KEADILAN SOSIAL MENURUT JOHN RAWLS Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S.1) Oleh: Mawardi NIM: 1030333127753 44 4 Universitas Islam Negeri SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA PROGRAM STUDI AQIDAH FILSAFAT FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2010 PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi yang berjudul “KEADILAN SOSIAL MENURUT JOHN RAWLS” ini telah diujikan dalam sidang munaqasah di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada hari Kamis tanggal 16 September 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Strata Satu (S1) pada Jurusan Aqidah Filsafat Faktultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 16 September 2010 Sidang Munaqasah Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota Drs. Agus Darmaji, M. Fils NIP. 19610827 199303 1 002 Dra. Tien Rohmatin, MA. NIP. 19680803 199403 2 002 Penguji I Penguji II Drs. Agus Darmaji, M. Fils NIP. 19610827 199303 1 002 Dr. Sri Mulyati, MA NIP.19560417 198603 2 001 Pembimbing Drs. Fakhruddin, MA. NIP. 19580714 198703 1 002 LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan gelar Strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua Sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarihi Hiadayatullah Jakarta 3. Jika di Kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Depok, 25 Agustus, 2010 Mawardi KATA PENGANTAR Dalam segala keterbatasan dan ke-dhaif-an penulis, tuntasnya skripsi ini merupakan nikmat dan karunia terbesar dari Allah subhanahu wa ta’ala. Tanpa kasih dan sayang, dan tanpa inayah dari-Nya, mustahil penulis mampu menulis, berpikir, dan menyelesaikan skripsi ini di titik nadir masa studi. Maka, sudah seharusnya pertama-tama penulis ucapkan rasa puji dan syukur kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala beserta Nabi Muhammad shallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian, tuntasnya skripsi pun merupakan totalitas harmoni kehidupan sosial. Tanpa bantuan, dorongan, dan motivasi dari orang-orang di sekitar penulis, mustahil skripsi ini dapat eksis dan tuntas. Kekuatan dan semangat untuk dapat menuntaskan tugas akhir ini digerakkan oleh berbagai elemen dari hidup penulis. Utamanya kedua orang tua, keluarga, teman, para dosen dan civitas akademika fakultas dan UIN , sahabat, dan lain-lain. Maka sebagai rasa hormat dari lubuk hati terdalam, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Drs. Fakruddin, MA., selaku pembimbing skripsi, yang telah berkenan dan sabar membimbing, menasehati, dan mengarahkan penulis. Dan juga terima kasih setinggi-tingginya atas kesediaannya menjadi pembimbing penulis dalam mengerjakan tugas akhir ini. 2. Bapak Dr. Zainun Kamal, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Bapak Drs. Agus Darmadji, M.Fils, selaku Ketua Jurusan, dan Ibu Dra. Tien Rahmatin, selaku Sekretaris Jurusan Aqidah Filsafat. Beserta seluruh staf pengajar di Jurusan Aqidah Filsafat, Fak. Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarih Hidayatullah Jakarta. 3. Kepada Bapak Penguji, Bapak Drs. Agus Darmadji, M. Fils., dan Ibu Dr. Sri Mulyati, yang telah berkenan dan bersedia untuk meluangkan waktunya menghadiri sidang ujian skripsi penulis. Utamanya, kepada Ibu Sri Mulyati ditengah kondisi suaminya yang kurang sehat bersedia untuk menjadi penguji. Dan juga penulis haturkan terima kasih setinggi- tingginya atas keikhlasan bapak dan ibu yang telah meluangkan waktunya untuk membaca, mengkoreksi, mengkritik, dan memberi komentar yang sangat berharga bagi perbaikan skripsi ini. 4. Kepada Ummi dan Abah, orang tua penulis. Keduanya adalah tiang utama dan pokok dari eksistensi skripsi ini. Tanpa keduanya, skripsi ini tidak pernah akan ada. Melalui keduanya, skripsi menjadi tidak sekedar ‘potensi’ melainkan bisa mewujud berkat kasih dan sayang dari keduanya yang ‘tanpa syarat’ apa pun. Skripsi ini tidak akan pernah ada tanpa jasa Ummi dan Abah. Semoga Allah selalu melindungi dan memberi kebaikan kepada keduanya dengan kebaikan yang berlipat dan lebih besar. 5. Kepada Abang penulis: Irfan Fahmi beserta Ka’ Ita, dan juga Kakak penulis: Hanna Maria beserta Bang Fadli, dan juga kepada adik penulis Darul Qutni, yang telah memberi dorongan dan semangatnya dengan caranya masing- masing. 6. Kepada teman-teman forum kajian Piramida Circle Bung Alawi, Maman, Hafidz, Ali, Ujang, Mbah Liem, Syauqi, Jenal, Rouf, Mukhlisin, Nafi, Faiq, Romo, Uci, Bdul, dan lain- lain. 7. Wabil khusus, meminjamkan kepada hardisk Fakruddin Mukhtar yang komputernya untuk penulis telah berkenan pakai. Tanpa bantuannya, skripsi ini mungkin masih tetap dalam lembaran-lembaran virtual dan tidak akan sampai ke meja munaqasah. Wabil khusus juga, kepada Agus Santoso, yang telah mau memberi ruangan tinggalnya untuk penulis berkontemplasi, mau berhujan-hujan ria menemani penulis ke Karawaci dan Serpong, dan bersibuk ria membeli hidangan untuk pada waktu ujian. Dan juga kepada Bung Hafiz yang telah meminjam dua bukunya yang amat berharga. Dengan dua buku itu, rimba belukar pemikiran Rawls menjadi lebih mudah ditelusuri dan dijejak. Terima kasih atas bantuan yang tulus dan ikhlas, semoga Allah memberi kebaikan yang berlimpah kepadamu. 8. Kepada teman-teman Aqidah Filsafat 2003: Fakhrul, Ujang, Syamsudin, Kusna, Tatang, Syamsul, Muni, Yanti, Nadia, Tri, Latifah, Ely, Syafei, Dedi, Zakaria, Mohalli, Setiawan, dan lain- lain. 9. Juga kepada semua orang-orang yang telah mendorong dan memberi semangat yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Depok, 16 September 2010 Mawardy DAFTAR ISI KATA PENGANTAR …………………………………………………..………….. i LEMBAR PERNYATAAN …………………………………………..…………… iv DAFTAR ISI ………………………………………………………..……………… v BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1 A. Latar Belakang Masalah ………………………………….……… 1 B. Tinjauan Pustaka ………………………………………...……… 14 C. Batasan dan Rumusan Masalah …………………………..…….. 17 D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………………………….……… 17 E . Metodelogi Penelitian ………………………………………….. 18 F . Sistematika Penulisan ……………………………………………19 BAB II BIOGRAFI JOHN RAWLS ………………………………...…… 21 A. Riwayat Hidup dan Pendidikan ……………………………...… 21 B. Karya-Karya Ilmiah dan Pengaruhnya ……………………….. 29 C. Latar Belakang Tradisi Pemikiran ………………………...…… 34 BAB III TINJAUAN UMUM KEADILAN SOSIAL …………………..... 39 A. Pengertian dan Hakikat Keadilan Sosial ……………….............. 39 B. Tiga Ciri Umum Keadilan ……………………………...……… 43 C. Pembagian Keadilan …………………………………………... 46 D. Sekilas Tiga Teori Keadilan ……………………………...……. 49 i BAB IV KONSEPSI KEADILAN SOSIAL MENURUT JOHN RAWLS ……………………………………………………………………….54 A. Lingkup Masalah Keadilan Sosial ………………………...…… 55 1. Timbulnya Masalah Keadilan Sosial ……………...…… 55 2. Subjek Utama Keadilan Sosial ………………………… 58 B. Dua Prinsip Keadilan Sosial …………………………………… 60 1. Konsepsi Umum ………………………………………. 60 2. Konsepsi Khusus ………………………………………. 64 a. Prinsip Pertama ……………………….……… 64 b. Prinsip Kedua ………………………………… 67 c. Hubungan antara Dua Prinsip Keadilan ..…… 70 C. Posisi Asali (Original Position) ……………………………….. 71 1. Legitimasi Prinsip Moral ……………………………… 72 2. Tabir Ketidaktahuan (a Veil of Ignorance) …………… 73 3. Rasionalitas dan Strategi Maximin ………………..…… 75 BAB V PENUTUP ………………………………………………………… 81 DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………82 ii 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pokok pembahasan utama yang hendak penulis ungkapkan dalam skripsi ini adalah tentang keadilan sosial berdasarkan teori keadilan yang dikembangkan oleh John Rawls (1921-2002). Pada awalnya, ide awal penulis untuk mengangkat pembahasan skripsi mengenai John Rawls bermula ketika pada pertengahan tahun 2009 penulis melihat video acara Justice with Michael Sandel di internet. Acara ini merupakan kuliah umum yang banyak diminati dan diikuti oleh ribuan mahasiswa Universitas Harvard setiap tahunnya. Materi-materi yang dibahas ialah berkaitan dengan masalah-masalah keadilan dalam perspektif para filsuf dalam bidang filsafat politik dan moral, dan kebetulan yang penulis lihat saat itu adalah tentang pembahasan mengenai keadilan John Rawls. Penulis sangat terkesan dengan kuliah umum tentang filsafat yang berlangsung di sebuah auditorium besar Universitas Harvard dengan setting tata cahaya dan lampu bak layaknya sebuah acara program talk show di televisi yang penuh gemerlap. Penulis terkesan karena jarang sekali ada sebuah acara yang membahas tentang filsafat dengan begitu mengasyikkan dan menghibur dan menarik minat begitu banyak mahasiswa. Program yang dipandu langsung oleh Michael Sandel, seorang profesor filsafat di Harvard, yang terkenal sebagai tokoh Neo-Aristotelian Komunitarian, berlangsung interaktif dengan audiens, dialogis, seru, dan menghibur. Ia membahas berbagai pemikiran para filsuf tentang 2 keadilan, di antaranya John Rawls. Dari sinilah kemudian penulis terdorong dan tertarik untuk memahami lebih lanjut tentang John Rawls. Secara khusus, alasan pokok penulis pembahasan mengenai pemikiran Rawls didasarkan pada arti penting pemikirannya bagi perkembangan kajian filsafat politik normatif abad ke-20. Rawls, bisa dikatakan, merupakan salah satu dari pemikir-pemikir penting dalam bidang filsafat politik yang terkemuka sepanjang pertengahan abad ke-20 hingga sekarang. Gagasan John Rawls mengenai keadilan tertuang dalam karya utamanya, A Theory of Justice, yang diterbitkan kali pertama pada tahun 1971. Buku ini oleh banyak kalangan dianggap sebagai karya terpenting dalam bidang filsafat politik selama seratus tahun terakhir. Sebelum terbitnya A Theory, kajian filsafat politik tengah mengalami masa redup dan kelesuan serta tidak menunjukkan suatu progres yang signifikan. Hal demikian dikarenakan tidak adanya lagi karya-karya besar berpengaruh yang lahir dan muncul pasca karya John Stuart Mill pada pertengahan abad ke-19. Akan tetapi, kondisi itu sontak berubah dengan kehadiran A Theory yang mendorong dan membawa gairah serta semangat baru dalam perkembangan kajian filsafat politik. Pasca A Theory, berbagai diskusi, kajian, artikel-artikel dan mimbarmimbar ilmiah hingga karya-karya besar semisal Anarchy, State and Utopia karya Robert Nozick; Liberal Theory of Justice karya Brian Barry, dan sebagainya, bermunculan sebagai reaksi terhadap karya Rawls. Karya Rawls juga telah melahirkan berbagai perdebatan filosofis di berbagai universitas, buku-buku maupun jurnal-jurnal filsafat terkemuka. Di antara debat filosofis antara Rawls 3 dengan para kritikusnya yang paling terkemuka dan riak-riaknya masih bergelombang hingga kini ialah debat yang dikenal dengan ―Debat LiberalKomunitarian‖. Debat ini melibatkan para filsuf dalam tradisi liberal yang mewarisi filsafat Immanuel Kant (Neo-Kantian) dengan kelompok filsuf yang dikenal dengan sebutan ―Komunitarian‖ yang sangat dipengaruhi oleh filsafatnya Aristoteles, karena itu mereka juga disebut Neo Aristotelian, dengan tokohtokohnya seperti Michael Sandel, Charles Taylor dan lain- lain. Pengaruh A Theory begitu luas. Selang sepuluh tahun sejak diterbitkannya, karya Rawls ini telah diterjemahkan ke dalam dua puluh tujuh (27) bahasa di dunia (termasuk bahasa Indonesia), dan juga ada sekitar 2500 artikel yang membahas tentang karya Rawls tersebut. Samuel Freeman, seorang profesor filsafat Universitas Pennsylvania, mengatakan bahwa berbagai komentar atas A Theory yang berlimpah ini menunjukkan betapa kuat dan luasnya pengaruh ide dan gagasan Rawls yang merangsang berbagai kontroversi intelektual dan filosofis.1 Secara umum, signifikansi pemikiran John Rawls dalam konteks filsafat dapat disimpulkan ke dalam sebuah catatan sebagaimana diutarakan oleh Will Kymlicka berikut ini: ―Rawls memiliki arti penting historis tertentu [pertama] dalam mendobrak kebuntutan intusionisme dan utilitarianisme. Tetapi teorinya penting karena alasan yang lain. [Kedua] Teori Rawls mendominasi filsafat politik, bukan dalam arti disepakati secara luas, sebab hanya sedikit orang yang setuju dengan seluruh teorinya, tetapi dalam arti bahwa para ahli teori yang muncul belakangan telah mempertegas dirinya berlawanan dengan Rawls. Mereka menjelaskan apa teori mereka dengan 1 Samuel Freeman (ed), The Cambridge Companion to Rawls, (New York: Cambridge University Press, 2003), h. 1 4 membandingkannya dengan teori Rawls. Kita tidak akan memahami karya tentang keadilan yang muncul belakangan ini jika kita tidak memahami Rawls.‖2 Dari deskripsi mengenai arti penting teorinya keadilannya dalam kajian filsafat politik sebagaiman penjelasan penulis di atas, maka hal tersebut mendorong minat dan ketertarikan penulis untuk mengangkat dan membahas teori keadilan Rawls. Hal demikian menjadi alasan mengapa penulis mengangkat pembahasan keadilan sosial berdasarkan teori keadilan yang dikembangkan oleh Rawls. Wacana keadilan sosial yang berkembang dewasa ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh teori keadilan Rawls, sebagaimana dijelaskan Kymlicka di atas. Maka penelitian mengenai pemikiran Rawls tentang keadilan menjadi sebuah usaha dan upaya yang penting dan signifikan dalam rangka memahami lebih lanjut karya-karya tentang keadilan dewasa ini. Dalam rangka teori keadilan, ―keadilan sosial‖ sering disebut juga sebagai ―keadilan distributif‖, di mana keduanya seringkali digunakan secara bergantian. Keadilan distributif berkenaan dengan pembagian nikmat dan beban dalam kehidupan sosial. Jenis keadilan satu ini memiliki tradisi pemikiran panjang yang ditemukan dalam teori keadilan Aristoteles. Keadilan distributif ini berhubungan dengan masalah membagi yang adil. Keputusan dalam membagi yang adil haruslah didasarkan pada prinsip-prinsip yang dapat dipertanggungjawabkan, baik secara intuitif maupun rasional. Artinya, prinsip dalam membagi sesuai dengan kesadaran intuitif seseorang tentang apa yang adil (sense of justice), sekaligus sejalan dengan pertimbangan akal sehat (rasional). 2 Will Kymlicka, Pengantar Filsafat Politik Kontemporer: Kajian Khusus atas TeoriTeori Keadilan, terj. Agus Wahyudi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 70. Tanda kurung dalam kutipan di atas berasal dari penulis. 5 Keadilan sosial dipahami sebagai keadilan yang berkaitan dengan bagaimana seharusnya hal-hal yang enak untuk didapatkan dan yang menuntut pengorbanan, keuntungan (benefits) dan beban (burdens) dalam kehidupan sosial dibagi dengan adil kepada semua anggota masyarakat. Dengan pengertian sederhana ini, suatu kondisi sosial atau pun kebijakan sosial tertentu dinilai sebagai adil dan tidak adil ketika seseorang, atau golongan/sekelompok orang tertentu hanya mendapatkan keuntungan yang sedikit dari apa yang seharusnya mereka peroleh, atau beban yang begitu besar dari apa yang seharusnya mereka pikul.3 Dalam hal ini, pengertian ―distribusi‖ tidak boleh dipahami secara literal, yakni seolah-olah diandaikan adanya ‗agen‘ yang bertugas membagikan atau mendistribusikan barang-barang. Melainkan ―distribusi‖, pengertiannya lebih ditujukan pada ―cara‖ bagaimana lembaga-lembaga sosial utama menentukan hak dan kewajiban, dan mengatur pembagian nikmat dan beban dengan layak.4 Pertautan makna keadilan sosial dengan keadilan distributif menjadi semacam cara praktis untuk membedakan batas lingkup kajian keadilan sosial dengan keadilan hukum, atau keadilan retributif. Aristoteles membagi tiga macam keadilan: keadilan umum, keadilan distributif, dan keadilan retributif. Secara umum, tiga macam keadilan itu bisa disederhanakan menjadi dua saja 3 David Miller, Principles of Social Justice, (London: Harvard University Press, 1999), 4 David Miller, Principles of Social Justice, h. 2 h. 1 6 ditinjau dari segi pokok persoalannya, yaitu: keadilan distributif dan keadilan retributif.5 Keadilan retributif berkenaan dengan ―hukuman‖ (punishment). Masalah pokoknya ialah bagaimana orang yang melakukan kesalahan dihukum dengan adil. Keadilan retributif berkenaan dengan kontrol bagi pelaksanaan keadilan distributif, lebih berhubungan dengan keadilan legal atau hukum. 6 Adapun keadilan Masalah distributif berkenaan dengan ―pembagian‖ (distribution). pokoknya berkaitan dengan bagaimana membagi dengan adil. Kendati hakikatnya berbeda, terdapat titik temu antara keduanya, yaitu setiap putusan untuk menghukum maupun membagi haruslah didasarkan pada prinsip-prinsip yang dapat dipertanggungjawabkan secara moral maupun akal sehat. Dari keduanya, keadilan distributif termasuk jenis keadilan paling penting karena terbilang banyak menimbulkan kesulitan. Soalnya, bagaimana seharusnya membagi dengan adil kepada setiap orang, karena setiap orang ingin bagian yang lebih banyak daripada bagian yang sedikit, sementara itu tidak tersedia barang yang cukup untuk memenuhi kebutuhan semua orang. Semakin terbatas dan langka suatu barang atau nikmat maka ia semakin bernilai dan berharga. Barangbarang sosial yang berharga itu tidak sekedar yang bersifat immaterial semisal kekayaan dan pendapatan, tapi juga immaterial seperti kekuasaan, kebebebasan, kesempatan dan kehormatan, serta lain sebagainya. Barang-barang sosial itu harus dibagi dengan adil kepada semua orang. Dalam arti, pokok persoalan keadilan 5 John Christman, Social and Political Philosophy: A Contemporary Introduction, (London: Routledge, 2002), h. 60 6 Bur Rasuanto, Keadilan Sosial: Pandangan Deontologis Ra wls dan Habermas. Dua Teori Filsafat Politik Modern, (Jakarta: Gramedia, 2004), h. 6 7 sosial itu mencakup pembagian dalam tiga bidang, yang disebut juga sebagai masalah standar dalam keadilan sosial: politik (kuasa), ekonomi (uang), dan sosial (status). Tiga bidang ini dalam skripsi ini kelak akan disebut dengan ―nilai-nilai primer sosial‖. Secara garis besar, prinsip keadilan sosial dibagi menjadi dua macam. Dua macam prinsip: prinsip formal dan prinsip substantif atau material. Kedua prinsip ini juga bisa disebut dengan keadilan formal dan keadilan substantif. 7 Prinsip keadilan formal itu hanya ada satu saja, yakni prinsip persamaan.8 Prinsip ini memiliki tradisi pemikiran panjang, di mana Aristoles yang merumuskannya. Prinsip formal berbunyi: ―equals ought to be created equally and unequals may be treated unequally‖. Prinsip ini bisa dipahami sebagai ―orang-orang yang sama‖ atau ―hal-hal yang sama‖ harus diperlakukan secara sama, sedang orang atau hal yang tidak sama boleh diperlakukan tidak sama. Akan tetapi, prinsip formal ini hanya menyajikan ―bentuk‖ dan tidak mempunyai ―isi‖.9 Memang disebutkan bahwa pada orang-orang atau hal-hal yang sama harus diperlakukan dengan cara yang sama, tetapi prinsip ini tidak menjelaskan apa yang harus dimengerti dengan ‗orang-orang yang sama‘, dan ‗hal-hal yang sama‘. Prinsip ini tidak menerangkan pada segi apa manusia atau hal-hal dan kasus-kasus tertentu harus dianggap sama atau tidak sama. 7 Morris Ginsberg, Keadilan dalam Masyarakat, (Yogyakarta: Pondok Edukasi, 2003), h. vii. 8 Dalam etika sering dikatakan, ada tiga hal umum yang selalu berkaitan dengan keadilan. (1) Keadilan selalu tertuju kepada orang lain, (2) Keadilan menuntut untuk ditegakkan (kewajiban), dan (3) Keadilan menuntut persamaan. 99 Morris Ginsberg, Keadilan dalam Masyarakat; 8 Oleh karena itu, prinsip formal sulit dijadikan pegangan untuk membagi dengan adil, maka perlu ada prinsip-prinsip substantif yang melengkapi prinsip formal. Prinsip-prinsip substantif merujuk pada salah satu aspek yang relevan yang bisa dijadikan untuk membagi hal-hal yang dicari oleh pelbagai orang. Jika prinsip formal (bentuk) hanya ada satu, ―prinsip persamaan‖, maka prinsip substantif selalu masih dalam perdebatan dan proses. Kendati begitu, ada pandangan yang dominan dan menjadi pandangan umum yang melandasi berbagai teori-teori keadilan kontemporer ini ialah ―egalitarianiasme‖. Egalitarianisme adalah nilai dasar bagi wacana keadilan sosial. Dalam hal ini kita patut mencermati apa yang dikatakan oleh Will Kymlicka mengenai teori egalitarianisme berikut ini: ―…Setiap teori memiliki nilai utama yang sama, yaitu persamaan (equalitiy). Semuanya merupakan teori-teori ‗egalitarian‘. Pernyataan semacam ini jelas tidak benar, jika yang kita maksudkan adalah dengan ‗teori egalitarian‘ adalah teori yang mendukung distribusi pendapatan yang merata. Namun ada gagasan lain, yang lebih abstrak dan fundamental, tentang persamaan dalam teori politik, yaitu gagasan mengenai memperlakukan orang ‗secara sama‘. Ada banyak cara untuk mengungkapkan gagasan tentang persamaan yang lebih mendasar ini. Sebuah teori adalah egalitarian menurut pengertian ini jika teori tersebut menerima bahwa kepentingan tiap-tiap anggota masyarakat itu penting dan samasama penting. Dengan kata lain, teori egalitarian mensyaratkan bahwa pemerintah memperlakukan warga negara dengan pertimbangan yang sama…Jadi, gagasan tentang persamaan yang bersifat abstrak dapat ditafsirkan dengan berbagai cara, tanpa harus mendukung persamaan dalam bidang khusus tertentu, apakah itu pendapatan, kekayaan, kesempatan, atau kebebasan. Mana bentuk khusus persamaannya yang diminta oleh gagasan memperlakukan orang secara sama yang lebih abstrak, itu merupakan masalah yang menjadi perdebatan berbagai teori...‖10 10 Will Kymlicka, Pengantar Filsfat Politik Kontemporer, h. 5-6 9 Dengan demikian, prinsip persamaan adalah nilai dasariah dari keadilan sosial.11 Gagasan persamaan tidak dipahami sebagai persamaan dalam distribusi atau pembagian, tetapi persamaan dalam memperlakukan manusia dengan sama. Manusia itu pada hakikatnya sama, dalam arti martabatnya. Pandangan egalitarianisme ini mendapat simpati luas. Semua manusia pada hakikatnya memang sama dari segi martabat. Tidak ada martabat manusia satu lebih tinggi daripada manusia lainnya. Pemikiran ini merupakan keyakinan umum sejak zaman modern, artinya sejak Revolusi Perancis menumbangkan monarki absolut dan feodalisme. Dalam artikel pertama dari ―Deklarasi Hak Manusia dan Warga Negara‖ (1789) yang dikeluarkan pada waktu Revolusi Perancis dapat dibaca: ―manusia dilahirkan bebas serta sama haknya, dan mereka tetap tinggal begitu‖. Dalam konteks filsafat, pandangan ini umumnya didasarkan pada paham deontologis dalam etika Immanuel Kant. Kant beranggapan bahwa manusia itu menduduki wilayah ciptaan yang istimewa. Menurut pandangannya, manusia mempunyai ―nilai instrinsik‖, yakni martabat, yang membuatnya bernilai ―mengatasi segala harga‖. Manusia adalah tujuan pada dirinya sendiri, tidak boleh diperlakukan deontologis sebagai tidak alat.12 mengijinkan Dalam konteks martabat keadilan manusia sosial, pandangan dikorbankannya demi kepentingan atau pun manfaat ekonomi, politik dan lainnya. Hal inilah yang membuat prinsip utilitarianisme ditolak sebagai landasan bagi konsep keadilan 11 Agus Wahyudi, ―Filsafat Politik Barat dan Masalah Keadilan: Catatan Kritis atas Pemikiran Will Kymlicka‖ dalam Jurnal Filsafat, April 2004, Jilid 36, Nomor 1 12 Onora Oneil, ―Catatan Sederhana Tentang Etika Kant‖, dalam Etika Terapan I, ed. Lary May, dkk, terj. Sinta Carolina, dkk, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), 51-54 10 sosial, karena menempatkan mengorbankan hak dan martabat manusia demi kepentingan umum. Lebih lanjut, kesepakatan bersama mengenai apa yang tidak adil, ketidakadilan sosial, lebih sering tercapai ketimbang sebaliknya. Masyarakat umumnya memiliki perasaan keadilan (sense of justice) yang cukup peka untuk menilai suatu hubungan-hubungan sosial atau kondisi sosial tertentu sebagai tidak adil. Tapi berbeda halnya untuk menentukan kondisi atau hubungan sosial sebagai adil. Karena kesadaran keadilan masyarakat bukan sesuatu yang sudah jadi melainkan terus berproses dalam kerangka dialogis. Dalam arti, keadilan sosial, secara negatif, relatif mudah ditentukan, namun penentuan positif mengenai kondisi sosial dan hubungan-hubungan sosial mana yang dapat disebut adil seringkali sulit dicapai kesepakatan. Untuk itu, kesadaran intuitif masyarakat mengenai apa yang adil dan tidak adil saja tidak cukup dalam membangun konsep keadilan sosial, maka kita perlu teori untuk memperjelas kesadaran moral atau sentimen moral mengenai apa yang adil tersebut dalam bentuk yang lebih jelas. Inilah tugas teori keadilan. Sebagaimana penulis jelaskan bahwa putusan moral mengenai pembagian yang adil itu haruslah didasarkan pada prinsip-prinsip yang dapat dipertanggungjawabkan, baik secara intuitif maupun rasional. Inilah peran teori keadilan untuk menyelaraskan apa yang secara intuitif disebut adil, mempertanggungjawabkan, membenarkan atau menjustifikasinya di kemudian hadapan argumen rasional. Dalam teori keadilan Rawls, hal ini disebut dengan reflective equilibrium, keseimbangan antara argumen intuitif dengan argumen rasional. 11 Itulah poin-poin penting yang penulis anggap patut dicermati dalam analisis keadilan sosial di dalam skripsi ini. Bagi Rawls, kesepakatan bersama mengenai keadilan sosial, atau apa yang adil dan tidak adil, dalam kehidupan sosial masyarakat modern yang pluralistik adalah sesuatu hal yang menjamin integritas sosial, stabilitas, dan keberlanjutan sebuah masyarakat. Prinsip keadilan sosial dibutuhkan untuk mengatur cara bagaimana lembaga-lembaga sosial utama mendistribusikan hak dan kewajiban, nikmat dan beban hasil kerja sama sosial masyarakat itu dengan adil kepada semua anggota masyarakat. Prinsip-prinsip keadilan sosial itu hanya dapat secara efektif mengatur masyarakat hanya apabila ia dapat diterima oleh semua orang. Akseptabiltias publik atau penerimaan semua orang terhadap prinsip keadilan sosial yang akan mengatur mereka apabila prinsip-prinsip itu mampu menjamin dan mengakomodasi kepentingan semua orang, khususnya orang-orang yang lemah secara ekonomi dan sosial. Bagi Rawls, prinsip keadilan sosial bagi Rawls tidak sekedar mendistribusikan nilai-nilai sosial primer dengan adil, melainkan juga bagaimana prinsip-prinsip distributif itu bisa diterima oleh semua orang. Lebih jauh, prinsipprinsip keadilan sosial Rawls diposisikan landasan dasar bagi sebuah kerja sama sosial sebuah masyarakat yang tertata dengan baik (well-ordered society). Masyarakat tertata dengan baik dalam studi filsafat politik merupakan sebuah konsepsi ideal mengenai bagaimana seharusnya masyarakat diatur dengan baik. Sebagaimana diketahui, filsafat politik menuntut agar segala klaim atas hak untuk 12 mengatur masyarakat dipertanggungjawabkan pada prinsip-prinsip moral dasar. Dalam hal ini, keadilan adalah prinsip moral dasar. Rawls adalah seorang pendukung egalitarianisme. Dalam arti, ia setuju bahwa nilai dasariah keadilan sosial adalah prinsip persamaan. Kendati begitu, Rawls bukan seorang egalitarian radikal dalam arti ia juga menerima prinsip ketidaksamaan. Prinsip persamaan baginya bukan persamaan dalam distribusi atau pembagian, melainkan persamaan manusia dari segi martabatnya. Hal ini menunjukkan bahwa prinsip keadilan sosialnya menempatkan manusia sebagai tujuan utama, bukan sekedar alat. Hal ini dapat dipahami karena ia merupakan seorang Neo-Kantian. Dengan ini, utilitarianisme ditolak olehnya sebagai basis bagi keadilan sosial, karena sifatnya yang teleologis –yang-manfaat (the good) prioritas yang-hak (the right)— konsekuensinya utilitarianisme meletakkan manusia sebagai alat dan sarana belaka untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagian. Karena itulah keadilan sosial tidak dapat dijamin oleh utilitarianisme. Sementara itu, basis keadilan sosial Rawls sendiri didasarkan pada landasan deontologis, yakni yang-hak prioritas atas yang manfaat. Manusia adalah tujuan pada dirinya sendiri. Martabat manusia itu harus dihormati, tapi martabat manusia itu ditandai dari segi apa? Tegasnya Rawls berusaha mereflesikan inti persamaan itu dalam kehidupan sosial. Karena itu, prinsip keadilan sosial adalah prinsip substantif, bukan prinsip formal. Dengan demikian, Rawls mengakomodasi prinsip persamaan sebagai nilai dasariah bagi keadilan sosial, tapi juga sekaligus menerima prinsip ketidaksamaan. Tegasnya konsep keadilan sosialnya menyusur pada dua tepi: 13 kesamaan dan ketidaksamaan. Akan tetapi, apa yang harus dibagi secara sama, dan juga apa yang boleh dibagi dengan tidak sama. Yang paling penting ialah sebatas mana ketidaksamaan itu diperbolehkan. Lalu, hal-hal apa saja yang harus dibagi dengan adil kepada semua orang. Apakah terbatas pada nikmat-nikmat sosial, atau juga mencakup nikmat alamiah semisal, kecerdasan, kepintaran dan sebagainya. Kemudian, juga penting ialah bagaimana ia menemukan prinsipprinsip keadilan sosial itu? Karena sebagaimana diketahui, prinsip keadilan sosial adalah prinsip moral. Dalam arti, prinsip keadilan adalah perkara moral, jadi tidak dideduksi dari prinsip yang terbukti benar begitu saja, sebagaimana prinsip Cartesian. Tegasnya, prinsip moral itu harus sesuai dengan kesadaran moral intuitif (subjektif), tapi bagaimana prinsip keadilan sosialnya dapat dipertanggungjawabkan secara rasional (objektif) tanpa harus bertentangan dengan intuisi. Ini tak lepas dari tujuannya bahwa integritas sosial dan stabiltas masyarakat hanya tercapai apabila prinsip keadilan sosial itu adalah manifestasi kehendak umum, hasil kesepakatan bersama. Ini mengungkapkan gagasan utamanya teorinya yang disebut dengan justice as fairnees. Maksudnya, prinsip-prinsip keadilan sosial merupakan hasil kesepakatan orang-orang yang rasional, bebas, dan setara dalam situasi awal persamaan yang fair. Alhasil, dengan berbagai latar belakang masalah dan pertimbangan yang ada, maka skripsi ini penulis beri judul: ―Konsep Keadilan Sosial Menurut John Rawls”. Pijakan sederhananya, keadilan sosial adalah keadilan yang berkaitan dengan pembagian nikmat dan beban dalam masyarakat sebagai sebuah bentuk 14 kerja sama sosial, di mana manifestasi kerja sama sosial itu termanifestasi dalam lembaga yang disebut negara. Konsep keadilan sosial berkaitan dengan prinsipprinsip yang mengatur pembagian tersebut. Dengan demikian, teori keadilan berusaha merumuskan prinsip-prinsip dasar bagi terwujudnya masyarakat yang adil, di mana nilai-nilai sosial primer bisa terbagi dengan adil kepada semua anggota masyarakat. Bagi Rawls, hal demikian sama dengan mempertanyakan apa prinsip-prinsip dasar bagi terwujudnya masyarakat yang adil. B. TINJAUAN PUSTAKA Pemikiran John Rawls memiliki pengaruh besar dan arti penting dalam memengaruhi perkembangan wacana filsafat abad ke-20. Maka tak heran apabila ada banyak karya atau buku-buku yang juga mengupas dan menjelaskan pemikiran Rawls. Di antara penulis Indonesia yang telah mengupas pemikirannya antara lain: (1) Bur Rasuanto dengan bukunya yang berjudul Keadilan Sosial: Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas (2004); dan (2) Andre Ata Ujan dengan bukunya, Keadilan dan Demokrasi: Telaah Filsafat Politiik John Rawls (2001). Buku pertama, Keadilan Sosial: Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas, merupakan disertasi Bur Rasuanto yang diterbitkan oleh penerbit Gramedia. Pokok kajian dalam buku ini kajian komparatif antara teori keadilan kontrak John Rawls dan teori diskurus Jurgen Habermas. Rasuanto menggunakan istilah ―keadilan sosial‖ sebagai judul bukunya, namun ia menerangkan bahwa istilah ―keadilan sosial digunakan sebagai istilah umum‖. Lebih lanjut, buku ini berusaha menjelaskan perbandingan kedua teori tersebut dalam upaya 15 membangun persetujuan konsensus bersama tentang prinsip-prinsip dasar bagi masyarakat modern. Titik tekan buku ini ialah mengelaborasi titik persamaan dan perbedaan serta posisi antara teori diskursus Habermas dalam hubungannya dengan teori keadilan kontrak Rawls. Dalam hasil penelitiannya itu, Rasuanto menjelaskan bahwa teori keadilan kontrak Rawls merupakan justifikasi bagi teori diskursus Habermas. Dalam menerangkan teori keadilan Rawls, Rasuanto berpegang dan bertolak dari pertanyaan yang diajukan Rawls dalam bukunya, Political Liberalism (1993). Rasuanto menulis rumusan masalah bukunya, ―bagaimanakah suatu masyarakat stabil dan adil yang warganya bebas dan sederajat namun secara mendalam terpecah dalam doktrin-doktrin moral, filsafat, dan agama yang saling berkonflik bahkan tidak dapat didamaikan itu mungkin‖.13 Pertanyaan ini adalah pertanyaan dasar yang diajukan Rawls dalam Political Liberalism (1993). Buku Rawls ini merupakan pengembangan lebih lanjut dari ide-ide dan gagasan yang dikemukakannya dalam A Theory of Justice (1971), di mana ia melihat toleransi merupakan salah satu ciri atau nilai yang harus ada dalam masyarakat modern. Jadi, Rasuanto membicarakan teori keadilan Rawls berikut pergeseran pemikirannya dari dalam A Theory of Justice ke konsepsi keadilan politik dalam Political Liberalism. Sementara buku kedua, Keadilan dan Demokrasi: Telaah Filsafat Politik John Rawls, merupakan karya tesis Andre Ata Ujan yang diterbitkan oleh penerbit Kanisus tahun 2001. Di buku ini, Ata Ujan mengelaborasi teori keadilan Rawls 13 Bur Rasuanto, Keadilan Sosia, h. 21. 16 dalam hubungannya dengan masalah demokrasi, dan juga bagaimana implikasi teori tersebut dalam penataan politik dan ekonomi. Kajian buku ini berusaha mencari dan menemukan elemen-elemen fundamental dari teori keadilan Rawls yang dapat diterapkan pada masalah- masalah dalam masyarakat demokrasi. Dalam kaitannya dengan skripsi ini, mengelaborasi masalah-masalah yang pembahasan skripsi ini tidak diungkapkan Rawls dalam bukunya Political Liberalism, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasuanto. Kemudian, penulis juga tidak membahas bagaimana implikasi dan penerapan teori Rawls dalam penataan ekonomi dan politik dalam masyarakat demokrasi. Penulis dalam dalam hal ini, membatasi pembahasan skripsi ini lebih kepada teorinya yang dikembangkan oleh Rawls dalam A Theory of Justice (1971), dan juga tidak berusaha membahas mengenai pergeseran pemikirannya dalam Political Liberalism. Hal ini dikarenakan masalah yang berusaha penulis kaji di sini fokus pada bagaimana Rawls merefleksikan substansi keadilan sosial. Penulis juga lebih condong menggunakan logika pembahasan yang digunakan Rawls sendiri dalam menerangkan teorinya dalam A Theory of Justice, di mana ia membagi teori keadilan-nya menjadi dua bagian, isi (content) dan metode (method). Menurut Paul Graham, teori keadilan Rawls membagi teorinya menjadi dua bagian. Bagian pertama membahas mengenai metode (method) Rawls menemukan prinsip- prinsip keadilan sosial. Bagian kedua membahas mengenai ―isi‖ atau ―substansi‖ dari prinsip-prinsip keadilan sosial. Dua bagian ini bukan dua hal yang terpisah, 17 melainkan satu kesatuan yang membentuk konsepsinya tentang keadilan sosial ideal. 14 C. BATASAN DAN RUMUSAN MASALAH Dari uraian dalam latar belakang masalah dan tinjauan pustaka di atas, maka agar pembahasan mengenai keadilan sosial di sini tidak terlalu melebar, penulis akan membatasi pembahasan ini pada konsepsi keadilan sosial yang ditawarkan John Rawls dengan mengurai teorinya dan perspektif yang diajukannya. Dengan pembatasan masalah seperti ini, maka permasalahan yang akan menjadi objek dan fokus penulisan ini adalah bagaimana konsepsi keadilan sosial menurut John Rawls. D. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui dan memahami secara lebih jelas konsepsi ideal yang ditawarkan oleh John Rawls mengenai keadilan sosial. Serta melakukan analisis kritis terhadapnya. Sementara kegunaan penelitian ini adalah untuk mengetahui hal-hal sebagai berikut: 1. Mengetahui bagaimana timbulnya masalah keadilan sosial, sumber ketidakadilan sosial, dan apa saja yang harus dibagi dengan adil kepada semua anggota masyarakat? 2. Mengetahui prinsip-prinsip dasar bagi terwujudnya sebuah masyarakat yang adil 14 Paul Graham, Rawls, (Oxford: OneWorld Publication, 2007), h. 15 18 3. Mengetahui metode dalam membangun sebuah konsensus rasional dalam merumuskan prinsip-prinsip keadilan substantif. 4. Mengetahui konsepsi ideal mengenai keadilan sosial bagi terciptanya sebuah masyarakat yang tertata dengan baik, atau mengetahui bagaimana seharusnya masyarakat diatur dengan baik dan benar? E. METODOLOGI PENELITIAN DAN TEKNIK PENULISAN Dalam menyusun skripsi ini, penelitian, yaitu studi kepustakaan. penulis menggunakan satu Studi kepustakaan metodelogi bertujuan untuk memperoleh data melalui sumber bacaan meliputi buku-buku dan artikel yang ditulis oleh John Rawls, khususnya buku A Theory of Justice15 yang memuat secara lengkap teorinya. Selain itu studi kepustakaan ini akan diperkaya dengan sejumlah data yang ditulis oleh penulis lain mengenai Rawls atau mengenai teorinya, atau juga mengenai keadilan sosial secara umum dan lain sebagainya yang berkenaan dengan pembahasan skripsi. Sementara teknik penulisan dalam karya tulis ini, analisis data yang digunakan bersifat kualitatitf dengan teknik pembahasan deskriptif analitis yang bertujuan menggambarkan konsep keadilan sosial ideal menurut John Rawls. Tentu saja, pengumpulan data, pembahasan masalah, dan penulisan dalam skripsi ini disesuaikan dengan Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, Dan Disertasi) yang diterbitkan Center for Quality Development and Assurance (CeQDA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 15 Dalam skripsi ini penulis menggunakan A Theory of Justice edisi terjemahan bahasa Indonesia, dengan judul Teori Keadilan: Dasar-Dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Negara, terj. Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001) 19 F. SISTEMATIKA PENULISAN Setelah penulis memaparkan latar belakang masalah, pokok-pokok masalah, tujuan, metode, serta sistematika penulisan, pada bab BAB II penulis mencoba memaparkan dengan jelas riwayat hidup, latar belakang pendidikan, karya-karya tulis ilmilahnya, dan latar belakanng tradisi pemikirannya. Pada BAB III, penulis akan menyajikan tinjauan umum atas teori keadilannya. Penjelasan pada ini bertujuan memberikan pemahaman umum mengenai teorinya sebelum memasuki konsepsinya mengenai keadilan sosial. Di BAB III ini, penulis sudah mulai memasuki bagian teorinya. Kendati demikian, poin-poin yang dijelaskan lebih pada pokok-pokok atau gambaran besar dari teorinya. Dengan demikian, tidak ada terjadi tumpang tindih dengan bab setelahnya, dan justru menjadi batu pijakan awal yang lebih mudah dalam memahami pembahasan bab selanjutnya. Pokok-pokok teorinya yang akan dibahas adalah tujuan dan latar belakang teorinya, gagasan utama teorinya, ―Justice as Fairness‖, dan metode yang digunakan dalam teori keadilannya. Uraian dalam BAB IV dibagi menjadi tiga bagian. Pada bagian pertama penulis menguraikan lebih dahulu mengenai lingkup masalah keadilan sosial. Pembahasan ini mencakup timbulnya masalah keadilan sosial, subjek utama keadilan sosial, dan nilai-nilai sosial primer, yakni hal-hal yang harus dibagi dengan adil kepada semua orang. Lalu bagian kedua menguraikan mengenai isi dari prinsip-prinsip keadilan sosial yang dikemukan secara intuitif oleh Rawls, yakni dua prinsip keadilan sosial. Uraian di sini meliputi prinsip pertama, prinsip kedua, dan hubungan atau 20 aturan prioritas antara kedua prinsip tersebut. Dan bagian ketiga, uraiannya mengenai syarat prinsip keadilan sosial yang harus disepakati oleh semua orang. Dalam hal ini penulis menjelaskan posisi asali, yakni metode yang digunakan dalam menjustifikasi prinsip keadilan sosialnya. 21 BAB II BIOGRAFI JOHN RAWLS A. Riwayat Hidup Dan Pendidikan John Rawls John (Jack) Bordley Rawls lahir pada 21 Februari 1921 di Balltimore, Maryland, Amerika Serikat. Dia anak kedua dari pasangan William Lee dan Anna Abell Stump. William Lee dan Anna Rawls memiliki lima orang putra: William Stowe (Bill), John Bordley (Jack), Robert Lee (Bobby), Thomas Hamilton (Tommy), dan Richard Howland (Dick). dari keluarga yang mapan. Kedua orang tuanya berasal Kakek-nenek Rawls dari garis ibunya adalah keluarga kaya yang tinggal di Greenspring Valley, sebuah daerah elit pinggiran kota Balltimore. Kekayaan yang begitu banyak itu berasal harta warisan, seperti tambang minyak dan batubara di Pennsylvania. Mereka dikaruniai empat orang putri: Lucy, Anna (ibu Rawls), May, dan Marnie. 1 Keluarga Rawls berasal dari Utara, dimana nama „Rawls‟ lazim digunakan. masih cukup Kakek dari garis ayahnya, William Stowe Rawls, adalah seorang bankir di sebuah kota kecil dekat Greenville, Carolina Utara. Karena menderita penyakit TBC (tuberculosis), William Stowe pindah bersama istri beserta ketiga anaknya ke Balltimore pada tahun 1895 agar lebih dekat dengan Rumah Sakit Universitas Johns Hopkins. Pasca pindah ke Balltimore, Ayah Rawls, William Lee menderita TBC selama beberapa tahun, dan kesehatannya yang tidak baik itu terus berlanjut hingga masa mudanya. Karena tidak cukup 1 Thomas Pogge, John Rawls: His Life and Theory of Justice, transl. Michlle Kosch, (New York: Oxford University Press, 2007), h. 4 22 biaya, William Lee terpaksa putus sekolah. Di usia 14 tahun, ia telah bekerja sebagai pembantu di sebuah kantor hukum. Pekerjaannya itu pun membuka jalan kesempatan bagi William Lee muda untuk membaca buku-buku hukum yang ada di situ pada malam harinya. Ia mendidik dirinya sendiri dengan cukup baik sehingga berhasil lulus ujian pengacara tanpa pendidikan formal apa pun. Dan ia pun akhirnya menjadi seorang pengacara kondang, memiliki kantor hukum sendiri dan terpilih menjadi ketua asosasi pengacara di Balltimore pada tahun 1919. 2 Kedua orang tua Rawls memiliki minat yang kuat terhadap politik. Ayahnya merupakan pendukung Liga Nasional, dan kawan akrab sekaligus penasehat pribadi Albert Ritchie, seorang Gubernur Maryland dari Partai Demokrat (1924-1936). Ia juga pernah menjadi penasehat hukum Franklin D. Roosevelt. Adapun ibu Rawls adalah perempuan pendukung0020gerakan feminisme. Ia pernah menjabat sebagai presiden dari League of Women Voters di daerah kediamannya. Karena latar belakang kedua orang tuanya itu, Rawls disebut memiliki “darah biru” oleh sebagian sahabatnya. Hal itu membuat Rawls memiliki sense of noblese oblige. 3 Pengalaman tragis di masa kecil Rawls yang sangat menggoncang keadaan jiwanya adalah ketika ia harus kehilangan dua orang adiknya, Bobby dan Tommy , akibat tertular penyakit yang diderita oleh Rawls. Bobby –usianya lebih muda 21 bulan- meninggal pada tahun 1928 setelah tertular penyakit diphteria dari Rawls yang saat itu justru kondisinya justru semakin berangsur pulih. Sementara itu, Tommy meninggal pada tahun berikut, tepatnya di bulan Febuari 1929, juga 2 3 Thomas Pogge, John Rawls, h. 4-5 Thomas Pogge, John Rawls.. 23 setelah tertular penyakit pheunomia yang diderita oleh John Rawls. Sebagaimana yang terjadi pada Bobby, Tommy juga meninggal ketika Rawls tengah berangsur pulih dari penyakitnya. Menurut penuturan ibunya, kejadian tragis itu telah mengoyak batin Rawls dan „memicu‟ bicara Rawls menjadi tidak lancar (gagap), dan hal itu semakin bertambah parah di masa tuanya. 4 Demikian riwayat masa kecilnya. Di samping itu, ada beberapa pengalaman masa kecil Rawls yang memengaruhi kesadarannya akan keadilan. Kepekaan Rawls terhadap masalah keadilan dan sesamanya tidak terlepas dari berbagai pengalaman masa kecilnya. Pengaruh itu antara lain berasal dari ibunya yang merupakan seorang pejuang hakhak kaum perempuan. Selain itu, semasa kecil ia mengalami secara langsung berbagai bentuk diskriminasi ras dan kelas sosial, di kota tempat ia tinggal. Hampir 40 persen kota Balltimore itu penduduknya adalah orang-orang berkulit hitam. Rawls melihat langsung perlakuan yang membeda-bedakan manusia dari warna kulitnya. Perlakuan berbeda atas para warga kulit hitam tampak jelas baginya. Anak-anak berkulit hitam belajar di sekolah yang berbeda dan terpisah dari anak-anak berkulit putih. Bahkan ibunya sendiri pun melarang dirinya bergaul dengan anak-anak kulit hitam. Ibunya sempat marah besar kepadanya ketika ia bermain ke rumah temannya yang berkuli hitam di daerah perkumuhan. Hal itu karena Rawls sering bermain ke rumah anak itu yang berada di daerah 4 Thomas Pogge, John Rawls., h. 5-6 24 perumahan kumuh dan sempit yang menjadi ciri khas tempat tinggal orang-orang berkulit hitam. 5 Di samping itu, masih ada lagi peristiwa yang membuka kesadarannya akan keadilan, yakni ketika ia melihat langsung kehidupan kaum miskin kulit putih di desa Brooklin, tidak jauh dari rumah singgahnya selama musim panas. Hampir kebanyakan masyarakat desa tersebut berprofesi sebagai nelayan dan penjaga dari rumah-rumah musim panas yang banyak di daerah itu. Pergaulannya yang luas dengan anak-anak miskin setempat membuka kesadarannya bahwa kemiskinan yang dialami sebagian besar mereka telah mempersempit peluang mendapat pendidikan dan masa depan yang lebih baik. Kondisi yang amat berbeda dengan kota di mana ia tinggal. 6 Pengalaman masa kecilnya tersebut meninggalkan kesan yang begitu kuat sehingga telah menggoreskan dan membangkitkan serta menumbuhkan sense of justice dalam dirinya. Lebih lanjut, mengenai pendidikan Rawls. Pendidikan dasar Rawls dimulai di sekolah umum di kota Balltimore, tempat tinggalnya. Selesai di sekolah itu, ia pun melanjutkan sekolah menengahnya di Kent, sebuah lembaga pendidikan swasta di Connecticut, yang terkenal dengan mutu dan disiplinnya yang tinggi. Di Connecticut ini pula Rawls memasuki suatu fase religius dalam pengalaman hidupnya. Meski fase ini tidak berlangsung lama dan juga tidak mendorong Rawls untuk menjadi seorang religius dalam arti konvensionalnya. Kendati begitu, fase ini telah membawa pengaruh yang besar di dalam hidupnya. 5 6 Thomas Pogge, John Rawls, h. 6-7 Thomas Pogge, John Rawls, h. 7 25 Nilai-nilai religius bahkan cukup kuat tertanam di dalam dirinya. Oleh karena itu, Rawls dikenal memiliki kepekaan religius yang relatif lebih tinggi dibanding dengan rekan-rekannyanya sesama liberal. 7 Pada tahun 1939, Rawls melanjutkan pendidikan tingginya di Universitas Princeton. Disini ia bertemu dan berkenalan dengan Norman Malcolm salah seorang sahabat dan pengikut Wittgenstein. Perkenalannya dengan tokoh inilah yang menimbulkan minat Rawls terhadap filsafat. Rawls menyelesaikan studinya di Universitas Princeton dalam waktu singkat. Selepas itu, ia masuk wajib militer dan ikut terlibat pertempuran pertama kali dalam Perang Pasifik. Rawls juga sempat ditempatkan di Papua Nugini, Filipina, dan Jepang. Selama masa tugas milter ini Rawls mengalami pengalaman paling buruk sepanjang hidupnya. Tujuh belas temannya satu angkatan di Universitas Princeton mati terbunuh, dan dua puluh tiga orang lainnya dari angkatan di bawahnya juga meninggal karena keganasan perang. Inilah mungkin, menurut kesaksian teman-temannya, alasan kenapa Rawls tidak pernah mau bercerita mengenai pengalamannya sebagai tentara. Masa perang, khususnya peristiwa pengeboman kota Hiroshima pada bulan Agustus 1945, telah menggoreskan pengalaman yang mengerikan bagi Rawls. Ketika pesawat-pesawat tempur Amerika Serikat menjatuhkan bom untuk mengakhiri perlawanan Jepang, Rawls tengah bertugas di Pasifik. 8 Selama kariernya, Rawls hampir tidak pernah menulis tentang pengalamannya pada masa perang dunia tersebut. Setelah lima puluh tahun 7 Andre Ata Ujan,: Keadilan dan Demokrasi: Telaah Filsafat Politik John Rawls, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), h.14 Andre Ata Ujan,: Keadilan dan Demokrasi., h.15 26 kemudian, Rawls menulis artikel dalam jurnal politik Amerika, Dissent, terkait pengalaman buruknya semasa perang. Dalam artikel tersebut, Rawls mengecam keras penguasa Amerika Serikat atas keputusannya mem-bom atom Jepang. Ini adalah satu-satunya artikel yang pernah ditulis Rawls sebagai tanggapannya atas situasi politik konkret. 9 Menurutnya, keputusan yang pada akhirnya membawa akibat jatuhnya banyak korban dari warga sipil itu adalah suatu kesalahan terbesar yang tidak pernah bisa diterima. Pada waktu itu, sesungguhnya tidak ada krisis sedemikian gawat yang dapat dijadikan dasar. Meski demikian, bom atas kota Nagasaki dan Hiroshima sesungguhnya membawa nasib baik juga bagi Rawls. Seandainya keputusan membom atom kota tersebut tersebut tidak diambil, Rawls bersamasama temannya besar kemungkinan juga akan segera dikirim untuk berperang di Jepang. Dan Rawls sendiri pun mungkin akan menjadi salah satu korban keganasan perang. 10 Pengalaman perang bagi Rawls sedemikian buruknya hingga ia lebih memilih mundur ketika pangkatnya akan dinaikkan menjadi perwira. Ia bahkan menjadi sangat benci pada perang. Pada tahun 1946, Rawls keluar dari dinas militer dan memilih menjadi orang sipil. Rawls pun kemudian ikut bergabung dengan kelompok Harvard yang menentang perang Vietnam, dan menolak pengiriman mahasiswa untuk ikut wajib militer. Kemudian, Rawls akhirnya menjalani hidupnya dengan kembali ke dunia kampus untuk belajar kembali di almamater sebelumnya. Ia menulis disertasi 9 Joe Mandle, Rawls’s ‘A Theory of Justice‟ an Introduction, (New York: Cambridge University Press, 2009) , h. 6-7 10 Joe Mandle, Rawls’s ‘A Theory of Justice‟. 27 untuk menjadi doktor dalam bidang filsafat moral. Pada tahun 1945-1950, tahun terakhir kuliahnya, Rawls sempat mengambil mata kuliah teori politik. Pengetahuannya dalam bidang inilah yang kemudian mendorongnya lebih jauh untuk menulis sebuah risalah mengenai keadilan. Oleh karena itu, apabila dihitung dari tahun pertama munculnya ide untuk menulis risalah tersebut, maka boleh dikatakan bahwa Rawls memerlukan 20 tahun untuk mempersiapkan lahirnya A Theory of Justice.11 Pasca studi doktoralnya, ia mengajukan diri untuk menjadi pengajar. Meski Rawls adalah seorang yang brilian, tetapi Princeton rupanya tidak terarik untuk meliriknya. Karena itu, Rawls akhirnya menerima tawaran untuk memberi kuliah di Oxford. Di universitas inilah Rawls mulai merumuskan konsep “the original position”, meskipun konsep tersebut secara matang baru muncul ketika ia memperbaiki gagasannya mengenai "the veil of ignorance”. Di Universitas Oxford, Rawls setahun memberi perkuliahan. Pada tahun 1953, Rawls menulis artikel “Justice as Fairness” yang merupakan gagasan inti teori keadilannya. Ketika itu, Rawls berusia 30-an tahun dan artikel tersebut merupakan artikelnya yang ketiga. Pada tahun 1960, draft A Theory of Justice diperkenalkannya di dalam sebuah seminar. Draft awal teori keadilan ini terus digumulinya secara tekun sampai pada akhirnya siap diterbitkan sebagai bukunya pada tahun 1971. Pada awal tahun 1960-an, Rawls mendapat sebuah kedudukan penting di Massachussets Institute of Technology (MIT). Akan tetapi, dua tahun kemudian ia pindah ke universitas Harvard dan menjadi guru besar di universitas 11 Joe Mandle, Rawls’s ‘A Theory of Justice‟, h. 16 28 tersebut hingga akhir hidupnya. Setelah terbit A Theory of Justice, Rawls masih terus rajin menulis berbagai artikel. Dalam arti tertentu, artikel-artikel ini menjelaskan lebih lanjut bahkan mengoreksi sebagian gagasannya di dalam A Theory of Justice, sebuah master piece yang telah menghantarnya menjadi filsuf terkemuka di dalam bidang filsafat moral dan politik. Pelbagai karangan itulah yang kemudian di-edit dan diterbitkan dalam bukunya Politcal Liberalism, 1993.12 Rawls menikah dengan Margaret Fox, seorang pelukis yang baru lulus dari bangku Universitas Brown, pada tahun 1949. Rawls sendiri juga dikenal sebagai seorang pengamat dan kritikus seni, khususnya seni Amerika. Pandangannya mengenai seni ini juga banyak membantu karya seni istrinya. Sebaliknya, istrinya pun sangat mendukung kariernya. Pada saat menghabiskan bulan madunya, mereka bersama-sama menyusun indeks sebuah buku mengenai Nietzsche yang ditulis oleh Walter Kauffman. Hingga menjelang masa pensiunnya, Rawls masih mengajar di Universitas Harvard. Aktivitas itu akhirnya berhenti setelah ia terkena serangkaian stroke yang membuat diri makin lemah hingga tidak lagi mampu mengajar. Dan pada tahun 2002, Rawls meninggal dunia akibat gagal jantung di rumahnya di Lexington, Mass. Dia meninggalkan istrinya, Margaret Warfield Fox Rawls, empat anak - Anne Warfield, Robert Lee, Alexander Emory, dan Elizabeth Fox dan empat cucu.13 *** 12 Joe Mandle, Rawls’s ‘A Theory of Justice‟. Ken Gewertz, “John Rawls, Influental Political Philosopher Dead at 81”, artikel diakses pada 1 Maret 2009 dari http://www.news.harvard.edu/gazette/2002/11. 21/99- rawls.html 13 29 B. Karya-Karya Ilmiah Dan Pengaruhnya Rawls adalah seorang pemikir yang produktif dalam menuangkan gagasannya ke dalam tulisan. Gagasan Rawls tersebar dalam bentuk artikel ilmiah maupun buku. Artikel-artikel tersebar di berbagai jurnal filsafat terkemuka seperti Philosophical Review,dan Journal Philosophy, maupun di dalam buku-buku yang membahas tema-tema tertentu. Oleh karena itu, karya-karya Rawls disini dibagi dalam dua bagian: buku dan artikel. Karya-karya Rawls yang berupa artikel antara lain: 1. “Review of An Examination of The Place of Reason in Ethics”, artikel dalam jurnal Philosophical Review, 1951 2. “Justice as Fairness”, 1954. Artikel Rawls dalam jurnal Philosophical Review yang merupakan gambaran dan ide dasar awal tentang gagasan utama tentang keadilan yang kemudian secara komprehensif dijelaskan dalam bukunya A Theory of Justice. 14 3. “Replay to Lyon and Teitleman”, artikel dalam Journal of Philosophy, 1972 4. “Fairness to Goodness”. Artikel dalam jurnal Philosophical Review, 1975.15 “Kantian Constructivism in Moral Theory”. Artikel Rawls dalam Journal 5. of Philosophy, 1980. “Basic Liberties and Their Priority. Artikel Rawls dalam buku Liberty, 6. Equality and Law, 1987. 14 Bur Rasuanto, Keadilan Sosial,Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas: (Jakarta, Gramedia, 2004), h. 25 15 Andre Ata Ujan, Keadilan dan Demokrasi, h. 11 30 “Themes in Kant‟s Moral Philosophy”, artikel Rawls dalam buku Kant’s 7. Trancendental Deductions: The Three Critiques and Opus Postumum, 1989.16 “Roderick Firth, His Life and Work”, artikel Rawls dalam buku 8. Philosophy and Phenomenological Research, 1991. 9. “Reconciliaton through The Public Use of Reason” (Reply to Jurgen Habermas), artikel Rawls dalam Journal Philosophy, 1992. 17 Sedangkan karya-karya Rawls yang berbentuk buku antara lain: 1. A Study in the Ground of Ethical Knowledge, Considered with Reference to Judgement on the Moral Worth of Character. Ini merupakan disertasi Rawls untuk meraih gelar Phd. 2. A Theory of Justice, 1971 3. Political Liberalism, 1993 4. The Law of Peoples, with”The Idea of Public Reason Revisen ”, 1999 5. Collected Papers, buku ini merupakan kumpulan 27 artikel yang ditulis oleh Rawls dari tahun 1951 hingga 1998. 6. Lectures on History of Moral Philosophy, buku ini merupakan kumpulan perkuliahan Rawls yang dikumpulkan oleh Barbara Herman, 2001. 7. Justice as Fairness: A Restatement, 2001. 16 17 Thomas Pogge, John Rawls, h. 199-200 Thomas Pogge, John Rawls. 31 8. Lectures on Political Philosophy, buku ini juga merupakan kumpulan perkuliahan Rawls ketika ia menjadi dosen yang dikumpulkan oleh Samuel Freeman.18 Di antara sekian karya-karya John Rawls tersebut, A Theory of Justice terbit pertama kali pada tahun 1971- adalah master piece yang membuat Rawls dikenal sebagai pemikir terkemuka dalam bidang filsafat politik pada abad ke-20. Buku ini merupakan salah satu buku paling berpengaruh dalam filsafat moral dan filsafat politik sepanjang seratus tahun terakhir. Buku ini tidak hanya dibaca oleh para pengkaji dan peminat filsafat, tetapi juga oleh orang-orang yang bekerja di berbagai bidang, semisal ilmu politik, hukum, dan kebijakan sosial.19 Tidak mengherankan apabila A Theory of Justice yang tebalnya mencapai 600 halaman hingga saat ini telah diterjemahkan ke 23 bahasa dari berbagai macam bahasa di dunia. Buku ini dianggap telah membangkitkan dan mensemarakkan kembali gairah kajian filsafat politik yang sebelumnya sempat meredup. Sampai lebih separuh pertama abad ke-20, filsafat politik tidak mengalami perkembangan istimewa karena tidak ada lagi karya-karya besar yang lahir sejak karya John Stuart Mill. Keadaan itu berubah setelah terbit A Theory of Justice, 1971. A Theory segera mendapat sambutan luas, dan dibicarakan di berbagai jurnal filsafat dan mimbar akademi, khususnya di wilayah berbahasa Inggris. Buku ini telah melahirkan sejumlah tanggapan, sambutan dan perdebatan di berbagai jurnal 18 Untuk semua sumber informasi pada bagian karya berbentuk buku yang ditulis Rawls, penulis merujuk seluruhnya pada buku Thomas Pogge sebagai telah disebut diatas. Thomas Pogge, John Rawls, h.200 19 Paul Graham, Rawls, (Oxford: OneWorld, 2007), h. vii 32 maupun mimbar akademik. Setelah A Theory terbit, wacana filsafat politik mengalami perkembangan dan orientasi baru, bahkan bergerak meluas dari tema sentral keadilan sosial ke masalah hak, kebebasan, human subject, komunitas, dan teori moral sendiri, memperkaya tema-tema tradisional seperti masalah legitimasi, kekuasaan, hakikat hukum dan lainnya. Arti penting A Theory of Justice dalam kajian filsafat setidaknya mencakup dua hal, sebagaimana diutarakan Will Kymlicka. Kymlicka mengatakan A Theory memiliki dua arti penting. Pertama, Rawls memiliki arti penting historis Sebagaimana tertentu dalam mendobrak diketahui, utilitarianisme intusionisme adalah dan pandangan utilitarianisme. moral yang mendominasi seluruh periode filsafat modern, sekaligus menjadi doktrin moralitas politik paling dominan. Berbagai kritik ditujukan kepada utiltarianisme karena dianggap tidak mampu menjamin keadilan sosial, dan menempatkan manusia sebagai alat atau sarana untuk mencapai tujuan. Sejumlah pandangan dan teori muncul dari berbagai pemikir untuk mengatasi pandangan utilitarianisme. Satu di antaranya adalah John Rawls. Teori keadilannya salah satu tujuannya adalah mengatasi dan membersihkan utilitarianisme dari teori-teori keadilan. Kedua, teori Rawls mendominasi filsafat politik, bukan dalam arti disepakati secara luas, tetapi dalam arti bahwa para ahli teori yang muncul belakangan harus mempertegas dirinya sebagai dirinya berlawanan dengan Rawls atau tidak. Mereka menjelaskan apa teori mereka dengan membandingkannya dengan teori Rawls. “Kita tidak akan dapat 33 memahami karya tentang keadilan yang muncul belakang ini jika kita tidak memahami Rawls”, kata Kymlicka.20 Sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Will Kymlicka, buku Rawls membawa dampak positif dalam merangsang polemik sekitar dilakukannya penelitian-penelitian luas dan mendalam dalam filsafat praktis, baik dari sisi filsafat politik maupun dari sisi filsafat moral. Hal itu juga diikuti suburnya karyakarya baru baik berupa artikel di jurnal-jurnal dan rangkaian publikasi besar yang langsung maupun tidak langsung membahas tema-tema di atas. Publikasi- publikasi filsafat praktis setelah terbitnya A Theory of Justice umumnya bertolak dari, mengacu kepada, dirangsang oleh, atau bahkan mengarahkan sasaran terhadap tesis Rawls. Karya Rawls lainnya yang juga penting adalah Political Liberalism, terbit pertama kali pada tahun 1993. Isi buku ini di samping mengoreksi beberapa aspek teori yang sudah dikemukakannya, juga memperjelas pikiran-pikiran pokok yang mendasari status teorinya justice as fairness sebagai konstruktivisme politik. Di buku ini, Rawls mengemukakan bahwa teori keadilannya berada dari latar tradisi politik tertentu, yakni tradisi politik liberalisme. Hal ini menegaskan bahwa prinsip keadilannya didasarkan pada landasan politik bukan landasan metafisis dari nilai atau kepercayaan tertentu dalam kelompok masyarakat. Lalu ada Law of Peoples yang terbit pada tahun 1996. Buku ini membahas mengenai pandangan Rawls tentang masalah keadilan dalam konteks hubungan internasional. Di sini Rawls membahas mengenai prinsip-prinsip keadilan dalam 20 Will Kymlicka, Pengantar Filsafat Politik Kontemporer: Kajian Khusus Teori -Teori Keadilan, terj. Agus Wahyudi, cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 70 34 kontek hubungan internasional. Hal ini merupakan perluasan dan kelanjutan dari gagasannya sebelumnya mengenai prinsip-prinsip keadilan bagi struktur dasar masyarakat. C. Latar Belakang Tradisi Pemikiran Lingkup pemikiran ataupun teori seorang filsuf tidak lahir begitu saja dari ruang hampa. Seringkali teori ataupun pemikiran lahir sebagai kritik, pengembangan, perluasan dan sebagainya, atas teori ataupun tradisi pemikiran yang telah ada sebelumnya. Begitu juga halnya dengan pemikiran John Rawls. Di sini, penulis hanya menulis secara singkat tradisi-tradisi pemikiran yang berkaitan dengan teori keadilannya. Antara lain, tradisi politik liberalisme egalitarian, tradisi kontrak sosial semisal John Locke, JJ. Rousseau, dan pandangan utilitarianisme. Pertama, tradisi politik liberalisme. Liberalisme adalah doktrin moralitas politik normatif, atau filsafat politik normatif, yakni seperangkat argumen moral mengenai justifikasi tindakan politik dan institusi-institusi. Rawls sendiri memahami liberalisme sebagai produk zaman Reformasi abad ke-16 di Eropa yang melahirkan pluralitas agama, berkembangnya negara modern dengan administrasi pusat yang menggeser kekuasaan raja, dan berkembangnya sains modern pada abad ke-17.21 Liberalisme menuntut masyarakat ditata secara netral dan adil, tanpa acuan pada nilai dan kepercayaan masing-masing kelompok. Masyarakat yang tertata dengan baik ialah masyarakat yang diatur dengan adil. Dalam arti, masyarakat tertata baik atau gambaran mengenai masyarakat ideal ialah apabila ia didasarkan 21 xxii-xxiii John Rawls, Political Liberalism, (New York: Columbia University Press, 1993), h. 35 pada prinsip moral dasar. Dan keadilan adalah prinsip moral dasar. Para filsuf yang berada dalam tradisi ini antara lain Jurgen Habermas, John Rawls, Karl Otto Apel, dan sebagainya. Dalam tradisi Immanuel Kant, mereka mencari prinsipprinsip moral dasar kehidupan masyarakat. Dan karena prinsip moral dasar adalah keadilan, maka mereka mencari pendasaran suatu prinsip universal. 22 Karena itu, filsuf ini juga sering disebut filsuf Neo-Kantian. Dengan demikian, teori keadilan Rawls yang dikembannyak berasal dalam tradisi liberalisme. Konsekuensinya, teorinya hanya cocok diterapkan dalam masyarakat yang tradisi politiknya adalah demokrasi liberal, atau demokrasi konstitusional. Tetapi perlu dilihat bahwa liberalisme Rawls berbeda dengan liberalisme klasik yang justru dikritik olehnya. Bahkan bisa dikatakan liberalisme Rawls melampaui titik perjuangan liberalisme itu sendiri dan juga sosialisme. Karena teorinya berhasil menyatukan dua nilai dasar, kebebasan dan kesamaan, yang selama ini sulit disatukan, bahkan seolah mustahil. Dalam prinsip keadilannya, Rawls menempatkan persamaan dalam kerangka persamaan hak-hak dan kebebasan fundamental. Oleh karena itu, liberalisme Rawls harus dililhat “liberalisme egalitarian”, bukan dalam kerangka liberalisme klasik. Karena masyarakat yang diatur menurut prinsip kebebasan saja, justru yang terjadi adalah ketidakbebasan, sementara jika didasarkan pada prinsip kesamaan saja, yang terjadi justru ketidaksamaan. Kedua, tradisi kontrak sosial. Tujuan Rawls menggunakan teori kontrak sosial karena, menurutnya, masyarakat tertata dengan baik (well-ordered society) 22 Franz Magnis Suseno, Pijar-Pijar Filsafat: dari Gatholoco ke Filsafat Perempuan, dari Adam Muller ke Postmodernisme, (Yogyakarta, Kanisius, 2005) h.198 36 apabila ada kesepakatan bersama dari semua orang mengenai apa yang adil dan tidak adil dalam masyarakat. Secara tradisional, teori kontrak sosial dilihat sebagai alat konseptual untuk menjelaskan munculnya masyarakat, atau untuk melegitimasi kekuasaan negara. Tapi bagi Rawls, kontrak sosial digunakan Rawls untuk melegitimasi prinsip-prinsip keadilan sosial yang akan mengatur struktur dasar masyarakat. Agar pengaturan bisa efektif maka prinsip-prinsip itu harus diterima semua orang. Oleh karena itu, ia menggunakan pendekatan kontrak sosial untuk menjustifikasi prinsip-prinsip keadilannya. Prinsip-prinsip keadilan Rawls didasarkan pada dua argumen dasar, intuitif dan teoritik atau rasional. Nah, teori kontrak sosial itu digunakan sebagai argumen rasional Rawls dalam membenarkan argumen intutif. Kontrak sosial yang telah dimodifikasi oleh Rawls dalam teorinya dikenal dengan nama “original position”, atau kira-kira sama “state of nature” pada kontrak tradisional. Tetapi ada perbedaan antara kontrak sosial Rawls dengan kontrak tradisional. Rawls bersifat hipotetis, lainnya bersifat historis; kontraktor Rawls adalah setara, bebas, dan rasional, lainnya justru kontraktornya tidak dalam keadaan sama, semisal pada Hobbes yang kesepakatan agar tidak terjadi “perang semua lawan semua”. Orang-orang dalam kontrak Rawls adalah „mahluk moral‟, yakni tahu mana yang baik bagi dirinya, dan tahu apa yang adil sehingga kesepakatan mengenai apa yang adil sebagai dasar kerja sama sosial masyarakat mereka menjadi mungkin. 37 Ketiga, Utilitarianisme dan Intusionisme. Secara khusus, Rawls melihat teorinya sebagai suatu kritik terhadap teori-teori keadilan sebelumnya yang menurutnya gagal memberikan suatu konsep keadilan sosial yang tepat bagi kita. Kegagalan teori-teori terdahulu itu, disebabkan oleh substansinya yang sangat dipengaruhi oleh utiltarianisme atau oleh intusionisme. Utilitarianisme sebagai dicatat pada kata pengantar A Theory of Justice,23 telah menjadi pandangan moral yang sangat dominan pada seluruh periode filsafat moral modern. Secara umum, utilitarianisme mengajarkan bahwa benar salahnya peraturan atau tindakan manusia tergantung pada konsekuensi langsung dari peraturan atau tindakan tertentu yang dilakukan. Dengan demikian, baik buruknya tindakan manusia secara moral sangat tergantung pada baik buruknya konsekuensi tindakan tersebut bagi manusia. Tegasnya, apabila akibatnya baik, maka sebuah peraturan atau tindakan dengan sendirinya akan menjadi baik. Demikian pula sebaliknya. Utilitarianisme ditolak karena dianggap gagal untuk menjamin keadilan sosial. Karena kegagalan ini, maka utiltiarianisme tidak tepat bila dijadikan basis untuk membangun konsep keadilan sosial. 24 Rawls memadai pada juga mengkritik asas intusionisme rasionalitas. karena Intusionisme tidak dalam memberi proses tempat pengambilan keputusan (moral) lebih mengandalkan kemampuan intuisi manusia. Oleh karena itu, pandangan ini juga tidak memadai apabila dijadikan pegangan dalam mengambil keputusan, terutama ketika terjadi konflik di antara norma-norma moral. Di sini, prioritas nilai akan menjadi problem yang sulit ditemukan 23 John Rawls, Teori Keadilan: Dasar-Dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan Kesejahteraan dalam Negara, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. v 24 Andre Ata Ujan, Keadilan dan Demokrasi, h. 21 38 pemecahannya apabila setiap orang cenderung menggunakan intuisi daripada akal sehat dalam melakukan pertimbangan dan mengambil keputusan. Dalam perspektif itu juga, pelbagai generalisasi etis dapat disebut benar meskipun tidak didukung oleh argumen yang sungguh-sunguh dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, pertimbangan-pertimbangan dan keputusan moral akan menjadi subjektif atau kehilangan objektivitas. 25 Dari latar belakang tradisi pemikiran singkat sebagaimana penulis jelaskan di atas, maka penulis menyimpulkan sebagai berikut. Belajar dari teori-teori keadilan sebelumnya, maka Rawls berusaha membangun teori keadilan yang mampu menegakkan dan menjamin keadilan sosial (kritik atas utilitarianisme) dan sekaligus dapat dipertanggungjawabkan secara objektif (kritik atas intusionisme). Tegasnya, Rawls hendak membangun sebuah konsep keadilan sosial dalam perspektif demoraksi (tradisi politik liberalisme). Oleh karena itu, teori keadilan yang memadai harus dibentuk dengan pendekatan kontrak (tradisi kontrak sosial), di mana prinsip-prinsip keadilan sosial yang dipilih sebagai pegangan bersama sungguh-sungguh merupakan hasil kesepakatan bersama dari semua person yang bebas, sederajat, dan rasional Demikian ini pembahasan dalam bab kedua yang membahas mengenai riwayat hidup dan pendidikan, karya-karya dan pengaruhnya serta latar tradisi pemikiranya yang memengaruhi pemikirannya, khususnya teori keadilannya. Sebagaiman hal itu akan kita lihat pada bab ketiga yang hendak memberikan gambaran umum atas teorinya. 25 Andre Ata Ujan, Keadilan dan Demokrasi; 39 BAB III TINJAUAN UMUM KEADILAN SOSIAL A. Pengertian dan Hakikat Keadilan Banyak definisi tentang keadilan yang telah dikemukakan oleh para pemikir dalam kajian filsafat moral. Bahkan diskursu mutakhir filsafat politik bermuara pada masalah ini sesuai dengan kecenderungan dasar pemikir bersangkutan. Namun setiap definisi tentang keadilan selalu terjebak pada persoalan yang sama, yaitu pembatasan atau penyempitan keadilan itu sendiri. Sementara keadilan merupakan wilayah yang sangat luas bahkan tersembunyi – karena berkenaan dengan nilai—sehingga nyaris tak dapat didefinisikan. Pada posisi ini, menentukan atau menunjukkan ketidakadilan relatif lebih mudah daripada mendefinisikan keadilan. Oleh sebab itu, kebanyakan para pemikir lebih berkonsentrasi pada prinsip-prinsip yang menentukan terwujudnya keadilan ketimbang mendefinisikannya. Dalam al-Qur‘an, misalnya, tidak ada definisi yang komprehensif mengenai keadilan kecuali hanya disebutkan kata adil (adl) saja. Hal ini menuntut penelusuran lebih jauh untuk mengetahui keadilan dan penerapannya dalam konteks kehidupan bermasyarakat. Menurut Muhammad Baqir al-Shadr, intuisi dan pikiran dapat mengetahui nilai-nilai umum yang akan memerintah setiap tindakan seseorang. Melalui itu, perilaku benar dan salah, baik dan buruk dapat ditemukan, demikan pula keadilan. Ia menyatakan: Ini (nilai-nilai umum yang diperoleh dari intuisi dan pikiran) adalah nilainilai yang menegaskan adalah kebenaran dan kebaikan, dan perbuatan 40 salah (ketidakadilan) adalah batil dan jahat. Kami juga percaya bahwa barang siapa yang berurusan secara adil dengan orang lain layak dihormati dan dipuji dan barang siapa yang berbuat kesalahan dan pengkhianatan layak mendapat sebalik.1 Lebih lanjut, dalam literatur filsafat politik, keadilan sosial secara umum seringkali didefinisikan sebagai keadilan yang berkaitan dengan pembagian nikmat dan beban dari kerja sama sosial, khususnya yang termanifestasi dalam lembaga yang disebut negara. Keadilan sosial adalah pokok persoalan filsafat politik, yakni bagian dari filsafat praktis yang mengkaji dimensi moral yang mengendalikan tindakan-tindakan politik. Konsep keadilan sosial berkenaan dengan prinsip-prinsip yang mengatur pembagian nikmat dan beban. Dan teori keadilan merupakan teori yang berusaha merumuskan prinsip-prinsip keadilan sosial atau lebih khusus lagi, prinsip-prinsip bagi pembagian yang adil, dalam konteks keadilan distributif.2 Adapun hakikat keadilan itu sendiri memilliki memiliki tradisi yang panjang. Keadilan adalah salah satu keutamaan yang menjadi tujuan manusia. Keadilan, bisa dikatakan, merupakan keutamaan terpenting yang mendasari seluruh dimensi kehidupan sosial dan politik. Keadilan adalah salah satu topik yang sejak lama hampir selalu mengiringi sejarah peradaban manusia. Salah satu peradaban tua yang menjunjung tinggi keadilan adalah Imperium Romawi Kuno. Di mana Justicia, Sang Dewi Keadilan yang kita kenal dewasa ini sebagai lambang keadilan merupakan warisan dari peradaban kuno tersebut. 1 Muhammad Baqir al-Shadr, The Revieveler, the Messanger, the Message, terj. Mahmoed M Ayoub. (Tehran: Word Organization for Islamic Service, 1986), h. 75 2 Bur Rasuanto, Keadilan Sosial: Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas.Dua Teori Filsafat Politik Modern, (Jakarta: Gramedia, 2004), h. 8 41 Suatu definisi keadilan sederhana sudah diberikan sejak di zaman Romawi Kuno dan malah mempunyai akar-akar lebih tua lagi. ―Definisi‖ keadilan digambarkan dengan singkat sekali sebagai ―tribuere cuique suum‖. Atau kalimat Latin itu juga dalam bahasa Inggris bisa diartikan sebagai : ―to give everybody his own‖, atau dalam bahasa Indonesia: ―memberikan kepada setiap orang yang menjadi miliknya‖.3 Definisi keadilan kuno itu bisa diterjemahkan juga sebagai memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. Sebagai terjemahan, kalimat terakhir ini sebenarnya tertalu bebas dan mengandung semacam anakronisme, karena ‗hak‘ merupakan suatu pengertian modern yang belum dikenal dalam teksteks kuno. Istilah ‗hak‘ mengalami suatu perkembangan yang berbelit-belit dan baru diterima dalam arti seperti kita kenal sekarang pada akhir abad ke-18. tetapi apa yang belum bisa dikatakan oleh ahli hukum Roma itu karena belum mempunyai pengertiannya, sebetulnya sudah dmaksudkan olehnya. Dalam hal ini, titik tolak refleksi tentang keadilan memang sebaiknya menjadi demikian: keadilan adalah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. 4 Lebih lanjut, perdebatan mengenai hakikat keadilan secara rasional telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sejarah manusia, khususnya sejak sekitar abad ke-5 SM. Hakikat keadilan diperdebatkan oleh para filsuf pada zaman Yunani. Karena itu, sering disebut bahwa keadilan sebagai kajian filsafat boleh dikatakan sudah sejak awal sejarah filsafat itu sendiri. Karya terkenal Plato Republic bahkan biasa diberi anak judul Tentang Keadilan. Di sana Plato, 3 Morris Ginsberg, Keadilan dalam Masyarakat, (Yogyakarta: Pondok Edukasi, 2001), 4 Franz Magnis Suseno, Kuasa dan Moral, (Jakarta: Gramedi, 1987), h.54 h. 6 42 misalnya menampilkan perdebatan mengenai hakikat keadilan antara Socrates dengan para tokoh antara lain seperti Thrasymachos dan Glaucon. 5 Thrasymachos, tokoh Sofis radikal, mengatakan keadilan adalah apa yang menguntungkan yang lebih kuat. Lihatlah undang-undang dan peraturan, semua dibuat sesuai dengan keperluan dan kepentingan yang lebih kuat. Socrates dengan gayanya yang khas bereaksi kalau seorang atilit memerlukan banyak makan daging agar tetap kuat, apakah itu artinya keadilan? Glaucon, adik Plato, tampil dengan pendapat keadilan adalah kompromi. Dalam masyarakat ada yang mampu berbuat tak adil lolos tanpa hukuman, dan ada pula mereka yang menderita perlakuan tak adil tanpa dapat membela diri; keadilan letaknya di tengah antara kedua eksterm itu. Pendapat hampir sejalan dikemukan oleh Chepalus, seorang hartawan terkemuka Athena, bahwa adil tak lain dari apabila orang bersikap fair dan jujur dalam membuat kesepakatan. Hasil kompromi ditaati bukan sebagai yang secara moral bernilai baik atau buruk, melainkan sebagai keharusan menaati kesepakatan namun menguntungkan, karena alternatifnya adalah, ‗perang semua melawan semua‘, sebagai kata Thomas Hobbes.6 Pemikiran ini merupakan benih teori kontrak sejak Thomas Hobbes. Plato menolak konsep keadilan amoral atau non moral itu. Bagi Plato, keadilan bukanlah konvensi melainkan konsep yang dapat diperoleh dan dirumuskan oleh rasio yang tercerahkan. Plato berkeyakinan bahwa negara ideal apabila didasarkan atas keadilan, dan keadilan baginya adalah keseimbangan atau harmoni. Harmoni di sini artinya bahwa warga hidup sejalan dan serasi dengan 5 6 Franz Magnis Suseno, Kuasa dan Moral. Bur Rasuanto, Keadilan Sosial, h. 7-8 43 tujuan negara (polis), di mana masing-masing warga menjalani hidup secara baik sesuai kodrat dan posisi sosialnya. Raja memerintah dengan bijaksana, tentara hanya memusatkan perhatian selalu siap untuk perang, budak mengabdi sebaikbaiknya sebagai buda. Negara akan jadi kacau kalau misalnya tentara ingin, apalagi sudah, merangkap jadi pedagang, atau budak berusaha jadi tuan. Wawasan mengenai perubahan sosial tidak dikenal di sini. Paham keadilan Yunani klasik masih dalam kerangka etika keutamaan atau kebijaksanaan. 7 B. Tiga Ciri Umum Keadilan Secara umum, ada tiga ciri khas yang selalu menandai keadilan : keadilan tertuju pada orang lain, keadilan harus ditegakkan, dan keadilan menuntut persamaan. Tiga unsur hakiki yang terkandung dalam pengertian keadilan ini perlu dijelaskan lebih lanjut. Pertama, keadilan selalu tertuju pada orang lain atau keadilan selalu ditandai other directness. Corak sosial ini sudah ditunjukkan Aristoteles. Aristoteles menyebut keadilan sebagai kebajikan utama. Lebih dari itu ia berpendapat bahwa keadilan begitu utamanya sehingga di dalam keadilan termua semua kebajikan. Dengan demikian, keadilan merupakan kebajikan yang lengkap dalam arti seutuhnya karena keadilan bukanlah nilai yang harus dimiliki dan berhenti pada taraf memiliknya bagi diri sendiri. Melainkan keadilan keadilan juga harus merupakan ―pelaksanaan aktif‖, dalam arti harus diwujudkan dalam relasi dengan orang lain.8 7 Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat: Dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik dari Zaman Kuno hingga Sekarang, cet. ke-2, terj., (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004 ), h. 241 8 Andre Ata Ujan, Keadilan dan Demokrasi: Telaah Filsafat Politik John Rawl ,s (Yogyakarta: Kanisius, 2001), h. 23 44 Kedua, keadilan harus ditegakkan atau dilaksanakan. Tuntutan ini bermakna bahwa keadilan menuntut ketidakadilan dihapuskan, sekaligus juga menuntut keadilan untuk ditegakkan. Dua dimensi makna ini: positif dan negatif bukan dua hal terpisah, melainkan satu kesatuan. Umumnya, kesepakatan bersama mengenai ketidakadilan atau apa yang tidak adil lebih mudah tercapai, ketimbang menentukan sebaliknya. Tuntutan keadilan adalah kewajiban merupakan pengertian modern tentang keadilan. Paham keadilan dalam konteks Yunani Klasik masih dalam kerangka etika keutamaan atau kebijaksanaan. Pertanyaan etika Yunani Klasik: apa yang harus saya lalukan agar bernilai baik? Keadilan baru mendapat pendasaran normatifnya pada etika deontologis Kant: hanya tindakan yang didasarkan atas kewajiban yang bernilai moral. Bagi pemikiran Yunani, keadilan adalah kebaikan, tapi bagi perspektif modern keadilan adalah kewajiban. Paham kewajiban atau tanggung jawab dalam arti modern masih belum dikenal dalam etika Yunani klasik. 9 Jadi keadilan tidak diharapkan saja atau dianjurkan saja. Keadilan mengikat individu sehingga individu mempunyai kewajiban. Ciri kedua ini disebabkan karena keadilan berkaitan dengan hak yang harus dipenuhi. Kalau ciri pertama tadi mengatakan bahwa dalam konteks keadilan kita selalu berurusan dengan orang lain, maka ciri kedua ini menekankan bahwa dalam konteks keadilan selalu berkaitan dengan hak orang lain. Kita bisa memberikan sesuatu pada orang lain karena rupa-ruap alasan. Kalau kita memberikan sesuatu karena 9 Bur Rasuanto, Keadilan Sosial, h. 9 45 alasan keadilan, kita selalu harus atau wajib memberikannya. Sedangkan kalau kita memberikan sesuatu karena alasan lain, kita tidak wajib memberikannya. Misalnya, kita memberi minuman kepada tamu untuk menghormatinya. Kita tidak wajib memberikannya. Atau kita memberi derma kepada pengemis karena kemurahan hati. Satu kali kita berikan, lain tidak kita berikan. Kita tidak mempunyai kewajiban untuk memberikan derma kepada pengemis tertentu. Tetapi kalau memberikan karena alasan keadilan, kita wajib memberikannya. Majikan harus memberikan gaji yang adil kepada karyawan. Apa yang dipinjam harus dikembalikan kepada pemiliknya. Karena itu dalam konteks keadilan bisa dipakai ―bahasa hak‖ atau ―bahasa kewajiban‖, tanpa mengubah artinya. Bila dikatakan ―orang A berhak mendapat benda X dari orang B‖, kalimat yang dirumuskan dalam bahasa hak ini bisa diterjemahkan ke dalam bahasa kewajiban sebagai ―orang B wajib memberi benda X kepada orang A‖. Dari segi tata bahasa, dua kalimat ini tidak sama, tapi dari segi etika artinya persis sama, karena korelasi antara hak dan kewajiban Ketiga, keadilan menuntut persamaan (equality).10 Atas dasar keadilan, kita harus memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya, tanpa terkecuali. Kalau majikan memberikan gaji adil kepada 3000 karyawannya, kecuali kepada satu orang, maka majikan itu tidak pantas disebut orang adil. mungkin ada orang yang akan bertanya apakah artinya satu dibanding tiga ribu. Tetapi dari segi etika, perbedaan itu justru menentukan. Majikan baru pantas disebut orang yang adil, bila ia berlaku adil kepada semua orang. Dengan 10 John Christman, Social and Political Philosophy: a Contemporary Introduction, (London: Routledge, 2002), h.62 46 demikian, keadilan harus dilaksanakan terhadap semua orang, tanpa melihat orangnya siapa. C. Pembagian Keadilan Setelah membahas mengenai hakikat keadilan, maka penulis akan membahas mengenai jenis-jenis keadilan. Dalam hal ini, penulis mengungkapkan pembagian umum keadilan dilihat dari segi pokok persoalannyan, dan pengungkapan macam-macamnya lebih pada kebutuhan yang berkaitan dengan kajian skripsi ini saja. Menurut John Christman, teori-teori keadilan, mengikuti pembagian keadilan klasik Aristoteles, pada umumnya dapat dibagi menjadi tiga macam. Antara lain sebagai berikut teori keadilan retributif, korektif, dan distributif. 11 Kendati demikian, secara umum dapat disederhanakan menjadi dua macam keadilan saja, karena keadilan korektif bisa dimasukkan dalam kategori keadilan retributif. Adapun penjelasannya sebagai berikut ini: 1. Keadilan Retributif dan Distributif Keadilan retributif adalah keadilan yang berkaitan dengan terjadinya kesalahan. Hukuman atau denda yang diberikan kepada orang yang bersalah haruslah bersifat adil. Dasar etis untuk menghukum sudah lama dibicarakan dalam filsafat dan menimbulkan diskusi-diskusi yang rumit. Pada keadilan ini terdapat persoalan penting yang bersifat mendasar. Disini terdapat ketidaksepakatan mengenai justifikasi atau pembenaran atas hukuman itu sendiri. Misalnya, dalam persoalan hukuman mati, terjadi perbedaan pandangan yang sengit dalam etika 11 John Christman, Social and Political Philosophy, h. 60-61 47 mengenai apa dasar moral menghukum mati seseorang yang melakukan kesalahan. Terlepas dari soal justifikasi hukuman itu, ada kesepakatan luas yang berkembang mengenai syarat-syarat kriteria hukuman yang adil. Antara lain, pertama, kesengajaan dan kebebasan. Yakni orang yang dihukum harus tahu apa yang dilakukannya dan harus dilakukannya dengan bebas (tanpa paksaan). Dan lain sebagainya. Keadilan distributif adalah keadilan yang berkaitan dengan pembagian nikmat (benefits) dan beban12 (burdens), hal-hal yang enak untuk didapat maupun hal-hal yang menuntut pengorbanan. Di antara hal yang termasuk dalam kategori pertama (benefits):perlindungan hukum, pelayanan kesehatan, pendidikan yang layak, dan sebagainya. Sementara kategori kedua misalnya, besar kecilnya pajak, wajib militer, dan lain-lain. Dalam keadilan distributif, terdapat ketidaksepakatan berkenaan dengan isi (content) dari prinsip-prinsip keadilan yang mengatur pembagian hak dan kewajiban, beban dan nikmat dalam masyarakat.13 Kemudian keadilan dapat dibagi juga menurut subjeknya atau dari segi pelaksanaannya. 2. Keadilan Sosial dan Keadilan Individual Pembagian keadilan kepada individual dan sosial lebih berkenaan dengan subjek atau segi pelaksanaannya. Keadilan individual adalah keadilan yang pelaksanaannya tergantung pada kehendak atau keinginan individu atau beberapai individu saja. Subjek keadilan di sini adalah tindakan atau perbuatan individu 12 ‗Beban‘ di sini pengertian ialah beban di luar pengertian hukuman, punishment. Misalnya, wajib militer, pembayaran pajak, dan lain-lain. 13 David Miller, Principles of Social Justice, (London: Harvard University Press, 1999), h. 1 48 dalam hubungannnya dengan individu lainnya. Sementara itu, keadilan yang pelaksanaanya bergantung lembaga-lembaga pada struktur-struktur sosial masyarakat, seperti ekonomi, sosial, politik dan budaya lainnya. Subjek keadilan sosial ialah praktik-praktik sosial dan hubungan-hubungan sosial. Jika domain etika keadilan adalah penilaian moral atas tindakan. Sementara domain keadilan sosial ialah berkenaan dengan masyarakat (institusi sosial), atau tepatnya struktur sosial.14 Keadilan sosial sebagai kajian teoritik pengertiannya seringkali ditautkan dengan keadilan distributif.15 Dengan pertautan ini, maka keadilan sosial perlu dibedakan dari keadilan hukum yang hakikatnya adalah keadilan retributif. Dilihat dari segi prinsip-prinsipnya, keadilan sosial dibagi menjadi dua macam. Pertama keadilan formal, yakni keadilan yang didasarkan prinsip formal. Dan kedua, keadilan substantif, yakni keadilan yang didasarkan pada prinsip material atau substantif. Prinsip formal hanya ada satu. Prinsip formal ini mempunyai tradisi yang lama sekali, karena sudah ditemukan pada Aristoteles. Prinsip ini berbunyi: ―equals ought to be treated equally and unequals may be treated unequally‖. Equals bisa dimengerti sebagai ‗orang-orang yang sama‘, ‗kasus-kasus yang sama‘ harus diperlakukan dengan cara yang sama, sedangkan ‗hal-hal ataupun kasus-kasus yang tidak sama‘ boleh saja diperlakukan tidak sama. Walaupun bunyinya bagus, dalam praktek prinsip ini tidak begitu banyak membantu. Prinsip ini disebut formal, karena hanya menyajikan ―bentuk‖ (form) dan tidak 14 15 Franz Magnis Suseno, Kuasa dan Moral, h. 56 David Miller, Principles of Social Justice, h. 2 49 mempunyai ―isi‖ (content). Memang dinyatakan bahwa kasus-kasus yang sama harus diperlakukan dengan cara yang sama, tetapi tidak dijelaskan apa yang harus dimengerti dengan ‗kasus-kasus yang sama‘. Prinsip ini tidak menunjukkan menurut aspek apa kasus-kasus harus dianggap sama atau tidak sama. Karena itu, prinsip formal saja tidak tidak cukup sebagai pegangan untuk membagi dengan adil.16 Prinsip-prinsip keadilan material atau substantif melengkapi prinsip formal. Prinsip-prinsip material menunjuk pada salah satu aspek relevan yang bisa menjadi dasar untuk membagi dengan adil hal-hal yang dicari oleh pelbagai orang. Kalau pada prinsip formal cenderung disepakati secara luas, tapi lain halnya dengan prinsip material atau substantif, di mana tidak ada kesepakatan tentangnya. Dalam arti ada banyak teori yang mengemukan pandangannya yang berbeda-beda. Setidaknya ada satu teori keadilan yang mengemukakan pandangannya mengenai prinsip material ini, teori itu adalah teori egalitarianisme. D . Sekilas Tiga Teori Keadilan Sosial 1. Teori Egalitarianisme Teori egalitarianisme didasarkan pada prinsip persamaan distribusi. Teori ini berpandangan bahwa kita baru membagi dengan adil, bila semua orang mendapat bagian yang sama (equal). Membagi dengan adil berarti membagi secara sama. Jika karena alasan apa saja tidak semua orang mendapat bagian yang sama, menurut egalitarianisme pembagian itu tidak adil betul. Egalitarianisme mendapat banyak simpati luas. Semua manusia memang sama. Pemikiran ini 16 Morris Ginsberg, Keadilan dalam Masyarakat, h. 24 50 merupakan keyakinan umum sejak zaman modern, artinya sejak Revolusi Perancis menumbangkan monarki absolut dan feodalisme. Dalam artikel pertama dari ―Deklarasi hak manusia dan warga negara‖ (1789) yang dikeluarkan waktu Revolusi Perancis dapat dibaca: ―Manusia dilahirkan bebas serta sama haknya, dan mereka tetap tinggal begitu.‖ 17 Maksud bahwa semua manusia sama, yang terutama dimaksudkan adalah martabatnya. Kenyataan ini mempunyai konsekuensi besar di beberapa bidang, misalnya, hukum. Supaya adil di hadapan hukum semua anggota masyarakat harus diperlakukan dengan cara yang sama: orang kaya atau miskin, pejabat tinggi atau orang biasa, kaum ningrat atau rakyat jelata. Mengapa begitu? Karena hukum hanya memandang warga negara sebagai manusia dan martabat manusia selalu sama, terlepas dari ciri-ciri yang tidak relevan, seperti kedudukan sosial, ras, jenis, kelamin, agama, dan lain-lain. Di sini pembagian egalitarian memang satusatunya cara yang adil. contoh lain adalah pemilihan umum. Di semua warga negara modern, pemilihan umum diatur dengan cara yang sungguh egalitarian, atas dasar prinsip “one person one vote‖. Dalam hal ini profesor dalam ilmu politik dan warga negara yang buta huruf diperlakukan dengan cara yang sama, sekalipun tahanp pengertian tentang politik pada dua orang itu sangat berbeda. Namun demikian, walaupun martabat manusia selalu sama, dalam banyak hal manusia tidak sama. Intelegensi dan ketrampilannya, misalnya, sering tidak sama. Kemampuannya untuk menghasilkan nilai ekonomis acap kali berbeda. 17 Morris Ginsberg, Keadilan dalam Masyarakat, h. 24. 51 Teori-teori keadilan sosial yang berkembang dewasa ini hampir sebagian besar bertolak dan titik awalnya adalah egalitarianisme. Will Kymlicka dalam bukunya tentang teori-teori keadilan bahwa nilai utama atau fundamental dari teori-teori keadilan yang dikajianya adalah egalitarian. Dalam arti, teori-teori itu titik tolaknya adalah persamaan, tapi masing-masing berbeda-beda dalam menafsirkan substansi persamaan. Terkait teori egalitarianisme, kutipan Will Kymlicka berikut patut untuk kita simak: ―Setiap teori memiliki nilai utama yang sama, yaitu persamaan (equalitiy). Semuanya merupakan teori-teori ‗egalitarian‘. Pernyataan semacam ini jelas tidak benar, jika yang kita maksudkan adalah dengan ‗teori egalitarian‘ adalah teori yang mendukung distribusi pendapatan yang merata. Namun ada gagasan lain, yang lebih abstrak dan fundamental, tentang persamaan dalam teori politik, yaitu gagasan mengenai memperlakukan orang ‗secara sama‘. Ada banyak cara untuk mengungkapkan gagasan tentang persamaan yang lebih mendasar ini. Sebuah teori adalah egalitarian menurut pengertian ini jika teori tersebut menerima bahwa kepentingan tiap-tiap anggota masyarakat itu penting dan samasama penting. Dengan kata lain, teori egalitarian mensyaratkan bahwa pemerintah memperlakukan warga negara dengan pertimbangan yang sama…Jadi, gagasan tentang persamaan yang bersifat abstrak dapat ditafsirkan dengan berbagai cara, tanpa harus mendukung persamaan dalam bidang khusus tertentu, apakah itu pendapatan, kekayaan, kesempatan, atau kebebasan. Mana bentuk khusus persamaannya yang diminta oleh gagasan memperlakukan orang secara sama yang lebih abstrak, itu merupakan masalah yang menjadi perdebatan berbagai teori...‖18 2. Teori Sosialisme Teori sosialistis tentang keadilan distributif memilih prinsip kebutuhan sebagai dasarnya. Menurut mereka masyarakat diatur dengan adil, jika kebutuhan semua warganya terpenuhi, seperti kebutuhan akan sandang, pangan, dan papan. 18 Will Kymlicka, Pengantar Filsfat Politik Kontemporer: Kajian Khusus atas TeoriTeori Keadilan, terj. Agus Wahyudi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 5-6 52 Secara konkret, sosialisme terutama memikirkan masalah-masalah pekerjaan bagi kaum buruh dalam konteks industrialisasi. Dalam teori sosialisme tentang keadilan, terkenal adalah prinsip yang oleh Karl Marx (1818-1883) diambil alih dari sosialis Prancis, Louis Blanc (1811-1882): ―from each according to his ability, to each according to his needs‖. Bagian pertama dari prinsip ini berbicara tentang bagaimana burdens harus dibagi: hal-hal yang menuntut pengorbanan. Sedangkan bagian kedua menjelaskan bagaimana benefits harus dibagi: hal-hal yang enak untuk didapat. Hal-hal yang berat harus dibagi sesuai dengan kemampuan. Tidak adil bila orang cacat, umpamanya diharuskan bekerja sama berat seperti orang yang utuh anggota badannya. Kepada orang yang menyandang cacat badan harus diberi pekerjaan yang cocok dengan kemampuannya. Hal-hal yang enak untuk diperoleh harus diberikan sesuai dengan kebutuhan. Misalnya pelayanan medis adalah adil bila diberikan sesuai dengan kebutuhan orang sakit. Adil tidaknya gaji atau upah juga harus diukur dengan kebutuhan. Perlu diakui, kebutuhan dan kemampuan memang tidak boleh diabaikan dalam melaksanakan keadilan distributif. Tetapi timbul kesulitan juga, bila prinsip ini dipakai sebagai pegangan satu-satunya untuk mewujudkan keadilan distributif. Terutama dua macam kritik dapat dikemukakan. Pertama, jika kebutuuhan menjadi satu-satunya kriteria untuk melaksanakan keadilan di bidang pendapatan, para pekerja tidak akan merasa termotivasi untuk bekerja keras. Gaji atau upah yang diperoleh sudah dipastikan seelum orang mulai bekerja, karena kebutuhannya sudah jelas. Bekerja keras atau malas-malas tidak akan mengubah 53 pendapatannya. Sistem imbalan kerja yang berpedoman pada kebutuhan saja akan mengakibatkan produktivitas kerja rendah dan ekonomi mandek. Seperti diketahui, di negara-negara komunistis dulu memang demikian. Kritik kedua, menyangkut kemampuan sebagai satu-satunya alasan untuk membagi pekerjaan. Terutama dalam sosialisme komunistis yang totaliter, prinsip ini mengakibatkan orang yang berkemampuan harus menerima saja, bila negara membagi pekerjaan padanya. Jika orang mempunyai kemampuan untuk menjnadi pilot dan negara sedang membutuhkan profesional-profesional ini, ia harus menerima pekerjaan ini sebagai profesinya. Tetapi belum tentu profesi pilot menjadi pilihannya juga. Cara mempraktikkan keadilan sosial atau distributif ini mengabaikan hak seseorang untuk memilih pekerjaannya sendiri. 3. Teori Liberalisme Liberalisme justru menolak pembagian atas dasar kebutuhan seabgai tidak adil. Karena manusia adalah mahluk bebas, kita harus membagi menurut usaha- usaha bebas dari individu-individu bersangkutan. Yang tidak berusaha tidak mempunyai hak pula untuk memperoleh sesuatu. Liberalisme menolak sebagai sangat tidak etis sikap free rider: benalu yang menumpang pada usaha orang lain tanpa mengeluarkan air keringat sendiri. orang seperti itu tidak mengakui hak sesamanya untuk menikmati hasil jerih payahnya. Dalam teori liberalistis tentang keadilan sosial atau distributif digarisbawahi pentingnya prinsip hak, usaha, tapi secara khusus prinsip jasa/prestasi. Terutama prestasi mereka lihat sebagai perwujudan pilihan bebas seseorang. 54 Salah satu kesulitan pokok dengan teori keadilan distributif ini adalah bagaimana orang yang tidak bisa berprestasi karena cacat mental atau fisik, orang yang menganggur di luar kemauannya sendiri, dan sebagainya? Mereka sebenarnya ingin berprestasi juga, tapi tidak bisa. Karena itu mereka tidak mendapat apa-apa? Apakah cara pengaturan masyarakat seperti itu bisa dianggap adil. 54 BAB IV PANDANGAN JOHN RAWLS TENTANG KONSEP KEADILAN SOSIAL Pengantar Konsepsi keadilan sosial John Rawls dihubungkan langsung dari pandangannya tentang masyarakat sebagai bentuk kerja sama sosial berkelanjutan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Ikatan kerja sama sosial didasarkan pada adanya identitas kepentingan bahwa kehidupan yang lebih baik dimungkinkan bagi semua orang daripada yang bisa didapatkan jika setiap orang berusaha mencukupi kebutuhannya sendiri-sendiri. Kendati ada kebutuhan dan kepentingan bersama yang memungkinkan adanya kerja sama sosial yang saling menguntungkan, masyarakat biasanya juga ditandai dengan adanya konflik kepentingan. Adanya konflik kepentingan dikarenakan setiap orang berbeda pandangan atau tidak sepakat dalam hal bagaimana hasil kerja sama sosial dibagi atau didistribusikan. Maka seperangkat prinsip dibutuhkan untuk mengatur cara bagaimana lembaga-lembaga sosial mendistribusikan hasil kerja sama sosial secara adil kepada para warga masyarakat. Prinsip itu adalah prinsip keadilan sosial. Hal yang perlu digarisbawahi ialah konsepsi keadilan sosial Rawls dibangun sesuai dengan pandangannya tentang masyarakat ideal yang disebutnya dengan masyarakat tertata baik (well-ordered society). Masyarakat ideal menurutnya ialah masyarakat yang diatur secara efektif oleh sebuah konsep keadilan sosial yang dapat diterima oleh semua pihak. Yakni masyarakat di mana 55 (1) setiap orang menerima dan mengetahui bahwa orang lain menganut prinsip keadilan yang sama, serta (2) institusi-institusi sosial dasar yang ada sejalan dengan prinsip-prinsip tersebut.1 Ini sejalan dengan gagasan utama teorinya yang disebut dengan justice as fairness, yakni prinsip-prinsip keadilan merupakan hasil kesepakatan dari orang-orang yang rasional, bebas, dan setara dalam situasi awal yang fair.2 Dengan demikian, sejalan dengan pokok-pokok masalah yang telah ditetapkan di bab pendahuluan, maka pembahasan dalam bab ini akan meliputi tiga hal. Pertama, bagaimana lingkup masalah keadilan sosial Rawls. Kedua, bagaimana inti atau substansi dari prinsip-prinsip keadilan sosial yang akan mengatur masyarakat. Dan ketiga, bagaimana prinsip-prinsip keadilan sosial itu dapat disepakati oleh semua orang? A. LINGKUP MASALAH KEADILAN SOSIAL 1. Timbulnya Masalah Keadilan Sosial Masalah keadilan sosial timbul dalam kondisi yang disebut oleh Rawls dengan “kondisi keadilan‖, circumstances of justice. Kondisi ini bisa dijelaskan sebagai kondisi di bawah mana kerja sama sosial itu dimungkinkan dan diperlukan, atau syarat-syarat yang mengharuskan perlunya prinsip keadilan yang mengatur pembagian hak dan kewajiban, keuntungan dan beban hasil kerja sama 1 John Rawls, Teori Keadilan: Dasar-Dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan Kesejahteraan dalam Negara, terj. Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), h. 5 2 John Rawls, Teori Keadilan, h. 14 56 sosial secara adil kepada para warga masyarakat. 3 Dalam Justice as Fairness, Rawls menerangkan juga kondisi keadilan sebagai refleksi historis di bawah mana masyarakat modern itu eksis. Kondisi ini bisa dipilah menjadi dua: objektif dan subjektif.4 Pertama, adanya situasi kelangkaan wajar. Kondisi ini bisa dijelaskan sebagai kondisi di mana segala hal yang dibutuhkan manusia untuk hidup tidak tersedia secara berlebihan dan berlimpah. Situasi kelangkaan wajar mendorong orang-orang dalam suatu lingkungan teritori tertentu untuk saling bekerja sama sehingga kehidupan yang lebih dan layak lebih dimungkinkan untuk didapat oleh semua orang. Tegasnya, masalah keadilan sosial hanya berkaitan dengan situasi kelangkaan di mana sumber daya yang tersedia tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan semua orang. Maka agar tidak ada yang mendapat lebih banyak dan tidak ada yang mendapat sedikit, perlu diatur pembagian yang adil dan layak. Kedua, adanya pluralitas doktrin komprehensif. situasi subjektif berkenaan dengan orang-orang yang bekerja sama. Yakni, ―…kendati berbagai pihak punya kebutuhan dan dan kepentingan yang sama, sehingga kerja sama yang sama-sama menguntungkan bisa dimungkinkan, bagaimana pun mereka punya rencana hidup mereka sendiri. Rencana-rencana tersebut, atau konsepsi tentang manfaat, menjadikan mereka punya tujuan dan sasaran yang berbeda, dan memunculkan klaim-klaim yang saling bertentangan mengenai sumber daya alam dan sosial…‖5 Rencana dan tujuan hidup seseorang tidak sekedar dilihat sebagai 3 John Rawls, Teori Keadilan, h. 153-154 John Rawls, Justice as Fairness: A Restatement, Erin Kelly (ed), (Cambridge: Harvard University Press, 2001), h. 84 5 John Rawls, Teori Keadilan, h. 154-155 4 57 kepentingan semata, melainkan lebih dari itu, melainkan nilai-nilai hidup yang patut diakui dan diklaim yang bersumber dari keyakinan agama, filsafat dan moral, yang dihayatinya. Akibatnya, ―…individu tidak hanya punya rencana hidup berbeda namun terdapat pluralitas doktrin komprehensif: agama, filsafat, dan moral…‖6 Dengan demikian masalah keadilan sosial timbul akibat adanya konflik kepentingan akibat perbedaan pandangan mengenai bagaimana hasil kerja sama sosial dalam situasi kelangkaan didistribusikan. Di mana kepentingan di sini tidak dilihat sebagai kepentingan semata, melainkan merupakan tujuan hidup orang layak dan pantas untuk dikejar oleh setiap orang yang dihayatinya berdasarkan keyakinan agama, filsafat, dan moral yang dianutnya. Maka itu, syarat-syarat objektif dan subjektif ini juga merupakan fakta-fakta dalam kehidupan sosial modern, di mana konsepsi keadilan sosial Rawls bertumpu. Tegasnya, masyarakat modern tak terealakkan menjadi masyarakat pluralistik dengan kepentingan dan anutan nilai hidup berbeda-beda, bahkan mungkin bertentangan. Maka pengaturan masyarakat yang adil tidak boleh didasarkan atas suatu anutan nilai hidup yang berbeda-beda itu, melainkan nilai hidup bersama yang disebut ‗keadilan‘ haruslah didasarkan atas kesepakatan bersama melalui prosedur tertentu yang diterima oleh semua orang. Maka kesepakatan bersama tentang nilai hidup bersama yang disebut ‗keadilan‘ menjadi suatu hal yang penting dan urgen bagi kehidupan sosial masyarakat modern pluralistik 6 155 58 ―...Di tengah tidak adanya ukuran tertentu tentang kesepakatan mengenai mana yang adil dan tidak, jelas lebih sulit bagi para individu untuk mengoordinasikan rencana-rencana mereka secara efisien dalam rangka menjamin bahwa tatanan yang saling menguntungkan tetap dipertahankan‖7 Oleh karena itu, keadilan sosial, bagi Rawls, tidak dilihat sekedar sebagai keadilan distributif semata. Artinya prinsip keadilan sekedar berperan menunjukkan hak dan kewajiban dasar, dan membagi keuntungan hasil kerja sama sosial secara adil, melainkan lebih jauh dari itu, Keadilan sosial merupakan prinsip keutamaan bagi landasan fundamental terwujudnya sebuah masyarakat tertata baik (well-ordered society), visi masyarakat yang dicita-citakan oleh Rawls. 2. Subjek Utama Keadilan Sosial Subjek utama dari prinsip keadilan sosial adalah apa yang disebut oleh Rawls dengan basic structure, struktur dasar masyarakat, yakni tatanan institusi-institusi/lembaga-lembaga sosial utama dalam satu skema kerja sama. Pengertian "institusi" dalam pengertian di sini tidak dipahami dalam arti umum seperti umum digunakan sebagaimana artinya dalam: Universitas Islam Negeri, Bank Indonesia, dan sebagainya. "Institusi" dalam contoh ini dimengerti sebagai "kumpulan individu-individu yang terorganisir".8 Adapun pengertian "institusi " yang dimaksudkan oleh John Rawls adalah "Sistem aturan publik yang menentukan jabatan serta posisi dengan hak dan kewajiban mereka, kekuatan dan kekebalan, dan lain-lain. Aturanaturan ini menggolongkan bentuk-bentuk tindakan yang diperbolehkan 7 Teori Keadilan, h. 5-7 Thomas Pogge, John Rawls: His Life and Theory of Justice, transl. Michelle Kosch, (New York: Oxford University Press, 2007), h. 28 8 59 dan dilarang; dan memberikan hukuman dan pembelaan tertentu, dan lainlain, ketika pelanggaran terjadi…‖9 Alasan Rawls menempatkan ―struktur dasar‖ sebagai subjek utama keadilan sosialnya karena dalam struktur dasar masyarakat sudah terkandung berbagai posisi sosial. Manusia dilahirkan dalam masyarakatnya sudah dalam posisi dan harapan masa depan yang berbeda-beda, ditentukan, sebagian oleh sistem politik, kondisi sosial dan ekonomi. Lembaga-lembaga sosial utama mendefinisikan hak-hak dan kewajiban, dan memengaruhi masa depan hidup setiap orang, cita-cita, impian serta kemungkinan tercapainya semua itu. dengan demikian, lembaga-lembaga utama masyarakat sesungguhnya sudah merupakan sumber berbagai ketimpangan dan kepincangan yang dalam, karena sudah merupakan titik awal keberuntungan bagi yang satu atau kemalangan bagi yang lain.10 Dalam Justice as Fairness, Rawls membedakan tiga tingkatan subjek keadilan sosial berdasarkan penerapan prinsip-prinsipnya. Dengan urutan insideoutward, ketiga tingkatan keadilan sosial itu adalah: (1) keadilan lokal (local justice): prinsip-prinsip keadilan yang diterapkan secara langsung pada praktikpraktik sosial dan hubungan-hubungan sosial; (2) keadilan domestik (domestic justice): prinsip-prinsip keadilan diterapkan pada struktur dasar masyarakat; (2) keadilan global (global justice): prinsip-prinsip keadilan sosial yang diterapkan pada hubungan atau hukum internasional, atau keadilan antar negara. 11 9 John Rawls, Teori Keadilan, h. 66-67 John Rawls, Teori Keadilan, h. 8 11 John Rawls, Justice as Fairness a Restatement, h. 10-11 10 60 Dengan demikian, prinsip keadilan sosial Rawls tidak berkaitan secara langsung dengan praktik-praktik sosial yang begitu banyak, melainkan prinsip yang diterapkan pada institusi-insitusi sosial utama yang menopang struktur sosial, seperti konstitusi politik, prinsip ekonomi, dan tatanan sosial. Prinsip keadilan sosial mengatur ―cara‖ bagaimana lembaga-lembaga sosial utama mendistribusikan apa yang disebut oleh Rawls dengan ―nilai-nilai primer‖, primary goods. Nilai-nilai primer itu antara lain: kebebasan dan kesempatan, pendapatan dan kekayaan. Dengan demikian, masalah pokok keadilan sosial Rawls mencakup tiga bidang: politik (kuasa), ekonomi (uang), dan sosial (status).12 B. Dua Prinsip Keadilan Sosial 1. Konsepsi Umum Konsepsi keadilan Rawls dengan dua prinsip keadilannya bertolak dari konsepsi umum keadilannya. Oleh karena itu, kita perlu melihat terlebih dahulu konsepsi umum keadilannya. Rumusan konsepsi keadilan umum adalah sebagai berikut: ―Semua nilai sosial primer –kebebasan dan kesempatan, pendapatan dan kekayaan, dan dasar-dasar harga diri-- harus didistribusikan secara sama (equally). Suatu distribusi yang tidak sama (unequal) sebagian atau keseluruhan nilai-nilai sosial tersebut hanya apabila hal itu bermanfaat menguntungkan semua orang.‖1 Konsepsi umum ini mengungkapkan elemen-elemen pokok dalam keadilan sosial John Rawls, di mana konsepsi keadilan khususnya tak lain sebagai bentuk penjabaran lebih lanjut dan solusi atas problem yang terdapat dalam 12 Bur Rasuanto, Keadilan Sosial: Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas. Dua Teori Filsafat Politik Kontemporer, (Jakarta: Gramedia, 2004), h. 14 61 konsepsi umum ini. Karena itu, ada beberapa hal dari konsepsi umum ini yang patut dicermati sebagai berikut: a) Prinsip pokok keadilan sosial Rawls adalah equality atau persamaan. b) Persamaaan dalam distribusi nilai-nilai sosial primer c) Ketidaksamaan dapat ditoleransi sejauh menguntungkan semua pihak. Jelas bahwa konsepsi umum di atas menunjukkan Rawls sebagai Egalitarian. Titik tolak prinsip keadilannya ialah ―persamaan‖ (equality). Tapi ia bukan seorang Egalitarianisme radikal, di mana ia juga menerima prinsip ―ketidak-samaan‖ (unequality). Di satu sisi bahwa keadilan sosial adalah penerapan prinsip persamaan dalam masalah distribusi nilai-nilai sosial primer. Di sisi lain, diakui, ketidaksamaan dapat ditoleransi sejauh hal itu menguntungkan semua orang terutama golongan yang paling tertinggal. Secara umum dapat dikatakan, sekujur konsepsi keadilan Rawls pada dasarnya bergerak menyusur di antara sisi persamaan dan ketidaksamaan tersebut. Dengan mengangkat prinsip persamaan atau equality orang mungkin segera mengira Rawls hanya menggabungkan diri ke dalam kubu sosialisme. Tapi Rawls tidak bermaksud menambah pengikut membangun teori alternatif bagi, dan sosialisme melainkan sekaligus mengungguli, hendak utilitarianisme dalam konteks masyarakat demokratik konstitusional. Berbeda dari sosialisme yang hanya menekankan penerapan prinsip kesamaan dalam distribusi ekonomi, Rawls menerapkan prinsip persamaan dalam distribusi nilai-nilai primer atau primary goods. Apa itu? nilai-nilai atau nikmat primer dirumuskan Rawls sebagai semua nilai atau nikmat material maupun non-material, yang langsung maupun 62 tidak langsung dapat memengaruhi kondisi kehidupan dan masa depan seseorang, nilai-nilai yang setiap manusia rasional diandaikan menghendakinya. Nilai-nilai itu mencakup nilai ekonomi (pendapatan dan kekayaan), tapi juga hak-hak dan kebebasan, kekuasaan dan kesempatan, kehormatan diri. Keadilan sosial berarti kesamaan dalam distribusi pendapatan dan kekayaan, tapi juga kesamaan dalam hak-hak, kebebasan dan kesempatan, serta kesamaan dalam dasar-dasar kehormatan diri. Disimpulkan secara sederhana dan populer, keadilan sosial Rawls melampaui apa yang menjadi titik perjuangan sosialisme dan liberalisme digabung menjadi satu.13 Lebih lanjut, persamaan distribusi nilai-nilai sosial primer ini memberikan suatu lukisan tentang kondisi hipotetis ideal, yakni kondisi di mana nilai-nilai sosial primer dapat dibagi dengan sama kepada semua orang, tanpa terkecuali. Dengan ini, masyarakat ideal ialah masyarakat di mana tidak ada kesenjangan dan ketidaksamaan. Kondisi sosial ini dapat dijelaskan sebagai situasi di mana semua orang punya hak dan kewajiban yang sama, pendapatan dan kekayaan dibagi sama rata. Kondisi ideal ini memberikan standar untuk menilai perbaikan kepada kehidupan sosial yang lebih baik.14 Jika ketimpangan dan ketidaksamaan 13 Bur Rasuanto, Keadilan Sosial, h. 43 Kondisi ideal ini sejalan dengan perhatian teori keadilannya. Teori keadilan secara intuitif bisa dipisahkan dalam dua bagian: bagian ideal dan bagian non -ideal. Bagian teori nonideal berkenaan dengan prinsip-prinsip menghadapi ketidakadilan yang sudah ada. Dalam konsepsi umum sebagaimana diatas misalnya, bagian non-ideal adalah bagian mengenai ketidaksamaan atau kesenjangan. Bagian teori ideal adalah pandangan mengenai masyarakat berkeadilan yang hendak diapai kalau bisa. Dalam soal di atas, bagian ideal berkaitan dengan persamaan distribusi nilai-nilai sosial primer. Itulah perhatian pokok konsepsi keadilan sosial Rawls. Karena itu sasarannya lebih tertuju pada kelompok pertama. Konsep non-ideal tidak bekerja sebelum konsep ideal, melainkan sesudahnya. Ukuran keadilan sosial tetap harus dilihat dari konsep keadilan secara keseluruhan. Lembaga-lembaga sosial yang ada harus dinilai dari kacamata konsepsi ini dan dinyatakan tidak adil sejauh mereka menyimpang dari konsepsi ini tanpa alasan yang cukup. Penjelasan lebih lanjut 14 63 distribusi nilai-nilai sosial primer justru membuat semua orang lebih baik daripada kondisi awal hipotetis ini, maka kondisi ini sejalan dengan tuntutan konsepsi keadilan umum.15 Will Kymlicka mengatakan bahwa konsepsi keadilan umum ini belum sempurna. Konsep umum ini mengandung berbagai konflik di antara nilai-nilai sosial primer yang bermacam-macam itu. Misalnya, kita barangkali dapat meningkatkan pendapatan seseorang dengan menghilangkan salah satu kebebasan dasar yang dimilikinya. Ketimpangan distribusi kebebasan ini akan menguntungkan yang paling kurang kaya dalam sebuah acara (pendapatan), tapi tidak dalam cara yang lain (kebebasan). Atau apa yang terjadi jika ketimpangan distribusi pendapatan menguntungkan semua orang dalam pengertian pendekatan, tetapi menciptakan ketimpangan dalam kesempatan yang merugikan mereka yang memiliki pendapatan kurang? Apakah perbaikan dalam pendapatan ini lebih penting dibandingkan kesempatan? dengan kerugian-kerugian dalam kebebasan atau 16 Dengan demikian, prinsip-prinsip keadilan umum ini belum memberi cukup petunjuk dalam mengatur distribusi nilai-nilai sosial primer yang adil Karena itu, Rawls kemudian mengembangkan prinsip-prinsip umum ini lebih lanjut dengan penjabaran dan sistem prioritas dalam sebuah konsepsi keadilan sosial yang lebih khusus. Konsepsi khususnya ini dikembangkan dalam bentuk berkaitan pandangan Rawls tentang pembagian teori keadilan: bagian ideal dan non -ideal, bisa dilihat dalam, John Rawls, Teori Keadilan, pada halaman 9-10 dan 312-314 15 John Rawls, Teori Keadilan,. h. 74-75 16 Will Kymlicka, Pengantar Filsafat Politik Kontemporer: Kajian Khusus atas Teori Teori Keadilan, terj. Agus Wahyudi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 71 64 dua prinsip keadilan sosial, di mana hal ini termasuk bagian utama dari teori keadilan yang paling utama. 2. Konsepsi Khusus: John Rawls merumuskan konsepsi khusus keadilan ke dalam dua prinsip keadilan sosial. Rumusan tersebut sebagai berikut: Prinsip Pertama: Setiap orang mempunyai hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang. Prinsip Kedua: Ketimpangan sosial dan ekonomi ditata sedemikian hingga mereka (a) memberi keuntungan terbesar pada kelompok yang paling lemah, dan (b) semua posisi dan jabatan terbuka bagi semua orang dalam kondisi kesetaraan peluang yang fair .17 a. Prinsip Keadilan Pertama Prinsip pertama ini disebut sebagai ―persamaan kebebasan-kebebasan dasar‖. Dalam hal ini Rawls menganut egalitarianisme. Prinsip ini berkenaan dengan masalah kebebasan-kebebasan dasar warga masyarakat. Kebebasankebebasan dasar yang dimaksudkan oleh Rawls tersebut antara lain meliputi: ―kebebasan politik (hak untuk memilih dan dipilih menduduki jabatan publik) bersama dengan kebebasan berbicara dan berserikat; kebebasan berkeyakinan dan kebebasan berpikir; kebebasan seseorang seiring dengan kebebasan untuk mempertahankan hak milik (pribadi); dan kebebasan dari penangkapan sewenang-wenang sebagaimana didefinisikan oleh konsep rule of law.‖18 Prinsip keadilan pertama ini mengatur agar kebebasan-kebebasan ini dasar ini diharuskan setara, karena warga suatu masyarakat yang adil mempunyai hakhak dasar yang sama. Kebebasan-kebebasan ini harus tersedia dengan cara yang 17 18 John Rawls, Teori Keadilan, h. 72 John Rawls, Teori Keadilan, h. 73 65 sama untuk semua warga masyarakat. Masyarakat tidak diatur dengan adil apabila hanya satu golongan dalam masyarakat saja yang diperbolehkan, misalnya, untuk mengemukakan pendapatnya, atau semua warga masyarakat dipaksa untuk memeluk satu agama tertentu saja. Rawls di sini tidak berbicara tentang teori umum kebebasan, melainkan bagaimana prinsip keadilan dapat menjamin kebebasan-kebebasan dasar. Perbincangan tentang kebebasan di sini dalam hubungan dengan batasan-batasan konstitusional dan legal. Yakni, kebebasan yang dipahami sebagai sistem aturan publik tertentu yang mendefinisikan hak dan kewajiban. 19 Hal penting yang perlu diperhatikan ialah bahwa kebebasan berpikir dan kebebasan suara hati, kebebasan person manusia dan kebebasan sipil, singkatnya apa yang kini dipahami sebagai hak asasi, tidak boleh dikorbankan untuk kebebasan politik, untuk kebebasan kesamaan partisipasi dalam politik. Dengan kata lain, kebebasan politik harus didasarkan atas penghormatan terhadap kebebasan yang lebih dasar, yaitu kebebasan suara hati.20 Lebih lanjut, Rawls menggarisbawahi bahwa kebebasan-kebebasan dasar harus dinilai sebagai ―satu kesatuan, atau sebagai satu sistem‖21 Artinya, kebebasan setiap orang tidak lepas begitu saja dari kebebasan orang. Dan juga suatu bentuk kebebasan tertentu tidak bisa dihayati dan dilaksanakan terpisah begitu saja dari pelaksanaan bentuk-bentuk kebebasan lainnya. Nilai dari masing- 19 John Rawls, Teori Keadilan, h. 254 John Rawls, Teori Keadilan, h. 259. 21 John Rawls, Teori Keadilan, h. 255 20 66 masing kebebasan dasar haruslah dipahami dalam relasinya serta dalam ketergantungannya pada keseluruhan kebebasan dasar sebagai suatu sistem. 22 Dengan kata lain, tuntutan untuk mendapatkan kebebasan dasar tertentu yang lebih luas tidak dapat diterima kecuali apabila tuntutan itu memperkosa kebebasan-kebebasan dasar sebagai suatu keseluruhan. Misalnya, setiap orang mempunyai hak untuk bicara, dan kareanya setiap orang mempunyai hak untuk menuntut pelaksanaan hak berbicara ini. Akan tetapi, tidak berarti bahwa setiap orang mempunyai hak untuk memaksakan pikiran dan pendapatnya kepada orang lain. Apabila itu terjadi, maka sesungguhnya di sini telah terjadi pemerkosaan dan penghancuran terhadap kebebasan pihak lain dalam hal berpikir dan mengikuti suara hatinya sendirinya. Pertimbangan di atas memperlihatkan bahwa betapa pun mendasarnya kebebasan sebagai nilai utama bagi manusia, tetap saja ada kemungkinan untuk membatasi pelaksanaanya.23 Itu berarti bahwa tidak ada satu pun kebebasan bersifat absolut dan dengan itu juga memperlihatkan sifat prima facie24 dari setiap bentuk kebebasan dasar. Dengan kata lain, kebebasan dasar merupakan nilai fundamental bagi manusia, karenanya wajib dilindungi dan dibuka peluang sebesar-besarnya untuk 22 mewujudkannya. Akan tetapi, kebebasan-kebebasan John Rawls, Teori Keadilan; Ada berbagai bentuk pembatasan, namun dalam konteks kehidupan bersama sebuah anggota masyarakat dan yang berlaku sama secara sama bagi semua anggota masyarakat adalah pembatasan konstitusional atau legal. John Rawls, h. 254 24 Prima facie: sejauh kebebasan-kebebasan itu dilihat pada dirinya sendiri kebebasankebebasan itu harus sepenuhnya dijamin, tetapi karena dalam kenyataan kehidupan masyarakat kebebasan-kebebasan itu baik saling menunjang maupun saling membatasi, masing -masing justru tidak boleh dimutlakkan melainkan haruslah dijamin dengan melihat kebebasan -kebebasan lain. Dalam bahasa sederhana, antara kebebasan-kebebasan dasar yang dijamin harus ada keseimbangan. Franz Magnis Suseno, Etika Politik : Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,Cet. ke-5 (Jakarta: Gramedia, 1999), h. 132-133 23 67 dasar itu hanya dapat dilaksanakan sejauh pelaksanaan masing-masing tidak membahayakan kebebasan secara keseluruhan sebagai sebuah sistem, di mana setiap bentuk kebebasan saling terkait sebagai satu kesatuan. b. Prinsip Keadilan Kedua Prinsip keadilan sosial yang kedua berkenaan dengan masalah distribusi sumber daya sosial dan ekonomi. Dalam hal ini, Rawls menegaskan bahwa distribusi dalam bidang ini boleh dibagi secara tidak sama (unequality). Namun ketidaksamaan di sini tidak boleh dipahami secara mutlak, melainkan ketidaksamaan itu haruslah memenuhi dua unsur berikut. (a) posisi kekuasaan dan jabatan publik harus bisa diakses oleh, atau terbuka untuk, semua orang; (b) harus demi keuntungan semua orang, khususnya golongan yang paling lemah. Dengan demikian, prinsip keadilan sosial yang kedua ini terdiri dari dua prinsip. (1) persamaan kesempatan yang fair, (2) prinsip perbedaan atau biasa disebut dengan difference principle. Keduanya harus dilihat sebagai satu kesatuan. Prinsip perbedaan atau difference principle adalah salah satu bagian penting keadilan sosialnya, bahkan konsepsi umum tak lain adalah penerapan difference principle. Prinsip keadilan sosial yang kedua ini merupakan solusi dan jawaban Rawls atas masalah ―persamaan kesempatan‖ dalam keadilan distributif, di mana perspektif yang ada selama ini dianggap tidak cukup memuaskan. Perspektif Rawls atas masalah tersebut –dengan digabungkannya prinsip persamaan kesempatan dengan prinsip perbedaan- disebutnya sebagai perspektif ―kesamaan demokratis‖. Setidaknya, ada dua persepektif dalam menginterpretasi persamaan 68 kesempatan ditolak olehnya. Pertama interpretasi kesamaan kesempatan formal dan persamaan kesempatan fair Secara intutif, prinsip persamaan kesempatan diterima sebagai justifikasi keadilan distributif. Berikan kesempatan yang sama, maka apa yang dicapai masing-masing dianggap adil. pendapat seperti itu dilatari oleh anggapan bahwa orang berhak menentukan pilihan hidupnya sendiri. Dan apa pun yang dicapainya tidak ada sangkut-pautnya dengan masalah keadilan apabila hal itu bukan karena keadaan melainkan karena pilihannya sendiri. Kesamaaan kesempatan menyediakan peluang bagi masing-masing orang berusaha mencapai tujuan hidupnya bukan atas dasar kemampuan ekonomi, klas sosial, warna kulit, jenis kelamin. Gagasan utama yang mendasari pandangan kesamaan kesempatan diatas ialah, ―…justru fair bagi individu-individu untuk menerima bagian yang tidak sama atas nilai-nilai sosial primer jika ketimpangan tersebut didapatkan dan diakui sebagai hak yang semestinya diterima oleh individu-individu, yaitu jika ini adalah hasil tindakan-tindakan dan pilihan individu itu. Tetapi justru tidak fair bagi individu-individu untuk diuntungkan atau diistimewakan menurut perbedaan perbedaan dalam keadaan-keadaan sosialnya yang bersifat semena-mena, dan yang tidak diakui sebagai hak yang semestinya diterima…‖25 Rawls mengakui daya pikat pandangan ini. Tetapi ada sumber ketimpangan yang tidak semestinya yang lain yang diabaikan oleh pandangan ini. Benar bahwa ketimpangan sosial adalah tidak semestinya, dan karena itu tidak 25 Will Kymlicka, Pengantar Filsafat Politik , h. 75 69 fair jika nasib seseorang menjadi lebih buruk gara-gara ketimpangan tidak semestinya itu. Ketimpangan itu adalah ketimpangan-ketimpangan dalam bakat alamiah atau genetis. Dengan perspektif kesamaan demokratik Rawls (persamaan kesempatan fair + prinsip perbedaan), maka kesamaan kesempatan tidak hanya terbebas dari kontingensi sosial dan historis, tapi juga terbebas dari kontingensi genetis seperti kemampuan alami dan bakat. Prinsip difference tidak membenarkan keunggulan sosial maupun kemujuran kodrati dijadikan semacam titik-tolak begitu saja bagi seseorang dalam mencapai nikmat-nikmat distributif dalam masyarakat. Itu tidak berarti prinsip perbedaan bertujuan menghapus perbedaan atau ketidaksamaan. Kelebihan dan kemampuan alami dan bakat memang harus dipandang sebagai karunia alami dan manusia tidak berhak mengubah atau mencampurinya. Orang tidak minta dilahirkan cacat, sebagai jenius, berbakat seni, sebagai anak pejabat tingg, anak presiden ataupun menteri. Bahwa seseorang dilahirkan dalam masyarakat dalam pada kedudukan sosial khusus, itu hanyalah fakta alamiah. Tidak ada masalah adil atau tidak adil di sini. Apa yang tidak adil adalah cara institusi-institusi menangani fakta itu.26 Dengan prinsip difference maka pandangan yang lazim terhadap karunia kodrati –kelebihan dalam bakan dan kemampuan alami—harus diubah: kelebihan genetis jangan lagi dianggap sebagai aset pribadi melainkan harus dipandang sebagai aset bersama. Kelebihan bakat atau kemampuan kodrati yang dikaruniakan alam kepada seseorang bukanlah miliknya melainkan milik bersama 26 John Rawls, Teori Keadilan, h. 102 70 yang dititipkan kepadanya untuk dipelihara. Setiap keuntungan yang berasal dari kelebihan alami/genetis, nilainya ditentukan oleh apakah keuntungan semua golongan terutama mereka yang paling lemah. Dengan ini Rawls mengangkat solidaritas sosial sebagai salah satu kriteria masyarakat berkeadilan sosial.27 c. Hubungan Antara Dua Prinsip keadilan Bagaimana hubungan antara prinsip-prinsip keadilan sosial yang telah penulis sebelumnya. John Rawls menempatkan dua prinsip keadilan sosial dalam urutan yang disebutnya dengan ―prioritas leksikal‖ (lexical priority). Prinsip pertama mendahului prinsip kedua dalam urutan leksikal. Artinya urutan prinsip persamaan kebebasan sebagai prinsip pertama mendahului pengaturan kesamaan ekonomi, dan ketidaksamaan sosial, seperti urutan kata dalam kamus yang tidak boleh. Prinsip persamaan kebebasan-kebebasan dasar harus lebih dahulu daripada prinsip-prinsip ekonomi dan sosial. Prinsip persamaan kebebasan- kebebasan dasar tidak bisa dinegosiasikan, dikompromikan, atau digantikan, atau bahkan dikorbankan untuk kepentingan dan keuntungan-keuntungan ekonomi dan sosial yang lebih besar. Pada skala nilai dalam masyarakat adil yang dicita-citakan Rawls, paling atas harus ditempatkan hak-hak kebebasan yang klasik, yang pada kenyataan sama dengan dengan kini disebut sebagai Hak Asasi Manusia. 28 Prinsip kedua yang berkenaan dengan ketimpangan atau ketidaksamaan distribusi dan kesempatan sosial dan ekonomi oleh Rawls dipecah lagi dalam dua bagian: (2a) masalah ketidaksamaan distributif, (2b) kesamaan kesempatan yang 27 28 Bur Rasuanto, Keadilan Sosial, h. 81-83 John Rawls, Teori Keadilan, h. 73 71 fair bagi posisi dan jabatan publik yang harus terbuka bagi semua pihak. Masalah yang berkenaan dengan kesamaan kesempatan. Distribusi kekayaan dan pendapatan, serta posisi dan jabatan publik, harus sejalan dengan kebebasankebebasan dasar warga masyarakat dan kesamaan kesempatan. Urutan secara serial atas prinsip-prinsip tersebut mengekspresikan pilihan dasar di antara nilainilai sosial primer. 29 C. Posisi Asali (Original Position) Sebagaimana telah dijelaskan, Rawls menghubungkan langsung konsepsi keadilannya dengan pandangannya tentang masyarakat sebagai suatu sistem kerja sama sosial yang berkelanjutan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Sedang prinsip keadlan yang harus menjadi subjek struktur dasar masyarakat, harus merupakan hasil persetujuan awal dalam situasi yang fair. Dengan dasar pemikiran seperti itu, pilhan logis adalah kembali ke teori kontrak sosial yang oleh Rawls disebut sebagai original position, posisi asali atau posisi awal. Dalam posisi asali, original position ini dibayangkan orang-orang bebas dan rasional yang menaruh minat memajukan kepentingan-kepentingannya akan mereima di dalam posisi awal prinsip persamaan sebagai yang mendefinisikan syarat-syarat fundamental ikatan mereka. Meskipun posisi asali dimaksudkan sebagai konsep heuristik30 –konsep yang ibarat tangga yang diperlukan untuk memanjat naik dan bisa dibuang 29 30 setelah tidak diperlukan lagi—namun John Rawls, Teori Keadilan, h. 74-75 Bur Rasuanto, Keadilan Sosial, h. 53 Rawls menganggapnya 72 sebagai interpretasi standar atas teori kontrak tradisional yang diterapkan dalam teori moral. 1. Legitimasi Prinsip Moral Teori kontrak biasanya dilihat semacam perjanjian saling menguntungkan. Karena itu penggunaan konsep kontrak pada teori moral sering menjadi mangsa empuk kritik. Tak terkecuali terhadap teori kontrak Rawls. Tapi Rawls memahami kontrak di sini sebagai yang disebutnya ―suatu tingkat abstraksi tertentu‖31 dari teori kontrak tradisional itu. ia menggunakan teori kontrak bukan sebagai cara untuk melegatimasi negara, seperti misalnya pada Hobbes atau Locke, melainkan untuk meligitimasi prinsip moral.32 Dalam hal ini isi perjanjian relevan kontrak bukan untuk mengadopsi suatu bentuk pemerintahan, melainkan untuk menyetujui prinsip-prinsip moral tertentu. Argumen kontrak sosial Rawls hanyalah salah satu saja dari banyak teori kontrak moral; yang paling ekstrem bahkan menggunakan argumen kontrak untuk memahami keseluruhan isi moralitas. Tapi Rawls yakin interpretasi standar dan paling tepat adalah original position. Meksi mengikuti tradisi kontrak sosial, original position menurut Rawls, bukan situasi faktual historis ataupun keadaan pra sosial dalam kehidupan manusia primitif, melainkan murni situasi hipotetis. 33 Untuk memahami original position, kita diminta membayangkan suatu situasi hipotetis di mana orang-orang yang akan mengadakan kerja sama sosial bertemu untuk menentukan prinsip-prinsip yang akan mengatur ikatan kerja sama mereka agar saling menguntungkan. Secara rinci Rawls melukiskan siapa dan mengapa 31 John Rawls, Teori Keadilan, h. 12 John Rawls, Teori Keadilan. 33 John Rawls, Teori Keadilan, h. 147 32 73 kumpulan orang-orang dalam original position atau posisi asali yang akan mengadakan kontrak atau persetujuan itu: ―Mereka yang terlibat dalam kerja sama sosial memilih bersama prinsipprinsip yang akan memberikan hak dan kewajiban dasar, serta menetapkan pembagian keuntungan sosial. Mendahului kerja sama itu mereka memutuskan di muka bagaimana mereka mengatur klaim-klaim satu terhadap yang lain, dan apa yang harus dijadikan prinsip masyarakat mereka. Seperti juga masing-masing orang harus memutuskan dengan refleksi rasional apa yang melahirkan yang-baik baginya…begitu juga suatu kelompok orang harus memutuskan sekali dan untuk semua yang mereka pandang sebagai yang adil dan tidak adil.‖34 Orang-orang dalam original position merupakan orang-orang rasional, mahluk moral yang bebas dan sederajat. Namun tak boleh dilupakan bahwa meski merupakan suatu bentuk kerja sama, bagaimanapun masyarakat ditandai oleh konflik kepentingan yang berbeda-beda. Jika dilepas begitu saja, sukar dibayangkan mereka akan mencapai perseteujuan apa pun. Misalnya, seorang kaya akan merasa rasional mengajukan prinsip bahwa berbagai pajak untuk kebijakan kesejahteraan adalah tidak adil; Di sisi lain, orang miskin akan cenderung mengusulkan prinsip yang sebaliknya. 35 Intinya adalah dengan kepentingan berbeda-beda dan di bawah pengaruh kontingensi sosial maupun kodrati, bagaimana mungkin mereka membuat kontrak atau persetujuan? Jadi apa yang harus dilakukan? 2. Tabir Ketidaktahuan (Veil of Ignorance) Rawls memberikan jawabannya bahwa mereka diisolasikan dari segala informasi dengan mengandaikan mereka berada di balik ―tabir ketidaktahuan‖ 34 35 John Rawls, Teori Keadilan, h. 14 John Rawls, Teori Keadilan, h. 21 74 yang disebut Rawls dengan veil of ignorance. Di balik ―tabir‖ tersebut dibayangkan mereka yang berkumpul dalam posisi awal itu dibebaskan dari segala kontingensi sosial dan historis, dibersihkan dari segala unsur yang menyebabkan persetujuan tidak bisa dibuat (karena perbedaan informasi mengenai yang diketahui dan yang tidak diketahui, status, motivasi dan tujuan berkumpul, rasionalitas). Seberapa terisolasinya mereka memang menimbulkan perdebatan, karena seperti digambarkan Rawls, ―Tak seorang pun yang tahu tempatnya di dalam masyarakat, posisi kelas atau status sosialnya, ia juga tidak tahu keberuntungannya dalam distribusi aset-aset serta kecakapan alamiah, kecerdasan dan kekuatan, dan lain-lain. Juga tak ada yang tahu soal konsepsinya tentang konsepnya sendiri mengenai yang-baik, termasuk rencana hidupnya sendiri secara terperinci; atau ia bahkan juga tidak mengenal secara pasti situasi psikologisnya, seperti ketidaksukaannya mengembil resiko serta kecenderungan bersikap optimis atau pesimis…Semua pihak juga tidak mengetahui situasi khusus yang melingkupi masyarakat mereka. Artinya mereka tidak tahu situasi ekonomi dan politiknya, atau taraf peradaban dan kebudayaan yang telah dapat dicapai.‖36 Isolasi terhadap orang-orang di original position itu hampir sempurna sampai-sampai diasumsikan mereka itu tidak tahu di generasi mana mereka hidup. Tapi di lain pihak, harus dibayangkan mereka bukan orang-orang yang terkena lupa ingatan sepenuhnya. Sebab mereka masih mengetahui bahwa masyarakat merupakan subjek circumstances of justice, --kondisi di bawah mana kerja sama sosial dimungkinkan dan diperlukan— tahu akan fakta-fakta umum mengenai masyarakat manusia, paham akan politik dan prinsip-prinsip teori ekonomi, basis organisasi sosial dan hukum psikologi manusia. Pendeknya mereka tahu faktafakta umum yang memengaruhi pilihan terhadap prinsip-prinsip keadilan. Dari 36 John Rawls, Teori Keadilan, h. 165 75 basis situasi yang fair itu, mereka akan memilih konsepsi keadilan yang secara rasional paling menguntungkan. Itu sebabnya, Rawls pada mulanya beranggapan teori keadilannya merupakan bagian, bahkan bagian terpenting, teori pilihan rasional.37 Konsep veil of ignorance fundamental di sini karena menentukan apakah kontrak atau persetujuan dapat dilakukan atau tidak. Dengan veil of ignorance, orang-orang pada informasinya,38 original position konflik dalam posisi setara, kepentingan ditidurkan, moral maupun sehingga membuat pemilihan secara aklamasi konsepsi keadilan tertentu menjadi mungkin. Tanpa pembatasan akses mereka terhadap berbagai informasi dan pengetahuan, tawar-menawar di original position akan tak tertolong ruwetnya. Di balik cadar ketidaktahuan, kumpulan orang-orang dalam original position berada dalam situasi fairness dan memenuhi syarat keadilan proseduran murni: mereka punya harapan yang sama untuk menang dan kemungkinan yang sama untuk kalah. Di balik ―tabir‖ itu mereka dibebaskan dari segala pengaruh kontingensi sosial yang dapat membuat ada di antara mereka berada pada posisi lebih beruntung dalam tawar menawar. Veil of ignorance, dengan demikian, membedakan teori kontrak Rawls dari teori kontrak tradisional: kontraktor Rawsl berada dalam posisi sederajat, sebaliknya kontraktor Rawls. 2. Rasionalitas dan Strategi Maximin 37 38 Bur Rasuanto, Keadilan Sosial, h. 56 Will Kymlicka, Pengantar Filsafat Politik , h. 84 76 Posisi asali adalah situasi khusus yang dirancang, bukan dikonstruksi, untuk tujuan khusus, yaitu memilih dan menyepakati konsep keadilan sosial yang memenuhi kriteria tertentu. Salah satu syarat formal konsep yang-hak. Hal demikian dikarenakan konsepsi keadilan sosial Rawls mengambil dasar deontologis yang menganggap yang-hak prioritas atas yang baik. Ada beberapa perbedaan penting antara kedua konsep fundamental ini teori moral ini. Pertama, yang-hak haruslah diterima semua pihak, sementara yang baik tidak perlu. Prinsip yang dipilih orang-orang dalam posisi asali diputuskan dengan suara bulat, tapi tak perlu terjadi aklamasi untuk menentukan yang-baik. Kedua umumnya adalah baik bahwa orang punya konsepsi berbeda-beda mengenai yang-baik, tapi tidak begitu halnya bagi konsepsi yang-hak. Ketiga, dalam posisi asali, prinsip keadilan berdasarkan nilai yang-hak dipilih di balik selubung ketidaktahuan atau veil of ignorance, sebaliknya untuk menentukan yang-baik orang harus bersandar pada pengetahuan dan informasi sepenuhnya atas fakta-fakta. maka konsepsi keadilan yang akan dipilih dalam posisi asali, haruslah memenuhi syarat-syarat formal konsepsi yang-hak, yaitu (1) prinsip itu haruslah umum (general) bentuknya, (2) universal aplikasinya, (3) diakui secara publik (publicity), (4) berurutan secara leksikal, (5) mahkamah terakhir bagi klaim-klaim person moral. Dirangkum dalam satu rumusan: suatu konsepsi yang-hak adalah suatu perangkat prinsip yang umum bentuknya dan universal aplikasinya, diakui secara publik sebagai mahkamah terakhir bagi penyelesaian klaim-klaim moral yang saling berkonflik.39 39 John Rawls, Teori Keadilan, h.158-163 77 a. Strategi Maximin Tapi apa yang harus dipilih orang orang dalam posisi asali, original position, bagaimana mereka harus memilih dan tahuh bahwa mereka membuat pilhan yang benar. Meski terisolasi oleh veil of ignorance, orang-orang dalam posisi asali bukanlah orang-orang yang kehilangan rasionalitas dan masih punya perangkat preferensi koheren Menurut mereka antara pilihan-pilihan yang terbuka baginya. Rawls, mereka tahu bagaimana mengurutkan pilihan-pilihan, bahwa melindungi kebebasan, meluaskan kesempatan, meningkatkan cara memajukan tujuan-tujuan.40 Bur Rasuanto memberi tamsil akan hal tersebut bahwa, adalah rasional bahwa mereka akan memilih prinsip-prinsip yang sudah tersedia daripada membuat usulan sendiri. Tapi sekiranya akan membuat usulan sendiri, adalah rasional bahwa mereka tidak akan mengusulkan yang bukan-bukan karena tidak ada insentifnya. Misalnya, adalah tidak rasional bahwa mereka akan mengusulkan memberi hak-hak istimewa karena alasan etnis atau asal kelahiran. Atau usul seperti misalnya yang sampai usia 15 tahun masih buta huruf tidak diizinkan masuk kota. Orang-orang dalam posisi asali, original position juga tidak mungkin mengambil prinsip yang secara eksplisit mengandung doktrin rasial misalnya, karena bukan saja tidak adil tapi juga irrasional; doktrin seperti itu bukan konsepsi moral melainkan alat penindasan. Sebenarnya apa prinsip yang akan dipilih dalam posisi asali dapat dites melalui pandangan salah seorang yang dipilih secara acak, mengingkat posisi 40 John Rawls, Teori Keadilan, h. 172-173 78 masing-masing anggota masing-masing orang dalam posisi asali itu setara. Artinya apa yang diputuskan salah seorang dari mereka sudah akan mewakili keseluruhan partai. Misalnya, mengenai distribusi nilai-nilai primer: adalah tidak beralasan apabila ia mengharapkan mendapat lebih, sebaliknya adalah tidak rasional bahwa ia akan menerima prinsip persamaan sebagai dasar distribusi nilainilai primer: persamaan kebebasan bagi semua, persamaan kesempatan dan persamaan distribusi pendapatan dan kekayaan. Dan itu berarti, ia telah memilih dua prinsip keadilan intuitif Rawls. Tapi tes itu belum memastikan orang-orang dalam posisi asali akan memilih konsepsi keadilan intuitif tersebut. Meski sama-sama rasional, tapi mereka sama-sama di balik veil of ignorance, dan tidak bisa membayangkan dengan cara bagaimana prinsip-prinsip yang akan mereka pilih itu nantinya menguntungkan atau merugikan dirinya dan orang yang diwakilinya. Mereka tidak tahu bagaimana berbagai alternatif akan mempengaruhi pertimbangan masing-masing. Mereka diharuskan menilai prinsip-prinsip semata-mata atas dasar pertimbangan-pertimbangan umum. Menghadapi ‗masa depan‘ yang tidak pasti semacam itu, adalah rasional bahwa posisi asali hanya akan menentukan strategi memilih dan bukan memilih prinsip keadilannya sendiri. Dan bagaimana strategi memilih yang mereka ambil? Rawls percaya mereka akan menerapkan prinsip ―dapatkan maksimum pada keadaan minimum‖. Inilah prinsip maximum minimorum atau yang disingkat maximin. Perhatikan tabel yang dimodifikasi dari tabel yang dibuat oleh Rawls.41 41 John Rawls, Teori Keadilan, h. 186 79 KEADAAN PILIHAN A B C 1 -4 9 12 2 -5 7 13 3 5 6 8 Apabila seluruh informasi diketahui sehingga keadaan yang akan terjadi bisa diperhitungkan, orang tentu akan memilih alternatif 1 atau 2, tergantung pada informasi yang diperolehnya dan kesimpulan yang dibuatnya. Kalau diramalkan akan terjadi keadaan C, pilhan 2 (nilai 13) yang paling menguntungkan; kalau yang terjadi keadaan B maka yang paling menguntungkan pilihan 1 (nilai 9). Tapi karena orang-orang dalam posisi asali tidak mengetahui informasi apa yang akan terjadi karena tidak memiliki informasi, pilihan paling aman dan masuk akal adalah 3 (nilai 5): memang tidak terlalu menguntungkan apabila terjadi keadaan B maupun C, tapi justru paling menguntungkan kalau yang terjadi keadaan terrburuk (A). Inilah pilhan dengan asas maximum minimorum atau maximin yang digunakan kumpulan orang di orpos untuk memilih prinsip keadilan dengan argumen kontrak sosial. Asas maximin adalah memilih alternatif yang paling menguntungkan jika terjadi keadaan paling buruk. Orang-orang dalam posisi asali tidak akan memilih strategi spekulatif atau untung-untungan melainkan memilih strategi aman yaitu solusi maximin. Berdasarkan asas maximin ini pilihan paling menguntungkan adalah dua prinsip keadilan Rawls. 42 42 Bur Rasuanto, Keadilan Sosial, h. 60-61 80 Dengan demikian, uraian mengenai konsep keadilan sosial menurut John Rawls telah penulis bahas. Konsep keadilan sosial Rawls didasarkan pada dua prinsip keadilan yang diyakininya, akan, dipilih oleh orang-orang yang rasional, bebas, dan setara dalam posisi awal yang fair. Hal ini sejalan dengan gagasan besar teori Rawls, justice as fairness, yakni prinsip-prinsip keadilan merupakan hasil kesepakatan bersama dalam posisi awal yang fair (original position). BAB V PENUTUP Setelah melakukan penjelajahan secara singkat padat terhadap pemikiran John Rawls di bab-bab terdahulu, pada momen ini sudah saat untuk menarik kesimpulan dari berbagai gagasan Rawls menyangkut konsepsinya tentang keadilan sosial. Konsepsi keadilan sosialnya bertolak dari masyarakat sebagai sebuah sistem kerja sama sosial saling menguntungkan antar manusia. Di mana masalah keadilan lahir akibat adanya konflik kepentingan dikarenakan masing-masing orang tidak sependapat mengenai bagiamana hasil kerja sama sosial dibagi secara adil kepada para warga masyarakat. Dalam situasi demikian, sebuah konsepsi keadilan sosial bersama dinilai oleh Rawls merupakan tuntutan dasar dalam memecahkan konflik dalam masyarakat. Kesepakatan bersama mengenai mengenai apa yang adil dan tidak adil menjadi batasan sejauh mana setiap orang dapat mengajukan klaimnya masing-masing. Konsepsi keadilan sosial Rawls didasarkan pada dua prinsip keadilan sosial yang diyakininya akan dipilih dalam original position. Dua prinsip ini tidak hanya sesuai dan selaran dengan rasa keadilan, namun juga dapat dipertanggungjawabkan secara rasional. Karena itu, konsepsi keadilan sosial Rawls dianggap memiliki keunggulan dan kekuatan dibandingkan konsepsi keadilan sosial lainnya. 81 82 Konsepsi keadilan sosial menampilkan pandangannya yang egalitarian, tapi bukan seorang egalitarian radikal. Prinsip keadilan sosial mengusung prinsip persamaan sebagai prinsip pokoknya. Ada sejumlah prinsip persamaan dalam keadilan sosial, semisal persamaan distribusi, persamaan pendapatan, persamaan nilai-nilai sosial primer, tapi Rawls mengusung prinsip persamaan kebebasan. Dalam konsepsinya, kebebasan-kebebasan dasar atau fundamental mendapat prioritas tertinggi dan tidak boleh dikorban oleh kepentingan ekonomi dan sosial maupun politis. Di samping, prinsip persamaan konsepsinya khususnya juga mengangkat prinsip ketidaksamaan. Dalam bagian ini ketidaksamaan hanyalah diperbolehkan dalam bidang sosial dan ekonomi, tapi dengan batasan bahwa ketidaksamaan sosial dan ekonomi haruslah di bawah persamaan kesempatan yang fair bagi semua orang tanpa terkecuali, sekaligus ketidaksamaan haruslah menguntungkan orang yang paling lemah atau paling kurang beruntung. Dalam hal ini, Rawls melalui prinsip difference menampilkan sebuah terobosan baru dalam keadilan distributif yang selama ini hanya didasarkan pada prinsip kesamaan kesempatan fair saja sehingga abai terhadap faktor-faktor keberuntungan yang bersifat genetisi atau alamiah. Di perspektif kesamaan demokratis, prinsip persamaan kesempatan fair yang selama ini menjadi justifikasi bagi segala ketimpangan dan kesenjangan sosial ekonomi dikawinkan dengan prinsip difference. Dengan demikian, Rawls benar-benar menjaga peluang dan kesempatan bagi setiap untuk mencapai kesejahteraan bagi orang yang paling kurang beruntung dari segi alamiah atau genetis. 83 Konsepsi keadilan Rawls harus dilihat lebih jauh tentang pandangannya bahwa keadilan masyarakat yang merupakan diatur kebajikan oleh utama dalam masyarakat. sebuah konsepsi bersama tentang Sebuah keadilan digambarkan oleh Rawls sebagai suatu gambaran mengenai masyarakat yang tertata baik, well-ordered society. Hal tersebut merupakan visi Rawls tentang masyarakat ideal, di mana keadilan merupakan landasan fundamental kehidupan bersama sebagai sebuah masyarakat untuk dapat berkelanjutan, stabil, dan bersatu. Konsepsi keadilan sosial John Rawls yang didasarkan nilai-nilai persamaan, kebebasan dan solidaritas sesungguhnya merupakan suatu hal yang tidak lagi asing dalam wacana filsafat politik Islam. Banyak di antara pemikirpemikir Muslim yang bahkan jauh lebih dulu berbicara tentang keutamaan keadilan sebagai nilai prinsipil bagi kehidupan bersama sebagai sebuah masyarakat dengan karakteristik pemikirannya. Di antaranya adalah Ibnu Khaldun (1332), seorang filsuf Muslim yang dikenal dengan karyanya Muqaddimah. Ibnu Khaldun menempatkan keadilan sebagai tolak punggung suatu negara.1 Di samping itu, ada juga Baqir al-Shadr yang menjelaskan bagaimana peran tauhid dalam menciptakan sistem sosial ideal. Al-Shadr bahkan menegaskan bahwa Islam sangat menjunjung tinggi persamaan. Islam tidak mengenal adanya diskriminasi dalam memandang dan memerlakukan umatnya. Hal ini merupakan konsekuensi logis pandangan tauhid di mana di hadapan Allah semuanya adalah sama, yaitu sebagai hamba Allah. Tidak ada individu, kelompok, atau bangsa yang lebih tinggi derajat dan kelasnya sehingga dapat mengeksploitasi, menjajah, 1 Hanik Yuni A lfiyah, “Ibnu Khaldun dan Tafsir Sosial” dalam Jurnal Paramedia, vol. ke-7, No. 2, April 2006, h. 6 84 dan menundukkan yang lain. Bahkan Islam mengutuk tindakan tersebur serta menegaskan bahwa kepatuhan terhadap perbuatanitu adalah syirk. Dan masih banyak lainnya. Terlepas dari semua itu, masing-masing memiliki kekhasan dan keunikan tersendiri dalam menjelaskan bagaimana suatu bentuk tata sosial dan tata politik yang ideal sesuai dengan konteks zamannya. Dalam hal ini, teori John Rawls memang lebih relevan dalam konteks masyarakat zaman sekarang yang hampir sebagian besar bersandar pada prinsip-prinsip demokrasi. Dan konsepsi keadilan sosial Rawls sebagaimana ditegaskannya hanya dapat diterapkan dalam kultur masyarakat demokrasi konstitusional, bukan lainnya. 85 DAFTAR PUSTAKA Alfiyah, Hanik Yuni, “Ibnu Khaldun dan Tafsir Sosial” dalam Jurnal Paramedia, vol. ke-7, No. 2, April 2006, h. 6 Christman, John. Social and Political Philosophy: A Contemporary Introduction, London: Routledge, 2002. Daniels, Norman (ed). Reading Rawls: Critical Studies on Rawls A Theory of Justice, New York: Basic Books, 1980. Graham, Paul. Rawls. Oxford: Oneworld, 2007. Gewertz, Ken. “John Rawls, Influental Political Philosopher Dead at 81”, artikel diakses pada 1 Maret 2009 dari http://www.news.harvard.edu/gazette/2002/11. 21/99- rawls.html Ginsberg, Morris. Keadilan dalam Masyarakat. Yogyakarta: Pondok Edukasi, 2003. Kaelan. Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat. Yogyakarta: Paradigma, 2005. Kymlica, Will. Pengantar Filsafat Politik Kontemporer: Kajian Khusus atas Teori-Teori Keadilan. terj. Agus Wahyudi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. Mandle, Joe. Rawls’s ‘A Theory of Justice’ an Introduction. New York: Cambridge University Press, 2009. Miller, David. Principles of Social Justice. London: 1999. Harvard University Press, Oneil, Onora. “Catatan Sederhana Tentang Etika Kant”, dalam Etika Terapan I, ed. Lary May, dkk, terj. Sinta Carolina, dkk, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001. Pogge, Thomas. John Rawls: His Life and Theory of Justice, trans. Michelle Kosch, New York: Oxford University Press, 2007. Rawls, John, Teori keadilan: Dasar-Dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Negara. terj. Uzair Hamzah dan Heru Prasetyo. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006. 86 -------, Political Liberalism. New York: Columbia University Press, 1993 -------, Justice as Fairness: A Restatement, Erin Kelly (ed). Cambridge: Harvard University Press, 2001. Rasuanto, Bur. Keadilan Sosial: Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas, Dua Teori Filsafat Politik Modern, Jakarta: Gramedia, 2005 Russel, Bertrand. Sejarah Filsafat Barat: Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik Zaman Kuno Hingga Sekarang, cet. Ke-2, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. Suseno, Franz Magnis. Kuasa dan Moral, cet.ke-2, Jakarta: Gramedia, 1988. -------, Pijar-Pijar Filsafat dari Gatholoco ke Filsafat Perempuan, dari Adam Muller ke Posmodernisme. cet.ke-5, Yogyakarta: Kanisius, 2009. -------, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: Gramedia, 1987. -------, Etika Dasar, Masalah-Masalah Pokok Kanisius, 1987 Filsafat Moral. Yogyakarta: Ujan, Andre Uta. Keadilan dan Demokrasi: Telaah Filsafat Politik John Rawls, cet.ke-5, Yogyakarta: Kanisius, 2005. Veger, K.J. Realitas Sosial. Refleksi Filsafat Sosial atas Hubungan IndividuMasyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi. Jakarta: Gramedia, 1986. Wahyudi Agus, “Filsafat Politik Barat dan Masalah Keadilan: Catatan Kritis atas Pemikiran Will Kymlicka” dalam Jurnal Filsafat, April 2004, Jilid 36, Nomor 1