Pengantar Allah menciptakan seluruh apa yang ada di alam ini

advertisement
Pengantar
Allah menciptakan seluruh apa yang ada di alam ini secara berpasangpasangan. Fitrah inilah yang menggerakkan para makhluk-Nya untuk senantiasa
merindukan pasangan hidupnya. Kerinduan ini akan terobati ketika mereka
menemukan pasangannya (Abdullah, 2004)
Untuk kelangsungan dan langgengnya kehidupan, Allah menciptakan laki-laki
dan perempuan dan menjadikan hubungan diantara keduanya dengan suatu cara
tertentu untuk merealisasikan tujuan tersebut. Ini adalah kehendak Allah agar
manusia tidak seperti makhluk-makhluk yang lain, yang naluri seksualnya
dibiarkan berjalan tanpa kontrol kesadaran. Tetapi Allah menetapkan suatu aturan
yang sesuai untuk menjaga kemulyaan dan kehormatan manusia. Kemudian Allah
menjadikan hubungan antara laki-laki dan perempuan sebagai hubungan yang
agung, yang dibangun atas dasar kerelaan antar keduanya. Islam telah
menyerukan, menganjurkan, dan memudahkan pernikahan serta telah menetapkan
hukum untuk mengaturnya. Tidak ada yang meragukan bahwa pernikahan adalah
bentuk terbaik untuk menyalurkan naluri antara laki-laki dan perempuan (Kamal,
2005).
Pernikahan dalam pengertian ilmu sosial adalah ikatan antara laki-laki dan
perempuan dengan perjanjian yang bersifat syar’i yang membolehkan keduanya
hidup bersama di bawah satu atap (Kamal, 2005)
Setelah manusia mendapatkan pasangan hidup maka ia akan merasa tenteram
dan bahagia. Karena seseorang akan merasa tenteram dan bahagia ketika
bersanding dengan orang yang dicintainya. Oleh karena itu, Allah menciptakan
seorang istri bagi seorang laki-laki sebagai sunnah-Nya (Abdullah, 2004)
Negara Indonesia juga mengatur pernikahan sebagai sebuah lembaga
masyarakat dalam pasal 1 Undang-undang RI No.1 Tahun 1974 yang
menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara pria dengan
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Bakri, 1978)
Pernikahan merupakan suatu persetujuan bisnis. Dua individu tidak perlu jatuh
cinta untuk membentuk ikatan seperti itu tetapi biasanya semuanya akan berjalan
lebih baik lagi bila kedua belah pihak saling sangat mencintai. Persetujuan ini
dapat berjalan dengan memuaskan sepanjang kedua belah pihak mendapatkan
cukup kepuasan dari bisnis tersebut (Hauck, 1995).
Setiap orang yang telah menikah selalu mengharapkan kehidupan yang
bahagia dalam rumah tangganya. Salah satu kebahagiaan yang dirasakan adalah
ketika ia mendapatkan kepuasan pernikahan.
Dari hasil penelitian tentang perkawinan, kualitas perkawinan yang baik
ditandai oleh komunikasi yang baik, keintiman dan kedekatan, seksualitas,
kejujuran dan kepercayaan yang kesemuanya itu menjadi sangat penting untuk
menjalin relasi pernikahan yang memuaskan.
Akan tetapi pada realitasnya banyak penderitaan, kekecewaan dan
keputusasaan yang terjadi dalam kehidupan berumah tangga (Dewi, 2003).
Masalah dapat memburuk jika penyelesaiannya tidak memuaskan, timbul rasa
kesal, marah, frustasi dan merasa tidak puas. Akibatnya, terjadi pertengkaran-
pertengkaran yang seringkali diwarnai dengan munculnya kekerasan dalam rumah
tangga dan bisa berakhir pada perceraian.
Di provinsi DIY, dahulu hanya Kabupaten Gunungkidul saja yang mempunyai
angka perceraian tinggi. Tetapi belakangan juga terjadi pada wilayah lain.
Termasuk wilayah kota Yogyakarta. Sebagaimana diungkapkan Kepala Kantor
Departemen Agama Kota, Nurudin SH, angka perceraian meningkat cukup tajam.
Jika pada 2003 hanya terjadi 80 kasus, maka pada 2004 menjadi 140 kasus. Secara
prosentase jelas sangat luar biasa peningkatannya. “Banyak pasangan yang
bercerai hanya karena beda pendapat, sikap egois dan saling menang sendiri” ujar
Kepala Pengadilan Agama Magetan, Miswan (Linggar, Minggu Pagi Online)
”Pernikahan adalah manajemen ketidakcocokan”, kata Sophan Sophian dalam
mempertahankan keharmonisan dan romantisme kehidupan pernikahannya
dengan Widyawati. ”Tugas kita adalah bagaimana membikin perbedaan itu
menjadi menyenangkan. Kalau dibiarkan perbedaan itu akan menjadi bola
salju yang terus membesar” (Kompas, 15 September 2004).
Untuk dapat mengerti jalannya pernikahan, Hauck berpendapat bahwa cinta
adalah mendapatkan apa yang sangat didambakan oleh seseorang dan pernikahan
merupakan persekutuan resmi untuk menjamin kelangsungan keuntungankeuntungan itu. Bila terjadi masalah dalam pernikahan, maka pasangan tersebut
harus kembali pada dua ide dasar ini untuk memahami apa yang terjadi dan
menemukan apa yang dapat dilakukan untuk memperbaiki keharmonisan. Hauck
juga menyimpulkan bahwa pernikahan yang terbaik adalah yang membahas
masalah secara jujur dan terbuka. Permasalahan dikomunikasikan dengan
menggunakan bahasa yang terus terang (asertif).
Apabila seseorang merasa puas terhadap pernikahan yang telah dijalani,
maka ia beranggapan bahwa harapan, keinginan, dan tujuan yang ingin dicapai
pada saat ia menikah telah terpenuhi, baik sebagian ataupun seluruhnya. Ia merasa
hidupnya lebih berarti dan lebih lengkap dibandingkan dengan sebelum menikah.
Mengacu pokok permasalahan problematik untuk semua pasangan pernikahan,
survei memfokuskan pada 21 501 pasangan tanpa memperhatikan apakah mereka
pasangan yang bahagia atau tidak. Sebagian besar pasangan (82%) menginginkan
pasangannya lebih sudi saling membagi perasaan. Lebih dari 70 % dari semua
pasangan kesulitan menanyakan kepada pasangannya “ Apa yang saya inginkan”,
merasa tidak dipahami oleh pasangannya, serta merasa seringkali bingung untuk
mendiskusikan berbagai pokok masalah. Sekitar dua tiga (67%) dari semua
pasangan merasa bahwa pasangan mereka merendahkan mereka. Maka ini
sesungguhnya merupakan pokok permasalahan umum yang dihadapi semua
pasangan yang telah menikah dan perbedaannya adalah bahwa pasangan yang
bahagia lebih mampu mengatasi masalah tersebut dibanding dengan pasangan
yang tidak bahagia.
Ada banyak hal yang mempengaruhi kepuasan pernikahan sebagai perspektif
subyektif, salah satu diantaranya adalah komunikasi. Komunikasi yang berhasil
bukan hanya sekedar kepandaian berbicara, melainkan komunikasi itu sendiri
yang bersifat efektif atau berkualitas. Yang menjadi permasalahan bukanlah
berapa kali komunikasi dilakukan, tetapi cara melakukan komunikasi tersebut.
Jika suami istri mampu mencapai tingkat kualitas komunikasi yang tinggi, mereka
dapat saling mengkomunikasikan berbagai masalah perbedaan, keinginan dan
harapan sehingga menimbulkan pengertian dan kepuasan bagi masing-masing
pihak (Rakhmat, 2002)
Sejak bangun tidur di pagi hari sampai berbaring kembali menjelang tengah
malam, 70% waktu bangun kita digunakan untuk berkomunikasi. Begitu sebuah
penelitian mengungkapkan. Ini berarti, kualitas hidup kita banyak ditentukan oleh
bagaimana kita berkomunikasi dengan sesama; antara suami dan istri, orangtua
dan anak, tetangga dengan tetangga lainnya, dan begitu seterusnya (Adzim, 2000).
Lebih lanjut Adzim menjelaskan bahwa banyak peristiwa komunikasi yang lebih
bertujuan untuk memenuhi kebutuhan psikis daripada informatif.
Faktor yang tepat untuk menjelaskan tingkatan kepuasan pernikahan yang
berbeda pada masing-masing pasangan termasuk pasangan suami-istri pada awal
pernikahan adalah pemahaman dan komunikasi.
Pemahaman dalam pernikahan merupakan hasil dari perspektif cara dialektika,
yang terlihat dari tingkat kedekatan, terbuka akan hal-hal baru, ataupun
menyangkal hubungan yang terjalin karena adanya pemaksaan. Dengan kata lain
secara keseluruhan dalam hubungan tersebut memerlukan otonomi dan koneksi,
menutup dan keterbukaan, hal-hal baru dan kemungkinan prediksi. (Feeney, 2001)
Komunikasi merupakan aspek utama dalam interaksi sebagai sarana untuk
megungkapkan ide-ide dan memiliki pengaruh yang besar terhadap bentuk dan
kualitas hubungan yang dijalin (Tubs, 2001)
Dari penjelasan diatas dapat diasumsikan bahwa komunikasi asertif dalam
keluarga dengan pola kejujuran dan keterbukaan terjadi komunikasi langsung,
spesifik, sebangun dan mendorong pertumbuhan yang memungkinkan adanya rasa
saling berhubungan dan responsif antar anggota keluarga. Hal ini akan
menciptakan sebuah keluarga tangguh yang memenuhi salah satu harapan dan
keinginan keluarga, sehingga dapat tercapai kepuasan dalam pernikahan yang
dijalani
Dari paparan tersebut, maka timbul pertanyaan “apakah ada hubungan antara
komunikasi asertif dengan kepuasan pernikahan”.
Metode Penelitian
Subyek dalam penelitian ini adalah dosen-dosen Universitas Islam Indonesia
sebanyak 70 orang dengan karakteristik telah menikah, berusia antara 17-40
tahun, dengan usia pernikahan diatas tujuh tahun dan telah memiliki anak.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pengungkapan
komunikasi asertif dan metode pengungkapan kepuasan pernikahan. Skala yang
digunakan dalam penelitian ini merupakan skala yang dibuat sendiri oleh peneliti,
terdiri dari dua skala yaitu skala komunikasi asertif dan skala kepuasan
pernikahan Skala komunikasi asertif dibuat berdasarkan teori dari Olson (2003)
dan Cole (2005) Skala ini tersusun atas 56 aitem yang terdiri dari aitem favorable
dan aitem unfavorable. Setelah melalui uji analisis faktor didapatkan aitem yang
valid sebanyak 37 aitem. Skala kepuasan pernikahan dibuat berdasarkan teori dari
Clayton (1975) dan Jane (1999). Skala ini tersusun atas 64 aitem yang terdiri dari
aitem favorable dan aitem unfavorable. Setelah melalui uji analisis faktor
didapatkan aitem yang valid sebanyak 36 aitem. Kedua skala tersebut harus
direspon oleh subjek dengan empat alternatif jawaban yang menunjukkan
frekuensi kejadian, yaitu SS (Sangat Sesuai), S (Sesuai), KS (Kurang Sesuai), TS
(Tidak Sesuai).
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah product
moment dari Pearson. Sebelum dilakukan analisis product moment dari Pearson
terlebih dahulu dilakukan uji asumsi yang mencakup uji normalitas dan uji
linearitas. Proses analisis data ini dipercepat dan dipermudah dengan adanya
perangkat lunak SPSS for Windows versi 12.0.
Hasil Penelitian
Uji normalitas dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik
one sample Kolmogorov- Smirnov (KS-1 sample). Hasil uji normalitas pada
skala kepuasan pernikahan memperoleh nilai Z sebesar 0,674 dan nilai p =
0,754 (p>0,05). Sementara, hasil uji normalitas pada skala komunikasi asertif
didapatkan niali Z sebesar 0,918 dan nilai p = 0,368 (p>0,05). Berdasarkan
hasil analisis ini, maka dapat dikatakan bahwa kedua variable penelitian
memiliki sebaran yang normal.
Berdasarkan uji linier yang dilakukan, diperoleh nilai F sebesar 64,144
dengan p = 0.000 (p<0,05). Hasil ini dapat menunjukkan bahwa hubungan
antara kedua variabel penelitian adalah linier.
Mengacu pada normalitas dan linieritas data penelitian tersebut, maka
hasil uji hipotesis yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah uji korelasi
r product moment dari Pearson.
Berdasarkan pengujian analisis data dengan metode product moment dari
Pearson dapat disimpulkan bahwa terdapat korelasi positif yang signifikan pada
level 0,05 antara komunikasi asertif dengan kepuasan pernikahan dengan (rxy) =
0,675 dengan p = 0,000. Sehingga hipotesis penelitian ini diterima yaitu ada
hubungan antara komunikasi asertif dengan kepuasan pernikahan, dimana
hipotesis yang diterima adalah ada hubungan yang signifikan antara komunikasi
asertif dengan kepuasan pernikahan
Pembahasan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada hubungan
antara komunikasi asertif dengan kepuasan pernikahan. Berdasarkan hasil analisis
data yang didapatkan peneliti dari lapangan, dapat disimpulkan bahwa ada
hubungan positif antara komunikasi asertif dengan kepuasan pernikahan.
Tingginya kepuasan pernikahan dosen Universitas Islam Indonesia diiringi
dengan tingginya komunikasi asertif. Hal ini sesuai dengan pendapat dari
Rakhmat (2002) bahwa jika suami istri mampu mencapai tingkat kualitas
komunikasi yang tinggi, mereka dapat saling mengkomunikasikan berbagai
masalah perbedaan, keinginan dan harapan sehingga menimbulkan pengertian dan
kepuasan bagi masing-masing pihak. Komunikasi yang berhasil bukan hanya
sekedar kepandaian berbicara, melainkan komunikasi itu sendiri yang bersifat
efektif atau berkualitas. Yang menjadi permasalahan bukanlah berapa kali
komunikasi dilakukan, tetapi cara melakukan komunikasi tersebut.
Menurut Hurlock (1994) kebahagiaan berarti kepuasan hidup yang timbul
dari pemenuhan kebutuhan atau harapan dan merupakan alat atau sarana untuk
menikmati kehidupan. Seiring dengan pendapat tersebut, Tubs (2001) mangatakan
bahwa komunikasi merupakan aspek utama dalam interaksi sebagai sarana untuk
megungkapkan ide-ide dan memiliki pengaruh yang besar terhadap bentuk dan
kualitas hubungan yang dijalin (kepuasan pernikahan).
Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, Sophan Sophian juga mengatakan
bahwa “pernikahan adalah manajemen ketidakcocokan, tugas kita adalah
bagaimana membikin perbedaan itu menjadi menyenangkan, kalau dibiarkan
perbedaan itu akan menjadi bola salju yang terus membesar”.
Komunikasi asertif menjadi komunikasi yang paling akurat, ekspresif, nyata
dan produktif Karena komunikasi asertif memberi hak seseorang untuk menjadi
diri sendiri tanpa mengesampingkan hak partner, sehingga lebih menekankan
pengekspresian daripada pembelaan diriyang dapat menambah keakraban antar
individu (pasangan suami istri). Keakraban merupakan kesempatan terbaik untuk
bertumbuh (mencapai kepuasan pernikahan) jika keduanya bertindak asertif,
karena kombinasi dari cara-cara respon mereka menciptakan situasi yang sama
baiknya (Olson, 2003).
Selain kesesuaian antara hasil penelitian kali ini dengan teori-teori tersebut,
peneliti juga melihat bahwa hasil korelasi yang tinggi, merupakan sebuah temuan
yang mengejutkan. Menurut peneliti, tingginya korelasi ini muncul karena
kesamaan konteks pengukuran pada dua variabel. Pengukuran atau penilaian
kepuasan pernikah dilakukan kepada dosen sebagai subyek penelitian dengan
menggunakan aitem-aitem yang dikembangkan berdasarkan teori kepuasan
pernikahan, dan dengan penilaian bahwa dosen adalah pengajar dan pendidik yang
tugas utama ini senantiasa menggunakan komunikasi yang positif. Sehingga
komunikasi asertif mampu terinternalisasi pada diri dosen.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data yang didapatkan dilapangan, maka penulis
mengambil kesimpulan bahwa ada hubungan yang signifikan antara komunikasi
asertif dengan kepuasan pernikahan. Semakin tinggi komunikasi asertif yang
diterapkan oleh pasangan suami istri, maka semakin tinggi kepuasan pernikahan
yang dicapai.
Penelitian ini memperlihatkan bahwa komunikasi asertif yang dilakukan oleh
pasangan suami istri dengan jujur dan terbuka memberikan pengaruh yang positif
bagi hubungan pernikahan yang dijalin sehingga tercapai kepuasan pernikahan.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dijelaskan di atas, maka peneliti dapat
mengajukan beberapa saran sebagai berikut ini :
Pertama, kepada subyek penelitian. Untuk subyek yang memiliki tingkat
komunikasi asertif yang rendah diharapkan untuk dapat meningkatkan komunikasi
asertif sehingga komunikasi yang dilakukan dapat lebih efektif sehingga mencapai
kepuasan dalam menjalin hubungan.
Kedua, kepada peneliti selanjutnya. Untuk penelitian selanjutnya disarankan
untuk terus menerus melakukan perbaikan terhadap alat ukur yang digunakan,
sehingga tingkat validitas dan reliabilitasnya bisa menjadi lebih baik.
Kepada peneliti selanjutnya sebaiknya menggunakan beberapa metode
penelitian untuk mendapatkan hasil penelitian yang lebih baik lagi, misalnya
menggunakan observasi dan wawancara.
Waktu dalam pengambilan data agar lebih dipilih pada situasi yang kondusif
sehingga keadaan subyek yang didapatkan bisa sesuai dengan kebutuhan
penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, U. 2004. Bila Hati Rindu Menikah. Yogyakarta: Pro-U Media.
Adzim, M. F. 2000. Disebabkan oleh Cinta : Kupercayakan Rumahku Padamu.
Yogyakarta : Mitra Pustaka.
Azwar, S. 2005. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Bakri, H. 1978. Kumpulan Lengkap Undang-undang dan Peraturan Perkawinan
di Indonesia. Jakarta ; Djembatan
Baron, R. A. and Byrne, D. 2005. Psikologi Sosial. Jilid 2. Edisi Kesepuluh.
Jakarta : Erlangga
Baron, R. A. and Byrne, D. 1994. Social Psychology. Seventh Edition.
Massachusetts : A Division of Simon & Schuster, Inc.
Bringham, J. C. 1991. Social Psychology. New York : Harper. Collins Publisher,
Inc.
Cole, K. 2005. Komunikasi Sebening Kristal. Jakarta : Mizan Pustaka.
Dewi, C.P. 2003. Hubungan Kualitas Komunikasi Dan Toleransi Stres Dalam
Perkawinan. Suksma Vol. 2 No. 1. Hal. 52-60
Effendy, O. U. 2005. Ilmu Komunikasi. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Jane.
1999. Improving Your Marital Satisfaction.
jane.com/chapters/satisfaction.htm.4/10/03
http://www.dr-
Feeney, J. A., Noller, P., and Peterson, Candida. 2001. Personal Relationships
Across the Lifespan. New York : Psychology Press
Hauck, P, 1995. Membina Perkawinan Bahagia. Jakarta : Arcan.
Issavati, S. 2005. Kebijakan Publik Belum Memihak Perempuan. Harian Kompas.
Kamal, Thariq An Nu’aimi. 2005. Psikologi Suami Istri. Yogyakarta: Mitra
Pustaka.
Linggar. 2005. Kawin Mudah, Cerai Tak Susah. Minggu Pagi Online
Olson, H. O., DeFrain, J. 2003. Marriages and Families. New York : Mc Graw
Hill.
Pujiastuti, E., Retnowati, S. 2004. Kepuasan Dengan Depresi Pada Kelompok
Wanita Menikah Yang Bekerja Dan Tidak Bekerja. Humanitas : Indonesian
Psychological Journal Vol. 1 No. 2
Rahmat, J. 2002. Psikologi Komunikasi. Bandung : Remaja Rosdakarya
Tubs, S. L., Moss, S. 2001. Human Communication : Prinsip-prinsip Dasar.
Buku Pertama. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya
IDENTITAS PENULIS
Nama
: Atika Trisnawati
Alamat
: Jalan Kaliurang Km 14,5 Kimpulan (55584)
No Telpon : 7481764 / 085228700987
NASKAH PUBLIKASI
HUBUNGAN ANTARA KOMUNIKASI ASERTIF
DENGAN KEPUASAN PERNIKAHAN
Oleh :
Atika Trisnawati
Irwan Nuryana Kurniawan
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2006
NASKAH PUBLIKASI
HUBUNGAN ANTARA KOMUNIKASI ASERTIF
DENGAN KEPUASAN PERNIKAHAN
Telah Disetujui Pada Tanggal
-------------------------
Dosen Pembimbing Utama
(Irwan Nuryana Kurniawan, S. Psi, M.Si)
HUBUNGAN ANTARA KOMUNIKASI ASERTIF
DENGAN KEPUASAN PERNIKAHAN
Atika Trisnawati
Irwan Nuryana Kurniawan
INTISARI
Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah ada hubungan positif antara
komunikasi asertif dengan kepuasan pernikahan. Hipotesis yang diajukan dalam
penelitian adalah ada hubungan positif antara komunikasi asertif dengan kepuasan
pernikahan. Hipotesis ini mengandung arti semakin baik komunikasi asertif yang
diterapkan oleh pasangan suami istri dalam kehidupan pernikahan yang dijalani
maka akan semakin tinggi pula kesempatan untuk mencapai kepuasan pernikahan,
begitu pula sebaliknya semakin buruk komunikasi asertif yang diterapkan oleh
pasangan suami istri dalam kehidupan pernikahan yang dijalani maka akan
semakin rendah pula kesempatan untuk mencapai kepuasan pernikahan
Subjek dalam penelitian ini adalah dosen-dosen Universitas Islam Indonesia
yang telah menikah, berusia antara 17-40 tahun, dengan usia pernikahan diatas
tujuh tahun dan telah memiliki anak. Jumlah subjek sebanyak sebanyak 70 orang.
Adapun skala yang digunakan adalah skala komunikasi asertif berdasarkan aspek
yang dikemukakan oleh Olson (2003) dan Cole (2005) dan skala kepuasan
pernikahan berdasarkan aspek yang dikemukakan oleh Clayton (1975) dan Jane
(1999).
Metode analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan
fasilitas program SPSS versi 12,0 untuk menguji apakah terdapat hubungan antara
komunikasi asertif dengan kepuasan pernikahan. Korelasi product moment dari
Pearson menunjukkan korelasisebesar r = 0,675 yang artinya ada hubungan yang
signifikan antara komunikasi asertif dengan kepuasan pernikahan. Jadi hipotesis
penelitian diterima.
Kata Kunci : Komunikasi Asertif, Kepuasan Pernikahan
Download