Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010 ISBN : 978-979-8940-29-3 Usaha Jagung pada Lahan Sawah Setelah Padi di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan Sunanto dan Yusmasari Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan Abstrak Jagung (Zea mays L) merupakan komoditas tanaman pangan yang sangat penting, kebutuhan terhadap komoditas ini semakin terus meningkat setiap tahun, namun produktivitas yang dicapai masih rendah. Oleh sebab itu perlu dilakukan pembinaan kepada petani jagung pada lahan sawah setelah padi melalui pengkajian. Pengkajian ini dilakukan pada bulan Januari – Nopember 2007, dengan membandingkan antara usahatani jagung di lahan sawah pada petani binaan (petani kooperator) seluas 10 ha dan non binaan (non kooperator) 100 ha. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa usahatani jagung pada lahan sawah setelah padi di Kabupaten Bantaeng sangat berpotensi, karena didukung sumberdaya alam dan sumberdaya manusia (petani). Hasil pengamatan terhadap pertumbuhan dan produksi jagung tidak berbeda nyata. Usahatani jagung pada lahan sawah setelah padi memberikan tingkat produksi berkisar antara 5.284 – 5.960 kg/ha dengan penerimaan Rp 7.133.535 – Rp 8.046.513 per ha, sehingga pendapatan yang diperoleh mencapai Rp 5.584.660 – Rp 5.733.413 per ha dengan R/C 2,80 – 3,48. Kata Kunci : Jagung, Lahan sawah, padi Penahuluan Sulawesi Selatan merupakan salah satu penghasil jagung, dengan Luas panen pada tahun 2007 mencapai 206.387 ha dengan produksi 696.082 ton. Dengan demikian produktivitasnya mencapai 3,37 ton/ha (BPS Prop. Sulsel., 2008). Produktivitas tersebut masih rendah, karena potensi produksi jagung mencapai 4,5 – 10 ton/ha, tergantung pada potensi lahan dan teknologi produksi yang diterapkan (Subandi, et al., 2006). Komoditas jagung belum dikonsumsi secara umum di masyarakat seperti halnya mengkonsumsi beras. Masyarakat hanya mengkonsumsi sebagai makanan sambilan saja, namun peluang untuk mengembangkan di Sulawesi Selatan sangat besar. Meskipun demikian upaya peningkatan produksi jagung tetap digalakkan oleh pemerintah sejak tahun 1996/1997 melalui penanaman jagung hibrida dan jagung bersari bebas atau komposit (Margareta SL, et al., 2003). Jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu tanaman pangan dunia yang terpenting, selain gandum dan padi, sebagai sumber karbohidrat utama. Penduduk pada beberapa daerah di Indonesia masih ada yang menggunakan jagung sebagai pangan pokok, selain sebagai sumber karbohidrat, jagung juga ditanam sebagai pakan ternak (hijauan maupun tongkolnya), dapat diambil minyaknya (dari biji), dan dibuat tepung (dari biji, dikenal dengan istilah tepung jagung atau maizena) dan bahan baku industri (dari tepung biji dan tepung tongkolnya) serta tongkol jagung kaya akan pentosa (Anonim, 2008). Kebutuhan jagung semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan ternak unggas. Selama lima tahun terakhir, kebutuhan jagung untuk bahan baku industry pakan, makanan dan minuman meningkat 10-15 % per tahun (Zubachtirodin, et al., 2007). Peningkatan kebutuhan tersebut perlu diimbangi dengan produksi yang memadai, sehingga impor jagung dapat ditekan. 638 Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010 ISBN : 978-979-8940-29-3 Produktivitas jagung hanya dapat ditingkatkan bila menggunakan pupuk sesuai kebutuhan tanaman dan penggunaan varietas misalnya unggul hibrida (Syafruddin, et al., 2007; Zubachtiroddin, et al., 2007). Sedangkan gairah meningkatkan produksi di tingkat petani hanya bisa dilakukan bila nilai tukar hasil usahataninya tergolong layak (Djamaluddin Sahari, 2004). Bila teknologi sudah tersedia dan gairah meningkatkan produktivitas sudah dimiliki petani maka ketersediaan modal, ketersedian sarana produksi dan pemasaran hasil yang harus dibangun atau difasilitasi (Sinar Tani, 2005). Ketersediaan modal dan sarana pendukung serta pemasaran hasil harus ditunjang oleh kelembagaan terutama kelembagaan ditingkat petani. Pengembangan kelembagaan pertanian melalui pembinaan kelompok tani dapat memacu peningkatan produksi dalam jangka panjang (Purwanto, 2007). Kelembagaan diarahkan untuk dapat diberdayakan dalam menuju kemandirian berusahatani, sehingga dalam penelitian ini akan menjawab hasil pembinaan kepada petani terhadap peningkatan, produksi, dan pendapatan petani di Kabupaten Bantaeng. dengan pertimbangan tertentu seperti kecamatan tersebut merupakan sentra produksi jagung. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka ditentukan Desa Bonto Manai Kecamatan Bissapu sebagai Lokasi Penelitian. Sedangkan sampel petani dilakukan dengan metode proporsional stratified random sampling, yaitu pemilihan sampel petani dilakukan secara acak menurut strata luas garapan (luas, sedang, sempit) secara proporsional, jumlah petani sampel yang diambil adalah 30 petani sebagai responden. Selain itu juga ada perlakuan petani kooperator dan petani non kooperator, petani kooperator seluas 10 ha dan petani non kooperator seluas 100 ha dalam satu hamparan. Rancangan pada perlakuan di lapang menggunakan rancangan acak kelompok dengan 2 perlakuan setiap perlakuan diulang 5 kali. Perlakuan dan ulangannya adalah petak lahan petani. Perlakuan pertama adalah petani yang mendapat pembinaan dan pemberian input dengan sistem digulirkan (petani kooperator) dan perlakuan kedua adalah petani non kooperator. Data dikumpulkan meliputi data sekunder, primer, dan data pertanaman mulai tanam sampai panen. Data primer diperoleh dari petani sampel dengan mengadakan berdasarkan daftar wawancara pertanyaan yang berupa kuisioner, sedang data skunder diperoleh dari intansi terkait. Pengamatan pada pertumbuhan tanaman dan produksi dilakukan pada petani koperator dan non koperator. Parameter yang diukur antara lain: Penerapan teknologi, Pembiayaan usahatani jagung (Rp), Penerimaan dan pendapatan (Rp), Tinggi tanaman 30 dan 60 HST (cm), Jumlah daun 30 dan 60 HST (cm), Produksi yang menyangkut : Kuantitas dan kualitas biji jagung (gr/tongkol,, gr/100 biji, baris/ tongkol, biji/tongkol, kg/ha). Bahan dan Metode Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari hingga Nopember 2007 di Kabupaten Bantaeng Provinsi Sulawesi Selatan yang dibiayai oleh Kementerian Negara Riset dan Teknologi melalui Program Insentif Percepatan Difusi dan Pemanfaatan Iptek pada Bidang fokus Ketahanan Pangan. Sampel kecamatan dan desa ditentukan secara purposive sampling, yaitu pemilihan lokasi kecamatan dan desa dilakukan secara sengaja 639 Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010 ISBN : 978-979-8940-29-3 Data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis kelayakan usahatani dengan menggunakan, antara lain; Penerimaan (TR = Q . Px), Pendapatan (π = TR – TC), Revenue cost ratio (R/C = TR/TC). Sedangkan analisis statistik yang akan digunakan adalah software Genstat Discovery Edition 3 dengan tingkat kepercayaan 95 %. jadi musim hujan, maka wilayah tersebut mendapat hujan pula. Sehingga musim hujan di wilayah ini mencapai 9-10 bulan atau musim kering hanya 2-3 bulan per tahun (Kanwil Deptan Provinsi Sulawesi Selatan, 1990). Curah hujan di wilayah Kabupaten Bantaeng mencapai 2.134 mm dan 18 hh (BPS Kabupaten Bantaeng, 2006). Kependudukan Hasil dan Pembahasan Struktur penduduk berdasarkan umur dimanfaatkan untuk menganalisis angka ketergantungan (Border Dependency Ratio = BDR) pada suatu wilayah. BDR ini dihitung berdasarkan pada perbandingan antara jumlah penduduk yang tidak produktif dengan jumlah penduduk yang produktif dan dinyatakan dalam persentase. Jumlah penduduk di wilayah Kabupaten Bantaeng mencapai 170.057 jiwa, yang terdiri dari jumlah pendudk produktif 105.109 jiwa dan yang tidak produktif sebasar 64.945 jiwa (Tabel 1). Berdasarkan Tabel 1 tersebut bahwa nisbah ketergantungan di wilayah tersebut adalah 61,79 %. Hal ini berarti setiap 100 jiwa usia produktif menanggung 62 jiwa usia tidak produktif, sedangkan ratio laki-laki terhadap perempuan adalah 94,46 %. Keadaan Umum Daerah Wilayah Kegiatan Kabupaten Bantaeng secara geografis terletak + 120 km arah selatan Makassar Ibu Kota Provinsi Sulawesi Selatan, dengan posisi 5º 21’ 13” – 5º 35’ 26” Lintang Selatan dan 119º 51’ 42” – 120º 05’ 27” Bujur Timur. Posisi tersebut berada pada ujung selatan pulau Sulawesi atau pesisir pantai selatan. Luas wilayah Kabupaten Bantaeng mencapai 395,83 km2 atau 39.583 ha. Pemerintah Kabupaten Bantaeng terbagi menjadi 6 wilayah kecamatan. wilayah Kabupaten Bantaeng mempunyai batas sebagai berikut; Sebelah Utara: Kabupaten Gowa dan Jeneponto, Sebelah Timur: Kabupaten Bulukumba, Sebelah Selatan: Laut Flores, Sebelah Barat: Kabupaten Jeneponto, (BPS Kab. Bantaeng, 2006). Iklim Pengembangan Komoditas Jagung Wilayah Kabupaten Bantaeng terletak di Kawasan Gunung Bawakaraeng dan Lompobatang (Kawasan Karaeng Lompo), mempunyai keunggulan khusus yaitu musim hujan yang panjang dibandingkan dengan wilayah lain di Sulawesi Selatan. Hal tersebut disebabkan wilayah ini berada pada pertemuan antara dua sektor yang mempunyai dua tipe iklim yang berbeda. Apabila di pesisir timur Sulawesi Selatan terjadi musim hujan, maka wilayah tersebut mendapat hujan, demikian pula pada pesisir barat Sulawesi Selatan ter- Pengembangan tanaman jagung di Kabupaten Bantaeng dilakukan pada lahan sawah setelah padi dan lahan kering, potensinya mencapai 39.583 ha yang terdiri dari 7.253 ha lahan sawah setelah padi dan 32.330 ha lahan kering (Diperta Kabupaten Bantaeng, 2006). Pemanfaatan lahan yang berpotensi tersebut baru mencapai 17.215,5. ha dengan dua kali tanam. 640 Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010 ISBN : 978-979-8940-29-3 Tabel 1. Keadaan penduduk berdasarkan umur di Kabupaten Bantaeng, 2007 Laki-Laki Perempuan Jumlah Struktur Umur (th) Jiwa % Jiwa % Jiwa % 0 – 14 26.896 15,82 26.716 15,71 53.612 31,53 15 – 59 50.861 29,91 54.248 31,90 105.109 60,81 60 < 4.845 2,85 6.488 3,81 11.333 7,66 Jumlah 82.605 48,58 87.452 51,42 170.057 100,00 Sumber : BPS Kabupaten Bantaeng, 2006 Luas panen, produksi, dan produktivitas jagung di Kabupaten Bantaeng masingmasing rata-rata mencapai 35.040 ha, 146.222 ton dan 4,22 ton/ha (Tabel 2). Produktivitas tersebut tergolong masih rendah, karena masih bisa ditingkatkan produktivitasnya mencapai 7 – 10 ton/ha (Margaretha, dkk., 2001). Dengan demikian sebagai upaya dalam peningkatan produktivitas melalui pengelolaan tanaman secara intensif. Luas Panen tanaman jagung dari tahun ke tahun mengalami fluktuasi dan ada kecenderungan penurunan luas panen berkisar 1,99% per tahun. Kondisi ini masih dimbangi oleh peningkatan produksi karena adanya perbaikan penerapan teknologi. Se- Tabel 2. Luas panen, produksi, dan produktivitas jagung di Kabupaten Bantaeng 1996 – 2005 Tahun Luas Panen (ha) Produksi (ton) Produktivitas (ton/ha) 2005 37.371 206.569 5,89 2004 27.245 127.210 4,67 2003 33.102 132.693 4,01 2002 36.697 144.393 3,93 2001 31.412 191.593 6,10 2000 37.794 116.704 3,09 1999 34.711 150.379 4,33 1998 39.878 148.634 3,73 1997 35.645 127.509 3,58 1996 36.544 102.841 2,81 1.462.216 42,15 146.222 4,22 Jumlah 350.399 Rataan 35.040 Sumber : BPS Prop. Sulsel, 1996 – 2006 641 Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010 ISBN : 978-979-8940-29-3 dangkan untuk wilayah Propinsi Sulawesi Selatan luas panen juga mengalami fluktuasi dan cenderungan penurunan mencapai 10 % per tahun. Penurunan luas panen tersebut perlu diantisipasi guna memenuhi kebutuhan jagung yang cenderung meningkat setiap tahun. Luas panen jagung seluruh wilayah Propinsi Sulawesi Selatan mencapai 248.723 ha/tahun dengan jumlah produksi 823.140 ton/tahun, dengan demikian produktivitas yang dicapai baru 3,51. ton/ha. Produktivitas tersebut masih lebih rendah bila dibandingkan tingkat produktivitas yang dicapai oleh wilayah Kabupaten Bantaeng, namun demikian tingkat produktivitas tersebut perlu ditingkatkan untuk bisa menyamai potensi produksi yang telah dicapai di tingkat nasional. Penerapan Teknologi Jagung Keberhasilan transfer teknologi dari sumber teknologi kepada pengguna bergantung pada kemampuan petani dalam menerapkannya. Kemampuan petani berdasarkan potensi yang dimilikinya, baik ditinjau dari segi pemilikan lahan, kemampuan modal dan ketersediaan tenaga kerja akan dapat mendukung penerapan teknologi produksi yang dianjurkan. Petani jagung pada lahan sawah setelah padi di Kabupaten Bantaeng menerapkan teknologi sebagaimana yang disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Penerapan teknologi jagung pada lahan sawah setelah padi di Kabupaten Bantaeng, 2007 Penerapan Teknologi Uraian Petani Kooperator Pengolahan lahan Varietas Jumlah benih (kg/ha) Cara tanam Jarak tanam (cm) Jumlah biji/lubang Pemupukan Pengendalian Gulma Pengendalian hama penyakit Petani Non Koperator TOT C7, Pioneer 21, 14,90 Tugal 25 X 70 1-2 208 kg Urea, 76 kg NPK 45 kg ZA TOT Bisi 2, Pioneer 21, C7 15 Tugal 25 X 75 1-2 337,5 kg/ha Urea, 80 kg/ha NPK Intensif dan penggunaan herbisida Intensif dan penngunaan Herbisida Intensif 102 – 110 HST Intensif 100 – 110 HST Keterangan : TOT ; Tanpa olah tanah, HST : Hari setelah tanam. Sumber : Analisis data primer, 2007 642 Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010 ISBN : 978-979-8940-29-3 Pengolahan lahan yang dilakukan petani adalah sistem tanpa olah tanah (TOT). Hal tersebut dilakukan karena lahan setelah panen padi langsung dibersihkan dan dibuat drainase, ini dimaksudkan untuk mempercepat waktu tanam agar disaat panen waktu panen jagung tidak jatuh pada saat banyak hujan dan waktu tanam di musim berikutnya tidak mundur. Varietas jagung yang ditanam petani sebagian besar adalah jagung hibrida. Petani binaan diberi pinjaman benih jagung hibrida C7 dan Pioneer 21 sebanyak 15 kg/ha, sedangkan petani non binaan memperoleh benih jagung hibrida dengan verietas Bisi 2, Pioneer 21 dan C7 yang dibeli dari toko/kios tani. Benih ditanam dengan cara tugal, setiap lubang diberi 1-2 biji dengan jarak tanam 25 X 70 cm. Petani yang menanaman jagung pada musim tanam Agustus – Desember 2007, tidak menggunakan SP36 dan KCl, karena pupuk tersebut sedang tidak ada di pasaran pada saat petani akan menggunakannya, sehingga penggunaan SP36 dan KCl disubtitusi dengan pupuk NPK (15:15:15) dan pupuk ZA diberikan pada lahan petani binaan. Pemeliharaan tanaman yang dilakukan selain pemupukan, juga dengan pengendalian gulma dan hama penyakit. Gulma dapat menghambat pertumbuhan dan produksi tanaman demikian juga gangguan hama penyakit mampu menurunkan produksi. Petani jagung telah melakukan pengendalian gulma secara intensif baik secara manual maupun menggunakan herbisida, sedangkan pengendalian hama penyakit petani sebagian besar menggunakan pestisida. Panen jagung dilakukan oleh petani setelah mencapai umur tanaman 102 – 110 hari setelah tanam (HST), yaitu pada umur tanaman sudah masak fisiologis. Analisis Kelayakan Jagung ditanam pada musim kemarau (MKII/III : Agustus – Desember 2007), yang keputusan pengelolaan usahatani jagung bergantung penuh pada kemauan dan kemampuan petani. Petani sebagai pengambil keputusan dalam alokasi biaya memperhatikan komoditas yang akan disahakan. Komoditas jagung ditanam pada sawah setelah padi, sehingga pengelolaannya berbeda dengan tanaman jagung pada lahan kering. Hasil analisis biaya, penerimaan, dan pendapatan usahatani jagung disajikan pada Tabel 4. Pada Tabel 4 terlihat bahwa komposisi biaya terbesar dalam usahatani jagung adalah pada alokasi tenaga kerja. Alokasi biaya untuk tenaga berkisar antara 41,19 % 43,32 %. Kedua adalah alokasi penggunaan benih jagung hibrida, biaya yang dikeluarkan untuk biaya pengadaan benih jagung hibrida mencapai 21,38 % - 23,93 %. Produksi yang diperoleh pada petani binaan berkisar antara 4,717 – 6,493 kg/ha, dengan harga Rp. 1.350/ kg. sehingga rataan penerimaan yang dicapai Rp 8.046.513/ha. Petani non binaan memperoleh produksi berkisar antara 4.161 – 6.069 kg/ha, dengan rataan penerimaan mencapai Rp 7.133.535/ha. Pertumbuhan Tinggi Tanaman dan Jumlah Daun Pertumbuhan tinggi tanaman merupakan parameter untuk mengukur suatu kesuburan tanaman, semakin cepat pertumbuhannya mengindikasikan bahwa tanaman tersebut subur dan sesuai dengan agroekosistem yang ada. Hasil analisis dengan meng643 Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010 ISBN : 978-979-8940-29-3 Tabel 4. Analisis usahatani jagung pada lahan sawah setelah padi di Kabupaten Bantaeng, 2007 No Uraian Petani Binaan 1 Sarana Input (Rp) Benih Pupuk Urea Pupuk NPK Pupuk ZA Herbisida Pestisida Penyusutan alsintan Non Binaan 552.500 260.000 159.600 54.000 105.000 40.500 140.000 545.000 421.875 168.000 192.500 31.500 140.000 Jumlah A (Rp) 1.311.100 1.498.875 Penggunaan tenaga (Rp) 1.002.000 1.050.000 Jumlah A+3 (Rp) 2.313.100 2.548.875 4 Penerimaan (Rp) 8.046.513 7.133.535 5 Pendapatan (Rp) 5.733.413 5.584.660 3,48 2,80 2 3 R/C ratio {4/(A+3)} Sumber : Analisis data primer, 2007 gunakan Genstat DE 3 menghasilkan bahwa pertumbuhan tinggi tanaman pada umur 30 HST berbeda nyata, sedang hasil analisis pertumbuhan tinggi tanaman pada umur 60 HST tidak berbeda nyata (Tabel 5). Pertumbuhan jumlah daun juga merupakan parameter untuk mengukur suatu kesuburan tanaman. Semakin cepat pertumbuhannya mengindikasikan bahwa tanaman tersebut subur dan sesuai dengan agroekosistem yang ada. Hasil analisis dengan menggunakan Genstat DE 3 dapat diketahui bahwa pertumbuhan jumlah daun pada umur 30 dan 60 HST tidak berbeda nyata, sedang hasil analisis pertumbuhan jumlah daun disajikan pada Tabel 6. Kesuburan lahan yang ada di lokasi pengkajian adalah cukup baik, karena petani koperator dan non koperator melakukannya secara intensif. Pemahaman mengenai teknologi produksi baik petani binaan dan non binaan melalui bimbingan teknis sangat direspon dengan baik. Petani mau dan mampu mengadakan sarana produksi yang dibutuhkan untuk meningkatkan produktivitas jagungnya. Produksi Produksi merupakan parameter untuk mengukur kemampuan suatu tanaman untuk memproduksi. Semakin tinggi produksi mengindikasikan bahwa tanaman tersebut subur dan sesuai dengan agroekosistem yang ada. Hasil analisis dengan menggunakan Genstat DE 3 menghasilkan bahwa komponen produksi baris biji/tingkol dan jumlah biji/ tongkol menunjukkan beda nyata, sedangkan komponen produksi lainnya tidak berbeda nyata. Adapun hasil analisis disajikan pada Tabel 7. 644 Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010 ISBN : 978-979-8940-29-3 Tabel 5. Pertumbuhan tinggi tanaman jagung pada umur 30 dan 60 HST di Kabupaten Bantaeng, 2007 No Perlakuan Pertumbuhan Tinggi Tanaman (cm) 30 HST 60 HST 1 Petani Koperator 36,82 a 158,94 a 2 Petani Non Koperator 26,52 b 148,12 a Ket. Angka-angka pada kolom dan kelompok perlakuan yang sama bila dikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyara menurut uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5% (Genstat DE 3). Tabel 6. Pertumbuhan tinggi tanaman jagung pada umur 30 dan 60 HST di Kabupaten Bantaeng, 2007 No Perlakuan Pertumbuhan Jumlah daun 30 HST 60 HST 1 Petani Kooperator 7,94 a 6,98 a 2 Petani Non Kooperator 13,12 a 11,74 a Ket. Angka-angka pada kolom dan kelompok perlakuan yang sama bila diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyara menurut uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5% (Genstat DE 3). Tabel 7. Komponen produksi jagung di Kabupaten Bantaeng, 2007 No Perlakuan Parameter Petani koperator Petani non koperator 1 Borat Basah belum kupas (gr) 256,76 a 247,40 a 2 Berat tongkol kupas basah (gr) 232,00 a 220,00 a 3 Berat tongkol kupas kering (gr) 190,70 a 194,30 a 4 Lingkar Tongkol (cm) 15,96 a 14,96 a 5 Panjang Tongkol (cm) 16,32 a 17,16 a 6 Baris Biji (Baris/tongkol) 15,16 a 13,16 b 7 Berat Pipil 100 biji (gr) 32,08 a 39,90 a 8 Jumlah Biji (biji/tongkol) 358,68 a 340,06 b 9 Berat Biji (gr/tongkol) 112,46 a 99,70 a 5.960 a 5.284 a 10 Produksi (kg/ha) Ket. Angka-angka pada baris dan kelompok perlakuan yang sama bila diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyara menurut uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5% (Genstat DE 3) 645 Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010 ISBN : 978-979-8940-29-3 Hasil produksi yang dicapai juga tidak berbeda nyata, hal tersebut juga dipengaruhi oleh tingkat penerapan teknologi produksi yang baik bagi petani koperator maupun non koperator. Petani sangat respon terhadap bimbingan secara berkala melalui penyuluhan yang intensif. Selain itu petani mau dan mampu menerapkan teknologi dengan menyediakan sarana produksi yang dibutuhkannya. didukung kemauan dan kemampuan petani. Daftar Pustaka Anonim. 2008. Jagung. http:/Wikipedia.org/ wiki/jagung. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bantaeng. 2006. Bantaeng Dalang Angka 2006. BPS Kab. Bantaeng. Badan Pusat Statistik Prop. Sulawesi Selatan. 2008. Sulawesi Selatan Dalam Angka 2007. BPS Prop. Sulsel. Kesimpulan Dinas Pertanian Kabupaten Bantaeng. 2006. Laporan tahunan 2006. Diperta Kab. Bantaeng. Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas menunjukkan bahwa usahatani jagung pada lahan sawah setelah padi di Kabupaten Bantaeng sangat berpotensi, karena didukung sumberdaya alam dan sumberdaya manusia (petani) yang sangat potensial. Pertumbuhan dan produksi jagung pada petani koperator dan non koperator tidak berbeda nyata, hal ini disebabkan bahwa petani jagung pada lahan sawah setelah padi memiliki responsibilitas terhadap penyuluhan/pembimbingan teknologi yang sangat tinggi. Usahatani jagung pada lahan sawah setelah padi memberikan tingkat produksi berkisar antara 5.284 – 5.960 kg/ha dengan penerimaan Rp. 7.133.535 – Rp. 8.046.513/ha. Sehingga pendapatan yang diperoleh mencapai Rp. 5.584.660 – Rp 5.733.413 per ha dengan R/C rasio 2,80 – 3,48. Pembinaan kepada petani perlu ditingkatkan karena petani memiliki tingkat responsibilitas terhadap perubahan teknologi yang cukup tinggi, selain itu juga Djamaluddin Sahari, Safaruddin, Nurdiah, Armiati dan Repelita. 2004. Analisis Nilai Tukar Sebagai Indikator Kesejahteraan Petani Kakao Di Noling Bupon Kabupaten Luwu Sulawesi Selatan. BPTP Sulawesi Selatan. Jurnal Sosek, Fapertahut. Universitas Hasanuddin Vol. 19 Tahun 2005. Margaretha SL., IGP Sarasutha, dan MY. Maamun. 2001. Potensi dan Prospek Pemanfaatan Lahan Untuk Tanaman Jagung di Sulawesi Selatan. Prosiding Seminar Regional Pengembangan Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi di Sulawesi Selatan. Puslitbang Sosek Pertanian, Badan Litbang Pertanian, Deptan. Hal. 26 – 32. Purwanto, S. 2007. Perkembangan Produksi dan Kebijakan dalam Peningkatan Produksi Jagung. Dalam Jagung Teknik Produksi dan Pengembangan. Badan Litbang Pertanian, Puslitbangtan, Hal 456461 Sinar Tani, 2005. Kemitraan Jagung Aman dan Lebih Untung. Dunia Masih Kekurangan Jagung 33 Juta ton. Sinar Tani. Edisi 2329 Maret 2005 nomor 3091 Tahun XXXV. 646 Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010 ISBN : 978-979-8940-29-3 Subandi, Zubachtiroddin, S. Saenong, dan U.I. Firmansyah. 2006. Ketersediaan Teknologi Produksi dan Program Penelitian Jagung. Dalam Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Jagung 29-30 September 2005, di Makassar. Puslitbangtan. Hal 11-40. Zubachtiroddin, M.S, Pabbage, dan Subandi. 2007. Wilayah Produksi dan Potensi Pengembangan Jagung. Dalam Jagung Teknik Produksi dan Pengembangan. Badan Litbang Pertanian, Puslitbangtan, Hal 462-473. Syafruddin, Faesal, dan M. Akil. 2007. Pengelolaan Hara pada Tanaman Jagung. Dalam Jagung Teknik Produksi dan Pengembangan. Badan Litbang Pertanian, Puslitbangtan, Hal 205 – 218. 647