1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Radikal

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Radikal bebas adalah sekelompok senyawa kimia baik berupa atom maupun
molekul yang memiliki elektron tidak berpasangan pada lapisan terluarnya.
Radikal bebas juga bisa diartikan sebagai sekelompok senyawa kimia dengan
reaksi jangka pendek yang memiliki satu atau lebih elektron bebas (Arief, 2006).
Menurut Mimic-Oka et al. (1999) radikal bebas bersifat reaktif sehingga dapat
merusak jaringan, lemak, protein, terutama merusak DNA sehingga menyebabkan
pertumbuhan sel tidak terkontrol dan akhirnya menyebabkan terjadinya kanker.
Kerusakan yang diakibatkan oleh radikal bebas akan dipercepat apabila jumlah
radikal bebas tidak seimbang dengan kapasitas antioksidan didalam tubuh (Utama,
2012).
Antioksidan adalah senyawa yang dapat digunakan untuk melindungi tubuh
dari stres oksidatif dan berbagai penyakit seperti kanker, arterosklerosis, penuaan
dini, inflamasi, serta Alzheimer (Utama, 2012). Berbagai cara antioksidan dalam
menghambat proses oksidasi antara lain dengan cara beraksi dengan radikal bebas,
membentuk khelat dengan logam katalitik, serta sebagai penangkap singlet
oksigen (oxygen scavengers) (Shindhe et al., 2006).
Dewasa ini penggunaan senyawa antioksidan sebagai obat semakin
meningkat, seiring berkembangnya pengetahuan tentang aktifitas radikal bebas
terhadap penyakit degeneratif seperti kanker dan jantung (Hanani et al., 2005).
1
2
Salah satu tanaman obat asli Indonesia yang sudah dibuktikan mengandung
senyawa antioksidan adalah kunyit (Curcuma longa L.) (Chattopadhyay et al.,
2004). Kunyit mengandung zat aktif bernama kurkumin. Kurkumin dapat
dimanfaatkan sebagai antioksidan dari luar tubuh, mengingat tubuh manusia tidak
memiliki cadangan antioksidan berlebih.
Penelitian terhadap kurkumin telah menghasilkan beberapa turunannya,
yaitu Heksagamavunon, Pentagamavunon, dan Gamavuton (Sardjiman, 2000).
Modifikasi terhadap kurkumin terus dilakukan untuk mendapatkan senyawa lebih
stabil, aman, poten dan aktivitas yang lebih baik juga lebih spesifik dibandingkan
senyawa kurkumin itu sendiri. Salah satu modifikasi yang telah berhasil dilakukan
yaitu PGV-0 (Pentagamavunon-0) dan PGV-1 (Pentagamavunon-1) dimana dari
hasil penelitian Sardjiman (2000) menunjukkan bahwa kedua senyawa tersebut
memiliki aktivitas antioksidan lebih baik dari kurkumin. Dilaporkan dari hasil
penelitian Sugiyama et al. (1996) bahwa kurkumin akan dimetabolisme di dalam
tubuh menjadi tetrahidrokurkumin (THC) dan memiliki aktivitas antioksidan lebih
kuat dibanding kurkumin secara in vitro. Hal ini diperkuat dengan penelitian
Yoysungnoen et al. (2008) yang mengemukakan bahwa THC akan menginduksi
enzim-enzim antioksidan seperti NADPH, gluthation peroxidase, gluthation stransferase, dan quinon reductase lebih baik dibandingkan senyawa kurkumin.
Ritmaleni dan Simbara (2010) berhasil melakukan sintesis senyawa
Tetrahidropentagamavunon-0 (THPGV-0). Sintesis dilakukan melalui reaksi
hidrogenasi (reduksi dengan gas hidrogen) menggunakan katalis paladium karbon
(Pd/C) dan pelarut metanol dari starting material PGV-0. THPGV-0 dilaporkan
3
memiliki aktivitas antioksidan yang lebih baik dibandingkan PGV-0 dan Vitamin
E (Simbara, 2009). Selain itu, hasil penelitian Andhini (2012) juga berhasil
mensintesis THPGV-1 (Tetrahidropentagamavunon-1) dan hasil uji aktivitas
antioksidan yang dilakukan oleh Utama (2012), THPGV-1 memiliki aktivitas
antioksidan lebih baik dari PGV-1.
Beberapa penelitian lain yang berhasil disintesis melalui reaksi hidrogenasi
menjadi senyawa turunan kurkumin lainnya yaitu Tetrahidroheksagamavunon-5
(THHGV-5) dari starting material Heksagamavunon-5 (HGV-5) oleh Wibowo
(2013), Tetrahidroheksagamavunon-7 (THHGV-7 atau THA7) dari starting
material Heksagamavunon-7 (A7) oleh Praditya (2014), serta 1,5-bis-(4'triflorometilfenil)-pentan-3-on (TH-C7) dari starting material 1,5-bis-(4'triflorometilfenil)-penta-1,4-dien-3-on (C7) oleh Abimantranahita (2014).
Senyawa
1,5-bis-(4'-hidroksi-3',5'-dimetoksifenil)-pentan-1,4-dien-3-on
dengan nama trivial Gamavuton-5 (GVT-5) dan 2,6-bis-(3'-klorobenzilidin)sikloheksanon yang diberi kode senyawa A10 merupakan turunanan kurkumin
yang telah berhasil disintesis oleh Sardjiman (2000). Dengan demikian,
berdasarkan fakta yang ada, diharapkan metode hidrogenasi dapat diterapkan
pada senyawa Gamavuton-5 dan 2,6-bis-(3'-klorobenzilidin)-sikloheksanon (A10)
yang merupakan turunan kurkumin menjadi bentuk terhidrogenasinya yaitu
Tetrahidrogamavuton-5 (THGVT-5) dan 2,6-bis-(3'-klorobenzil)-sikloheksanon
(Tetrahidro-A10). Selain itu senyawa hasil reaksi hidrogenasi berupa senyawa
THGVT-5 dan THA10 diharapkan memiliki aktivitas antioksidan lebih baik
dibandingkan starting materialnya yaitu GVT-5 dan A10.
4
B. Rumusan Masalah
1. Apakah
senyawa
2,6-bis-(3'-klorobenzil)-sikloheksanon
Tetrahidrogamavuton-5
(THGVT-5)
dapat
disintesis
(THA10)
melalui
dan
reaksi
hidrogenasi dengan katalis paladium karbon (Pd/C) dalam pelarut metanol?
2. Apakah
senyawa
2,6-bis-(3'-klorobenzil)-sikloheksanon
Tetrahidrogamavuton-5
(THGVT-5)
hasil
sintesis
(THA10)
memiliki
dan
aktivitas
antioksidan yang lebih baik dibanding starting materialnya yaitu 2,6-bis-(3'klorobenzilidin)-sikloheksanon (A10) dan Gamavuton-5 (GVT-5)?
C. Pentingnya Penelitian Diusulkan
Penelitian ini bermanfaat untuk pengembangan senyawa turunan kurkumin
dan THC yang memiliki aktivitas biologis yang lebih baik khususnya aktivitas
antioksidan, lebih poten, dan stabil dibandingkan kurkumin sehingga berguna
dalam penemuan obat baru.
D. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui senyawa 2,6-bis-(3'-klorobenzil)-sikloheksanon (THA10) dan
Tetrahidrogamavuton-5
(THGVT-5)
dapat
disintesis
melalui
reaksi
hidrogenasi dengan katalis paladium karbon (Pd/C) dalam pelarut metanol.
2. Mengetahui apakah senyawa 2,6-bis-(3'-klorobenzil)-sikloheksanon (THA10)
dan Tetrahidrogamavuton-5 (THGVT-5) memiliki aktivitas antioksidan lebih
5
baik dibandingkan 2,6-bis-(3'-klorobenzilidin)-sikloheksanon (A10) dan
Gamavuton-5 (GVT-5).
E. Studi Pustaka
1. Kurkumin
Kurkumin atau secara tatanama IUPAC adalah 1,7-bis-(4'-hidroksi-3'metoksifenil)-1,6-heptadiena-3,5-dion, merupakan senyawa yang terdapat
pada tanaman Curcuma longa L. dan telah berhasil dikembangkan sintesisnya
oleh Pabon pada tahun 1964. Kurkumin memiliki sifat tidak larut dalam air
tetapi larut dalam pelarut organik. Berbagai penelitian kurkumin melaporkan
bahwa kurkumin memiliki aktivitas biologis antara lain sebagai antiinflamasi,
antitrombosis,
antioksidan,
antimutagen,
antiviral,
antiparasitik,
dan
antimikrobial (Majeed et al., 1995). Selain itu, Kawamori et al. (1999) dan
Vander Goot (1997) melaporkan bahwa kurkumin juga memiliki aktivitas
dalam penghambat siklooksigenase (COX) sebesar 79%, dan diduga bersifat
COX-2
selektif,
berdasarkan
sifat
ketidaktoksikannya
terhadap
gastrointestinal meskipun dalam pemberian dosis yang tinggi. Aktivitas
antioksidan kurkumin dipengaruhi oleh adanya gugus hidroksi aromatik
terminal, sedangkan aktivitas antimutagenik dan antikanker dipengaruhi oleh
gugus β-diketon dan ikatan rangkapnya (Majeed et al., 1995). Berikut pada
gambar 1 adalah senyawa kurkumin dalam bentuk keto (a) dan bentuk
enolnya (b):
6
H
O
O
O
H3CO
OCH3
a
HO
OH
O
H3CO
OCH3
b
HO
OH
Gambar 1. Struktur senyawa Kurkumin bentuk keto (a) dan bentuk enol (b)
2. Tetrahidrokurkumin (THC)
Tetrahidrokurkumin (THC) merupakan senyawa yang terbentuk dari
metabolisme kurkumin di dalam tubuh. Dengan demikian tetrahidrokurkumin
yang memiliki nama IUPAC 1,7-bis-(4'-hidroksi-3'-metoksifenil)-heptana-3,5dion merupakan metabolit utama dari kurkumin (Sugiyama et al., 1996). Hal
tersebut dibuktikan secara in vivo pada penelitian yang dilakukan oleh Pan et
al. (1999). Berdasarkan strukturnya THC mirip dengan kurkumin namun
terdapat perbedaan pada ikatan karbon α,β-karbonil, dimana THC memiliki
ikatan karbon α,β-karbonil jenuh sedang pada kurkumin ikatan karbon α,βkarbonilnya tidak jenuh. Hal tersebut berpengaruh terhadap warna senyawa,
yang mana kurkumin berwarna kuning sedangkan pada tetrahidrokurkumin
berwarna putih.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Okada (2001), diketahui
bahwa tetrahidrokurkumin lebih mudah diabsorbsi di saluran gastrointestinal
dan mempunyai efek antioksidan yang lebih besar dari kurkumin. Hal ini
didukung oleh penelitian Pan et al., (1999) bahwa tetrahidrokurkumin
memiliki kestabilan yang lebih baik dibandingkan dengan kurkumin dalam
plasma
maupun
dalam
lingkungan
pH
basa.
Struktur
Tetrahidrokurkumin ditunjukkan pada gambar 2 dibawah ini.
senyawa
7
O
O
H3CO
OCH3
HO
OH
Gambar 2. Struktur senyawa Tetrahidrokurkumin (THC)
3. Senyawa analog kurkumin hasil sintesis
Senyawa kurkumin merupakan senyawa yang telah banyak diteliti
untuk dikembangkan menjadi senyawa turunan kurkumin yang memiliki
aktivitas yang lebih baik dibandingkan kurkumin itu sendiri. Salah satu
contohnya adalah Sardjiman (2000) yang telah berhasil mensintesis 47
senyawa analog kurkumin. Dari 47 senyawa analog kurkumin tersebut dibagi
menjadi tiga golongan besar senyawa analog kurkumin berdasarkan struktur
cincin tengahnya yaitu Pentagamavunon (gambar 3.a.), Heksagamavunon
(gambar 3.b), dan Gamavuton (gambar 3.c).
O
O
R1
R2
R3
a
R1
R1
R2
R2
R1
R3
R3
R2
b
R3
O
R1
R1
c
R2
R2
R3
R3
Gambar 3. Struktur senyawa Heksagamavunon(a), Pentagamavunon (b), dan
Gamavuton (c) (Sardjiman, 2000)
8
4. Senyawa Pentagamavunon-0 (PGV-0) dan Tetrahidropentagamavunon-0
(THPGV-0)
Pentagamavunon-0 (PGV-0) memiliki nama IUPAC yaitu 2,5-bis-(4'hidroksi-3'-metoksi-benzilidin)-siklopentanon. PGV-0 merupakan salah satu
senyawa turunan kurkumin yang berhasil disintesis oleh Sardjiman (2000).
Berdasarkan penelitian, PGV-0 menunjukkan sifat sebagai antioksidan
(Sardjiman, 1997) dan antiinflamasi melalui penghambatan siklooksigenase
yang lebih baik daripada kurkumin (Sardjiman, 2000). Sifat-sifat PGV-0
tersebut juga telah dibuktikan pada penelitian yang dilakukan Nurrochmad
(1997) dimana aksi farmakologis PGV-0 sebagai antiinflamasi yaitu dengan
menghambat biosintesis prostaglandin melalui jalur siklooksigenase. Selain
itu, 20 mg/kg PGV-0 yang dipejankan pada tikus yang telah diinduksi dengan
karbon tetraklorida (CCl4) menunjukkan adanya efek hepatoprotektif. Aksi
hepatoprotektif tersebut disebabkan oleh sifat antioksidan dari PGV-0
(Nurrochmad, 1997). Penelitian tentang farmakokinetika terhadap PGV-0
menunjukkan bahwa profil kadar PGV-0 naik-turun dalam darah terutama
bila diberikan secara oral (Hakim et al., 2004).
Tetrahidropentagamavunon-0 (THPGV-0) atau 2,5-bis-(4'-hidroksi-3'metoksi-benzil)-siklopentanon merupakan senyawa yang berhasil disintesis
oleh Ritmaleni dan Simbara (2010 dari starting material PGV-0 melalui
reaksi hidrogenasi menggunakan gas hidrogen (H2) dan katalis paladium
karbon (Pd/C) dalam pelarut metanol (gambar 4). THPGV-0 yang dihasilkan
berupa padatan serbuk putih dengan rendemen sebesar 24 % dan jarak lebur
9
senyawa 122,2-123,4 °C. Metanol dipilih sebagai pelarut dalam reaksi
hidrogenasi, karena mengacu pada penelitian Mintariyanti (2010) yang
mengemukakan bahwa metanol merupakan pelarut protik terbaik yang dapat
digunakan untuk hasil optimum dimana dapat menghasilkan rendemen hingga
44 %.
O
H3CO
OCH3
HO
Pd/C
Metanol
24,52%
H2, r.t
OH
O
H3CO
OCH3
HO
OH
Gambar 4. Reaksi hidrogenasi PGV-0 menjadi THPGV-0
(Ritmaleni dan Simbara, 2010)
5. Senyawa 2,6-bis-(3'-klorobenzilidin)-sikloheksanon (A10)
Senyawa
2,6-bis-(3'-klorobenzilidin)-sikloheksanon
(gambar
5)
merupakan salah satu senyawa analog kurkumin hasil sintesis Sardjiman
(2000) dengan seri heksagamavunon (HGV) karena cincin lingkar enam
ditengahnya, dan memiliki kode sebagai A10.
O
Cl
Cl
Gambar 5. Struktur senyawa 2,6-bis-(3'-klorobenzilidin)-sikloheksanon (A10)
(Sardjiman, 2000)
10
Senyawa A10 memiliki titik lebur 99-100 °C. Senyawa A10 disintesis
dari 3-klorobenzaldehid dan sikloheksanon dalam pelarut metanol pada
temperatur 20-22 °C. Dari berbagai senyawa turunan kurkumin, senyawa A10
memiliki aktivitas antioksidan yang sangat rendah dilihat dari potensi %
penghambatan lipid peroksidase sebesar 1,2 % pada konsentrasi 4,0 μM
(Sardjiman, 2000).
6. Senyawa
1,5-bis-(4'-hidroksi-3',5'-dimetoksifenil)-pentan-1,4-dien-3-on
(C15)
Senyawa 1,5-bis-(4'-hidroksi-3',5'-dimetoksifenil)-pentan-1,4-dien-3-on
(gambar 6) merupakan senyawa analog kurkumin hasil sintesis Sardjiman
(2000) dengan seri gamavuton (GVT) dan memiliki kode sebagai C15.
O
H3CO
OCH3
HO
OCH3
OH
OCH3
Gambar 6. Struktur1,5-bis-(4'-hidroksi-3',5'-dimetoksifenil)-pentan-1,4dien-3-on (C15)
Senyawa C15 memiliki titik lebur cukup tinggi yaitu 165-166 °C.
Berbeda dengan senyawa A10, senyawa C15 ini memiliki gugus karbonil
yang tidak terikat pada suatu cincin sikloheksanon ataupun siklopentanon,
namun terikat pada rantai pentana. Senyawa C15 disintesis oleh Sardjiman
(2000) dari campuran senyawa 4-hidroksi-3,5-dimetoksibenzaldehid, aseton
p.a, dan asam klorida (HCl) pekat. Senyawa C15 ini memiliki aktivitas
11
sebagai antioksidan dengan potensi % penghambatan lipid peroksidase
sebesar 68,9 ± 3.3 % pada konsentrasi 4,0 μM (Sardjiman, 2000).
7. Kromatografi
Kromatografi merupakan teknik pemisahan suatu senyawa dalam
campuran didasarkan pada perbedaan kecepatan pergerakan komponen dalam
medium tertentu. Prinsip umum kromatografi adalah memisahkan substansi
campuran
menjadi
komponen-komponen
penyusunnya
(Gandjar
dan
Rohman, 2007).
Kromatografi lapis tipis (KLT) termasuk jenis teknik kromatografi yang
populer dan banyak digunakan untuk berbagai aplikasi termasuk analisis dan
pemurnian. Meskipun resolusi di KLT lebih rendah dari kromatografi cair
kinerja tinggi (KCKT), KLT memiliki beberapa keuntungan dibandingkan
KCKT antara lain yaitu peralatan yang dibutuhkan relatif murah, mudah
diatur dan dioperasikan di banyak laboratorium, jumlah pelarut jauh lebih
kecil, plat KLT murah dan memungkinkan untuk mengidentifikasi kotoran
yang dapat menyebabkan kerusakan pada kolom KCKT dan detektor. KLT
banyak digunakan dalam sintesis organik untuk pemantauan reaksi dan
identifikasi pembentukan produk. Pada metode KLT biasanya menggunakan
silika gel sebagai fase diam, namun penggunaan fase diam yang lebih khusus
diperlukan untuk pemisahan senyawa organik lebih efisien (Dillion et al.,
2012). KLT telah berhasil diaplikasikan pada analisis senyawa dengan berat
molekul besar seperti lemak dan sakarida (Tao and Yang, 2014).
12
Kromatografi kolom juga merupakan teknik kromatografi
untuk
memisahkan komponen-komponen dalam suatu campuran. Menurut Yuliana
et al. (2014), metode kolom kromatografi telah dikenal sebagai kromatografi
modern andalan untuk pemisahan secara analitik dan preparatif selama empat
dekade terakhir. Perbedaannya dengan kromatografi lapis tipis, fase diam
yang digunakan di-packing dalam sebuah kolom atau tabung kaca berbentuk
silinder, bukan diatas plat planar seperti pada teknik KLT. Dengan demikian
pergerakan senyawa oleh fase gerak akan menuju bawah searah dengan
gravitasi bumi (Gritter et al., 1991).
Dibandingkan
HPLC,
kromatografi
kolom
memiliki
beberapa
keuntungan seperti biaya rendah, sederhana, lebih fleksibel dalam
mengaplikasikannya, memiliki sensitivitas tinggi dan kemampuan untuk
mendeteksi co-elusi, yaitu sebuah fenomena dimana dua senyawa dengan
struktur dan polaritas sama dapat keluar kolom pada waktu yang sama
(Yuliana et al., 2014).
8. Spektroskopi
Spektroskopi merupakan ilmu yang mempelajari tentang fenomena
antaraksi energi dan materi. Teknik spektroskopi banyak digunakan
dalam bidang kimia untuk mengkarakterisasi struktur senyawa yang belum
diketahui. Terdapat beberapa macam teknik spektroskopi antara lain yaitu
spektroskopi inframerah, spektroskopi massa, dan spektroskopi NMR.
13
Spektroskopi inframerah adalah suatu
metode spektroskopi yang
memanfaatkan vibrasi dari suatu molekul yang mengalami eksitasi akibat
menyerap
energi
dan
memvisualisasikannya
dalam
suatu
spektrum
inframerah. Spektrum inframerah berupa suatu grafik panjang gelombang
atau frekuensi yang secara berkesinambungan berubah sepanjang suatu
daerah sempit dari spektrum elektromagnetik versus persen transmisi (%)
atau absorbans (A). Spektrum inframerah memberikan informasi spesifik
berupa gugus fungsional yang mengalami vibrasi karena pemberian energi
(Fessenden and Fessenden, 2001). Senyawa organik akan memberikan
spektrum inframerah yang khas, sedikit perbedaan pada atom-atom yang
mengelilingi gugus fungsional akan mempengaruhi pola spektrum inframerah
yang ada. Atas dasar tersebut, spektrum inframerah dapat digunakan untuk
identifikasi kualitatif senyawa organik (Pavia et al., 1979).
Spektroskopi Massa (MS) atau spektrometri massa adalah teknologi
analisis yang penting. Beberapa tahun terakhir MS digunakan untuk
mengetahui urutan protein, identifikasi metabolit, mengkonfirmasi urutan
gen, studi mengenai bagaimana asam nukelat berubah sesuai biosintesisnya,
deteksi protein kompleks yang tidak berikatan, pengukuran mikroorganisme
sepereti virus (Baez et al., 2015). Spektrometri massa (MS) dapat digunakan
untuk analisis kualitatif yang akan
memberikan informasi tentang berat
molekul (BM) suatu senyawa organik yang dianalisis. Secara umum prinsip
kerja spektrometri massa yaitu menembaki atau membombardir suatu
molekul senyawa dalam keadaan gas dengan elektron berenergi tinggi
14
membentuk suatu ion organik yang akan terpecah menjadi fragmen-fragmen
kecil, baik berbentuk radikal bebas maupun ion-ion lain. Ion-ion tersebut
dipercepat dan dipisahkan sesuai rasio massa-muatan dalam medan magnet
atau medan listrik kemudian dideteksi dengan alat yang dapat menghitung
jumlah ion yang menumbuknya (Pavia et al., 1979). Data yang diperoleh
berupa spektrum massa yang berisi informasi antara lain puncak ion molekul
dan fragmentasi yang terjadi. Puncak dari ion molekul menunjukkan berat
molekul senyawa yang dianalisis, sedangkan puncak–puncak fragmentasi
yang dihasilkan dapat menyusun kemungkinan reaksi fragmentasi yang
terjadi untuk merujuk molekul asal (Silverstein and Webster, 1998).
Spektroskopi NMR adalah suatu metode spektroskopi yang sangat
penting untuk mengidentifikasi struktur kimia dari suatu senyawa organik,
mengingat komponen penyusun utama senyawa organik berupa atom karbon
dan hidrogen. Spektrum NMR yang dihasilkan memberikan informasi
mengenai jumlah atom magnetis yang berbeda maupun memperoleh
informasi mengenai sifat lingkungan langsung dari masing-masing inti atom
dalam senyawa organik tersebut. Dalam spektroskopi NMR terdapat dua
spektra penting yaitu spektra 1H dan
13
C (Pavia et al., 1979). Spektrometer
NMR merupakan alat yang digunakan untuk menganalisis fisiologi cairan
yang mengandung campuran dari molekul-molekul organik yang bersifat
kompleks. Dengan jumlah sampel sedikit, pada NMR tetap dapat dilakukan
analisis secara langsung dan hasil yang diperoleh dapat dipercaya. NMR
15
memiliki kelemahan yaitu kemampuan sensitifitas deteksi yang terbatas
dibandingkan spektroskopi massa (Klein et al., 2010).
9. Hidrogenasi dengan katalis paladium karbon
Reaksi hidrogenasi adalah suatu reaksi yang terjadi antara hidrogen
dengan senyawa organik dimana reaksi terjadi perubahan molekul tidak jenuh
menjadi suatu produk yang jenuh disebabkan karena adanya penambahan
(adisi) hidrogen secara langsung pada ikatan rangkap suatu molekul. Menurut
Hudlicky (1996), proses hidrogenasi biasanya menggunakan gas hidrogen
dengan menambahkan suatu katalis tertentu untuk mempercepat kecepatan
laju reaksi agar reaksi tersebut dapat berjalan dengan lebih sempurna.
Katalis paladium karbon (Pd/C)
dinilai sangat sesuai dalam reaksi
hidrogenasi. Hal ini dibuktikan dari penelitian yang dilakukan oleh Ritmaleni
et al. (2013), dilaporkan bahwa dari beberapa katalis yang digunakan yaitu
Pd/C, FeCl3, AlCl3, dan ZnCl2 dalam mensintesis THPGV-0 melalui reaksi
hidrogenasi hanya Pd/C yang dapat membentuk THPGV-0. Sedangkan FeCl3,
AlCl3, dan ZnCl2 membentuk senyawa seperti produk samping dari
hidrogenasi yang dikatalisis oleh Pd/C.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Diaz et al. (2007), melaporkan
bahwa hidrogenasi katalitik fenol menggunakan Pd/AC merupakan metode
yang sesuai untuk degradasi fenol dalam fase berair karena selektif
menghasilkan sikloheksanol, senyawa kurang beracun daripada fenol dan
sikloheksanon. Selain itu, Belskaya et al. (2013) melaporkan bahwa pada
16
hidrogenasi benzaldehid katalis paladium menunjukkan aktivitas tinggi pada
kondisi reaksi sedang, dan selektivitasnya dalam pembentukan produk
alkohol didukung oleh adanya karbon.
10. Antioksidan
Antioksidan adalah substansi nutrisi maupun non-nutrisi yang
terkandung dalam bahan pangan, yang mampu mencegah atau memperlambat
terjadinya kerusakan oksidatif dalam tubuh (Winarsi, 2007).
Sedangkan
menurut Dundar dan Aslan (2000), antioksidan dapat didefinisikan sebagai
suatu senyawa yang dapat berperan menghambat proses pembentukan radikal
bebas dan terjadinya stress oksidatif. Pengukuran aktivitas antioksidan secara
in vitro dapat dilakukan dengan beberapa metode diantaranya yaitu metode
pemerangkapan radikal bebas DPPH (1,1-diphenyl-2-picrylhydrazyl), metode
reduksi FRAP (Ferric Reducing Antioxidant Power), metode bleaching βkaroten-asam linoleat (Lu et al., 2014), metode CUPRAC (cupric ion
reducing antioxidant activity) (Apak et al., 2004).
Penentuan aktivitas antioksidan metode DPPH berupa persen aktivitas
penangkalan radikal bebas yang diperoleh dari nilai absorbansi DPPH
menggunakan metode spektrofotometri (Lu et al., 2014). Pada metode
reduksi FRAP (ferric reducing antioxidant power), aktivitas antioksidan
ditentukan dari nilai absorbansi sampel dibandingkan dengan kurva standar
FeSO4
dan nilai FRAP dinyatakan sebagai Ekuivalensi Ferro (FE),
konsentrasi ekstrak atau bahan kimia yang memberikan absorbansi yang sama
dengan1mmol ion besi (Lu et al., 2014). Metode bleaching β-karoten-asam
17
linoleat, pengukuran aktivitas peroksidasi lipid juga dilakukan dengan metode
spektrofotometri dimana absorbansi yang diperoleh akan digunakan untuk
menghitung tingkat degradasi (Lu et al., 2014). Sedangkan pada metode
CUPRAC, penentuan aktivitas antioksidan didasarkan pada pembentukan
kelat oleh bis (neukuproin) besi (II) menggunakan kromogenik pada pH 7
yang dinyatakan dalam nilai absorbansi pada λ 450 nm (Apak et al., 2004).
Metode daya tangkap radikal DPPH merupakan metode analisis
aktivitas antioksidan yang pengukurannya berdasarkan pada kemampuan
menangkap radikal bebas. Metode analisis ini banyak digunakan karena
murah, sederhana dan cepat. Pada metode ini senyawa 2,2-difenil-1pikrilhidrazil (DPPH) berperan sebagai senyawa radikal bebas. Senyawa
radikal DPPH banyak digunakan untuk menguji kemampuan suatu senyawa
sebagai penangkap radikal bebas (free radical scavengers) atau sebagai donor
hidrogen dan untuk menguji aktivitas antioksidan senyawa aktif bahan obat
atau makanan karena merupakan senyawa radikal bebas dan stabil pada suhu
kamar. Senyawa radikal DPPH akan membentuk molekul diamagnetik stabil
setelah berinteraksi dengan antioksidan. Interaksi antioksidan dengan DPPH
baik melalui transfer elektron atau radikal hidrogen pada DPPH dapat
menetralkan sifat radikal bebas dari DPPH.
Senyawa radikal DPPH memiliki warna ungu dan λmaks 517 nm yang
memberikan serapan maksimum dari senyawa tersebut. Absorptivitas molar
radikal DPPH pada λ 517 nm menurun dari 9660 menjadi 1640 karena
elektron ganjil dari radikal DPPH mejadi berpasangan dengan suatu hidrogen
18
dari antioksidan penangkap radikal bebas membentuk DPPH-H, hal ini
ditunjukkan pula dengan adanya perubahan warna dari ungu menjadi kuning
(Prakash, 2001). Salah satu contoh penerapan metode DPPH dilakukan oleh
Rohman dan Riyanto (2005) untuk menguji daya antioksidan ekstrak etanol
daun kemuning. Pada ekstrak etanol terdapat 4'-hidroksi-3,5,6,7,3',5'heksametoksi flavon yang merupakan senyawa golongan flavonoid yang
bertindak sebagai senyawa antioksidannya. Reaksi yang terjadi yaitu sebagai
berikut :
OCH3
OH
N
N
O2N
H3CO
NO2
+
o
OCH3
H3CO
OCH3
OCH3O
4'-hidroksi-3,5,7,3',5'-heksa metoksi flavon
NO2
DPPH
Ungu
OCH3
O
N
NH
O2N
H3CO
NO2
+
NO2
o
H3CO
OCH3
OCH3
OCH3O
DPPH-H
Kuning
Gambar 7. Reaksi DPPH dengan 4'-hidroksi-3,5,6,7,3',5'-heksametoksi flavon
Selanjutnya metode daya reduksi ion ferri (FRAP), merupakan metode
penentuan aktivitas antioksidan yang pengukurannya berdasarkan daya
reduktif suatu senyawa potensial sebagai antioksidan. Antioksidan yang
memiliki kemampuan mendonorkan elektron akan dapat mereduksi suatu
19
senyawa radikal. Prinsip dasar dalam metode ini yaitu senyawa antioksidan
akan mereduksi ion Fe3+ menjadi ion Fe2+ kemudian ion Fe2+ akan bereaksi
dengan senyawa 1,10-fenantrolin membentuk kompleks berwarna merah
anggur yang selanjutnya dapat dibaca absorbansinya pada λ 510 nm. Proses
pembentukan kompleks warna antara ion Fe2+ dengan 1,10-fenantrolin
melalui jalur donor elektron bebas pada atom N 1,10-fenantrolin untuk
membentuk ikatan kovalen koordinasi dengan ion Fe2+. Semakin pekat
warnanya semakin besar nilai absorbansi senyawa tersebut. Hal ini
menandakan bahwa semakin besar pula daya reduktifnya dan potensi daya
antioksidannya (Utama, 2012).
Uji aktivitas antioksidan reduksi terhadap ion feri dengan metode orthofenantrolin kompleks telah diterapkan oleh Wuryantoko dan Supardjan
(1997) untuk mengetahui daya reduksi senyawa kurkumin dan turunannya.
Turunan kurkumin yang memiliki daya reduksi lebih tinggi dari kurkumin
yaitu 4-metil-kurkumin. Reaksi senyawa 4-metil-kurkumin dengan ion feri
ditunjukkan pada gambar 8.
O
O
H3CO
OCH3
Fe3+ +
HO
CH3
4-metil-kurkumin
O
Fe2+
OH
O
H3CO
OCH3
+
HO
CH3
OH
Gambar 8. Reaksi reduksi ion feri menjadi ion fero oleh 4-metil-kurkumin
20
F. Landasan Teori
Hidrogenasi menggunakan katalis paladium karbon (Pd/C) dalam pelarut
metanol telah berhasil diaplikasikan terhadap beberapa senyawa turunan
kurkumin seperti: THPGV-0 dari PGV-0 (Ritmaleni dan Simbara, 2010),
THPGV-1 dari PGV-1 (Andhini, 2012), THHGV-5 dari HGV- 5 (Wibowo, 2013),
THHGV-7 dari HGV-7 (Praditya, 2014), dan THC7 dari C7 (Abimantranahita,
2014). Penggunaan katalis paladium karbon dan pelarut methanol dapat
mempercepat jalannya reaksi hidrogenasi gugus α,β-karbonil tak jenuh (ikatan
rangkap) menjadi gugus α,β-karbonil jenuh (ikatan tunggal) yang dapat diamati
dari perubahan warna kuning menjadi tak berwarna. Dari hasil penelitian aktivitas
antioksidan THPGV-0 yang dilakukan Simbara (2009) dan THPGV-1 yang
Utama (2012) menunjukkan adanya peningkatan daya antioksidan. Berdasarkan
kemiripan struktur dari beberapa senyawa yang telah berhasil disintesis melalui
hidrogenasi, maka besar kemungkinan THGVT-5 dan THA10 dapat disintesis
dengan metode yang sama. Selain itu, keduanya diperkirakan mempunyai daya
antioksidan lebih baik dibandingkan starting materialnya yaitu GVT-5 dan A10
karena tidak memiliki ikatan rangkap konjugasi pada struktur α,β-karbonil
sehingga resonansi karbonil menjadi sangat kecil. Hal ini didukung oleh
penelitian Sugiyama et al. (1996), bahwa aktivitas antioksidan THC yang
memiliki struktur α,β-karbonil jenuh, lebih kuat dibandingkan kurkumin yang
memiliki struktur α,β-karbonil tidak jenuh.
21
G. Hipotesis
Berdasarkan penelitian yang terkait, dapat ditarik hipotesis bahwa senyawa
Tetrahidrogamavuton-5 dan THA10 dapat disintesis melalui reaksi hidrogenasi
dengan menggunakan katalis paladium karbon (Pd/C) dalam pelarut metanol.
Persamaan reaksi hidrogenasi kedua senyawa tersebut adalah sebagai berikut :
O
O
H3CO
OCH3
HO
OCH3
GVT-5
OH
H2, MeOH
Pd/C
OCH3
HO
OH
OCH3
OCH3
THGVT-5
OCH3
O
O
Cl
H3CO
Cl
H2, MeOH
Cl
Cl
Pd/C
A10
THA10
Gambar 9. Reaksi hidrogenasi GVT-5 dan A10 menjadi THGVT-5 dan THA10
Berdasarkan strukturnya THGVT-5 memiliki gugus fenolik dan gugus
metoksi pada cincin benzennya, sedangkan THA10 hanya memiliki gugus
halogen (Cl) pada cincin benzennya, namun kedua senyawa tersebut memiliki
struktur α,β-karbonil jenuh. Dengan demikian dimungkinkan kedua senyawa
tersebut memiliki aktivitas antioksidan lebih baik dari starting materialnya yaitu
GVT-5 dan A10.
Download