KEADILAN DAN KESENJANGAN belajar dari Amartya Sen Alois A. Nugroho Bertolak dari Teori Keadilan John Rawls • A) each person has an equal right to a fully adequate scheme of equal basic liberties which is compatible with a similar scheme of liberties for all • B) social and economic inequalities are to satisfy two conditions: first, they must be attached to offices and position open to all under conditions of fair equality of opportunity; and second, they must be to the greatest benefit of the least advantaged members of society. Amartya Sen menggarisbawahi Rawls • Memberi prioritas pada kebebasan dalam arti bhw kebebasan tidak bersifat instrumental • Peningkatan kemakmuran dan pendapatan serta perbaikan distribusi di antara penduduk tidak boleh melanggar hak atas kebebasan. • Bagian B1: Institusi wajib menjamin kesamaan kesempatan, tanpa mengecualikan siapa pun. • Bagian B2 yang dikenal sbg prinsip maksimin (different principle): hrs diusahakan “the worst off members of the society as well-off as possible” Kritik Sen thd Rawls a.l. • Rawls mengidap institusionalisme • Rawls mengabaikan pluralitas tentang “yang baik” (yg menentukan advantage dan disadvantage) • Rawls mengabaikan pluralitas tentang “yang adil” • Rawls mengabaikan proses merealisasikan (hubungan antara kebebasan, kapabilitas dan realisasi) Sen dan Institusionalisme • Bagi Rawls, apabila teori keadilan dikodifikasi dalam bentuk hukum, maka keadilan pasti tercapai. • Sen melihat kemungkinan bhw institusi sudah sesuai dg teori keadilan, tetapi perilaku agensi tidak. Ada jarak antara institusionalisasi keadilan dan perilaku aktual individu. • Bagi Sen, institusionalisme menyuburkan “Kew Garden Principle” yang menganggap institusi sbg moral agent; padahal yang disebut “hak asasi generasi kedua” menyangkut baik kewajiban sempurna (dlm arti yg berkewajiban jelas adl negara) dan kewajiban tak sempurna (tak tegas siapa agensi moralnya) begitu pun penderitaan sesama dari negeri lain (atau liyan pada umumnya). Kew Gardens principle • Seorang gadis diserang di Kew Gardens NY pada malam hari, dia berteriak-teriak minta tolong, tapi tak seorang pun yang tinggal di apartemen di sekitarnya menolongnya, bahkan mengangkat telpon saja tidak. Mereka menganggap agensi moral (pihak yg berkewajiban) untuk itu ialah institusi (negara dlm hal ini polisi). • Akhirnya gadis itu terbunuh, tanpa seorang pun menolongnya. • Prinsipnya tugas etis individu adl “non-maleficence” (do no harm”). Tugas “beneficence” (do good) adalah terbatas pada orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya (“Apakah aku penjaga saudaraku?” kata Kain kepada Yahwe) HAM generasi kedua • Hak asasi umum (inalienable rights dari John Locke) meluas ke welfare rights (hak-hak asasi ekonomi dan sosial): hak untuk memenuhi kebutuhan dasar, pelayanan medis, pendidikan dsb. • Negara adalah pihak yang jelas berkewajiban (dlm arti itu kewajiban sempurna) • Namun siapa yang, misalnya, akan mengadvokasi situasi ketakadilan dimana beberapa manusia tak dapat menikmati welfare rights itu? Siapa “moral agent” dari advokasi itu? (cf perumpamaan tentang The Good Samaritan) Pluralitas tentang yang baik • Dalam membantu yg “worse off” menjadi “better off” ada konsep mengenai “yang baik” dan ini tidak seragam (tunggal). Sekedar contoh, bagi suatu masyarakat atau orang-orang tertentu, “tidak terdidik” merupakan deprivation yang lebih menekan daripada “tidak berharta”, dan sebaliknya. • Orang mungkin kecukupan harta benda (warisan), tapi mengalami kekurangan dalam kesehatan, difabled dsb. Apakah bagi mereka “difference principle” tak dapat diberlakukan? Pluralitas tentang yang adil: kisah ttg 3 anak dan sebatang buluh perindu • Anne: pintar meniup seruling dan ini diakui ke 2 anak lain. Baginya, yg adil ialah bila seruling itu jadi miliknya: utilitarianisme (everybody will be happy). • Bob: termiskin, tak punya satu mainan pun, sementara yang lain punya mainan berlebih (yg lain setuju). Baginya, yg adil ialah bila seruling itu jadi miliknya: egalitarianisme (kebutuhan minimal utk menjadi sesama) • Carla: tapi Carla adalah pembuat seruling itu sebagaimana diakui dua anak lain. Bagi Carla, yg adil ialah bila seruling itu tetap jadi milik si pembuat: libertarianisme (Nozick) Pluralitas ttg “yang baik” dan “yang adil” • Maka tidak ada “discussionless good” dan tidak ada “disscusionless justice”. Demokrasi menjadi “government by discussion” dan etika komunikasi Habermas menjadi penting. Partisipasi alteritas menjadi penting (termasuk difabled, ODHA dll) • Sebuah puak, agama, komunitas, individu mengejar “Kebaikan sempurna” dan “keadilan sempurna” sesuai dengan doktrin yang “rasional” (misalnya Rawls, Kant. Bentham, Mill, Nozick, Kristen, Islam, Budha, Hindu, Komunis dll). Namun keadilan Sen adalah “phronesis” (cf Aristoteles, Ricoeur) atau “practical wisdom” (Charles Taylor), atau “reasonableness” (Rawls dari Political Liberalism). Yg diupayakan bukan “menegakkan keadilan sempurna dalam sebuah institusi paripurna” melainkan “mengurangi ketidakadilan aktual”, mengusahakan “yang lebih adil”. Kebebasan, kapabilitas dan realisasi • Mungkin saja secara egaliter, semua punya “liberty”, mendapat peluang (bahkan dg difference principle atau prinsip maximin), tetapi tak punya kapabilitas untuk melakukan achievement (menangkap peluang yg diberikan). Kapabilitas dpt berupa faktor mental (pengetahuan, sikap thd hidup, dunia, sesama, waktu) maupun faktor fisik (kondisi tubuh, kesehatan dll.). Orang miskin diberi kail bukan ikan, tetapi dia tak punya akses pada ketrampilan mengail, mungkin malah sudah tak mampu menggerakkan tangan. • Sebaliknya kalau pelaksanaan prinsip maximin berupa pemberian achievement (“ikan”), kebebasan sbg prinsip pertama dapat dilanggar dan dalam pluralitas tentang “yang baik” belum tentu yg diberikan tsb dianggap sebagai “achievement” oleh penerimanya. Contoh, yg diberi adalah komunitas bukan pemakan ikan, tetapi pemakan ulat jati. Sekadar kesimpulan • Egalitarianisme yang “reasonably fair” memerlukan “difference principle” yang menguntungkan pihak-pihak “tertinggal”. (Besaran uang kuliah yg sama bagi semua calon mahasiswa, tak peduli kaya atau miskin, adalah diskriminasi terhadap calon yg miskin) • Perlu diperhatikan adanya aspek “kewajiban tak sempurna” yg tak jelas siapa agensi moralnya (apa pendidikan utk semua orang itu bukan tugas perguruan tinggi swasta pula?). • Perlu diperhatikan pluralitas “yang baik” dan “yang adil”. Partisipasi “moral patient” penting, mereka bukan obyek, tapi subyek (ibu-ibu di daerah pakumis tertentu usul bahwa mereka tak butuh raskin tapi butuh kondom, tak hanya 2 biji sebulan, tapi 10 untuk sebulan). • Perlu saling melengkapi antara pendekatan yg achievement-based, capability-based dan liberty-based (opportunity-based). SEKIAN DAN TERIMA KASIH