43 KELUARGA DALAM MEWUJUDKAN PENDIDIKAN NILAI SEBAGAI UPAYA MENGATASI DEGRADASI NILAI MORAL Oleh: Endang Purwaningsih (Pendidikan IPS, FKIP, Universitas Tanjungpura, Pontianak) Abstrak: Degradasi nilai moral bangsa sudah mencapai titik yang memprihatinkan. Persoalan ini menjadi tanggung jawab semua pihak, termasuk keluarga. Keluarga merupakan lembaga masyarakat pertama dan utama yang menjadi wadah tumbuhkembangnya kepribadian dan karakter setiap individu. Keluarga mempunyai peranan yang amat penting dan strategis dalam penyadaran, penanaman, dan pengembangan nilai moral sosial dan budaya. Adanya ikatan emosional yang terjalin antara orang tua dengan anak yang demikian kuat, maka pendidikan di keluarga memiliki sisi keunggulan dalam pembinaan nilai moral anak guna mengatasi degradasi nilai moral. Kata Kunci: Keluarga, Pendidikan Nilai, Degradasi Nilai Moral. Pendahuluan Kekerasan yang terjadi di kalangan pelajar dalam beberapa tahun terakhir semakin marak. Belum hilang dari ingatan kita kekerasan yang terjadi di IPDN yang merenggut nyawa Clif Muntu, sudah disusul berbagai kasus tawuran antar pelajar di berbagai daerah di Indonesia, terlebih lagi adanya kasus penyiksaan oleh anggota geng perempuan terhadap para calon anggota geng yang terjadi di tahun 2008 di daerah Pati. Selain itu, masih terdapat berbagai bentuk perilaku amoral lainnya di kalangan pelajar maupun anak muda seperti video porno yang ternyata 90% pembuatnya adalah remaja, pemerkosaan, aborsi, penyalahgunaan narkoba, penjiplakan karya ilmiah (skripsi) dan lain-lainnya. Fenomena ini merupakan potret buruk merosotnya nilai moral sosial budaya kita saat ini, khususnya di kalangan para pelajar. Kondisi di atas tentu sangat mencemaskan berbagai pihak, terutama apabila menilik pendapat Lickona (dalam Musfiroh, 2008: 26), bahwa terdapat sepuluh tanda perilaku manusia yang menunjukkan arah kehancuran suatu bangsa, yaitu: meningkatnya kekerasan di kalangan remaja; ketidakjujuran yang membudaya; semakin tingginya rasa tidak hormat kepada orang tua dan figur pemimpin; pengaruh peer group terhadap tindakan kekerasan; meningkatnya kecurigaan dan kebencian; penggunaan bahasa yang memburuk; penurunan etos kerja; menurunnya rasa tanggung jawab individu dan warga Negara; meningginya perilaku merusak diri; dan semakin kaburnya pedoman moral. Fakta yang dipaparkan diatas hanyalah sebagian kecil dari berbagai persoalan penyimpangan nilai moral. Meskipun demikian, fakta itu saja sudah mampu menggambarkan indikator yang mengarah pada rusaknya suatu bangsa sebagaimana diungkapkan Lickona. Untuk 44 Jurnal Pendidikan Sosiologi Dan Humaniora Vol. 1. No. 1. April 2010 memahami hal ini kita dapat menggunakan pandangan McLuhan. Salah satu kekawatiran McLuhan, bahwa “tumpulnya isi dan potensi afektif yang dibarengi peningkatan intelektual, ilmiah, rasional akan melahirkan erosi nilai moral norma luhur (Djahiri, 1996:55). Yang pada giliran berikutnya berujung pada berbagai persoalan pelanggaran nilai moral di masyarakat, sebagai akibat bergesernya landasan dan tuntutan nilai moral (moral base and claims) pada sumber materiil ekonomik. Berbagai upaya perlu dilakukan untuk memperbaiki kondisi yang ada, utamanya di dalam bidang pendidikan adalah mengoptimalkan pengembangan potensi afektif melalui pendidikan nilai. Rekayasa pendidikan nilai merupakan tanggung jawab semua pihak terutama keluarga dan masyarakat serta sekolah. Keluarga sebagai lembaga masyarakat pertama dan utama mempunyai peranan dalam melaksanakan pendidikan nilai di dalam keluarga, guna mengupayakan terbentuknya anak yang mempunyai akhlak yang baik, anak yang cerdas otaknya, lembut hatinya, dan terampil tangannya. Berlandaskan pada penjelasan yang telah dipaparkan diatas, maka perlu adanya pembahasan: “Bagaimana peranan keluarga dalam mewujudkan pendidikan nilai sebagai upaya mengurangi degradasi nilai moral ? Konsep Dasar Nilai Moral Nilai sering didefinisikan dalam rumusan yang berbeda-beda. Nilai merupakan sesuatu sifat yang menyenangkan (pleasant), memuaskan (satisfying), menarik (interesting), berguna (useful), menguntungkan (profitable) (Al Muchtar: 247). Pandangan ini sejalan dengan Rokeah (dalam Djahiri, 1996:17) bahwa nilai adalah sesuatu yang berharga yang dianggap bernilai, adil, baik, benar dan indah serta menjadi pedoman atau pegangan diri. Mulyana (2004:11) mendiskripsikan bahwa nilai merupakan rujukan dan keyakinan dalam menentukan pilihan. Sedangkan Newcomb (dalam Djahiri, 1996:18) merumuskan nilai sebagai ”many attitude patterrns may be organized”, artinya nilai sebagai pola sikap yang sudah mempribadi atau mapan. Setiap masyarakat atau setiap budaya memiliki nilai-nilai tertentu mengenai sesuatu. Bahkan budaya dan masyarakat itu merupakan nilai yang tak terhingga bagi orang yang memilikinya. Bagi manusia nilai dijadikan landasan, alasan, motivasi dalam segala perbuatan karena nilai itu mengandung kekuatan yang mendorong manusia untuk berbuat dan bertindak. Menurut Thoha (1996:61) nilai adalah sesuatu yang bersifat abstrak, ia ideal, nilai bukan benda konkrit, bukan fakta, tidak hanya persoalan benar dan salah yang menuntut pembuktian empirik, melainkan penghayatan yang dikehendaki dan tidak dikehendaki. Kupperman (83:9) mendefinisikan Nilai sebagai patokan normatif yang mempengaruhi manusia dalam menentukan pilihannya diantara cara-cara tindakan alternatif. Kupperman memandang norma sebagai salah satu bagian terpenting dari kehidupan sosial. Bertens (2001:36) menyatakan bahwa nilai adalah alamat sebuah kata “ya” (value is address of a yes). Dengan kata lain nilai adalah sesuatu yang ditunjukkan dengan kata “ya”. Definisi ini merupakan definisi yang memilki kerangka umum dan luas daripada Peranan Keluarga Dalam Mewujudkan Pendidikan Nilai Sebagai Upaya Mengatasi Degradasi Nilai Moral (Endang Purwaningsih) definisi sebelumnya. kata “Ya” dapat mencakup keyakinan individu secara psikologis maupun nilai patokan normatif secara sosiologis. Berdasarkan beberapa pandangan tersebut dapat disimpulkan bahwa nilai adalah sesuatu yang berguna, berharga yang dijadikan pedoman diri atau acuan normatif tentang keyakinan individu baik secara psikologis maupun sosiologis sehingga menjadi pola sikap yang mempribadi. Dengan demikian nilai sebagai tatanan keyakinan yang menyangkut sikap manusia terhadap kebenaran akan sesuatu yang diyakini. Menurut Suseno. M (1987:4) sikap moral yang sebenarnya disebut moralitas Kant (dalam Suseno, 1997) menegaskan bahwa moralitas itu menyangkut hal baik dan buruk, tetapi bukan sembarang baik dan buruk, namun apa yang baik pada dirinya sendiri, yang baik tanpa pembatasan sama sekali. Kata moral berasal dari bahasa latin mores yang berarti tata cara dalam kehidupan atau adat istiadat (Pratidarmanastiti dalam Budiningsih, 2004). Dewey mengatakan bahwa moral sebagai hal-hal yang berhubungan dengan nilai-nilai susila (Budiningsih, 2004). Sedangkan Baron, dkk (1980) mengatakan bahwa moral hal-hal yang berhubungan dengan larangan dan tindakan yang membicarakan salah atau benar. Selain itu Suseno (1987) menyatakan bahwa kata moral selalu mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia, sehingga bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia. Norma-norma moral adalah tolak ukur yang dipakai masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang. 45 Menurut Suseno, sikap moral yang sebenarnya disebut moralitas, yang diartikan sebagai sikap hati seseorang yang terungkap dalam tindakan lahiriah. Moralitas terjadi apabila orang mengambil sikap yang baik karena ia sadar akan kewajiban dan tangungjawabnya dan bukan karena mencari keuntungan. Dengan demikian moralitas adalah sikap dan perbuatan baik yang betul-betul tanpa pamrih. (Suseno, 1987). Berbeda dengan nilai yang bersifat personal dalam diri manusia maka Moral berada dan berasal dari luar diri manusia, yakni dari tuntutan keharusan/keyakinan orang lain atau kelompok dimana seseorang/ individu itu berada. Bila moral dari luar yang bersifat keharusan (have to, must be) ini mampu kita terima mempribadi (personalized) menjadi keyakinan yang kita anut dan disetujui maka ia akan menjadi suara hati dan tidak lagi menjadi keharusan atau tuntutan dari luar, melainkan menjadi keharusan yang datang dalam diri (should be) serta menjadi kelayakan dan kebutuhan moral serta tampil sebagai kiprah diri atau kepribadian. ( Djahiri, 1996: 17-18). Degradasi Nilai Moral Secara etimologis degradasi dapat diartikan sebagai penurunan atau kemerosotan. Sehingga degradasi nilai moral dapat diartikan sebagai penurunan atau kelonggaran nilaimoral. Degradasi nilai moral sedang melanda negara kita Indonesia. Dengan krisis ekonomi yang melanda bangsa, kehidupan rakyat kita semakin terseok-seok. Hal ini ditambah lagi dengan semakin bobroknya moral masyarakat dan para 46 Jurnal Pendidikan Sosiologi Dan Humaniora Vol. 1. No. 1. April 2010 pejabat negara yang sampai saat ini belum tertangani secara memuaskan. Dewasa ini kehancuran moral telah merasuk dalam beragam bentuknya nyaris dapat ditemui pada semua lapisan masyarakat dan pada semua dimensi kehidupan: politik, sosial, ekonomi, atau pendidikan. Pendidikan Nilai Menurut Kaswardi (1993:38) yang dimaksud dengan pendidikan nilai adalah penanaman dan pengembangan nilai-nilai pada diri seseorang. Menurut Aspin (2000:41) pendidikan nilai sebagai bantuan untuk mengembangkan dan mengartikulasikan kemampuan pertimbangan nilai atau keputusan moral yang dapat melembagakan kerangka tindakan manusia. Supiadi (2004:119) menjelaskan bahwa pendidikan nilai yang mencakup keseluruhan aspek sebagai pengajaran atau bimbingan kepada peserta didik agar menyadari nilai kebenaran, kebaikan, dan keindahan, melalui proses pertimbangan nilai yang tepat dan pembiasaan bertindak yang konsisten. Menurut Winecoff (1988:1-3) pendidikan nilai adalah pendidikan yang mempertimbangkan objek dari sudut moral dan sudut pandang non moral, yang meliputi estetika yaitu menilai, objek dan sudut pandang keindahan dan selera pribadi, dan etika yaitu menilai benar atau salahnya dalam hubungan antar pribadi”. Dari pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan nilai program yang diberikan kepada semua siswa kepada semua jenis dan jenjang sekolah yang mencakup keseluruhan aspek sebagai pengajaran atau bimbingan kepada peserta didik agar menyadari nilai kebenaran, kebaikan, dan keindahan, melalui proses pertimbangan nilai yang tepat dan pembiasaan bertindak yang konsisten dengan mempertimbangkan objek dari sudut moral dan sudut pandang non moral dalam hubungan antar pribadi. Pendidikan nilai ini digunakan sebagai proses untuk membantutu siswa dalam mengeksplorasi nilai-nilai yang ada melalui pengujian kritis, sehingga siswa dimungkinkan untuk meningkatkan atau memperbaiki kualitas berpikir serta perasaannya. Dianne Tillman (www.balipost.com) melalui "Living Values: An Educational Program", suatu program pembelajaran nilai-nilai kehidupan yang disokong oleh Unesco mencoba menawarkan 12 nilai universal yang perlu ditanamkan melalui pendidikan anak dan orangtua. Nilainilai tersebut adalah nilai kedamaian (peace), penghargaan (respect), cinta (love). Tanggungjawab (responsibility), kebahagiaan (happiness), kerjasama (cooperation), kejujuran (honesty), kerendahan hati (humality), toleransi (tolerancy), kesederhanaan (simplicity), kebebasan, dan kesatuan (unity). Pendidikan nilai bertujuan untuk pembentukan karakter atau akhlak dengan materi yang menyangkut moralitas, nilai-nilai (values), tentu memerlukan metode dan strategi khusus. Pembelajaran berarti proses internalisasi (pembatinan) dan konsientisasi (penyadaran) nilai-nilai sehingga tidak cukup hanya "mengetahui", melainkan lebih penting merasakan dan mengalami. Pengertian Keluarga Secara tradisional keluarga diartikan sebagai dua atau lebih orang Peranan Keluarga Dalam Mewujudkan Pendidikan Nilai Sebagai Upaya Mengatasi Degradasi Nilai Moral (Endang Purwaningsih) yang dihubungkan dengan pertalian darah atau adopsi (hukum) yang memiliki tempat tinggal bersama. Menurut Thio, A (1989) dalam Atmarno, T (2007) keluarga diartikan sebagai : “the family.... a group of related individuals who live together and cooperate as a unit” Keluarga merupakan kelompok individu yang ada hubungannya, hidup bersama dan bekerjasama di dalam suatu unit. Kehidupan dalam kelompok tersebut bukan secara kebetulan, tetapi diikat oleh hubungan darah atau perkawinan. Pengertian yang lebih luas di ajukan oleh Soekamto (1985) dalam Sauri (2006), keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang mengatur hubungan seksual yang seyogyanya, atau juga disebut wadah tempat berlangsungnya sosialisasi, yakni proses di mana anggota-anggota masyarakat yang baru mendapatkan pendidikan untuk mengenal, memahami, mentaati, dan menghargai kaidah-kaidah serta nilai-nilai yang berlaku. Dari dua pendapat tersebut dapat disimpulkan, keluarga adalah kelompok individu yang merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang diikat oleh perkawinan sebagai tempat berlangsungnya proses pendidikan bagi individu atau anggota keluarga untuk mengenal, memahami, menaati, menghargai kaidah-kaidah serta nilai-nilai yang berlaku. Keluarga Mempunyai Peran Membantu Pendidikan Nilai Keluarga merupakan segitiga abadi yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Keluarga merupakan lembaga sosial pertama dan terutama yang dikenal oleh anak. Di dalam keluarga, orang tua (Ayah Ibu) merupakan figur orang dewasa pertama yang dikenal 47 anak sejak bayi. Antara orang tua dan anak terjadi interaksi sosial yang erat, sehingga mereka mempunyai kedekatan cukup baik bukan hanya karena faktor biologis, namun juga karena adanya ikatan emosional, serta intensitas waktu yang cukup banyak dihabiskan bersama-sama. Sumaatmadja menyatakan bahwa (2005, 31) di dalam keluarga terjadi proses ”sosialisasi” yaitu proses pengintegrasian individu ke dalam kelompok sebagai anggota kelompok yang memberikan landasan sebagai makhluk sosial. Di dalam keluarga itu terjadi proses pendidikan dalam arti proses ”pendewasaan” dari individu yang tidak berdaya kepada calon pribadi yang mengenal pengetahuan dasar, norma sosial, nilai-nilai, dan etika pergaulan. Oleh karena itu, keluarga ini juga merupakan ”lembaga pendidikan” bagi individu yang membawanya ke dalam suasana yang makin mandiri. Sebagai lembaga pendidikan yang pertama dan utama bagi anak, keluarga mempunyai peranan yang amat penting dan strategis dalam penyadaran, penanaman, dan pengembangan nilai moral sosial dan budaya. Sebagaimana ditegaskan Elmubarok (2008:96) bahwa: ”Adanya ikatan emosional yang terjalin antara orang tua dengan anak yang demikian kuat, maka pendidikan di keluarga memiliki sisi keunggulan dalam pembinaan moral anak”. Nilainilai yang dapat ditanamkan orang tua kepada anak-anaknya seperti ketaatan kepada Allah, ketaatan kepada orang tua, kejujuran, tanggung jawab, kedisiplinan, kepedulian pada orang lain dan sebagainya. Di dalam kaitannya dengan pendidikan nilai, Djahiri (1996: 48) mengutip pendapat Dobbert dan Winkler, ada empat fungsi dan peran 48 Jurnal Pendidikan Sosiologi Dan Humaniora Vol. 1. No. 1. April 2010 keluarga yang amat strategis dan penting, yakni membantu rekayasa pendidikan nilai dalam bentuk hadirnya proses: 1. Identification Process Yang dimaksud proses identifikasi adalah proses memahami, merespon dan memilih nilai-nilai. Keluarga dalam hal ini orang tua mempunyai peranan membimbing dan mempengaruhi perasaan anak agar memahami nilai-nilai, sampai anak mampu merespon atau menanggapi nilai-nilai itu. Dan pada giliran berikutnya, anak mampu mengevaluasi atau merenungi dan kemudian memilih nilai-nilai tersebut 2. Internalization Process Pada proses identifikasi nilai terhadap anak sudah terbentuk motivasi dan kecintaan anak terhadap nilai-nilai yang dipilihnya. Proses ini akan berlanjut kepada proses internalisasi nilai-nilai, yaitu proses dimana nilainilai itu diserap dan dibatinkan di dalam diri anak, sehingga menjadi sistem nilai/tatanan. Pada tahap ini orang tua berperan membimbing anak mengalami proses pembatinan nilainilai sehingga nilai-nilai itu akan menjadi tatanan anak dalam dirinya. 3. Proses Pemodelan Anak yang sudah mampu membatinkan nilai-nilai tertentu di dalam dirinya, pada tahap berikutnya akan melakukan proses pemodelan yaitu proses pelakonan nilai-nilai. 4. Direct Reproduction Dari proses pelakonan tersebut di atas akan lahir proses pembakuan yang selanjutnya akan mampu melahirkan tertanamnya nilai moral atau isi pesan perilaku tadi ke dalam diri anak. Bila nilai moral sudah tertanam dalam diri anak dan menjadi keyakinan, maka anak akan mampu secara langsung memproduksi kembali atau memunculkan kembali nilai moral sebagai isi pesan dalam perilakunya. Sehingga dapat dikatakan pada tahap ini, nilai-nilai itu sudah mempribadi atau menyaturaga dan menjadi sistem keyakinan (personalizing) dalam diri anak. Keyakinan tersebut akan dijadikan pedoman untuk melakukan tindakan. Hadirnya atau terciptanya keempat proses pendidikan nilai tersebut di atas ke dalam diri anak menjadi tanggung jawab keluarga khususnya orang tua. Keempat proses pendidikan nilai sebagaimana disarankan Dobbert dan Winkler tersebut, hendaknya dijadikan sebagai pola pengasuhan orang tua terhadap anak-anaknya. Keluarga memiliki arti yang sangat penting bagi perkembangan nilai kehidupan pada anak, namun dengan segala kekhasannya keluarga memiliki corak pendidikan yang berbeda dari sekolah. Di dalam keluarga pendidikan dilaksanakan bukan atas dasar tatanan ketentuan yang diformalkan, melainkan tumbuh dari kesadaran moral sejati antar anggota keluarga antara oranga tua dan anak. Dengan demikian, pendidikan nilai di dalam keluarga dibangun atas dasar emosional bukan atas dasar rasional. Peranan Keluarga Dalam Mewujudkan Pendidikan Nilai Sebagai Upaya Mengurangi Degradasi Nilai Moral Globalisasi telah menimbulkan dampak yang sangat berarti dalam berbagai dimensi kehidupan manusia. Globalisasi merupakan proses internasionalisasi seluruh tatanan masyarakat modern. Pada awalnya proses ini hanya pada tataran ekonomi, namun dalam perkembangannya Peranan Keluarga Dalam Mewujudkan Pendidikan Nilai Sebagai Upaya Mengatasi Degradasi Nilai Moral (Endang Purwaningsih) cenderung menunjukkan keragaman. Malcolm Waters mengemukakan bahwa ada tiga dimensi proses globalisasi, yaitu: globalisasi ekonomi, globalisasi politik, dan globalisasi budaya. Dari segi dimensi globalisasi budaya, muncul beberapa jenis space atau lukisan, seperti: etnospace, technospace, financespace, mediaspace, ideaspace, dan sacrispace. Dengan demikian, universalisasi sistem nilai gobal yang terjadi dalam dimensi kebudayaan telah mengaburkan sistem nilai (values system) kehidupan manusia, khususnya pada negara-negara berkembang seperti Indonesia dalam menghadapi tahun era pasar bebas. Indonesia adalah negara dengan tingkat populasi yang cukup tinggi. Dengan krisis ekonomi yang melanda bangsa, kehidupan rakyat kita semakin terseok-seok. Hal ini ditambah lagi dengan semakin bobroknya moral masyarakat dan para pejabat negara yang sampai saat ini belum tertangani secara memuaskan. Dewasa ini kehancuran moral telah merasuk dalam beragam bentuknya nyaris dapat ditemui pada semua lapisan masyarakat dan pada semua dimensi kehidupan: politik, sosial, ekonomi, atau pendidikan. Dalam kehidupan politik para politisi lebih terfokus pada perebutan kekuasaan, Gejolak sosial yang muncul di tengah-tengah masyarakat adalah dampak ketimpangan sosial ekonomi antar sesamanya. Betapa kesalnya mereka ketika melihat para wakil rakyat yang mereka percaya justru melakukan tindakan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Di samping itu, ternyata praktik korupsi juga turut melanda institusi pendidikan (18,1%), kesehatan (21,2%), bahkan lembaga 49 keagamaan tidak luput dari korupsi (27,7%), (Kompas, hlm. 8, tanggal 17 September 2001). Menurut Lembaga Transparancy International, Indonesia termasuk dalam kategori negara terkorup nomor tiga (1999), nomor empat (2000) di dunia, dan nomor dua di dunia (Metro TV) pada tahun 2001. Setelah melakukan perbuatan itu, mereka akan berbondong-bondong kembali ke agama masing-masing dan tetap mengulanginya di waktu yang lain. Kondisi seperti itu membuat mereka menjadikan agama sekadar sarana penebus dosa atau meminjam istilah Gordon W. Alport something to use but not to live. Mereka menjadikan agama untuk pencapaian kepentingan. Dengan demikian, mereka mengorbankan kejujuran dan ketulusan serta nilai-nilai moral dan sosial yang lain asal tujuan mereka tercapai. Pada saat sama, mereka pun rajin melakukan ibadah-ibadah ritual sebagai penebus dosa-dosanya. Akhirnya, masyarakat kecil yang harus memikul beban. Semakin rumitnya krisis multi dimensional yang melanda bangsa Indonesia, menuntut usaha yang gigih untuk menemukan jalan keluarnya. Persoalan ini tidak bisa kita selesaikan secara parsial, tetapi harus menyeluruh menyangkut semua aspek kehidupan ekonomi, politik, hukum, sosial budaya termasuk juga aspek pendidikan. Solusi dari aspek pendidikan tentu saja tidak hanya ditekankan pada aspek pendidikan formal saja, namun bersifat menyeluruh mencakup ketiga aspek pendidikan yaitu pendidikan informal, formal, maupun non formal. Dari segi pendidikan informal, keluarga mempunyai peran yang sangat strategis dalam mewujudkan pendidikan nilai dalam rangka menekan degradasi nilai moral bangsa kita. Djahiri (1996:46) 50 Jurnal Pendidikan Sosiologi Dan Humaniora Vol. 1. No. 1. April 2010 menegaskan bahwa rekayasa pendidikan nilai adalah tanggung jawab semua pihak terutama keluarga dan masyarakat (lingkungan sekitar/adat/agamis) serta kelompok sejawat. Dobbert dan Nunner (1985) dalam Djahiri (1996:47) menyatakan bahwa ”family is the first dominant factor and the effectively most importent.....” Pernyataan ini jelas menempatkan keluarga sebagai lembaga sosial yang paling primer dan penentu ”karakter diri” seseorang. Dan ini sebenarnya bukan hal baru tetapi bersifat ”rediscovery” dari dalil agama dan budaya. Seperti contoh, bahwa kasih sayang dan ucapan serta perilaku ibu, bapak, adik dan kakak terhadap bayi dapat mempengaruhi karakter bayi tersebut. Berdasarkan gambaran tersebut, dapat disimpulkan bahwa keluarga dan kehidupannya tidak boleh disepelekan dan diabaikan. Namun, kenyataan yang ada saat ini bersifat paradoks dimana terdapat kecenderungan sekarang akibat dorongan kebutuhan materiil yang kian memuncak banyak ibu dan bapak bekerja dan menyerahkan masalah hidup anaknya kepada pengasuh atau pembantu. Sehingga hampir semua urusan pendidikan sepenuhnya diandalkan kepada sekolah. Dan celakanya di sekolah masalah afektual, nilai moral hampirhampir tidak tersentuh (Djahiri, 1996:47). Lebih parah lagi bahwa, disatu sisi waktu yang tersedia untuk bermesraan antara orang tua dengan anak semakin pendek, dan disisi lain berbagai pengaruh negatif dari tayangan televisi maupun internet semakin agresif. Semua ini bermakna bahwa pendidikan nilai semakin minim, sedangkan desonansi makin tinggi sehingga buahnya tidak lain adalah ”erosi nilai moral” (Djahiri, 1996:48). Erosi atau degradasi nilai-moral terjadi pada semua lapisan masyarakat mulai dari kalangan anak didik kita sampai pada orang dewasa, dan pada semua bidang kehidupan sebagaimana dijelaskan diatas. Oleh karena itu, persoalan paling urgen di dalam pendidikan informal saat ini adalah mengembalikan peran keluarga sebagai lembaga pendidikan informal pertama dan utama dalam membantu melaksanakan pendidikan nilai moral. Orang tua sebagai kepala keluarga mempunyai fungsi yang cukup besar dalam melengkapi dan mengisi perannya dalam keluarga. Keluarga, khususnya mempunyai fungsi untuk mempersiapkan anak menjadi pribadi yang tangguh dalam mengarungi kehidupan di masyarakat. Fungsi tersebut merupakan fungsi pendidikan khususnya pendidikan nilai (nilai-nilai kehidupan). Menurut Diane Tillman ada dua belas nilai kehidupan (living value) mendasar yang sangat perlu untuk ditanamkan atau diajarkan kepada anak-anak guna membekali anak dalam mengarungi kehidupan yang damai dan bahagia di dalam masyarakat. Nilai-nilai itu meliputi nilai kedamaian, penghargaan, cinta, toleransi, kejujuran kerendahan hati, kerjasama, kebahagiaan, tanggung jawab, kesederhanaan, kebebasan, dan persatuan. Meskipun, tidak juga perlu ditanamkan nilai-nilai hakiki lainnya seperti nilai-nilai agama misalnya. Untuk dapat melaksanakan fungsi pendidikan dengan baik, maka keluarga diberi peran membantu rekayasa pendidikan nilai dalam bentuk hadirnya proses: Peranan Keluarga Dalam Mewujudkan Pendidikan Nilai Sebagai Upaya Mengatasi Degradasi Nilai Moral (Endang Purwaningsih) 1). identifikasi yaitu proses memahami, merespon dan memilih nilai-nilai; 2). internalisasi yaitu proses dimana nilai-nilai itu dibatinkan di dalam diri anak, sehingga menjadi sistem nilai/ tatanan; 3). pemodelan yaitu proses pelakonan nilai-nilai, 4). reproduksi spontan yaitu proses pembakuan yang selanjutnya akan mampu melahirkan tertanamnya nilai moral atau isi pesan perilaku tersebut ke dalam diri anak. Pendidikan nilai di dalam keluarga tidak dilakukan dengan tatanan ketentuan yang diformalkan seperti di sekolah. Melainkan, tumbuh dari kesadaran moral sejati antar anggota keluarga, antara oranga tua dan anak. Dengan demikian, pendidikan nilai di dalam keluarga dibangun atas dasar ikatan emosional yang kuat antara orang tua dengan anak, maupun dengan anggota keluarga lainnya. Oleh karenanya, peranan keluarga di dalam membantu melaksanakan rekayasa pendidikan nilai, yaitu mewujudkan keempat proses tersebut dilakukan secara lebih luwes. Dalam hal ini keluarga berperan melakukan proses identifikasi, internalisasi pemodelan dan reproduksi spontan dua belas nilai kehidupan dan nilai-nilai agama kepada anak melalui pembiasaan (cultivation) dalam kehidupan sehari-hari. Metoda yang dapat digunakan adalah: cara mendongeng, dan mendiskusikan secara santai nilai-nilai dari kejadian atau informasi-informasi yang disajikan media masa seperti televisi, memberi contoh atau teladan pengamalan nilai-nilai melalui perilaku orang tua dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai perlu diinternalisasikan melalui pembiasaan didalam keluarga. Waktu yang tepat untuk melaksanakan pendidikan nilai di dalam keluarga yaitu ketika keluarga berkumpul di rumah 51 seperti ketika keluarga sedang makan bersama, ibadah bersama, atau sedang santai-santai nonton televisi bersama, atau kapan saja di saat mereka berkumpul bersama. Bagi orang tua yang tinggal berjauhan dengan anakanaknya, pendidikan nilai masih bisa dilakukan melalui komunikasi telepon, facebook, email dan lain-lain. Oleh karena waktu kebersamaan antara anak dengan orang tua dan anggota keluarga lainnya semakin terbatas, maka yang menjadi tekanan adalah kualitasnya dalam arti kualitas isi pesan tentang pendidikan nilai moral itu sendiri. Peran keluarga dalam melaksanakan pendidikan nilai dapat diperhatikan dari contoh implementasi pendidikan nilainilai kehidupan berikut ini: a. Nilai Kedamaian Untuk menanamkan nilai kedamaian ini, dapat dilakukan dengan menghadirkan stimulus misalnya berupa informasi berita dari televisi (untuk anak remaja atau dewasa muda). Sedangkan untuk anak balita atau yang masih usia SD penanaman nilai kedamaian dapat disampaikan melalui cerita-cerita yang menarik. Pada waktu santai orang tua bersama anak-anak khususnya yang sudah remaja atau dewasa muda menonton bersama-sama tayangan televisi misalnya tentang penyerbuan israel ke palestina. Berdasar informasi tersebut orang tua menjelaskan dan menunjukkan akibat yang dasyat dari peperangan itu, kemudian anak diberi pemahaman tentang indahnya nilai kedamaian dalam kehidupan bermasyrakat. Anak diminta memberikan respon terhadap peristiwa peperangan yang dapat meluluhlantakkan manusia dan segala macam benda yang ada di dunia ini, kemudian diminta menilai dan memilih nilai yang seharusnya dianut. Namun 52 Jurnal Pendidikan Sosiologi Dan Humaniora Vol. 1. No. 1. April 2010 juga perlu dijelaskan kepada anak bahwa, pengertian nilai kedamaian sebagaimana dikemukakan oleh Tillman (2004, 4) bukan berarti tidak sekedar tidak ada perang. Kedamaian dunia tumbuh dari non peperangan, penerimaan, keadilan dan komunikasi, dan kedamaian dimulai dalam hati seseorang. Jika setiap orang di dunia ini merasa damai, dunia akan menjadi damai. Kedamaian adalah keadaan pikiran yang tenang dan santai. Kedamaian adalah kediaman dari dalam yang mengandung kekuatan kebenaran. Agar tetap damai diperlukan kasih sayang dan kekuatan. Kedamaian harus diawali oleh kita masing-masing. Proses memahamkan anak terhadap nilai kedamaian ini tentu saja tidak hanya satu kali namun perlu ada pengulangan, dan yang sangat penting orang tua memberi contoh berperilaku meangaplikasikan nilai kedamaian dan anak dibiasakan mengamalkan nilai itu sehingga menjadi kebiasaan dalam hidupnya. b. Nilai Penghargaan Untuk melakukan proses identifikasi, internalisasi, pemodelan dan reproduksi spontan nilai penghargaan, dapat dilakukan dengan membiasakan anak mengenal kualitas pribadi, karena penghargaan seseorang adalah benih yang menumbuhkan kepercayaan diri. Bila kita bisa menghargai diri sendiri maka mudah untuk menghargai orang lain. Untuk mengetahui kelebihan pribadi dan menghargai kelebihan orang lain, adalah cara yang tepat mendapatkan rasa hormat. Namun perlu dijelaskan bahwa makin besar rasa hormat yang diukur dengan materi, makin besar keinginan dipuji, sehingga akan kehilangan rasa hormat pada diri sendiri. Yang dimaksudkan rasa hormat disini adalah rasa hormat yang dilandasi dengan kerendahan hati, sehingga akan timbul kebijaksanaan dan kita mudah adil dan menyesuaikan diri terhadap orang lain. Batasan nilai penghargaan yang dijelaskan Tillman (2004, 42) ini dapat dibiasakan di dalam kehidupan sehari-hari yang diwujudkan dengan cara menghargai anak melalui pujian terhadap tindakan yang benar, memberi pujian terhadap pencapaian prestasi atau kinerja yang baik. Serta ditumbuhkan kebiasaan sportif saling menghargai pencapaian prestasi antara orang tua dengan anak dan antara anak yang satu dengan lainnya, sehingga nilai penghargaan dapat tertanam pada diri anak. c. Nilai Cinta Cinta bukanlah keinginan, gairah atau perasaan yang hebat pada seseorang atau obyek tapi suatu kesadaran yang tidak egois dan mencintai diri sendiri. Cinta adalah prinsip yang menciptakan dan mempertahankan hubungan yang mendalam dan mulia. Cinta adalah dasar kepercayaan akan persamaan dan keinginan baik untuk mewujudkannya. Cinta adalah katalis untuk perubahan, perkembangan, dan pencapaian. (Tillman, 2004:66). Lebih lanjut Tillman menjelaskan pendapat Albert Einstein, bahwa tantangan kita dalah membebaskan diri. Dengan melebarkan lingkaran cinta kita, dengan menghargai semua makhluk dan alam sekeliling kita. (Tillman, 2004:66). Nilai cinta dapat ditanamkan pada anak-anak, dengan membiasakan mereka saling menyayangi, saling mengerti antar anggota keluarga, menyayangi binatang, merawat tanaman. Cara lain misalnya anak diajak diskusi membahas tentang perkelaian antar siswa, kemudian dibahas penyebab konflik dan mengajukan solusi untuk menyelesaikan Peranan Keluarga Dalam Mewujudkan Pendidikan Nilai Sebagai Upaya Mengatasi Degradasi Nilai Moral (Endang Purwaningsih) konflik dengan pendekatan kasih sayang. d. Nilai Toleransi Toleransi adalah menghargai individu dan perbedaannya, menghapus topeng dan ketegangan yang disebabkan oleh ketidakpedulian. Toleransi adalah saling menghargai melalui saling pengertian. Benih toleransi adalah cinta, disiram dengan kasih, dan pemeliharaan. Toleransi berarti kemampuan menghadapi situasi sulit. Melalui pengertian dan keterbukaan pikiran, orang yang toleran memperlakukan orang lain secara berbeda, menerimanya, menyesuaikan diri, dan menunjukkan toleransinya. Nilai toleransi dapat diajarkan melalui pembahasan konflik yang disebabkan intoleransi. Dalam moment ini, orang tua bisa menjelaskan tentang nilai toleransi. Namun nilai ini tidak cukup didiskusikan saja, namun kemudian diaplikasikan dalam kehidupan seharihari melalui teladan orang tua, membiasakan anak menghargai perbedaan dirinya dengan anak yang lain dan dengan teman-temannya. e. Nilai Kejujuran Kejujuran adalah berani mengatakan kebenaran. Kejujuran berarti tidak ada kontradiksi pikiran, kata, dan tindakan. Kejujuran adalah kesadaran akan apa yang benar dan sesuai dengan perannya, tindakannya, dan hubungannya (Tillman, 2004:120). Nilai kejujuran dapat diajarkan kepada anak balita atau SD melalui cerita. Bagi anak remaja atau dewasa muda dapat diajak mendiskusikan tentang kasus KKN berikut penyebab dan akibatnnya. f. Nilai Kerendahan Hati Rendah hati adalah kemampuan menghargai diri sendiri dan orang lain. Rendah hati adalah 53 tetap teguh dan mempertahankan kekuatan diri serta tidak berkeinginan untuk mengatur yang lainnya. Dengan adanya keseimbangan rasa hormat diri dan rendah hati, maka ada penerimaan dan penghargaan kualitas seseorang di dalam dirinya. Penanaman nilai rendah hati dapat diberikan kepada anak kecil melalui cerita-cerita seseorang yang penuh arogan, hormat, rendah hati. Bagi anak-anak remaja dan dewasa muda dapat diajak berdiskusi tetang sosok pahlawan atau tokoh masyarakat yang rendah hati. g. Nilai Kerjasama Kerjasama sama terjadi saat orang bekerja bersama mencapai tujuan bersama. Kerjasama membutuhkan pengenalan akan nilai dari keikutsertaan semua pribadi dan bagaimana mempertahankan sikap baik (Tillman, 20004:262). Untuk mengajarkan nilai kerjasama kepada anak kecil dapat dilakukan melalui cerita. Sedangkan untuk anak remaja dan dewasa muda perlu dilibatkan dan dibiasakan dalam menyelesaikan kegiatan-kegiatan yang dilakukan mencuci motor atau mobil, bergotong-royong membersihkan lingkungan kampung bersama masyarakat. h. Nilai Kebahagiaan Dimana cinta dan damai ada di dalam hati, kebahagiaan tumbuh secara otomatis. Nilai kebahagiaan dapat diajarkan kepada anak yang masi kecil melalui cerita yang mengisahkan kebahagiaan. Bagi anak yang sudah remaja atau dewasa muda dapat diajak berdiskusi misalnya tentang penyalahgunaan narkoba yang dapat menimbulkan ketidakbahagiaan dirinya maupun orang tuanya, diskusi tentang jaman penjajahan yang menggambarkan ketidakbahagiaan 54 Jurnal Pendidikan Sosiologi Dan Humaniora Vol. 1. No. 1. April 2010 manusia dijajah bangsa lain, diskusi tentang kejahatan dengan segala dampak bagi dirinya dan orang lain. i. Tanggung jawab Bertanggung jawab adalah melakukan kewajiban dengan sepenuh hati. Tanggung jawab bukan hanya suatu kewajiban tetapi juga sesuatu yang membantu kita mencapai tujuan. Bagi anak-anak kecil, nilai tanggung jawab dapat diajarkan dengan cara membiasakan mereka melakukan tugas yang ringan seperti membereskan mainannya setelah selesai bermain, menyimpan baju seragam, sepatu, tas sekolah sepulang dari sekolah dan lainlain. Selain cara tersebut, dapat juga dilakukan dengan mendongeng tentang kisah orang yang bertanggung jawab. Sedangkan bagi remaja dan dewasa muda dapat diajak berdiskusi misalnya tentang tanggung jawab dalam keluarga yaitu tanggung jawab ibu, bapak, anak. Anak-anak tersebut juga perlu dibiasakan menepati janji sebagai wujud tanggung jawab. j. Nilai Kesederhanaan Bagi anak kecil nilai kesederhanaan dapat diajarkan melalui kisah, dan dengan membiasakan mereka hemat menggunakan uang jajan, menabung menyisihkan uang jajan, bersedekah kepada fakir miskin. Bagi remaja dan dewasa muda, nilai kesederhanaan dapat diajarkan dengan membiasakan mereka hemat, tidak mudah terpengaruh iklan tentang produk pakaian yang mahal-mahal. Disamping itu juga dapat dilakukan dengan memberika penjelasan dan mendiskusikan tentang keuntungan bila hidup sederhana. k. Nilai Kebebasan Kebebasan berdampingan dengan pikiran dan hati. Kebebsan bukan berarti bebas melakukan apa saja yang disukai, tetapi kebebasan untuk mencapai hidup yang bermanfaat bagi dirinya dan orang lain. Nilai kebebasan dapat diajarkan kepada anak kecil dengan cara menceriterakan sejarah tentang penjajahan. Anak dibiasakan tidak mengganggu hak temannya ketika mereka bermain. Bagi remaja dan dewasa muda dapat diajak mendiskusikan tentang sejarah memperjuangkan kemerdekaan, tentang perbudakan, tentang pelanggaran HAM dan lain-lain. Anakanak perlu dibiasakan tidak mengganggu hak temannya karena dapat mengurangi kebebasan orang lain. l. Nilai Persatuan Persatuan adalah keharmonisan dengan dan antara individu dalam satu kelompok. Persatuan dibangun dari saling berbagi pandangan, harapan, dan tujuan mulia atau demi kebaikan semua. Untuk mengajarkan nilai persatuan kepada anak-anak kecil dapat dilakukan dengan dengan menceritakan kisah tentang binatang yang menggambarkan persatuan. Remaja dan dewasa muda dapat diajak diskusi tentang informasi di televisi atau dari sejarah tentang perpecahan yang terjadi antar suku, antar masyarakat satu dengan lainnya. Berdasarkan uraian di atas dapat dimengerti bahwa pendidikan nilai tidak hanya sebatas pada teori dan pengajaran, tetapi harus disertai dengan perilaku hidup. Antara kata dan perbuatan harus sinkron atau sejalan. Pendidikan nilai pasti gagal total bila pelanggaran-pelanggaran moral masih terus berlangsung. Penanaman pendidikan nilai harus ditunjukkan melalui sikap perbuatan yang kongkrit. Peranan Keluarga Dalam Mewujudkan Pendidikan Nilai Sebagai Upaya Mengatasi Degradasi Nilai Moral (Endang Purwaningsih) Kesimpulan Berdasarkan penjelasan yang sudah dipaparkan dimuka, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Keluarga dalam arti orang tua mempunyai fungsi dan peran yang amat strategis dan penting dalam membantu rekayasa pendidikan nilai dalam bentuk hadirnya proses, a. Identifikas yaitu proses memahami, merespon dan memilih nilai-nilai, b. Internalisasi yaitu proses dimana nilai-nilai itu dibatinkan di dalam diri anak, sehingga menjadi sistem nilai/tatanan, c. Pemodelan yaitu prses pelakonan nilai-nilai, d. Reproduksi spontan yaitu proses pembakuan yang selanjutnya akan mampu melahirkan tertanamnya nilai moral atau isi pesan perilaku tadi ke dalam diri anak, 2. Keempat proses rekayasa pendidikan nilai dalam keluarga dapat dilaksanakan melalui pembiasaan (cultivation) dalam kehidupan sehari-hari. Metoda yang cara dapat digunakan adalah: mendongeng, dan mendiskusikan secara santai nilai-nilai dari kejadian atau informasi-informasi yang disajikan media masa seperti memberi contoh atau televisi, teladan pengamalan nilai-nilai melalui perilaku orang tua dalam kehidupan sehari-hari, 3. Keluarga merupakan lembaga sosial yang paling primer dan penentu ”karakter diri” seseorang. Oleh karenanya, pendidikan nilai moral yang dimulai dari keluarga dengan mengoptimalkan peran keluarga tersebut, diharapkan dapat mereduksi degradasi nilai-moral yang melanda bangsa kita. Saran Agar degradasi moral dapat diminimalisir, sebaiknya perlu 55 disosialisasikan suatu program yang berorinetasi pada internalisasi pendidikan nilai moral pada semua keluarga di Indonesia. Daftar Pustaka Elmubarok, Z. ( 2008). Membumikan Pendidikan Nilai: Mengumpulkan Yang Terserak. Menyambung Yang Terputus Dan Menyatukan Yang Tercerai. Bandung: Alfabeta. Bertens, K. (2005). Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Djahiri, A.K. (1996). Menelusuri Dunia Afektif. Bandung: Lab. Pengajaran PMP IKIP. Hakam. K.A. (2000). Pendidikan Nilai. Bandung: MKDU PRESS. Latif. A, ( 2007). Pendidikan Berbasis Nilai kemasyarakatan. Bandung: PT Refika Aditama. Mawardi, L, (2008). Evaluasi Pendidikan Nilai. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Sauri, S. (2006). Pendidikan berbahasa Santun. Bandung: PT Genesindo. --------- (2006). Membangun Komunikasi Dalam Keluarga: Kajian Nilai Religi, Sosial, Dan Edukatif. Bandung: PT Genesindo. Subiyanto.S.http://www.balipost.com/me diadetail.php. Sumatmadja, N, (2005). Manusia Dalam Konteks Sosial, Budaya Dan Lingkungan Hidup. Bandung. Alfabeta. Suseno, F.M. (1987). Etika Dasar. Yogyakarta: Kanisius. ______ 13 Tokoh Etika. Yogyakarta: Kanisius. Tillman. D. (2004). Living Value For Young Adult. Diterjemahkan: Praptono dan Sirait). Jakarta: Grasindo.