Modul ke: KODE ETIK PSIKOLOGI Metaetika dan Etika Terapan Fakultas PSIKOLOGI Program Studi PSIKOLOGI www.mercubuana.ac.id Mistety Oktaviana, M.Psi., Psikolog Questions 1. Sebutkan dan jelaskan macam-macam etika! 2. Sebutkan dan jelaskan pandangan yang berkaitan dengan etika! Meta Etika Cara lain lagi untuk mempraktekkan etika sebagai ilmu adalah meta etika. Awalan meta (dari bahasa Yunani) mempunyai arti “melebihi” atau “melampaui” (Bertens, 2004) Meta Etika Metaetika/ etika kritikal (critical ethics): kajian tentang apa makna istilah dan teori etika yang sebenarnya. Istilah ‘’meta” berarti setelah atau luas, dan konsekuensinya kata metaetika menunjukkan pandangan tajam, luas dan dalam terhadap keseluruhan tema etika. Kita dapat mendefinisikan metaetika sebagai kajian tentang sumber dan makna dari konsep etika terapan; metaetika merupakan kajian yang paling akurat dalam mendefinisikan filsafat moral. Meta Etika • Kajian yang membahas tentang kebenaran universal, keinginan Tuhan, serta peran penalaran dalam pengambilan keputusan etika dan makna etika itu sendiri (Purwakania, 2009). Meta Etika • Dalam meta etika, pertanyaan pokok adalah apa yang dimaksudkan, jika perbuatan disebut “baik dan buruk”, “layak”, bila dipakai dalam konteks etis? (Bertens, 2004) • Salah satu masalah yang ramai dibicarakan dalam metaetika adalah the is/ought question. Yang dipersoalkan di sini ialah apakah ucapan normative dapat diturunkan dari ucapan factual. Kalau sesuatu ada atau kalau sesuatu merupakan kenyataan (is : factual), apakah dari situ dapat disimpulkan bahwa sesuatu harus atau boleh dilakukan (ought : normative). Dengan menggunakan peristilahan logika dapat ditanyakan juga apakah dari dia premis deskriptif bisa ditarik suatu kesimpulan preskriptif. Kalau satu premis preskriptif dan premis lain deskriptif, kesimpulannya pasti preskriptif. Itu tidak menjadi masalah. Contohnya • Setiap manusia harus menghormati orangtuanya (premis deskriptif) • Lelaki itu adalah orang tua saya (premis deskriptif) • Jadi, lelaki ini harus saya hormati (kesimpulan preskriptif). • Tapi persoalannya ialah apakah dua premis deskriptif pernah dapat membuahkan kesimpulan preskriptif? • Kini para filsuf yang mendalami masalah ini umumnya sepakat bahwa hal itu tidak mungkin. Kesimpulan preskriptif hanya dapat ditarik dari premis-premis yang sekurangkurangnya untuk sebagian bersifat preskriptif juga. • Akhirnya sebuah catatan tentang hubungan antara metaetika dan etika normative. Walaupun di sini kita membedakan metaetika dari etika normatif, namun hal itu tidak berarti bahwa keduanya selalu bisa dipisahkan juga. Sebab, jika kita berbicara tentang bahasa moral , dengan mudah sekali pembicaraan kita beralih ke apa yang ditunjukkan oleh bahasa itu, yaitu perilaku moral itu sendiri. Sambil mempelajari ucapan-ucapan etis, dengan hampir tidak disadari kita bisa mulai menilai apa yang dibicarakan itu. Dan sebaliknya, jika kita berbicara tentang perilaku moral, dengan sendirinya kita berefleksi tentang istilahistilah dan bahasa yang kita pakai. • Kalau kita berusaha mendefinisikan pengertian-pengertian etis, seperti “norma”, “nilai”, “hak”, “keadilan” atau sebagaianya, usaha itu bisa saja digolongkan dalam metaetika, tapi dalam etika normative tentu tidak dapat dihindarkan merumuskan definisidefinisi semacam itu. Kita harus mengakui bahwa suatu garis pembatasan yang tajam dan definitive tidak mungkin ditarik antara etika normative dan metaetika. • Setelah mengetahui tiga cara untuk mempraktekkan etika ini, bisa kita simpulkan bahwa dalam studi tentang moralitas dapat dibedakan pendekatan non-filosofis dan pendekatan filosofis. Pendekatan non-filosofis adalah etika deskriptif, sedangkan pendekatan filosofis bisa sebagai etika normative dan bisa juga sebagai metaetika atau etika analitis. • Dari suatu sudut pandang lain etika dapat dibagikan juga ke dalam pendekatan normative dan pendekatan non-normatif. Dalam pendekatan normative si peneliti mengambil suatu posisi atau standpoint moral : hal ini terjadi dalam etika normative (bisa etika umum dan bisa juga etika khusus). Dalam pendekatan non-normatif si peneliti tinggal netral terhadap setiap posisi moral : hal ini terjadi dalam etika deskriptif dan metaetika. Etika Terapan • Purwakania (2009) menyatakan bahwa etika terapan ini merupakan kajian yang menguji masalah khusus yang kontraversial. • Etika terapan mepertanyakan bagaimana orang memahami dan mempraktekkan pengetahuan moral. • Etika terapan telah ditekankan pada masa Plato dan Aristoteles . • Bahwa etika merupakan filsafat praktis, artinya filsafat yang ingin memberikan penyuluhan pada tingkah laku manusia dengan memperlihatkan apa yang harus dilakukan manusia. • Sifat praktis itu bertahan selama seluruh sejarah filsafat. • Etika terapan dapat menyoroti suatu profesi atau suatu masalah. • Sebagai contoh etika terapan yang membahas profesi seperti etika kedokteran, etika politik, etika bisnis, dll. • Sebagai contoh masalah-masalah yang digarap etika terapan seperti penggunaan tenaga nuklir, pencemaran lingkungan, diskriminasi, Dua Kategori Besar Etika Terapan 1. Makro etika membahas masalah-masalah moral pada skala besar, menyangkut suatu bangsa seluruhnya atau bahkan seluruh umat manusia. 2. Mikroetika membahas pertanyaan-pertanyaan etis dimana individu terlibat. Seperti kewajiban dokter atau psikolog terhadap pasien atau kliennya (kewajiban menyampaikan yang benar, menjaga rahasia, dll. Profesi • Menurut Bertens (1993) adalah suatu moral community, yang memiliki cita-cita dan nilai bersama. Pembentukan profesi juga dikarenakan oleh bersatunya orang-orang yang memilki latar belakan pendidikan yang sama dan bersama-sama memiliki keahlian yang tertutup bagi orang lain. Kode Etik dan Profesi • Maka dari itu, kode etik dapat mengimbangi segi negatif profesi. Dengan adanya kode etik, kepercayaan masyarakat akan suatu profesi dapat diperkuat, karena setiap klien mempunyai kepastian bahwa kepentingannya akan terjamin. • Kode etik merupakan hasil produk dari etika terapan, sebab dihasilkan berkat penerapan pemikiran etis atas suatu wilayah tertentu, yaitu profesi. • Begitupun dengan kode etik Psikologi indonesia, dibuat karena melihat ilmuan dan profesi Psikolog yang keberadaan, peran dan karyanya terus menerus berkembang dan dihargai oleh masyarakat. Kode Etika (Purwakania, 2009) • Disamping itu tuntutan kebebasan menyelidiki dan berkomunikasi dalam melaksanakan kegiatan di bidang penelitian, pengajaranm pelatihan, jasa atau praktik konsultasi dan publikasi dipahami oleh Ilmuan Psikologi dan Psikolog dengan penuh tanggung jawab. • Kompetensi dan objektivitas dalam menerapkan kemampuan profesional terikat dan sangat memperhatikan pemakaian jasa, rekan sejawat, dan masyarakat pada umumnya sehingga diperlukan adanya kode etik. • Kode etik Psikologi indonesia disusun untuk mengatur moral Psikolog dan Ilmuan Psikologi khususnya dalam masyarakat melalui ketentuan-ketentuan tertulis yang diharapkan akan dipegang teguh oleh seluruh kelompok. • Dengan menjalankan dan mematuhi kode etik tersebut, diharapkan “… memperlakukan orang sebagai tujuan bagi diri mereka sendiri dan tidak pernah menggunakannya hanya sebagai alat ...” dapat menjadi kepribadian dan dasar melangkah bagi seorang Psikolog karena di dalam kode etik Psikologi Indonesia telah terangkum baik secara tersirat maupun tersurat tentang pokok pikiran tersebut. • Agar kode etik dapat berfungsi sebagaimana mestinya, salah satu syarat mutlak adalah bahwa kode etik itu dibuat oleh profesi sendiri. Syarat ini telah berlaku bagi profesi Psikolog. • Selanjutnya adalah kode etik harus menjadi self-regulation dari profesi. Hal inipun telah berlaku bagi profesi Psikolog yakni menjadikan kode etik Psikologi sebagai self-regulation. Syarat selanjutnya adalah pelaksanaannya harus diawasi terus menerus. Secara garis besar hal ini telah berjalan sebagaimana mestinya, namun dalam praktek sehari-hari kontrol ini kerap kali tidak berjalan dengan mulus. Terima Kasih Mistety Oktaviana, M.Psi., Psikolog