BAB II - Litbang Pertanian

advertisement
BAB II
PENGENDALIAN DAN PEMULIHAN
DEGRADASI EKOSISTEM PERTANIAN
PENGENDALIAN DAN PEMULIHAN
DEGRADASI EKOSISTEM PERTANIAN
Sahat M. Pasaribu1, Kedi Suradisastra1,
Bambang Sayaka1 dan Ai Dariah2
1
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian
2
Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian
Kerusakan lahan bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi kualitas sumber daya
alam dunia juga cenderung semakin menurun. Di Afrika, lahan pertanian dan padang
penggembalaan tercatat semakin rusak. Di Asia, justru kehutanannya yang semakin
parah. Apa yang akan kita lakukan terhadap kerusakan lahan di Indonesia? Kita mulai
dari ekosistem yang ada di Indonesia, seperti lahan pertanian, lahan mangrove, padang
penggembalaan, lahan gambut, daerah aliran sungai, dan lain-lain. Degradasi yang terjadi
secara fungsional sebagai komponen yang mengakibatkan kerusakan menyeluruh pada
lahan-lahan tersebut. Apa akar permasalahannya, natural resource driver yang membuat tren
degradasi lahan yang ada. Drivers apa yang bisa mendorong pemulihan/perbaikan sumber
daya alam? Apakah tersedia inisiatif komunitas (modal sosial yang dapat diidentifikasi
sebagai drivers atau kepemimpinan/good governance), inisiatif teknologi, inisiatif kebijakan
dan yang lainnya? Dalam konteks ini, perlu dibuat gambaran arah akselerasi perbaikan
lahan yang rusak untuk mempertahankan atau meningkatkan kualitas sumber daya alam
dan sumber daya pertanian di masa depan.
Unsur pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya lahan pertanian sangat erat kaitannya
dengan kewenangan kelembagaan yang melaksanakannya. Komitmen birokrasi menurut
tugas pokok dan fungsi lembaganya tidak selalu diikuti oleh koordinasi program dan
kegiatan dengan lembaga terkait, baik di tingkat pusat maupun di daerah. Dapat dikatakan
bahwa sekat-sekat birokrasi tetap merupakan penghalang dalam pendekatan pengendalian
degradasi ekosistem pertanian walaupun kesadaran mengenai perlunya keterpaduan antar
lembaga dalam pengelolaan sumber daya alam semakin tinggi dan menjadi komitmen
politik pembangunan nasional. Namun, dalam pelaksanaannya, komitmen politik tidak
secara cepat dapat dilaksanakan dalam jangka pendek karena disadari atau tidak komitmen
politik sering tidak sejalan dengan kepentingan birokrasi. Dalam ruang lingkup yang lebih
luas, sekat-sekat birokrasi bahkan telah memunculkan kerusakan sumber daya alam karena
kebijakan yang sifatnya permisif telah menyebabkan terjadinya konversi lahan pertanian
dan hutan yang pada gilirannya turut menyumbang terjadinya degradasi ekosistem.
Oleh karena lahan dan air adalah elemen-elemen ekosistem, maka hubungan interaktif
antara kedua elemen tersebut merupakan determinan utama jasa ekosistem. Jasa ekosistem
merefleksikan fungsi yang dapat dimanfaatkan dari suatu ekosistem. Millennium Ecosystem
Assessment (MEA) mengklasifikasikan jasa ekosistem kedalam empat kategori, yaitu jasa
penyediaan (provisioning service), jasa pengaturan (regulatory service), jasa budaya (cultural
service) dan jasa pendukung (supporting service). Jasa penyediaan adalah produk-produk
PENGENDALIAN DAN PEMULIHAN DEGRADASI EKOSISTEM PERTANIAN
yang dihasilkan oleh ekosistem, misalnya pangan, air segar, kayu bakar, serat seratan, dan
bahan biokimia. Jasa pengaturan adalah keuntungan atau hal-hal positif yang diperoleh
melalui proses pengaturan yang terjadi dalam ekosistem, misalnya perubahan iklim mikro,
pengendalian hama penyakit, perbaikan pengelolaan air, purifikasi air, konservasi air,
dan lain-lain. Jasa budaya adalah produk non material yang terjadi pada suatu ekosistem.
Contohnya adalah nilai-nilai budaya, keagamaan, rekreasi, edukasi, estetika, dan warisan
budaya seperti cagar budaya. Jasa pendukung adalah jasa yang mendukung berlangsungnya
ketiga jasa ekosistem di atas seperti dukungan terhadap berlangsungnya siklus hara,
proses pembentukan tanah, dan produk primer. Keempat jasa ekosistem tersebut terkait
satu dengan lainnya dan dapat berfungsi penuh melalui keseimbangan dan keselarasan
pengelolaan lahan dan air. Konversi lahan yang tidak dirancang dengan baik, termasuk
hutan dan lahan pertanian, dapat mendistorsi jasa-jasa ekosistem ini.
Efisiensi, keseimbangan, dan kelestarian lingkungan (efficiency, equity, dan environmental
sustainability) merupakan ciri-ciri yang berlaku pada pengelolaan sumber daya lahan.
Dengan semakin meningkatnya pertumbuhan penduduk, maka ketersediaan lahan per
kapita menjadi semakin menurun. Di sini, prinsip efisiensi berlaku dalam pemanfaatan
lahan. Demikian pula dengan akses terhadap lahan yang sulit dipecahkan dan diduga lebih
kompleks dibandingkan dengan persoalan akses terhadap air. Dengan semakin intensifnya
pemanfaatan lahan untuk berbagai keperluan, maka dimensi keberlanjutan lingkungan
sering terabaikan. Ketiga ciri tersebut sekaligus merefleksikan multifungsi pertanian yang
perlu dibangun berdasarkan prinsip keseimbangan dan keselerasan dalam suatu wilayah
pertanian. Dengan mengetahui potensi ekosistem pertanian yang dimiliki dan memahami
persoalan terkait dengan degradasi sumber daya lahan dan air, maka suatu proses pemulihan
kerusakan sumber daya lahan dapat dilakukan melalui berbagai upaya teknis dan sosial
ekonomi yang terbangun karena harmonisasi kelembagaan yang melaksanakannya.
Dengan latar belakang diatas, maka terdapat tiga aspek yang menjadi tantangan
keberlanjutan sumber daya lahan dan air di masa depan, yakni (1) degradasi lahan; (2)
perubahan iklim; dan (3) kelangkaan sumber daya lahan dan air.
Ekosistem Lahan Pertanian
Degradasi Lahan pada Berbagai Ekosistem
Lahan Sawah
Degradasi lahan merupakan proses kerusakan tanah dan penurunan produktivitas
karena tindakan manusia atau penyebab lain yang ditandai, antara lain, oleh menurunnya
kadar C-organik dan unsur-unsur hara tanah serta mendangkalnya bidang olah tanah.
Aplikasi pemupukan kimia secara tidak berimbang adalah penyebab utama terjadinya
kerusakan tanah.
10
PENGENDALIAN DAN PEMULIHAN DEGRADASI EKOSISTEM PERTANIAN
Lahan sawah merupakan ekosistem yang relatif stabil, namun saat ini kondisi
ekosistem tersebut cenderung mengalami penurunan kualitas yang cukup signifikan.
Keadaan ini dapat dilihat dari adanya gejala leveling-off (meningkatnya penggunaan pupuk
tanpa diimbangi oleh peningkatan hasil gabah, rendahnya efisiensi pemupukan, terjadinya
kerusakan fisik dengan gejala tanah cepat retak saat kemarau dan jenuh air/banjir saat
hujan).
Lahan Kering
Lahan kering memberikan sumbangan yang cukup signifikan dalam penyediaan bahan
pangan. Namun belakangan ini, degradasi lahan kering semakin luas, khususnya karena
alih fungsi lahan dan terjadinya lahan kritis. Penyebab degradasi lahan di lahan pertanian
tanpa kegiatan konservasi disebabkan oleh erosi, eksploitasi, pencemaran (penggunaan
bahan kimia), dan kegiatan penambangan.
Kurang berhasilnya program rehabilitasi lahan antara lain disebabkan oleh keterbatasan
pengkajian pada aspek teknologi dan sangat kurang pada aspek kebijakan. Disamping itu,
pelestarian sumber daya lahan juga terabaikan dan kepemilikan lahan dan fragmentasi
lahan patut dicatat sebagai bagian yang menghambat pelaksanaan program rehabilitasi
lahan kering. Perbaikan lahan kering perlu dilakukan untuk menanggulangi erosi dan
memelihara kualitas tanah dengan teknik konservasi, rehabilitasi, konservasi air dan irigasi
suplemen.
Degradasi lahan kering terus meningkat dari tahun ke tahun (baik dari segi luasan
maupun tingkat degradasinya). Alih fungsi lahan menyebabkan pertanian terdesak ke
lahan marginal. Penyebab degradasi kualitas lahan kering saat ini bukan hanya erosi dan
ekploitasi lahan yang tidak terkendali, namun juga disebabkan oleh penggunaan senyawa
TOP atau pencemaran limbah industri di beberapa areal pertanian yang berdekatan dengan
kegiatan industri.
Lahan Gambut
Secara alamiah ekosistem gambut merupakan ekosistem yang stabil, bahkan
ketebalannya bisa bertambah, namun bila kondisi alaminya terganggu, gambut sangat
mudah terdegradasi. Oleh karena itu, gambut dapat digolongkan sebagai ekosistem yang
rapuh. Kecenderungan perluasan pemanfaatan lahan gambut terjadi secara signifikan
di beberapa provinsi yang memiliki areal gambut luas. Pemanfaatan lahan gambut ini
harus dilakukan dengan cermat berdasarkan hasil kajian karakterisasi dan evaluasi lahan
yang mendalam. Lahan gambut yang boleh dikembangkan untuk pertanian hanya lahan
yang subur dengan kedalaman <3 m, tidak memiliki substratum pasir kuarsa dan tingkat
kematangan fibrik.
Emisi GRK dan pengaruh negatif dari pengelolaan gambut yang tidak berkelanjutan
hanya dapat dikurangi dengan kebijakan pengembangan lahan gambut yang didasarkan
11
PENGENDALIAN DAN PEMULIHAN DEGRADASI EKOSISTEM PERTANIAN
atas prinsip: (a) konservasi hutan gambut yang masih tersisa, (b) restorasi sistem hidrologi
hutan rawa gambut terdegradasi dan tutupan vegetasi lainnya, (c) perbaikan sistem
pengelolaan air pada daerah yang sudah dibuka (umumnya untuk perkebunan).
Hutan
Deforestasi dan degradasi hutan yang terjadi di Indonesia mendorong berkembangnya
isu Indonesia sebagai penyumbang emisi karbon yang cukup signifikan. Sampai saat ini,
Indonesia masih mengalami deforestasi dan degradasi hutan yang menyebabkan penurunan
penutupan vegetasi hutan. Pada periode 1985-1997, laju deforestasi dan degradasi mencapai
1,8 juta ha/tahun. Pada periode 1997-2000 terjadi peningkatan laju deforestasi yang cukup
signifikan, yaitu mencapai rata-rata sebesar 2,8 juta ha/tahun, namun menurun kembali
antara tahun 2000-2005 menjadi 1,08 juta ha.
Penyebab utama deforestasi adalah adanya konversi kawasan hutan secara permanen
untuk pertanian, perkebunan, pemukiman, dan keperluan lain. Meningkatnya jumlah
penduduk dan kebutuhannya mempercepat terjadinya konversi diatas. Penggunaan
kawasan hutan di luar sektor kehutanan melalui pinjam pakai kawasan hutan dan
pemanenan hasil hutan tidak memerhatikan prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari.
Sementara itu, meningkatnya degradasi hutan di Indonesia antara lain disebabkan oleh
kebakaran dan perambahan hutan, dan pembalakan liar (illegal logging) yang didorong
oleh meningkatnya permintaan kayu dan hasil hutan lainnya.
Mangrove
Kerusakan ekosistem hutan mangrove terutama disebabkan oleh semakin meningkatnya
kebutuhan masyarakat terhadap lahan bernilai ekonomi, sehingga membuka wilayah
pantai/sungai untuk usaha tambak ikan. Upaya yang dilakukan untuk melestarikan hutan
mangrove melalui kegiatan rehabilitasi lahan harus dimulai dengan menyediakan bibit
yang baik.
Luas hutan mangrove di Indonesia tercatat sekitar 8,6 juta ha (3,8 juta ha terdapat di
dalam kawasan hutan dan 4,8 juta ha di luar kawasan hutan). Kerusakan hutan mangrove
di dalam kawasan hutan sekitar 1,7 juta ha (44,7 persen) dan di luar kawasan hutan 4,2
juta ha (87,5 persen). Antara tahun 1982-1993 telah terjadi pengurangan hutan mangrove
seluas 513.670 ha atau 46,8 ha per tahun untuk pemanfaatan lain.
Degradasi ekologi mangrove bukan hanya menyebabkan hilangnya nilai ekonomi
hutan mangrove (misalnya didapatnya hasil fauna laut yang bersumber ekonomi masyarakat
pantai), namun juga jasa lingkungan, diantaranya stok karbon pada tegakan (above ground
C-stock), penghasil nutrisi bagi perairan pantai, dan habitat untuk pelestarian satwa liar.
Padang Penggembalaan
Ekosistem padang penggembalaan ternyata juga mengalami penurunan, baik
kuantitas (luas areal) maupun kualitas, akibat perubahan alih fungsi lahan. Kerusakan
12
PENGENDALIAN DAN PEMULIHAN DEGRADASI EKOSISTEM PERTANIAN
padang penggembalaan ditunjukkan oleh kerusakan vegetasi akibat gulma yang tidak
terkendali atau rendahnya respons tanah terhadap pemupukan. Untuk meningkatkan
daya dukung pengembangan peternakan yang berkelanjutan, maka perlu dilakukan
perluasan lahan penggembalaan baik melalui rehabilitasi lahan maupun pembangunan
lahan penggembalaan pada areal yang belum termanfaatkan.
Faktor Penyebab Degradasi
Paling tidak ada tiga faktor yang saling berinteraksi satu dengan lainnya yang
mempengaruhi proses degradasi yaitu peningkatan jumlah penduduk, konspirasi pengusaha
dan birokrasi, dan perubahan kebijakan yang terlalu menekankan pertumbuhan ekonomi
yang kesemuanya menyebabkan pergeseran penggunaan lahan yang pada gilirannya
menyebabkan degradasi fungsional suatu wilayah seperti DAS dan eksploitasi yang
berlebihan yang menyebabkan berkurangnya kualitas lahan untuk mendukung produksi.
Eksploitasi yang Berlebihan
Faktor-faktor penyebab degradasi lahan cukup beragam, meliputi degradasi sifat
fisik, kimia, dan/atau biologi tanah. Degradasi lahan yang termasuk ke dalam katagori
kemunduran sifat fisik tanah, diantaranya adalah yang disebabkan oleh tumbukan butirbutir hujan atau erosi, pemadatan tanah akibat penggunaan alat-alat dan mesin pertanian
atau proses eluviasi, banjir dan genangan. Sedangkan degradasi lahan yang disebabkan
oleh kemunduran sifat kimia, diantaranya yang disebabkan oleh proses penggaraman
(salinization), pemasaman (acidification), dan pencemaran (pollution) bahan agrokimia,
serta pengurasan unsur hara tanaman.
Degradasi lahan yang terjadi di Indonesia umumnya oleh erosi yang dipercepat
(accelerated) oleh aktivitas manusia, sehingga erosi yang terjadi mengakibatkan menurunnya
kualitas sifat fisik, kimia, dan biologi tanah, berkurangnya hasil tanaman, serta hilangnya
bahan organik dan unsur-unsur hara tanah karena hanyut terbawa oleh aliran permukaan.
Erosi hujan tersebut menyebabkan hilangnya tanah lapisan atas yang relatif lebih subur
dibandingkan dengan tanah lapisan di bawahnya. Apabila terjadi hujan, tanah lapisan atas
akan kehilangan bahan organik dan unsur hara tanah dalam jumlah besar bersama-sama
dengan tanah yang tererosi dan hanyut terbawa oleh aliran permukaan. Kehilangan hara
dan bahan organik tanah yang besar juga dapat terjadi pada areal hutan yang baru dibuka
untuk pertanian, perkebunan, pemukiman/transmigrasi.
Selain terjadi kehilangan bahan organik dan unsur hara tanah, erosi yang disebabkan
oleh hujan dapat menyebabkan memadatnya permukaan tanah dan menurunnya kapasitas
infiltrasi tanah, sehingga volume aliran permukaan meningkat, dan berdampak pada
meningkatnya debit sungai dan banjir. Dengan demikian kerusakan tanah pertanian
yang disebabkan oleh erosi hujan, dan mengakibatkan menurunnya kualitas tanah dan
13
PENGENDALIAN DAN PEMULIHAN DEGRADASI EKOSISTEM PERTANIAN
produktivitasnya, tidak sama tergantung pada sifat-sifat tanah, intensitas erosi, dan aktivitas
manusia dalam mengelola lahannya. Sudirman dan Vadari (2000) memperlihatkan
perbedaan sifat-sifat tanah, seperti ketebalan solum, ketebalan tanah lapisan atas (topsoil),
kandungan C-organik tanah dan kepadatan tanah, dapat digunakan sebagai indikator
tingkat kerusakan tanah, yang pada akhirnya sifat-sifat tanah tersebut dapat mempengaruhi
produksi/hasil tanaman.
Perubahan Kebijakan
Selama tiga dasawarsa pada masa orde baru, “Trilogi Pembangunan” (pertumbuhan,
stabilitas, dan pemerataan berkeadilan) dirumuskan dan dilaksanakan sebagai kebijakan
pembangunan yang pro-rakyat miskin. Meskipun berhasil menurunkan tingkat kemiskinan
dan meningkatkan pendapatan perkapita hingga 5%/tahun, namun kelemahan pelaksanaan
kebijakan ini, yakni sangat kurangnya tata-pemerintahan dan etika bisnis yang baik
(good governance and good private governance) telah mengakibatkan rapuhnya sendi-sendi
pembangunan ekonomi nasional pada saat itu.
Dalam era Reformasi setelah tahun 1998, kebijakan pembangunan tidak lagi
didasarkan atas “Trilogi Pembangunan”, tetapi lebih menekankan upaya pertumbuhan
dan stabilitas dengan orientasi pada ekonomi liberal yang tidak sesuai dengan UUD
1945 Pasal 33, yakni sistem ekonomi kerakyatan. Tingkat kemiskinan tahun 2009
ternyata masih lebih tinggi dari tingkat kemiskinan tahun 1996, sebelum krisis ekonomi.
Ketimpangan distribusi pendapatan semakin tinggi antar golongan masyarakat dan antar
wilayah. Di sektor pertanian, jumlah petani miskin bertambah. Dalam era ini pula
perampasan/penguasaan lahan masyarakat petani lokal (land grabbing) makin marak untuk
perluasan perkebunan kelapa sawit dan pengembangan pola perkebunan tanaman pangan
(food estate) yang difasilitasi pemerintah dengan mengeluarkan berbagai payung hukum,
termasuk PP No. 18 Tahun 2010 tentang Sistem Budidaya Tanaman Pangan. Peraturan
ini mengatur alokasi lahan yang akan dikembangkan untuk food estate bagi perusahaan
tanpa menjelaskan bagaimana akses petani lokal dan masyarakat miskin pedesaan pada
pengembangan lahan baru. Food estate yang dikembangkan oleh perusahaan swasta nasional
bekerjasama dengan swasta asing akan menumbuhkan enclave kemakmuran pihak lain di
lingkungan masyarakat miskin.
Untuk mengimbangi ketidakadilan di sektor pertanian, seharusnya reforma agraria
segera dilakukan, sebagaimana disebutkan dalam TAP MPR No. IX Tahun 2001.
Konsistensi berbagai peraturan perundang-undangan yang baru (UU No. 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan, UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, UU No. 25 Tahun
2007 tentang Penanaman Modal, dan UU No. 41 Tahun 2009 tentang Lahan Pertanian
Pangan Berkelanjutan) dengan UUPA 1960 dan TAP MPR IX Tahun 2001 perlu dikaji
lebih mendalam dan diuji kesesuaiannya dengan UUD 1945.
14
PENGENDALIAN DAN PEMULIHAN DEGRADASI EKOSISTEM PERTANIAN
Upaya Pemulihan dan Pelestarian
Secara teknis diperlukan upaya upaya pemulihan kesuburan tanah, konservasi dan
rehabilitasi lahan namun diperlukan komitmen politik dan kebijakan yang mendukung
termasuk di dalamnya harmonisasi kelembagaan peningkatan kompetensi, penguatan
ketangguhan sosial, penggalakan ekonomi hijau dan perbaikan tata kelola,
Pemulihan Kesuburan, Konservasi dan Rehabilitasi
Upaya penanggulangan lahan kritis dikategorikan kedalam 3 (tiga) keadaan
cakupan, yaitu usaha penanggulangan lahan kritis yang bersifat nasional, bersifat wilayah
dan bersifat lokal. Integrasi satuan sistem daerah aliran sungai (DAS) dan pendekatan
wilayah administrasi (kabupaten/kota) merupakan paradigma baru dalam membangun
sistem monitoring dan evaluasi pengelolaan DAS. Untuk mempercepat identifikasi dan
karakterisasi lahan kritis dapat digunakan teknologi penginderaan jauh (remote sensing)
yang mampu mengetahui luas dan penyebaran lahan kritis secara seri (temporal).
Pemulihan kesuburan tanah dapat dilakukan dengan pemetaan tanah yang terbagi
dalam tiga kategori degradasi, yakni rendah, sedang, dan tinggi, kemudian dilakukan
remediasi dengan berbagai teknik (termasuk mikroba). Perbaikan kesuburan tanah dapat
dilakukan, antara lain pemupukan dengan kuantitas tertentu, pada masing-masing tanah
yang terdegradasi menurut klasifikasi kerusakannya. Penggunaan pupuk organik juga
diusulkan untuk mengefisienkan penggunaan pupuk anorganik.
Usaha konservasi dan rehabilitasi lahan perlu terus digalakkan. Belajar dari
kekurangberhasilan program-program sebelumnya, maka selain aspek teknis, aspek sosial,
ekonomi dan budaya petani perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan program konservasi
dan rehabilitasi lahan.
Selain data potensi lahan, data aktual ketersediaan lahan untuk pertanian termasuk
perlu terus diperbaharui. Pengembangan lahan kering tetap diprioritaskan di luar kawasan
hutan, namun tidak menutup kemungkinan dapat memanfaatkan lahan hutan yang
terlantar untuk pengembangan pertanian yang aman dari aspek lingkungan (berbasis
tanaman tahunan). Pemanfaatan hutan terlantar untuk pertanian tanaman tahunan akan
memecahkan dua permasalahan sekaligus, yaitu peningkatan ketersediaan lahan untuk
pertanian (yang cenderung semakin menurun) dan terlaksananya rehabilitasi lahan hutan
terlantar.
Sesuai komitmen untuk mengurangi emisi GRK sebesar 26% tahun 2020 mendatang,
maka perlu diambil langkah-langkah kongkrit pemanfaatan gambut untuk pertanian
dengan berbagai kebijakan yang mengarah pada pengurangan emisi untuk mencegah
kerusakan lahan dan pencemaran lingkungan global, antara lain: (a) untuk menghindari
ketidakpastian data dan memperkuat posisi tawar dalam mekanisme REDD, maka lahan
gambut perlu dipetakan secara menyeluruh dan rinci, (b) perlu dibuat payung hukum
15
PENGENDALIAN DAN PEMULIHAN DEGRADASI EKOSISTEM PERTANIAN
yang jelas agar ada kepastian dalam pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian, disertai
proteksi hutan lindung yang ketat dengan berpedoman pada azas manfaat secara ekonomi
dan aspek kelestarian lingkungan, (c) perlu digalakkan program rehabilitasi lahan, saluran,
pintu air, dan penyumbatan kanal, dan (4) memberlakukan kebijakan subsidi pupuk dan
amelioran yang mampu menekan emisi GRK sebagai imbalan untuk melakukan zero
burning oleh petani.
Rehabilitasi hutan mangrove dibutuhkan untuk melestarikan alam pantai atau sungai
yang mampu memberikan nilai ekonomi dan nilai lingkungan. Hutan mangrove, oleh
karena itu juga sebagai sumber pendapatan masyarakat pantai dari satwa liar dan dari
berbagai hasil yang diperoleh dari kegiatan silvifishery. Untuk melestarikan fungsi ekosistem
mangrove telah dilakukan upaya rehabilitasi daerah pesisir pantai sejak tahun 1970an,
namun keberhasilannya sangat rendah. Sejak tahun 1999 hingga 2003 rehabilitasi baru
terealisasi seluas 7.890 ha atau sekitar 1.578 ha/tahun. Rendahnya daya tumbuh mangrove,
selain akibat gangguan hama, gangguan fisik pantai, juga karena gangguan manusia. Oleh
karena itu, salah satu unsur yang tidak boleh diabaikan adalah partisipasi masyarakat dalam
rehabilitasi yang dapat dirancang dalam model silvifishery.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mempertahankan dan memulihkan ekosistem
hutan, akan tetapi upaya tersebut belum cukup. Data menunjukkan bahwa laju degradasi
lahan dan hutan yang masih relatif lebuh tinggi yakni sekitar 2,8 juta ha/tahun, sedangkan
rehabilitasinya hanya 400.000-500.000 ha/tahun dengan tingkat keberhasilan sekitar 50%.
Meningkatnya kesadaran global sehubungan dengan upaya mengatasi perubahan iklim dan
peran hutan yang penting dalam mitigasi perubahan iklim, dapat dijadikan momentum
perbaikan menuju pengelolaan hutan lestari. Berbagai mekanisme internasional seperti
AR CDM dan REDD dapat dimanfaatkan untuk kelestarian hutan.
Peningkatan Kapasitas Menanggulangi Degradasi
Dengan perubahan paradigma pembangunan menjadi desentralisasi dan otonomi
daerah diikuti oleh reformasi dan demokratisasi, perlu dilakukan perubahan paradigma
pembangunan dengan lebih fokus pada pemberdayaan kelembagaan pedesaan.
Pembangunan pada dasarnya diawali dengan membangun keterampilan dan pengetahuan
sumber daya manusia melalui pemberdayaan berbasis masyarakat, seperti metode Sekolah
Lapangan. Metode ini membangun kembali kebersamaan, saling mempercayai dalam
demokrasi. Sekolah Lapangan Petani adalah wadah dimana petani saling belajar bersama
fasilitator yang bukan pengajar; petani tidak diajari, sebagaimana halnya pada sekolah
umum, tetapi difasilitasi.
Masyarakat secara aktif menyusun perencanaan setiap langkah yang akan dilakukan
yang berhubungan dengan upaya pembangunan ekonomi, sosial, dan budaya. Sebenarnya
metode ini bukanlah hal yang baru, karena kearifan lokal masyarakat sudah menerapkannya.
Melalui pemberdayaan ditanamkan kembali kepercayaan bahwa yang melaksanakan
16
PENGENDALIAN DAN PEMULIHAN DEGRADASI EKOSISTEM PERTANIAN
pembangunan adalah masyarakat, di mana peran pemerintah adalah menyediakan
pelayanan, fasilitasi, informasi, menyusun aturan main, memonitor, dan mengawasi
pelaksanaan sesuai dengan aturan main yang disepakati bersama. Dalam kerangka
memfasilitasi pembangunan, pemerintah membangun prasarana publik dengan partisipasi
masyarakat mulai dari perencanaan dan pelaksanaannya.
Perubahan lingkungan strategis yang dihadapi pembangunan pertanian di daerah
pada masa kini dan masa mendatang berupa: desentralisasi manajemen pembangunan,
otonomi daerah, tuntutan pelaksanaan good governance, globalisasi, meningkatnya biaya
produksi sebagai dampak meningkatnya harga gas dan minyak bumi, maka diperlukan
adanya terobosan baru dalam pembangunan pertanian yang difokuskan pada integrasi
sinergis antara sumber daya manusia (modal SDM) bersama kelembagaannya (modal sosial),
sumber daya alam (modal natural), dengan dukungan teknologi maju ramah lingkungan
berbasis agro-ekologi (modal teknologi) dan kelembagaan keuangan dan pembiayaan (modal
finansial) serta prasarana irigasi pertanian dan pedesaan (modal fisik). Upaya ini hanya
akan berhasil bila adanya dukungan politik difasilitasi oleh kebijakan ekonomi makro yang
lebih kondusif. Inilah yang dimaksudkan dengan Revitalisasi Pertanian berupa Pertanian
Berkelanjutan berbasis ekologi dengan menyatukan usahatani tanaman dan usaha ternak
(usahatani-terpadu) ramah lingkungan untuk mendukung Kehidupan Berkelanjutan
(sustainable livelihood).
Tantangan yang dihadapi dimasa saat ini dan masa depan cukup berat sebagai
dampak krisis energi dan pangan dunia, yang diperkirakan harga energi dan pangan dunia
akan tetap tinggi. Untuk perlu ditumbuhkan kemandirian petani dan kemandirian sistem
usahatani. Sistem usahatani yang perlu dikembangkan disamping hemat energi juga hemat
pemakaian air irigasi dan ramah lingkungan. Kesemuanya menghendaki kuat sumber daya
manusia dan mandirinya organisasi kelembagaan petani.
Komitmen Politik dan Harmonisasi Pengelolaan Sumber Daya Alam
Dalam konteks sumber daya alam, politik pengelolaan DAS di Indonesia masih
menonjolkan politik birokrasi yang antara lain menyangkut pembagian kewenangan
antara pusat dan daerah. Sebagai contoh, berkembangnya organisasi birokrasi pengelolaan
sumber daya air dengan dibentuknya berbagai balai dan balai besar yang mengelola wilayah
sungai. Pendekatan yang dilakukan tetap sektoral yang dituangkan dalam berbagai program
birokrasi pusat. Keadaan ini seolah memaksakan kekuasaan pusat di daerah karena diduga
terbentur oleh berbagai rambu-rambu otonomi daerah.
Komitmen politik pengelolaan sumber daya alam diperlukan untuk mengintegrasikan
berbagai pilar (ekonomi, keadilan sosial, dan keberlanjutan lingkungan) yang didukung
elemen-elemen pokok, seperti demokrasi, sosio-tekno-ekologi yang berpihak pada
kepentingan rakyat. Dengan demikian, prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya alam
harus mengutamakan harmonisasi, keselarasan, keadilan, dan keserasian dari berbagai
17
PENGENDALIAN DAN PEMULIHAN DEGRADASI EKOSISTEM PERTANIAN
kepentingan untuk mencapai keberhasilan pembangunan semesta (sosial, ekonomi,
teknologi, budaya). Dalam kaitan dengan upaya pemulihan DAS di Indonesia, diperlukan
pilar politik yang menopang berbagai kebijakan pembangunan seperti demokrasi ekonomi
termasuk pemberdayaan ekonomi rakyat, praktik-praktik ekonomi hijau, membangun
ketangguhan sosial dan ekologi, melaksanakan reforma agraria, dan hak guna air yang
berpihak pada ekonomi dan kepentingan rakyat.
Restorasi koordinasi program dan kegiatan perlu segera dilaksanakan dengan
menjunjung aspek kemerataan proporsional, ikatan tekno-sosial, dan gaya manajemen
aspiratif yang meningkatkan kualitas komunikasi multi-arah. Harmonisasi kelembagaan
DAS pada semua tingkatan pemerintahan dibutuhkan untuk menata kembali seluruh
stakeholders, sehingga mampu mempersempit kesenjangan status struktural antar
kelembagaan pengelola sumber daya air dan DAS.
Kelembagaan yang harmonis diharapkan dapat tumbuh dari terbentuknya lembaga
pengelola DAS nasional dengan otoritas yang dimilikinya. Badan Pengelola DAS Nasional
mengkoordinasikan seluruh Lembaga Pengelola DAS Lokal dengan otoritas masing-masing
yang selaras dan searah secara lestari dan berkesinambungan.
Memperkuat Ketangguhan Sosial
Modal sosial dan perbaikan pengelolaan ekosistem dapat diintegrasikan ke dalam
pendekatan pemberdayaan masyarakat perdesaan secara komprehensif. Tujuannya adalah
membangun daya saing masyarakat perdesaan secara berkelanjutan, baik di bidang
kemandirian dan produktivitas kerja kolektif, peningkatan kesejahteraan dan keadilan,
maupun terwujudnya kesadaran bahwa perusakan ekosistem dan lingkungan adalah bagian
dari public enemy yang harus diperangi bersama.
Konservasi lingkungan saat ini tidak hanya dipandang dari sudut ekosistem saja,
namun juga mencakup tantangan teknis dan administratif dengan aspek politik yang
semakin meningkat. Masyarakat perlu diberi tahu dan dibujuk untuk mengambil manfaat
ekosistem secara benar serta dididik untuk memahami sangsi yang diberikan bila mereka
tidak menaati peraturan terkait pelestarian ekosistem. Guna menerapkan pemikiran ini
diperlukan penguasaan informasi dan keterampilan teknis serta strategi bimbingan yang
tepat.
Ketangguhan sosial memiliki makna paralel dengan ketangguhan ekologi. Ketangguhan
sosial adalah kemampuan suatu kelompok atau sistem sosial (keluarga, komunitas, dan
masyarakat) untuk bertahan terhadap berbagai trauma yang disebabkan oleh perubahan
yang mengganggu. Gangguan sosial dapat dipicu oleh kekuatan-kekuatan politik, sosial,
ekonomi dan lingkungan. Suatu kelompok sosial yang memiliki ketahanan sosial tidak
hanya menunjukkan keterikatan (kohesifitas) yang kuat dalam kondisi gangguan, namun
juga mampu menyerap gangguan tersebut dan menyesuaikan diri setelah gangguan tersebut
hilang.
18
PENGENDALIAN DAN PEMULIHAN DEGRADASI EKOSISTEM PERTANIAN
Menggalakan Ekonomi Hijau
Ekonomi hijau memiliki peluang agar kegiatan ekonomi, termausk pertanian, menjadi
lebih ramah lingkungan. Metoda pemasaran yang digunakan masih bisa dilakukan secara
konvensional tetapi penampilan produk harus lebih menarik dan manfaatnya bisa dirasakan
oleh konsumen. Umumnya harga produk ekonomi hijau lebih mahal karena tanggungan
biaya sosial, yaitu upaya untuk menjaga kelestarian lingkungan.
Pemerintah perlu mengambil bagian dalam menggalakkan ekonomi hijau agar
kesadaran masyarakat, baik produsen maupun konsumen, semakin luas. Penegakan
peraturan secara tegas harus dilakukan agar terjadi efek jera terhadap pelanggar kelestarian
lingkungan. Sertifikasi organik sangat diperlukan agar konsumen lebih percaya terhadap
produk ekonomi hijau. Perlu upaya lebih jauh agar sertifikasi produk bukan hanya menilai
proses produksi, tetapi juga menguji kandungan produk tersebut. Implementasi ekonomi
hijau perlu dilakukan dengan membuka peluang kerjasama secara berkelompok karena
sangat sulit bagi petani secara perorangan yang umumnya berskala kecil.
Perbaikan Tata Pengelolaan
Kesalahan pengelolaan air dan sungai tidak hanya disebabkan oleh tindakan fisik sistem
sosial yang memiliki ketergantungan terhadap air dan ekosistem DAS di sepanjang sungai,
namun juga karena melemahnya kesadaran kolektif masyarakat akan peran penting air dan
upaya pelestarian sumber dayanya bagi kehidupan mereka. Perubahan nilai dan norma
sosial dan kultural tradisional telah bergeser, bahkan tersingkirkan oleh nilai-nilai kultur
modern yang lebih berorientasi kesejahteraan ekonomi dan keamanan finansial. Ukuran
sukses dan pencapaian individu yang secara tradisional diukur dengan nilai sosial dan
kekukuhan terhadap norma dan moral, kini lebih diukur dengan pencapaian ekonomi dan
finansial. Upaya pelestarian sumber daya dan ekosistem yang secara tradisional merupakan
tanggung jawab kolektif dan bersifat sosio-teknis telah berubah menjadi tanggung jawab
sepihak kelompok yang seringkali tidak memiliki akses tradisional, namun memiliki
kepentingan yang bersifat tekno-ekonomi. Hal ini telah mengubah pola akses terhadap
lahan dan ekosistem yang semula bersifat kolektif menjadi bersifat kepemilikan dan akses
kelompok atau individu. Perubahan sikap sosial tersebut bersifat irreversible atau tidak
dapat dikembalikan ke kondisi semula dan terus berubah secara gradual ke bentuk adaptif
atau transformatif. Sikap baru tersebut juga dapat bersifat permanen atau terus berubah.
Konsep kelembagaan pengelola air dan DAS meliputi tata peraturan formal dan
informal, norma dan dasar kognitif, serta sistem-sistem simbolik yang tersusun untuk
mengatur penggunaan, distribusi dan menentukan status sumber daya air dalam suatu
kelompok masyarakat. Konsep-konsep tersebut di atas secara garis besar dapat dibagi dalam
aspek kebijakan, hukum, dan administrasi yang keseluruhannya mencakup elemen-elemen
formal dan informal. Isu hukum air mengacu pada status legal air, hak atas air, mekanisme
dan resolusi konflik, kemungkinan pertentangan antara hukum, keanekaragaman legal
19
PENGENDALIAN DAN PEMULIHAN DEGRADASI EKOSISTEM PERTANIAN
dan kehadiran atau ketiadaan peraturan administratif dalam mengimplementasikan
hukum tersebut. Aspek kebijakan meliputi prioritas penggunaan, biaya, kemampuan
desentralisasi atau sentralisasi, kemampuan partisipasi dan koordinasi dengan kebijakan
lain. Aspek administrasi adalah struktur organisasi pengelolaan air, termasuk pembiayaan,
kepegawaian, kapasitas dan penghimpunan dana.
Proses pembelajaran dan peningkatan kesadaran kolektif harus melibatkan masyarakat
secara penuh sejak tahap diagnostik sampai tahap verifikasi dan pemantauan serta evaluasi.
Proses penyadaran kolektif dan pembelajaran tata pengelolaan DAS dan air dapat
melibatkan figur kepemimpinan (leadership) atau figur lain dari dalam dan/atau luar sistem
sosial setempat yang berfungsi sebagai katalis dalam proses perubahan perilaku dan sikap
kolektif.
Penutup
Degradasi sumber daya alam terus berlangsung seolah tidak ada yang memperdulikan,
tanpa kendali dan semakin meluas. Peraturan yang diterbitkan untuk mengendalikan
kerusakan yang semakin parah tidak dipatuhi. Kecenderungannya adalah pemanfaatan
sumber daya alam seluas-luasnya dengan alasan ekonomi. Izin pengelolaan yang
dikeluarkan pemerintah menjadi alat yang secara legal formal tidak dapat diganggu gugat.
Pertumbuhan penduduk dengan semua kebutuhannya semakin mendesak pemanfatan
sumber daya alam dalam berbagai bentuk kepentingan. Karena penggunaan lahan yang
semakin meningkat untuk keperluan non pertanian, peran Pulau Jawa sebagai sentra
produksi pangan menunjukkan gejala semakin menurun yang digambarkan dengan fase
perkembangan penggunaan lahan untuk sawah yang semakin menurun dalam gejala yang
disebut The Java Syndrome.
Degradasi sumber daya lahan dan air akan terus berlangsung dan akan terus mengancam
keberhasilan penyediaan pangan dan energi jika tidak dilakukan pencegahan dan pengawasan
yang intensif terhadap upaya-upaya pemanfaatan lahan yang tidak bertanggungjawab dan
tidak mematuhi peraturan dan ketentuan pengelolaan yang berlaku. Tanpa penanganan
terintegrasi oleh para pemangku kepentingan, maka dampak yang semakin serius akan
terjadi, diantaranya semakin meningkatnya alih fungsi lahan, kesenjangan distribusi lahan,
penurunan luas lahan garapan, dan ketidakcukupan pendapatan dari lahan sebagai sumber
pendapatan rumahtangga.
Pengelolaan lahan tidak boleh hanya berorientasi pada tata penggunaan lahan yang
berbasis komoditas. Seharusnya, pengelolaan lahan berbasis komoditas ditempatkan sebagai
bagian integral pengelolaan ekosistem dengan memerhatikan prinsip keseimbangan dan
keselarasan jasa-jasa ekosistem, yaitu jasa penyediaan, jasa regulasi, jasa budaya, dan jasa
pendukung. Eksploitasi lahan yang berlebihan adalah pemanfaatan lahan yang menekankan
20
PENGENDALIAN DAN PEMULIHAN DEGRADASI EKOSISTEM PERTANIAN
pada jasa penyediaan untuk mendukung produksi dan mengabaikan jasa-jasa lainnya yang
dapat menimbulkan kerusakan tidak saja ekosistem tetapi juga warisan budaya yang ada
pada ekosistem tersebut, termasuk kapital sosial.
Pertimbangan ekonomi masih sangat dominan dalam membuat keputusan tentang
pengelolaan sumber daya lahan dan air. Pembangunan infrastruktur ekonomi yang
memanfaatkan lahan dan air sering mengabaikan peran lahan dan air dalam mewujudkan
jasa-jasa ekosistem termasuk perannya sebagai identitas nilai-nilai budaya yang diwariskan
dari suatu ke generasi berikutnya. Dengan semakin langkanya sumber daya tersebut,
sebagai akibat tekanan demografis dan pertumbuhan ekonomi, maka prinsip efisiensi
masih merupakan kriteria utama dalam alokasi sumber daya.
Sejalan dengan komponen kebijakan ini, maka kebijakan penanggulangan degradasi
lahan dan air harus mendapat porsi pengaturan yang komprehensif yang mencakup
sumber daya yang bersangkutan (objek yang dikelola) dan pengelolaannya (oleh pemangku
kepentingan).
Dengan semakin meningkatnya pertumbuhan penduduk, maka ketersediaan lahan
per kapita menjadi menurun. Jadi, prinsip efisiensi juga berlaku dalam pemanfaatan lahan.
Demikian pula akses terhadap lahan dan air merupakan persoalan yang sulit dipecahkan
dan mungkin lebih kompleks lagi karena mencakup elemen kehidupan manusia lainnya.
Dengan semakin intensifnya pemanfaatan lahan untuk berbagai keperluan, maka dimensi
keberlanjutan lingkungan akan semakin sering terabaikan. Oleh karena itu, upaya
penanggulangan degradasi sumber daya alam yang semakin intensif dan terpadu perlu
dilakukan sejak sekarang.
Air sebagai sumber kehidupan sudah seharusnya dijaga kelestariannya. Untuk maksud
tersebut diperlukan keterpaduan kelembagaan untuk pengendalian degradasi sumber daya
lahan dan air yang mencakup kelembagaan sosial, ekonomi dan teknis secara terpadu
memungkinkan masyarakat dan kelembagaan masyarakat mampu mengubah keseimbangan
kekuatan sosial, ekonomi dan politik. Oleh karena itu, pemangku kepentingan perlu
mengikutsertakan peran seluruh kelompok masyarakat dalam program pengendalian
lingkungan berkesinambungan dan termasuk sumber daya lahan dan air.
Faktor-faktor pemicu yang mendorong munculnya ancaman rusaknya sumber daya
alam dan perubahan iklim sudah ada dan terus menebar ancaman. Apabila tidak dilakukan
suatu tindakan radikal, terutama dalam pengendalian lingkungan dari bagian hulu hingga
hilir serta penegakan hukum (law enforcement) yang berlaku atas semua elemen masyarakat,
maka Indonesia akan mengalami tidak saja bencana-bencana ekologis, tetapi sekaligus
juga bencana ekonomi nasional. Ini adalah tantangan besar kedepan yang dihadapi dalam
rangka pengendalian kerusakan sumber daya alam. Masalahnya sekarang adalah apakah
ada kemauan yang sungguh-sungguh dari seluruh komponen bangsa untuk mengatasi
tantangan tersebut?
21
PENGENDALIAN DAN PEMULIHAN DEGRADASI EKOSISTEM PERTANIAN
Referensi
Kasryno, F. 2009. Integrasi Pengelolaan Lahan dan Air: Prospek Mencapai kemandirian
Pangan di Indonesia. Dalam K. Suradisastra, Haryono, E. Pasandaran, S. Pasaribu
dan B. Sayaka (Eds.): Membangun Kemampuan Pengelolaan Terpadu Sumber daya
Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.
Jakarta.
Norton, R.D. 2004. Agricultural Development Policy: Concepts and Experiences. UN
FAO dan John Wiley & Sons, Ltd. West Sussex, England.
Pasandaran, E. 2008. Penyusunan Strategi Nasional Pengelolaan Sumber daya Air Terpadu.
Seminar Laporan Kajian Desember 2008. Kerjasama antara Bappenas dengan PT
Prisma Cipta Persada. Jakarta. (Tidak diterbitkan).
Pasaribu, S., Y. Yusdja, dan I. W. Rusastra. 2009. Changing Roads for Land and Household
Economy Policy – How Stakeholders Take their Pathway. Dalam I W. Rusastra, S. M.
Pasaribu dan Y. Yusdja (Eds): Land and Household Economy 1970-2005. ICASEPS
dan UN ESCAP. Bogor.
Sutrisno, N., Haryono dan E. Pasandaran. 2009. Membangun Keterpaduan Pengelolaan
Lingkungan dan Ekosistem. Dalam K. Suradisastra, Haryono, E. Pasandaran, S.
Pasaribu dan B. Sayaka (Eds.): Membangun Kemampuan Pengelolaan Terpadu
Sumber daya Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen
Pertanian. Jakarta.
Suradisastra, K. 2009. Membangun Keterpaduan Kelembagaan Pertanian. Dalam K.
Suradisastra, Haryono, E. Pasandaran, S. Pasaribu dan B. Sayaka (Eds.): Membangun
Kemampuan Pengelolaan Terpadu Sumber daya Pertanian. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Jakarta.
Sudirman dan T. Vadari. 2000. Pengaruh Kekritisan Lahan terhadap Produksi Padi dan
Kacang Tanah di Garut Selatan. Hal. 411-418 dalam Prosiding Kongres Nasional
HITI ke VII. Bandung 2-4 Nopember 1999.
22
Download