Logika Absurd Penodaan Agama Haikal Kurniawan* Pagi 7 Januari 2015 dunia dikejutkan dengan penembakan terhadap jurnalis oleh teroris muslim di kantor majalah Charlie Hebdo di Paris. Penembakan ini merupakan salah satu serangan teroris terburuk di Perancis selama beberapa tahun terakhir. Kasus seperti ini bukanlah yang pertama yang menimpa Charlie Hebdo. Kasus serupa juga terjadi pada tahun 2011 ketika sekelompok orang melempar kantor Charlie Hebdo dengan bom. Charlie Hebdo sendiri merupakan majalah satire Perancis yang berafiliasi dengan ideologi kiri ekstrem. Majalah ini kerap menerbitkan kartun-kartun yang sangat keras mengkritik agama, terutama agama-agama Abraham seperti Yahudi, Kristen dan Islam. Kasus penembakan diduga merupakan respon segelintir muslim ekstrimis yang merasa dilecehkan oleh majalah Charlie Hebdo yang dianggap menghina Nabi Muhammad. Kasus respon berlebihan umat Islam terhadap penodaan agama (blasphemy) seperti ini bukanlah yang pertama terjadi, dan sepertinya bukanlah yang terakhir. Masih segar di ingatan kita kasus fatwa mati Ayatollah Khomeini terhadap penulis novel “The Satanic Verses”, Salman Rushdie yang membuat dia bersembunyi selama bertahun-tahun. Hal serupa juga terjadi pada sutradara belanda Theo van Gogh yang ditembak di depan rumahnya karena membuat film “Submission”, serta anggota parlemen Belanda Geert Wilders yang harus mendapat perlindungan polisi selama 24 jam karena membuat film “Fitna”. Tidak cukup dengan penembakan dan pemboman, ratusan ribu umat Islam, baik di negara-negara mayoritas muslim maupun negara-negara Barat melancarkan demo besar-besaran dan tak jarang melakukan vandalisme dan kekerasan yang menimbulkan korban luka dan kematian. Di Barat sendiri justru tidak sedikit yang mempertanyakan, apakah kebebasan berekspresi yang mereka miliki sudah melampaui batas? Apakah agama layak mendapat keistimewaan sebagai suatu ide yang haram untuk dikritisasi dan dijadikan bahan lelucon? Hampir seluruh negara-negara mayoritas muslim (kalau tidak seluruhnya) memiliki hukum yang melarang tindakan blasphemy. Di negara-negara yang menerapkan Syariat Islam seperti Arab Saudi dan Iran, seseorang yang dianggap menghina Islam dapat dihukum mati. Di Indonesia, melalui Undang-Undang Nomor 1/PNPS/965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama, seseorang yang dianggap melakukan blasphemy dapat dihukum. Undangundang inilah yang menjadi senjata ampuh bagi kelompok- kelompok garis keras seperti Front Pembela Islam (FPI) dan bahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk melarang dan mengkriminalisasi aliran- aliran minoritas, seperti Jemaat Ahmadiyah dan Jemaat Lia Eden. Dalam tataran ideologis, sebagai seorang yang liberal, penulis sangat menentang berbagai instrumen hukum yang mengekang kebebasan beragama dan berekspresi dengan mengatasnamakan apapun. Satu-satunya ekspresi yang boleh dipidanakan adalah apabila ia telah mengancam keselamatan orang lain dengan mengadvokasi kekerasan terhadap individu maupun kelompok tertentu. Namun, dengan menggunakan logika sederhana, adakah argumen yang dapat dipakai untuk menentang aturan hukum yang melarang blasphemy? Suka atau tidak, harus diakui bahwasanya agama, seperti filsafat, sains dan ideologi politik, berisi ide, tesis, sintesis, pemikiran, pandangan, dan gagasan yang telah dikembangkan oleh manusia selama ribuan tahun. Sebagaimana filsafat, sains dan ideologi politik, tidak ada agama yang lahir dalam ruang hampa. Hampir setiap agama yang ada sekarang selalu berkaitan erat dengan agama-agama sebelumnya. Islam mendapat pengaruh dari Kristen, Kristen membawa warisan Yahudi, dan seterusnya. Selain itu, sebagaimana ide-ide lain yang dikembangkan oleh manusia, setiap agama berisi banyak kritikan keras terhadap agama-agama sebelumnya. Karena itu, hampir bisa dipastikan jika diuji dengan hukum positif Indonesia, hampir setiap agama melakukan blasphemy. Kristen menganggap Yahudi berdosa karena telah menghianati Kristus dan hal itu membuat orang-orang Yahudi mengalami diskriminasi dan genosida di Eropa selama berabad-abad. Islam menganggap Kristen telah menyimpang karena menganggap Yesus sebagai Putra Allah dan menyebutnya sebagai kaum sesat yang akan berakhir di neraka. Begitu pula agama Buddha yang mengkritik keras sistem kasta di agama Hindu. Jika hukum penodaan agama dilaksanakan secara komprehensif, bisa dipastikan akan mematikan seluruh agama yang ada karena setiap agama pasti menganggap dirinya yang terbaik dan setiap kitab suci, sekali lagi, berisi banyak kritikan keras agama-agama lainnya. Sebagai padanannya, larangan penodaan agama sama absurd-nya jika ada larangan “menodai” teori-teori sains dan ideologi politik karena sebagaimana agama, hampir semua teori-teori sains dan ide-ide dalam filsafat dan ideologi politik juga berisi kritikan dan revisi terhadap pemikiran sebelumnya. Bisa dibayangkan betapa terbelakangnya kita, jika kita memiliki hukum yang mengkriminalkan ide mekanika kuantum karena dianggap “menodai” hukum gerak Newton, dengan menyatakan bahwa hukum Newton tidak lagi mampu menjelaskan fenomena yang terjadi pada tataran sub-atomik; atau larangan menganut dan menyebarkan ide sosialisme karena dianggap “menghina” kapitalisme, serta melarang neokonservatisme karena dianggap “menghina” marxisme. Dalam tataran pragmatis, bisa dilihat hampir seluruh (kalau tidak seluruhnya) hukum blasphemy bersifat pandang bulu. Di Arab Saudi hukum ini hanya berlaku bagi mereka yang menodai Islam dan di Indonesia kelompok-kelompok yang menjadi sasaran adalah kelompok minoritas. Di berbagai media, baik cetak maupun elektronik, kita dapat menyaksikan pemuka agama dari berbagai macam latar belakang saling menghina dan melecehkan satu sama lain. Banyak ulama-ulama yang menyebut agama lain dan aliran minoritas, seperti Syiah dan Ahmadiyah dengan kata-kata yang tidak pantas di mimbar masjid dan mereka tidak ditangkap. Yang lebih menyedihkan justru orang-orang yang mengaku utusan Tuhan dan tidak melakukan kekerasan dianggap lebih melecehkan agama daripada orang-orang yang melukai orang lain dengan megatasnamakan agama. Tidak ada ide, pemikiran, maupun gagasan, baik yang berasal dari filsafat, sains, maupun agama yang dapat diberangus. Presiden Amerika Serikat pertama George Washington sudah mengingatkan tiga abad yang lalu, “If the freedom of speech is taken away then dumb and silent we may be led, like sheep to the slaughter”. Dalam masyarakat modern, hak-hak kebebasan setiap individu seperti kebebasan berekspresi, berpikir dan beragama merupakan hak yang tidak bisa dikurangi dan dihilangkan oleh siapapun, dimanapun, dan kapanpun. Negara sekular yang memberi jaminan kepada seluruh kelompok dan individu untuk hidup dan mendapat kebebasan merupakan solusi yang tidak bisa ditawar. Terlepas dari tantangan yang ada, kita harus tetap optimis bahwa Indonesia akan menjadi negara yang mampu melindungi hak dan kebebasan setiap individu dan kelompok tanpa diskriminasi apapun *Haikal Kurniawan adalah mahasiswa Ilmu Politik Universitas Indonesia. Minatnya dengan isu-isu Liberalisme, hak sipil dan kebebasan mulai meningkat di usia remaja, terutama ketika lulus dari bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) pada tahun 2009 dan akhirnya mendapat kesempatan menyalurkan hasratnya dengan mengunjungi dan berdiskusi di beberapa tempat seperti Teater Utan Kayu, Salihara dan Wisma Proklamasi, dan di tempattempat itu pula ia berkenalan dengan tokoh-tokoh Liberalisme yang kini menjadi pujaannya seperti Mill, Hayek dan Friedman. Bisa dihubungi melalui email: [email protected] twitter: @HaikalKurnia