LIMBAH PADAT DI LAUT Beragam jenis dan jumlah limbah padat yang dihasilkan oleh manusia menghilang, dibuang atau dialirkan setiap hari ke lingkungan perairan pantai dan lautan, atau masuk ke wilayah laut melalui aliran saluran pembuangan dan sumber-sumber pencemaran dari daratan lainnya. Komposisi terbesar dari limbah padat ini adalah plastik, termasuk gelas air mineral plastik atau polysterene, bahan pengepak (packaging), karet, serta bahan-bahan buangan dari kamar mandi (kondom, diapers, pembalut wanita, alat suntik, dsbnya), logam (kaleng bekas minuman, drum minyak, penutup botol, kaleng aerosol cat/deodorant), gelas (botol minuman, botol kecap, botol parfum, dsbnya), keramik, jarring/tali alat tangkap ikan, pakaian bekas, serpihan kayu, dsbnya. Limbah padat (debri) laut yang menjadi masalah global adalah yang berbahan dasar plastik dan bahan-bahan sintetik lainnya. Plastik terlihat mengapung hampir di seluruh wilayah lautan dunia, dari wilayah pantai, pulau-pulau terpencil hingga ke wilayah kutub. Limbah padat laut mengandung ancaman pada manusia, membunuh dan mencederai organisme laut , merubah habitat, mengganggu navigasi laut hingga dampak ekonomi bagi komunitas lokal.: o Kesehatan dan keamanan manusia terancam dengan bersentuhan secara langsung dengan limbah padat yang terkontaminasi dengan pathogen (terutama yang berasal dari penggunaan medis/rumah sakit), terluka akibat logam atau gelas yang tercecer di pantai atau dasar laut, tersangkut pada jarring ikan saat snorkeling atau scuba dive, mengganggu baling-baling kapal hingga penumpang terkatung-katung di laut. . o Limbah padat mengundang kecemasan dan kekhawatiran terutama pada masalah tersangkut atau tertelan oleh organisme laut, yang dapat berlanjut pada kepunahan spesies tertentu. Alat tangkap yang hilang atau sengaja dibuang hingga saat ini diketahui berdampak pada tersangkut/terjerat (entangled) terutama pada spesies-spesies paus di Atlantik Utara. Demikian juga dengan penyu-penyu laut, singa laut dan lumba-lumba. Khusus pada penyu laut, selain masalah tersangkut, juga ditemukan mengalami kematian akibat menelan 49 partikel-partikel plastik yang mengenyangkan mereka namun tidak mengandung nutrisi selain menimbulkan luka pada saluran pencernaan mereka. Burung laut juga menjadi korban dari limbah padat karena mereka memakan limbahlimbah padat yang mengapung di laut dan mengakibatkan penurunan berat badan dan terserang penyakit yang sebelumnya tidak Penyu Tersangkut Jaring pernah dideteksi pada burung laut. Populasi burung laut yang mati akibat limbah padat yang tertelan telah mencapai 1/3 dari populasi mereka di seluruh dunia. o Akumulasi limbah padat pada dasar laut jelas berdampak pada komunitas benthik melalui gangguan pada sirkulasi gas antara permukaan sedimen dan air yang berada di atasnya. Hal ini ditemukan berdampak pada komunitas berbagai organisme termasuk: Bryozoa, Tunicate, hydroid yang menempel pada limbah padat yang melayang dan bergerak ke area-area dimana komnuitas ini tak pernah hadir. o Dampak estetika adalah menurunnya kualitas keindahan perairan dengan banyaknya sampah padat yang selain akan memakan biaya besar untuk membersihkannya, juga jelas akan menurunkan minat turis untuk mengunjunginya. Penyebab o Secara umum diketahui bahwa sekitar 80% limbah padat di lautan berasal buangan dari daratan (land based pollution), terutama bersumber dari perilaku menyampah di pantai atau lokasi-lokasi rekreasi yang tidak ketat kontrol sampahnya. Sekitar 20% bersumber dari alat-alat tangkap ikan (nilon pancing dan jaring) dan sumber-sumber lain seperti buangan dari kapal dan dermaga/pelabuhan. o Menurut estimasi, sekitar 60-80% limbah padat laut terbuat dari plastik,dan plastik yang terakumulasi di lautan karena masih luas digunakan dan cara-cara membuangnya, ditambah lagi dengan daya tahannya dari proses degradasi. Dari hasil buangan kapal saja, diestimasi menyumbang sekitar 6,5 juta ton pertahun plastik ke lingkungan laut. Limbah plastik ini dapat bertahan di lingkungan laut hingga berabad-abad. Penelitian terkini (Werthmann, 2007) menemukan akumulasi yang meluas dari mikro-plastik dan partikel serabut 50 (fiber) dalam sedimen perairan pantai dan kolom air wilayah littoral yang diduga kuat merupakan hasil perombakan dari komponen-komponen plastik yang lebih besar. . o Kebanyakan alat tangkap (jaring dan perangkap lain seperti pot untuk gurita) bersifat resisten terhadap degradasi. Alat-alat tangkap yang hilang atau sengaja ditinggalkan ini ditemukan telah banyak ‘menangkap’ spesies non-target, sehingga disebut ‘ghost-fishing’.. Plastik adalah campuran sejumlah monomer yang terhubung satu sama lain membentuk polymer, yang kepadanya dapat ditambahkan bahan kimia tambahan guna kelenturan, pemadam api atau kualitas lain sesuai yang diinginkan. Oleh karena sifatsifat yang dimilikinya, plastik dapat dikatakan bersifat ‘abadi’. Bentuk awal umumnya plastik yang dinamakan berupa nurdle, pellet, umumnya berukuran sebesar kacang hijau, sangat kecil dan ringan sehingga sangat mudah tertiup angin dan terbuang dari kontainer kapal yang mengangkutnya. Partikel plastik berukuran kecil tersirkulasi mengelilingi dunia terbawa oleh arus lautan. Nurdle Plastik juga berpotensi untuk menambah bahan pencemar di lautan karena bahan additifnya seperti Nonylphenols, PBDEs, Phthalates, dan Bisphenol A (BPA), yang berfungsi untuk mengkatalisis produksi polymer dari gabungan monomer, selain memberikan sifat-sifat fleksibilitas, daya tahan dan resisten terhadap UV- sinar matahari. Bahan additif plastik selain berpotensi untuk mencemari lingkungan laut, juga dapat mengkontaminasi bahan makanan yang disimpan di dalamnya. Misalnya, BPA telah diketahui menjadi salah satu pemicu timbulnya kanker, penyakit pada ovarium, kegemukan (obesitas) pada manusia. Temuan yang sama juda dideteksi pada hewan percobaan. 51 Mayoritas plastik yang ditemukan sebagai sampah padat di pantai atau mengapung/melayang di perairan laut termasuk dalam berbagai golongan resin yang digunakan dalam pengemasan dan sebagai peralatan yang dirancang dan diproduksi secara khusus. Misalnya, Nilon digunakan secara luas sebagai bahan pembuat jaring insang dan bahan alat tangkap trawl, yang daya apungnya dapat dikatakan negatif sehingga mudah tenggelam ke bagian dasar laut. Tabel 1. Plastik yang umum dijumpai di lautan. Plastik sebagai Alat Gravitasi spesifik - polyethylene - polypropylene - nylon - polyester [0.92-0.97] [0.91] [1.14] [1.38] Plastik sebagai alat Pengepakan - polyethylene, polypropylene - PVC - polyester - polystyrene (styrofoam) [<0.2] Gravitasi spesifik air laut {T, Salinitas, tekanan} ~ 1.025 Perbedaan antara nasib plastik sebagai sampah di lingkungan lautan dan di daratan: a. Laju degradasi akibat radiasi foto-oksidatif-UV sinar matahari pada plastik yang mengapung atau melayang dalam air laut lebih lambat dibanding dengan dampaknya pada plastik di daratan. b. Di daratan, plastik masih dapat disortir, didaur ulang, dsbnya., namun di lingkungan lautan…? Setelah memasuki lingkungan laut, akan terjadi beberapa hal pada plastik, termasuk menjadi tempat menempel hewan-hewan epibenthik, yang menyebabkan plastik tidak mengapung lagi dan Limbah Plastik di Pantai konsekuensinya adalah sangat kurang menerima 52 radiasi matahari yang turut membantu proses degradasinya. Dari hasil penelitian terhadap jenis-jenis plastik yang dikenal, hanya polystyrene (busa) yang terdisintegrasi dengan cepat di lautan dibandingkan dengan didaratan. Jenis plastik yang lain belum diketahui secara pasti laju degradasi dan disintegrasinya di lingkungan lautan. Mengukur Degradasi Plastik Limbah padat plastik yang menumpuk di wilayah pantai akan mengalami beberapa tahapan degradasi sebelum tercuci dan hanyut ke dalam perairan laut. Patut dicatat bahwa mengukur laju degradasi plastik banyak ditentukan oleh yang melakukannya/pengguna (user defined). Sejalan dengan pemaparan plastik pada radiasi UV-sinar matahari, integritas mekaniknya menurun dengan laju yang terutama ditentukan oleh faktor suhu (oleh karena itu proses perombakannya sangat lambat dalam air). Sehingga paremeter yang paling sering digunakan adalah pengurangan meluasnya bahanbahan plastik, karena tidak adanya kepastian tentang degradasinya di dalam air. Misalnya, jika perluasan bahan plastik dapat berkurang 5% dari kuantitas awalnya, maka inilah yang digunakan sebagai tolok Limbah Plastik Di Laut ukur degradasinya. Kriteria lain dari degradasi digunakan berdasarkan siklus karbon yang membutuhkan reduksi lengkap dari polymer menjadi komponen anorganik melalui degradasi oksidatif maupun biologis (mikrobial). Proses ini dikenal dengan nama mineralisasi (lihat kuliah tentang degradasi bahan organik). Bahan-bahan seperti selulosa dan polyester sintetis (asam polyglycolat dan polycaprolactone, dsbnya) adalah bahan yang termineralisasi secara lengkap. Akan tetapi bahan-bahan plastik, humus dan lignin mengalami proses mineralisasi yang sangat lambat. Proses perombakan manjadi partikel-partikel kecil/halus (embrittlement) telah dapat dilakukan dalam merubah komponen plastik yang besar-besar menjadi partikel-partikel kecil , namun hal ini tidak dapat menghilangkan beban plastik dari lingkungan laut. 53 Mikro partikel plastik tetap berada di laut, dan bahkan menimbulkan masalah baru dalam hal penyerapan dan distribusi bahan-bahan pencemar organik sintetis seperti PCBs, DDT, Dioxin, dsbnya. Selain itu, mikro partikel plastik juga telah menjadi ‘makanan’ zooplankton. Hal ini semakin memperpanjang deretan masalah tentang bahan pencemar plastik di lingkungan laut. Singa Laut yang malang…. 54 Pustaka Andrady. T.L. 2005. Plastics in the Marine Environment: A Technical Perspective. Center for Engineering Technology, RTI International, Durham, NC 27709 USA. 5p. Derraik, J.G.B. 2002. The pollution of the marine environment by plastic debris: a review. Marine Pollution Bulletin 44(9): 842-852 Oliveira de Meirelles, Anna C.and Duarte do Rego Barros, Helen M., 2007. Plastic debris ingested by a rough-toothed dolphin, Steno bredanensis, stranded alive in north eastern Brazil. Biotemas, 20 (1): 127-131. Thompson, R.C. et al. 2004. Lost at sea: Where is all the plastic? Science 304(56): 729 - 838. Werthmann, D. 2007. Pelagic Plastic. Algalita Marine Research Foundation. www.algalita.org Yoshikawa, T. and Asoh, K. 2004. Entanglement of monofilament fishing lines and coral death. Biological Conservation 117(5): 557-560. Zheng, Y. et al. 2005. A review of plastic waste biodegradation. Critical Reviews in Biotechnology 25(4): 243-250. 55