Batas dua laut dalam perspektif islam Surah ar-Rahman ayat 19-20 : Beberapa versi terjemahan dari kedua ayat tersebut adalah sebagai berikut: Departemen Agama RI Dia membiarkan dua lautan mengalir yang kemudian keduanya bertemu. Di antara keduanya ada pembatas yang tidak bisa dilampaui masing-masing Prof. Mahmud Yunus Dia kirimkan (adakan) dua macam laut (asin dan tawar) yang bertemu keduanya. Diantara keduanya ada dinding (sehingga) tiada bercampur keduanya. Rashad Khalifa He separates the two seas where they meet. A barrier is placed between them, to prevent them from transgressing. Yusuf Ali He has let free the two bodies of flowing water, meeting together: Between them is a Barrier which they do not transgress Pickthal He hath loosed the two seas. They meet. There is a barrier between them. They encroach not (one upon the other). Shakir He has made the two seas to flow freely (so that) they meet together: Between them is a barrier which they cannot pass. Sher Ali HE has made the two bodies of water flow; they will one day meet. Between them there is at present a barrier; they cannot encroach one upon the other. “Progressive Muslims” He separates the two seas where they meet. A barrier is placed between them, which they do not cross. Secara harfiah, tidak ada ada perbedaan yang signifikan di antara beberapa versi terjemahan tersebut. Tetapi, dalam menafsirkan ayat tersebut terdapat beberapa perbedaan. Inti pembahasan kedua ayat tersebut terletak pada dua kata kunci yaitu “bahrain” (dua lautan atau dua badan air) dan “barzahun” (pembatas/membran). Jika kita tengok beberapa tafsir Qur’an seperti Tafsir Jalalen, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Qurtubi, dan Tafsir Thabari, kata “bahrain” ditafsirkan sebagai “bahru al-milhu wa al-‘adzbu” atau lautan yang asin airnya dan lautan yang tawar airnya. Selanjutnya, pada Tafsir Qurtubi kata tersebut juga ditafsirkan sebagai “bahru al-sama’ wa bahru al-ardh” atau lautan langit dan lautan bumi. Di antara ahli tafsir juga ada yang menafsirkan bahwa ada dua laut yang kedua-duanya tercerai karena dibatasi oleh tanah genting, tetapi tanah genting itu tidak dikehendaki, maka pada akhirnya tanah genting itu dibuang (digali untuk keperluan lalu lintas seperti terusan sues dan panama), maka bertemulah dua lautan itu (lihat Quran dan Terjemahannya Dep Agama RI). Dari sekian tafsir yang ada, tidak ada yang menjelaskan bahwa dalam konteks kedua ayat tersebut kedua lautan tersebut adalah lautan yang asin airnya. Dalam surah Ar-Rahman ayat 19-20 hanya terdapat ontologi dalam suatu pembahasan. Maka dari itu sebagai tambahan penjelasan, berikut ini beberapa ayat yang berhubungan dengan batas dua laut : QS Al-Furqân (25): 53 Dan Dialah yang membiarkan dua laut mengalir; yang ini tawar lagi segar dan yang lain asin lagi pahit; dan Dia jadikan antara keduanya dinding dan batas yang menghalangi. QS Al-Naml (27): 61 Atau siapakah yang telah menjadikan bumi sebagai tempat berdiam, dan yang menjadikan sungai-sungai di celah-celahnya, dan yang menjadikan gunung-gunung untuk (mengokohkan) nya dan menjadikan suatu pemisah antara dua laut ? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Bahkan (sebenarnya) kebanyakan dari mereka tidak mengetahui. QS Fâthir (35): 12 Dan tiada sama (antara) dua laut; yang ini tawar, segar, sedap diminum dan yang lian asin lagi pahit. Dan dari masing-masing laut itu kamu dapat memakan daging yang segar dan kamu dapat mengeluarkan perhiasan yang dapat kamu memakainya, dan pada masing-masingnya kamu lihat kapal-kapal berlayar membelah laut supaya kamu dapat mencari karunia-Nya dan supaya kamu bersyukur. Bagi ahli kelautan yang mengamati fenomena alam di lautan, maka apa yang tersurat di QS AlRahmân 19-20 dan 22, serta QS Fâthir (35): 12, QS Al-Naml (27): 61, dan QS Al-Furqân (25): 53 adalah suatu pernyataan Al-Quran yang luar biasa. Ayat-ayat ini memberikan “hint” atau petunjuk sejak 14 abad yang lalu tentang penemuan batas dua laut yang terjadi karena perbedaan salinitas, atau kejenuhan garam, perbedaan densitas atau gaya berat, perbedaan tekanan, perbedaan suhu dan perbedaan-perbedaan sifat fisika serta sifat kimia lainnya. Di dalam QS Al-Rahmân, kedua ayat tentang laut tadi terletak diapit di antara dua buah ayat yang disebut hingga 31 kali dan yang menjadi ciri khas Surah Al-Rahmân, yaitu ayat “Fa biayi a lai robbikuma tukadzdziban” yang artinya “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?.” Dengan demikian keberadaan batas antara dua laut tadi diungkapkan dalam konteks “Nikmat yang dianugerahkan Tuhan”. Itulah nikmat Allah Swt. yang seharusnya disyukuri oleh manusia. Disyukuri berarti tidak diingkari keberadaannya, dan harus dimanfaatkan. Memahami batas dua laut, tidak harus berupa batas yang ditarik vertikal, untuk memisahkan dua buah laut yang ‘berdampingan’. Batas dua laut bisa pula dalam bentuk yang horizontal, yang memisahkan dua macam laut yang berada di atas dan yang berada di bawah. Dengan demikian pemahaman ‘batas’ adalah berupa kerangka ‘ruang’ yang mempunyai komponen vertikal dan horisontal. Keberadaan lapisan laut yang bertindihan ini bisa disebabkan oleh keadaan fisika dan kimia dari kedua laut yang berbatasan tadi. ‘Batas’ inilah yang kemudiannya memberikan efek yang mendatangkan anugrah kenikmatan bagi manusia yang harus disyukuri. Kebanyakan para penafsir dari ayat Ar Rahman 19 – 20, An Naml 61, Al Furqan 53, dan Faathir 12 mengenai dinding batas (barzakh) dua laut (al bahrain, al bahrayni) yang menghalangi dan tidak dilampaui oleh masing-masing (hijran mahjura) memahaminya sebagai batas yang memisahkan dua laut secara vertikal (lihat diagram Pemahaman 1). Batas vertikal ini memisahkan dua laut atau kumpulan air yang posisinya berdampingan, misalnya penafsiran terusan Suez sebagai yang membatasi Laut Merah dengan Lautan Mediterania (Laut Tengah), seperti dalam catatan kaki / tafsir Ayat Ar Rahman 20 pada kitab Al-Quran dan Terjemahannya oleh Departemen Agama Republik Indonesia (1989). Atau misalnya dipahami sebagai dinding batas antara air sungai Amazon yang masuk ke laut Atlantik pada bagian muaranya, seperti dijelaskan oleh Dr. Quraish Shihab, Beliau menuliskan: “Ini berarti bahwa ada pemisah yang diciptakan Allah SWT pada lokasi-lokasi tempat bertemunya laut dan sungai.” Meskipun tidak dijelaskan secara eksplisit, namun barangkali pemahaman berbatasan secara berdampingan yang banyak diterima ini dipengaruhi sedikit banyak oleh pemahaman dari Surah Al-Kahfi (18): 60: Dan ingatlah ketika Musa berkata kepada muridnya: “Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampaikepertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun.” Pertemuan ‘dua laut‘ dalam konteks perjalanan Nabi Musa AS yang berada di kawasan gunung Sinai dan Mesir diperkirakan sebagai tempat pertemuan antara Teluk Suez dengan Laut Merah, atau pertemuan Teluk Aqaba dengan Laut Merah, atau pertemuan antara Teluk Aqaba di timur atau teluk Suez di barat semenanjung Sinai, atau pertemuan antara teluk Suez dengan ‘danau laut’ di selatan terusan Suez, atau pertemuan antara Sungai Nil dengan Laut Mediterania. Wallahu’alam. Tapi kesemuanya dalam pengertian batas dua laut berupa batas yang vertical, memisahkan dua tubuh air yang berdampingan. Batas dua laut, dapat diartikan sebagai ‘batas vertikal’ (gambar kiri), atau sebagai ‘batas horizontal’ (gambar kanan) Pengertian batas dua laut,sebenarnya bisa pula membujur secara horizontal. Membatasi laut yang berdampingan antara laut bagian atas dan laut bagian bawah. Batas ini bias berarti membatasi laut bagian atas yang mempunyai suhu hangat dan laut bagian bawah yang mempunyai suhu rendah. Atau laut bagian atas yang mempunyai salinitas rendah dengan laut bawah yang mempunyai salinitas tinggi. Atau lapisan laut bagian atas yang arusnya bergerak ke barat dengan lapisan laut bagian bawah yang arusnya mengalir ke timur. Atau kondisi apa saja yang membatasi antara laut bagian atas dan laut bagian bawah yang mempunyai sifat fisika dan kimia yang berbeda satu sama lain. Bertemunya “dua laut” atau maraja al bahrayni oleh Dr. Quraish Shihab ditafsirkan sebagai bertemunya “laut” dan “sungai” seperti diungkapkannya di atas dan dalam menjelaskan `adzbun furat, yang tawar lagi segar dari Surah Al-Furqân (25): 53 Jadi menurut beliau bukan kedua-duanya berupa laut, tetapi yang satu laut dan yang satu lagi sungai. Berikut kutipan dari buku beliau: Dari bunyi ayat di atas, Surah Al-Furqân (25): 53,diketahui bahwa ada sungai yang `adzbun furat. `Adzb berarti tawar dan furat berarti amat segar. Anda perhatikan bahwa ayat di atas tidak menyatakan ‘adzbun wa furat (tawar dan segar) tetapi menggabungkan keduanya tanpa kata penghubung “dan” sehingga airnya benar-benar sangat tawar lagi segar. Ini berarti bahwa air yang tidak terlalu asin, atau tidak terlalu tawar, tidak termasuk dalam pembicaraan ayat ini