Anjungan Lepas Pantai Laut-dalam di Indonesia

advertisement
Jika kita terbang melintasi perairan laut Utara Jawa atau perairan sekitar Balikpapan, maka kita
dapat menyaksikan beberapa bangunan yang berdiri di tengah lautan. Dan jika kita coba amati
lebih cermat, maka samar-samar akan nampak oleh kita bentuk derek-derek ataupun bangunan
akomodasi di bagian atasnya. Bangunan-bangunan seperti itulah yang disebut sebagai
anjungan/bangunan lepas pantai (offshore platform/structure) yang digunakan untuk aktivitas
eksploitasi minyak atau gas bumi di daerah lepas pantai (offshore region), baik untuk pengeboran
(drilling platform) maupun aktivitas produksi (production platform). Kata offshore yang berarti
lepas pantai (jauh dari pantai) digunakan sebagai lawan kata dari onshore yang berarti daerah
pantai. Di dalam kelompoknya, jenis bangunan ini cuma salah satu dari wahana laut secara
umum, seperti misalnya kapal sebagai alat transportasi di lautan dan beberapa modifikasi dari
jenis kapal dengan peruntukan lain --misalnya kapal pembor (drilling ship).
Lalu mengapa harus di tengah lautan, tidak di darat saja? Ya, karena jelas bahwa reservoir
minyak atau gas bumi tidak hanya diciptakan Allah SWT di daratan saja, tapi juga dilautan,
bahkan tidak sedikit yang berada di dasar lautan yang sangat dalam. Lagi pula semakin hari
cadangan minyak yang berada di daratan makin berkurang kapasitasnya sehingga memaksa
manusia untuk mencari cadangan yang baru walaupun harus di tengah lautan.
Tulisan ini akan mencoba mengenalkan sedikit lebih jauh tentang salah satu jenis struktur lepas
pantai yang performansinya sangat baik untuk dioperasikan di perairan/laut dalam (deep water).
Juga akan disampaikan sekilas tentang perkembangannya di Indonesia yang saat ini sudah
mulai memasuki era teknologi laut-dalam bagi industri lepas-pantainya.
Anjungan Lepas-pantai untuk Perairan Dangkal (Shallow water platform)
Dalam bidang teknik lepas pantai (offshore engineering) dikenal bermacam-macam jenis struktur
anjungan lepas pantai. Secara garis besar bisa dikelompokkan sebagai berikut : (i) Jenis struktur
lepas-pantai terpancang (fixed offshore structure) atau biasa disebut juga pile-supported platform,
atau ada juga yang menyebutnya jacket steel platform (ii) Jenis concrete gravity platform, (iii)
Jenis guyed tower platform dan (iv) Jenis compliant platform. Pembagian ini didasarkan pada
bentuk, jenis material strukturnya maupun bagaimana perilaku responnya terhadap beban-beban
lingkungan yang bekerja pada struktur tersebut.
Anjungan yang kita lihat banyak bertebaran di sekitar perairan Jawa Barat dan Kalimantan Timur
misalnya, yang beberapa diantaranya berlokasi tidak terlalu jauh dari bibir pantai, kebanyakan
adalah dari jenis jacket steel platform. Hal ini dikarenakan memang jenis anjungan ini sangat
cocok diaplikasikan untuk 100 m). Jenis anjungan ini pada umumnya berbentuk±perairan dangkal
(kedalaman seperti pada Gambar 1. Tapi jenis anjungan ini jika dipakai pada perairan dalam
(kedalaman lebih dari 500 m) menjadi kurang efektif baik dari sisi teknis maupun ekonomis.
Gambar 1. Contoh struktur jenis jacket steel platform: (a) gambar sket dan (b) bentuk
sesungguhnya.
Ketidakefektifan tersebut pada prinsipnya karena adanya kendala kelakuan dinamis dari struktur
dan juga dari pertimbangan efektivitas biaya pembangunannya. Struktur jacket untuk perairan
dangkal (shallow water yangβ) memiliki nilai rasio kecil dan faktor pembesaran dinamisnya
(Dynamic Amplification Factor) mendekati satu, sehingga hal ini secara prinsip adalah rasio
antara periode naturalβmenunjukkan kelakuan statis, dimana rasio struktur dan periode natural
gaya gelombang eksitasinya. Gambar 2 adalah kurva dengan faktor pembesaran dinamis
suatuβyang menunjukkan hubungan antara rasio sistim struktur satu derajat kebebasan, yang
akan menjadi salah satu kriteria untuk memprediksi perilaku dinamisnya. Jika struktur jacket
digunakan pada perairan yang makin dalam, maka struktur menjadi makin fleksibel (lentur)
sehingga periode natural gerakannya makin mendekati periode gelombang eksitasinya. Hal ini
menjadikan struktur kurang baik dari segi perilaku dinamisnya, karena rentan terhadap resonansi.
Untuk perairan dalam, dengan makin membesarnya gelombang ekstrim maupun gelombang
harian, yang selanjutnya menyebabkan faktor kelelahan terhadap struktur makin dominan, maka
pemakaian jenis struktur jacket terpancang menjadi makin tidak efisien. Tetapi di lain pihak, jika
kekakuan strukturnya ditambah yaitu dengan cara memperbesar bagian dasar struktur yang
terpancang pada dasar laut, maka sebagai konsekuensinya biaya pembangunannya akan
meningkat drastis sehingga menjadi kendala dari segi efektivitas biayanya (Litton, 1989).
Sementara itu, dari segi ekonomi sudah dibuktikan bahwa pemakaian jenis struktur jacket untuk
perairan dalam sangatlah tidak menguntungkan. Kurva dalam gambar 3(a) memperlihatkan
perbandingan biaya-relatif untuk tiga jenis anjungan yaitu, struktur terpancang (pile-supported
platforms), struktur menara bertali tambat (guyed tower) dan jenis Tension leg platform (TLP)
untuk perairan-sedang seperti perairan Teluk Meksiko. Kurva untuk jenis struktur terpancang
memperlihatkan kenaikan biaya paling drastis dengan bertambahnya kedalaman perairan
operasi. Kecenderungan yang serupa juga terlihat untuk jenis anjungan menara bertali-tambat.
Gambar 2. Kurva pembesaran dinamis (Dynamic Amplification)
Untuk perairan yang lebih dalam dan dengan kondisi yang lebih ganas, seperti perairan Laut
Utara, maka hubungan efektifitas biaya-relatif untuk berbagai jenis bangunan lepas pantai
terhadap kedalaman perairan operasionalnya juga menunjukkan hal yang tidak jauh berbeda,
sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 3(b). Tetap saja, jenis struktur terpancang
memperlihatkan performansi biaya yang sangat tidak menarik dengan makin bertambahnya
kedalaman perairan operasi (McClelland dan Reifel, 1986).
Gambar 3. Kurva perbandingan efektivitas biaya beberapa jenis platform sebagai fungsi
kedalaman: (a). untuk perairan-sedang (daerah Gulf of Mexico). (b). untuk perairan-dalam
(daerah North Sea).
Dengan demikian semakin jelas terlihat bahwa untuk aplikasi di laut-dalam, sangat tidak layak
digunakan jenis anjungan terpancang maupun jenis guyed tower. Sehingga mau tidak mau harus
dicari jenis struktur lain yang layak, baik dari segi teknis maupun ekonomis, untuk penggunaan di
laut-dalam. Dari paparan di atas terlihat juga, salah satu struktur alternatif yang menarik adalah
jenis TLP.
Apa itu Tension Leg Platform? Jenis struktur terpancang seperti jacket steel structure dan
gravity base structure hanya mampu digunakan dalam batas kedalaman sedang, yaitu hingga
sekitar 400 m. Demikian juga dengan beberapa struktur turunannya, yaitu yang berada dalam
kategori bottom-supported compliant structures seperti jenis Articulated dan Guyed Towers,
hanya bisa diaplikasikan pada perairan dengan kedalaman beberapa ratus meter lebih dalam.
Jika perairannya semakin dalam (lebih dari 1000 m), maka hanya jenis sistem terapung seperti
FPSO, FPF, TLP dan SPAR/DDCV, atau sistem bawah laut sajalah yang secara teknis maupun
ekonomis layak untuk dioperasikan.
Selain teknologi struktur terapung itu sendiri, beberapa teknologi lainnya yang terkait dengan
sistim terapung tersebut antara lain adalah catenary mooring, taut mooring dan tension leg
mooring, flexible risers serta control umbilicals. Teknologi seperti itulah yang akan sangat
mempengaruhi efektifitas biaya dalam pengembangan ladang di laut-dalam, dan juga nantinya
akan sangat memegang peranan dalam pengembangan ladang minyak dan gas di area perairan
sangat-dalam (ultra deepwater fields) yaitu yang mencapai lebih dari 2000 m. (Hirayama dkk,
2002).
Sebagaimana dijelaskan di atas, Tension Leg Platform (TLP) adalah salah satu jenis struktur
lepas pantai yang dapat dikelompokkan ke dalam golongan compliant structures yang mana jenis
ini sangat cocok dipakai di perairan dalam. Karakteristik utama TLP yang berbeda dengan jenis
struktur terpancang (fixed jacket type) adalah sifat respon TLP yang sangat lentur terhadap gayagaya luarnya. Dengan kata lain, responnya cenderung bersifat "ikut bergerak" bersama
gelombang dari pada harus "menahan gelombang" secara kaku. Dengan demikian, keadaannya
akan menjadi lebih baik jika harus berada di perairan dalam yang mana kondisi lingkungan yang
lebih berat.
Gambar 4. Sket dari bagian-bagian penyusun sebuah anjungan Tension Leg Platfom. (API
RP 2T, 1997).
Secara struktural, struktur utama TLP tersusun dari komponen-komponen platform, tendon
(tether) dan template seperti ditunjukkan pada Gambar 4. Platform merupakan struktur
pengapung yang di atasnya terdapat geladak (deck) tempat dimana fasilitas produksi dan tempat
tinggal pekerja berada. Platform tersusun dari ponton dan kolom yang bisa memberikan daya
apung yang cukup untuk menjaga agar deck selalu berada di atas permukaan air bagaimanapun
kondisi lautnya. Kolom ini diikat ke dasar laut dengan tendon dan dipancangkan dengan
template. Daya apung platform inilah yang memberikan gaya-tarik (tension) pada tendon, yang
selanjutnya berfungsi sebagai gaya pengembali (restoring force) bagi struktur TLP terhadap
beban-beban luar.
Dalam masa operasinya, draft dari platform relatif tinggi (sekitar dua kali) dari hull apungnya.
Sistem penambatannya yang kaku menyebabkan gerakan platform pada saat terkena gelombang
menjadi terbatas dalam arah heave, pitch dan roll. Kekakuan tendon yang tinggi juga
menyebabkan periode natural dalam arah gerakan tersebut sangat kecil. Geometri dari hull dan
penempatan tendon biasanya dibuat simetris agar periode roll dan pitch-nya sama. Biasanya
periode natural TLP dalam arah heave dan pitch untuk aplikasi perairan dalam (lebih dari 1000 ft)
adalah antara 1 sampai 5 detik. Sebaliknya, struktur TLP cukup lentur dalam arah surge karena
gaya pengembali pada tendon dalam arah ini umumnya kecil. Periode natural TLP dalam arah
surge (atau sway) adalah cukup besar yaitu dalam orde 100 detik atau lebih.
Gambar 5. Skema gaya-gaya yang bekerja pada TLP
Secara umum, gaya lingkungan yang bekerja pada struktur lepas pantai, termasuk TLP, adalah
berupa gaya gelombang, arus, angin dan gaya akibat pasang surut air laut sebagaimana
ditunjukkan dalam Gambar 5. Beban-beban lingkungan tersebut selengkapnya terdiri dari (i)
Gaya Gelombang (Wave Forces), meliputi : Wave frequency forces, Low frequency forces (First
and second-order drift force dan Wave drag force), Hight frequency forces (Second order
potential flow force, Vortex shedding force dan Drag force); (ii) Gaya Arus (Current Forces) yang
mencakup : Current drag force dan Coexisting wave and current drag force; (iii) Gaya Angin
(Wind Forces), meliputi : Fluctuating wind force dan Steady wind force (Faltinsen dan Demirbilek,
1989). Disamping itu dalam kondisi tertentu bisa terjadi beban gempa bumi (earthquake force).
Dalam kondisi yang sesungguhnya, semua gaya-gaya di atas cenderung terjadi secara simultan,
sehingga untuk suatu analisis dan perancangan yang komprehensif, maka sebaiknya semua
gaya-gaya yang mungkin terjadi di atas harus dipertimbangkan. Namun biasanya, untuk tujuantujuan analisis tertentu, hanya gaya-gaya tertentu saja yang dianggap paling dominan yang
dipertimbangkan.
Angin, gelombang dan arus menyebabkan TLP cenderung berosilasi terhadap suatu posisi
offset-nya dari pada terhadap posisi vertikalnya. Offset dalam arah surge terkait dengan "set
down" yaitu turunnya TLP dalam arah heave yang berakibat bertambahnya daya apung sehingga
gaya-tarik pada tendon menjadi lebih besar dari pada dalam posisi vertikalnya. Sementara itu
efek orde yang lebih tinggi akibat sifat non-linier alami dari gelombang dan strukturnya akan
mempengaruhi respon dinamisnya (Bar-Avi, 1999).
Era Teknologi Laut-dalam Indonesia
Dalam skala dunia, pengembangan ladang minyak dan gas lepas pantai di perairan-dalam
sebetulnya sudah dimulai sejak tahun 1990-an. Data dalam Gambar 6 memperlihatkan
pengembangan ladang produksi di perairan dengan kedalaman lebih dari 300 m. Dalam grafik
tersebut terlihat dengan jelas laju pertambahannya yang sangat pesat. Sementara sebaran
instalasi TLP diseluruh dunia dapat dilihat dalam Gambar 7.
Gambar 6. Pertumbuhan ladang minyak dan gas bumi di perairan-dalam
Gambar 7. Sebaran instalasi TLP di seluruh dunia, termasuk Indonesia (Majalah Offshore
Engineering)
Dalam konteks Indonesia, barangkali tren "Teknologi Laut-dalam" ini makin keras gaungnya
segera setelah diinstalnya anjungan TLP-A pada tahun 2003 oleh sebuah perusahaan minyak
asing yang beroperasi di Indonesia, di ladang West Seno di perairan Selat Makasar pada
kedalaman laut sekitar 1000 m. Anjungan ini menjadi anjungan TLP pertama yang diinstall dan
dioperasikan di Indonesia. Momentum ini menjadi sangat monumental bagi bangsa Indonesia,
yaitu dapat dijadikan sebagai pintu gerbang mulai masuknya komunitas lepas-pantai Indonesia
ke dalam era baru, "Era Teknologi Laut-dalam". Hal ini akan semakin terasa dengan mulai
dioperasikannya juga beberapa jenis FPSO dan FPU di perairan lainnya di Indonesia.
Tentunya kondisi ini sangat menggembirakan bagi perkembangan teknologi kelautan di
Indonesia pada umumnya dan teknologi bangunan lepas pantai pada khususnya. Namun disisi
lain, mulai saat itu juga, dan di masa mendatang, terbentang tantangan yang tidak ringan bagi
segenap pihak yang terlibat sekaligus menaruh perhatian, baik dari kalangan akademisi, industri
migas maupun industri lainnya yang terkait, terhadap perkembangan teknologi dan industri lepaspantai di Indonesia. Bahkan lebih dari itu, untuk sampai pada taraf "kemandirian teknologi" dalam
bidang kelautan, maka tak dapat dipungkiri lagi, tenaga-tenaga ahli/SDM Indonesia harus dituntut
secara aktif untuk semakin banyak lagi melibatkan diri di dalamnya. Di sisi lain, pemerintah
sendiripun harus senantiasa menyadari peran aktifnya yang sinergis dan kondusif dalam
menelurkan regulasi-regulasinya yang tepat bagi perkembangan teknologi dan industri kelautan
Indonesia.
Daftar Pustaka
(1) API (1997), "Recommended Practice for Planning, Designing, and Constructing Tension Leg
Platforms", API RP 2T, 2nd Edition, USA.
(2) Bar-Avi, P., 1999, "Nonlinear Dynamic Response of a Tension Leg Platform", Journal of
Offshore Mechanics and Arctic Engineering, November, Vol. 121, ASME., hal. 219-226.
(3) Faltinsen, O. M. dan Demirbilek, Z., 1989, "Hydrodynamic Analysis of TLPs", dalam "Tension
Leg Platform (a State of The Art Review)", Demirbilek, Z.,ASCE.
(4) Hirayama, H., Sao, K. dan Capanoglu, C. C., 2002, "Experience-Based Assessment of Field
Development Options and Costs", Proceeding of the 12th (2002) International Offshore and Polar
Engineering Conference (ISOPE), Kitakyushu, Japan, May 26-31, 2002.
(5) Litton, R. W., 1989, "TLPs and Other Deepwater Platforms", Tension Leg Platform (a State of
The Art Review), Demirbilek, Z.,ASCE.
(6) Majalah Offshore Engineering, suplemen
(7) McClelland, B. dan Reifel, M. D., 1986, Planning and Design of Fixed Offshore Platforms, Van
Nostrand Reinhold Comp. Inc., New York, pp. 6-7.
Download