BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG “Menjadi

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
“Menjadi petani merupakan salah satu pekerjaan yang paling penting di
seluruh dunia. Kita sangat pandai membuat barang-barang lain, tetapi
kita tidak dapat membuat bahan makanan. Alam mengerjakannya untuk
kita. Petani bekerjasama dengan alam menghasilkan jenis tanaman panen
yang cocok bagi kita. Petani juga memelihara ternak guna menyediakan
daging dan membantu membajak sebidang tanah. Tidak begitu lama
berselang, jika seorang bertanya kepada seorang petani siapakah kawan
terbaiknya, ia akan menjawab, “kuda-cikarnya”. Namun kini ia akan
menjawab “traktornya”. Karena, kemajuan teknologi membantu petani
dalam meningkatkan produktivitas.”
Walt Disney1
Kemajuan teknologi nampaknya bukan hanya meningkatkan produktivitas,
namun membawa dampak sosial budaya lainnya. Mulai dari cara bertanam, musim
panen, budaya kerja hingga siklus ekonomi turut berubah. Kemajuan teknologi tidak
hanya mengubah sistem pertanian, namun juga mengubah nilai-nilai yang ada
sebelumnya. Selain dampak positif, kemajuan teknologi juga membawa dampak
negatif, seperti kerusakan lingkungan. Pencemaran ekosistem dari produktivitas
pertanian tersebut membawa gerakan penentangan penggunaan teknologi masif pada
pertanian, salah satunya dengan jalan pertanian organik (Reed, 2010:2).
1
. Diambil dari buku seri Walt Disney “Kerja Alat dan Mesin di Desa”
1
Pertanian organik adalah pertanian yang menggunakan prinsip daur ulang
dalam proses produksinya. Prinsip daur ulang ini merujuk pada bahan-bahan alami
yang didapat dari alam, dan bukan sintetis. Akan tetapi pertanian organik ini juga
dibedakan dengan pertanian alami. Pertanian alami ialah pertanian yang sepenuhnya
dikelola oleh ekosistem alam tanpa ada campur tangan dari manusia sedikit pun
(Susanto, 1977a dalam Sutanto, 2002: 15). Pertanian organik kerap didukung dengan
sistem perekonomian yang mempunyai seperangkat cara pemasaran dari produksi
hingga ia laku untuk dikonsumsi. Tentu saja, hal tersebut membutuhkan kerjasama
dengan berbagai pemangku kepentingan.
Pertanian organik mulai dipopulerkan di Indonesia pada tahun 1984 melalui
Bina Sarana Bakti di Bogor, selanjutnya disebut BSB (Jahroh, 2010:2). Program ini
terjalin atas kerjasama Institut Pertanian Bogor dengan pemerintah. Konon pada saat
itu BSB pernah melatih 10.000 petani untuk menggunakan pestisida alami yang
dibuat sendiri dari tumbuh-tumbuhan. Program ini ditujukan untuk melatih
kemandirian petani agar tidak melulu bergantung pada pupuk dan pestisida sintetis,
kimia ataupun impor yang harganya fluktuatif. Selain berlandaskan kepedulian akan
nasib petani, program ini juga memiliki keprihatinan terhadap dampak kesehatan dan
kerusakan lingkungan yang dihasilkan oleh pertanian konvensional. Hal itu kerena
penggunaan kemo-sintetis mengancam sistem ekologi pertanian serta kesehatan
manusia (Jahroh, 2010:5).
2
Sebenarnya, pembentukan gerakan pertanian organik tersebut merupakan
tanggapan atas dampak yang dihasilkan dari swasembada pangan di Indonesia.
Gerakan pangan organik yang dimulai pada tahun 80-an tidak begitu mendapat
simpati dari masyarakat pada masa itu. Kemudian pada tahun 2010, pemerintah
kembali mengkampanyekan pertanian organik melalui “Go Organic 2010”
(epetani.pertanian.go.id). Berbarengan dengan kampanye yang dilakukan pemerintah,
pihak-pihak perorangan turut mengakomodir isu pangan organik. Komunitas pangan
organik muncul digawangi oleh Komunitas Organik Indonesia (KOI) yang berdiri
sejak 2007. Komunitas yang dipelopori Emille Jayanata tersebut eksis hingga
sekarang dan tersebar di berbagai kota di Indonesia. KOI yang bermarkas di Jakarta
memiliki rekanan-rekanan penjual pangan organik di daerah lain, seperti di
Yogyakarta. Tidak hanya pangan organik, namun juga produk-produk non-kimia
seperti kosmetik, pakaian, dan kebutuhan sehari-hari lainnya diwadahi KOI.
Pangan organik diwacanakan memiliki sejumlah kelebihan jika dibandingkan
dengan pangan konvensional. Pangan konvensional yang dibudidayakan dengan
menggunakan bahan-bahan kimia, ternyata menurunkan kualitas tanah dan membawa
masalah kesehatan baru (Magnusson, 2003; Darmawan, 2006; Jahroh, 2010).
Masalah kesehatan dan lingkungan merupakan dua isu utama pangan organik.
Namun dibalik isu-isu tersebut, ada harga yang mahal di balik pangan organik
(Magnusson, 2003:110).
3
Pangan organik merupakan komoditas yang belum dapat dikatakan lazim di
masyarakat. Di samping harganya yang mahal, peredarannya belum seluas pangan
konvensional, sehingga masih sulit di dapatkan. Mahalnya harga pangan organik
dapat diatasi beberapa orang dengan cara menanam sendiri jenis tanaman yang ingin
dikonsumsi. Tentu saja, cara ini membutuhkan komitmen serta pengetahuan yang
cukup untuk menjalaninya. Penanaman pangan organik secara mandiri seperti itu
telah dilakukan oleh beberapa kelompok peduli pangan di Yogyakarta. Kelompokkelompok tersebut bertujuan membagikan ilmunya dalam bidang pangan ke
masyarakat luas. Informasi yang dibagikan bukan hanya soal bercocok tanam, tetapi
juga manfaat, sejarah, hingga ideologi yang ada dalam pangan organik pun dibagikan.
Di Yogyakarta terdapat beragam bentuk gerakan pangan organik. Mulai dari
gerakan produksi tanaman pangan, penjualan, hingga lokakarya-lokakarya mengenai
manfaat pangan organik hadir di sana. Gerakan-gerakan seperti ini terus berkembang
semenjak tahun 20122, dan melalui gerakan-gerakan semacam ini pulalah pangan
organik dikenal dan berkembang di masyarakat.
Di Yogyakarta terdapat beberapa kelompok pangan organik yang tergabung
dalam satu wadah. Kelompok-kelompok ini kebanyakan bergerak di bagian produksi
hulu. Semisal Kelompok Organik Akar Rumput yang merupakan komunitas organik
terbesar di Yogyakarta. Komunitas ini terdiri dari para aktor yang memiliki latar
belakang pendidikan tinggi serta mempunyai modal kapital yang besar. Kebanyakan
4
dari mereka menjalankan pertanian organik secara mandiri, namun ada juga yang
bekerjasama dengan aktor lain. Dengan empati mendalam terhadap keadaan pangan
lokal, mereka membuat gerakan perlawanan. Tujuannya secara eksplisit disebutkan
untuk mengeluarkan masyarakat dari efek buruk kimia dan juga melindungi nasib
para petani. Petani diharapkan mandiri dengan cara memproduksi sendiri pupuk dan
pestisida alami.
Para aktor pangan organik menggaungkan kegiatan mereka di berbagai media
sosial. Aktivitas mereka seperti ini tersebar ke pengguna media sosial lain, khususnya
di wilayah Yogyakarta. Sambutan masyarakat pengguna media sosial cukup hangat.
Banyak pengguna media sosial yang terkonversi dalam kegiatan nyata komunitas
organik. Sehingga, komunitas ini memberikan pengaruh cukup besar terhadap
konsumsi
pangan
organik
di
Yogyakarta.
Kepada
masyarakat,
mereka
mempromosikan manfaat-manfaat yang akan didapatkan jika mengonsumsi pangan
organik. Pun harus diakui bahwa media sosial merupakan alat paling ampuh sekaligus
paling efektif dalam mempromosikan pangan organik, dan melalui media ini pulalah,
konsumen baru semakin bertambah. Pengaruh media massa juga membantu dalam
penyebaran wacana dan informasi. Banyak kegiatan organik yang diekspos media
massa seperti koran, majalah, dan televisi. Sehingga, konsumen kian tertarik untuk
mengonsumsi makanan organik bahkan menjadi gaya hidup.
2
diketahui dari wawancara dengan aktivis pangan organik di Yogyakarta 5
Tujuan utama dari para penggerak pangan organik ini tidak lain ialah
mengubah pola makan masyarakat yang selama ini mereka anggap tidak sehat untuk
dikonsumsi, meskipun hingga saat ini pangan organik belum terbukti lebih
menyehatkan (Velimirov, 2010: 181). Terlebih penggagas pangan organik juga
seringkali membagikan informasi seputar dampak buruk dari produksi pangan
konvensional. Banyak kecurangan yang dilakukan para oknum pedagang atau
produsen pangan konvensional, menurut mereka, apa yang dilakukan oleh para
pedagang tersebut sangatlah berbahaya. Namun dengan adanya edukasi-edukasi
seperti ini mereka dapat lebih mengkooptasi konsumennya.
Dengan dalih hijau, sehat, berkelanjutan dan beretika, konsumsi pangan
organik seolah-olah merupakan jalan keluar baru bagi cara konsumsi umum yang
sudah mapan sebelumnya. Seraya menawarkan konsumsi alternatif yang lebih baik,
padahal bentuk-bentuk tersebut semata-mata hanya bentuk politik konsumsi baru
(Barendregt, 2014: 6). Konsumsi pangan organik ditujukan bagi mereka yang mampu
menjangkaunya, dan konsumen yang benar-benar tertarik dengan pangan organik
akan rela membelinya meskipun dengan konsekuensi harga yang lebih tinggi
daripada pangan konvensional. Saat ini wacana, produksi hingga konsumsi pangan
organik masih terus berkembang dan menjadi fenomena yang menarik untuk dikaji
lebih lanjut.
6
B. RUMUSAN MASALAH
Beragam jenis makanan muncul di era globalisasi saat ini, dan salah satunya
adalah makanan organik. Nilai-nilai kesehatan dan ramah lingkungan melekat pada
pangan jenis ini. Makanan ini dianggab lebih alami ketimbang makanan
konvensional. Proses produksinya menggunakan pupuk dan pestisida yang didapat
serta diolah dari alam. Akan tetapi apakah kita sudah mengetahui mana yang benarbenar merupakan kebutuhan dasar mana yang merupakan bentuk konsumsi
berlebihan? Di zaman sekarang ini, banyak bermunculan ide-ide perlawanan atau
tandingan dari konsep lama yang dianggap tidak lagi relevan. Sama halnya dengan
konsep “organik”, ini muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap model pangan
yang sebelumnya, dan dinilai berbahaya. Pun “organik” juga menawarkan konsumsi
baru yang seolah-olah diperuntukan kepada “orang yang lebih berwawasan”, atau
“pilihan yang cerdas”.
Konsumen sebagai aktor hilir dari rantai pangan merupakan akhir tujuan di
mana produksi organik disemaikan. Aktivitas
konsumen
pangan
organik
di
Yogyakarta ini sangat menarik untuk diamati. Bagaimana konsep asing “organik”
terimplementasi dalam keseharian orang lokal. Konsumen sebagai unit analisis, dapat
memberikan gambaran bagaimana aktivitas tersebut berlangsung. Permasalahan
penelitian ini mengacu pada konsumen pangan organik dan relasinya dengan
lingkungan sekitar. Kegiatan termasuk ucapan, gerak-gerik, serta pandangan mereka
diutarakan melalui serangkaian tanda dan simbol yang mereka buat, entah disadari
7
atau tidak. Untuk mencapai pengetahuan yang lebih mendalam mengenai konsumsi
pangan organik, maka dijabarkan pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana perkembangan pangan organik dalam kehidupan masyarakat di
Yogyakarta?
2. Bagaimana konsumsi pangan organik berlangsung di Yogyakarta?
3. Bagaimana konsumen memaknai pangan organik?
C. TINJAUAN PUSTAKA
Demi menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, saya mulai mencari jawaban
dengan melakukan studi pustaka. Pelbagai studi tentang “pangan organik” yang
sudah ada mempunyai kelebihannya masing-masing, seperti studi Mann (2003) yang
mengutarakan bahwa: Konsumsi makanan organik telah dilakukan di banyak negaranegara maju. Di Jerman misalnya, negara itu menerapkan subsidi pangan organik
yang bertujuan memberikan produk dengan “kualitas baik” kepada masyarakatnya
(Mann, 2003:460). Banyak studi kasus yang dilakukan di negara-negara maju
mengenai motivasi pemilihan makanan organik. Hal tersebut membuat makanan
organik menjadi isu yang terus diperdebatkan di berbagai cabang ilmu, baik dari
aspek kesehatan, lingkungan, maupun dari aspek psikologi. Satu yang paling menarik
perhatian saya adalah studi mengenai perilaku konsumen dalam mengonsumsi
makanan organik.
8
Seperti studi yang dilakukan oleh Kareklas dan kawan-kawan (2014),
temuannya mengatakan bahwa pembelian makanan organik biasanya didorong oleh
dua faktor, yakni faktor egoistik dan faktor alturisktik. Studi yang dilakukan Kareklas
ini menggunakan pendekatan ilmu psikologi. Pembedaan ini berfungsi dalam studi
periklanan yang dilakukan oleh mereka untuk mengetahui faktor dasar yang memicu
seseorang untuk membeli makanan organik. Dalam masyarakat Amerika, yang
menjadi objek penelitian mereka, ditemukan hal-hal menarik mengenai alasan dasar
masyarakat membeli makanan organik. Mereka melakukan penelitian melalui sistem
survei secara masif di seluruh penjuru negeri. Alhasil mereka membagi tiga studi
dengan cara dan perlakuan berbeda pada respondennya. Mereka melakukan penelitian
melalui metode dalam jaringan (internet), dan tidak terlibat langsung dengan orangperorang seperti dalam etnografi. Upaya ini tetap membantu melihat garis besar
terhadap pemilihan makanan organik. Studi ini membantu peneliti melihat bagaimana
kondisi konsumen pangan organik di masyarakat maju dengan latar belakang
ekonomi yang hampir seragam melakukan pembelian makanan organik yang
notabenenya lebih mahal dari makanan konvensional.
Faktor egoistik dan alturisitik mengandung berbagai makna. Faktor egoistik
dapat diartikan sebagai faktor yang mengutamakan alasan pribadi dalam suatu
tindakan, sedang faktor alturistik ialah faktor yang melihat ke keadaan sekitar
seseorang atau berintensi menolong orang lain (Kareklas et al., 2014:20). Dari dua
faktor ini, dalam kajian konsumsi makanan organik, dapat dilihat bagaimana
9
seseorang memilih produk makanannya. Disebutkan bahwa akumulasi dari dua faktor
inilah yang paling berpengaruh besar dalam pemilihan makanan. Seseorang peduli
dengan promosi kesehatan yang ditawarkan dalam produk organik, begitu pula
dengan isu lingkungan yang dibawanya. Meskipun studi ini tidak menjelaskan
seberapa intensif seseorang membeli produk organik, namun dari survei yang
dilakukan dapat memberikan gambaran bahwa seseorang terpengaruh dari dua faktor
tadi, egoistik dan alturistik.
Penelitian seperti yang dijabarkan di atas turut dilakukan oleh Magnusson dan
rekan-rekan (2003). Mereka merupakan pelopor penelitian dengan tema pangan
organik. Mereka melakukan penelitian mengenai sikap dan perilaku masyarakat
terhadap makanan organik di tahun 2000an awal. Penelitian ini dilakukan di Swedia
dengan cara menyebar kuisioner dalam jangka waktu 1998-2000 dengan usia
responden 18-65 tahun. Rentang waktu serta lokasi yang berbeda memperkaya studi
mengenai konsumsi organik ini. Di Swedia orang cenderung membeli pangan organik
dengan alasan pribadi. Faktor egoistik lah yang lebih dominan dalam mendorong
seseorang untuk membeli makanan organik. Di sisi lain environmentally friendly
behaviour (EFB), faktor peduli lingkungan, turut berkontribusi memancing prilaku
konsumsi makanan organik. Kedua studi yang dilakukan Kareklas dan M.K.
Magnusson bertempat di negara maju yang notabene adalah masyarakat dengan daya
beli tinggi.
10
Kedua studi tersebut memberikan gambaran reflektif mengenai fenomena
serupa yang ada di Yogyakarta. Temuannya mengatakan bahwa makanan organik
berharga lebih tinggi daripada makanan biasa, dan tentu saja, hal tersebut dikarenakan
bahwa makanan organik selalu membawa isu-isu tentang kesehatan. Namun sebuah
jurnal yang dilansir Wiley Interscience mengatakan; hingga saat ini belum ada studi
yang benar-benar membuktikan bahwa pangan organik lebih sehat daripada pangan
konvensional (Velimirov et al., 2010:175).
Di Indonesia sendiri pertanian organik –sebagai awalan dari konsumsi
organik—masuk ke Indonesia tahun 1984 melalui Bina Sarana Bakti (Jahroh,
2010:2). Mereka melakukan riset perkembangan pertanian organik di Indonesia
dengan lokasi studi kasusnya di Jawa Barat dan Sumatera Utara. Pola distribusi di
kedua wilayah tersebut dipetakan sesuai dengan yang ia temukan di lapangan. Jalur
distribusi ini juga penting untuk melihat bagaimana pangan organik sampai ke tangan
para konsumennya.
Selain itu Siti Jahroh juga mencantumkan informasi mengenai sertifikasi
pangan. Sertifikasi pangan ini sangat penting dalam penjualan makanan organik
karena dengan sertifikasi ini, distribusi makanan organik akan lebih mudah.
Sebaliknya, bila tidak ada sertifikasi resmi, produk-produk menjadi sulit untuk masuk
ke pasar swalayan. Sebenarnya sertifikasi ini ditujukan untuk menguji kelayakan
sebuah produk. Maksud mulia dari sertifikasi ini adalah untuk melindungi konsumen
11
dari penipuan, atau agar masyarakat tidak diperdaya oleh penjual. Terdapat tujuh
lembaga sertifikasi di seluruh Indonesia:
Tabel 1. 1 Daftar sertifikasi organik di Indonesia (Jahroh, 2010:4)
Sertifikasi yang terdiri dari lembaga nasional hingga tingkat kota memiliki
jenis-jenis produknya sendiri. Misalnya LSO (Lembaga Sertifikasi Organik)
Sucofindo meliputi produk-produk seperti tanaman bahan baku utama, hasil kebun,
susu, telur, daging dan madu. Sedangkan LSO INOFICE menaungi jenis produk
seperti hasil panen segar dan peternakan. Ketujuh badan sertifikasi ini tidak harus
dimiliki oleh sebuah produk, cukup dengan lembaga yang sesuai dengan jenis
produknya saja. Ada isu bahwa produk organik lebih mahal, alasannya karena harga
untuk sertifikasi organiknya yang mahal. Dilansir di sebuah situs berita ekonomi
online, www.kontan.co.id, mahalnya sertifikasi menghalangi niat petani memperluas
12
produksinya (www.kontan.co.id, 17 April 2013). Biaya sertifikasi sendiri berkisar
antara Rp 15 juta sampai Rp 40 juta (www.kontan.co.id, 17 April 2013). Contoh
kasus yang ditemukan di sebuah berita online ialah, Rizki Efendi, Direktur
Manajemen Tangkolo Farm, menyebutkan kesulitan dalam hal sertifikasi. Tingginya
biaya
sertifikasi
membuat
perusahaan
miliknya
emoh
diperbesar
(www.republika.co.id, 17 April 2010).
Kenyataan sertifikasi yang mahal ini berkebalikan dengan pendekatan
perkembangan pertanian organik. Seperti yang diutarakan Jahroh (2010:4), ada tiga
butir penting untuk mengembangkan pertanian organik, yakni pertama, kemandirian
petani. Butir pertama ini dimaksudkan, pertanian organik sebagai tempat
perkembangan diri para petani untuk mencukupi kebutuhannya sendiri. Kedua,
membangkitkan ekonomi para petani. Dan ketiga ialah untuk menjaga lingkungan.
Ketiga butir ini tidak lain bertujuan untuk memajukan produksi organik yang ramah
lingkungan serta meningkatkan kesejahteraan para petani.
Jahroh memprediksi ketahanan pertanian organik ini dapat dilihat dari tiga
faktor, yaitu: ekonomi, sosial, dan lingkungan. Apabila ketiga aspek tersebut saling
mendukung, pertanian organik akan terus berlangsung. Biaya produksi pertanian
organik dapat ditekan lebih murah dari pertanian konvensional karena dilihat dari
biaya produksi minimalis, dengan penggunaan bahan-bahan alami. Dari sisi sosial,
pertanian organik ini dapat mengembangkan komunitas dalam masyarakat.
Komunitas ini berfungsi untuk mengikat konsumen organik dan menambah jaringan
13
konsumen. Aspek lingkungan pun tak luput dari perhatian cara pertanian seperti ini.
Dengan model organik, dipercaya membantu menjaga lingkungan.
Aspek pertanian dilihat sebagai hal penting dalam penelitian ini karena ujung
tombak dari rantai makanan organik berada di tangan petani. Segala faktor yang
terdapat dalam produk pangan organik ditentukan tangan sebelumnya, baik petani
maupun distributor. Pola distribusi juga penting untuk dicermati. Bila dalam
penelitian Jahroh di dua wilayah, Jawa Barat dan Sumatera Barat terdapat pola
distribusi pangan organik sebagai berikut:
Gambar 1. 1 Distribusi sayuran organik di Jawa Barat
Gambar 1. 2 Distribusi sayuran organik di Sumatra Utara
Kedua contoh pola distribusi pangan organik tersebut membantu saya melihat
pola distribusi pangan organik yang ada di Yogyakarta. Apakah pangan organik
sampai ke tangan konsumen melalui LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat),
14
distributor, pasar swalayan, atau langsung ke tangan distributor. Hal ini penting
karena semakin mudah masyarakat mendapatkan pangan organik, semakin meningkat
pula pembelian produk organik di wilayah tersebut.
Jenis produk pangan organik yang dikonsumsi konsumen juga penting untuk
dilihat. Karena ada konsumen yang hanya mengonsumsi produk tertentu seperti beras
dan sayur. Dalam studi yang dilakukan Tarkiainen dan Sundqvist (2009), ditemukan
pola pembelian yang tidak reguler dalam contoh kasus di Finlandia. Tarkiainen dan
Sundqvist membatasi penelitian ini menjadi beberapa jenis produk organik utama
saja, yaitu kopi, roti, buah dan tepung. Produk tersebut merupakan produk pangan
utama masyarakat Finlandia. Mereka menemukan rendahnya keterlibatan pembeli
untuk konsisten dalam mengonsumsi makanan organik. Motivasi konsumsi pangan
organik yang mereka temukan di lapangan juga tidak jauh berbeda dengan studi yang
telah dipaparkan sebelumnya. Faktor kesehatan, lingkungan, dan perlindungan hewan
menjadi pertimbangan konsumen dalam membeli makanan organik. Meskipun studi
Tarkiainen dan Sundqvist adalah studi psikologi, namun dari studi tersebut tetap
memberikan kontribusi dalam penelitian ini.
Penelusuran pustaka mengenai organik juga dilakukan dari sisi medis. Jurnal
Sain Veteriner, sebuah jurnal kedokteran hewan, menerbitkan hasil penelitian mereka
tentang penggunaan pupuk organik cair (POC). Hasil penelitian ini menunjukan
bahwa tidak ditemukan kandungan berbahaya seperti Salmonella sp dan E. Coli
0157:H7 pada POC. Kedua kandungan tersebut merupakan bakteri patogenik yang
15
dapat menyebabkan pencemaran hasil pertanian dan membahayakan kesehatan
masyarakat (Suwito, 2013:151).
Penelitian ilmiah tersebut menunjukan bahwa hasil pertanian organik tidak
mengandung kandungan berbahaya. Penelitian ini juga mengakui bahwa pupuk kimia
mengurangi unsur alami tanah. Pemakaian pupuk anorganik atau kimia dalam jangka
waktu lama akan mengurangi kesuburan tanah, dan keadaan tersebut dapat dikurangi
dengan penggunaan pupuk organik (Wahyono et al., 2011 dalam Suwito, 2013:152).
“Antropologi tidak banyak membicarakan mengenai makanan” begitulah
kurang lebih penuturan Robert Lawless (1978:402) dalam membicarakan makanan
dengan antropologi. Pada pertemuan yang dilakukan Asosiasi Antropologi Amerika,
dari 130 panelis, hanya 3 saja yang membicarakan mengenai makanan. Topik
makanan terkadang hilang dengan tema lain seperti ekonomi dan ekologi, atau
dikaitkan dengan evolusi memasak (Lawless, 1978:402). Namun pendapat Lawless
ini dikemukakan pada tahun 1970an ketika pada kondisinya memang belum banyak
antropologi membicarakan makanan. Alih-alih makanan hanya sebagai simbol
pelengkap untuk mengkaji sebuah masyarakat. Kajian tunggal tentang makanan juga
belum mencapai pada tahapan holistik, maka itu topik ini mudah tergerus dengan
topik lain.
Pada masa sekarang, ada beberapa antropolog yang telah mengkaji makanan
dengan baik. Meskipun saya belum menemukan kajian spesifik mengenai makanan
16
organik. Namun ada beberapa tulisan bertemakan makanan yang dapat menjadi
rujukan saya salah satunya Carole M. Counihan. Carole M. Counihan banyak
melakukan studi antropologi makanan. Dalam bukunya berjudul Food and Gender
(1998), Counihan merelasikan makanan dengan kelas, kasta, ras dan gender.
Counihan yang berlatar belakang studi antropologi di Standford University ini
berfokus pada kajian makanan. Penelitian pertamanya mengenai makanan di Sardinia,
Itali, ia temukan ketika berkunjung ke sana tahun 1972 (Caldwell, 2000:990). Ia
menemukan bahwa makanan menjadi pusat kebudayaan masyarakat Sardinia.
Makanan tidak hanya dilihat sebagai pemenuhan kebutuhan dasar, namun juga ada
sejarah, relasi kekerabatan, ekonomi, dan gender di dalamnya.
Roland Barthes dalam artikel berjudul “Toward a Psychosociology of
Contemporary Food Consumption” (2013), mengatakan bahwa makanan bukan
hanya sebuah makanan. Ia mengambil contoh posisi gula dalam masyarakat Amerika
dan posisi anggur (wine) dalam masyarakat Prancis. Keduanya bukan sekedar
makanan namun ada gambar, mimpi, pilihan dan nilai. Maksudnya di sini ialah,
makanan tidak hanya sekedar makanan, terdapat simbol di dalamnya yang
mengartikan sesuatu. Gula dalam masyarakat Amerika berarti juga sebagai hiburan,
plesir, dan istirahat. Makna ini juga yang terdapat dalam wine di masyarakat Prancis.
Bila dianalogikan makanan adalah sebuah sistem maka posisi beras dalam
masyarakat Indonesia dapat disubtitusikan dengan mi. Dari pergantian tersebut, mi
sebagai unit, memiliki makna sebagai makanan pokok kedua orang Indonesia.
17
Bila kita membicarakan makanan, kita tidak akan jauh-jauh beranjak dari
seputar tubuh. Tubuh yang kita miliki sebagai organisme merupakan alat utama kita
untuk bergerak dan beraktivitas. Tujuan kita makan ialah untuk kesehatan padahal
kesehatan tidak lain merupakan jalan tengah antara pikiran dan tubuh (Barthes, 2013).
Barthes menyatakan (2013) makanan seolah-olah menandakan bentuk material dari
kenyataan nirbentuk. Kenyataan nirbentuk ini ialah kesehatan. Kesehatan diperoleh
dari asupan makanan dan dibentuk oleh kondisi tubuh dan pikiran (Barthes, 2013).
Meskipun makanan telah memenuhi fungsi fisiologis organismenya, akan tetapi
makanan ini menguap melalui berbagai cara, contohnya berkeringat. Kesadaran
manusia akan nutrisi dalam makanan juga berdampak pada nilai. Bukan nilai moral
seperti asketik, kebijaksanaan ataupun kemurnian, tapi nilai kekuasaan. Nutrisi yang
baik menandakan seseorang memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhannya.
Lappé dan Collins (dalam Counihan, 1998:2) juga menyatakan bahwa kelaparan
menandakan ketidakberdayaan seseorang. Kedua pernyataan tersebut baik Barthes
maupun Lappé dan Collins menekankan aspek kultural dalam makanan, bahwa
mereka-mereka yang memiliki akses dan kekuatan dapat mendapatkan makanannya
dengan mudah. Ada unsur kelas di dalam makanan. Makanan dalam kajian kultural
tidak bisa dianggap hanya sebagai benda tak berarti, namun mengandung berbagai
makna yang mendalam. Baik kajian Barthes maupun Counihan, keduanya
menyebutkan betapa makanan memiliki peranan yang sangat penting dalam
masyarakat. Konstruksi tubuh dan pikiran secara timbal balik datang dari makanan.
18
Bila ditarik garis horizontal maupun vertikal, makanan memiliki peran penting baik
untuk diri sendiri maupun ke masyarakat.
Dari studi pustaka yang telah dilakukan, peneliti mendapatkan pemahaman
lebih lanjut mengenai bagaimana makanan organik dipandang dalam berbagai kajian
studi antropologi. Kajian pustaka ini sangat berguna untuk memperluas cakrawala
tentang topik yang sedang diteliti. Meskipun dalam antropologi tidak ditemukan
secara spesifik perihal kajian makanan organik. Namun, beberapa studi yang telah
dilakukan antropolog sebelumnya mengenai makanan memiliki makna dalam
mempersepsikan topik ini secara antropologis.
D. KERANGKA PEMIKIRAN
Makan merupakan aktifitas utama individu. Fungsi utama dari makan tidak lain
ialah pemenuhan kebutuhan dasar manusia yaitu lapar. Apabila kita mengambil
pemikiran dasar Malinowski (1960:91) dalam respon kultural akan kebutuhan dasar,
kita dapat mengetahui bagaimana kebutuhan dasar (basic needs) tersebut bekerja
dalam kebudayaan. Malinowski yang seorang fungsionalis, memang tidak akan
merelasikan jauh-jauh objek kajian dengan fungsinya. Kebutuhan dasar manusia
terdiri dari tujuh jenis menurut Malinowksi, yakni:
Tabel 1. 2 Kebutuhan dasar dan Tanggapan Kulturannya (Malinowski, 1960:91)
Kebutuhan Dasar
Tanggapan Kultural
19
Metabolisme
Perbekalan dan perawatan (commissariat)
Reproduksi
Kekerabatan (kinship)
Kenyamanan badaniah
Tempat perlindungan (shelter)
Keamanan
Pertahanan dan keselamatan (protection)
Gerakan
Kegiatan (activity)
Pertumbuhan
Pengasuhan & pelatihan (training)
Kesehatan
Penyembuhan & higienis (hygiene)
Kebutuhan dasar manusia yang disusun Malinowski tersebut dihubungkan
dengan tanggapan kebudayaan (cultural response). Tabel di atas terbagi menjadi dua
bagian yakni kebutuhan dasar dengan tanggapan kulturalnya. Metabolisme
disandingkan dengan perbekalan, di mana metabolisme yang berarti proses
pencernaan tubuh membutuhkan perbekalan untuk keberlangsungan kerja tubuh.
Perbekalan didapat dari asupan makanan, minum, oksigen, dan lainnya. Begitu pun
dengan reproduksi. Reproduksi merupakan dampak dari kebutuhan manusia yaitu
dorongan seks, namun bukan hanya tuntutan nafsu yang ditekankan, tetapi adanya
kebutuhan manusia untuk berkelompok. Aktor-aktor dalam kelompok ini didapat dari
reproduksi sebelumnya. Dari penjelasan tersebut kita dapat melihat betapa sebuah
kebutuhan dasar manusia begitu terkait dengan fungsinya dalam masyarakat.
Aspek fisiologis terjalin dengan aspek sosial. Manusia tidak dapat memperoleh
sendiri nutrisinya tanpa bantuan dari orang lain. Pertama-tama untuk memenuhi
20
kebutuhan pangannya, manusia perlu mencari bahan-bahan kemudian yang kemudian
diracik hingga didapatkan sebuah makanan yang siap santap. Melalui proses-proses
tersebut manusia perlu berinteraksi dengan orang lain guna memenuhi kebutuhan
dasarnya. Misalnya dalam proses meracik makanan, manusia butuh kerjasama dengan
orang lain. Manusia saling terkoneksi satu sama lain karena pada prinsipnya manusia
adalah homo socius, manusia sebagai makhluk sosial. Interaksi dengan orang lain
tidak dapat dihindari karena kebutuhan-kebutuhan dasar tersebut. Selain fungsinya
bagi diri sendiri maupun bagi masyarakat, kebutuhan dasar sering menjadi aktivitas
simbolik kultural. Contohnya ialah makan. Makan menjadi aktivitas simbolik kultural
dalam sebuah masyarakat ketika membagi cara makan menjadi tiga kali dalam sehari,
misalnya. Sarapan, makan siang, dan makan malam memiliki makna sendiri-sendiri
dalam masyarakat. Tentu, tidak semua masyarakat memiliki makna yang sama dalam
ritual makan ini. Ada pun makan secara bersama, convivial, merupakan aktivitas
simbolik yang berarti besar dalam masyarakat tertentu. Misalnya masyarakat Jawa
melakukan makan bersama yang disebut dengan slametan3.
Hubungan antara kebutuhan dasar dengan tanggapan kultural dapat bervariasi.
Contohnya dalam kebutuhan bergerak (movement) tidak selalu hanya kegiatan
(activity) sebagai respon kulturalnya. Olah raga sebagai bentuk tanggapan dari
gerakan, dapat saja terkoneksi juga dengan alasan kesehatan ataupun metabolisme.
Integerasi yang menjadi pandangan Malinowski menjawab apakah batasan-batasan
3
Berasal dari kata selamat. Slametan berarti merayakan sesuatu sebagai bentuk rasa syukur.
21
dalam tabel di atas ada. Dan jawabannya ialah tidak. Malinowski tidak membatasi
kebutuhan dasar dan tanggapan kulturalnya hanya dalam baris yang sama dalam
tabel. Kesemua aspek dalam tabel tersebut saling terintegerasi.
Kebutuhan dasar yang berbasis fisiologis akan selalu dimodifikasi oleh budaya.
Misalnya tata cara makan sebuah masyarakat dibentuk dari kesepakatan yang
diciptakan oleh masyarakat tersebut. Dalam masyarakat Prancis tidak dibenarkan
untuk menggunakan tangan kosong untuk memasukan makanan ke mulut, sedangkan
di masyarakat Jepang sudah biasa menggunakan tangan sebagai pengganti sumpit
saat makan. Perbedaan ini dapat dibentuk dari latar belakang kultural yang –lagilagi—berhubungan dengan fungsi. Jenis makanan Jepang memungkinkan bahkan
dianjurkan untuk menggunakan tangan agar memudahkan memakan jenis makanan
tersebut. Lain lagi dengan jenis makanan yang dipilih. Sebuah masyarakat memilih
jenis makanan yang dikonsumsinya sesuai dengan letak geografis dan aspek lainnya.
Dalam mengonsumsi makanan organik, terdapat berbagai cara untuk
memahami fenomena ini salah satunya dengan olah pikir fungsional Malinowski.
Makan sebagai kebutuhan dasar manusia tentu merupakan aktivitas sehari-hari kita
yang tak terlepas dengan berbagai aspek. Dari mulai cara mendapatkan makanan,
norma dalam makan, hingga urusan benda apa yang harus kita makan. Setiap hal
tersebut ada institusinya tersendiri dan saling terkait. Misalnya, cara mendapatkan
makan masuk ke dalam institusi ekonomi. Berbagai kemungkinan juga dapat
22
menyertai
perilaku
terkait
dengan
makan,
karena
–lagi-lagi—Malinowski
menekankan integerasi sebagai hal yang tak terelakan.
Perihal mengonsumsi pangan organik, ada tanggapan kultural terkait dengan hal
ini. Mengonsumsi pangan organik terdiri dari dua pemenggalan kata yakni
mengonsumsi dan pangan organik. Mengonsumsi terkait dengan makan, seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya, bahwa makan merupakan aktivitas kebutuhan dasar di
mana berfungsi untuk berbagai pemenuhan baik untuk diri sendiri maupun kolektif.
Sedangkan pangan organik merujuk pada pengertian alami, di mana dimaknai oleh
konsumennya sebagai makanan yang lebih sehat dari makanan konvensional. Selain
itu, pangan organik juga terasosiasi dengan lingkungan dan kesejahteraan petani. Ada
tiga rumusan makna dalam kata pangan organik, di mana bila kita melihat pandangan
fungsional, ketiga makna tersebut memiliki tanggapan kulturalnya. Ketujuh elemen
yang dijabarkan Malinowski mengenai kebutuhan dasar dan tanggapan kulturalnya
sangat mungkin saling mengisi dalam makna “organik”.
1. Menyoal Konsep Pangan Organik
Organik mengacu pada makna produk yang tidak menggunakan fertilisasi dan
pestisida (Hutchins dan Greenhalgh, 1997 dalam Smith dan Paladino, 2009). Dalam
bahasa Indonesia, organik adalah dari kata serapan bahasa Inggris, yang berarti: 1.
berkaitan dengan zat yang berasal dari makhluk hidup (hewan atau tumbuhan, seperti
minyak dan batu bara); 2. berhubungan dengan organisme hidup: kimia –
(kbbi.web.id). Fakta bahwa tidak ada istilah khusus dalam bahasa Indonesia
23
mengenai organik merupakan bukti bahwa kata tersebut datang dari luar. Bukan
hanya kata namun juga ideologi organik turut hadir sekarang dalam keseharian
masyarakat Indonesia, meskipun tidak semua lapisan tahu mengenai kata ini. Sebagai
bukti pada saat dilakukan penelitian kehadiran pangan organik di sebuah pasar
swalayan di Yogyakarta. Para pegawai pasar swalayan sebagian besar tidak
mengetahui mengenai produk organik yang dijual di sana. Hingga akhirnya datanglah
seorang penyelia yang menunjukan sebuah rak berjudul besar “Sayuran Organik”.
Pengalaman tersebut merupakan bukti bahwa tidak semua orang mengenal
konsep organik di Yogyakarta. Konsep impor ini merupakan hasil dari proses
globalisasi. Globalisasi menurut Sekh Rahim Mondal (2007) sebagai karakteristik
pergerakan antar-negara yang terdiri dari kapital, buruh, dan kebudayaan. Dengan
komunikasi, proses globalisasi menjadi begitu mudah. Komunikasi pun dapat dengan
berbagai cara misalnya dari perjalanan, perdagangan, dan media. Apalagi di masa
sekarang ini, dengan maraknya jaringan komunikasi digital membuat semua hal
menjadi mudah diakses. Perkembangan teknologi ini menggeser batasan-batasan
budaya. Mungkin kita sering mendengar westernisasi, amerikanisasi, budaya global
dan sebagainya. Istilah kata-kata tersebut terjadi dengan sejarah yang panjang hingga
masuk ke negara-negara berkembang seperti Indonesia. Bukan hal yang aneh lagi
ketika di Indonesia mayoritas telah dengan mudahnya terhubung satu sama lain,
menggunakan pakaian “global” dan memakan dengan cara “global”. Batasan teritori
24
tidak menunjukan adanya keotentikan budaya saat ini. Batasan-batasan tersebut
seolah-olah melebur dan terganti dengan kebudayaan baru.
Begitupun di ranah pertanian. Masa-masa industrialisasi sekarang mengubah
cara pertanian dan berdampak makanan menjadi komoditas yang dijual di pasar-pasar
(Goody, 1982 dalam Yasmeen, 2000 dalam Counihan, 2013). Kapitalisme mengubah
sistem pasar di negara-negara berkembang. Produksi pertanian menjadi dikontrol oleh
pasar bayangan yang mengatur permintaan dan penawaran (Mondal, 2007).
Akibatnya sekarang ini bukan lagi petani yang bertahan telah berubah bentuk menjadi
pasca-petani dan petani global (Joseph, 1998; Lewellen, 2002 dalam Mondal, 2007).
Hal ini menjadi sebuah fenomena yang berlaku di Indonesia. Para petani berevolusi
menjadi petani modern yang dipengaruhi oleh kebudayaan luar, salah satunya ialah
petani organik.
Konsep organik yang merupakan serapan dari kata asing ini mengubah bukti
bagaimana ideologi ini ditransformasikan ke dalam bentuk lokal. Meskipun tidak
semua unsur global tersebut hilang dalam praktik di sini, namun ada upaya-upaya
melokalkan ideologi ini, entah untuk direspon secara baik oleh masyarakat luas
ataupun sebuah ketidaksengajaan. Organik sendiri, seperti yang telah diutarakan di
latar belakang, merupakan cara pertanian yang telah ada sejak dahulu. Nenek moyang
kita telah menggunakan metode ini sebagaimana kondisi pada saat itu. Sejak
industrialisasi masuk, perkembangan teknologi meningkat, kita menjadi lupa akan
cara pertanian sebelum masuknya bahan-bahan kimia. Bukan untuk romantisme saya
25
mengutarakan peristiwa lampau, tetapi tak lain untuk mengingatkan bagaimana
konsep-konsep asing masuk dan diakomodir oleh masyarakat lokal.
2. Pencitraan Pangan Organik
Diketahui ada wacana yang berkembang dalam pangan organik, dari produksi
hingga konsumsi. Namun yang menarik untuk diketahui adalah bagaimana suatu
wacana itu dapat berkembang dan membentuk ‘citra’ bahwa makanan organik adalah
makanan yang prosesnya ramah lingkungan dan menyehatkan. Salah satunya sarana
pembentukan citra selain dengan melakukan kampanye, lokakarya dan diskusidiskusi adalah dengan membuat iklan melalui “media sosial” seperti pemberitaan di
media masa, ataupun internet. Iklan ini salah satu ”pengedar” budaya massa.
Pandangan ini dapat dimaklumi mengingat iklan pada perkembangan mutakhir tidak
hanya berfungsi “klasik” sebagai media pengenalan produk, tetapi telah berkembang
sehingga orientasinya membahas pada penciptaan nilai dan sistem tanda yang
dicitrakan pada produk yang diiklankan. Barang yang diiklankan tidak hanya
diinformasikan sebagai barang yang dibutuhkan, tetapi juga sebagai barang yang
eksklusif, keren dan up to date. Hubungan yang tidak lazim itu, mengakibatkan
sistem tanda dan simbol yang terkandung dalam iklan hanya patut dibuat, atau
dengan kata lain, disimulasikan. (Piliang, 1999:83).
Simulasi diperkenalkan oleh Baudrillard untuk menjelaskan hubunganhubungan antara produksi, komunikasi, dan konsumsi. Simulasi adalah pengalaman
ruang dan pengalaman totalitas hidup didalam dunia simulasi. Jadi simulasi
26
merupakan sebuah kelebihan teknologi yang mampu memanipulasi realitas kedalam
layar (teknologi tiga dimensi). Sehingga potongan-potongan realitas itu dapat
ditampilkan seperti adanya. Bahkan melebihi realitas sebenarnya (hiper-realitas). Hal
ini saya contohkan pada bab IV di mana suatu gambar dapat terlihat lebih menarik
daripada aslinya. Di sana kedudukan konsumer menjadi termarjinalkan dalam proses
pembuatan sistem tanda itu. Ia hanya berposisi sebagai “yang mengkonsumsi”.
Iklan merupakan salah satu bentuk promosi produk yang berupa pesan yang
menawarkan suatu produk yang ditujukan kepada masyarakat lewat suatu media.
Sedangkan periklanan adalah proses keseluruhan meliputi persiapan, perencanaan,
pelaksanaan, hingga pengawasan proses sosialisasi iklan tersebut. Dua hal itu, iklan
dan periklanan, merupakan satu diantara beberapa bentuk promosi yang digunakan
oleh produsen untuk memperkenalkan produknya. Bentuk lain dari promosi adalah
public relation.
Perkembangan orientasi masyarakat post-modern yang lebih menomersatukan
konsumsi, berakibat pada iklan yang kian menemukan posisi penting. Posisi penting
itu bisa ditelusuri dengan melihat fungsi iklan sebagai komunikan antara produsen
dan produk yang diciptakan dengan konsumer yang akan mengkonsumsi produk itu.
Hubungan sederhana antara ketiganya dapat digambarkan sebagai berikut :
Produsen – iklan (promosi) – konsumer
Pada proses bertemunya produsen dan konsumer dalam mengkomunikasikan
produknya inilah iklan menjadi bagian integral yang urgen. Bahwa proses
27
komunikasi antara produsen dan konsumer melewati proses promosi (iklan) sehingga
informasi tentang produk, kelebihan, serta pentingnya produk itu bagi konsumer bisa
sampai pada masyarakat.
Sebagaimana dijelaskan Ratna Noviani (2002), bahwa ada dua fungsi iklan
yaitu fungsi informasional dan fungsi transformasional. Fungsi informasional iklan
menunjukkan pada kedudukannya sebagai komunikan dalam memberi informasi
tentang produk, kelebihan, dan kualitas produk yang diiklankan. Sedangkan fungsi
transformasional iklan merupakan fungsi iklan yang laten (hidden oriented) yang
mampu merubah perilaku konsumer dalam berbelanja, pola berkonsumsi, persepsi
tentang merk dan barang berkualitas, serta menggiring konsumer pada gaya hidup
tertentu. Pada titik ini, iklan tidak hanya menginformasikan produk atau jasa yang
dijual, melainkan bahkan berorientasi mengubah pandangan terhadap produk yang
sebelumnya tidak dibutuhkan, menjadi (seolah-olah) dibutuhkan. Misalnya sepatu
adidas, nike, atau bahkan minuman coca-cola. Penjual sepatu itu tidak hanya menjual
sepatu beserta keunggulannya, dan penjual minuman tidak saja menjual air sirup yang
bersoda, tetapi mereka juga menjual gaya hidup.
Dengan melihat orientasi produksi diatas, maka posisi iklan bisa ditelusuri
lewat benang merah antar produsen, iklan, dan konsumer. Pada hubungan antara
produsen dan konsumer yang dimediai oleh iklan itu, bisa dilihat bahwa produser
memiliki otoritas apapun. Ini karena ia berkedudukan di atas kedua variabel yang
28
lain. Dengan bahasa lain, dialah yang memiliki kapital sekaligus kuasa untuk
menciptakan citra dan sistem tanda yang terkandung dalam iklan.
Hubungan pararel antara produsen, iklan, dan konsumer kemudian lebih bisa
dijelaskan sebagai hubungan yang saling mengisi dan saling mempengaruhi.
Masyarakat kontemporer dengan sikap konsumerismenya kemudian menempatkan
iklan sebagai salah satu kebutuhan akan informasi produk yang diinginkan. Namun,
yang harus disoroti adalah keberadaan iklan juga telah memanipulasi opini tentang
“apa yang sebenarnya dibutuhkan manusia”. Kelebihan dan kemampuan iklan dalam
menampilkan sistem tanda dan pencitraan yang “sempurna” sebagai layaknya realitas
sehari-hari. Sehingga dengan menampilkan realitas keseharian, iklan kemudian
menggambarkan bahwa produk itu benar-benar dibutuhkan. Tak jarang penampakan
iklan merujuk pada potongan realitas yang ada. Potongan-potongan realitas
keseharian itu dimodifikasi dengan teknik simulasi sehingga tampak nyata. Akibatnya
masyarakat menganggap bahwa produk itu benar-benar dibutuhkan.
Visualisasi dan verbalisasi adalah tanda dalam iklan, maka pesan yang tersirat
secara implisit diinfiltrasikan kedalam otak setiap penonton, pemirsa, dan
pengaksesnya. Meskipun durasinya sebentar, dengan kemunculan yang berkali-kali
mampu membuat penonton, sadar atau tidak sadar, masuk dalam hegemoni iklan. Jika
telah demikian, maka pesan yang terkandung dalam iklan dengan mudah dan tanpa
disadari telah mengontrol manusia untuk melakukan apa yang dikehendaki oleh
produsen, yakni melakukan kegiatan konsumsi.
29
Dengan iklan, maka pilihan tentang produk yang akan dibeli telah terpampang
jelas dengan tambahan citra yang ada. Masyarakat hanya diberi kesempatan untuk
memilih berbagai macam produk yang tersedia. Pilihan yang ada-pun kian beragam
dan bentuknya bermacam-macam namun, persepsi mereka telah dibentuk sebelumnya
oleh citra. Posisi pencitraan itu dapat ditemukan dalam kaitannya dengan relasi
produsen-konsumen. Di sini, iklan berposisi sebagai komunikan antara keduanya.
Bahwa produk yang dihasilkan oleh produsen untuk sampai dan dikenal oleh
konsumen harus melalui proses periklanan (promosi) terlebih dahulu. Oleh itu,
penampakan visual dan verbalnya selalu memproduksi citra, nilai, dan sistem tanda
yang mampu membentuk opini dan persepsi. Sebagai stimulus yang laten, iklan
mengkontaminasi pikiran untuk berperilaku konsumtif. Iklan menghadirkan ketidaktenangan, ketidak-sempurnaan hidup, dan kekurangan-kekurangan yang hanya
mampu dipenuhi oleh produk-produk yang diiklankan.
Sama dengan makanan organik, baik itu hanya berupa unggahan gambar
makanan organik di media sosial (digital), sejatinya gambar yang diunggah itu tidak
lain berfungsi sebagai iklan yang membentuk persepsi tentang gaya hidup yang
dipilih dan diikuti. Bahwa konsumsi si “pengunggah” gambar tersebut sehat, bernilai
citra tinggi, dan berkelas. Dengan mengkonsumsi produk pangan organik tersebut
kita tidak hanya sekedar makan, tetapi juga menganggap telah mendongkrak prestise,
percaya diri, dan merasa diakui sebagai orang eksklusif dan terpandang. Penciptaan
karakter dan citra yang sungguh sangat paradoks. Karena citra yang ada muncul dan
30
dikonstruk sedemikian rupa hanya untuk memenuhi sifat manusia akan hasrat dan
kesenangan (desire). Bertolak dari itu, setidaknya dengan cermat kita bisa lebih
selektif untuk menjadi bagian dari masyarakat kontemporer yang tidak “termakan
iklan”. Bahwa segala kebutuhan tidak melulu seperti yang diidealkan dalam iklan.
3. Antara Memakan dan Mengonsumsi
Memakan dan mengonsumsi merupakan dua hal yang berbeda. Roland Barthes
sendiri membedakan makna “memakan” dan “mengonsumsi”. Dalam contoh kasus
yang disebutkannya, gula dalam masyarakat Amerika cenderung dimakan dan bukan
dikonsumsi. Makan ialah memasukan sesuatu ke dalam mulut kita kemudian
mengunyah dan menelannya (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Jakarta,
2008). Proses makan pada manusia pun berbeda dengan makhluk lainnya. Mengapa
manusia harus melakukan tahapan-tahapan untuk memakan sesuatu? Tidak lain agar
pencernaan dalam tubuh seimbang dan memudahkan manusia menelan makanannya.
Memakan dilihat sebagai sebuah proses aktivitas yang secara mekanik telah
dilakukan manusia sejak lahir. Tidak perlu melalui pembelajaran oleh orang tua agar
bayi mengunyah makanannya. Proses alamiah ini yang disebut Barthes sebagai
perilaku tanpa pikir panjang. Sedangkan mengonsumsi merupakan kata serapan dari
bahasa latin, consumer, yang berarti mengambil (www.Merriam-Webster.com).
Konsumsi bermakna lebih luas, dapat berarti menggunakan, memakai dapat juga
berarti memakan. Apa yang dimaksud Barthes ialah bahwa memakan terkesan lebih
“rakus” ketimbang mengkonsumsi.
31
Konsumsi dalam “kamus” Baudrillard (1998), berhubungan bukan hanya
dengan diri sendiri namun juga dengan lingkungan. Konsumsi dilihatnya sebagai
fenomena kolektif yang terdiri dari berbagai individu. Dalam konteks kekinian,
konsumsi didorong ke arah individualistik. Bukunya yang berjudul “Masyarakat
Konsumsi”, banyak mengadopsi pemikiran Durkheim. Sebagaimana alur gagasan
Durkheim yang seorang sosiolog fungsional struktural. Baudrillard merumuskan
konsumsi sebagai perilaku kolektif yang bertalian dengan instusi. Institusi yang
menaungi konsumsi tidak lain ialah institusi ekonomi yang bekerja membangun
sebuah sistem. Sebagai contoh, apabila masyarakat mengonsumsi benda-benda yang
tidak diperlukan secara berlebihan akan muncul disfungsi sosial. Sebaliknya apabila
masyarakat mengonsumsi benda sesuai dengan kebutuhannya maka institusi tersebut
akan langgeng karena berjalan sesuai fungsinya. Dalam masyarakat tidak dinafikan
apabila seseorang berbelanja secara berlebihan. Mereka yang dianggap berlebihan
menempati posisi khusus dalam masyarakat. Berarti dalam konteks tertentu masalah
fungsi-disfungsi dalam sebuah masyarakat dapat dipersepsikan.
Baudrillard yang merupakan sosiolog pascamodern, berkutat pada masalahmasalah modern zaman sekarang di mana ia banyak mengkritik fenomena modern.
Masalah konsumsi pada masa kini bukan lagi pada azas kebutuhan, seringnya
masyarakat terlena pada simbol yang melekat pada sebuah benda. Manipulasi juga
melekat di dalam konsumsi. Kegiatan ini menciptakan nilai simbolik baru yang
sebenarnya merupakan manipulasi. Mungkin pemikiran ini sejalan dengan Umberto
32
Eco, di mana sebuah benda dinilai melebihi realitasnya. Orang tidak lagi dapat
membedakan yang nyata dengan yang fiksi. Keduanya menyatu sehingga disebut
sebagai hiperrealitas (Eco, 2014). Fenomena konsumsi saat ini lekat dengan
ketidakmampuan seseorang membedakan realitas dan fiksi. Di tambah ada
kesengajaan yang dibentuk dari komoditas tersebut untuk melenyapkan batas
tersebut. Sebuah komoditas tidak lagi didefinisikan dari kegunaan melainkan dari
penanda yang berelasi dengan keseluruhan sistem komoditas itu sendiri.
Konsumsi diartikan Baudrillard bukan hanya sebagai pemuas nafsu individu.
Konsumsi bukan berarti berfungsi memenuhi fungsi kenikmatan semata. Namun
mengonsumsi berarti juga sebuah sistem, kode tanda, tatanan manipulasi tanda,
sistem komunikasi, sistem pertukaran, sebuah kendali individu, hingga sebuah logika
sosial (Ritzer, 1998:16). Konsumsi bermakna luas ketika diperbincangkan dalam
konteks ilmu sosial budaya. Dari berbagai pendekatan yang dilakukan Baudrillard,
mulai dari Marx, Veblen, strukturalis, pascamodern, hingga sejarah. Ia berhasil
merangkum berbagai makna yang melekat pada kata konsumsi. Konsumsi ditangan
Baudrillard memiliki arti khusus, hingga dapatlah kita mengatakan sebagai sebuah
teori; teori konsumsi Baudrillard.
Konsumsi dapat pula sebagai alat komunikasi di antara para konsumen.
Konsumsi sebagai bahasa memang bukan hal yang aneh lagi pada masa sekarang.
Contohnya majalah-majalah mode, yang banyak menonjolkan benda-benda untuk
dikonsumsi. Di tambah iklan yang ada di dalam majalah tersebut seperti melahap dua
33
kali konsumsi. Konsumsi ganda yang banyak dilakukan sekarang ini tentu didorong
oleh media. Media sebagai bagian sehari-hari masyarakat, tak terlepas dari berbagai
promosi produk entah itu barang ataupun jasa dan dengan berbagai cara. Masyarakat
konsumsi secara ekstrim dikatakan mengonsumsi konsumsi itu sendiri.
Dewasa ini, apapun dapat dikonsumsi manusia, dari yang berbentuk fisik
hingga metafisik. Bahkan alam pun tidak lepas dari konsumsi manusia. Sebenarnya
sudah sejak dulu, alam menjadi bagian dari konsumsi manusia. Namun letak
perubahan antara dulu dan sekarang ialah di pertukaran nilai-tanda (Ritzer dalam
Baudrillard, 1998:7). Nilai tanda ini yang dimaksud Baudrillard di dalamnya terdapat
seperangkat simbol dan kode. Konsumsi bukan lagi ke barang-barang ataupun jasa,
tetapi ke simbol-simbol yang melekat pada benda tersebut. Sebagai contoh ketika
seseorang mengonsumsi makanan organik, tidak lagi penting makanan tersebut
namun ideologi yang ditanamkan ke benda tersebut. Hal ini terjadi karena ada
pengaruh kolektif, pengaruh lingkungan dan masyarakat di sekitar kita. Begitupun
dengan pengaruh media yang juga termasuk ke dalam tatanan masyarakat sekarang.
Fenomena mengonsumsi makanan organik ini, menurut kacamata Baudrillard bukan
lagi masalah kepuasaan kesehatan ataupun kepuasan batin, bukan pula dilihat dari
fungsinya, namun terhubung dengan super structure.
Super structure ini terkait dengan sebuah sistem yang lebih luas dan
berpengaruh ke berbagai institusi. Bila kita gambarkan bagaimana konsumsi pangan
organik dalam lingkaran super structure, akan seperti berikut:
34
Gambar 1. 3 Super structure konsumsi organik
Skema super structure ini memang berasal dari pemikiran Marx, namun
Baudrillard kembali menyegarkan gagasan ini dalam bentuk lain. Dalam diagram di
atas kita dapat melihat bagaimana konsumsi organik terjaring dalam super structure
yang terdiri dari politik, kebudayaan, agama, ekonomi, dan pendidikan. Unsur-unsur
super structure ini saling terintegerasi dan mendorong sebuah konsumsi organik
berjalan. Pemikiran Baudrillard mengenai konsumsi ini juga sejalan dengan
Malinowski, di mana sama-sama menekankan fungsi dalam sebuah fenomena. Selain
ditekan oleh yang dinamakan super structure, konsumsi pangan organik juga
menempati
fungsinya
dalam
individu
dan
masyarakat.
Misalnya
dengan
mengonsumsi organik ini akan mendapat fungsi kesehatan dengan menghindari
bahan-bahan kimia. Namun sejalan dengan fungsinya terdapat media yang
mempromosikan konsumsi organik ini. Dan promosi ini terkait dengan super
structure, di mana masing-masing institusi (politik, budaya, dan sebagainya) berperan
membentuk ideologi dari promosi tersebut.
35
E. METODE PENELITIAN
Yogyakarta sebagai kota dinamis memiliki beragam etnis yang membentuk
ciri khas tersendiri terhadap kota ini. Pembauran berbagai etnis, suku, dan ras ini
menghasilkan beragam ide yang dituangkan melalui komunitas atau gerakan. Salah
satu komunitas yang hidup di Yogyakarta ialah komunitas pangan organik.
Komunitas pangan organik baru terbentuk sekitar tiga tahun dan menjadi marak
belakangan ini. Komunitas ini lebih banyak aktif dalam kegiatan penjualan barangbarang organik. Di samping itu, lokakarya yang diadakan komunitas ini membuat
antusiasme masyarakat akan pangan organik menjadi naik. Banyak orang
membicarakan komunitas ini, yang mau tidak mau ikut memperluas informasi
mengenai pangan organik.
Gerakan berwawasan seperti gerakan pangan organik ini hadir dengan
ideologi yang kuat dibelakangnya. Penyebaran “ideologi” pangan organik
berkembang di Yogyakarta. Banyak restoran berkonsep pangan organik hadir.
Peneliti mendatangi tiap restoran yang memiliki konsep pangan organik ini.
Kebanyakan restoran berada di sebelah utara Yogyakarta. Pola pemukiman di
Yogyakarta juga berpengaruh terhadap lokasi-lokasi penjualan organik. Di bagian
utara Yogyakarta di mana banyak terdapat perguruan tinggi dan perumahan
menengah atas terdapat beberapa restoran pangan organik dan pasar pangan organik.
Di bagian selatan Yogyakarta yang merupakan daerah wisata terdapat juga restoran
36
dan pasar pangan organik. Peneliti mendatangi tempat-tempat tersebut dan
mengobservasi guna mendapatkan informasi yang dibutuhkan.
Observasi partisipatoris sudah menjadi metode wajib dalam penelitian
kualitatif (Suyanto, 2011:166). Penelitian ini dibarengi dengan wawancara mendalam
dan berbincang-bincang santai dengan para aktor terkait gerakan pangan organik di
Yogyakarta. Sejak September 2014 peneliti telah menjejakan kaki di pasar organik
yang terletak di sebuah rumah baru milik aktivis pangan organik. Pada saat itu
kondisi pasar belum seramai bulan Mei 2015. Perkembangan pangan organik di
Yogyakarta begitu pesat dalam kurun waktu satu tahun terakhir.
Fenomena pangan organik ini sayang untuk dilewatkan ketika momen dan
lokasi datang di waktu yang tepat. Fenomena pangan organik di Yogyakarta tidak
hanya melibatkan pedagang dan konsumen. Fenomena ini turut melibatkan berbagai
aktor, seperti petani dan aktivis. Para petani dalam jaringan pangan organik jauh dari
kesan “proletar”. Mereka adalah para petani urban yang rata-rata memiliki ijazah
perguruan tinggi dengan kemampuan ekonomi berkecukupan. Begitupun dengan
pedagang dan para konsumen yang datang dari ranah yang mirip.
Dalam penelitian ini terdapat lima informan utama. Mereka adalah konsumen
pangan organik yang peneliti temui di pasar organik. Dua diantaranya adalah
konsumen yang mendapatkan pangan organik dengan cara menanam sendiri. Bapak
Yusuf dan Ibu B merupakan konsumen pangan organik yang subsisten atau
memenuhi kebutuhan konsumsinya sendiri. Adapun tiga konsumen yang membeli
37
pangan organik melalui pasar organik. Ketiga konsumen ini lebih senang berbelanja
pangan organik di pasar organik ketimbang pasar swalayan. Mbak Rina, Mas Tito
dan Pak Yanto adalah konsumen pangan organik yang rutin berbelanja di pasar
organik.
Nama-nama informan tersebut telah diubah untuk menjaga privasi mereka.
Peneliti memiliki cara yang berbeda dalam mendekati masing-masing informan. Ada
informan yang mudah untuk diajak berkomunikasi ada yang agak sulit. Peneliti
melakukan wawancara mendalam dengan format informal. “Wawancara” santai,
mungkin sebutan yang lebih tepat karena peneliti melempar pertanyaan disela-sela
obrolan ringan. Meskipun begitu, informasi yang dibutuhkan tetap didapat.
Baik para aktivis, konsumen, distributor, maupun petani pangan organik
memiliki akun media sosial. Di saluran ini mereka menyuarakan informasi seputar
pangan organik. Dalam kesempatan ini, peneliti tidak ingin menyia-nyiakan
kesempatan untuk mengambil informasi yang diberikan secara cuma-cuma oleh para
aktor. Sosial media tidak hanya berperan sebagai penyalur informasi semata, namun
juga memiliki peran penting dalam menampilkan citra seseorang yang memang
diintensikan oleh pemilik akun. Dari situ peneliti menjadi tahu apa yang ingin
ditampilkan di dunia maya dan apa yang sebenarnya terjadi di dunia nyata. Observasi
tidak hanya dilakukan di dunia nyata tetapi juga di dunia maya.
Untuk mendapatkan data yang komperhensif, peneliti harus mengetahui
beberapa hal seperti: (1) apa yang sebenarnya terjadi, (2) apa yang orang pikirkan
38
terjadi, dan (3) apa yang seharusnya terjadi dilihat dari norma dan adat yang berlaku
(Beattie, 1959:47). Itu semua tidak hanya dapat mengandalkan wawancara yang
bersifat satu arah. Penting bagi peneliti untuk “mencuri dengar” dari lingkungan
terdekat informan. Selain itu, obrolan santai juga menjadi metode menarik untuk
mendapatkan data. Peneliti bertemu informan di tempat-tempat penjualan pangan
organik. Pasar Organik Jogja menjadi lokasi paling strategis untuk menjaring
konsumen pangan organik yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini. Banyak
informasi yang diterima peneliti dari keberadaan pasar organik ini.
Data yang telah didapat selama turun lapangan, dipilih untuk kemudian
dianalisis. Pemilihan data merupakan kata lain dari reduksi data. Semua data yang
didapat akan dikelola, kemudian diseleksi. Untuk itu reduksi data dirasa wajar guna
membuat bobot yang dirasa pas dalam tulisan. Setelah melakukan pemangkasan data,
informasi yang tersaring diinterpretasikan agar memperoleh gambaran yang tuntas.
Selain itu tujuan melakukan metode kualitatif juga untuk menganalisa makna dibalik
informasi, data dan proses suatu fenomena sosial (Bungin, 2007:153).
39
Download