WAWASAN ISLAM MENGGUGAH DAYA KRITIK AGAMA MUTOHHARUN JINAN pd fsp litm erg er. co m) seperti pembakaran, pengrusakan dan pembunuhan. Yang lebih tragis ketika semua tindakan kekerasan dan pembunuhan itu mendapat legitimasi agama, sehingga pelakunya tidak merasa bersalah. Perlu ditegaskan bahwa agama pada dirinya sendiri menentang praktik-praktik kekerasan. Manusialah yang menjerumuskan agama ke dalam praktik demikian. Fitrah agama menyangkut hubungan manusia dengan Yang Maha Kuasa, kesucian hidup, keluhuran akhlak, ketenangan, dan kedamaian. Pengrusakan, penjarahan, perampasan nyawa, teror, intimidasi, tidak sesuai dengan jiwa agama. Secara individual agama berfungsi sebagai kekuatan moral yang ampuh, yang mendorong orang berbuat baik, menjauhkan diri dari kejahatan dan hawa nafsu, mengejar ketenteraman dan keselamatan di dunia maupun akhirat. Agama memotivasi orang untuk mengamalkan kebaikan kepada sesama dalam semangat pengabdian kepada Yang Maha Kuasa. Mustahil agama dari dirinya sendiri mendorong orang untuk melakukan tindak kekerasan represif yang menyengsarakan orang lain. Secara sosial agama menjadi cermin bagi distorsi akhlak dan budi pekerti dalam masyarakat. Korupsi, penindasan, kemaksiatan, dan tindakan-tindakan amoral lainnya menjadi abnormal berhadapan dengan nilai-nilai agama yang menjunjung tinggi keluhuran moral. Cara ritus, syariat agama bisa berbeda satu sama lain, namun tujuan luhur seperti itu kurang lebih sama. Secara moral agama wajib diamalkan dengan sekuat tenaga demi kemaslahatan individu maupun masyarakat. Begitulah agama menjadi sendi utama peradaban, the pillar of civilized society. Agama diberikan Tuhan untuk manusia. Agama untuk membela nasib manusia dari kemiskinan, kebodohan, ketertindasan dan ketidakadilan, bukan manusia untuk agama atau membela agama. Jika memang agama datangnya dari Tuhan, maka Tuhan sendiri yang akan menjaga dan membelanya. Ini berarti, realitas manusia harus dilihat sebagai pra-syarat untuk memahami dan merealisasikan setiap ajaran agama dalam kehidupannya. De mo (V isi t htt p:/ /w w w. S alah satu fungsi yang ditampilkan oleh agama-agama pada awal kemunculannya adalah menjadi kesadaran kritis dan kekuatan dalam menegakkan etika sosial yang menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan. Fungsi agama dalam pengertian ini mengandaikan suatu kerangka pikir bahwa setiap perilaku yang merendahkan martabat manusia adalah bertentangan dengan hakikat dan misi agama. Sebaliknya, setiap tindakan yang mengangkat derajat martabat manusia adalah sesuai dengan hakekat dan fungsi agama. Tidak sulit untuk membuktikan bahwa agama berfungsi sebagai kesadaran kritis terhadap lingkungan sosial. Dalam sejarah Islam misalnya, Nabi Muhammad saw sebagai pembawa risalah Islam selalu melakukan perenungan dan refleksi kritis atas kejadian-kejadian di masyarakat Arab jahiliyah yang sudah jauh menyimpang dari tatakrama berkehidupan. Hal ini ditunjukkan oleh Muhammad bin Abdullah dengan seringnya melakukan ‘uzlah (menyepi dari keramaian orang) di Gua Hira, dan selanjutnya di gua inilah beliau menerima wahyu pertama kali. Dengan bekal wahyu itu beliau melakukan “kritik” untuk perbaikan masyarakat. Persoalannya kemudian adalah apakah posisi Islam sebagai agama dengan kesadaran kritis itu sekarang masih terus bertahan? Di satu sisi, di tengah krisis multi-dimensi ini kita jumpai banyak orang yang semakin dekat dan membutuhkan agama, meski dalam bentuknya yang mistik/spiritual. Di sisi lain, agaknya fungsi agama Islam sebagai kesadaran kritis dan penegak etika sosial semakin sulit ditemui. Apalagi jika dikaitkan dengan kekuasaan politik dan kompetisi penumpukan materi yang sangat rentan dengan konflik dan kekerasan. Dalam ranah ini, agama, termasuk Islam, tidak jarang dijadikan sebagai alat yang paling efektif untuk menggerakkan massa sehingga melakukan tindakan yang bertentangan dengan agama itu sendiri. Fungsi Agama Agama diyakini oleh pemeluknya sebagai sesuatu yang datang dari Allah yang bersifat suci, mutlak, dan harus diterima kebenarannya tanpa syarat apa pun. Agama menuntut penyerahan total dari pemeluknya. Pada tahapan ini, sikap keberagamaan mempunyai kecenderungan yang irasional dan dapat mendorong perilaku dan tindakan yang emosional. Konflik agama dalam tahapan pemahaman demikian akan melahirkan gerakan radikal dan tindakan yang keras, bahkan di luar batas yang dapat diterima akal sehat 54 7 - 21 SYAWAL 1431 H Daya Kritik Dengan melihat realitas manusia untuk memahami dan merealisasikan ajaran agama maka agama akan dengan sendirinya tampil sebagai kesadaran kritis. Maksudnya, teks-teks ajaran agama yang telah permanen dan baku dimaknai dengan termino- WAWASAN ISLAM Foto: DOK. PP MUHAMMADIYAH De mo (V isi t htt p:/ /w w w. logi dan problem sosial yang terjadi saat ini. Menampilkan agama sebagai kesadaran kritis ini semakin terasa mendesak terutama ketika ia berhadapan dengan negara. Oleh karena itu, tidak seharusnya agama menjadi permainan kelembagaan, apalagi terjebak atau malah berhenti pada simbolsimbol komunal. Jika agama bisa ditampilkan sebagai kesadaran kritis, maka agama akan dapat memberi semacam check and balance dalam kehidupan berbangsa. Adapun dalam kaitannya dengan kehidupan bernegara, dengan kesadaran kritisnya itu agama bahkan dapat membuat negara mengendalikan dirinya dalam bertindak. Memang, ada persoalan tentang bagaimana membawa wacana keagamaan itu ke ruang publik. Di antara persoalan itu adalah masih kuatnya klaim kebenaran absolut yang diyakini oleh setiap pemeluk agama. Klaim kebenaran itu, selanjutnya dibawa ke dalam wilayah publik melalui simbol-simbol keagamaan seperti organisasi, sekte, partai politik agama yang disakralisasikan. Dalam bukunya, When Religion Becomes Evil, 2004, Charles Kimbal mensinyalir fenomena ini kerap melahirkan sikap-sikap primordial, yang secara sosiologis, telah membuat berbagai konflik sosial politik yang berimplikasi pada perang antaragama dan timbulnya kekerasan atas nama kebenaran. Atas dasar kenyataan itu, membawa wacana keagamaan ke dalam ruang publik hendaknya tidak dalam bentuk simbolik, tetapi dalam wujud nilai-nilai yang bersifat etis-ideologis. Nilai-nilai yang bersifat etis-ideologis itu, misalnya, menyangkut kasih sayang, kejujuran, keadilan, saling menghargai yang semua itu ada dan melekat pada semua agama. Kesadaran semacam inilah yang mestinya dibawa ke ruang publik, karena di dalamnya terkandung pd fsp litm erg er. co m) nilai-nilai yang dapat dijadikan acuan bersama dalam kehidupan berbangsa. Selain itu, nilai-nilai yang hendak diusung ke ruang publik itu sebaiknya dikemas dalam bahasa yang tidak sektarian. Bahasabahasa yang menjadi simbol komunal agama tertentu mesti dicairkan ke bahasa publik, yakni bahasa yang secara sosiologis dapat dimengerti dan diterima oleh semua agama. Hal ini bisa ditopang dengan memahami dan menggali unsur-unsur humanisme agama. Agama yang akan di bawa ke ruang publik harus kuat dalam pembelaannya pada manusia. Dengan begitu, agama dapat membebaskan manusia dari satu himpitan struktural seperti kemiskinan, ketidakadilan, penindasan dan intimidasi. Dalam konteks masyarakat Indonesia peranan agama dalam ranah sosial dan politik masih sangat besar, karena penduduk Indonesia semua beragama sehingga agama dianggap paling efektif mempengaruhi massa dan untuk memperoleh dukungannya kepada partai politik tertentu. Apalagi masih kuatnya anggapan, kekuasaan itu bersifat sakral, karena dianugerahkan Tuhan kepada orang-orang tertentu untuk mewakili kekuasaan-Nya di dunia. Anggapan demikian, mengakibatkan pergulatan untuk memperoleh kekuasaan dan usaha mempertahankannya merupakan bagian dari agama. Kecenderungan inilah yang kemudian menjadikan agama dimanipulasi untuk kepentingan kekuasaan dan politiknya. Implikasinya adalah membela kekuasaan politik untuk membela agama, mati dalam pembelaan akan mendapat kredit poin masuk surga. Sedangkan dalam tataran sosial, realitas keanekaragaman atau pluralitas merupakan hal yang mustahil dihindari bagi setiap warga Indonesia. Oleh karena itu, pluralitas harus dilihat sebagai sunnatullah, kehendak Allah, yang telah digariskan dengan tujuan agar manusia dalam menjalani kehidupannya terdorong untuk saling berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan (fastabiqul khairat). Dalam kehidupan keagamaan, pluralitas itu dapat dilihat dari banyaknya agama dan kepercayaan yang ada di masyarakat. Sedangkan secara internal dalam satu agama pluralitas dapat dilihat dari banyaknya kelompok-kelompok atau aliran-aliran keagamaan di setiap agama. Agama memang sumber kritik sosial yang abadi, meskipun daya kritik agama tidak sama dengan kritik sosial pada umumnya. Agama-agama besar senantiasa mengundang kemungkinan kritik sosial yang tajam, betapa pun mereka telah menyesuaikan diri dalam konteks masyarakat tertentu. Kalau memang, agama akan berfungsi sebagai kritik sosial, maka ia tidak dapat direduksikan menjadi sekumpulan dogma yang dimengerti secara mekanis. Agama perlu melenturkan sikap dogmatisnya ketika berhadapan dengan kenyataan sosial yang berubah. Daya kritik adalah hakiki dalam setiap agama. Daya inilah yang menjamin kelangsungan hidup agama-agama. Sebagaimana pernyataan Ackerman, agama yang kehilangan daya kritiknya akan segera membeku, dan bukan mustahil, agama akan ditinggalkan pemeluknya. Kondisi ini lazim disebut dengan agama tanpa pengikut.l *Penulis adalah pengasuh Pondok Shabran Universitas Muhammadiyah Surakarta. SUARA MUHAMMADIYAH 18 / 95 | 16 - 30 SEPTEMBER 2010 55