43 KELUARGA DALAM MEWUJUDKAN

advertisement
43
KELUARGA DALAM MEWUJUDKAN PENDIDIKAN NILAI SEBAGAI
UPAYA MENGATASI DEGRADASI NILAI MORAL
Oleh:
Endang Purwaningsih
(Pendidikan IPS, FKIP, Universitas Tanjungpura, Pontianak)
Abstrak: Degradasi nilai moral bangsa sudah mencapai titik yang
memprihatinkan. Persoalan ini menjadi tanggung jawab semua pihak,
termasuk keluarga. Keluarga merupakan lembaga masyarakat pertama dan
utama yang menjadi wadah tumbuhkembangnya kepribadian dan karakter
setiap individu. Keluarga mempunyai peranan yang amat penting dan
strategis dalam penyadaran, penanaman, dan pengembangan nilai moral
sosial dan budaya. Adanya ikatan emosional yang terjalin antara orang tua
dengan anak yang demikian kuat, maka pendidikan di keluarga memiliki sisi
keunggulan dalam pembinaan nilai moral anak guna mengatasi degradasi
nilai moral.
Kata Kunci: Keluarga, Pendidikan Nilai, Degradasi Nilai Moral.
Pendahuluan
Kekerasan yang terjadi di
kalangan pelajar dalam beberapa tahun
terakhir semakin marak. Belum hilang
dari ingatan kita kekerasan yang terjadi
di IPDN yang merenggut nyawa Clif
Muntu, sudah disusul berbagai kasus
tawuran antar pelajar di berbagai
daerah di Indonesia, terlebih lagi
adanya kasus penyiksaan oleh anggota
geng perempuan terhadap para calon
anggota geng yang terjadi di tahun
2008 di daerah Pati. Selain itu, masih
terdapat berbagai bentuk perilaku
amoral lainnya di kalangan pelajar
maupun anak muda seperti video porno
yang ternyata 90% pembuatnya adalah
remaja,
pemerkosaan,
aborsi,
penyalahgunaan narkoba, penjiplakan
karya ilmiah (skripsi) dan lain-lainnya.
Fenomena ini merupakan potret buruk
merosotnya nilai moral sosial budaya
kita saat ini, khususnya di kalangan
para pelajar.
Kondisi di atas tentu sangat
mencemaskan berbagai pihak, terutama
apabila menilik pendapat Lickona
(dalam Musfiroh, 2008: 26), bahwa
terdapat sepuluh tanda perilaku
manusia yang menunjukkan arah
kehancuran suatu bangsa, yaitu:
meningkatnya kekerasan di kalangan
remaja;
ketidakjujuran
yang
membudaya; semakin tingginya rasa
tidak hormat kepada orang tua dan
figur pemimpin; pengaruh peer group
terhadap
tindakan
kekerasan;
meningkatnya
kecurigaan
dan
kebencian; penggunaan bahasa yang
memburuk; penurunan etos kerja;
menurunnya rasa tanggung jawab
individu
dan
warga
Negara;
meningginya perilaku merusak diri;
dan semakin kaburnya pedoman moral.
Fakta yang dipaparkan diatas
hanyalah sebagian kecil dari berbagai
persoalan penyimpangan nilai moral.
Meskipun demikian, fakta itu saja
sudah
mampu
menggambarkan
indikator yang mengarah pada
rusaknya suatu bangsa sebagaimana
diungkapkan
Lickona.
Untuk
44
Jurnal Pendidikan Sosiologi Dan Humaniora Vol. 1. No. 1. April 2010
memahami hal ini kita dapat
menggunakan pandangan McLuhan.
Salah satu kekawatiran McLuhan,
bahwa “tumpulnya isi dan potensi
afektif yang dibarengi peningkatan
intelektual, ilmiah, rasional akan
melahirkan erosi nilai moral norma
luhur (Djahiri, 1996:55). Yang pada
giliran berikutnya berujung pada
berbagai persoalan pelanggaran nilai
moral di masyarakat, sebagai akibat
bergesernya landasan dan tuntutan nilai
moral (moral base and claims) pada
sumber materiil ekonomik.
Berbagai upaya perlu dilakukan
untuk memperbaiki kondisi yang ada,
utamanya di dalam bidang pendidikan
adalah mengoptimalkan pengembangan
potensi afektif melalui pendidikan nilai.
Rekayasa pendidikan nilai merupakan
tanggung jawab semua pihak terutama
keluarga dan masyarakat serta sekolah.
Keluarga sebagai lembaga masyarakat
pertama dan utama mempunyai
peranan
dalam
melaksanakan
pendidikan nilai di dalam keluarga,
guna mengupayakan terbentuknya anak
yang mempunyai akhlak yang baik,
anak yang cerdas otaknya, lembut
hatinya, dan terampil tangannya.
Berlandaskan pada penjelasan yang
telah dipaparkan diatas, maka perlu
adanya pembahasan: “Bagaimana
peranan keluarga dalam mewujudkan
pendidikan nilai sebagai upaya
mengurangi degradasi nilai moral ?
Konsep Dasar Nilai Moral
Nilai sering didefinisikan dalam
rumusan yang berbeda-beda. Nilai
merupakan
sesuatu
sifat
yang
menyenangkan (pleasant), memuaskan
(satisfying), menarik (interesting),
berguna (useful), menguntungkan
(profitable) (Al Muchtar: 247).
Pandangan ini sejalan dengan Rokeah
(dalam Djahiri, 1996:17) bahwa nilai
adalah sesuatu yang berharga yang
dianggap bernilai, adil, baik, benar dan
indah serta menjadi pedoman atau
pegangan diri. Mulyana (2004:11)
mendiskripsikan
bahwa
nilai
merupakan rujukan dan keyakinan
dalam menentukan pilihan. Sedangkan
Newcomb (dalam Djahiri, 1996:18)
merumuskan nilai sebagai ”many
attitude patterrns may be organized”,
artinya nilai sebagai pola sikap yang
sudah mempribadi atau mapan.
Setiap masyarakat atau setiap
budaya memiliki nilai-nilai tertentu
mengenai sesuatu. Bahkan budaya dan
masyarakat itu merupakan nilai yang
tak terhingga bagi orang yang
memilikinya. Bagi manusia nilai
dijadikan landasan, alasan, motivasi
dalam segala perbuatan karena nilai itu
mengandung
kekuatan
yang
mendorong manusia untuk berbuat dan
bertindak. Menurut Thoha (1996:61)
nilai adalah sesuatu yang bersifat
abstrak, ia ideal, nilai bukan benda
konkrit, bukan fakta, tidak hanya
persoalan benar dan salah yang
menuntut
pembuktian
empirik,
melainkan
penghayatan
yang
dikehendaki dan tidak dikehendaki.
Kupperman
(83:9)
mendefinisikan Nilai sebagai patokan
normatif yang mempengaruhi manusia
dalam menentukan pilihannya diantara
cara-cara
tindakan
alternatif.
Kupperman
memandang
norma
sebagai salah satu bagian terpenting
dari kehidupan sosial. Bertens
(2001:36) menyatakan bahwa nilai
adalah alamat sebuah kata “ya” (value
is address of a yes). Dengan kata lain
nilai adalah sesuatu yang ditunjukkan
dengan kata “ya”. Definisi ini
merupakan definisi yang memilki
kerangka umum dan luas daripada
Peranan Keluarga Dalam Mewujudkan Pendidikan Nilai Sebagai Upaya
Mengatasi Degradasi Nilai Moral (Endang Purwaningsih)
definisi sebelumnya. kata “Ya” dapat
mencakup keyakinan individu secara
psikologis maupun nilai patokan
normatif secara sosiologis.
Berdasarkan
beberapa
pandangan tersebut dapat disimpulkan
bahwa nilai adalah sesuatu yang
berguna, berharga yang dijadikan
pedoman diri atau acuan normatif
tentang keyakinan individu baik secara
psikologis maupun sosiologis sehingga
menjadi pola sikap yang mempribadi.
Dengan demikian nilai sebagai tatanan
keyakinan yang menyangkut sikap
manusia terhadap kebenaran akan
sesuatu yang diyakini.
Menurut Suseno. M (1987:4)
sikap moral yang sebenarnya disebut
moralitas Kant (dalam Suseno, 1997)
menegaskan bahwa moralitas itu
menyangkut hal baik dan buruk, tetapi
bukan sembarang baik dan buruk,
namun apa yang baik pada dirinya
sendiri, yang baik tanpa pembatasan
sama sekali.
Kata moral berasal dari bahasa
latin mores yang berarti tata cara dalam
kehidupan
atau
adat
istiadat
(Pratidarmanastiti dalam Budiningsih,
2004). Dewey mengatakan bahwa moral
sebagai hal-hal yang berhubungan
dengan nilai-nilai susila (Budiningsih,
2004). Sedangkan Baron, dkk (1980)
mengatakan bahwa moral hal-hal yang
berhubungan dengan larangan dan
tindakan yang membicarakan salah atau
benar.
Selain itu Suseno (1987)
menyatakan bahwa kata moral selalu
mengacu pada baik buruknya manusia
sebagai manusia, sehingga bidang moral
adalah bidang kehidupan manusia
dilihat dari segi kebaikannya sebagai
manusia. Norma-norma moral adalah
tolak ukur yang dipakai masyarakat
untuk mengukur kebaikan seseorang.
45
Menurut Suseno, sikap moral yang
sebenarnya disebut moralitas, yang
diartikan sebagai sikap hati seseorang
yang terungkap dalam tindakan
lahiriah. Moralitas terjadi apabila
orang mengambil sikap yang baik
karena ia sadar akan kewajiban dan
tangungjawabnya dan bukan karena
mencari
keuntungan.
Dengan
demikian moralitas adalah sikap dan
perbuatan baik yang betul-betul tanpa
pamrih. (Suseno, 1987).
Berbeda dengan nilai yang
bersifat personal dalam diri manusia
maka Moral berada dan berasal dari
luar diri manusia, yakni dari tuntutan
keharusan/keyakinan orang lain atau
kelompok dimana seseorang/ individu
itu berada. Bila moral dari luar yang
bersifat keharusan (have to, must be)
ini mampu kita terima mempribadi
(personalized) menjadi keyakinan
yang kita anut dan disetujui maka ia
akan menjadi suara hati dan tidak lagi
menjadi keharusan atau tuntutan dari
luar, melainkan menjadi keharusan
yang datang dalam diri (should be)
serta
menjadi
kelayakan
dan
kebutuhan moral serta tampil sebagai
kiprah diri atau kepribadian. ( Djahiri,
1996: 17-18).
Degradasi Nilai Moral
Secara etimologis degradasi
dapat diartikan sebagai penurunan
atau kemerosotan. Sehingga degradasi
nilai moral dapat diartikan sebagai
penurunan atau kelonggaran nilaimoral.
Degradasi nilai moral sedang
melanda negara kita Indonesia.
Dengan krisis ekonomi yang melanda
bangsa, kehidupan rakyat kita
semakin terseok-seok. Hal ini
ditambah lagi dengan semakin
bobroknya moral masyarakat dan para
46
Jurnal Pendidikan Sosiologi Dan Humaniora Vol. 1. No. 1. April 2010
pejabat negara yang sampai saat ini
belum tertangani secara memuaskan.
Dewasa ini kehancuran moral telah
merasuk dalam beragam bentuknya
nyaris dapat ditemui pada semua
lapisan masyarakat dan pada semua
dimensi kehidupan: politik, sosial,
ekonomi, atau pendidikan.
Pendidikan Nilai
Menurut Kaswardi (1993:38)
yang dimaksud dengan pendidikan nilai
adalah penanaman dan pengembangan
nilai-nilai pada diri seseorang. Menurut
Aspin (2000:41) pendidikan nilai
sebagai bantuan untuk mengembangkan
dan mengartikulasikan kemampuan
pertimbangan nilai atau keputusan moral
yang dapat melembagakan kerangka
tindakan manusia.
Supiadi (2004:119) menjelaskan
bahwa
pendidikan
nilai
yang
mencakup keseluruhan aspek sebagai
pengajaran atau bimbingan kepada
peserta didik agar menyadari nilai
kebenaran, kebaikan, dan keindahan,
melalui proses pertimbangan nilai
yang tepat dan pembiasaan bertindak
yang konsisten.
Menurut Winecoff (1988:1-3)
pendidikan nilai adalah pendidikan
yang mempertimbangkan objek dari
sudut moral dan sudut pandang non
moral, yang meliputi estetika yaitu
menilai, objek dan sudut pandang
keindahan dan selera pribadi, dan
etika yaitu menilai benar atau
salahnya dalam hubungan antar
pribadi”.
Dari pendapat para ahli di atas,
dapat disimpulkan bahwa pendidikan
nilai program yang diberikan kepada
semua siswa kepada semua jenis dan
jenjang sekolah yang mencakup
keseluruhan aspek sebagai pengajaran
atau bimbingan kepada peserta didik
agar menyadari nilai kebenaran,
kebaikan, dan keindahan, melalui
proses pertimbangan nilai yang tepat
dan pembiasaan bertindak yang
konsisten dengan mempertimbangkan
objek dari sudut moral dan sudut
pandang non moral dalam hubungan
antar pribadi.
Pendidikan nilai ini digunakan
sebagai proses untuk membantutu
siswa dalam mengeksplorasi nilai-nilai
yang ada melalui pengujian kritis,
sehingga siswa dimungkinkan untuk
meningkatkan
atau
memperbaiki
kualitas berpikir serta perasaannya.
Dianne
Tillman
(www.balipost.com) melalui "Living
Values: An Educational Program", suatu
program
pembelajaran
nilai-nilai
kehidupan yang disokong oleh Unesco
mencoba menawarkan 12 nilai universal
yang perlu ditanamkan melalui
pendidikan anak dan orangtua. Nilainilai tersebut adalah nilai kedamaian
(peace), penghargaan (respect), cinta
(love). Tanggungjawab (responsibility),
kebahagiaan (happiness), kerjasama
(cooperation), kejujuran (honesty),
kerendahan hati (humality), toleransi
(tolerancy), kesederhanaan (simplicity),
kebebasan, dan kesatuan (unity).
Pendidikan nilai bertujuan
untuk pembentukan karakter atau
akhlak
dengan
materi
yang
menyangkut
moralitas,
nilai-nilai
(values), tentu memerlukan metode dan
strategi khusus. Pembelajaran berarti
proses internalisasi (pembatinan) dan
konsientisasi (penyadaran) nilai-nilai
sehingga
tidak
cukup
hanya
"mengetahui", melainkan lebih penting
merasakan dan mengalami.
Pengertian Keluarga
Secara tradisional keluarga
diartikan sebagai dua atau lebih orang
Peranan Keluarga Dalam Mewujudkan Pendidikan Nilai Sebagai Upaya
Mengatasi Degradasi Nilai Moral (Endang Purwaningsih)
yang dihubungkan dengan pertalian
darah atau adopsi (hukum) yang
memiliki tempat tinggal bersama.
Menurut Thio, A (1989) dalam
Atmarno, T (2007) keluarga diartikan
sebagai : “the family.... a group of
related individuals who live together
and cooperate as a unit”
Keluarga merupakan kelompok
individu yang ada hubungannya, hidup
bersama dan bekerjasama di dalam
suatu unit. Kehidupan dalam kelompok
tersebut bukan secara kebetulan, tetapi
diikat oleh hubungan darah atau
perkawinan. Pengertian yang lebih luas
di ajukan oleh Soekamto (1985) dalam
Sauri (2006), keluarga adalah unit
terkecil dalam masyarakat yang
mengatur hubungan seksual yang
seyogyanya, atau juga disebut wadah
tempat berlangsungnya sosialisasi,
yakni proses di mana anggota-anggota
masyarakat yang baru mendapatkan
pendidikan
untuk
mengenal,
memahami, mentaati, dan menghargai
kaidah-kaidah serta nilai-nilai yang
berlaku. Dari dua pendapat tersebut
dapat disimpulkan, keluarga adalah
kelompok individu yang merupakan
unit terkecil dalam masyarakat yang
diikat oleh perkawinan sebagai
tempat
berlangsungnya
proses
pendidikan bagi individu atau anggota
keluarga untuk mengenal, memahami,
menaati, menghargai kaidah-kaidah
serta nilai-nilai yang berlaku.
Keluarga
Mempunyai
Peran
Membantu Pendidikan Nilai
Keluarga merupakan segitiga
abadi yang terdiri dari ayah, ibu, dan
anak. Keluarga merupakan lembaga
sosial pertama dan terutama yang
dikenal oleh anak. Di dalam keluarga,
orang tua (Ayah Ibu) merupakan figur
orang dewasa pertama yang dikenal
47
anak sejak bayi. Antara orang tua dan
anak terjadi interaksi sosial yang erat,
sehingga
mereka
mempunyai
kedekatan cukup baik bukan hanya
karena faktor biologis, namun juga
karena adanya ikatan emosional, serta
intensitas waktu yang cukup banyak
dihabiskan bersama-sama.
Sumaatmadja
menyatakan
bahwa (2005, 31) di dalam keluarga
terjadi proses ”sosialisasi” yaitu proses
pengintegrasian individu ke dalam
kelompok sebagai anggota kelompok
yang memberikan landasan sebagai
makhluk sosial. Di dalam keluarga itu
terjadi proses pendidikan dalam arti
proses ”pendewasaan” dari individu
yang tidak berdaya kepada calon pribadi
yang mengenal pengetahuan dasar,
norma sosial, nilai-nilai, dan etika
pergaulan. Oleh karena itu, keluarga ini
juga merupakan ”lembaga pendidikan”
bagi individu yang membawanya ke
dalam suasana yang makin mandiri.
Sebagai lembaga pendidikan
yang pertama dan utama bagi anak,
keluarga mempunyai peranan yang amat
penting dan strategis dalam penyadaran,
penanaman, dan pengembangan nilai
moral sosial dan budaya. Sebagaimana
ditegaskan
Elmubarok
(2008:96)
bahwa: ”Adanya ikatan emosional yang
terjalin antara orang tua dengan anak
yang demikian kuat, maka pendidikan di
keluarga memiliki sisi keunggulan
dalam pembinaan moral anak”. Nilainilai yang dapat ditanamkan orang tua
kepada anak-anaknya seperti ketaatan
kepada Allah, ketaatan kepada orang
tua, kejujuran, tanggung jawab,
kedisiplinan, kepedulian pada orang lain
dan sebagainya.
Di dalam kaitannya dengan
pendidikan nilai, Djahiri (1996: 48)
mengutip pendapat Dobbert dan
Winkler, ada empat fungsi dan peran
48
Jurnal Pendidikan Sosiologi Dan Humaniora Vol. 1. No. 1. April 2010
keluarga yang amat strategis dan
penting, yakni membantu rekayasa
pendidikan nilai dalam bentuk hadirnya
proses:
1. Identification Process
Yang
dimaksud
proses
identifikasi adalah proses memahami,
merespon dan memilih nilai-nilai.
Keluarga dalam hal ini orang tua
mempunyai peranan membimbing dan
mempengaruhi perasaan anak agar
memahami nilai-nilai, sampai anak
mampu merespon atau menanggapi
nilai-nilai itu. Dan pada giliran
berikutnya, anak mampu mengevaluasi
atau merenungi dan kemudian memilih
nilai-nilai tersebut
2. Internalization Process
Pada proses identifikasi nilai
terhadap anak sudah terbentuk motivasi
dan kecintaan anak terhadap nilai-nilai
yang dipilihnya. Proses ini akan
berlanjut kepada proses internalisasi
nilai-nilai, yaitu proses dimana nilainilai itu diserap dan dibatinkan di
dalam diri anak, sehingga menjadi
sistem nilai/tatanan. Pada tahap ini
orang tua berperan membimbing anak
mengalami proses pembatinan nilainilai sehingga nilai-nilai itu akan
menjadi tatanan anak dalam dirinya.
3. Proses Pemodelan
Anak yang sudah mampu
membatinkan nilai-nilai tertentu di
dalam dirinya, pada tahap berikutnya
akan melakukan proses pemodelan
yaitu proses pelakonan nilai-nilai.
4. Direct Reproduction
Dari proses pelakonan tersebut
di atas akan lahir proses pembakuan
yang selanjutnya akan mampu
melahirkan tertanamnya nilai moral
atau isi pesan perilaku tadi ke dalam
diri anak. Bila nilai moral sudah
tertanam dalam diri anak dan menjadi
keyakinan, maka anak akan mampu
secara langsung memproduksi kembali
atau memunculkan kembali nilai moral
sebagai isi pesan dalam perilakunya.
Sehingga dapat dikatakan pada tahap
ini, nilai-nilai itu sudah mempribadi
atau menyaturaga dan menjadi sistem
keyakinan (personalizing) dalam diri
anak. Keyakinan tersebut akan
dijadikan pedoman untuk melakukan
tindakan.
Hadirnya
atau
terciptanya
keempat proses pendidikan nilai tersebut
di atas ke dalam diri anak menjadi
tanggung jawab keluarga khususnya
orang tua. Keempat proses pendidikan
nilai sebagaimana disarankan Dobbert
dan Winkler tersebut, hendaknya
dijadikan sebagai pola pengasuhan
orang tua terhadap anak-anaknya.
Keluarga memiliki arti yang
sangat penting bagi perkembangan nilai
kehidupan pada anak, namun dengan
segala kekhasannya keluarga memiliki
corak pendidikan yang berbeda dari
sekolah. Di dalam keluarga pendidikan
dilaksanakan bukan atas dasar tatanan
ketentuan yang diformalkan, melainkan
tumbuh dari kesadaran moral sejati antar
anggota keluarga antara oranga tua dan
anak. Dengan demikian, pendidikan
nilai di dalam keluarga dibangun atas
dasar emosional bukan atas dasar
rasional.
Peranan
Keluarga
Dalam
Mewujudkan Pendidikan Nilai
Sebagai
Upaya
Mengurangi
Degradasi Nilai Moral
Globalisasi telah menimbulkan
dampak yang sangat berarti dalam
berbagai dimensi kehidupan manusia.
Globalisasi
merupakan
proses
internasionalisasi
seluruh
tatanan
masyarakat modern. Pada awalnya
proses ini hanya pada tataran ekonomi,
namun
dalam
perkembangannya
Peranan Keluarga Dalam Mewujudkan Pendidikan Nilai Sebagai Upaya
Mengatasi Degradasi Nilai Moral (Endang Purwaningsih)
cenderung menunjukkan keragaman.
Malcolm Waters mengemukakan
bahwa ada tiga dimensi proses
globalisasi, yaitu: globalisasi ekonomi,
globalisasi politik, dan globalisasi
budaya. Dari segi dimensi globalisasi
budaya, muncul beberapa jenis space
atau lukisan, seperti: etnospace,
technospace,
financespace,
mediaspace,
ideaspace,
dan
sacrispace.
Dengan
demikian,
universalisasi sistem nilai gobal yang
terjadi dalam dimensi kebudayaan telah
mengaburkan sistem nilai (values
system) kehidupan manusia, khususnya
pada negara-negara berkembang seperti
Indonesia dalam menghadapi tahun era
pasar bebas.
Indonesia adalah negara dengan
tingkat populasi yang cukup tinggi.
Dengan krisis ekonomi yang melanda
bangsa, kehidupan rakyat kita semakin
terseok-seok. Hal ini ditambah lagi
dengan semakin bobroknya moral
masyarakat dan para pejabat negara
yang sampai saat ini belum tertangani
secara memuaskan. Dewasa ini
kehancuran moral telah merasuk dalam
beragam bentuknya nyaris dapat
ditemui pada semua lapisan masyarakat
dan pada semua dimensi kehidupan:
politik,
sosial,
ekonomi,
atau
pendidikan. Dalam kehidupan politik
para politisi lebih terfokus pada
perebutan kekuasaan,
Gejolak sosial yang muncul di
tengah-tengah masyarakat
adalah
dampak ketimpangan sosial ekonomi
antar sesamanya. Betapa kesalnya
mereka ketika melihat para wakil
rakyat yang mereka percaya justru
melakukan tindakan KKN (korupsi,
kolusi, dan nepotisme). Di samping itu,
ternyata praktik korupsi juga turut
melanda institusi pendidikan (18,1%),
kesehatan (21,2%), bahkan lembaga
49
keagamaan tidak luput dari korupsi
(27,7%), (Kompas, hlm. 8, tanggal 17
September 2001). Menurut Lembaga
Transparancy International, Indonesia
termasuk dalam kategori negara
terkorup nomor tiga (1999), nomor
empat (2000) di dunia, dan nomor dua
di dunia (Metro TV) pada tahun 2001.
Setelah melakukan perbuatan itu,
mereka akan berbondong-bondong
kembali ke agama masing-masing dan
tetap mengulanginya di waktu yang
lain. Kondisi seperti itu membuat
mereka menjadikan agama sekadar
sarana penebus dosa atau meminjam
istilah Gordon W. Alport something to
use but not to live. Mereka menjadikan
agama untuk pencapaian kepentingan.
Dengan
demikian,
mereka
mengorbankan kejujuran dan ketulusan
serta nilai-nilai moral dan sosial yang
lain asal tujuan mereka tercapai. Pada
saat sama, mereka pun rajin melakukan
ibadah-ibadah ritual sebagai penebus
dosa-dosanya. Akhirnya, masyarakat
kecil yang harus memikul beban.
Semakin rumitnya krisis multi
dimensional yang melanda bangsa
Indonesia, menuntut usaha yang gigih
untuk menemukan jalan keluarnya.
Persoalan ini tidak bisa kita selesaikan
secara parsial, tetapi harus menyeluruh
menyangkut semua aspek kehidupan
ekonomi, politik, hukum, sosial budaya
termasuk juga aspek pendidikan.
Solusi dari aspek pendidikan
tentu saja tidak hanya ditekankan pada
aspek pendidikan formal saja, namun
bersifat menyeluruh mencakup ketiga
aspek pendidikan yaitu pendidikan
informal, formal, maupun non formal.
Dari segi pendidikan informal, keluarga
mempunyai peran yang sangat strategis
dalam mewujudkan pendidikan nilai
dalam rangka menekan degradasi nilai
moral bangsa kita. Djahiri (1996:46)
50
Jurnal Pendidikan Sosiologi Dan Humaniora Vol. 1. No. 1. April 2010
menegaskan
bahwa
rekayasa
pendidikan nilai adalah tanggung jawab
semua pihak terutama keluarga dan
masyarakat
(lingkungan
sekitar/adat/agamis) serta kelompok
sejawat.
Dobbert dan Nunner (1985)
dalam Djahiri (1996:47) menyatakan
bahwa ”family is the first dominant
factor and the effectively most
importent.....” Pernyataan ini jelas
menempatkan
keluarga
sebagai
lembaga sosial yang paling primer dan
penentu ”karakter diri” seseorang. Dan
ini sebenarnya bukan hal baru tetapi
bersifat ”rediscovery” dari dalil agama
dan budaya. Seperti contoh, bahwa
kasih sayang dan ucapan serta perilaku
ibu, bapak, adik dan kakak terhadap
bayi dapat mempengaruhi karakter bayi
tersebut.
Berdasarkan gambaran tersebut,
dapat disimpulkan bahwa keluarga dan
kehidupannya tidak boleh disepelekan
dan diabaikan. Namun, kenyataan yang
ada saat ini bersifat paradoks dimana
terdapat kecenderungan sekarang
akibat dorongan kebutuhan materiil
yang kian memuncak banyak ibu dan
bapak bekerja dan menyerahkan
masalah hidup anaknya kepada
pengasuh atau pembantu. Sehingga
hampir semua urusan pendidikan
sepenuhnya
diandalkan
kepada
sekolah. Dan celakanya di sekolah
masalah afektual, nilai moral hampirhampir tidak tersentuh (Djahiri,
1996:47). Lebih parah lagi bahwa,
disatu sisi waktu yang tersedia untuk
bermesraan antara orang tua dengan
anak semakin pendek, dan disisi lain
berbagai pengaruh negatif dari
tayangan televisi maupun internet
semakin agresif.
Semua ini bermakna bahwa
pendidikan nilai semakin minim,
sedangkan desonansi makin tinggi
sehingga buahnya tidak lain adalah
”erosi nilai moral” (Djahiri, 1996:48).
Erosi atau degradasi nilai-moral
terjadi
pada
semua
lapisan
masyarakat mulai dari kalangan anak
didik kita sampai pada orang dewasa,
dan pada semua bidang kehidupan
sebagaimana dijelaskan diatas. Oleh
karena itu, persoalan paling urgen di
dalam pendidikan informal saat ini
adalah
mengembalikan
peran
keluarga sebagai lembaga pendidikan
informal pertama dan utama dalam
membantu melaksanakan pendidikan
nilai moral.
Orang tua sebagai kepala
keluarga mempunyai fungsi yang
cukup besar dalam melengkapi dan
mengisi perannya dalam keluarga.
Keluarga, khususnya mempunyai
fungsi untuk mempersiapkan anak
menjadi pribadi yang tangguh dalam
mengarungi kehidupan di masyarakat.
Fungsi tersebut merupakan fungsi
pendidikan khususnya pendidikan nilai
(nilai-nilai kehidupan). Menurut Diane
Tillman ada dua belas nilai kehidupan
(living value) mendasar yang sangat
perlu untuk ditanamkan atau diajarkan
kepada anak-anak guna membekali
anak dalam mengarungi kehidupan
yang damai dan bahagia di dalam
masyarakat. Nilai-nilai itu meliputi
nilai kedamaian, penghargaan, cinta,
toleransi, kejujuran kerendahan hati,
kerjasama, kebahagiaan, tanggung
jawab, kesederhanaan, kebebasan, dan
persatuan. Meskipun, tidak juga perlu
ditanamkan nilai-nilai hakiki lainnya
seperti nilai-nilai agama misalnya.
Untuk dapat melaksanakan
fungsi pendidikan dengan baik, maka
keluarga diberi peran membantu
rekayasa pendidikan nilai dalam bentuk
hadirnya
proses:
Peranan Keluarga Dalam Mewujudkan Pendidikan Nilai Sebagai Upaya
Mengatasi Degradasi Nilai Moral (Endang Purwaningsih)
1). identifikasi yaitu proses memahami,
merespon dan memilih nilai-nilai;
2). internalisasi yaitu proses dimana
nilai-nilai itu dibatinkan di dalam diri
anak, sehingga menjadi sistem nilai/
tatanan; 3). pemodelan yaitu proses
pelakonan nilai-nilai, 4). reproduksi
spontan yaitu proses pembakuan yang
selanjutnya akan mampu melahirkan
tertanamnya nilai moral atau isi pesan
perilaku tersebut ke dalam diri anak.
Pendidikan nilai di dalam
keluarga tidak dilakukan dengan
tatanan ketentuan yang diformalkan
seperti di sekolah. Melainkan, tumbuh
dari
kesadaran moral sejati antar
anggota keluarga, antara oranga tua dan
anak. Dengan demikian, pendidikan
nilai di dalam keluarga dibangun atas
dasar ikatan emosional yang kuat
antara orang tua dengan anak, maupun
dengan anggota keluarga lainnya. Oleh
karenanya, peranan keluarga di dalam
membantu melaksanakan rekayasa
pendidikan nilai, yaitu mewujudkan
keempat proses tersebut dilakukan
secara lebih luwes. Dalam hal ini
keluarga berperan melakukan proses
identifikasi, internalisasi pemodelan
dan reproduksi spontan dua belas nilai
kehidupan dan nilai-nilai agama kepada
anak melalui pembiasaan (cultivation)
dalam kehidupan sehari-hari.
Metoda yang dapat digunakan
adalah:
cara mendongeng, dan
mendiskusikan secara santai nilai-nilai
dari kejadian atau informasi-informasi
yang disajikan media masa seperti
televisi, memberi contoh atau teladan
pengamalan nilai-nilai melalui perilaku
orang tua dalam kehidupan sehari-hari.
Nilai-nilai perlu diinternalisasikan
melalui pembiasaan didalam keluarga.
Waktu yang tepat untuk melaksanakan
pendidikan nilai di dalam keluarga yaitu
ketika keluarga berkumpul di rumah
51
seperti ketika keluarga sedang makan
bersama, ibadah bersama, atau sedang
santai-santai nonton televisi bersama,
atau kapan saja di saat mereka
berkumpul bersama. Bagi orang tua
yang tinggal berjauhan dengan anakanaknya, pendidikan nilai masih bisa
dilakukan melalui komunikasi telepon,
facebook, email dan lain-lain. Oleh
karena waktu kebersamaan antara anak
dengan orang tua dan anggota keluarga
lainnya semakin terbatas, maka yang
menjadi tekanan adalah kualitasnya
dalam arti kualitas isi pesan tentang
pendidikan nilai moral itu sendiri. Peran
keluarga
dalam
melaksanakan
pendidikan nilai dapat diperhatikan dari
contoh implementasi pendidikan nilainilai kehidupan berikut ini:
a. Nilai Kedamaian
Untuk
menanamkan
nilai
kedamaian ini, dapat dilakukan dengan
menghadirkan
stimulus misalnya
berupa informasi berita dari televisi
(untuk anak remaja atau dewasa muda).
Sedangkan untuk anak balita atau yang
masih usia SD penanaman nilai
kedamaian dapat disampaikan melalui
cerita-cerita yang menarik. Pada waktu
santai orang tua bersama anak-anak
khususnya yang sudah remaja atau
dewasa muda menonton bersama-sama
tayangan televisi misalnya tentang
penyerbuan israel ke palestina. Berdasar
informasi tersebut orang tua menjelaskan
dan menunjukkan akibat yang dasyat dari
peperangan itu, kemudian anak diberi
pemahaman tentang indahnya nilai
kedamaian
dalam
kehidupan
bermasyrakat.
Anak
diminta
memberikan respon terhadap peristiwa
peperangan
yang
dapat
meluluhlantakkan manusia dan segala
macam benda yang ada di dunia ini,
kemudian diminta menilai dan memilih
nilai yang seharusnya dianut. Namun
52
Jurnal Pendidikan Sosiologi Dan Humaniora Vol. 1. No. 1. April 2010
juga perlu dijelaskan kepada anak bahwa,
pengertian nilai kedamaian sebagaimana
dikemukakan oleh Tillman (2004, 4)
bukan berarti tidak sekedar tidak ada
perang. Kedamaian dunia tumbuh dari
non peperangan, penerimaan, keadilan
dan komunikasi, dan kedamaian dimulai
dalam hati seseorang. Jika setiap orang di
dunia ini merasa damai, dunia akan
menjadi damai. Kedamaian adalah
keadaan pikiran yang tenang dan santai.
Kedamaian adalah kediaman dari
dalam yang mengandung kekuatan
kebenaran. Agar tetap damai diperlukan
kasih sayang dan kekuatan. Kedamaian
harus diawali oleh kita masing-masing.
Proses memahamkan anak terhadap nilai
kedamaian ini tentu saja tidak hanya satu
kali namun perlu ada pengulangan, dan
yang sangat penting orang tua memberi
contoh berperilaku meangaplikasikan
nilai kedamaian dan anak dibiasakan
mengamalkan nilai itu sehingga menjadi
kebiasaan dalam hidupnya.
b. Nilai Penghargaan
Untuk
melakukan
proses
identifikasi, internalisasi, pemodelan
dan
reproduksi
spontan
nilai
penghargaan, dapat dilakukan dengan
membiasakan anak mengenal kualitas
pribadi, karena penghargaan seseorang
adalah benih yang menumbuhkan
kepercayaan diri. Bila kita bisa
menghargai diri sendiri maka mudah
untuk menghargai orang lain. Untuk
mengetahui kelebihan pribadi dan
menghargai kelebihan orang lain, adalah
cara yang tepat mendapatkan rasa
hormat. Namun perlu dijelaskan bahwa
makin besar rasa hormat yang diukur
dengan materi, makin besar keinginan
dipuji, sehingga akan kehilangan rasa
hormat pada diri sendiri. Yang
dimaksudkan rasa hormat disini
adalah rasa hormat yang dilandasi
dengan kerendahan hati, sehingga
akan timbul kebijaksanaan dan kita
mudah adil dan menyesuaikan diri
terhadap orang lain. Batasan nilai
penghargaan yang dijelaskan Tillman
(2004, 42) ini dapat dibiasakan di
dalam kehidupan sehari-hari yang
diwujudkan dengan cara menghargai
anak melalui pujian terhadap tindakan
yang benar, memberi pujian terhadap
pencapaian prestasi atau kinerja yang
baik. Serta ditumbuhkan kebiasaan
sportif saling menghargai pencapaian
prestasi antara orang tua dengan anak
dan antara anak yang satu dengan
lainnya, sehingga nilai penghargaan
dapat tertanam pada diri anak.
c. Nilai Cinta
Cinta bukanlah keinginan,
gairah atau perasaan yang hebat pada
seseorang atau obyek tapi suatu
kesadaran yang tidak egois dan
mencintai diri sendiri. Cinta adalah
prinsip
yang
menciptakan
dan
mempertahankan
hubungan
yang
mendalam dan mulia. Cinta adalah dasar
kepercayaan akan persamaan dan
keinginan baik untuk mewujudkannya.
Cinta adalah katalis untuk perubahan,
perkembangan,
dan
pencapaian.
(Tillman, 2004:66).
Lebih lanjut
Tillman menjelaskan pendapat Albert
Einstein, bahwa tantangan kita dalah
membebaskan diri. Dengan melebarkan
lingkaran cinta kita, dengan menghargai
semua makhluk dan alam sekeliling kita.
(Tillman, 2004:66). Nilai cinta dapat
ditanamkan pada anak-anak, dengan
membiasakan
mereka
saling
menyayangi, saling mengerti antar
anggota keluarga, menyayangi binatang,
merawat tanaman. Cara lain misalnya
anak diajak diskusi membahas tentang
perkelaian antar siswa, kemudian
dibahas
penyebab
konflik
dan
mengajukan solusi untuk menyelesaikan
Peranan Keluarga Dalam Mewujudkan Pendidikan Nilai Sebagai Upaya
Mengatasi Degradasi Nilai Moral (Endang Purwaningsih)
konflik dengan pendekatan kasih
sayang.
d. Nilai Toleransi
Toleransi adalah menghargai
individu dan perbedaannya, menghapus
topeng dan ketegangan yang disebabkan
oleh ketidakpedulian. Toleransi adalah
saling menghargai melalui saling
pengertian. Benih toleransi adalah cinta,
disiram dengan kasih, dan pemeliharaan.
Toleransi
berarti
kemampuan
menghadapi situasi sulit. Melalui
pengertian dan keterbukaan pikiran,
orang yang toleran memperlakukan
orang
lain
secara
berbeda,
menerimanya, menyesuaikan diri, dan
menunjukkan
toleransinya.
Nilai
toleransi dapat diajarkan melalui
pembahasan konflik yang disebabkan
intoleransi. Dalam moment ini, orang
tua bisa menjelaskan tentang nilai
toleransi. Namun nilai ini tidak cukup
didiskusikan saja, namun kemudian
diaplikasikan dalam kehidupan seharihari melalui teladan orang tua,
membiasakan
anak
menghargai
perbedaan dirinya dengan anak yang
lain dan dengan teman-temannya.
e. Nilai Kejujuran
Kejujuran
adalah
berani
mengatakan kebenaran. Kejujuran
berarti tidak ada kontradiksi pikiran,
kata, dan tindakan. Kejujuran adalah
kesadaran akan apa yang benar dan
sesuai dengan perannya, tindakannya,
dan hubungannya (Tillman, 2004:120).
Nilai kejujuran dapat diajarkan kepada
anak balita atau SD melalui cerita. Bagi
anak remaja atau dewasa muda dapat
diajak mendiskusikan tentang kasus
KKN
berikut
penyebab
dan
akibatnnya.
f. Nilai Kerendahan Hati
Rendah
hati
adalah
kemampuan menghargai diri sendiri
dan orang lain. Rendah hati adalah
53
tetap teguh dan mempertahankan
kekuatan diri serta tidak berkeinginan
untuk mengatur yang lainnya. Dengan
adanya keseimbangan rasa hormat
diri dan rendah hati, maka ada
penerimaan dan penghargaan kualitas
seseorang
di
dalam
dirinya.
Penanaman nilai rendah hati dapat
diberikan kepada anak kecil melalui
cerita-cerita seseorang yang penuh
arogan, hormat, rendah hati. Bagi
anak-anak remaja dan dewasa muda
dapat diajak berdiskusi tetang sosok
pahlawan atau tokoh masyarakat yang
rendah hati.
g. Nilai Kerjasama
Kerjasama sama terjadi saat
orang bekerja bersama mencapai tujuan
bersama. Kerjasama membutuhkan
pengenalan akan nilai dari keikutsertaan
semua
pribadi
dan
bagaimana
mempertahankan sikap baik (Tillman,
20004:262). Untuk mengajarkan nilai
kerjasama kepada anak kecil dapat
dilakukan melalui cerita. Sedangkan
untuk anak remaja dan dewasa muda
perlu dilibatkan dan dibiasakan dalam
menyelesaikan kegiatan-kegiatan yang
dilakukan mencuci motor atau mobil,
bergotong-royong
membersihkan
lingkungan
kampung
bersama
masyarakat.
h. Nilai Kebahagiaan
Dimana cinta dan damai ada
di dalam hati, kebahagiaan tumbuh
secara otomatis. Nilai kebahagiaan
dapat diajarkan kepada anak yang
masi kecil melalui cerita yang
mengisahkan kebahagiaan. Bagi anak
yang sudah remaja atau dewasa muda
dapat diajak berdiskusi misalnya
tentang penyalahgunaan narkoba yang
dapat menimbulkan ketidakbahagiaan
dirinya maupun orang tuanya, diskusi
tentang jaman penjajahan yang
menggambarkan
ketidakbahagiaan
54
Jurnal Pendidikan Sosiologi Dan Humaniora Vol. 1. No. 1. April 2010
manusia dijajah bangsa lain, diskusi
tentang kejahatan dengan segala
dampak bagi dirinya dan orang lain.
i. Tanggung jawab
Bertanggung jawab adalah
melakukan kewajiban dengan sepenuh
hati. Tanggung jawab bukan hanya
suatu kewajiban tetapi juga sesuatu
yang membantu kita mencapai tujuan.
Bagi anak-anak kecil, nilai tanggung
jawab dapat diajarkan dengan cara
membiasakan mereka melakukan tugas
yang ringan seperti membereskan
mainannya setelah selesai bermain,
menyimpan baju seragam, sepatu, tas
sekolah sepulang dari sekolah dan lainlain. Selain cara tersebut, dapat juga
dilakukan dengan mendongeng tentang
kisah orang yang bertanggung jawab.
Sedangkan bagi remaja dan dewasa
muda dapat diajak berdiskusi misalnya
tentang tanggung jawab dalam keluarga
yaitu tanggung jawab ibu, bapak, anak.
Anak-anak tersebut juga perlu
dibiasakan menepati janji sebagai
wujud tanggung jawab.
j. Nilai Kesederhanaan
Bagi
anak
kecil
nilai
kesederhanaan dapat diajarkan melalui
kisah, dan dengan membiasakan
mereka hemat menggunakan uang
jajan, menabung menyisihkan uang
jajan, bersedekah kepada fakir miskin.
Bagi remaja dan dewasa muda, nilai
kesederhanaan dapat diajarkan dengan
membiasakan mereka hemat, tidak
mudah terpengaruh iklan tentang
produk pakaian yang mahal-mahal.
Disamping itu juga dapat dilakukan
dengan memberika penjelasan dan
mendiskusikan tentang keuntungan bila
hidup sederhana.
k. Nilai Kebebasan
Kebebasan
berdampingan
dengan pikiran dan hati. Kebebsan
bukan berarti bebas melakukan apa saja
yang disukai, tetapi kebebasan untuk
mencapai hidup yang bermanfaat bagi
dirinya dan orang lain. Nilai kebebasan
dapat diajarkan kepada anak kecil
dengan cara menceriterakan sejarah
tentang penjajahan. Anak dibiasakan
tidak mengganggu hak temannya ketika
mereka bermain. Bagi remaja dan
dewasa
muda
dapat
diajak
mendiskusikan
tentang
sejarah
memperjuangkan
kemerdekaan,
tentang
perbudakan,
tentang
pelanggaran HAM dan lain-lain. Anakanak
perlu
dibiasakan
tidak
mengganggu hak temannya karena
dapat mengurangi kebebasan orang
lain.
l. Nilai Persatuan
Persatuan adalah keharmonisan
dengan dan antara individu dalam satu
kelompok. Persatuan dibangun dari
saling berbagi pandangan, harapan, dan
tujuan mulia atau demi kebaikan
semua. Untuk mengajarkan nilai
persatuan kepada anak-anak kecil dapat
dilakukan dengan dengan menceritakan
kisah
tentang
binatang
yang
menggambarkan persatuan. Remaja
dan dewasa muda dapat diajak diskusi
tentang informasi di televisi atau dari
sejarah tentang perpecahan yang
terjadi antar suku, antar masyarakat
satu dengan lainnya.
Berdasarkan uraian di atas dapat
dimengerti bahwa pendidikan nilai tidak
hanya sebatas
pada teori dan
pengajaran, tetapi harus disertai dengan
perilaku hidup. Antara kata dan
perbuatan harus sinkron atau sejalan.
Pendidikan nilai pasti gagal total bila
pelanggaran-pelanggaran moral masih
terus
berlangsung.
Penanaman
pendidikan nilai harus ditunjukkan
melalui sikap perbuatan yang kongkrit.
Peranan Keluarga Dalam Mewujudkan Pendidikan Nilai Sebagai Upaya
Mengatasi Degradasi Nilai Moral (Endang Purwaningsih)
Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan yang
sudah dipaparkan dimuka, dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Keluarga dalam arti orang tua
mempunyai fungsi dan peran yang
amat strategis dan penting dalam
membantu rekayasa pendidikan nilai
dalam bentuk hadirnya proses,
a. Identifikas yaitu proses memahami,
merespon dan memilih nilai-nilai,
b. Internalisasi yaitu proses dimana
nilai-nilai itu dibatinkan di dalam
diri anak, sehingga menjadi sistem
nilai/tatanan,
c. Pemodelan yaitu prses pelakonan
nilai-nilai,
d. Reproduksi spontan yaitu proses
pembakuan yang selanjutnya akan
mampu melahirkan tertanamnya
nilai moral atau isi pesan perilaku
tadi ke dalam diri anak,
2. Keempat
proses
rekayasa
pendidikan nilai dalam keluarga
dapat
dilaksanakan
melalui
pembiasaan (cultivation) dalam
kehidupan sehari-hari. Metoda yang
cara
dapat digunakan adalah:
mendongeng, dan mendiskusikan
secara santai nilai-nilai dari kejadian
atau informasi-informasi yang
disajikan media masa seperti
memberi contoh atau
televisi,
teladan pengamalan nilai-nilai
melalui perilaku orang tua dalam
kehidupan sehari-hari,
3. Keluarga merupakan lembaga sosial
yang paling primer dan penentu
”karakter diri” seseorang. Oleh
karenanya, pendidikan nilai moral
yang dimulai dari keluarga dengan
mengoptimalkan peran keluarga
tersebut,
diharapkan
dapat
mereduksi degradasi nilai-moral
yang melanda bangsa kita.
Saran
Agar degradasi moral dapat
diminimalisir,
sebaiknya
perlu
55
disosialisasikan suatu program yang
berorinetasi
pada
internalisasi
pendidikan nilai moral pada semua
keluarga di Indonesia.
Daftar Pustaka
Elmubarok, Z. ( 2008). Membumikan
Pendidikan
Nilai:
Mengumpulkan
Yang
Terserak. Menyambung Yang
Terputus Dan Menyatukan Yang
Tercerai. Bandung: Alfabeta.
Bertens, K. (2005). Etika. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Djahiri, A.K. (1996). Menelusuri Dunia
Afektif.
Bandung:
Lab.
Pengajaran PMP IKIP.
Hakam. K.A. (2000). Pendidikan Nilai.
Bandung: MKDU PRESS.
Latif. A, ( 2007). Pendidikan Berbasis
Nilai
kemasyarakatan.
Bandung: PT Refika Aditama.
Mawardi,
L,
(2008).
Evaluasi
Pendidikan Nilai. Yogyakarta.
Pustaka Pelajar.
Sauri, S. (2006). Pendidikan berbahasa
Santun.
Bandung:
PT
Genesindo.
--------- (2006). Membangun Komunikasi
Dalam Keluarga: Kajian Nilai
Religi,
Sosial, Dan Edukatif.
Bandung: PT Genesindo.
Subiyanto.S.http://www.balipost.com/me
diadetail.php.
Sumatmadja, N, (2005). Manusia Dalam
Konteks Sosial, Budaya Dan
Lingkungan Hidup. Bandung.
Alfabeta.
Suseno, F.M. (1987). Etika Dasar.
Yogyakarta: Kanisius.
______ 13 Tokoh Etika. Yogyakarta:
Kanisius.
Tillman. D. (2004). Living Value For
Young Adult. Diterjemahkan:
Praptono dan Sirait). Jakarta:
Grasindo.
Download