SKRIPSI IMPLEMENTASI ASAS CEPAT, SEDERHANA, DAN BIAYA RINGAN DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA MAKASSAR OLEH IDA FARAHDIBA ARIFIN LIMI B12112111 PROGRAM STUDI HUKUM ADMINISTRASI NEGARA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2016 i HALAMAN JUDUL IMPLEMENTASI ASAS CEPAT, SEDERHANA, DAN BIAYA RINGAN DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA MAKASSAR SKRIPSI Diajukan sebagai Tugas Akhir dalam Rangka Penyelesaian Studi Sarjana pada Program Studi Hukum Administrasi Negara Oleh : Ida Farahdiba Arifin Limi B12112111 PRODI HUKUM ADMINISTRASI NEGARA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2016 i ii iii iv v ABSTRAK IDA FARAHDIBA ARIFIN LIMI, B12112111, Implementasi Asas Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan di Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar. (Dibimbing oleh Abdul Razak selaku pembimbing I dan Zulkifli Aspan selaku pembimbing II). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses beracara dalam pengimplementasian asas cepat, sederhana, dan biaya ringan di Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar. Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum empiris, dengan teknik pengumpulan data yaitu studi lapangan dan studi kepustakaan. Data dilengkapi dengan data primer dari lapangan dengan cara melakukan wawancara dengan para responden penelitian untuk mendapatkan data yang berkaitan dengan pembahasan, dan bahan sekunder. Adapun temuan yang didapatkan dari kesimpulan dan saran. Kesimpulan, pertama implementasi asas cepat, sederhana, dan biaya ringan pada Pengadilan Tata Usaha Negara telah dilaksanakan secara optimal, berdasarkan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara sebagai telah diatur dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 perubahan atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 dan perubahan kedua UndangUndang No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Kedua, faktor yang mempengaruhi implementasi asas cepat, sederhana, dan biaya ringan adalah kurangnya ruang siding/infrastruktur Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar. Adapun saran yang dapat penulis rekomendasikan yaitu, pertama meningkatkan kinerja sehingga implementasi asas cepat, sederhana, dan biaya ringan tetap optimal. Kedua, hendaknya Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar dapat menambah ruang siding/infrastruktur sehingga tidak terjadinya penumpukan persidangan. v KATA PENGANTAR Alhamdulillahirabbil Alamin, segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam atas segala limpahan rahmat, hidayah, dan karunia yang senantiasa dicurahkan kepada penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat tugas akhir pada jenjang studi Strata Satu (S1) di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Yang Bertema “Implementasi Asas Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan di Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar”. Salam dan shalawat kepada Baginda Rasulullah Muhammad S.A.W. yang selalu menjadi contoh panutan yang baik dalam segala tingkah dan perbuatan yang kita lakukan sehingga dapat bernilai ibaadah di sisi Allah SWT. Semoga semua hal yang penulis lakukan berkaiatan dengan penyelesaian skripsi ini dapat bernilai ibadah di sisi-Nya. Amiiin. Alhamdulillah skripsi ini pun dapat diselesaikan penyelesaian skripsi ini telah dilakukan dengn segenap kemampuan yang telah penulis curahkan didalamnya. Baik dan kurangnya hanya pembacalah yang bias menilai, penulis pun menyadari bahwa penulisan skripsi ini memiliki nilai yang tidak semua orang dapat menilai baik karena sesungguhnya kesempurnaan itu hanya milik Allah SWT. Selama pelaksaan penelitian ini Penulis mendapat bimbingan, arahan, serta dukungan dari berbagai pihak sehingga penyusunan skripsi vi ini berjalan dengan lancer. Pada kesempatan ini Penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan kepada Penulis dalam menyelesaikan penyusunan skripsi ini yang paling berperan penting dalam penulisan ini dan memberimotivasi bagi Penulis yaitu Ayah Almarhum Arifin Limi dan Ibu AKBP Suriani Wengang yang selalu mendukung, menyemangati, menjadi panutan penulis sebagai orang yang selalu setia mendoakan dan memberi Motivasi dan yang telah merawat dari bayi hingga sekarang mereka adalah orang yang sangat berarti bagi Penulis terima kasih Ayah dan Ibu tersayang. Terima kasih juga untuk untuk saudara Penulis yaitu Esthi Ayu Pratiwi Arifin Limi dan Muhammad Sadly Rachim yang selalu mendukung dan membantu hingga penulis bisa sampai dalam proses pembuatan Skripsi di ujung proses pendidikan Strata Satu pada Program Studi Hukum Administrasi Negara, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin Makassar Tahun 2016. Penulis juga menyampaikan rasa Hormat dan terima kasih kepada : 1. Ibu Prof. Dr. Dwia Aries Tina Palubuhu, selaku Rektor Universitas Hasanuddin dan jajarannya. 2. Ibu Prof. Dr. Farida Patitingi, S.H.,M.Hum. Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin dan jajarannya. 3. Ketua Prodi Hukum Administrasi Negara, Prof. Dr. Achmad Ruslan, S.H.,M.H yang telah sabar mencurahkan tenaga, waktu, dan pikiran dalam pemberian saran dan motivasi. vii 4. Bapak Prof. Dr. Abdul Razak, S.H.,M.H. selaku pembimbing I dan Bapak Dr. Zulkifli Aspan, S.H., M.H. selaku pembimbing II, terima kasih yang sebesar-besarnya atas segala kesabaran, petunjuk, saran, bimbingan dan waktu yang telah diluangkan untuk penulis yang telah banyak berperan memberikan bimbingan serta arahan sehingga terselesaikan skripsi ini sekali lagi terima kasih yang sebesar-besarnya. 5. Bapak Prof. Dr. Andi Pangerang Moenta, S.H.,M.H.,DFM, Bapak Prof. Dr. Yunus Wahid, S.H.,M.H. dan Dr. Anshori Ilyas, S.H.,M.H. yang bersedia menjadi dosen penguji Skripsi yang telah memberikan pertanyaan, masukan, dan saran-sarannya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini. 6. Seluruh Dosen Hukum Universitas Hasanuddin yang sering memberi arahan dan motivasi-motivasi. 7. Seluruh Pegawai/Staf Akademik Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin atas bantuan dan arahannya dalam membantu penulis untuk memenuhi kebutuhan perkuliahan penulis hingga penulisan karya ini sebagai tugas akhir. Penulis sangat berterima kasih atas segala bimbingan dan bantuannya. 8. Keluarga besar TK Al-Amin, SD No. 15 Dauh Puri, SMP Saraswati 1, SMA Katolik Santo Yoseph di kota Denpasar, Bali terima kasih atas semua ilmu dan pengalaman yang diberikan. viii 9. Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar dan stafnya yang telah memberikan izin dan bantuan kepada penulis dalam melaksanakan penelitian. 10. Seluruh teman-teman kuliah S1Prodi Hukum Administrasi Negara, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin Angkatan 2012 telah mendukung dan menyemangati penulis hingga dapat menyelesaikan skripsi. 11. Teman-teman KKN Gelombang 90 Kecamatan Rilau Ale, Kabupaten Bulukumba, terutama buat teman Posko Baji Minasa yaitu Rahmi Amalia, Adlen Randa Bunga, Edar Ghener, Alvin Aprilio, Ardy Arisandi terima kasih kebersamaannya canda tawa bantuan dan persaudaraannya selama di lokasi KKN. 12. Kelompok 2 magang di Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Makassar yaitu Cindy Triana Sardju, Anisah Mundari, Reprisal Moddy, Rizky Ridwan, Fadliansyah Akbar, Resqia Whina, dan Andi Fildah terima kasih canda tawa, kebersamaan, semangat, dan bantuan yang diberikan kepada penulis. 13. Sahabat yang sudah menjadi saudara yang selalu berbagi canda tawa, senantiasa mendukung, menemani dalam susah maupun duka selama mencari ilmu di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar yaitu Ferliana Harman, Tuti Hardiyanti, Syukranah Yusuf, Cindy Triana Sardju, Nur Hakiki ix Hakim, Anisah Mundari, Andi Nur Rezki Lestari, Zakiyah Aulia Akbar, dan Nur Hayati. x DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL …….......................................................................... i LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI ……................................................ ii PERSETUJUAN PEMBIMBING ……………………………………………. iii PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI …………………………. iv ABSTRAK .............................................................................................. v KATA PENGANTAR ….…..................................................................... vi DAFTAR ISI ………………………..……………………………….….….... xi DAFTAR TABEL…………………………………………………………… xiv BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang …………………………………………….………..... 1 B. Rumusan Masalah …………………………………………………… 6 C. Tujuan Penelitian…………...………………………………………. 6 D. Kegunaan Penelitian ..…………………………………………....... 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sistem Peradilan di Indonesia 1. Pengertian Peradilan ………………………………………….... 8 2. Fungsi Peradilan ………………………………………………… 13 3. Lingkungan Lembaga Peradilan ……………………………..... 14 xi B. Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) 1. Pengertian Peradilan Tata Usaha Negara ( PERATUN) …… 16 2. Dasar Hukum Pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN ) ……………………………………………….……. 18 3. Ruang Lingkup Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) ….. 19 4. Tujuan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) ……….…… 21 C. Kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) 1. Kompetensi Relatif ……………………………………………... 23 2. Kompetensi Absolut ……………………………………………. 25 D. Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara 1. Pengertian Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara … 27 2. 3. 4. 5. Penyelesian Sengketa Tata Usaha Negara …………..……... Hukum Acara Biasa …………………………………………….. Hukum Acara Cepat ……………………………………………. Hukum Acara Singkat ………………………………………...... 29 30 31 32 E. Asas Hukum 1. Pengertian Asas Hukum ……………………………………..… 34 2. Asas-asas Hukum Peradilan Tata Usaha Negara…….……... 35 3. Asas Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan …………………. 38 BAB III METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian ………………………………………………………. B. Lokasi Penelitian ……………………………………………………. C. Jenis dan Sumber Data ……………………………………………. D. Penentuan Populasi dan Sampel …………………………………. E. Teknik Pengumpulan Data ………………………………………… F. Analisis Data ………………………………………………………… 42 42 43 44 45 45 xii BAB IV PEMBAHASAN A. Implementasi Asas Cepat, Sederhana, Biaya Ringan di Pengadilan Tata Usaha Makassar ……………………...……...… 46 B. Faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi Asas Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan di Pengadilan Tata Usaha Negara ……………………...…………………………………….…. 57 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ……………………………………………….....……… B. Saran …………………………………………………………..……. 68 68 DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………..…...…… 70 xiii DAFTAR TABEL Tabel 1 : Jumlah perkara pada tahun 2014-2015 ………...…………..… 50 Tabel 2 : Biaya Perkara pada Tingkat Pertama ………….……………... 59 Tabel 3 : Perkara yang melebihi batas waktu penyelesaian perkara Tata Usaha Negara berdasarkan pada SEMA No. 2 Tahun 2014 ……………………………...……….. 68 xiv BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini, sistem peradilan di Indonesia masih belum sesuai dengan harapan masyarakat. Masih banyak kritik yang dilontarkan dan kerap menimbulkan keputusaan para pencari keadilan terhadap sistem peradilan di Indonesia, hal ini dapat dimaklumi karena masyarakat menginginkan agar lembaga dapat memberikan keadilan kepada masyarakat. Meskipun demikian, pada kenyataannya tidak semua orang dapat mengakses keadilan melalui proses hukum di lembaga peradilan. Agar dapat memperjuangkan hak keadilan melalui proses peradilan, dibutuhkan pengetahuan prosedur beracara yang dimulai dengan pengajuan permohonan atau gugatan hingga putusan. Selain itu, dalam memperjuangkan keadilan juga diperlukan tenaga dan biaya untuk menghadiri persidangan di Pengadilan, apalagi melihat kondisi geografis Indonesia yang sedemikian luas. Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945. Sebagai dasar hukum dan untuk mewujudkan kehidupan tata negara yang adil bagi seluruh masyarakat Indonesia yang kedudukan, hak, serta kewajiban – kewajibannya diatur dan dijamin oleh Undang – Undang. 1 Dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia terdapat tiga pilar kekuasaan negara, yaitu kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudisial ( kehakiman ). Dari ketiga lembaga tersebut ekskutif memiliki porsi peran dan wewenang yang paling besar apabila dibandingkan dengan lembaga lainnya, oleh karnenanya perlu ada kontrol terhadap pemerintah untuk adanya check and balances. 1 Salah satu bentuk kontrol yudisial atas tindakan administrasi pemerintah adalah melalui lembaga peradilan. Salah satu prinsip penting Negara Hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya. Berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, dalam Pasal 24 UUD 1945 juncto Pasal 4 Ayat 3 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Sebelum amandemen UUD 1945, kendatipun mengenai pelaksanaan peradilan dari semua badan peradilan berpuncak pada Mahkamah Agung, namun pembinaaan organisasi, administrasi, dan keuangan badan peradilan dilakukan oleh departemen masing – masing. Badan Peradilan Umum dibina oleh Departemen Kehakiman, Badan Peradilan Agama dibina oleh Departemen Agama, Badan Peradilan Militer dibina oleh Departemen Pertahanan dan Keamanan, dan Badan Peradilan Tata Usaha Negara dibina oleh Departemen Kehakiman. 1 Titik Triwulan dan Ismu Gunadi Widodo, Hukum Tata Usaha Negara Dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia, (Jakarta Kencana Prenadamedia Group, 2011), hlm. 587 2 Namun pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan yang dilakukan oleh departemen – departemen ini tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutuskan sesuatu perkara. Pemberian kebebasan kepada kekuasaan kehakiman dalam melaksanakan peradilan sudah selayaknya, karena perbuatan mengadili adalah perbuatan yang luhur untuk memberikan suatu putusan terhadap suatu perkara yang semata – mata harus didasarkan kepada kebenaran, kejujuran, dan keadilan. Harus dijauhkan dari tekanan dan pengaruh dari pihak manapun baik oknum mau pun golongan masyarakat, apabila suatu kekuasaan pemerintah yang biasanya mempunyai jaringan yang kuat dan luas, sehingga dikhawatirkan pihak lain yang lemah akan dirugikan. Semua peradilan tersebut dalam melaksanakan tugasnya harus menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila. Realisasi dasar Pancasila terutama dapat dilihat dalam setiap putusan pengadilan memakai kepala yang berbunyi “demi keadilan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Semua itu merupakan jaminan yang sebaik – baiknya oleh kekuasaan kehakiman kepada pencari keadilan yang berperkara di pengadilan, yang tidak akan dibedakan kedudukan atau martabatnya. Peradilan juga harus memenuhi harapan pencari keadilan yang selalu menghendaki peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya 3 ringan. Pada Pasal 2 Ayat (4) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan bahwa : “Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan”. Sederhana adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efisien dan efektif tidak diperlukan pemeriksaan dan acara yang berbelit – belit yang dapat menyebabkan proses yang bertahun – tahun, bahkan kadang – kadang harus dilanjutkan oleh ahli waris pencari keadilan. Biaya ringan berarti biaya yang serendah mungkin sehingga dapat terpikul oleh rakyat. Ini semua tanpa mengorbankan ketelitian untuk mencari kebenaran dan keadilan. Peradilan Tata Usaha Negara adalah Salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa tata usaha negara yang dimana dilaksanakan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang dimana berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi. Tujuan dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara (Peratun) adalah untuk mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa yang sejahtera, aman, tentram serta tertib yang menjamin kedudukan warga masyarakat dalam hukum dan menjamin terpeliharanya hubungan yang serasi, seimbang, serta selaras antara aparatur dibidang tata usaha negara dan para warga masyarakat. 4 Namun demikian asas sederhana, cepat, dan biaya ringan dalam pemeriksaan dan mengesampingkan penyelesaian ketelitian perkara dan di kecermatan pengadilan dalam tidak mencari kebenaran dan keadilan. Terhadap dunia peradilan penyelesaian sengketa yang lambat, sangat formalistik, biaya mahal bukan hanya terhadap peradilan di Indonesia saja, tetapi pada umumnya termasuk negara – negara yang sudah maju. Keadaan seperti inilah yang menyebabkan masyarakat menginginkan agar badan peradilan mampu memenuhi harapan pencari keadilan yang selalu menghendaki penyelesaian perkaranya dengan cepat dan tidak terlalu banyak mengeluarkan biaya. Dalam perkembangan dewasa ini perlu didesain sistem peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan dengan tetap pada prinsip keadilan menjadi tujuan. Kesederhanaan tata cara dan cepatnya penyelesaian perkara sama sekali tidak boleh menyebabkan kecermatan, ketelitian serta keadilan diabaikan, tetapi hanyalah memotong mata rantai proses yang lama dan berbelit – belit dalam mencapai dan menggapai keadilan. Dari uraian tersebut di atas, maka peneliti tertarik untuk mengkaji lebih jauh mengenai penelitian ini dalam bentuk skripsi dengan judul IMPLEMENTASI ASAS CEPAT, SEDERHANA, DAN BIAYA RINGAN DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA MAKASSAR. 5 B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana implementasi asas cepat, sederhana, dan biaya ringan untuk pencari keadilan di Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar ? 2. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi asas cepat, sederhana, dan biaya ringan untuk pencari keadilan di Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar ? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui implementasi asas cepat, sederhana, dan biaya ringan untuk pencari keadilan di Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar. 2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi asas cepat, sederhana, dan biaya ringan untuk pencari di Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar. D. Kegunaan Penelitian 1. Secara Teoretis : Hasil penelitian ini diharapkan mampu memperluas dan memperdalam ilmu hukum administrasi negara yang berkaitan dengan hukum acara peradilan tata usaha negara dalam mengkaji dan menganalisis mengenai permasalahan hukum di Indonesia terutama menyangkut permasalahan pengimplementasian asas 6 cepat, sederhana, dan biaya ringan untuk pencari keadilan di Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar. 2. Secara Praktis : Secara praktis penelitian ini berguna dalam memberikan masukan dan refrensi bagi kalangan praktisi dan aparatur penegak hukum, khususnya dalam mewujudkan penyelesaian perkara secara Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan dalam lingkungan peradilan tata usahan negara khususnya di kota makassar. 7 BAB II Tinjauan Pustaka A. Sistem Peradilan di Indonesia 1. Pengertian Peradilan Penegakan hukum dan keadilan meupakan salah satu fungsi kedaulatan suatu negara, yang perlu ditopang dengan adanya Pengadilan berdaulat. Pengadilan sejatinya merupakan lembaga yang bertugas mencerahkan dan memberi arah perjalanan peradaban bangsa. Kekuasaan politik pemerintahan dapat berjalan dengan benar dan adil jika ada lembaga yang berfungsi menegakkan hukum dan mengadili sengketa antara rakyat dengan pemerintah atau antara rakyat dengan anggota masyarakatt lainnya. Istilah peradilan dan pengadilan mempunyai perngertian yang berbeda, tetapi sering dipakai untuk arti yang sama. Peradilan adalah sebuah sistem aturan yang mengatur agar supaya kebenaran dan keadilan dapat ditegakkan, sedangkan Pengadilan adalah sebuah perangkat organisasi penyelenggaraan peradilan, dan Pengadilan inilah yang biasa disebut peradilan.2 2 Hatta Ali, Peradilan Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan Menuju Keadilan Restoratif, (Bandung: P.T. Alumni, 2012), hlm. 216. 8 Selain menjamin perlakuan yang adil, kepada para pihak, kesempatan untuk didengar, menyelesaikan sengketa dan menjaga ketertiban umum, peradilan juga membawa nilai-nilai masyarakat yang terkandung dalam hukum untuk menyelesaikan sengketa. Dengan demikian peradilan tidak hanya menyelesaikan sengketa, tetapi juga menjamin suatu bentuk ketertiban umum yang tertuang dalam undang-undang. Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin pesat sehingga munculnya sebuah konflik membutuhkan penanganan yang cepat dan baik, lembaga peradilan harus mampu menjalankan tugas dan fungsinya, sebagai tonggak untuk mencapai keadilan. Dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia terdapat tiga pilar kekuasaan negara, yaitu kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif (kehakiman). Berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, dalam Pasal 24 UUD 1945 (perubahan) juncto UU No. 4 Tahun 2004, ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan–badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.3 3 Titik Triwulan dan Ismu Gunadi Widodo, Op.Cit., hlm 557. 9 Menurut Djokosutono, terdapat empat tahap sekaligus empat macam rechtspraak yang dikenal dalam sejarah, yaitu : 4 a. Rechtspraak naar ongerschreven recht (Hukum Adat), yaitu pengadilan yang didasarkan atas ketentuan hukum yang tidak tertulis seperti pengadilan adat. b. Rechtspraak naar precedenten, yaitu pengadilan yang didasarkan atas prinsip preseden atau putusan – putusan hakim yang terdahulu, seperti yang diperaktikkan di Inggris. c. Rechtspraak naar rechtsboeken, yaitu pengadilan yang didasarkan atas kitab-kitab hukum, seperti dalam praktik dengan Pengadilan Agama (Islam) yang menggunakan compendium atau kitab-kitab ulama ahlussunnah waljama’ah atau kitab-kitab ulama syi’ah. d. Rechtspraak naar wetboeken, yaitu pengadilan yang didasarkan atas ketentuan undang-undang ataupun kitab undang-undang Pengadilan ini merupakan penjelmaan dan paham hukum positif atau modern wetgeving yang mengutamakan peraturan perundang-undangan yang bersifat tertulis (schreven wetgeving). Sebelum amandemen UUD 1945, kendatipun mengenai pelaksanaan peradilan dari semua badan peradilan berpuncak pada 4 Mahkamah Agung, namun pembinaan organisasi, Ibid., hlm 559-560. 10 administrasi, dan keuangan badan peradilan dilakukan oleh departemen masing – masing. Badan Peradilan Umum dibina oleh Departemen Kehakiman, Badan Peradilan Agama dibina oleh Departemen Agama, Badan Peradilan Militer dibina oleh Departemen Pertahanan dan Keamanan, dan Badan Peradilan Tata Usaha Negara dibina oleh Departemen Kehakiman. Namun pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan yang dilakukan oleh departemen-departemen ini tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutuskan sesuatu perkara. Pemberian kebebasan kepada kekuasaan kehakiman dalam melaksanakan peradilan memang sudah selayaknya, karena perbuatan mengadili adalah perbuatan yang luhur untuk memberikan suatu putusan terhadap sesuatu perkara yang sematamata harus didasarkan kepada kebenaran, kejujuran, dan keadilan. Harus dijauhkan dari tekanan dan pengaruh dari pihak mana pun baik oknum maupun golongan masyarakat, apabila suatu kekuasaan pemerintah yang biasanya mempunyai jaringan yang kuat dan luas, sehingga dikhawatirkan pihak lainnya yang lemah akan dirugikan. Semua badan peradilan tersebut dalam melaksanakan tugasnya harus menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila. Realisasi dasar Pancasila terutama dapat 11 dilihat dalam setiap putusan pengadilan memakai kepala yang berbunyi “Demi keadilan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Semuanya itu merupakan jaminan yang sebaik – baiknya oleh kekuasan kehakiman kepada pencari keadilan yang berperkara di pengadilan, yang tidak akan dibedakan kedudukan atau martabatnya.5 Pengadilan adalah lembaga kehakiman yang menjamin tegaknya keadilan melalui penerapan undang-undang dan kitab Undang-Undang (wet en zvetboeken) dimaksud. Strukturnya dapat bertingkat – tingkat sesuai dengan sifat perkara dan bidang hukum yang terkait. Ada perkara yang cukup diselesaikan melalui peradilan pertama dan sekaligus terakhir, ada pula perkara yang diselesaikan dalam tiga tahap, yaitu tingkat pertama, banding, dan kasasi. Selain itu seperti pembagian menurut Van Vollenhoven, justitierecht atau the law of the administration of justice sendiri terbagi lagi menjadi empat, yaitu : a. Staatsrechtelijke Rechtspleging (Peradilan Tata Negara). b. Privaatsrechttelijke Rechtspleging (Peradilan Perdata). c. Strafsrechfelijke Rechtspleging (Peradilan Pidana). d. Administratiefrechtelijke Rechtspleging (Peradilan Tata Usaha Negara). 5 Ibid., hlm. 257-258. 12 2. Fungsi Peradilan Fungsi Peradilan untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat. Badan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung yang meliputi badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara masing-masing memiliki kewenangan mengadili secara absolut. Kewenangan mengadili secara absolut dari masing-masing badan peradilan dapat disimak dari peraturan perundangundangan mengenai kekuasaan kehakiman serta perundangundangan yang mengatur secara khusus pada setiap badan peradilan tersebut. Pasal 25 UU Kekuasaan Kehakiman pada garis besarnya mengatur kewenangan dari setiap badan peradilan tersebut sebagai berikut :6 (1) Peradilan Umum : Berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara pidana dan perdata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Peradilan Agama : Berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 6 Sukarno Aburaera, Kekuasaan Kehakiaman, (Makassar, Arus Timur, 2012) hlm. 23-24. 13 (3) Peradilan Militer : Berwenang memeriksa, mengadili, dan memutuska perkara tindak pidana militer sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Peradilan Tata Usaha Negara : Berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. 3. Lingkungan Lembaga Peradilan Dalam sistem peradilan di Indonesia dewasa ini , terdapat empat lingkungan peradilan, yang masing-masing mempunyai lembaga pengadilan tingkat banding. Pada tingkat kasasi, semuanya berpuncak pada Mahkamah Agung (MA). Pengadilan tingkat pertama dan kedua dalam keempat lingkungan peradilan tersebut adalah : a. Pengadilan negeri (PN) dan pengadilan tinggi (PT) dalam lingkungan Peradilan Umum.7 b. Peradilan Agama (PA) dan Pengadilan Tinggi Agama (PTA) dalam lingkungan Peradilan Agama.8 c. Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.9 7 8 Ibid.,hlm. 561. Ibid., hlm. 561. 14 d. Peradilan Militer (PM) DAN Pengadilan Tinggi Militer dalam lingkungan Peradilan Militer.10 Selanjutnya badan-badan peradilan di lingkungan MA yang meliputi Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer. a. Peradilan Umum Pasal 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum menyatakan, “Peradilan Umum adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya.” Penjelasan dari pasal tersebut menyatakan : Disamping Peradilan Umumnya yang berlaku bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya mengenai perkara perdata dan pidana, pelaku kekuasaan kehakiman lain yang merupakan peradilan khusus bagi golongan rakyat tertentu yaitu Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara. b. Peradilan Agama Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu.11 9 Ibid., hlm. 561. Ibid., hlm. 562. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. (dalam Titik Triwulan dan Ismu Gunadi Widodo, Hukum Tata Usaha Negara Dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2011), hlm 559-560). 10 11 15 c. Peradilan Tata Usaha Negara Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa tata usaha negara. Peradilan Tata Usaha Negara memiliki tugas dan kewenangan memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara di tingkat pertama. d. Peradilan Militer Pengadilan Militer bertugas memeriksa dan memutuskan perkara pidana terhadap kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan oleh seorang yang waktu itu adalah anggota TNI atau Polri atau yang dipersamakan dengan itu. B. Peradilan Tata Usaha Negara 1. Pengertian Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) Sebagai negara yang demokratis, Indonesia memiliki sistem ketatanegaraan dengan memiliki lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dari ketiga lembaga tersebut eksekutif memiliki porsi peran dan wewenang yang paling besar apabila dibandingkan dengan lembaga lainnya, oleh karenanya perlu ada kontrol terhadap pemerintah untuk adanya check and balances. 12 Salah satu bentuk kontrol yudisial atas tindakan administrasi pemerintah 12 Titik Triwulan dan Ismu Gunadi Widodo, Hukum Tata Usaha Negara Dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2011), hlm. 556. 16 adalah melalui lembaga peradilan. Dalam konteks ini maka Peradilan Tata Usaha Negara (Peratun) dibentuk dengan UndangUndang No. 5 Tahaun 1986, yang kemuadian telah disahkan UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986. Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa tata usaha negara. Peradilan Tata Usaha Negara adalah peradilan dalam lingkup hukum publik, yang mempunyai tugas dan wewenang :13 “memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara, yaitu suatu sengketa yang timbul dalam bidang hukum Tata Usaha Negara antara orang atau Badan Hukum Perdata (anggota masyarakat) dengan badan atau pejabat Tata Usaha Negara (pemerintah) baik di pusat maupun di daerah sebagai dikeluarkannya suatu keputusan Tata Usaha Negara (beschikking), termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku” (vide Pasal 50 Jo. Pasal 1 angka 4 UU No. 5 Tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004)”. Tugas dan kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara pada Pasal 5 , yaitu : (1) Memeriksa dan memutus sengketa sengketa tata usaha negara di tingkat banding. 13 Ibid, hlm. 574. 17 (2) Memeriksa dan memutus di tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antara Pengadilan Tata Usaha Negara di dalam daerah hukumnya . (3) Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan di tingkat pertama sengketa tata usaha negara dalam hal suatu badan atau pejabat tata usaha negara diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan menyelesaikan secara perundang-undangan administrasi sengketa untuk tata usaha Negara. 2. Dasar Hukum Pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara Menurut F.J Stahl suatu negara hukum formal harus memenuhi 4 (empat) untuk penting, yaitu :14 a. Adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia; b. Adanya pemisahan/pembagian kekuasaan; c. Setiap tindakan pemerintah harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku; d. Adanya Peradilan Tata Usaha Negar (Abudaud Busroh, 1985119) Mengenai unsur keempat yaitu adanya suatu Peradilan Tata Usaha Negara yang mandiri, sampai tahun 1990 yang lalu masih belum menjadi kenyataan. Tetapi dengan adanya Undang-Undang 14 Rozali Abdullah, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 11-12 18 No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang diterapkan dengan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1991, dimulailah pelaksanaan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia. Dari kenyataan ini dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa sejak itu Negara Republik Indonesia baik secara formal maupun secara materiil telah memenuhi syarat-syarat sebagai suatu negara hukum. Dasar Konstitusional pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara ini adalah pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi : (1) Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain Badan Kehakiman menurut undangundang, (2) Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang. 3. Ruang Lingkup Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Pada pokoknya, semua keputusan tata usaha negara yang biasa disebut beschikking dapat digugat oleh setiap warga negara atau subjek hukum indonesia lainnya ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Keberadaan lembaga pengadilan yang dapat dipakai untuk melawan atau menggugat negara bila keputusan yang diambilnya 19 menimbulkan ketidakadilan bagi warga negara pada umumnya, merupakan salah satu ciri penting negara hukum (rechtsstaat). Dengan demikian, diharapkan siapa saja yang menduduki jabatan pemerintahan negara tidak akan membuat keputusankeputusan yang sewenang-wenang dengan merugikan hak-hak warga negara yang seharusnya dilayani dengan sebaik-baiknya oleh para pejabat pemerintahan. Oleh karena itu, keberadaan sistem Peradilan Tata Usaha Negara atau Peradilan Tata Usaha Negara (administratieve rechtsbraak) ini sangat penting dalam rangka penyelenggaraan sistem negara hukum Indonesia berdasarkan ketentuan Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945. Menurut ketentuan Pasal 2, yang tidak termasuk dalam pengertian keputusan tata usaha negara menurut Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara adalah : a. Keputusan tata usaha negara merupakan perbuatan hukum perdata. b. Keputusan tata usaha negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum. c. Keputusan tata usaha negara yang masih memerlukan persetujuan. 20 d. Keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana. e. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. f. Keputusan tata usaha negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia. g. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum. Dengan pembatasan tersebut diatas, maka yang termasuk dalam ruang lingkup kompetensi mengadili dari Peradilan Tata Usaha Negara terbatas hanya kepada objek keputusan yang di luar keputusan-keputusan diatas. Pembatasan ini diadakan karena ada beberapa jenis keputusan yang karena sifat atau maksudnya memang tidak dapat digolongkan dalm pengertian keputusan tata usaha negara menurut undang-undang. 4. Tujuan Pengadilan Tata Usaha Negara Tujuan daripada Pengadilan Tata Usaha Negara adalah untuk mengembangkan dan memelihara Tata Usaha Negara yang tepat menurut hukum (rechmatig), atau tepat menurut Undang-undang 21 (wetmatig) dan atau tepat secara fungsionil (efektif) dan atau berfungsi secara efisien. Dengan perkataan lain, Pengadilan Tata Usaha Negara ikut membantu mengembangkan dan membangun Tata Usaha Negara yang bekerja secara rechmatig, wetmatig, plichmatig, dan doelmatig. Putusan-putusan yang dapat diambil oleh suatu Badan Pengadilan Tata Usaha Negara dapat berupa :15 a. Pembatalan suatu keputusan daripada seorang penjabat administrasi negara yang melanggar salah satu kriterium tersebut di atas. b. Koreksi Terhadap suatu keputusan daripada seorang penjabat administrasi negara yang keliru. c. Membetulkan interoretasi yang keliru. d. Memberi perintah pembayaran atau penagihan kepada seorang pejabat atau suatu instansi administrasi negara. e. Memerintahkan suatu tindakan disiplin kepada seorang pejabat atau suatu instansi administrasi negara terhadap seorang pegawai negeri yang melakukan pelanggaran disiplin. f. Menetapkan suatu validitas (berlaku tidaknya) daripada suatu dokumen yang dibuat/diterbitkan oleh suatu instansi administrasi negara. 15 Muchsan, Op.Cit., 47-48. 22 g. Membetulkan suatu prosedur atau metode pelaksanaan suatu undang-undang yang melanggar salah satu kriterium tersebut di atas. C. Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara Kompetensi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kewenangan (kekuasaan) untuk menentukan (memutuskan sesuatu).16 Kompetensi dari suatu pengadilan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara berkaitan dengan jenis dan tingkat pengadilan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara berkaitan dengan jenis dan tingkatan pengadilan yang ada berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 1. Kompetensi Relatif Kompetensi relatif adalah kewenangan dari pengadilan sejenis yang mana yang berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang bersangkutan. 17 Dalam kaitannya dengan peradilan tata usaha Negara, maka kompetensi relatifnya adalah menyangkut wewenang pengadilan tata usaha Negara yang mana berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tersebut. Kompetensi relatif suatu badan pengadilan ditentukan oleh batas daerah hukum yang menjadi 16 Departemen Pendidikan dan Kekubadaayn, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hlm 516 (dalam Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: RajaGrafindo Persada), hlm. 27). 17 Ibid, hlm. 30. 23 kewenangannya. Suatu badan pengadilan dinyatakan berwenang untuk memeriksa suatu sengketa apabila salah satu pihak sedang bersengketa (Penggugat/Tergugat) berkediaman salah satu daerah hukum yang menjadi wilayah hukum pengadilan itu. Untuk Pengadilan Tata Usaha Negara, kompetensi relatifnya diatur dalam pasal 6 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan TUN sebagaimana telah diubah dengan UU No. 9 Tahun 2004 dan UU No. 51 Tahun 2009 menyatakan : “Pengadilan Tata Usaha Negara berkedudukan di Kotamadya atau Ibukota Kabupaten, dan daerah hukumnya meliputi wilayah Propinsi.” Adapun kompetensi yang berkaitan dengan tempat kedudukan atau tempat kediaman para pihak yang bersengketa yaitu penggugat tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan UU No. 9 Tahun 2004 dan UU No. 51 Tahun 2009 yang menyebutkan :18 (1) Tempat kedudukan tergugat; (2) Tempat kedudukan salah satu tergugat; (3) Tempat kediaman Penggugat diteruskan di Pengadilan tempat kedudukan Tergugat; (4) Tempat kediaman Penggugat, (dalam keadaan tertentu berdasarkan Peraturan Pemerintah); 18 S.F. Marbun, Peradilan Tata Usaha Negara, Penerbut Liberty, Yogyakarta, 2003, hlm. 59. 24 (5) PTUN Jakarta apabila tempat kediaman Penggugat di luar negeri dan tempat kedudukan Tergugat di dalam negeri. Dengan ketentuan tersebut maka pada prinsipnya gugatan diajukan ke Pengadilan TUN di tempat kedudukan Tergugat. 2. Kompetensi Absolut Kompetensi absolut dari peradilan Tata Usaha Negara adalah untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara anatara seseorang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha Negara akibat dikeluarkannya suatu putusan termasuk sengketa kepegawaian (Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 51 Tahun 2009) dan tidak dikeluarkannya suatu keputusan yang dimohonkan seseorang sampai batas waktu yang ditentukan dalam suatu peraturan perundang-undangan, sedangkan hal itu telah merupakan kkewajiban badan atau pejabat tata usaha Negara yang bersangkutan (Pasal 3 UU PTUN).19 Adapun yang menjadi obyek di Pengadilan Tata Usaha Negara yaitu Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking) yang diterbitkan oleh Badan/Pejabat TUN. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua UU No. 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan 19 Tata Usaha Negara. Sedangkan perbuatan Op.cit, hlm. 30. 25 Badan/Pejabat TUN lainnya baik perbuatan materiil (material daad) maupun penerbitan peraturan (regeling) masing-masing merupakan kewenangan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung. Kompetensi utama Badan Peradilan Administrasi yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara adalah menyelesaikan sengketa administrasi antara pemerintah dan warga masyarakat, disebabkan pemerintah telah melanggar hak-hak kepentingan warga. Peraturan perundang-undangan khususnya Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyatakan :20 “Sengketa tata usaha negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau Badan Hukum Perdata dengan Badan atau Pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang – undangan yang berlaku” Sedangkan yang dimaksud Keputusan Tata Usaha Negara menurut ketentuan Pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009 tentang perubahan kedua UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara adalah Suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan/Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN berdasarkan Peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual dan final sehingga 20 Titik Triwulan dan Ismu Gunadi Widodo, Hukum Tata Usaha Negara Dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia, (Jakarta Kencana Prenadamedia Group, 2011), hlm. 580. 26 menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Dari rumusan pasal tersebut, persyaratan keputusan TUN yang dapat menjadi obyek di Pengadilan TUN meliputi : 1. Penetapan tertulis; 2. Dikeluarkan oleh Badan/Pejabat TUN; 3. Berisi tindakan hukum TUN; 4. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 5. Bersifat konkrit, individual dan final; 6. Minimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Keenam persyaratan tersebut bersifat komulatif, artinya untuk dapat dijadikan obyek sengketa di Peradialn TUN, keputusan TUN harus memenuhi keenam persyaratan tersebut. D. Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara 1. Pengertian Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara Hukum Acara hakikatnya merupakan hukum formal, karena ia merupakan salah satu unsur dari peradilan. Demikian pula dengan hukum materialnya. Peradilan tanpa hukum material akan lumpuh, sebab tidak tahu apa yang akan dijelmakan, sebaliknya 27 peradilan tanpa hukum formal akan liar, sebab tidak ada batasbatas yang jelas dalam melakukan wewenangnya.21 Menurut Wicipto Setiadi, 22 pengaturan hukum formal dalam hukum positif, secara teoretis dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu : a. Hukum formal sekaligus diatur secara bersamaan dalam hukum materialnya dalam bentuk undang-undang. b. Hukum formal dan hukum materialnya masing-masing terpisah pengaturannya dalam undang-undang. Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara secara umum bias dibedakan atas dua jenis, yaitu Hukum Acara materiil dan Hukum Acara Formil. Hukum Acara materiil meliputi aspek-aspek antara lain, kompetensi absolut dan relative, hak gugat, tenggang waktu menggugat, alas an menggugat, dan alat bukti. Adapun Hukum Acara formil atau juga disebut Hukum Acara dalam arti sempit, adalah Hukum Acara yang berupa langkah-langkah atau tahapan (aspek-aspek) yang terbagiatas acara biasa, acara cepat, dan acara singkat. 21 Sjachran Basah, 1991, Hukum Acara Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Administrasi, (Jakarta: Rajawali Pers), hlm. 1. 22 Wicipto Setiadi, 1995, Hukum Acara Tata Usaha Negara: Suatu Perbandingan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada), hlm. 87. 28 2. Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara Sengketa tata usaha Negara dikenal dengan dua macam cara antara lain : a. Melalui Upaya Administrasi (vide Pasal 48 jo. Pasal 51 ayat 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986) Upaya administrasi adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh dalam menyelesaikan masalah sengketa tata usaha Negara oleh seseorang atau Badan Hukum Perdata apabila ia tidak puas terhadap suatu keputusan tata usaha nagara, dalam lingkungan administrasi atau pemerintah sendiri. Bentuk upaya administrasi : 1. Banding Administratif, yaitu penyelesaian upaya administrasi yang dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dari yang mengeluarkan keputusan yang bersangkutan. 2. Keberatan, ysitu penyelesaian upaya administrasi yang dilakukan sendiri oleh badan atau pejabat tata usaha Negara yang mengeluarkan keputusan itu. b. Melalui Gugatan (vide Pasal 1 angka 5 jo. Pasal 53 UndangUndang No. 5 TAHUN 1986) Apabila di dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku tidak ada kewajiban untuk menyelesaikan sengketa tata usaha Negara tersebut melalui upaya administrasi, maka 29 seseorang atau Badan Hukum Perdata dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. 3. Hukum Acara Biasa Secara garis besar proses tertib beracara menurut acara biasa dapat dibagai atsa tindakan sebelum pemeriksaan di sidang pengadilan dan pada pemeriksaan di (muka) sidang pengadilan dengan berbagai ragam penahapan yang harus dilalui. Adapun tahap-tahap yang harus dilalui :23 Tahap I. Penelitian administrasi, dilaksanakan oleh panitera dan staf Tahap II. Terdiri dari : (1) Proses dismissal. (2) Apakah ada permohonan schorsing. (3) Apakah ada permohonan pemeriksaan dengan cumacuma. (4) Apakah ada permohonan pemeriksaan acara cepat. (5) Menetapkan diperiksa dengan acara biasa. Tahap III. Pemeriksaan Persiapan Tahap IV. Sidang untuk umum 23 Op.cit, hlm. 629. 30 4. Hukum Acara Cepat Acara cepat (versnelde procedures) diatur dalam Pasal 98 dan Pasal 99 Undang-Undnag No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Selain itu, ciri khas dari pada hukum acara cepat adalah sebagai berikut :24 (1) Tidak ada pemeriksaan persiapan (2) Hakim tunggal (3) Waktu dipercepat (4) Acara cepat diadakan karena penggugat mempunyai kepentingan yang cukup mendesak. Beracara cepat dalam Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara, pada dasarnya karena pengecualian terhadap ketentuan yang berlaku untuk acara biasa. Pengecualian terjadi karena beberapa alas an, antara lain : 1. Pemeriksaan dilakukan dengan Hakim Tunggal.25 2. Proses dengan meniadakan prosedur pemeriksaan persiapan.26 3. Jangka waktu antara pemanggilan dan hari siding tidak boleh kurang dari enam hari, 27 pemeriksaan dipersempit, yaitu sejak gugatan didaftarkan sampai dengan pembuktian selesai berlangsung selama 35 hari dengan perincian : 24 Titik Triwulan dan Ismu Gunadi Widodo , Op.cit, hlm. 630-631. Pasal 99 Ayat (1) yang merupakan pengecualian terhadap Pasal 68 Ayat (1) (dalam Titik Triwulan dan Ismu Gunadi Widodo, Hukum Tata Usaha Negara Dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2011), hlm 631). 26 Pasal 99 Ayat (2) yang merupakan pengecualian terhadap Pasal 63 (dalam Titik Triwulan dan Ismu Gunadi Widodo, Hukum Tata Usaha Negara Dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2011), hlm 631.). 27 Pasal 64 Ayat (2). (dalam Titik Triwulan dan Ismu Gunadi Widodo, Hukum Tata Usaha Negara Dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2011), hlm 631.). 25 31 a. Empat belas hari setelah diterima permohonan ketua PTUN mengeluarkan penetapan.28 b. Tujuh hari setelah dikeluarkan penetapan, ketua PTUN menentukan hari, tempat, dan waktu sidang.29 c. Empat belas hari waku untuk jawaban dan pembuktian bagi kedua belah pihak. Demikian pula jarak waktu untuk putusan pun dipercepat.30 Acara cepat dipergunakan untuk menyelesaikan pokok sengketa. Ada pun bentuk akhir dari acara cepat adalah putusan (vonis). 5. Acara Singkat Acara singkat (een administrative kortgeding/refere) diatur dalam pasal 62 ayat (4) Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Acara singkat ini tidak untuk menyelesaikan pokok sengketa. Bentuk akhir berupa penetapan. Alasan untuk beracara singkat antara lain: 1. Adanya perlawanan, 2. Keadaan yang mendesak, yang membawa akibat kepentingan sangat dirugikan jika keputusan tata usaha Negara digugat itu dilaksanakan 28 Pasal 98 Ayat (2) (dalam Titik Triwulan dan Ismu Gunadi Widodo, Hukum Tata Usaha Negara Dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2011), hlm 631.). 29 Pasal 99 Ayat (2) (dalam Titik Triwulan dan Ismu Gunadi Widodo, Hukum Tata Usaha Negara Dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2011), hlm 631.). 30 Pasal 98 Ayat (3) (dalam Titik Triwulan dan Ismu Gunadi Widodo, Hukum Tata Usaha Negara Dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2011), hlm 631.). 32 Ad.1 Perlawanan Perlawanan merupakan reaksi atas hasil rapat permusyawaratan yang berupa penolakan, diajukan dalam tenggang waktu 14 hari setelah diucapkannya penetapan ketua Pengadilan Tata Usaha Negara yang berisi hasil rapat permusyawaratan. Ad. 2 Keadaan Mendesak Keadaan yang sangat mendesak ini berlaku bagi penundaan pelaksanaan keputusan badan/pejabat Tata Usaha Negara. Keadaan Normal, gugatan pada perinsipnya tidak menunda pelaksanaan keputusan badan/pejabat Tata Usaha Negara. Berdasarkan pada Pasal 98 Ayat (1) dapat diketahui bahwa agar dapat dilakukan acara cepat, maka dalam pengajuan gugatan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :31 a. Dalam surat gugatan harus sudah dimuat atau disebutkan alas an-alasan yang menjadi dasar dari Penggugat untuk mengajukan permohonan agar pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara dipercepat. b. Dari alas an-alasan yang dikemukakan oleh Penggugat tersebut, dapat ditarik kesimpulan adanya kepentingan dari 31 R. Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: Sinar Grafika), hlm 167-168. 33 penggugat yang cukup mendesak bahwa pemeriksaan terhadap sengketa Tata Usaha Negara tersebut memang perlu dipercepat. E. Asas Hukum 1. Pengertian Asas Hukum Paul Scholten menguraikan,32 definisi asas-asas hukum yaitu “pikiran-pikiran dasar (grondgedachten), yang terdapat di dalam di belakang sistem hukum masing-masing dirumuskan dalam aturanaturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim, yang berkenaan dengannya ketentuan dan keputusan individual dapat dipandang sebagai penjabarannya.” J.J. H. Bruggink menjelaskan, bahwa asas-asas hukum memiliki (mengemban) fungsi-fungsi ganda; sebagai fondasi dari sistem hukum positif dan sebagai batu uji kritis terhadap sistem hukum positif.33 Sudikno Mertokusumo menjelaskan, bahwa asas hukum yang menjadi latar belakang dari peraturan hukum yang konkret (hukum positif).34 32 33 34 Rimdan, Kekuasaan Kehakiman, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), hlm. 48. Ibid, hlm. 49 Ibid, hlm. 49 34 Sujipto Suharjo Raharjo menjelaskan, bahwa asas hukum adalah jiwanya peraturan hukum, karena ia merupakan dasar lahirnya peraturan hukum, ialah rasio legisnya peraturan hukum.35 Riduan Syahrani menyimpulkan, asas hukum dapat ditemukan dan disimpulkan langsung ataupun tak langsung dalam peraturan-peraturan hukum yang pada hakikatnya mengandung unsur-unsur asas-asas hukum yang bersangkutan.36 2. Asas-Asas Hukum Peradilan Tata Usaha Negara Asas-asas hukum yang berlaku dalam hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara berdasarkan pada peraturan yang berlaku adalah sebagai berikut :37 (1) Asas praduga tidak bersalah (vermoeden van rechmatigheid atau prasuptio iustae causa). Asas ini mengandung pengertian bahwa setiap tindakan penguasa harus selalu dianggap benar atau rechtmatig sampai ada keputusan yang membatalkannya. (Pasal 67 Ayat(1) UU PTUN). (2) Asas pembuktian bebas (vrij bewijs), yaitu asas yang menentukan bahwa hakimlah yang menetapkan beban pembuktian. 35 36 37 Ibid, hlm. 49 Ibid, hlm. 49 Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: RajaGrafindo Persada), hlm. 24-26. 35 (3) Asas keaktifan hakim (dominus litis). Dengan adanya asas keaktifan hakim ini, maka sebelum dilakukan pemeriksaan terhadap pokok permusyawaratan sengketa untuk hakim mengadakan menetapkan apakah rapat gugatan dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar yang dilengkapi dengan pertimbanan-pertimbangan (Pasal 62 UU PTUN) dan pemeriksaan persiapan untuk mengetahui apakah gugatan penggugat kurang jelas, sehingga peggugat kurang jelas, sehingga penggugat perlu untuk melengkapinya (Pasal 63 UU PTUN). Dengan demikian, asas ini memberikan peran kepada hakim dalam proses persidangan guna memperoleh suatu kebenaran materiil dan untuk itu UU PTUN mengarah pada pembuktian bebas. (4) Asas para pihak harus didengar (audit et alteram partem). Para pihak mempunyai kedudukan yang sama dan harus diperlakukan dan diperhatikan secara adil. Hakim tidak dibenarkan hanya memerhatikan alat bukti, keterangan, atau penjelsan salah satu pihak saja. (5) Asas putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sebagai “erga omnes”. Meskipun substansi gugatan penggugat bersifat perdata, tetapi sengketa tata usaha negara adalah sengketa hukum publik. Karena itu, putusan Pengadilan 36 Tata Usaha Negara harus berlaku umum bagi siap saja, tidak hanya terbatas pada pihak-pihak yang bersengketa saja.38 (6) Asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas dari segala macam campur tangan kekuasaan yang lebih baik secara langsung mampu tidak langsung bermaksud untuk memengaruhi keobyektifan putusan pengadilan. (Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 jo Pasal 1 angka 1 UU 48/2009) (7) Asas peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan (Pasal 2 ayat (4) UU 48/2009). Sederhana adalah hukum acara yang mudah dipahami dan tidak berbelit-belit. Dengan hukum acara yang mudah dipahami peradilan akan berjalan dalam waktu yang relative cepat. Dengan demikian, biaya berperkara juga menjadi ringan. (8) Asas sidang terbuka untuk umum. Asas ini membawa konsekuensi bahwa semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum (Pasal 13 UU 48/2009 jo Pasal 70 UU PTUN) 38 Philipus M. Hadjon, dkk., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press), 2005, hlm. 313. (dalam Titik Triwulan dan Ismu Gunadi Widodo, Hukum Tata Usaha Negara Dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2011), hlm. 571. 37 3. Asas Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan Sebagai suatu sistem, peradilan mempunyai mekanisme yang bergerak menuju kearah pencapaian misi dari Hakikat keberadaan peradilan. Sistem peradilan menuntut adanya visi yang jelas agar aktivitas atau pelaksanaan peran peradilan berproses secara efektif dan efisien. Juga sebagai suatu sistem sosial peradilan merupakan salah satu penopang utama bagi masyarakat yang beradap dalam melakukan kehidupan sehari-harinya pada dunia modern dewasa ini. Karena itu, persepsi masyarakat terhadap peradilan dan pengadilan yang baik adalah kalau proses perkara pengadilan yang dilalui mulai dari pendaftaran sampai keluar putusan tidak berbelit-belit, efisien dan biaya ringan. Juga Hakim yang memeriksa perkara melakukannya dengan efisien dan efektif, termasuk memutus dengan cepat, selain transparan. Pasal 2 Ayat (4) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan bahwa : “Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan”. Penjelasan resmi dari Pasal 2 Ayat (4) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman memberikan pengertian dari asas tersebut sebagai berikut :39 39 Sukarno Aburaera, Kekuasaan Kehakiman, (Makassar, Arus Timur, 2012), hlm. 13. 38 “Sederhana” adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efisien dan efektif. “Biaya Ringan” adalah biaya perkara yang dapat dijangkau oleh masyarakat. Namun demikian asas sederhana, cepat dan biaya ringan dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkara di pengadilan tidak mengesampingkan ketelitian dan kecermatan dalam mencari kebenaran dan keadilan. Kritik terhadap dunia peradilan terhadap penyelesaian sengketa yang lambat, sangat formalistik, biaya mahal bukan hanya terhadap peradilan di Indonesia saja, tetapi dunia pada umumnya termasuk negara-negara yang sudah maju. Keadaan seperti inilah yang menyebabkan masyarakat menginginkan agar badan peradilan mampu memenuhi penyelesaian perkaranya dengan cepat dan tidak terlalu banyak mengeluarkan biaya. Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman meletakkan dasar pokok untuk mencapai atau meraih kehendak para pencari keadilan yang memuat prinsip-prinsip dasar peradilan termasud, bahkan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman lebih lanjut menetapkan bahwa pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Kata “Sederhana” bermakna bahwa kaidah-kaidah hukum yang mengatur tata cara pemeriksaan perkara haruslah sederhana, 39 mudah dimengerti oleh pencari keadilan dan tidak berbelit-belit serta tidak terlalu formalistik. 40 Sederhana, cepat, dan biaya ringan merupakan tiga hal yang berkaitan satu sama lain. Jika aturan hukum sederhana maka proses peradilan bisa cepat sekaligus dengan hal tersebut akan menghemat biaya. Sementara itu, asas sederhana dan cepat merupakan salah satu hal yang dituntut publik ketika memasuki proses Pengadilan, bahwa publik menurut agar mereka mendapatkan kemudahan yang didukung dengan sistem. Proses yang bebelit-belit akan menimbulkan frustasi dan ketidakadilan tetapi tindakan yang procedural harus pula dapat menjamin pemberian keadilan, dan proses yang sederhana harus pula menjamin adanya ketelitian dalam pengambilan putusan. Suatu proses peradilan harus dirancang untuk mencapai sasaran yang dituju, yaitu hukum dan keadilan. Seluruh sub-sistem dalam melaksanakan tugas dan kewajiban harus pula berdaya guna (efisien) dan berhasil guna (efektif) dengan memanfaatkan sumberdaya manusia yang berkualitas dan professional dan menggunakan dana sedikit mungkin. Untuk para Hakim, makna efisien dan efektifitas tidak terbatas pada pemeriksaan dan 40 Ibid., hlm. 14. 40 pengambilan keputusan, melainkan juga meliputi pelaksanaan putusan. Putusan tidak aka ada artinya kalau tidak dapat dilaksanakan karena kelalaian atau ketidakhati-hatian Hakim merumuskan amar, yang mengakibatkan putusan harus dinyatakan sebagai nonexecutable atau terpaksa menolak permohonan eksekusi. Putusanputusan yang tidak dapat dieksekusi dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain putusan bersifat deklaratur, dalam seksekusi kurang memperhatikan keadaan objek sengketa, dan keliru menetapkan objek karena tidak melakukan pemerisaan setempat.41 Misalnya, dalam hal putusan deklaratur, agar dapat dieksekusi pemenang terpaksa mengajukan gugatan baru, khusus mengenai amar agar putusan dapat dieksekusi. Dalam hal ini, hal-hal yang perlu mendapatkan perhatian adalah Ketua Pengadilan wajib menetapkan prioritas agar dapat diputus dengan cepat dan serta merta, dan apabila ada banding, perlawanan, kasasi atau peninjauan kembali (PK). Dengan demikian, Ketua Pengadilan atau Panitera wajib menyertakan catatan ‘latar belakang’ perkara tersebut, yang dimaksudkan agar pemeriksaan perlawanan, banding, kasasi atau peninjauan kembali diberikan prioritas. 41 Bagir Manan, Menegakkan Hukum Suatu Pencarian, Op.cit., hlm. 237-238. (dalam Hatta Ali, Peradilan Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan Menuju Keadilan Restoratif, (Bandung: P.T. Alumni, 2012). hlm. 234. 41 BAB III METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian Permasalahan yang telah dirumuskan diatas akan dijawab dengan menggunakan pendekatan yuridis-empiris. Yuridis (hukum dilihat sebagai norma atau das sollen), karena dalam membahas permasalahan penelitian ini menggunakan bahan-bahan hukum. Empiris (hukum sebagai kenyataan sosial, kultural atau das sein). Penelitian yuridis-empiris merupakan penelitian yang mengkaitkan hukum dengan perilaku nyata manusia. Perumusan sederhana ini dapat dijadikan pegangan, artinya sampai sejauh mana hukum benarbenar berlaku di dalam kenyataan pergaulan masyarakat.42 B. Lokasi Penelitian Untuk memperoleh data dan informasi yang diperlukan berkaitan dengan permasalahan dan pembahasan penulisan skripsi ini, maka penulis melakukan penelitian dengan memilih lokasi penelitian di Pengadilan Tata Usaha Negara kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan. Pengumpulan data dan informasi akan dilaksanakan di tempat yang dianggap mempunyai data yang sesuai dengan objek yang diteliti yakni di Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar. 42 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. (Jakarta: Rineka Cipta, 1983), hlm. 32 42 C. Jenis dan Sumber Data Jenis dan Sumber data yang dipergunakan dalam penulisan dan penelitian ini dapat dikelompokan dalam dua jenis, yaitu : 1. Data Primer Data Primer adalah data utama yang diperoleh secara langsung dari lapangan dengan cara melakukan wawancara dengan para responden penelitian untuk mendapatkan data yang berkaitan dengan pembahasan. 2. Data Sekunder Data Sekunder adalah data yang diperoleh dari studi kepustakaan dengan cara mengutip, menelaah, dan mencatat bahan-bahan peraturan dan hal-hal lainnya yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini. D. Penentuan Populasi dan Sampel 1. Populasi Populasi adalah keseleuruhan subyek hokum yang memiliki karakteristik tertentu dan ditetapkan untuk diteliti. 43 Berdasarkan penelitian di atas maka yang menjadi populasi dalam penelitian ini 43 Ibid, hlm. 65 43 adalah seluruh Hakim, Panitera, Staff Bagian Ketata Usahaan, Pencari Keadilan, dan Pengacara. 2. Sampel Sampel adalah bagian dari populasi dan ditetapkan untuk menjadi responden penelitian. Sampel dalam penelitian ditetapkan dengan teknik purposive sampling, yaitu sampel dipilih berdasarkan pertimbangan dan tujuan penelitian. 44 Berdasarkan pengertian di atas maka yang menjadi responden/sampel dalam penelitian ini adalah : a) Hakim di Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar : 2 : 1 : 2 : 2 : 2 orang b) Panitera Muda Perkara orang c) Staff Bagian Ketata Usahaan orang d) Pencari Keadilan ( Penggugat ) orang e) Kuasa Hukum orang 9 orang 44 Ibid, hlm. 67 44 E. Teknik Pengumpulan Data Untuk mendapatkan hasil yang akurat, maka penulis mengupayakan berbagai cara dalam pengupulan data yang menunjang dalam penyusunan skripsi ini. Adapun metode pengumpulan data yang digunakan adalah : 1. Studi Lapangan (Studi Research) Studi Lapangan adalah pengumpulan data yang dilakukan dengan metode wawancara (interview) dengan pihak terkait sehingga dapat diperoleh informasi yang berkaitan dengan objek yang diteliti. 2. Studi Kepustakaan (Library Research) Studi Kepustakaan adalah pengumpulan data yang dilakukan dengan mempelajari sejumlah literatur ilmu hukum serta tulisantulisan hukum lainnya yang relevan dengan permasalahan yang diteliti. F. Analisis Data Data yang diperoleh baik data primer maupun data sekunder secara sistematis kemudian dianalisis menggunakan metode kualitatif adalah mengungkapkan dan memahami kebenaran masalah serta pembahasan dengan menafsirkan data yang diperoleh kemudian menuangkannya dalam bentuk kalimat yang tersusun secara terperinci dan sistematis. 45 BAB IV PEMBAHASAN A. Implementasi Asas Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan di Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar Sebagai Negara yang demokratis, Indonesia memiliki system ketatanegaraan dengan memiliki lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dari ketiga lembaga tersebut eksekutif memiliki porsi peran dan wewenang yang paling besar apabila dibandingkan dengan lembaga lainnya, oleh karenanya perlu ada kontrol terhadap pemerintah untuk adanya check and balances. 45 Salah satu bentuk kontrol yudisial atas tindakan administrasi pemerintah adalah melalui lembaga peradilan. Dalam konteks inilah maka Peradilan Tata Usaha Negara (Peratun) dibentuk dengan UU No. 5 Tahun 1986, yang kemudian dengan adanya tuntutan reformasi di bidang hukum, telah disahkan UU No. 9 Tahun 2004 dan telah diperbarui dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang perubahan atas UU No. 5 Tahun 1986. Pengadilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa tata usaha Negara. 46 Tujuan penggugat atau pemohon mengajukan gugatannya ke Pengadilan Tata Usaha Negara adalah tidak lain 45 Ibid, hlm. 566. Titik Triwulan dan Ismu Gunadi Widodo, Hukum Tata Usaha Negara Dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia, (Jakarta, Kencana Prenadamedia Group, 2011), hlm. 565. 46 46 karena mereka ingin mencari keadilan berdasarkan peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Apabila harapan tersebut tidak terpenuhi, maka mereka akan enggan mengajukan tuntutan haknya kepada pengadilan. Peradilan Tata Usaha Negara (Peratun) sebagai lingkungan peradilan yang terakhir dibentuk, yang ditandai dengan disahkannya Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 pada tanggal 29 Desember 1986, dalam konsideran “menimbang” undang-undang tersebut disebutkan bahwa salah satu tujuan dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara (Peratun) adalah untuk mewujudkan tata kehidupan Negara dan bangsa yang sejahtera, aman, seimbang, serta selaras antara aparatur di bidang tata usaha Negara dan para warga masyarakat.47 Dengan demikian, lahirnya Peratun juga menjadi bukti bahwa Indonesia adalah Negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kepastian hukum dan hak asasi manusia (HAM). Sebagai suatu sistem, peradilan mempunyai mekanisme yang bergerak menuju kearah pencapaian misi dari Hakikat keberadaan peradilan. Sistem peradilan menuntut adanya visi misi yang jelas agar aktivitas atau pelaksanaan peran peradilan berproses secara efektif dan efisien. Juga sebagai suatu sistem sosial peradilan merupakan salah satu penopang utama bagi masyarakat yang beradab dalam melakukan kehidupan sehari-harinya pada dunia modern saat ini. 47 Titik Triwulan dan Ismu Gunadi Widodo, Hukum Tata Usaha Negara Dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia, (Jakarta, Kencana Prenadamedia Group, 2011), hlm. 566. 47 Karena itu, presepsi masyarakat terhadap Pengadilan dan peradilan yang baik adalah kalau proses perkara Pengadilan yang dilalui mulai dari pendaftaran samapai keluar putusan tidak berbelit-belit, efisien, dan biaya ringan. Juga hakim yang memeriksa perkara melakukannya dengan efisien dan efektif, termasuk memutus dengan cepat, selain transparan. Asas Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan ini pada dasarnya telah lama ada di Pengadilan dan peradilan di Indonesia, antara lain dalam Pasal 4 Ayat (2) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Namun, Undang-Undang tersebut tidak menetapkan ukuran, norma atau nilai-nilai yang digunakan dalam menentukan bagaimana suatu peradilan dapat dikategorikan sebagai sederhana, cepat, dan biaya ringan. Penulisan hukum ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan penulis di Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar dengan melakukan wawancara. Penulis melakukan wawancara dengan hakim, panitera muda perkara, kuasa hukum, dan penggugat pada hari Jumat tanggal 4 Desember 2015 sampai tanggal 9 Desember 2015 di Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar. Berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber di Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar yang menjelaskan bahwa jumlah perkara pada tahun 2015 dibandingkan pada tahun 2014 mengalami penurunan sebagai berikut : 48 Tabel 1 Jumlah perkara pada tahun 2014-2015 Sumber : Panitera Muda Perkara, 2015 Menurut Fajar Wahyu Jatmiko, S.H. 48 dalam wawancara yang dilakukan penulis, menegaskan bahwa : “Terjadinya penurunan terhadap jumlah gugatan di PTUN ini memang tergantung kepada kesadaran hukum masyarakat Tahun Jumlah Perkara 2014 110 perkara 2015 75 perkara karena untuk mengajukan gugatan itu masyarakat harus mengetahui terlebih dahulu tentang Pengadilan Tata Usaha Negara. Kalau masalah kualitas pejabat baik/buruk dalam hal kinerjanya, ukurannya tentu bukan adanya gugatan/tidak tetapi karena semakin turunnya gugatan ini mungkin penyelesaian di luar pengadilan semakin banyak.” Berdasarkan dengan apa yang ditegaskan oleh salah satu narasumber diatas dapat dimungkinkan dikarenakan di dalam hukum acara pengadilan tata usaha Negara dikenal dengan dua cara dalam penyelesaian sengketa tata usaha negara antara lain adalah sebagai berikut : 1. Melalui Upaya Administrasi (vide Pasal 48 jo. Pasal 51 ayat 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986) Upaya administrasi adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh dalam menyelesaikan masalah sengketa tata usaha Negara oleh seseorang atau Badan Hukum Perdata apabila ia tidak puas 48 Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar, tanggal 8 Desember 2015 49 terhadap suatu keputusan tata usaha nagara, dalam lingkungan administrasi atau pemerintah sendiri. Bentuk upaya administrasi : a. Banding Administratif, yaitu penyelesaian upaya administrasi yang dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dari yang mengeluarkan keputusan yang bersangkutan. b. Keberatan, ysitu penyelesaian upaya administrasi yang dilakukan sendiri oleh badan atau pejabat tata usaha Negara yang mengeluarkan keputusan itu. 2. Melalui Gugatan (vide Pasal 1 angka 5 jo. Pasal 53 UndangUndang No. 5 TAHUN 1986) Apabila di dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku tidak ada kewajiban untuk menyelesaikan sengketa tata usaha Negara tersebut melalui upaya administrasi, maka seseorang atau Badan Hukum Perdata dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Pengadilan Tata Usaha Negara juga harus memenuhi harapan pencari keadilan yang selalu menghendaki peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Pada Pasal 2 Ayat (4) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan bahwa : “Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan”. 50 Penjelasan resmi dari Pasal 2 Ayat (4) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman memberikan pengertian dari asas tersebut adalah sebagai berikut :49 “Sederhana” adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efisien dan efektif. “Biaya Ringan” adalah biaya perkara yang dapat dijangkau oleh masyarakat. Menurut Fajar Wahyu Jatmiko, S.H. dalam wawancara yang dilakukan penulis, menegaskan bahwa : “Kalau di dalam Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar terjadi penundaan sidang, maka sudah ditentukan dalam Undang-Undang no. 5 tahun 1986 pasal 65 kalau acara biasa itu panggilan terutama itu apabila pihak tidak hadir itu tidak boleh kurang dari 6 hari melalui surat kecuali ditentukan oleh undang-undang seperti tentang pilkada/pengadaan tanah untuk pembangunan boleh kurang dari 6 hari meskipun acara biasa. Kalau acara biasa tidak boleh kurang dari 6 hari makanya setiap penundaan jadwal sidang rata-rata kita jadwalkan 1 minggu. Ya itupun kalau waktu mulainya persidangan molor, kita mengambil kebijakan dikaitkan dengan kehadiran para pihak di pengadilan yang dimana semakin cepat mereka lengkap, para pihak lengkap, kemudian melapor kepada petugas, kami diberitahu kelengkapan itu maka kita cepat melakukan sidang. Selain itu sebab yang lain keterbatasnya ruang sidang karena terkadang dalam satu hari banyak sidang yang dijadwalkan sedangkan ruang sidang kita terbatas hanya dua ruangan sehingga untuk perkara yang lain menunggu terutama kalo saat itu acara sidangnya saksi tentu memakan banyak waktu. Selanjutnya tentang adanya majelis yang bersamaan jadwalnya jadi, ketika dijadwalkan akan sidang ternyata majelisnya sedang sidang diperkara lain sehingga harus menunggu sidang itu selesai.” Sedangkan menurut Edi Supriyanto, S.H.,M.H. 50 dalam wawancara yang dilakukan penulis, menegaskan bahwa : 49 Sukarno Aburaera, Kekuasaan Kehakiman, (Makassar, Arus Timur, 2012), hlm. 13. 51 “Terjadinya penundaan jadwal persidangan itu tergantung dari konsistensi pihak dalam mematuhi jadwal baik penggugat, tergugat, terintevensi ataupun kalau itu acara pemeriksaan saksi tentu juga ketetapan waktu baik pihak maupun saksi atau kalau dimungkinkan kenapa jadwal sidang menjadi mundur kemungkinan jadwal yang sudah ditentukan karna keadaan kedinasan sehingga hakim yang seharusnya menangani diundang secara mendadak untuk pelatihanpelatihan oleh MA sehingga jadwal ditunda.” Beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara kita mengenal berbagai asas-asas yang harus diperhatikan. Salah satunya antara lain yaitu asas cepat, sederhana, dan biaya ringan. Asas ini sangat penting untuk di perhatikan dan diterapkan. Antara cepat, sederhana, dan biaya ringan memiliki hubungan dan ketekaitan yang sangat erat. Karena apabila pemeriksaan dilakukan dengan prosedur yang sederhana dan tidak berbelit-belit maka akan selesai dalam waktu yang relatif cepat dan otomatis akan membutuhkan biaya yang ringan. Sebalikanya, apabila pemeriksaan perkara dilakukan dengan prosedur yang berbelit-belit, maka akan membutuhkan waktu yang relatif lebih lama dan akan membutuhkan biaya yang semakin banyak. Memperhatikan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 2 Tahun 2014 tentang Penyelesaian Perkara Tingkat Pertama dan Tingkat Banding Pada 4 (empat) Lingkungan Peradilan dan yang dimana dalam SEMA tersebut dijelaskan bahwa penyelesaian 50 Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar, tanggal 7 Desember 2015 52 perkara pada tingkat pertama dilakukan paling lambat dalam waktu 5 (lima) bulan. Penulis skripsi mendapatkan data dalam alur proses penyelesaian sengketa tata usaha negara pada tingkat pertama di Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar adalah sebagai berikut : Menurut Edi Supriyanto, S.H.,M.H. 51 dalam wawancara yang dilakukan oleh penulis, menegaskan bahwa : “Batas waktu penyelesaian sengketa perkara terkait dengan Asas Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan yaitu berdasarkan pada hukum acara apa yang dijalankan karena hukum acara di Peradilan Tata Usaha Negara (Peratun) dikenal dengan acara singkat, acara cepat, dan acara biasa bahkan di dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan suatu perkara harus di putus 21 hari. Sedangkan kalau yang sifatnya acara biasa sesuai dengan SEMA No. 3 Tahun 1998 tentang Penyelesaian Perkara selama paling lama 6 (enam) bulan yang telah diubah dengan SEMA No. 2 Tahun 2014 tentang Penyelesaian Perkara di Pengadilan Tingkat Pertama paling lambat dalam waktu 5 (lima) bulan dan bila batas waktu lebih dari 5 (lima) bulan maka majelis hakim membuat laporan kepada Ketua Pengadilan Tingkat Pertama yang tembusannya ditujukan kepada Ketua Pengadilan Tingkat Banding dan Ketua Mahkamah Agung. Kalau 5 bulan belum selesai maka hakim yang menangani melaporkan kepada Ketua Pengadilan. Apa yang menjadi penghambat sehingga Ketua Pengadilan nanti membuat laporan kepada Ketua MA faktor-faktor apa penyebabnya. Penyebab itu nanti dinilai apakah dari hakimnya atau dari pihaknya yang tidak tepat waktu. Apabila kesalahnnya dari hakim, maka akan di teguran.” Sedangkan menurut Fajar Wahyu Jatmiko, S.H.52 dalam wawancara yang dilakukan oleh penulis menegaskan bahwa : “Di SEMA No. 2 Tahun 2014 kita diberi batas waktu penyelesaian perkara tidak mengikat hanya 5 bulan. Sop itu disusun sebelum SK itu keluar. Dulu batasannya memang 6 bulan kemudian kalaupun 51 52 Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar Tanggal 7 Desember 2015 Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar tanggal 8 Desember 2015 53 dikatakan tidak sesuai ya tidak sesuai yang positif yang artinya perkara kan lebih cepat sesuai asas persidangan peradilan cepat, kemudian kalau tadi itu dikatakan supaya lebih cepat lagi dikeluarkanlah SK MA yaitu dalam bentuk SEMA No. 2 Tahun 2014 supaya sidang-sidang ini menjadi cepat. Nah, yang menjadi permasalahan itu adalah adanya penyelesaian perkara lebih dari 6 bulan yang kadang-kadang karena seperti tadi tergantung kasus yang dihadapi kadang-kadang saksinya diperlukan banyak saksi sehingga tidak bias selesai dalam 2 bulan memeriksa saksi kemudian juga mungkian tempat tinggal saksi jauh sehingga penundaannya bukan 1 minggu tapi bisa 2 minggu bahkan 3 minggu atau juga kadang waktu ini ada libur-libur yang panjang seperti Idul Fitri itu juga mempengaruhi penyelesaian persidangan.” Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman meletakkan dasar pokok untuk mencapai atau meraih kehendak para pencari keadilan yang memuat prinsip-prinsip dasar peradilan, bahkan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman lebih lanjut menetapkan bahwa pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Kata “Sederhana” bermakna bahwa kaidah-kaidah hukum yang mengatur tata cara pemeriksaan perkara haruslah sederhana, mudah dimengerti oleh pencari keadilan dan tidak berbelit-belit serta tidak terlalu formalistik.53 Dengan adanya SEMA No. 2 Tahun 2014 tentang Penyelesaian Perkara Tingkat Pertama dan Tingkat Banding Pada 4 (empat) Lingkungan Peradilan dan yang dimana dalam SEMA tersebut dijelaskan bahwa penyelesaian perkara pada tingkat pertama dilakukan paling 53 Sukarno Aburaera, Kekuasaan Kehakiman, (Makassar, Arus Timur, 2012), hlm. 12. 54 lambat dalam waktu 5 (lima) bulan ini sudah menjadi salah satu pendukung untuk terlaksananya Pengadilan Tata Usaha Negara sesuai pada Asas Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan. Sederhana, cepat, dan biaya ringan merupakan tiga hal yang berkaitan satu sama lain. Jika aturan hukum sederhana maka proses peradilan bisa cepat sekaligus dengan hal tersebut akan menghemat biaya. Mengenai biaya, penulis telah mendapatkan pedoman penafsiran panjar biaya perkara pada tingkat pertama berdasarkan diterapkannya Asas Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan di Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar dapat dilihat pada Penetapan Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar Nomor. W4. TUN. 1/345/AT.01.06/1/2014 Tentang Pencabutan Penetapan Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar Nomor : W4.TUN.1/620/AT.0106/VI/2012 Tentang Pedoman Penaksiran Panjar Biaya Perkara sebagai berikut : 55 Tabel 2 Biaya Perkara pada Tingkat Pertama GUGATAN/TINGKAT PERTAMA : Rp. 600.000,- RINCIAN PENAKSIRAN BIAYA PERKARA TINGKAT PERTAMA : - Biaya pendaftaran gugatan (PNBP disetor ke Kas Negara) Rp. 30.000,- - Biaya per panggilan / per pemberitahuan Rp. 15.000,- - Pengiriman + biaya transportasi parkir Rp. 300.000,- - Biaya materi per putusan Rp. 6.000,- - Hak redaksi (PNBP disetor ke Kas Negara) Rp. 5.000,- - Biaya proses Rp. 50.000,- Sumber: Panitera Muda Perkara Menurut Jermias T.U Rartiva, S.H.,M.H.54 dalam wawancara yang dilakukan oleh penulis menegaskan bahwa : “Tentang biaya ringan masih standart dari prosedur pembiayaan yang dimana dengan biaya Rp 700.000.” Menurut Panca Setiawan 55 dalam wawancara yang dilakukan oleh penulis menegaskan bahwa : “Begitu pula dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk persidangan masih normal.” Menurut Dr. Titi S. Slamet, S.H.,M.H. 56 dalam wawancara yang dilakukan oleh penulis menegaskan bahwa : “Tentang biaya tidak ada masalah seperti biasa dan apabila ada kelebihan maka akan dikembalikan.” 54 55 56 Kuasa hukum perkara No. 69/G/2015/PTUN Mks Penggugat perkara No. 69/G/2015/PTUN MKS Kuasa hukum perkara No. 66/G/2015/PTUN MKS 56 Menurut Aishah H. Ibrahim, S.H57 dalam wawancara yang dilakukan oleh penulis menegaskan bahwa : “Sedangkan masalah biaya tidaklah berlebihan dan sesuai dengan yang telah ditentukan di Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar.” B. Faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi Asas Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan di Pengadilan Tata Usaha Negara Dalam implementasi Asas Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan di Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar yang penulis teliti ternyata ada ditemukan faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi Asas Cepat, Sederhana, dan Biaya Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar Ringan di sehingga dalam penerapannya tidak berjalan dengan lancar. Namun dari wawancara dengan narasumber yaitu ketua hakim, hakim anggota, panitera muda perkara, advokasi, dan pencari keadilan (penggugat) masing-masing menjelasakan faktor-faktor apa saja sehingga mempengaruhi implementasi Asas Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan di Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar. Menurut Edi Supriyanto, S.H.,M.H. 58 dalam wawancara yang dilakukan oleh penulis menegaskan bahwa ada faktor penghambat yang mempengaruhi asas cepat, sederhana, dan biaya ringan adalah sebagai berikut : 57 58 Penggugat perkara no. no. 66/G/2015/PTUN MKS Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar tanggal 7 Desember 2015 57 “Pengertian cepat itu tidak hanya dikaitkan pada tingkat pertama kaitannya sampai kasasi. Proses perkara itu ada tingkat pertama, tingkat banding, dan tingkat kasasi. Kalau pada tingkat pertama yaitu adanya ketidaktepatan waktu para pihak yang seharusnya jadwalnya misalnya acaranya sudah ditentukan yaitu misalnya adalah jawaban tergugat dan ternyata jawaban tergugat belum siap jawaban ya tentukan ditunda, tidak siap replik, belum siap relik persidangan ditunda dan diberikan kesempatan sekali dan seterusnya misalnya pembuktian surat dia seharusnya hari sidang itu ngajukan bukti surat tetapi dia belum siap dengan alat bukti suratnya maka diberikan kesempatan lagi. Jadi tentu itu terkait dari semua pihak yang terkait dengan proses beracara.” Selanjutnya menurut Fajar Wahyu Jatmiko, S.H. 59 dalam wawancara yang dilmenegaskan bahwa ada faktor pendukung asas cepat, sederhana, dan biaya ringan adalah sebagai berikut : “Kesadan hukum dari para pihak kemudian kesadaran kehadiran para pihak karena semakin pihak itu tertib untuk hadir di ruang sidang maka kita akan cepat selesai karena tidak perlu lagi memanggil, menunggu lagi, ditunda lagi, diberi kesempatan lagi, jadi semakin tergantung dari para pihak lagi faktor perdukung asas cepat, sederhana. Begitu pula dalam pembuktiannya itu tidak terlalu berbelit-belit saksinya memang cocok/tepat jadi tidak perlu berbeli-belit lagi terus biaya ringan juga faktor pendukungnya selain itu juga itu para pihak cepat, tidak bertele-tele.” Berdasarkan pada Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah dengan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 para pihak dalam sengketa tata usaha negara adalah orang (individu) atau badan hukum perdata dan badan atau pejabat tata usaha negara. 59 Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar tanggal 8 Desember 2015 58 Menurut Hj. Siti Rahmatia60 dalam wawancara yang dilakukan oleh penulis menegaskan bahwa : “Dalam proses persidangan selalu ada penundaan jadwal sidang yang dimana hampir semuanya dan dimana tergantung dari kehadiran dari para pihak. Contoh : pada hari ini tanggal 8 Desember 2015 sudah ditentukan bahwa hari ini misalnya acaranya jawaban tapi karena para pihak dalam hal ini pihak tergugat mempunyai kewenangan untuk mengajukan jawaban itu tidak hadir maka otomatis sidang itu ditunda untuk minggu depan ke acara jawaban tergugat. Penundaan itu selalu ada. Jadi tergantung dari para pihaknya, kehadiran para pihak dan kesediaan para pihak sendiri untuk memenuhi acara yang sudah diagendakan kalo sekiranya hari ini replik, penggugatnya belum siap otomatis ditunda minggu depan lagi dengan acara Replik penggugat. Dalam beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara harus diketahui yang menjadi tolok ukur subjek dan pangkal sengketa. Tolok ukur sengketa tata usaha negara (administrasi) adalah tolok ukur subjek adalah para pihak yang bersengketa di bidang hukum administrasi negara (tata usaha negara). Sedangkan tolok ukur pangkal sengketa yaitu sengketa administrasi yang diakibatkan oleh ketetapan sebagai hasil perbuatan administrasi negara.61 Subjek atau pihak-pihak yang berperkara di Pengadilan Tata Usaha Negaraada dua pihak, yaitu :62 60 Panitera Muda Perkara tanggal 8 Desember 2015 Sjachran Basah, Hukum Acara Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Administrasi, (Jakarta: Rajawali Pers, 1991, hlm 15. 62 Titik Triwulan dan Ismu Gunadi Widodo, Hukum Tata Usaha Negara Dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia, (Jakarta, Kencana Prenadamedia Group, 2011), hlm. 589-592. 61 59 1. Pihak Penggugat Pihak penggugat, yaitu seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan dengan dikeluarkannya keputusan tata usaha negara oleh badan atau pejabat tata usaha negara baik di pusat atau di daerah. Pihak penggugat memiliki hak, antara lain : a. Mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan Tata Usaha negara terhadap suatu keputusan tata usaha negara (Pasal 53). b. Didampingi oleh seorang atau beberapa orang kuasa (Pasal 57). c. Mengajukan kepada Ketua Pengadilan untuk bersengketa cuma-cuma (Pasal 60). d. Mendapat panggilan secara sah (Pasal 65) e. Mengajukan permohonan agar pelaksanaan keputusan Tata Usaha Negara ditunda selama pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara sedang berjalan, sampai ada putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 67). f. Mengubah alasan yang mendasari gugatannya hanya sampai dengan replik asal disertai alas an yang cukup serta tidak merugikan kepentingan tergugat (Pasal 75 Ayat 1). 60 g. Mencabut jawaban sebelum tergugat memberikan jawaban (Pasal 76 Ayat 1). h. Mempelajari berkas perkara dan surat-surat resmi lainnya yang bersangkutan di kepaniteraan dan membuat kutipan seperlunya (Pasal 81) i. Membuat atau menyuruh membuat salinan atau petikan segala surat pemeriksaan perkaranya, dengan biaya sendiri setelah memperoleh izin ketua pengadilan yang bersangkutan (Pasal 82). j. Mengemukakan pendapat yang terakhir berupa kesimpulan pada saat pemeriksaan sengketa sudah diselesaikan (Pasal 97 Ayat 1). k. Mencantumkan dalam gugatannya permohonan kepada pengadilan supaya pemeriksaan sengketa dipercepat dalam hal terdapat kepentingan penggugat yang cukup mendesak yang harus dapat disimpulkan dari alas an-alasan permohonannya (Pasal 98 Ayat 1). l. Mencantumkan dalam gugatannya permohonan ganti rugi (Pasal 120). m. Mencantumkan dalam gugatannya permohonan rehabilitasi (Pasal 121). n. Mengajukan permohonan pemeriksaan banding secara tertulis kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha negara dalam 61 tenggang waktu 14 hari setelah putusan Pengadilan Tata Usaha Negara diberitahukannya secara sah (Pasal 122). o. Menyerahkan memori banding dan/atau kontra memori banding serta surat bukti kepada panitera pengadilan tata usaha negara dengan ketentuan bahwa salinan memori banding dan/atau kontra memori banding diberikan kepada pihak lainnya dengan perantara panitera pengadilan (Pasal 126 Ayat 3). p. Mengajukan permohonan pemeriksaan kasasi secara tertulis kepada MA atau suatu putusan tingkat terakhir pengadilan (Pasal 131). q. Mengajukan permohonan pemeriksaan peninjauan kembali kepada MA atas suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 132). 2. Pihak Tergugat Pihak tergugat, yaitu badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenag yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya. Pihak tergugat juga memiliki hak, antara lain : a. Didampingi oleh seorang atau beberapa orang kuasa (Pasal 57). b. Mendpat panggilan secara sah (Pasal 65). 62 c. Mengubah alas an yang mendasari jawaban atas gugatan, pencabutan gugatan oleh penggugat akan dikabulkan oleh pengadilan hanya apabila disetujui tergugat (Pasal 76 Ayat 2). d. Apabila tergugat sudah memberikan jawaban atas gugatan, pencabutan gugatan oleh penggugat akan dikabulkan oleh pengadilan hanya apabila disetujui tergugat (Pasal 76 Ayat 2). e. Mempelajari berkas perkara dan surat-surat resmi lainnya yang bersangkutan di kepaniteraan dan membuat kutipan seperlunya (Pasal 81). f. Mengemukakan pendapat yang terakhir berupa kesimpulan pada saat pemeriksaan sengketa sudah diselesaikan (Pasal 97 Ayat 1). g. Bermusyawarah diruangan tertutup untuk mempertimbangkan segala sesuatu guna putusan sengketa tersebut (Pasal 97 Ayat 2). h. Mengajukan permohonan pemeriksaan banding secara tertulis kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha negara dalam tenggang waktu 14 hari setelah putusan Pengadilan Tata Usaha Negara diberitahukannya secara sah (Pasal 122). i. Menyerahkan memori banding dan/atau kontra memori banding serta surat keterangan bukti kepada panitera pengadilan Tata Usaha Negara dengan ketentuan bahwa salinan memori banding 63 diberikan kepada pihak lainnya dengan perantara panitera pengadilan (Pasal 126 Ayat 3). j. Mengajukan permohonan pemeriksaan kasasi secara tertulis kepada MA atas suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 132). Selanjutnya, penulis skripsi mengambil data perkara perkara yang dimana proses persidangannya melebihi waktu yang telah ditentukan berdasarkan pada SEMA No. 2 Tahun 2014 tentang Penyelesaian Perkara di Pengadilan Tingkat Pertama paling lambat dalam waktu 5 (lima) bulan adalah sebagai berikut : 64 Tabel 3 Perkara yang melebihi batas waktu penyelesaian perkara Tata Usaha Negara berdasarkan pada SEMA No. 2 Tahun 2014 Sumber : Panitera Muda Perkara 1. 2. 3. 4. Nomor Perkara Pengajuan Diterima Pemanggilan Sidang I Putusan Nomor Perkara Pengajuan Diterima Pemanggilan Sidang I Putusan Nomor Perkara Pengajuan Diterima Pemanggilan Sidang I 02/G/2015/PTUN MKS 13 Januari 2015 16 Januari 2015 26 Januari 2015 2 Maret 2015 29 Juni 2015 04/G/2015/PTUN MKS 30 Januari 2015 30 Januari 2015 12 Januari 2015 20 Februari 2015 29 Juni 2015 13/G/2015/PTUN MKS 23 Februari 2015 23 Februari 2015 04 Maret 2015 30 Maret 2015 Putusan Nomor Perkara Pengajuan Diterima Pemanggilan Sidang I Putusan 22 September 2015 15/G/2015/PTUN MKS 2 Maret 2015 2 Maret 2015 11 Maret 2015 6 April 2015 9 Juli 2015 Menurut Jermias T.U Rartiva, S.H.,M.H. 63 dalam wawancara yang dilakukan oleh penulis menegaskan bahwa : “Faktor-faktor dalam implementasi Asas Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan di Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar dikatakan bahwa Sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku 63 Kuasa hukum perkara No. 69/G/2015/PTUN Mks tanggal 9 Desember 2015 65 bahwa pendaftaran gugatan itu yang dimana dimulai awal pada panitera muda perkara, kemudian setelah pendaftaran kemudian mengajuakan surat gugatan, gugatan itu akan diproses awal yang dinamakan tindakan pemeriksaan kemudian dari tindakan pemeriksaan itu apabila dipandang sudah cukup maka yang dilakukan/dilanjutkan dengan persidangan dan pada hari ini perkara yang saya tangani masuk pada tahap pembacaan surat gugatan karena dipandang proses pemeriksaan awal sudah cukup. Menurut saya, proses beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar tidak berbelit-belit karena fakta dan kenyataanya proses yang saya lalui cukup tertib dan maksimal dan untuk saat ini dalam kasus perkara saya saat ini berjalan normal saja oleh karena masih tahap awal pengajuan gugatan.” Menurut Panca Setiawan 64 dalam wawancara yang dilakukan oleh penulis menegaskan bahwa : “Faktor-faktor dalam implementasi Asas Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan di Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar sudah berdasarkan pada prosedur dan tidak berbelit-belit. Saya berharap kedepannya Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar dapat lebih transparan dalam memberikan informasi di website dari Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar sendiri.” Menurut Dr. Titi S. Slamet, S.H.,M.H. 65 dalam wawancara yang dilakukan oleh penulis menegaskan bahwa : “Faktor-faktor dalam implementasi Asas Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan di Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar dikatakan bahwa tidak berbelit-belit sesuai Undang-Undang dan disitu diperiksa materinya apakah obyeknya itu ada obyek TUN/perkara perdata biasa dan apabila di tunda itu sudah biasa yang mungkin saja advokat itu berhalagan hadir contohnya saja pada saat ini yang menjadi tergugat adalah BPN yang dimana pihak BPN terlambat hadir dikarenakan ada persidangan di Pengadilan lain. 64 65 Penggugat perkara No.. 69/G/2015/PTUN Mks tanggal 9 Desember 2015 Kuasa hukum perkara No. 66/G/2015/PTUN MKS tanggal 9 Desember 2015 66 Menurut Aishah H. Ibrahim, S.H 66 dalam wawancara yang dilakukan oleh penulis menegaskan bahwa : “Faktor-faktor dalam implementasi Asas Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan di Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar adalah dalam proses pesidangan/beracara tidaklah berbelit-belit dan sudah sesuai prosedur.” 66 Penggugat perkara no. no. 66/G/2015/PTUN MKS tanggal 9 Desember 2015 67 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang berkaitan dengan implementasi Asas Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan di Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar, maka penulis dapat merumuskan kesimpulan dan saran sebagai berikut : A. Kesimpulan 1. Implementasi asas cepat, sederhana, dan biaya ringan pada Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar belum dilaksanakan secara optimal berdasarkan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara sebagai diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 dan perubahan kedua Undang-Undang No, 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. 2. Faktor yang mempengaruhi implementasi asas cepat, sederhana, dan biaya ringan adalah kurangnya ruang sidang/infrastruktur Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar dan ketidak hadiran para pihak yang telah dijadwalkan. 68 B. Saran Setelah melakukan penelitian mengenai implementasi Asas Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan di Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar, maka penulis dapat mengemukakan saran sebagai berikut : 1. Meningkatkan kinerja yaitu sumber tenaga kerjanya dan hakim sehingga implementasi asas cepat, sederhana, dan biaya ringan tetap optimal. 2. Hendaknya Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar dapat menambah ruang sidang sehingga tidak terjadinya penumpukan persidangan. 69 DAFTAR PUSTAKA A. BUKU Indroharto. 1993. Peradilan Tata Usaha Negara. Pustaka Sinar Harapan: Jakarta. Imam Anshori Saleh. 2014. Konsep Pengawasan Kehakiman. Setara Press: Malang. M. Hatta Ali. 2012. Peradilan Sederhana Cepat & Biaya Ringan. P.T. ALUMNI: Bandung. Muchsan. 1981. Peradilan Administrasi Negara. Liberty: Yogyakarta. Rozali Abdullah. 2002. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. PT RajaGrafindo Persada: Jakarta. Rozali Abdullah. 2004. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. PT RajaGrafindo Persada: Jakarta Rimdan. 2012. Kekuasaan Kehakiman Pasca-Amandemen Konstitusi. Kencana Prenada Media Group: Jakarta. R. Wiyono, 2010. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Sinar Grafika: Jakarta. Sukarno Aburaera. 2012. Kekuasaan Kehakiman Indonesia. Arus Timur: Makassar. Soerjono Soekanto, 1983. Pengantar Penelitian Hukum. Rineka Cipta: Jakarta. 70 Sjachran Basah, 1991, Hukum Acara Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Administrasi. Rajawali Pers: Jakarta Titik Triwulan T. dan Ismu Gunadi Widodo. 2011. Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia. Kencana Prenadamedia Group: Jakarta. Wicipto Setiadi, 1995, Hukum Acara Tata Usaha Negara: Suatu Perbandingan, RajaGrafindo Persada: Jakarta Zairin Harap. 2010. Hukum Acara Tata Usaha Negara. PT RajaGrafindo Persada: Jakarta. 71