MODUL PERKULIAHAN Kode Etik Psikologi Metaetika dan Etika Terapan Fakultas Program Studi Fakultas Psikologi Psikologi Tatap Muka 03 Kode MK Disusun Oleh Mistety Oktaviana, M.Psi., Psi. Abstract Kompetensi Pengertian mengenai Metaetika dan Etika Terapan Mahasiswa mampu memahami dan menyampaikan kembali mengenai materi yang diberikan Metaetika Metaetika ini dapat ditempatkan dalam rangka “filsafat analitis”, suatu aliran penting dalam filsafat abad ke-20. Filsafat analitis menganggap analisis bahasa sebagai tugas terpenting bagi filsafat atau sebagai satu-satunya tugasnya. Aliran ini mulai berkembang di Inggris pada awal abad ke-20 dan George Moore yang disebut tadi adlaah salah seorang pelopornya. Dari Inggris filsafat analitis meluas ke berbagai negara lain, tapi di negaranegara berbahasa Inggris (seperti Amerika Serikat dan Australia) posisinya selalu lebih kuat. Hal yang sama dapat dikatakan tentang metaetika. Karena berkaitan dengan filsafat analitis ini, metaetika kadang-kadang juga disebut “etika analitis”. Salah satu masalah yang ramai dibicarakan dalam metaetika adalah the is/ought question. Yang dipersoalkan di sini ialah apakah ucapan normative dapat diturunkan dari ucapan factual. Kalau sesuatu ada atau kalau sesuatu merupakan kenyataan (is : factual), apakah dari situ dapat disimpulkan bahwa sesuatu harus atau boleh dilakukan (ought : normative). Dengan menggunakan peristilahan logika dapat ditanyakan juga apakah dari dia premis deskriptif bisa ditarik suatu kesimpulan preskriptif. Kalau satu premis preskriptif dan premis lain deskriptif, kesimpulannya pasti preskriptif. Itu tidak menjadi masalah. Contohnya - Setiap manusia harus menghormati orangtuanya (premis deskriptif) - Lelaki itu adalah orang tua saya (premis deskriptif) - Jadi, lelaki ini harus saya hormati (kesimpulan preskriptif). Tapi soalnya ialah apakah dua premis deskriptif pernah dapat membuahkan kesimpulan preskriptif. Kini para filsuf yang mendalami masalah ini umumnya sepakat baha hal itu tidak mungkin. Kesimpulan preskriptif hanya dapat ditarik dari premis-premis yang sekurang-kurangnya untuk sebagian bersifat preskriptif juga. Akhirnya sebuah catatan tentang hubungan antara metaetika dan etika normative. Walaupun di sini kita membedakan metaetika dari etika normatif, namun hal itu tidak berarti bahwa keduanya selalu bisa dipisahkan juga. Sebab, jika kita berbicara tentang bahasa moral , dengan mudah sekali pembicaraan kita beralih ke apa yang ditunjukkan oleh bahasa itu, yaitu perilaku moral itu sendiri. Sambil mempelajari ucapan-ucapan etis, dengan hampir tidak disadari kita bisa mulai menilai apa yang dibicarakan itu. Dan sebaliknya, jika kita berbicara tentang perilaku moral, dengan sendirinya kita berefleksi tentang istilah-istilah dan bahasa yang kita pakai. Kalau kita berusaha mendefinisikan pengertian-pengertian etis, seperti “norma”, “nilai”, “hak”, “keadilan” atau sebagaianya, usaha itu bisa saja digolongkan 2016 2 Kode Etik Psikologi Mistety Oktaviana, M.Psi., Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id dalam metaetika, tapi dalam etika normative tentu tidak dapat dihindarkan merumuskan definisi-definisi semacam itu. Kita harus mengakui bahwa suatu garis pembatasan yang tajam dan definitive tidak mungkin ditarik antara etika normative dan metaetika. Setelah mengetahui tiga cara untuk mempraktekkan etika ini, bisa kita simpulkan bahwa dalam studi tentang moralitas dapat dibedakan pendekatan non-filosofis dan pendekatan filosofis. Pendekatan non-filosofis adalah etika deskriptif, sedangkan pendekatan filosofis bisa sebagai etika normative dan bisa juga sebagai metaetika atau etika analitis. Dari suatu sudut pandang lain etika dapat dibagikan juga ke dalam pendekatan normative dan pendekatan non-normatif. Dalam pendekatan normative si peneliti mengambil suatu posisi atau standpoint moral : hal ini terjadi dalam etika normative (bisa etika umum dan bisa juga etika khusus). Dalam pendekatan non-normatif si peneliti tinggal netral terhadap setiap posisi moral : hal ini terjadi dalam etika deskriptif dan metaetika. Hakikat Etika Filosofis Bila dalam hidup sehari-hari kita berbicara tentang keadaan-keadaan atau peristiwaperistiwa yang kita saksikan atau kita alami, maka tidak pernah kita melakukannya secara netral saja, tidak pernah kita membatasi diri pada pemantauan saja, hampir selalu kita menambah juga unsur-unsur penilaian. Kita tidak katakana secara netral bahwa Pak A sudah bertahun-tahun aktif dalam yayasan yang mengurus panti asuhan untuk anak-anak yatim piatu, anpa pamrih, tanpa mencari untung sedikit pun bagi dirinya sendiri. Hal ini tidak saja kita tegaskan sebagai konstatasi, tapi dengan mengadakan demikian sekaligus kita lakukan evaluasi. Kita memuji orang itu dan menunjukkannya sebagai contoh untuk orang lain. Atau bila kita menceritakan bahwa seorang pejabat menyalahgunakan posisinya untuk melakukan korpsi, karana ia menggunakan uang rakyat bagi kepentingan pribadi, kita tidak saja melukiskan suatu keadaan, tapi langsung kita memberikan penilaian juga. Kita mencela kelakukan orang itu yang kita anggap tidak terpuji. Juga bila kita membuka surat kabar atau majalah berita mingguan, kita tidak membaca “kabar” atau “ berita” netral saja, biarpun namanya memang “surat kabar” dan “majalah berita”. Sering kali terdapat juga unsur-unsur penilaian. Sudah cukuplah membaca judul-judul Koran saja untuk memperoleh keyakinan itu. Judul-judul yang terhampar dalam koran kerap kali membuat kata-kata seprti “sebaiknya”, “hendaknya”, “sepatutnya”, “janganlah” dan sebagainya, jadi ajakan-ajakan yang bernada etis. Kadang-kadang malah mendapat kesan bahwa ada koran yang terlalu banyak memberi penilaian, sampai-sampai berbau moralistis dan kurang member berita- 2016 3 Kode Etik Psikologi Mistety Oktaviana, M.Psi., Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id berita yang factual serta objektif. Tapi kalau seandainya surat kabar dapat membatasi diri pada penyajian berita (news) saja, tidak pernah ia akan berhasil menyingkirkan semua unsure penilaian. Bila wartawan meluput suatu konflik, sulit sekali untuk menyembunyikan ia sendiri memihak kepada siapa. Ketika revolusi People Power berlangsung di Filipina bilan Februari 1986, umpamanya, koran-koran Indonesia pun tidak dapat menyembunyikan mereka pro atau kontra Corazon Aquino yang bintangnya sedang naik itu. Mau tidak mau mereka mengambil suatu sikap etis terhadap konflik yang terjadi di negara tetangga itu. Demikian juga ketika media massa memberitakan tentang kejadian-kejadian yang menggoncangkan Eropa Timur Komunis dan memuncak dengan robohnya Tembok Berlin pada bulan November 1989. Hal yang sama terjadi dalam seribu satu peristiwa yang kiga hadapi setiap hari. Kita menyetujui atau kita menolak, tapi tidak pada tahap intelektual saja, sejauh kita anggap kebeneran terpenuhi atau tidak. Kita menyetujui atau menolak juga pada tahap moral : kita memuji atau kita mencela. Kita yakin bahwa perbuatan atau keadaan yang kita saksikan itu adalah baik dan patut dicontoh semua orang atau sebaliknya, kita berpendapat bahwa sesuatu adalah buruk dan sesungguhnya tidak boleh demikian. Tidak dapat disangkal, sudah terdapat banyak sekali unsur etis dalam omongan kita sehari-hari. Etika sebagai ilmu melanjutkan kecenderungan kita dalam hidup sehari-hari itu. Etika mulai, bila kita merefleksikan unsur-unsur etis dalam pendapat-pendapat spontan kita. Kebutuhan akan refleksi itu kita rasakan, antara lain karena pendapat etis kita tidak jarang berbeda dengan pendapat orang lain. Timbul pertanyaan : Siapa yang benar? Siapa mempunyai argument-argumen paling kuat? Ada dasar objektif apa untuk pendapat kita? Kita bisa berpegang teguh pada norma apa? Menjadi tugas etika untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Dengan demikian etika dapat didefinisikan sebagai refleksi kritis, metodis dan sistematis tentang tingkah laku manusia, sejauh berkaitan dengan norma. Karena refleksi itu dijalankan dengan kritis, metodis dan sistematis, pembahasan itu pantas diberi nama “ilmu”. Pelawak atau penyair pun kerap kali berbicara tenang tingkah laku manusia, tapi mereka tidak membuatnya dengan cara kritis atau, kalaupun kritis, mereka tidak melakukannya menurut metode yang ketat dengan sistematika menyeluruh. Karena pendekatannya mempunyai ciri-ciri itu, etika adalah suatu ilmu. Tapi setiap refleksi kritis, metodis dan sistematis tentang tingkah laku menusia belum tentu adalah etika. Psikologi, umpamanya, adalah ilmu tentang tingkah laku manusia. Kini malah dipergunakan istilah behavioral sciences (ilmu-ilmu tentang tingkah laku) untuk menunjukkan ilmu-ilmu seperti psikologi dan sosiologi. Etika adalah refleksi ilmiah tentang tingkah laku manusia dari sudut norma-norma atau dari sudut baik dan buruk. Segi normatif itu merupakan sudut pandang yang khas bagi etika, dibandingkan dengan ilmu-ilmu lain yang juga membahas tingkah laku manusia. 2016 4 Kode Etik Psikologi Mistety Oktaviana, M.Psi., Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Etika termasuk filsafat dan malah dikenal sebagai salah satu cabang filsafat yang paling tua. Dalam konteks filsafat Yunani Kuno, etika sudah terbentuk dengan kematangan yang mengagumkan. Etika adalah ilmu, kita katakana tadi, tapi sebagai filsafat ia tidak merupakan suatu ilmu empiris. Sedangkan yang biasanya dimaksudkan dengan ilmu adalah justru ilmu empiris, artinya, ilmu yang didasarkan pada fakta dan dalam pembicaraannya tidak pernah meninggalkan fakta. Ilmu-ilmu itu bersifat empiris, karena seluruhnya berlangsung dalam rangka empiri (pengalaman indrawi), yaitu apa yang dapat dilihat, didengar, dicium dan sebagainya. Ilmu empiris berasal dari observasi terhadap fakta-fakta dan jika ia berhasil merumuskan hukum-hukum ilmiah, maka kebenaran hukum-hukum itu harus diuji lagi dengan berbalik kepada fakta-fakta. Dibandingkan dengan ilmu ilmu-ilmu lain, filsafat tidak membatasi diri pada gejala-gejala kongrit, kadnag-kadang malah tentang hal-hal yang amat kongkrit sekali, tapi ia tidak berhenti di situ. Filsafat memberanikan diri untuk melampaui taraf kongkrit dengan seolah-olah menanyakan di balik gejala-gejala kongkret. Misalnya, ia tidak bertanya, bagaimana dapat dirumuskan hukum-hukum yang menguasai kejatuhan benda-benda atau bagaimana dapat kita mengerti hubungan antara volume gas dan tekanan yang dijalankan padanya. Itulah pertanyaan-pertanyaan yang dijawab oleh fisika. Dan kalau fisika menjawab pertanyaan kedua ini dengan mengatakan bahwa pada suhu tetap volume gas berbanding terbalik dengan tekanan yang dijalankan padanya (hukum Boyle), maka hal itu dapat diujikan lagi dengan fakta-fakta. Filsafat akan bertanya, bagaimana pengetahuan ilmiah seperti dipraktekkan oleh fisika itu mungkin. Syarat-syarat mana harus dipenuhi supaya pengetahuan ilmiah itu dapat dijelaskan? Demikianlah cara bertanya dalam pemikiran filsuf Jerman besar dari abad ke-18, Immanuel Kant. Jika kita kuno, maka filsafat bertanya tentang penyebab proses-proses perubahan dalam alam semesta (bunga mekar lalu menjadi layu, air laut pasang naik dan surut, perubahan pada badan-badan jagat raya seperti matahari, bulan dan planet-planet), tapi juga tentang apa yang menyebabkan alam semesta itu sendiri. Apakah penyebab terakhir dan terdalam dari dunia? Demikianlah cara bertanya dalam filsafat Aristotales dan Abad Pertengahan. Dan bila dijawab bahwa penyebab terakhir itu haruslah sesuatu yang tidak berhingga dan absulut, yaitu Allah, maka jawaban ini tidak dapat diuji dengan menghadap gejala-gejala kongkret. Cara bertanya Kant dan Aristotales ini hanya merupakan dua contoh pendekatan khusus yang ditempuh dalam filsafat dan tidak sulit untuk menambah contohcontoh lain. Yang mau ditekankan di sini adalah bahwa walaupun dalam filsafat dipraktekkan cara berpikir yang berbeda-beda, namun selalu berlaku bahwa pemikirannya dijalankan dengan cara non-empiris, artinya, dengan tidak membatasi diri pada pengalaman inderawi. Dan itulah perbedaan pokok antara filsafat dan ilmu seperti fisika, astronomi, sosiologi, psikologi, yang kita sebut ilmu-ilmu empiris. 2016 5 Kode Etik Psikologi Mistety Oktaviana, M.Psi., Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Ciri khas filsafat itu dengan jelas tampak juga pada etika. Etika pun tidak berhenti pada yang konkret, pada yang secara factual dilakukan, tapi ia bertanya tentang yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan, tetnang yang baik atau buruk untuk dilakukan. Mengenai masalah seperti korupsi, umpananya, dapat kita tanyakan bagaimana fungsinya masyarakat: apakah banyak dilakukan, golongan mana yang terutama terlibat, alasanalasan mengapa korupsi dipraktekkan, sebabnya mengapa korupsi begitu sulit diberantas, dan sebagainya. Ini semua pertanyaan untuk sosiologi. Dan memang sudah banyak studi sosiologi dilakukan tentang korupsi sebagai fenomena. Bagi etika pun pengetahuan yang dihasilkan sosiologi itu sangat bermanfaat. Tapi etika tidak akan membatasi diri dengan menyoroti korupsi sebagai gejala factual. Etika menyibukkan diri dengan segi normative atau evaluative: apakah korupsi dapat dibenarkan atau tidak? Bagaimana argumentasi dari mereka yang mendukung dan mereka yang menolak korupsi? Apakah argument-argumen mereka bisa dipertahankan? Tapi, tentu saja, sebelumnya etika harus menyelidiki terlebih dahulu apa yang persisnya dimaksudkan dengan korupsi. Etika termasuk filsafat, tapi di antara cabang-cabang filsafat yang lain ia mempunyai suatu kedudukan tersendiri. Ada banyak sekali cabang filsafat, seperti misalnya : filsafat alam, filsafat sejarah, filsafat kesenian, filsafat hukum, filsafat agama, dan banyak lain lagi. Sepintas lalu rupanya etika juga menyelidiki suatu bidang tertentu, sama halnya seperti cabang-cabang filsafat yang disebut tadi. Bukankah sebelumnya etika telah disifatkan sebagai filsafat moral atau filsafat yang mempelajari moralitas? Bukankah etika menyelidiki apa itu moralitas, sama seperti filsafat kesenian menyelidiki kesenian? Tentang pertanyaan terakhir ini perlu dikatakan: etika tidak sama dengan cabang-cabang filsafat yang lain dalam arti bahwa ia membatasi diri pada pertanyaan “apa itu moral?”. Memang itu juga salah satu pertanyaan bagi etika, tapi di samping itu tugas utamanya ialah menyelidiki apa yang harus dilakukan manusia. Semua cabang filsafat berbicara tentang “yang ada”, sedangkan etika membahas “yang harus dilakukan”. Karena itu etika tidak jarang disebut juga “filsafat praktis”. “Praktis”, karena cabang ini langsung berhubungan dengan perilaku manusia, dengan yang harus atau tidak boleh dilakukan manusia. Tapi perlu diakui, etika sebagai filsafat praktis mempunyai batasnya juga. Mahasiswa yang memperoleh nilai gemilang untuk ujian mata kuliah etika, belum tentu dalam perilakunya akan menempuh tindakan-tindakan yang paling etis. Malah bisa terjadi, nilai yang bagus itu hanya sekedar hasil nyontek, jadi hasil sebuah perbuatan yang tidak etis! Atau pengusaha yang mempunyai pengetahuan luas serta mendalam tentang etika bisnis yang telah membaca seluruh literature tentang topic itu, belum tentu dalam usahanya selalu akan mengambil keputusan etis yang paling tepat. Memang, sudah pada awal sejarah etika terdapat pandangan bahwa pengetahuan benar tentang bidang etis secara otomatis akan 2016 6 Kode Etik Psikologi Mistety Oktaviana, M.Psi., Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id disusul oleh perilaku yang benar juga. Itulah ajaran terkenal dari Sokrates, orang yang mempunyai pengetahuan tentang yang baik pasti akan melakukannya juga, sedangkan orang yang berbuat jahat melakukannya karena ketidaktahuan tetnang apa yang baik. Kelau dikemukakan dengan cara radikal begini, ajaran itu silit untuk dipertahankan. Bila orang mempunyai pengetahuan mendalam mengenai ilmu etika, dengan itu belum terjamin perilaku etis yang baik. Di sisi lain, dari pengalaman kita sendiri kita semua mengenal orangorang yang hampir tidak mendapat pendidikan di sekolah, namum selalu hidup etis dengan cara yang mengagumkan. Namun demikian, ada kebenaran juga dalam pendapat Sokrates tadi. Pengetahuan tentang etika merupakan suatu unsure penting, supaya orang dapat mencapai kematangan etis. Perasaan spontan saja tidak cukup, haruslah ada pengertian juga. Hal itu lebih mendesak lagi, karena sekarang ini masalah-masalah etis jauh lebih banyak dan lebih kompleks dari pada di zaman sebelumnya. Untuk memperoleh suatu sikap etis yang tepat, studi tentang etika dapat memberikan suatu kontribusi yang berarti, sekalipun studi itu sendiri belum cukup untuk menjamin perilaku etis yang tepat. Etika juga bukan filsafat praktis dalam arti ia menyajikan resep-resep yang siap pakai. Buku etika tidak berupa buku petunjuk yang bisa dikonsultasi untuk mengatasi kesulitan moral yang sedang dihadapi. Bidangnya tidak teknis melainkan refleksif. Etika adalah suatu refleksi tentang tema-tema yang menyangkut perilaku kita. Dalam etika kita menganalisis tema-tema pokok seperti : hati nurani, kebebasan, tanggung jawab, nilai, norma, hak, kewajiban, keutamaan. Kita berkenalan dengan teori-teori etika dari masa lampau, sekaligus menyelidiki kekuatan dan kelemahannya. Dengan demikian kita diharapkan siap untuk menilai suatu argumentasi moral dan serentak juga kita sendiri diharapkan sanggup menyusun argumentasi moral yang tahan uji. Pendeknya, etika bergerak di bidang intelektual, tapi objeknya langsung berkaitan dengan praktek kehidupan kita. Akhirnya boleh disinyalir suatu aspek lain lagi dari etika sebagai filsafat moral. Dalam kalangan kaum awal, seringkali filsafat tidak mempunyai nama harus. Tidak jarang ia dituduh mengawang-awang saja, karena membahas hal-hal yang abstrak dan kurang relevan untuk hidup sehari-hari. Banyak uraian filsafat dianggap jauh sekali dari kenyataan. Tapi setidak-tidaknya tentang cabang filsafat yang disebut etika ini mudah akan disetujui relevansinya bagi banyak persoalan yang kita hadapi. Kita semua sering berjumpa dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai baik dan buruk, mengenai yang dilarang dan yang harus dilakukan. Pertanyaan-pertanyaan semacam itu bahkan bisa menggerogoti ketenangan jiwa kita. Orang yang sebetulnya tidak tahu menahu tentang filsafat, paling tidak secara implicit. Tidak sulit untuk diakui bahwa etika membicarakan tentang masalah-masalah maha penting 2016 7 Kode Etik Psikologi Mistety Oktaviana, M.Psi., Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id yang menyangkut inti kehidupan kita sebagai manusia. Hal itu akan menjadi lebih jelas lagi, bila kita memandang peranan etika dalam dunia modern. Etika Terapan Purwakania (2009) menyatakan bahwa etika terapan ini merupakan kajian yang menguji masalah khusus yang kontraversial. Etika terapan mepertanyakan bagaimana orang memahami dan mempraktekkan pengetahuan moral. Etika terapan telah ditekankan pada masa Plato dan Aristoteles. Bahwa etika merupakan filsafat praktis, artinya filsafat yang ingin memberikan penyuluhan pada tingkah laku manusia dengan memperlihatkan apa yang harus dilakukan manusia. Sifat praktis itu bertahan selama seluruh sejarah filsafat. Etika terapan dapat menyoroti suatu profesi atau suatu masalah. Sebagai contoh etika terapan yang membahas profesi seperti etika kedokteran, etika politik, etika bisnis, dll. Sebagai contoh masalah-masalah yang digarap etika terapan seperti penggunaan tenaga nuklir, pencemaran lingkungan, dan diskriminasi. Dua Kategori Etika Terapan: 1. Makro etika Membahas masalah-masalah moral pada skala besar, menyangkut suatu bangsa seluruhnya atau bahkan seluruh umat manusia. 2. Mikroetika Membahas pertanyaan-pertanyaan etis dimana individu terlibat. Seperti kewajiban dokter atau psikolog terhadap pasien atau kliennya (kewajiban menyampaikan yang benar, menjaga rahasia, dll. Profesi Menurut Bertens (1993), profesi adalah suatu moral community, yang memiliki citacita dan nilai bersama. Pembentukan profesi juga dikarenakan oleh bersatunya orang-orang 2016 8 Kode Etik Psikologi Mistety Oktaviana, M.Psi., Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id yang memilki latar belakan pendidikan yang sama dan bersama-sama memiliki keahlian yang tertutup bagi orang lain. Kode Etik dan Profesi Kode etik dapat mengimbangi segi negatif profesi. Dengan adanya kode etik, kepercayaan masyarakat akan suatu profesi dapat diperkuat, karena setiap klien mempunyai kepastian bahwa kepentingannya akan terjamin. Kode etik merupakan hasil produk dari etika terapan, sebab dihasilkan berkat penerapan pemikiran etis atas suatu wilayah tertentu, yaitu profesi. Begitupun dengan kode etik Psikologi indonesia, dibuat karena melihat ilmuan dan profesi Psikolog yang keberadaan, peran dan karyanya terus menerus berkembang dan dihargai oleh masyarakat. Disamping itu tuntutan kebebasan menyelidiki dan berkomunikasi dalam melaksanakan kegiatan di bidang penelitian, pengajaranm pelatihan, jasa atau praktik konsultasi dan publikasi dipahami oleh Ilmuan Psikologi dan Psikolog dengan penuh tanggung jawab. Kompetensi dan objektivitas dalam menerapkan kemampuan profesional terikat dan sangat memperhatikan pemakaian jasa, rekan sejawat, dan masyarakat pada umumnya sehingga diperlukan adanya kode etik. Kode etik Psikologi indonesia disusun untuk mengatur moral Psikolog dan Ilmuan Psikologi khususnya dalam masyarakat melalui ketentuan-ketentuan tertulis yang diharapkan akan dipegang teguh oleh seluruh kelompok. Dengan menjalankan dan mematuhi kode etik tersebut, diharapkan “… memperlakukan orang sebagai tujuan bagi diri mereka sendiri dan tidak pernah menggunakannya hanya sebagai alat ...” dapat menjadi kepribadian dan dasar melangkah bagi seorang Psikolog karena di dalam kode etik Psikologi Indonesia telah terangkum baik secara tersirat maupun tersurat tentang pokok pikiran tersebut. Agar kode etik dapat berfungsi sebagaimana mestinya, salah satu syarat mutlak adalah bahwa kode etik itu dibuat oleh profesi sendiri. Syarat ini telah berlaku bagi profesi Psikolog. Selanjutnya adalah kode etik harus menjadi self-regulation dari profesi. Hal inipun telah berlaku bagi profesi Psikolog yakni menjadikan kode etik Psikologi sebagai self-regulation. Syarat selanjutnya adalah pelaksanaannya harus diawasi terus menerus. Secara garis 2016 9 Kode Etik Psikologi Mistety Oktaviana, M.Psi., Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id besar hal ini telah berjalan sebagaimana mestinya, namun dalam praktek sehari-hari kontrol ini kerap kali tidak berjalan dengan mulus. 2016 10 Kode Etik Psikologi Mistety Oktaviana, M.Psi., Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Daftar Pustaka Bertens, K. 1999. Etika. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 2016 11 Kode Etik Psikologi Mistety Oktaviana, M.Psi., Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id