BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Yoghurt Sistematika dari bakteri Lactobacillus bulgaricus menurut Weiss et al. (1984) dalam thefreedictionary (2007), dapat digolongkan sebagai berikut: Kingdom : Bacteria Division : Firmicutes Class : BacilliOrdo : Lactobacillales Famili : Lactobacillaceae Genus : Lactobacillus Species : Lactobacillus delbrueckii Subspecies : Lactobacillus delbrueckii Subsp. Bulgaricus. Campuran atau kombinasi dari Lactobasillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus sering digunakan pada beberapa macam produksi yoghurt. Walaupun kedua mikroorganisme tersebut dapat digunakan secara terpisah, namun penggunaan keduanya dalam kultur starter yoghurt secara bersama-sama terbukti telah bersimbiosis dan meningkatkan efisiensi kerja kedua bakteri tersebut. Tingkat produksi asam yang lebih tinggi, Streptococcus thermophilus tumbuh lebih cepat dan menghasilkan asam dan karbondioksida. Format dan karbondioksida yang dihasilkan ini menstimulasi pertumbuhan Lactobasillus bulgaricus. Disamping itu, aktivitas proteolitik dari Lactobasillus bulgaricus ternyata juga menghasilkan peptide dan asam amino yang digunakan oleh Streptococcus thermophilus. Proses pembuatan yoghurt, susu menggumpal 3 disebabkan oleh derajat keasaman yang turun. Streptococcus thermophilus berperan untuk menurunkan pH sampai sekitar 5,0 dan baru kemudian disusul Lactobasillus. Berdasarkan Standar Nasioal Indonesia (SNI) untuk yoghurt yang dikeluarkan oleh Badan Standardisasi Nasional tahun 1992 dengan nomor SNI 01-2981-1992 yoghurt dengan kualitas yang baik memiliki total asam laktat sekitar 0,5 - 2,0 % dan kadar air maksimal 88 %. Derajat keasaman (pH) yang sebaiknya dicapai oleh yoghurt menurut Edwin (2002) adalah 4,5. Mengacu dari uji organoleptik yang meliputi uji aroma atau bau yoghurt, rasa yoghurt dan tekstur yoghurt dalam SNI 01-2981-1992 juga disebutkan bahwa kriteria yoghurt dengan kualitas yang baik yaitu memiliki aroma normal atau khas yoghurt, rasa khas/asam yoghurt dan tekstur cairan kental atau semi padat. Yoghurt dapat juga diartikan sebagai susu yang difermentasi oleh bakteri asam laktat. Strain bakterial tertentu mengkonversi laktosa menjadi asam laktat. Susu mengalami koagulasi apabila sejumlah asam laktat diproduksi (Soeparno 2007). Prinsip dasar dari fermentasi yoghurt adalah inokulasi bakteri lactobacillus aricus dan struptococcubulgs thermophillus pada susu yang telah dipanaskan. Tujuan pemanasan adalah untuk membunuh mikroba pencemar dan membuat kondisi menguntungkan untuk perkembangan kedua bakteri tersebut. Pemanasan juga menyebapkan denaturasi kasein sehingga membentuk konsistensi yang lebih kental dan homogen pada yoghurt (Buckle et al.1987). Menurut Early (1998), susu yang dapat digunakan dalam pembuatan yoghurt yaitu susu murni atau whelo milk, susu skim (susu dengan kadar lemak 4 kurang dari 1%), susu skim bubuk, krim (bagian susu yang banyak mengandung lemak yang timbul kebagian atas dari susu pada waktu didiamkam atau dipisahkan dengan alat pemisah) dan konsentrat protein susu. Selama fermentasi yoghurt dua peranan starter yaitu sebagai pembentuk asam yang menyebabkam rasa dan aroma khas dan pembentuk komponen-komponen cita rasa seperti karbonil, asetaldehid, aseton, dan deasetil (Helfrich dan Westhoff 1980). Menurut Buckle et al. (1987) proses pembuatan yoghurt dimulai dengan pemanasan susu yang akan dipermentasi pada susu 900C selama 15-30 menit, kemudian didinginkan sampai suhu 430C, diinokulasi dengan kultur campuran bakteri actobalcillus bulgaricus dan streptococcus thermophillus dan dipertahankan pada suhu ini selama kurang lebih tiga jam sehingga tercapai kesamaan yang dikehendaki yaitu 0,85%-0,90% dan Ph 4,0-4,5. Adapun manfaat yoghurt terdapat kesehatan tubuh diantaranya sebagai bahan pencegah penyakit saluran pencernaan seperti diare. Khususnya pada bayi yang mengalami lactose intolerance, gastroenteritis dan pengobatan konstipasi. Bagi penderita lactose intolerance, yoghurt sangat bermanfaat karena bakteri asam laktat akan mengubah laktosa menjadi asam laktat. Selain itu, penyakit osteoporosis yang diakibatkan oleh difesiensi kalsium, dapat dihindari dengan mengkonsumsi yoghurt, karena yoghurt mengandung kalsium cukup tinggi (Deeth dan Tamime 1981). Menurut Salji (1991), yoghurt dapat memiliki fungsi sebagai anti mikroba, anti kolestrol, anti kanker, meningkatkan kemampuan penyerapan mineral oleh tubuh dan meningkatkan sistem imunologi. 5 Pembuatan yoghurt menggunakan bakteri Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophillus. Kedua bakteri itu mengurai laktosa (gula susu) menjadi asam laktat dan berbagai komponen aroma dan citarasa. Lactobacillus bulgaricus lebih berperan pada pembentukan aroma, sedangkan Streptococcus thermophilus lebih berperan pada pembentukan citarasa. Yoghurt dibuat dengan memasukkan bakteri spesifik kedalam susu dibawah temperatur dan kondisi lingkungan yang dikontrol. Bakteri Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophlillus merombak gula susu alami dan melepaskan asam laktat sebagai produk sisa. Keasaman yang meningkat menyebabkan protein untuk membuat susu menjadi menggumpal. Bakteri Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus Lactobacillus bulgaricus berbentuk batang. Pembentukan rantai umum dijumpai, terutama pada fase pertumbuhan logaritma lanjut. Motilitas tidak umum, tidak membentuk spora. Gram positif berubah menjadi gram negatif dengan bertambahnya umur dan derajat keasaman. Metabolisme fermentatif, kisaran suhu optimum biasanya 30 – 40 oC dijumpai dalam produk persusuan. 2.2 Sanitasi Kata sanitasi diturunkan dari kata latin sanitas yang berarti sehat. Kata ini kemudian dipergunakan di industri pangan yaitu sanitasi yang berarti membuat dan mempertahankan kondisi higienis dan sehat. Sanitasi merupakan aplikasi dari ilmu pengetahuan untuk menyediakan makanan yang sehat yang ditangani dalam suatu lingkungan yang higienis untuk 6 mencegah kontaminasi oleh mikroorganisme yang menyebabkan penyakit keracunan dan untuk meminimalkan perkembangbiakan mikroorganisme pembusuk makanan (Marriott, 1999). Menurut Tjiptadi dan Mulyorini (1989), ilmu sanitasi adalah pengetahuan tentang berbagai kegiatan yang berkaitan dengan tindakan sanitasi. Tindakan sanitasi meliputi segala kegiatan atau perlakuan pembasmian bakteri yang cukup memadai terhadap suatu permukaan yang bersih, yaitu apabila suatu bahan pembasmi bakteri digunakan terhadapnya tidaklah efektif dengan adanya gemuk, tanah atau sisa-sisa produk. Istilah higiene dan sanitasi tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain karena erat kaitannya. Tetapi bila kita kaji lebih mendalam pengertian higiene dan sanitasi ini mempunyai perbedaan, yaitu higiene lebih mengarah pada kebersihan individu, sedangkan sanitasi lebih mengarah kebersihan faktor-faktor lingkungan (Azwar, 1990). Sanitasi adalah upaya kesehatan dengan cara memelihara kebersihan lingkungan dari subyeknya. Misalnya menyediakan air yang bersih untuk keperluan mencuci, menyediakan tempat sampah untuk mewadahi sampah agar sampah tidak dibuang sembarangan (DepKes RI, 2004). 2.2.1 Sanitasi Higiene Industri Sanitasi (Sanitasi Ruang Produksi) ruang pengolahan yoghurt juga berperan penting dalam menentukan berhasil tidaknya upaya sanitasi makanan secara keseluruhan. Dapur yang bersih dan dipelihara dengan baik akan merupakan tempat yang higienis sekaligus menyenangkan sebagai tempat kerja (Azwar, 1990). 7 Dapur seperti itu juga dapat menimbulkan citra (image) yang baik bagiinstitusi yang bersangkutan. Dua hal yang menentukan dalam menciptakan dapur yang saniter adalah konstruksi dapur dan tata letak (layout) dalam ruang pengolahan makanan harus ada pemisahan fisik antara ruang bersih dan ruangan kotor, lokasi tidak dekat dengan pemukiman padat, tidak di tengah sawah, tidak didaerah banjir/tergenang. Hal utama yang perlu diperhatikan dalam merencanakan dapur yang baik, adalah konstruksi bangunan yang anti tikus (rodentproof). Tikus merupakan pembawa (carrier) mikrobia patogen, serta merusak bahan makanan selama penyimpanan. Lubang-lubang yang ada di dalam dapur yang dapat menjadi pintu keluar masuk tikus harus ditutup dengan kawat kasa (Azwar, 1990). 2.2.2 Karakteristik Pengotor Pemilihan zat kimia untuk higiene dan sanitasi beserta kadarnya ditentukan dan disesuaikan dengan perkiraan tingginya derajat pengotoran oleh sisa makanan pada permukaan alat dan mesin pengolahan (Winarno dan Surono, 2004). Karakteristik pengotor dan klasifikasinya dapat dilihat pada tabel 1 dan 2. Industri susu, pengotor umumnya terdiri dari mineral, lemak, karbohidarat, protein, dan air. Selain itu, dapat juga terbentuk film putih atau abu-abu yang sering disebut sebagai milkstone atau waterstone. Film ini biasanya berakumulasi pada permukaan peralatan secara perlahan karena pencucian yang tidak bersih atau penggunaan air keras, atau keduanya (Marriott, 1999). 8 Tabel 1. Karakteristik Pengotor pada Permuakaan Mesin/Alat Kemudahan Jenis Reaksi Akibat Kelarutan untuk Pengotor Panas dibersihkan Gula Larut Air Mudah Karamelisasi Lemak Larut Basah Sulit Polimerisasi Protein Larut Basah Sangat Sulit Denaturasi Larut Air, Larut Mudah Hingga Interaksi dengan Pati Basah Cukup Mudah Senyawa Lain Garam Larut Air, Larut Mudah Hingga Umumnya tidak Monovalen Asam Sulit Signifikan Garam Interaksi dengan Larut Asam Sulit Polivalen Senyawa Lain Sumber : (Schmidt, 1997) Jenis Pengotor Pengotor Anorganik Pengotor Organik Tabel 2. Klasifikasi Pengotor Subclass Pengotor Deposit Hard Water Deposit Logam Deposit Basa Deposit Makanan Deposit Petroleum Deposit Non Petrolem Contoh Deposit Kasium Karbonat dan Magnesium Karbonat Karat, Oksida lainnya Film yang terbentuk oleh pencucian yang salah setelah penggunaan bahan pembersih basa Sisa Makanan Minyak Lubrikasi Lemak Hewan dan Minyak Tanaman Sumber : (Marriott, 1999) Pengotor yang telah disebutkan diatas, pada permukaan mesin atau peralatan dapat terbentuk biofilm. Menurut Mittelman (1998), bakteri yang menempel dan membentuk biofilm pada permukaan melalui tiga tahapan proses. Sepanjang tahapan pertama, permukaan dilapisi dengan film organik dengan cepat. Film ini tersusun dari senyawa protein seperti albumin. Tahapan kedua terjadi proses adhesi pada permukaan mesin dan peralatan. Sel-sel tunggal bakteri ditransportasikan pada permukaan dan ikatan dapat balik terbentuk antara dinding 9 sel dan substrat. Selanjutnya, senyawa polimer ekstraselular bakteri terbentuk. Senyawa polimer ekstraselular memediasi penempelan koloni primer bakteri pada film organik. Pada tahapan terakhir biofilm telah terbentuk. Biofilm merupakan pengotor yang menyebabkan berbagai permasalahan serius di industri pangan. Hal ini disebabkan oleh karakteristik biofilm yang lebih tahan terhadap desinfektan bentuk bakteri tunggalnya (Mittelman 1998). 2.2.3 Bahan Pembersih Menurut American Institute of Baking (1979), komponen-komponen yang terdapat dalam bahan pembersih merupakan kombinasi yang lengkap dari fungsifungsi : a. Mengkelat: memiliki kemampuan untuk mencegah timbunan garam mineral yang tidak diharapkan pada permukaan mesin yang dibersihkan. b. Pembasah: memiliki kemampuan untuk mengurangi tegangan permukaan air sehingga meningkatkan kemampuan bahan pembersih untuk menembus kotoran. c. Emulsifikasi: memiliki kemampuan untuk mengemulsi lemak dan padatan lain. d. Melarutkan: kekuatan untuk melarutkan dari bahan pembersih padatan inorganik dan organik kemudian secepatnya dipindahkan kedalam larutan. e. Kekuatan sponofikasi: bahan pembersih memiliki kemampuan untuk mensponifikasi lemak. f. Kekuatan peptisasi: memiliki kemamnpuan untuk mendispersikan protein. 10 2.2.4 Sanitizer Saniter diaplikasikan untuk mengurangi mikroba patogen dan pembusuk yang terdapat pada peralatan dan fasiltas pangan (Marriot, 1999). Saniter menghancurkan sel_sel vegetatif mokroorganisme yang terdapat pada permukaan yang kontak dengan makanan (Elliot, 1980) Saniter digunakan segera setelah pencuncian karena pengotor harus dibersihkan agar Saniter dapat berfungsi dengan baik (Merriot, 1999). Permukaan mesin yang akan disanitasi harus bersih dan dibilas untuk menghilangakan kotoran dan sisa-sisa pembersih. Adanya pengotor dan sisa bahan pembersih dapat menghambat aksi Saniter. 11