BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku Seksual pada Remaja 2.1

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perilaku Seksual pada Remaja
2.1.1 Pengertian
Santrock (2007) mengutip pendapat Skinner (1938) mengemukakan bahwa
perilaku merupakan hasil hubungan antara rangsangan (stimulus) dan tanggapan
(respon). Ada dua bentuk tanggapan, yakni:
a)
Respondent response atau reflexive response, ialah tanggapan yang ditimbulkan
oleh rangsangan-rangsangan tertentu. Rangsangan yang semacam ini disebut
eliciting stimuli karena menimbulkan tanggapan yang relatif tetap.
b)
Operant response atau instrumental response, adalah tanggapan yang timbul
dan berkembangnya sebagai akibat oleh rangsangan tertentu, yang disebut
reinforcing stimuli atau reinforcer. Rangsangan tersebut dapat memperkuat
respons yang telah dilakukan oleh organisme. Oleh sebab itu, rangsangan yang
demikian itu mengikuti atau memperkuat sesuatu perilaku tertentu yang telah
dilakukan
Menurut Notoatmodjo (2007), perilaku seksual remaja terdiri dari kata-kata
yang memiliki pengertian yang sangat berbeda satu sama lainnya. Perilaku dapat
diartikan sebagai respon organisme atau respons seseorang terhadap stimulus
(rangsangan) yang ada. Sedangkan seksual adalah rangsangan atau dorongan yang
timbul berhubungan dengan seks. Jadi, perilaku seksual adalah tindakan yang
Universitas Sumatera Utara
dilakukan oleh remaja berhubungan dengan dorongan seksual yang datang baik dari
dalam dirinya maupun dari luar dirinya.
Menurut Sarwono (2012), perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang
didorong oleh hasrat seksual baik yang dilakukan dengan lawan jenisnya maupun
sesama jenis tanpa adanya ikatan pernikahan menurut agama. Bentuk-bentuk tingkah
laku ini bisa bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik sampai tingkah laku
berkencan, bercumbu, dan bersenggama. Objek seksualnya bisa orang lain, orang
dalam khayalan atau diri sendiri.
Suryoputro dkk (2007) yang mengutip pendapat Bandura (1990), bahwa
perilaku seksual tidak merupakan hasil langsung dari pengetahuan atau ketrampilan,
melainkan suatu proses penilaian yang dilakukan seseorang dengan menyatukan ilmu
pengetahuan, harapan, status emosi, pengaruh sosial dan pengalaman yang didapat
sebelumnya untuk menghasilkan suatu penilaian atas kemampuan mereka dalam
menguasai situasi yang sulit.
2.1.2 Bentuk-bentuk Perilaku Seksual
Hidayah (2010) yang mengutip Duvall dan Miller (1985) mengatakan bahwa
bentuk perilaku seksual pranikah mengalami peningkatan secara bertahap. Adapun
bentuk – bentuk perilaku seksual tersebut adalah.
a)
Touching, seperti berpegangan taPngan, dan berpelukan.
b)
Kissing, berkisar dari ciuman singkat dan cepat sampai kepada ciuman yang
lama dan lebih intim.
Universitas Sumatera Utara
c)
Petting, seperti menyentuh atau meraba daerah erotis dari tubuh pasangan
biasanya meningkat dari meraba ringan sampai meraba alat kelamin.
d)
Sexual Intercourse, hubungan kelamin atau senggama
2.1.3 Faktor Penyebab Perilaku Seksual
Menurut Sarwono (2012), masalah seksualitas pada remaja timbul karena
faktor-faktor berikut, yaitu :
1)
Perubahan-perubahan hormonal yang meningkatkan hasrat seksual (libido
seksualitas). Peningkatan ini membutuhkan penyaluran dalam bentuk tingkah
laku seksual tertentu.
2)
Penyaluran itu tidak dapat segera dilakukan karena adanya penundaan usia
perkawinan, baik secara hukum maupun karena norma sosial yang makin lama
makin menuntut persyaratan yang makin tinggi untuk perkawinan (pendidikan,
pekerjaan, persiapan mental, dan lain-lain)
3)
Sementara usia kawin ditunda, norma-norma agama tetap berlaku di mana
seseorang dilarang untuk melakukan hubungan seks sebelum menikah. Untuk
remaja yang tidak dapat menahan diri akan terdapat kecenderungan untuk
melanggar saja larangan-larangan tersebut.
4)
Kecenderungan pelanggaran makin meningkat oleh karena adanya penyebaran
informasi dan rangsangan seksual melalui media massa dengan adanya
teknologi canggih (VCD, internet, handpone seluler, dan lain-lain) menjadi
tidak terbendung lagi. Remaja yang dalam periode ingin tahu dan ingin
Universitas Sumatera Utara
mencoba akan meniru apa yang dilihat atau didengarnya dari media massa,
khususnya bila mereka belum mengetahui secara lengkap dari orang tua.
5)
Di pihak lain, adanya kecenderungan pergaulan makin bebas antara pria dan
wanita akibat dari peran dan pendidikan wanita yang makin sejajar dengan pria.
Sehingga kurang adanya pemantauan bagi anak remaja.
Hidayah (2010) yang mengutip pendapat Pratiwi (2004), bahwa faktor –
faktor yang memengaruhi prilaku seksual pada remaja yaitu faktor biologis, pengaruh
teman sebaya, pengaruh orang tua, akademik, pemahaman, pengalaman seksual,
pengalaman dan penghayatan nilai – nilai keagamaan, kepribadian dan pengetahuan
mengenai kesehatan reproduksi.
Menurut Indrayani dan Saepudin (2008), dalam pandangan Rosenstock dan
Becker (1954) melalui teori Health Belief Model (HBM), bahwa remaja yang
melakukan hubungan seksual pranikah sehingga mengakibatkan kehamilan pranikah,
lebih disebabkan karena beberapa faktor diantaranya rendahnya pengetahuan tentang
seksualitas dan kontrasepsi, pengaruh norma kelompok sebaya yang dianutnya, status
hubungan, harga diri yang rendah serta rendahnya keterampilan interpersonal
khususnya perempuan untuk bersikap asertif yakni sikap tegas untuk mengatakan
tidak terhadap ajakan melakukan hubungan seks dari teman kencannya.
2.1.4 Akibat dari Perilaku Seksual Remaja
Sarwono (2012) mengutip pendapat Simkins (1984), sebagian dari tingkah
laku itu memang tidak berdampak apa-apa, terutama jika tidak ada dampak fisik atau
sosial yang dapat ditimbulkannya. Tetapi pada sebagian perilaku seksual yang lain,
Universitas Sumatera Utara
dampaknya bisa cukup serius seperti perasaan bersalah, depresi, marah, misalnya
pada gadis- gadis yang terpaksa menggugurkan kandungannya.
Sarwono (2012) juga mengutip pendapat Sanderowitz dan Paxman (1985),
bahwa akibat psikososial lainnya adalah ketegangan mental, dan kebingungan akan
peran sosial yang tiba-tiba berubah jika seorang gadis tiba-tiba hamil dan juga akan
terjadi cemoohan dan penolakan dari masyarakat sekitarnya. Akibat lainnya adalah
terganggunya kesehatan dan risiko kehamilan serta kematian bayi yang tinggi dan
berkembangnya penyakit menular seksual. Selain itu ada juga akibat-akibat ekonomis
karena diperlukan ongkos perawatan dan lain-lain.
Menurut Muadz dan Syaefuddin (2010), salah satu tugas perkembangan sosial
yang harus dijalani oleh remaja adalah tugas untuk mempraktekkan pola hidup sehat
(practice healthy life). Banyaknya kasus perilaku seksual pranikah, kecanduan
narkoba dan terjangkit HIV/AIDS, jelas menunjukkan sebagian remaja Indonesia
berprilaku tidak sehat. Dengan demikian, sebagai akibatnya, sejumlah remaja yang
berperilaku tidak sehat itulah yang akan terganggu pertumbuhan dan perkembangan
fisik, mental, emosional dan spiritualnya. Perilaku seksual yang tidak bertanggung
jawab atau perilaku seksual menyimpang akan mengakibatkan kehamilan tidak
diinginkan (KTD) pada remaja.
Menurut Irma (2010), remaja-remaja Indonesia sedikit demi sedikit mulai
mengadopsi budaya Barat dalam cara berpakaian, bertutur kata, maupun pola
pergaulan yang semakin bebas. Perilaku seks bebas yang sudah lazim di belahan
Universitas Sumatera Utara
dunia barat sudah mulai merebak di kalangan remaja Indonesia. Akibatnya, para
remaja putri semakin banyak yang hamil pada usia muda, yakni antara 13–19 tahun
.
2.2 Asertifitas Remaja dalam Perilaku Seksual
Menurut Rickert dkk (2002), bagian yang paling penting pada masa remaja
adalah perkembangan seksualitas dan tercapainya kesehatan seksual yang baik. Hal
ini ditandai dengan adanya keterampilan yang digunakan untuk mengontrol gairah
seksual dan untuk mengatur konsekuensi yang tidak diinginkan dari perilaku seksual
beresiko. Seorang remaja harus memiliki kemampuan untuk berkomunikasi secara
efektif dalam perilaku seksual, hal ini sangat penting untuk melindungi dirinya
terhadap perilaku seksual yang tidak diinginkan. Namun, terkadang remaja terutama
remaja perempuan tidak tahu bagaimana mengatakan “tidak” kepada pacarnya jika
dia diajak melakukan sesuatu yang belum sepatutnya dilakukan. Sikap tegas dalam
perilaku seksual telah dikembangkan untuk lebih memahami komunikasi perempuan
dalam upaya melindungi hak –hak seksualitasnya, hal ini didasarkan pada asumsi
bahwa perempuan memiliki hak atas tubuh mereka sendiri.
Hidayah (2010) yang mengutip pendapat Getlin et al (2009), mengemukakan
bahwa faktor signifikan yang mengarah ke situasi seksual negatif adalah kurangnya
komunikasi asertif dapat menjadi masalah bagi berbagai alasan, termasuk
menyebabkan penyesalan dari hubungan seksual, tertular infeksi menular seksual, dan
mengalami situasi seksual paksaan. Situasi-situasi ini dapat mengakibatkan berbagai
Universitas Sumatera Utara
tingkat kesulitan, mulai dari kecemasan dan rendah diri sampai berkurangnya prestasi
akademik remaja apabila hal ini terjadi pada remaja awal.
2.2.1 Pengertian Asertifitas
Myers dan Myers (2002) mengatakan asertifitas adalah salah satu gaya
komunikasi dimana individu dapat mempertahankan hak dan mengekspresikan
perasaan, pikiran dan kebutuhan secara langsung, jujur dan bersikap terus terang.
Menurut Alberti & Emmons (2002), asertif adalah suatu kemampuan untuk
mengkomunikasikan apa yang diinginkan, dirasakan, dan dipikirkan kepada orang
lain namun dengan tetap menjaga dan menghargai hak-hak serta perasaan pihak lain.
Menurut Brown dkk (2009), asertif adalah kemampuan berkomunikasi yang meliputi
berbagi
perasaan
yang
positif,
mengapresiasikan
kehangatan,
mampu
mengungkapkan perasaan dari ketidaknyamanan, mengatur batasan, dan berkata tidak
pada orang lain yang berupaya mempengaruhi keinginan dan keyakinan diri kita.
Muadz dan Syaefuddin (2010) mendefinisikan asertif adalah sebuah sikap
untuk mengekspresikan diri secara tegas kepada pihak lain tanpa harus menyakiti
pihak lain ataupun merendahkan diri di hadapan pihak lain. Bersikap tegas adalah
sebuah cara khusus yang dapat dipelajari dan dipraktekkan. Sikap tegas membuat
seseorang mampu menyatakan pikiran, perasaan dan nilai-nilai mengenai sesuatu
secara terbuka dan langsung, dengan tetap menghormati perasaan dan nilai – nilai
pihak lain. Bersikap tegas adalah salah satu perilaku yang dapat dipilih ketika
seseorang berada dalam situasi yang sulit dan ketika harus mengambil sebuah
Universitas Sumatera Utara
keputusan. Keterampilan ini meningkatkan kemungkinan seseorang menghadapi
sebuah situasi sulit tanpa kehilangan harga diri atau martabatnya.
Auslander (2008) mengemukakan tentang skala ketegasan seksual (Sexual
Assertiveness Scale) yang menilai tingkat ketegasan seksual yang dilakukan pada tiga
dimensi yaitu inisiasi, penolakan, dan pencegahan kehamilan dan penyakit infeksi
menular seksual (IMS). Subskala pertama yaitu inisiasi, menilai persepsi wanita
tentang sejauh mana dia memulai hubungan seks. Subskala kedua yaitu penolakan,
mengukur persepsi wanita dari sejauh mana ia menolak hubungan seksual yang tidak
diinginkan, dan yang terakhir subskala ketiga yaitu pencegahan kehamilan dan IMS
menilai sejauh mana persepsi wanita dan menekankan pada penggunaan metode
kontrasepsi dengan pasangannya dan pencegahan IMS.
Menurut East dan Adams (2002), asertif dalam perilaku seksual berarti
mengenali tanda-tanda dari perilaku seksual yang tidak wajar dan berpotensial
mengendalikan dari pelecehan, serta memiliki kekuatan dan kemampuan untuk
mengatakan tidak. Ini berarti memiliki hak untuk menerima pendidikan yang
komprehensif tentang seksualitas, yang mengajarkan kemampuan untuk menentukan
pilihan. Bagi mereka yang memilih untuk aktif secara seksual, itu berarti memiliki
hak untuk melindungi diri terhadap risiko kehamilan, HIV dan penyakit menular
seksual lainnya. Dalam hubungan seksual, keterampilan untuk asertif sangat sulit dan
rumit untuk diperoleh, terutama bagi remaja, namun bagaimanapun saat ini remaja
sangat memerlukannya.
Universitas Sumatera Utara
Falah (2009) yang mengutip pendapat Oriza (2000), menyatakan bahwa
asertif dalam perilaku seksual pranikah adalah kemampuan seseorang bersikap tegas
mempertahankan hak seksualnya untuk tidak dilecehkan dan dapat mengambil
keputusan seksualnya dengan tetap memberi penghargaan atas hak orang lain dan
tanpa menyakiti orang lain atau pasangannya, serta mengekspresikan dirinya secara
jujur dengan cara yang tepat tanpa perasaan cemas yang mengganggu sehingga
mendorong terwujudnya kesejajaran dan persamaan dalam hubungan dengan
pasangannya.
2.2.2 Komponen Asertifitas Remaja
Marini dan Andriani (2005) yang mengutip pendapat Martin dan Poland
(1980), menyatakan, ada beberapa komponen dari asertifitas, antara lain :
a. Compliance
Berkaitan dengan usaha seseorang untuk menolak atau tidak sependapat dengan
orang lain. Yang perlu ditekankan disini adalah keberanian seseorang untuk
mengatakan “tidak” pada orang lain jika memang itu tidak sesuai dengan
keinginannya.
b. Duration Of Play
Merupakan lamanya waktu bagi seseorang untuk mengatakan apa yang
dikehendakinya, dengan menerangkan pada orang lain. Orang yang asertivitasnya
tinggi memberikan respons yang lebih lama (dalam arti lamanya waktu yang
digunakan untuk berbicara) daripada orang yang tingkat asertifnya rendah.
Universitas Sumatera Utara
c. Loudness
Berbicara dengan lebih keras biasanya lebih asertif, selama seseorang itu tidak
berteriak. Berbicara dengan suara jelas merupakan cara yang terbaik dalam
berkomunikasi secara efektif dengan orang lain.
d. Request for New Behavior
Meminta munculnya perilaku yang baru pada orang lain, mengungkapkan
tentang fakta ataupun perasaan dalam memberikan saran pada orang lain, dengan
tujuan agar situasi berubah sesuai dengan yang kita inginkan.
e. Affect
Afek berarti emosi, ketika seseorang berbicara dalam keadaan emosi maka
intonasi suaranya akan meninggi. Pesan yang disampaikan akan lebih asertif jika
seseorang berbicara dengan fluktuasi yang sedang dan tidak berupa respons yang
monoton ataupun respons yang emosional.
f. Latency of Response
Adalah jarak waktu antara akhir ucapan seseorang sampai giliran kita untuk
mulai berbicara. Kenyataannya bahwa adanya sedikit jeda sesaat sebelum menjawab
secara umum lebih asertif daripada tidak jeda.
g. Non Verbal Behavior
Komponen – komponen non verbal dari asertivitas antara lain seperti kontak
mata, ekspresi muka, jarak fisik, sikap badan dan isyarat tubuh.
Universitas Sumatera Utara
2.2.3 Tipe Perilaku Asertif
Hapsari (2010) mengutip pendapat Abate dan Milan (1985) menjelaskan ada 3
(tiga) tipe perilaku asertif yaitu,
a.
Asertif untuk menolak (Refusal Assertiveness)
Perilaku asertif dalam konteks ketidaksetujuan atau ketika seseorang berusaha
untuk menghalangi atau mencampuri pencapaian tujuan orang lain. hal ini
membutuhkan keterampilan sosial untuk menolak atau menghindari campur tangan
orang lain.
b.
Asertif untuk memuji (Commendatory Assertiveness)
Ekspresi-ekspresi dari perasaan positif seperti penghargaan, apresiasi dan
menyukai dapat dilihat untuk memfasilitasi hubungan interpersonal yang baik.
Kemampuan untuk memuji orang lain dalam cara yang hangat, tulus dan bersahabat
dapat menjadi kemampuan yang memiliki kekuatan hebat dan berfungsi untuk
membuat seseorang menjadi penguat dan partner interaksi yang menyenangkan.
c.
Asertif untuk meminta (Request Assertiveness)
Perilaku asertif jenis ini terjadi ketika seseorang meminta orang lain untuk
membantunya mencapai tujuan atau memenuhi kebutuhannya. Perilaku asertif ini
sering dipadukan dengan penolakan, dalam situasi menolak permintaan orang lain
dan meminta perubahan tingkah laku peminta. Fungsi dari jenis perilaku asertif ini
adalah agar menghindari terjadinya konflik yang sama dikemudian hari.
Universitas Sumatera Utara
2.2.4 Keuntungan Asertifitas Remaja
Keuntungan yang muncul dari perilaku asertif, antara lain :
a.
Meningkatkan kepercayaan diri
b.
Meningkatkan kemampuan diri
c.
Meningkatkan kemungkinan untuk memperoleh apa yang dibutuhkan atau
diinginkan
Remaja akan selalu dihadapkan pada pilihan, apakah sikap asertif yang
dipraktekannya itu tepat dan akan mencapai hasil yang diharapkan atau tidak. Situasi,
lokasi,
waktu
dan
hubungan
sosial
adalah
beberapa
faktor
yang
perlu
dipertimbangkan ketika memutuskan untuk bersikap asertif atau tidak. Sikap asertif
tidak harus selalu diterapkan dalam semua situasi dan asertif tidak selalu akan
menghasilkan apa yang diharapkan. Tetapi bila diterapkan, hasilnya mungkin lebih
baik dibandingkan tidak diterapkan karena hubungan tidak akan terlalu rusak dan
konflik dapat diselesaikan tanpa satu pihak merasa bersalah, dilecehkan atau
dikhianati.
Marini dan Andriani (2005) mengutip pendapat Hawari dkk (2002),
menyatakan bahwa penyebab para remaja terjerumus ke hal-hal negatif seperti seks
bebas yang akan berakibat pada kehamilan remaja, salah satunya adalah karena
kepribadian yang lemah. Ciri – cirinya antara lain daya tahan terhadap tegangan dan
tekanan rendah, kurang bisa mengekpresikan diri, kurang bisa mengendalikan emosi
dan agresivitas serta tidak dapat mengatasi masalah dan konflik dengan baik yang
erat kaitannya dengan asertifitas.
Universitas Sumatera Utara
Fakta lain juga dikutip dari Utami (2004), menunjukkan bahwa kebiasaan
merokok, penggunaan alkohol, napza serta hubungan seksual berkaitan dengan
ketidakmampuan remaja bersikap asertif. Perilaku asertif yaitu perilaku untuk
mengekspresikan diri secara tegas kepada pihak lain tanpa harus menyakiti pihak lain
ataupun merendahkan diri di hadapan pihak lain. Bersikap tegas adalah salah satu
perilaku yang dapat dipilih ketika seseorang berada dalam situasi yang sulit dan
ketika harus mengambil sebuah keputusan.
2.3
Faktor-faktor yang Memengaruhi Asertifitas Remaja dalam Perilaku
Seksual
Remaja perlu keterampilan dalam menghadapi transisi kehidupannya. Salah
satu bentuk keterampilan hidup yang perlu diterapkan bagi remaja adalah
keterampilan untuk bersikap tegas atau asertif. Menurut Rosita (2011) yang mengutip
pendapat Rathus dan Nevid (1983), bahwa faktor yang memengaruhi asertifitas,
terdiri dari usia, jenis kelamin, harga diri (self esteem), budaya, tingkat pendidikan
serta situasi yang ada di sekitar seperti pola asuh orang tua dan teman sebaya.
Santrock (2007) yang mengutip Bandura (1998) menyatakan bahwa faktor
pribadi/kognitif, faktor perilaku dan faktor lingkungan dapat berinteraksi secara
timbal-balik. Dengan demikian dalam pandangan Bandura, lingkungan dapat
memengaruhi perilaku seseorang, namun seseorang dapat bertindak untuk mengubah
lingkungan. Menurut Suryoputro dkk (2007), faktor yang berpengaruh pada perilaku
seksual antara lain adalah faktor personal termasuk variabel seperti pengetahuan,
sikap seksual dan gender, kerentanan terhadap risiko kesehatan reproduksi, gaya
Universitas Sumatera Utara
hidup, harga diri, lokus kontrol, kegiatan sosial, self efficacy dan variabel demografi
(seperti: usia,jenis kelamin, status religiusitas, suku dan perkawinan). Faktor
lingkungan termasuk variabel seperti akses dan kontak dengan sumber, dukungan dan
informasi, sosial budaya, nilai dan norma sebagai dukungan sosial. Faktor perilaku
termasuk variabel gaya hidup seksual (orientasi, pengalaman, angka mitra), peristiwa
kesehatan (Seksual Menular Infeksi, kehamilan, aborsi) dan penggunaan kondom dan
kontrasepsi.
2.3.1 Budaya
Rakos (1991) mengemukakan bahwa konsep asertifitas berkaitan dengan
kebudayaan dimana seseorang tumbuh dan berkembang. Dapat dikatakan bahwa pada
suatu budaya suatu prilaku dipandang asertif dan sesuai dengan budaya setempat.
Akan tetapi hal yang sama tidak dapat ditolerir oleh masyarakat dengan latar
belakang budaya lain.
Sarwono (2012) mengatakan, walaupun pada zaman sekarang ini marak
terjadi perilaku seks bebas tetapi sebenarnya dalam masyarakat Indonesia masih
menjunjung tinggi nilai tradisional. Nilai tradisional dalam perilaku seksual yang
paling utama adalah tidak melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Nilai ini
tercermin dalam bentuk keinginan untuk mempertahankan kegadisan seseorang
sebelum menikah.
Herdiana (2007) melalui penelitiannya tentang budaya asertif pada anak-anak
dengan kultur Jawa, menguraikan bahwa secara umum anak-anak dengan latar
belakang kultur Jawa masih memperlihatkan tingkat perilaku asertif yang terbatas.
Universitas Sumatera Utara
Mereka kebanyakan masih sangat bergantung pada orang tua, terutama ibu untuk
menentukan keinginan-keinginannya. Keluarga masih memiliki kekhawatiran akan
terkikisnya kearifan budaya lokal mereka jika anak terlalu diberikan kebebasan. Anak
banyak belajar keterbukaan bahkan dari lingkungan di luar rumah, seperti sekolah
dan lingkungan bermain.
Orang tua dengan kultur Jawa belum memiliki kesiapan dengan perubahan
dan kemampuan anak-anak dalam beradaptasi dengan nilai-nilai yang baru. Mereka
masih khawatir anak-anak akan mendapatkan pengaruh negatif dari nilai-nilai baru
tersebut. Hal ini yang membuat anak mengalami kebingungan dalam memahami
nilai-nilai kontradiktif yang diterapkan orang tua kepada mereka. Tidak
mengherankan jika pada usianya mereka masih memperlihatkan kehidupan emosional
yang kurang matang dan relasi sosial yang kurang berkembang. Mereka juga
kesulitan untuk menjadi individu yang lebih berbudaya, yang mewarnai kehidupan
perilaku mereka sehari-hari.
Budaya mempunyai peranan penting dalam membentuk pola berpikir dan pola
pergaulan dalam masyarakat, yang berarti juga membentuk kepribadian dan pola pikir
masyarakat tertentu. Budaya mencakup perbuatan atau aktivitas sehari-hari yang
dilakukan oleh suatu individu maupun masyarakat, pola berpikir mereka,
kepercayaan, dan ideologi yang mereka anut. Tentu saja pada kenyataannya budaya
antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya berbeda, terlepas dari perbedaan
karakter masing-masing kelompok masyarakat ataupun kebiasaan mereka.
Universitas Sumatera Utara
Peran budaya yang ada dalam masyarakat dapat dijadikan titik acuan dalam
membentuk kepribadian seseorang atau kelompok masyarakat. Karena melalui
kebudayaan manusia dapat bertukar pikiran. Apalagi di jaman sekarang yang dimana
teknologi informasi sangat menjadi acuan atau pengaruh dalam pertukaran
kebudayaan dalam masyarakat berbangsa maupun bernegara. Masyarakat sering
sekali menerima langsung kebudayaan-kebudayaan negatif yang seharusnya dan
memang bertentangan dengan norma-norma, karena kebudayaan negatif inilah yang
tidak dapat mengubah kepribadian seseorang/masyarakat.
Menurut Raharjo (1997), permasalahan hubungan gender yang asimetris
masih tetap mengganjal dan dianggap sebagai sebab utama dari permasalahanpermasalahan perempuan saat ini, termasuk yang berkaitan dengan hak dan kesehatan
reproduksi. Ketidakberdayaan perempuan adalah sebagai akibat dari konstruksi sosial
yang selama ini menempatkan perempuan pada kedudukan yang subordinat. Di
bidang reproduksi, ketidakberdayaan perempuan itu terlihat dari hubungan yang tidak
berimbang antara laki-laki dan perempuan dalam hal seksual dan reproduksi seperti
tercermin dalam kasus pemaksaan hubungan kelamin yang dapat mengakibatkan
kehamilan yang tidak diinginkan yang apabila terjadi pada remaja dapat
menyebabkan remaja tersebut hamil di usia muda.
2.3.2 Harga Diri (Self Esteem)
Hapsari (2010) mengutip pendapat Brown (1998), mengatakan harga diri
adalah penilaian kemampuan diri, yaitu antara kemampuan yang secara riil dimiliki
seseorang dengan kemampuan ideal yang diharapkan ada pada dirinya yang akan
Universitas Sumatera Utara
ditunjukkan melalui sikap terhadap dirinya sendiri, apakah ia menerima atau
menolaknya.
Keyakinan
seseorang
turut
mempengaruhi kemampuan untuk
melakukan penyesuaian diri dengan lingkungan. Orang yang memiliki keyakinan diri
yang
tinggi
memiliki
kekuatiran
sosial
yang
rendah
sehingga
mampu
mengungkapkan pendapat dan perasaan tanpa merugikan orang lain dan diri sendiri.
Menurut Santrock (2007), harga diri (Self Esteem) adalah suatu dimensi
global dari diri. Harga diri mencerminkan persepsi yang tidak selalu sama dengan
realitas. Harga diri yang tinggi dapat merujuk pada persepsi yang tepat atau benar
mengenai martabatnya sebagai seorang pribadi, termasuk keberhasilan dan
pencapaiannya. Dengan cara yang
sama, harga diri yang rendah dapat
mengidentifikasikan persepsi yang tepat mengenai keterbatasan atau penyimpangan,
atau bahkan kondisi tidak aman dan inferior yang akut.
Santrock (2007) yang mengutip Robin dkk (2002), menyatakan harga diri
cenderung menurun di masa remaja, terutama pada remaja perempuan berumur 12-17
tahun. Pada umumnya laki-laki menunjukkan harga diri yang lebih tinggi
dibandingkan perempuan. Menurunnya harga diri remaja perempuan adalah karena
mereka memiliki citra tubuh yang lebih negatif selama mengalami perubahan
pubertas, dibandingkan remaja laki-laki.
Hapsari (2010) mengutip pendapat Reasoner dan Borba (1989), ada beberapa
komponen dari harga diri yaitu:
a.
Security
Universitas Sumatera Utara
Yaitu perasaan individu mempunyai keyakinan yang kuat, meliputi perasaan
aman dan nyaman, mengetahui apa yang diharapkan, mempunyai kemampuan untuk
bergantung kepada diri sendiri dan situasi, mempunyai pemahaman akan peraturan
dan batas.
b.
Selfhood (lingkungan pribadi)
Individu mempunyai ciri khas, mempunyai pengetahuan tentang diri pribadi
termasuk penggambaran diri yang akurat dan realistik akan peraturan, sikap,
karakterisitk fisik.
c.
Affiliation
Yaitu perasaan memiliki, individu merasa diterima atau mempunyai hubungan,
khususnya pada hubungan yang dianggap penting, memiliki perasaan diakui,
dihargai, dan dihormati oleh orang lain, mempunyai kemampuan untuk menemukan
kesenangan, kemampuan, dan latar belakang, memiliki kesadaran dan kemampuan
dalam membentuk hubungan, mampu memberi dukungan atas keputusan kelompok.
d.
Mission (misi dan tujuan)
Yaitu perasaan yang dimiliki individu, ia mempunyai tujuan dan motivasi untuk
hidup, mempunyai tanggung jawab atas konsekuensi dari keputusan yang ia ambil,
mempunyai kemampuan dalam membentuk tujuan yang realistik dan dapat diterima,
mampu mengikuti rencana, mempunyai insisatif dan tanggung jawab atas aksinya,
individu mampu mencari alternatif atas masalahnya, mampu mengevaluasi dirinya
sendiri berdasarkan atas apa yang telah ia lakukan.
e.
Competence (keahlian)
Universitas Sumatera Utara
Yaitu adanya perasaan bahwa sukses yang dimiliki oleh individu berdasarkan
pengalaman pribadi dianggap penting oleh individu itu sendiri, kegagalan bagi
individu tidak hanya sebagai isu tapi merupakan fakta dan individu menganggap
kesalahan yang dilakukannya merupakan alat dalam belajar, mampu memberi
penilaian akan kemajuan yang telah dibuat, mampu memberikan umpan balik dalam
usahanya menerima kelemahan dan mencari keuntungan dari kesalahan yang
dilakukan.
Menurut Khera (2003) karakteristik harga diri terbagi atas dua yaitu harga diri
tinggi dan harga diri rendah. Adapun karakteristiknya adalah sebagai berikut :
a.
Harga diri tinggi yaitu berani karena pendirian, percaya diri, menerima
tanggung jawab, asertif, optimis, menghormati orang lain, disiplin, menyukai
kesopanan, mau belajar, dan rendah hati.
b.
Harga diri rendah yaitu sikap kritis, ragu-ragu, agresif, mudah tersinggung,
Hapsari (2010) mengutip pendapat Coopersmith (1967), ada beberapa faktor
yang memengaruhi penghargaan seseorang terhadap dirinya sendiri, diantaranya:
a.
Penerimaan atau Penghargaan Terhadap Dirinya
b.
Kepemimpinan atau Popularitas
c.
Keluarga-Orang tua
d.
Asertifitas-Kecemasan
Santrock (2007) yang mengutip Buhrmester (2001), pada sebuah studi
longitudinal yang dilakukan, menunjukkan bahwa keterlibatan seksual pada remaja
terutama remaja perempuan pada masa remaja awal berkaitan dengan harga diri yang
Universitas Sumatera Utara
rendah.
2.3.3 Pola Asuh
Menurut Hidayah (2010) yang mengutip pendapat Daud (2004), komunikasi
orang tua dan anak dapat memengaruhi kemampuan anak untuk mengungkapkan
pikiran dan perasaannya. Berbedanya pola asuh yang diberikan orang tua dapat
mengakibatkan berbedanya tingkat asertifitas anak.
Kopko (2007) dan Marini dan Andriani (2005), mengutip pendapat Baumrind
(1991), pola asuh orang tua merupakan segala bentuk dan proses interaksi yang
terjadi antara orang tua dan anak yang merupakan pola pengasuhan tertentu dalam
keluarga yang akan memberi pengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak.
Baumrind (1991) mengidentifikasi empat pola gaya pengasuhan berdasarkan dua
aspek perilaku pengasuhan yaitu kontrol dan kehangatan. Pola asuh orang tua
mengacu pada sejauh mana orang tua mengatur anak-anak mereka pada perilaku yang
terarah untuk menetapkan beberapa peraturan dan kebutuhan.
Menurut Gunarsa (2008), pola asuh merupakan sikap orang tua dalam
berinteraksi dengan anak-anaknya. Sikap tersebut meliputi cara orang tua
memberikan aturan-aturan, memberikan perhatian. Pola asuh sebagai suatu perlakuan
orangtua dalam rangka memenuhi kebutuhan, memberi perlindungan dan mendidik
anak dalam kesehariannya yang merupakan bentuk interaksi antara anak dan orangtua
selama mengadakan pengasuhan yang berarti orang tua mendidik, membimbing dan
melindungi anak.
Universitas Sumatera Utara
Dalam hal ini terdapat tiga jenis pola asuh orang tua kepada anak yang
diuraikan Kopko (2007), Marini dan Andriani (2005) yang mengutip pendapat
Baumrind (1991), yaitu :
1.
Pola asuh permisif (Permisive)
Orangtua yang permisif adalah orangtua yang kaku dan berfokus pada
kebutuhan mereka sendiri. Terutama saat anak menjadi lebih dewasa, orangtua gagal
mengawasi kegiatan anak atau untuk mengetahui dimana mereka, apa yang sedang
mereka lakukan atau siapa teman anak mereka.
Pada pola asuh ini, apapun yang mau dilakukan anak diperbolehkan seperti
tidak sekolah, melakukan kegiatan maksiat, pergaulan bebas negatif, dan sebagainya.
Biasanya pola pengasuhan seperti ini diakibatkan oleh orang tua yang terlalu sibuk
dengan pekerjaan, kesibukan atau urusan lainnya, sehingga lupa untuk mengasuh dan
mendidik anak dengan baik. Pola asuh permisif membuat hubungan antara anak dan
orangtua penuh kasih sayang, tetapi menjadikan anak agresif dan suka menurutkan
kata hatinya.
2.
Pola Asuh Otoriter (Authoritarian)
Pola asuh ini bersifat pemaksaan, keras dan kaku, orang tua membuat
berbagai aturan yang harus dipatuhi anak – anaknya tanpa perduli dengan perasaan si
anak. Anak yang besar dengan teknik pengasuhan seperti ini biasanya tidak bahagia,
paranoid/selalu berada dalam ketakutan, mudah sedih dan tertekan, senang berada di
luar rumah, benci orang tua, dan lain – lain, tetapi biasanya anak yang dihasilkan dari
didikan orang tua yang otoriter lebih bisa mandiri, bisa menjadi orang sesuai
Universitas Sumatera Utara
keinginan orang tua, lebih disiplin dan lebih bertanggung jawab dalam menjalani
hidup.
Orang
tua
otoriter
menampilkan
sedikit
kehangatan
dan
sangat
mengendalikan. Mereka menerapkan aturan disiplin yang ketat, menggunakan gaya
pengasuhan dengan batasan hukuman, dan bersikeras bahwa remaja mereka patuh
kepada orang tua, dan tidak mengkomunikasikan standar aturan dalam keluarga.
3.
Pola Asuh Otoritatif (Authoritative)
Pola asuh otoritatif atau yang lebih dikenal dengan pola asuh demokratis,
mengandung demanding dan responsive yang dicirikan dengan adanya tuntutan dari
orang tua yang disertai komunikasi terbuka antara orang tua dan anak, mengharapkan
kematangan perilaku pada anak disertai dengan adanya kehangatan dari orang tua.
Pola asuh ini memberikan kebebasan pada anak untuk berkreasi dan mengeksplorasi
berbagai hal sesuai dengan kemampuan anak dengan sensor batasan dan pengawasan
yang baik dari orang tua.
Pola asuh ini bersifat memberi kehangatan sekaligus ketegasan dari orang tua.
Mereka mendorong remaja mereka untuk menjadi mandiri dengan tetap menjaga
batasan dan kontrol terhadap tindakan mereka. Pola asuh ini adalah paling kondusif
diterapkan pada anak.
Naibaho (2011) yang mengutip pendapat Petranto (2006) menguraikan
dampak pola asuh pada anak adalah dapat dikarakteristikkan sebagai berikut:
a.
Pola asuh demokratis akan menghasilkan karakteristik anak yang mandiri,
dapat mengontrol diri, mempunyai hubungan baik dengan teman, mampu
Universitas Sumatera Utara
menghadapi stress, mempunyai minat terhadap hal-hal baru, dan kooperatif
terhadap orang-orang lain.
b.
Pola asuh otoriter akan menghasilkan karakteristik anak yang penakut,
pendiam, tertutup, tidak berinisiatif, gemar menentang, suka melanggar norma,
berkepribadian lemah, cemas dan menarik diri.
c.
Pola asuh permisif akan menghasilkan karakteristik anak-anak yang impulsif,
agresif, tidak patuh, manja, kurang mandiri, mau menang sendiri, kurang
percaya diri, dan kurang matang secara sosial.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Julianti (2011), menyatakan
bahwa hubungan pola asuh orang tua dengan sikap remaja putri tentang kesehatan
reproduksi. Ditemukan 71,2% dari 170 responden yang memiliki sikap positif tentang
kesehatan reproduksi memiliki orang tua dengan pola asuh otoritatif (demokratis) dan
12,9% responden yang menerapkan pola asuh otoriter dan permisif memiliki sikap
negatif tentang kesehatan reproduksi.
Survei RPJMN program Kependudukan dan KB tahun 2011 yang
menunjukkan beberapa pola pengasuhan orangtua terhadap tumbuh kembang remaja
dari aspek kejiwaan, mental dan spiritual, antara lain: a) orangtua yang menanamkan
nilai-nilai moral dan agama kepada anak remajanya (79%), b) orangtua yang
menyediakan waktu berkomunikasi efektif dengan anak remajanya (36%), c)
orangtua sebagai tempat curahan hati bagi anak remajanya (33%), d) orangtua
sebagai teladan/contoh/panutan bagi anak remajanya (47%).
Universitas Sumatera Utara
Marini dan Andriani (2005) mengutip pendapat Prabana (1997), bahwa
kualitas perilaku asertif seseorang sangat dipengaruhi oleh pengalaman pada masa
kanak-kanaknya. Pengalaman tersebut berupa interaksi dengan orang tua melalui pola
asuh yang ada dalam keluarga yang menentukan pola respons seseorang dalam
menghadapi berbagai masalah.
Menurut survei yang dilakukan oleh The National Campaign (2012), remaja
mengatakan bahwa orangtua paling besar mempengaruhi keputusan mereka tentang
seks, lebih daripada teman sebaya, budaya, guru dan lain-lain. Bahkan, remaja
melaporkan bahwa mereka akan lebih terbuka berbicara tentang seks dengan orang
tua mereka dan menghindari kehamilan remaja, diperoleh hasil 4 dari 10 remaja
(38%) mengatakan orang tua paling memengaruhi keputusan mereka tentang seks,
dibandingkan dengan 22% yang dipengaruhi oleh teman-teman.
Untuk setiap orang tua, penerapan pola asuhnya dapat berbeda – beda.
Menurut Baumrind (1991) dalam Santrock (2007), dalam kehidupan sehari – hari
kebanyakan orang tua menggunakan kombinasi dari beberapa pola asuh yang ada,
akan tetapi satu jenis pola asuh akan terlihat lebih dominan dari pola asuh lainnya dan
sifatnya hampir stabil sepanjang waktu.
2.3.4 Teman Sebaya
Menurut Notoatmodjo (2007), secara garis besar, ada dua tekanan pokok yang
berhubungan dengan kehidupan remaja, yaitu internal pressure dan external
pressure. Dalam hal ini, internal pressure yaitu tekanan dari dalam diri remaja berupa
Universitas Sumatera Utara
tekanan psikologis dan emosional, sedangkan external pressure yaitu tekanan dari
luar diri remaja seperti teman sebaya, orang tua, guru dan masyarakat.
Meskipun remaja masih bergantung pada orang tuanya, namun intensitas
ketergantungan tersebut telah berkurang dan remaja mulai mendekatkan diri pada
teman-teman yang memiliki rentang usia yang sebaya dengan dirinya. Remaja mulai
belajar mengekspresikan perasaan-perasaan dengan cara yang lebih matang dan
berusaha memperoleh kebebasan emosional dengan cara menggabungkan diri dengan
teman sebayanya.
Menurut Notoatmodjo (2007), perubahan sosial yang dialami remaja akan
membawa remaja menjadi lebih dekat dengan teman sebayanya daripada orang
tuanya sendiri. Kurangnya pengetahuan yang didapat dari orang tua dan sekolah
mengenai seksualitas membuat para remaja mencari tahu sendiri dari teman atau
lingkungan bermainnya yang bisa saja pengetahuan tersebut salah, Sehingga
muncullah mitos – mitos di seputar seksualitas, sebuah informasi yang belum pasti
kebenarannya, namun sudah terlanjur dipercaya oleh remaja, salah satunya adalah
mitos hubungan seks sekali tidak membuat hamil, sehingga dari mitos inilah angka
kehamilan yang tidak dikehendaki terjadi.
Menurut Muadz dan Syaefuddin (2010), dalam berperilaku seseorang akan
melihat kondisi dan situasi dalam arti luas. Asertif memperhatikan hak individu
dengan tetap memperhatikan hak pihak lain. Karena itu keterampilan ini sangat
penting dalam situasi sosial dimana ada tekanan untuk melakukan sesuatu.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Suwarni (2009), bahwa pengaruh perilaku seksual teman sebaya
secara langsung paling besar memengaruhi perilaku seksual remaja. Pengaruh
perilaku seksual teman sebaya secara langsung sebesar 20,2%, sedangkan pengaruh
perilaku seksual teman sebaya secara tidak langsung melalui niat berperilaku seksual
sebesar 14,24%.
Tekanan yang dihadapi remaja perempuan berbeda dengan yang dihadapi
remaja laki-laki. Perempuan biasanya akan menghadapi tekanan ganda dari teman
sebayanya, baik dari teman sesama perempuan maupun dari teman laki-laki. Dari
teman sesama perempuan, tekanan yang dihadapi misalnya dalam hal berpakaian,
dandanan dan bertingkah laku serta bergaul. Dari teman laki-laki, baik pacar sendiri
maupun laki-laki pada umumnya, tekanan yang dihadapi perempuan bisa berupa
ajakan berhubungan seksual maupun pelecehan seksual dalam berbagai bentuknya.
Bagi remaja, berbagai perilaku berisiko seperti penyalahgunaan napza dan
perilaku seksual yang tidak bertanggungjawab dapat terjadi sebagai hasil dari
kesulitan
dalam
mengekspresikan
ide-ide,
minat
dan
nilai-nilai,
serta
ketidakmampuan menolak tekanan kelompok yang tidak sehat dan tekanan sosial.
Sikap Asertif untuk kelompok remaja sangat diperlukan dalam menghadapi tekanan
remaja sebaya. Tekanan itu berkaitan dengan ajakan untuk terlibat kedalam risiko
triad KRR, yaitu seksualitas, HIV/AIDS dan napza.
2.3.5 Pengetahuan
Pengetahuan merupakan salah satu bentuk dari perkembangan kognitif.
Santrock (2007) yang mengutip pendapat Piaget menyebutkan perkembangan
Universitas Sumatera Utara
kognitif remaja ke dalam tahap formal operasional yaitu saat pemikirannya menjadi
semakin rasional. Pada tahap ini remaja mulai mengembangkan pemikiran yang
bersifat abstrak, hipotesis serta mampu melihat berbagai kemungkinan dalam
pemecahan masalah yang dihadapi serta mulai memikirkan bagaimana pandangan
orang lain terhadap dirinya.
Naibaho (2011), mengutip pendapat Sulaeman (1995) bahwa pada masa
remaja, seorang individu mengalami kematangan secara intelektual dan cara
berpikirnya mengalami perubahan serta mampu membentuk konsep-konsep. Pada
masa ini terjadi pertambahan dalam kemampuan menggeneralisasi, pertambahan
kemampuan-kemampuan berpikir tentang masa depan, mampu berpikir tentang halhal atau ide-ide yang lebih luas dan pertambahan kemampuan untuk berpikir dan
berkomunikasi secara logis.
Sarkova (2013) mengutip pendapat Arrindell & van der Ende (1985),
menyatakan bahwa asertif juga sebuah bentuk komunikasi yang dilakukan secara
langsung dan sesuai kebutuhan, keinginan, dan pendapat seseorang tanpa
menghukum atau merendahkan orang lain. Menurut feeney (1999) yang mengutip
teori kompetensi
komunikasi
interpersonal
Spitzberg
dan
Cupach
(1984)
menggambarkan tiga komponen utama dalam komunikasi yang salah satunya adalah
pengetahuan. Pengetahuan mengacu dengan kemampuan individu mengidentifikasi
perilaku yang paling tepat selama proses komunikasi dalam situasi tertentu. Oleh
karena itu secara tidak langsung mempengaruhi perilaku asertif.
Universitas Sumatera Utara
2.3.6 Self-Efficacy
Mandala (2009) yang mengutip pendapat Bandura (1997), menyatakan bahwa
kognisi adalah tingkah laku perantara dimana persepsi diri kita memengaruhi tingkah
laku, dan self-efficacy sangat berpengaruh dalam tingkah laku seseorang. Self efficacy
adalah persepsi seseorang terhadap kompetensi mereka dalam menghadapi
lingkungan. Semakin tinggi self efficacy, maka semakin yakin seseorang untuk
melakukan suatu tingkah laku, dan akan melakukan suatu usaha yang lebih besar dan
waktu yang lebih lama untuk bertahan melakukan perilaku tersebut. Santrock (2007)
yang juga mengutip pendapat Bandura (2000),
menyatakan bahwa faktor
pribadi/kognitif dapat memengaruhi perilaku seseorang dan sebaliknya. Faktor
pribadi/kognitif dapat meliputi self efficacy, kemampuan merencanakan, dan
keterampilan berfikir.
Menurut Muadz dan Syaefuddin (2010), jika remaja mampu melakukan
penilaian tentang benar dan salah, baik dan buruk suatu perilaku, maka mereka akan
memahami mana perilaku yang benar dan mana perilaku yang salah, sehingga remaja
putri dapat mengambil keputusan untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai yang
timbul dari hati nurani dan bukan paksaan dari luar yang disertai pula oleh rasa
tanggungjawab.
2.3.7 Media Informasi
Menurut Brown (2008), banyak yang telah menulis tentang pengaruh media
terhadap perilaku seksual remaja, terutama yang berhubungan dengan keputusan
remaja tentang seks, beberapa topik menghasilkan sebagai banyak diskusi remaja
Universitas Sumatera Utara
tentang seksualitas sebagai pengaruh relatif dari media. Mengingat kekuatan dan
cakupan media saat ini, menembus semua konteks dan memberikan pengaruh pada
pengetahuan, sikap dan perilaku seksual baik secara positif maupun negatif.
Remaja
dan
keluarga
mereka
perlu
diajarkan
tentang
bagaimana
menggunakan media secara bijaksana dan aman. Ketika ditanya secara langsung
tentang hubungan antara informasi tentang seks di media dengan perilaku seksual,
hampir dua-pertiga (65 persen) dari remaja dan keluarganya mengatakan tidak ada
hubungan antara informasi tentang seks di media dengan perilaku seksual, tetapi 45
persen percaya bahwa konten seksual di media bisa membantu memulai percakapan
yang baik tentang perilaku seksual dan 19 persen keluarga dari remaja tersebut
percaya bahwa remaja bisa belajar sesuatu yang baik dari paparan ini.
Brown
(2008)
mengutip
teori
belajar
sosial
Bandura
(1997),
yang mengatakan bahwa ketika kita melihat perilaku yang ditampilkan di media, kita
akan
meniru
dan
akhirnya
dapat
mengadopsi
perilaku
kita
sendiri.
Paparan konten seksual di media dapat memberikan kepekaan bagi remaja dalam
membentuk sikap dan perilaku seksual. Brown (2008) juga mengutip laporan The
Surgeon General (1982) tentang pengaruh television menyatakan bahwa mungkin
berperan secara aktif menimbulkan efek rangsangan pada perilaku seksual, seperti
halnya pada perilaku agresif.
Herdiana (2011), mengutip pendapat Naqiyah (2005) menyatakan bahwa
kepribadian asertif adalah kepribadian yang tanggap dan peka dalam menjawab
realitas kekinian. Kondisi sekarang, membutuhkan perempuan untuk bersikap lebih
Universitas Sumatera Utara
asertif terhadap persoalan yang dialami dalam hidupnya. Perempuan yang kurang
tanggap akan mengalami kendala dalam berkompetisi. Salah satu cara untuk dapat
bersikap asertif yaitu dengan cara mencari dan mengolah informasi. Akses
perempuan terhadap informasi sudah terbuka lebar. Tinggal perempuan sendiri mau
atau tidak memanfaatkan kemudahan akses tersebut. Tren saat ini mengharuskan
orang untuk mempunyai informasi yang banyak dan cepat. Perempuan harus belajar
untuk lebih melek teknologi, sebagai alat bantu menemukan informasi. Kepedulian
pada perempuan miskin harus ditingkatkan agar mereka dapat mengangkat dirinya
dari ketertinggalam informasi.
2.4 Remaja
2.4.1 Pengertian
Menurut WHO (2004), remaja mencakup individu dengan usia 10-19 tahun.
Sedangkan definisi remaja menurut Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia
(SKRRI) (2007) adalah perempuan dan laki-laki belum kawin yang berusia 15-24
tahun. Sarwono (2012), mendefinisikan remaja dalam umur 16-21 tahun.
Menurut Kathryn dan David (2011) yang mengutip pendapat Mabey dan
Sorensen (1995), remaja adalah sebuah tahapan dalam kehidupan seseorang yang
berada di antara tahap kanak-kanak dengan tahap dewasa. Periode ini adalah ketika
seorang anak muda harus beranjak dari ketergantungan menuju kemandirian,
otonomi, dan kematangan. Seorang remaja dalam tahap ini akan bergerak dari sebagai
Universitas Sumatera Utara
bagian anggota keluarga menuju bagian suatu kelompok teman sebaya dan hingga
akhirnya mampu berdiri sendiri sebagai orang dewasa.
Santrock (2007) yang mengutip pendapat Piaget (1954), juga berpendapat
bahwa ada empat tahap yang dilalui ketika memahami dunia. Setiap tahap yang
terkait dengan usia ini mengandung cara berfikir yang berbeda. Remaja berada pada
tahap operasional formal (formal operational stage). Dalam tahap ini remaja sebagai
individu melampaui pengalaman-pengalaman konkret dan berfikir secara abstrak dan
lebih
logis.
Sebagai
bagian dari pemikiran
yang
lebih
abstrak, remaja
mengembangkan gambaran mengenai keadaan yang ideal.
2.4.2 Tugas Perkembangan Remaja
Menurut Muadz dan Syaefuddin (2010), bahwa periode kehidupan remaja
adalah kehidupan transisi. Transisi dari kehidupan remaja adalah kenyataan bahwa
remaja adalah sudah tidak anak-anak lagi, tetapi pada saat yang sama mereka belum
dianggap dewasa. Dalam periode transisi ini, remaja diharapkan untuk dapat
menjalani dan berhasil dalam dua tugas pertumbuhan dan perkembangan mereka.
a.
Tugas pertama adalah tugas untuk bisa tumbuh dan berkembang secara individu
(individual growth and development), yaitu tugas untuk bisa tumbuh dan
berkembang secara fisik, mental, emosional dan spiritual.
b.
Tugas kedua adalah tugas untuk bisa berkembang secara sosial (social
development). yaitu tugas untuk :
•
Melanjutkan sekolah (continue learning),
Universitas Sumatera Utara
•
Mencari pekerjaan (start working),
•
Membentuk keluarga (form family),
•
Menjadi anggota masyarakat (exersice citizenship), dan
•
Mempraktekan hidup sehat (practice healthy life behaviors).
Menurut Wiknjosastro dkk (2006), ada tiga aspek kepribadian yang cukup
penting dalam perkembangan seksualitas remaja, seperti harga diri, kemampuan
komunitas dan kemampuan dalam mengambil keputusan. Perilaku asertif sangat
penting bagi remaja awal, karena apabila seorang remaja tidak memiliki keterampilan
untuk berperilaku asertif atau bahkan tidak dapat berperilaku asertif, disadari ataupun
tidak, remaja tersebut akan kehilangan hak-hak pribadi sebagai individu dan
cenderung tidak dapat menjadi individu yang bebas dan akan selalu berada dibawah
kekuasaan orang lain.
2.5
Landasan Teori
Santrock (2007) yang mengutip Bandura (1998) menyatakan bahwa, faktor
perilaku dan faktor lingkungan dapat berinteraksi secara timbal-balik. Dengan
demikian dalam pandangan Bandura, lingkungan dapat memengaruhi perilaku
seseorang, namun seseorang dapat bertindak untuk mengubah lingkungan. Prinsip
dasar belajar menurut teori ini, bahwa yang dipelajari individu terutama dalam belajar
sosial dan moral terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku
(modeling).
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan teori tersebut, maka landasan teori dapat digambarkan dalam
gambar di bawah ini :
Perilaku
Orang
Lingkungan
Gambar 2.1 Landasan Teori Menurut Bandura (1988)
Asertifitas juga merupakan bagian dari sebuah perilaku, yang diharapkan
dimiliki remaja, yang kemungkinan dapat disebabkan faktor orang dan lingkungan.
Rosita (2010) dan Hidayah (2010) yang mengutip pendapat Rathus dan Nevid (1983)
mengatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi asertifitas, yaitu jenis kelamin,
usia, budaya, tingkat pendidikan, harga diri (self esteem), dan situasi tertentu
lingkungan sekitarnya seperti pola asuh orang tua dan teman sebaya. Selanjutnya
perilaku asertif yang akan diteliti adalah perilaku asertif dalam perilaku seksual, oleh
karena itu beberapa faktor yang memengaruhi perilaku seksual juga menjadi bagian
yang akan diteliti.
Penelitian ini hanya meneliti faktor budaya, dan harga diri (self esteem) dan
situasi tertentu lingkungan sekitarnya seperti pola asuh orang tua dan teman sebaya
yang memengaruhi asertifitas remaja pada perilaku seksual remaja. Faktor jenis
Universitas Sumatera Utara
kelamin, usia dan pendidikan tidak diteliti. Hal berdasarkan alasan bahwa subjek
penelitian adalah remaja perempuan saja, karena ingin melihat kemampuan
perempuan dalam menolak perilaku seksual yang akan diperolehnya dari pasangan,
dikarenakan remaja yang diteliti berada pada fase remaja awal maka dari rentang usia
sudah dapat diketahui sehingga tidak terlalu memberikan pengaruh yang berbeda, dan
dikarenakan objek juga adalah siswa yang bersekolah di sekolah menengah pertama,
maka dari segi faktor pendidikan juga tidak perlu untuk diteliti. Selanjutnya faktor
pengetahuan, self-efficacy, dan media informasi juga akan diteliti, sebagai faktor yang
dimungkinkan dapat memberikan pengaruh bagi perkembangan perilaku asertif
remaja dalam perilaku seksual.
2.6 Kerangka Konsep
Berdasarkan landasan teori tersebut di atas, maka peneliti merumuskan
kerangka konsep penelitian menurut Bandura (1998), Suryoputro (2007) dan menurut
Rosita (2011) yang mengutip pendapat Rathus dan Nevid (1983) sebagai berikut :
Variabel Independen
•
•
•
•
•
•
•
Budaya
Harga Diri
Pola Asuh
Teman Sebaya
Pengetahuan
Self Efficacy
Media
Variabel Dependen
Asertifitas dalam Perilaku
Seksual
Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian
Universitas Sumatera Utara
Download