dari area-area yang sedang
dalam penyelidikan aktif yang menjadi perhatian pada saat ini adalah identifikasi dan
karakterisasi mediator respon inflammatory akut dan mekanisme dimana keseimbangan
homeostasis atau imunologis dapat dipertahankan.
Mediator-mediator pada respon inflammatory akut dapat dibagi menjadi yang berfungsi dalam
vasopermeabilitas atau kemotaktik (leukotaktik). Faktor-faktor vasopermeabilitas mencapai
efeknya dengan menyebabkan pembukaan endothelial junctions reversibel, kemungkinan
dihasilkan dari aktivasi elemen-elemen kontraktil di dalam sel-sel endotelial. Pembukaan junction
akan membuka aliran solute (elektrolit, air dan protein) sampai junction menutup kembali, pada
saat itu perubahan permeabilitas berkurang. Faktor-faktor permeabilitas termasuk vasoaktif
amina (histamin dari mast sel dan basofil, serotonin dari platelet), peptida, dan lipid. Peptida
dengan aktifitas vasopermeabilitas melibatkan kinin (yang paling banyak dikenal adalah
bradikinin, yang dihasilkan setelah aktivasi plasma kallikrein) dan anafilatoksin (C3a dan C5a)
yang dihasilkan dari sistem komplemen. Pada kulit manusia, C3a dengan konsentrasi sebesar
10–12M dapat meningkatkan permeabilitas.
Salah satu kemajuan terbaru yang paling signifikan dalam bidang imunologi adalah
ditemukannya faktor-faktor lipid-related vasopermeability termasuk beberapa produk
polyunsaturated fatty acids (elcosanoids), dimana arachidonic acid memainkan peranan sangat
vital (Fig. 12-2). Setelah aktivasi leukosit oleh berbagai agen (faktor-faktor kemotaktik, stimuli
fagositik, dan sebagainya), membrane-associated phospholipase diaktifkan. Dari sini
arachidonate melanjutkan metabolisme melalui dua pathway : pathway pertama menghasilkan
seri senyawa leukotriene (LT) yang kemudian menjadi LTA4 hingga LTF4 ; pathway kedua (cyclooxigenase) menghasilkan berbagai metabolit, termasuk prostaglandin (dengan prostacyclins) dan
thromboxane. Faktor yang menentukan produk yang akan dihasilkan adalah tipe sel yang
dipertimbangkan (misalnya sel-sel endotelial menghasilkan sejumlah besar prostacyclin,
sementara hasil utama dari platelet adalah thromboxane).
Fungsi Biologis Metabolit-Metabolit Arachidonic Acid : Leukotrienes, Prostaglandins (Termasuk
Prostacyclins), dan Thromboxanes. Fungsi imun paling penting dari metabolit arachidonic acid
diperlihatkan pada Tabel 12-1. Fungsi biologis leukotrienes termasuk aktifitas kemotaktik yang
berhubungan dengan LTB4 (dan 5-HETE dengan fungsi yang lebih sedikit) dan aktifitas kontraktil
otot halus untuk LTC4, LTD4, dan LTE4. Untuk fungsi biologis yang kedua, aktifitas spasmogenik
hasilnya setara/sama dengan apa yang aslinya disebut sebagai slow-reacting substance of
anaphylaxis (SRS-A). Senyawa leukotriene LTC4–LTE4 juga menyebabkan peningkatan sekresi
mukus dan mempunyai efek terbatas dalam meningkatkan perubahan-perubahan
vasopermeabilitas. Produk-produk cyclo-oxigenase melibatkan aktifitas vasokonstriktif dan
agregasi platelet (thromboxane A2), aktifitas vasodilatasi dan efek antiagregasi pada platelet
(prostacyclin), dan beberapa aktifitas spasmogenik dan vasopermeabilitas (PGE2). Prostaglandin
E2 dan I2 juga mempengaruhi respon fungsional dari berbagai macam leukosit dengan
meningkatkan level intraseluler cyclic AMP. Pada umumnya, keseluruhan sistem metabolit
arachidonate acid melibatkan area kompleks biologis lipid aktif dengan sejumlah aktifitas
proinflammatory.
Faktor-faktor kemotaktik menunjukkan peran yang penting sebagai mediator inflammatory.
Efeknya dalam interaksi dengan reseptor-reseptor permukaan pada leukosit. Interaksi reseptor
kemotaktik menghasilkan kation (Na+, K+, Ca+ +) yang mengalir diantara membran sel,
menyebabkan depolarisasi dan hiperpolarisasi. Pada saat yang sama, terjadi aktivasi
phospholipase, yang menghasilkan stimulasi terhadap metabolisme arachidonate. Tampaknya
bahwa aktivasi pathway lipoxygenase menghasilkan munculnya beberapa lipid kritis yang
memfasilitasi respon sel terhadap sinyal kemotaktik (LTB4). Termasuk di dalam respon leukosit
terhadap stimulus kemotaktik adalah focal area pada membran sel yang berikatan semakin kuat,
kemungkinan menambah tumpuan sel pada permukaan sehingga menimbulkan kejadiankejadian kontraktil yang kemudian menghasilkan gerakan sel. Dengan kondensasi actin filament
disekitar reseptor kemotaktik-ligand complexes, sel membentuk aparatus kontraktil yang akan
memudahkan gerakan sel.
Meskipun respon motility leukosit paling jelas adalah interaksi faktor kemotaktik-reseptor, respon
fungsional dan biokimia lain juga terjadi. Respon-respon tersebut yaitu peningkatan glikolisis,
aktivasi pathway hexose monophosphate, menghasilkan produk-produk oksigen toksik (misal
anion superoksida , H2O2, radikal hidroksil OH, oksigen tunggal 1O2), dan sekresi kandungan
granula lisosomal ke lingkungan eksterior sel (protease, glikosidase, dan sebagainya).
Kemampuan stimulasi kemotaktik leukosit untuk menyebabkan respon multifungsional banyak
menarik perhatian, karena derivat oksigen toksik yang dihasilkan dan protease yang dilepaskan
dapat menimbulkan injury pada jaringan.
Faktor-faktor kemotaktik dibagi menjadi tiga kategori struktural : peptida, protein, dan lipid. Salah
satu jenis peptida yaitu N-formyl oligopeptides yang dihasilkan oleh bakteri termasuk dalam
golongan yang penting. Produk aktivasi langsung dari sistem komplemen dalam C5a adalah
glikopeptida dengan berat molekul 12.500. Reseptor-reseptor untuk C5a ditemukan pada
neutrofil, monosit, dan makropag. Dipercaya bahwa eosinofil dan basofil juga mengandung
reseptor-reseptor tersebut. Sel-sel endotelial juga mengandung reseptor-reseptor untuk C5a,
setelah kontak dengan C5a mampu untuk melekat pada leukosit. Protein-protein dengan aktifitas
kemotaktik untuk leukosit secara struktural tidak diketahui namun ikut serta dalam aktifitas cairan
limpokin. Lipid dengan aktifitas kemotaktik untuk leukosit sudah ada lebih awal termasuk
metabolit-metabolit arachidonate seperti leukotriene (LTB4) dan senyawa HETE. Berdasarkan
data-data tersebut, jelas bahwa faktor-faktor kemotaktik bisa dibangkitkan/dihasilkan dari
beberapa cara : setelah aktivasi sistem komplemen; melalui protease (seperti leukositik elastase
dan cathepsin G) yang akan memecah C5a; melalui stimulasi leukosit yang menghasilkan
pelepasan metabolit-metabolit arachidonate (lipoksigenase); dan melalui aktivasi T-sel. Telah
diketahui juga bahwa limfosit itu sendiri dibawah kontrol kemotaktik, meskipun sifat dari faktorfaktor yang mempengaruhi T-sel dan B-sel masih belum diketahui dengan jelas.
Defek pada daya respon kemotaktik pada leukosit manusia menunjukkan frekuensi yang tidak
terduga. Abnormalitas kemungkinan tidak berhubungan dengan problem klinis atau mungkin
disertai dengan infeksi bakteri rekuren yang dapat mengancam nyawa. Yang mengherankan,
kerentanan terhadap infeksi virus tidak berhubungan dengan defek pada kemotaksis leukosit.
Defek pada manusia bersifat selular dan humoral. Defek selular biasanya didapat (acquired) dan
reversibel, seperti yang ditemukan defek-defek yang berhubungan dengan kelainan-kelainan
metabolik. Perkecualian defek selular yang bersifat genetik, seperti pada sindrom ChédiakHigashi, namun jarang ditemukan. Defek humoral melibatkan sistem kemotaktik yang terjadi
dalam kondisi defisiensi faktor-faktor plasma (seperti pada defisiensi genetik C5a). Selain itu,
level abnormal faktor regulatory pada plasma untuk sistem kemotaktik kemungkinan
berhubungan dengan defek kemotaksis.
Respon inflammatory subakut menurut definisinya adalah fase tertunda dari respon inflammatory
akut yang ditandai dengan akumulasi limfosit dan monosit serta pembentukan jaringan granulasi.
Sebagai contoh, satu sampai tiga hari setelah laserasi kulit, terjadi proliferasi dramatis sel-sel
endotelial dan fibroblas. Secara kolektif, sel-sel ini membentuk hutan lebat berupa kapiler-kapiler
halus yang tumbuh ke dalam area injury (Fig. 12-3 dan 12-4). Kapiler-kapiler meningkatkan
suplay darah ke area injury dan menyediakan nutrisi untuk mempercepat proses metabolik pada
area inflamasi. Fibroblas secara aktif mensintesa protein dan mukopolisakarida, dan fungsi
utamanya adalah deposisi kolagen pada area injury. Pada saat ini sudah diketahui bahwa
proliferasi sel-sel endotelial dipicu oleh faktor-faktor yang dihasilkan dari activated
T-lymphoid cells atau activated macrophages. Faktor-faktor plasma dan platelet juga diketahui
mempunyai aktifitas mempengaruhi pertumbuhan sel-sel endotelial. Faktor-faktor pertumbuhan
fibroblas, yang menyebabkan proliferasi sel serta meningkatkan sintesis kolagen, juga ditemukan
dalam cairan supernatant pada activated T-cells atau makropag. Fibroblas mensekresi
tropokolagen dan pada akhirnya membentuk rantai silang (cross-linked), kekuatan/daya tarik
jaringan secara bertahap meningkat dan mencapai kekuatan maksimum dalam lima hari, pada
saat itu terbentuk jembatan jaringan ikat diatas area yang sebelumnya terbuka. Agar jaringan
sembuh dengan sempurna, harus tersedia nutrisi yang mencukupi setelah pembedahan.
Bersamaan dengan munculnya jaringan granulasi terjadi proliferasi sel-sel epitelial, yang
menyediakan struktur protektif untuk area injury dan terbuka.
Bila respon inflammatory tidak berhasil memperbaiki jaringan injury seperti keadaan semula
sebelum injury (misal kegagalan untuk menghilangkan substansi asing) atau bila perbaikan
jaringan tidak bisa dicapai, maka statusnya akan berlanjut menjadi inflamasi kronis. Inflamasi
kronis ditandai dengan masih ada limfosit, monosit, dan sel-sel plasma. Penjelasan mengapa
kondisi ini berlanjut sampai tahap kronis kemungkinan karena persistensi material asing, baik
dalam keadaan hidup atau mati, yang memobilisasi reaksi imunologis. Sebagai contoh, pada viral
hepatitis, replikasi virus masih persisten/ada di dalam liver. Sel-sel plasma dan limfosit
terakumulasi dalam jumlah besar, kemungkinan untuk membangun pertahanan imunologis pada
area lokal dalam bentuk specific antibody-synthesizing B-cells atau T-lymphocytes. Persistensi
sel-sel inflammatory ini dapat menyebabkan kerusakan fungsional pada jaringan, dapat
disebabkan oleh aksi langsung mediator yang diuraikan oleh sel-sel limfoid, misalnya limfotoksin,
atau karena deposisi terus-menerus kolagen oleh fibroblas. Bila hal ini terjadi di dalam liver, akan
terbentuk jaringan parut fibrous padat yang dapat menyebabkan cirrhosis. Pada jantung, akan
menyebabkan jaringan parut fibrous yang menggantikan otot.
Perlu ditekankan bahwa meskipun respon inflammatory terkait akan mengikuti perkembangan
kejadian-kejadian yang telah disebutkan sebelumnya, hal ini tidak selalu menjadi masalah. Pada
pneumococcal pneumonia, respon inflammatory akut berupa eksudat massif neutrofil dan deposit
fibrin di seluruh lobus paru (lobar pneumonia). Bila terapi memberikan hasil yang
menguntungkan, terutama dengan terapi antibiotik, seluruh eksudat hilang secara dramatis
dalam 48 jam. Dalam lingkungan yang tidak biasa, respon inflammatory berlanjut ke tahap
subakut, dan individual berada dalam bahaya bila eksudat diinvasi oleh jaringan granulasi. Dalam
kasus ini, akibat yang ditimbulkan berupa fibrosis masif disertai kehilangan fungsional area yang
luas pada paru. Pada situasi lain, seperti pada penolakan terhadap solid homograf, sel-sel
inflammatory kronis (limfoid) ikut dalam reaksi inflammatory. Hanya sedikit sekali yang diketahui
mengenai faktor-faktor yang menentukan dimulainya respon inflammatory atau bagaimana cara
untuk mengatur atau mengontrolnya. Kurangnya pemahaman dalam bidang ini merupakan salah
satu kekurangan dalam bidang ilmu kedokteran. Keberhasilan perawatan sejumlah besar
penyakit masih menunggu akumulasi pengetahuan dalam bidang ini.
Inflamasi kronis tipe khusus adalah inflamasi granulomatosa. Kondisi ini pertama kali ditemukan
pada tuberkulosis, dimana pada beberapa pasien tertentu sekarat karena penyakit dan
ditemukan granula putih (granuloma) yang ganjil/khas menyebar ke seluruh tubuh. Benda-benda
kecil tersebut kemudian diketahui sebagai tuberkel, yang mempunyai karakteristik akumulasi
spheric fagosit besar atau sel-sel histiositik (yang sayangnya diistilahkan dengan sel-sel
epitelioid). Gambaran paling menyolok dari granuloma adalah pembentukan sel-sel giant (Fig.
12-5) yang mengandung zona periferal limfosit, dengan atau tanpa sel-sel plasma. Inflamasi
granulomatosa sekarang ini diketahui terjadi pada status penyakit lain dimana terdapat
persistensi benda-benda asing, baik pada infeksi (misal infeksi fungal) atau noninfeksi (misal
silica). Secara umum, inflamasi granulomatosa adalah hasil dari respon inflammatory yang tidak
diinginkan, karena seperti pada sifilis, tuberkulosis atau infeksi helminthic, kemungkinan terjadi
kerusakan yang luas pada jaringan disertai dengan kavitasi (nekrosis) atau scarring (fibrosis).
Sekarang telah diketahui bahwa inflamasi granulomatosa memperlihatkan mekanisme imunologis
atau non-imunologis. Studi-studi pertama yang dilakukan oleh Warren menunjukkan bahwa pada
schistosomiasis eksperimental, daya respon imunologik lengkap merupakan prasyarat untuk
pembentukan granuloma. Pada penyakit tersebut, berbagai tindakan imunosupresif dapat
menghalangi pembentukan granuloma dan mencegah extensive pulmonary scarring
(pembentukan jaringan parut yang luas pada paru). Di sisi lain, Warren juga menunjukkan bahwa
sistem lain yang dapat menyebabkan pembentukan granuloma, yang dipicu oleh injeksi talc
(trisilicate), tidak terpengaruh oleh terapi imunosupresif namun secara signifikan dapat
diperlambat oleh obat-obat yang mengganggu dengan cara aktivasi kinin-generating (kallikrein)
system.
Dengan demikian inflamasi granulomatosa diakibatkan oleh dua mekanisme terpisah :
(1) pathway yang ditentukan secara imunologis (seperti pada inflamasi granulomatosa
tuberkulosis, dengan kerusakan jaringan luas yang kemungkinan disebabkan oleh pelepasan
faktor-faktor dari limfosit, dan
(2) pathway non-imunologis yang membutuhkan sistem pembentukan kinin lengkap
Injury jaringan yang disebabkan oleh reaksi imunologis asal mulanya dari respon inflammatory,
yang dimulai dengan reaksi terhadap antigen dalam jaringan. Urutan kejadian dimulai oleh
mediator seperti faktor leukotaktik yang dihasilkan dari sistem komplemen atau oleh faktor yang
diproduksi bakteri. Begitu leukosit datang/muncul dari aliran darah, proses inflammatory dimulai
dan jaringan akan recover/pulih kembali jika dapat dibentuk pertahanan leukosit yang adekuat.
Sebaliknya, bila leukosit yang datang terlalu banyak, atau bila mekanisme kontrol gagal untuk
berfungsi sebagaimana mestinya, jaringan akan beresiko mengalami kerusakan. Bila faktor-faktor
yang menentukan perbedaan-perbedaan ini dapat dipahami dengan baik, maka tindakan
terapeutik akan lebih efektif diaplikasikan untuk pencegahan penyimpangan/kelainan-kelainan
tersebut daripada treatment terhadap simptom-simptom dari manifestasi penyakit.
Mekanisme Fisiologi Inflamasi
Inflamasi adalah respon kompleks dari tubuh terhadap suatu yang tidak mengenakkan. Inflamasi
juga dapat didefinisikan sebagai respon protektif terhadap luka jaringan yang disebabkan oleh
trauma fisik, termal, zat kimia yang merusak, atau zat-zat mikrobiologik (penyebab infeksi).
Mekanisme terjadinya Inflamasi dapat dibagi menjadi 2 fase yaitu:
1. Perubahan vaskular
Respon vaskular pada tempat terjadinya cedera merupakan suatu yang mendasar untuk reaksi
inflamasi akut. Perubahan ini meliputi perubahan aliran darah dan permeabilitas pembuluh
darah. Perubahan aliran darah karena terjadi dilatasi arteri lokal sehingga terjadi
pertambahan aliran darah (hypermia) yang disusul dengan perlambatan aliran darah. Akibatnya
bagian tersebut menjadi merah dan panas. Sel darah putih akan berkumpul di sepanjang dinding
pembuluh darah dengan cara menempel. Dinding pembuluh menjadi longgar susunannya
sehingga memungkinkan sel darah putih keluar melalui dinding pembuluh. Sel darah putih
bertindak sebagai sistem pertahanan untuk menghadapi serangan benda-benda asing.
2. Pembentukan cairan inflamasi
Peningkatan permeabilitas pembuluh darah disertai dengan keluarnya sel darah putih dan protein
plasma ke dalam jaringan disebut eksudasi. Cairan inilah yang menjadi dasar terjadinya
pembengkakan. Pembengkakan menyebabkan terjadinya tegangan dan tekanan pada sel
syaraf sehingga menimbulkan rasa sakit (Mansjoer, 1999).
Penyebab inflamasi dapat disebabkan oleh mekanik (tusukan), Kimiawi (histamin menyebabkan
alerti, asam lambung berlebih bisa menyebabkan iritasi), Termal (suhu), dan Mikroba (infeksi
Penyakit.
Tanda-tanda inflamasi (peradangan) adalah
1. Rubor (kemerahan) terjadi karena banyak darah mengalir ke dalam mikrosomal lokal pada
tempat peradangan.
2. Kalor (panas) dikarenakan lebih banyak darah yang disalurkan pada tempat peradangan
dari pada yang disalurkan ke daerah normal.
3. Dolor (Nyeri) dikarenakan pembengkakan jaringan mengakibatkan peningkatan tekanan
lokal dan juga karena ada pengeluaran zat histamin dan zat kimia bioaktif lainnya.
4. Tumor (pembengkakan) pengeluaran ciran-cairan ke jaringan interstisial.
5. Functio laesa (perubahan fungsi) adalah terganggunya fungsi organ tubuh
Obat anti inflamasi dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok utama, yaitu:
a. Glukokortikoid (Golongan Steroidal) yaitu anti inflamasi steroid. Anti Inflamsi steroid memiliki
efek pada konsentrasi, distribusi dan fungsi leukosit perifer serta penghambatan aktivitas
fosfolipase. contohnya gologan Prednisolon
b. NSAIDs (Non Steroidal Anti Inflammatory Drugs) juga dikenal dengan AINS (Anti Inflamasi Non
Steroid) NSAIDs bekerja dengan menghambat enzim siklooksigenase tetapi tidak enzim
lipoksigenase. Contoh Obat AntiInflasmasi golongan NSAIDs adalah Turunan Asam Propionat
(Ibuprofen, Naproxen), Turunan Asam Asetat (Indomethacin), Turunan Asam Enolat (Piroxicam).
Obat AntiInflamasi pada umumnya bekerja pada Enzim yang membantu terjadinya inflamasi,
Namun Pada umumnya Obat AntiInflamasi bekerja pada Enzim Siklooksigenase (COX) baik
COX1 maupun COX2, Seperti terlihat pada gambar dibawah ini.
Download