ragam penyakit tular tanah pada tanaman aneka kacang

advertisement
RAGAM PENYAKIT TULAR TANAH PADA TANAMAN ANEKA
KACANG DAN STRATEGI PENGENDALIAN NON KIMIAWI
Mudji Rahayu
Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi Malang
email: [email protected]
ABSTRAK
Penyakit tular tanah merupakan salah satu kendala pada peningkatan hasil tanaman aneka
kacang. Beberapa jenis patogen terdiri jamur seperti Sclerotium rolfsii, Rhizoctonia solani,
Aspergillus spp., Fusarium spp. dan Phytophthora sp., serta bakteri Ralstonia solanacearum
merupakan penyebab utama penyakit tular tanah yang merugikan. Dengan semakin banyaknya perhatian terhadap isu keamanan pangan dan lingkungan, maka strategi pengendalian non
kimiawi perlu dikedepankan dalam menurunkan kerusakan dan meningkatkan hasil tanaman.
Para pakar perlindungan tanaman melalui penelitian intensif mendapatkan beberapa komponen pengendalian non kimiawi seperti teknis budi daya, varietas tahan penyakit, pengendalian
secara fisis dan mekanis, pengendalian hayati, dan pestisida nabati yang potensial untuk menekan penyakit tular tanah pada tanaman aneka kacang.
Kata kunci: penyakit tular tanah, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, pengendalian non kimiawi.
ABSTRACT
Soilborne diseases of legumes the bioecology and control strategies non
chemically. Soilborne disease is very diverse and act as a limiting factor for legumes
increasing yield. Several soilborne fungi were identified as Sclerotium rolfsii, Rhizoctonia solani,
Aspergillus spp., Fusarium spp., and Phytophthora sp., also a bacterial pathogen Ralstonia
solanacearum are an important pathogens that cause serious damage on legumes. Even more
of the attention to save both food and environment, the disease control strategy unchemically
has been lead to reduce plant damage and to increase plant yield. Plant protection experts were
found the disease control unchemically through intensive research including cultivation
techniques, disease resistant varieties, physical and mechanical control, biological control and
botanical extract were useful against soilborne diseases on legumes.
Keywords: soilborne diseases, soybean, groundnut, mungbean, disease control unchemically.
PENDAHULUAN
Penyakit yang menginfeksi tanaman aneka kacang seperti kedelai, kacang tanah, dan
kacang hijau merupakan salah satu kendala dalam pencapaian stabilitas kunatitas dan
kualitas hasil panen. Salah satu penyakit merugikan pada tanaman aneka kacang adalah
penyakit tular tanah yang disebabkan beragam jenis mikroorganisme seperti jamur dan
bakteri yang hidup dalam tanah seperti Aspergillus niger, A. flavus, Fusarium spp., Penicillium sp., Cladosporium sp. Sclerotium rolfsii, Rhizoctonia solani, Pythium sp. Phytopthora sp., dan Rhizopus sp. (Djauhari 2004; Rahayu dan Hardaningsih 2006; Semangun
2008) dan bakteri Ralstonia solanacearum (Semangun 2008, Rahayu 2007). Patogen
tersebut terutama menginfeksi di bagian tanaman dalam tanah atau permukaan tanah
seperti akar, hipokotil, dan pangkal batang. Gejala penyakit pada umumnya berupa rebah
bibit (damping-off), busuk batang, layu dan tanaman mati. Awal pertumbuhan tanaman
816
Rahayu: Ragam penyakit tular tanah pada aneka kacang dan pengendalian non kimiawi
merupakan fase rentan, tetapi patogen tular tanah mampu menginfeksi seluruh fase
pertumbuhan terutama pada varietas rentan penyakit.
Pengendalian menggunakan fungisida dan bakterisida kimia merupakan cara efektif
untuk mengendalikan penyakit tanaman. Menurut Arunasri et al. (2011) beberapa jenis
fungisida seperti metiltiofanat, captan, thiram, dan propikonazol, merupakan fungisida
yang efektif untuk mengendalikan jamur tular tanah seperti S. rolfsii. Demikian juga
tebukonazol 2%, efektif untuk menekan busuk batang S. rolfsii dan meningkatkan hasil
kacang tanah (Sunkad 2012). Pengendalian kimiawi terbukti sangat handal namun dalam
aplikasinya seringkali tidak bijaksana misalnya jenis bahan aktif dengan patogen sasaran
pengendalian belum sesuai, dosis dan frekuensi pemberian yang belum tepat seringkali
belum menekan penyakit secara optimal dan tidak efisien. Selain itu residu kimia di lahan
pertanian pada umumnya berdampak negatif membahayakan lingkungan hidup. Menurut
Soylu et al. (2005) fungisida dapat memicu munculnya patogen kelompok strain baru
yang lebih resisten fungisida. Dengan demikian strategi pengendalian non kimiawi perlu
dikedepankan untuk mengurangi berbagai risiko tersebut. Pendekatan sisi epidemiologi
meliputi pengetahuan biologi dan ekologi penyakit di habitat inangnya, sangat diperlukan
dalam menetapkan komponen pengendalian yang sesuai strategi pengendalian non
kimiawi. Dalam makalah ini dipaparkan bioekologi patogen utama penyebab penyakit
tular tanah pada aneka kacang serta beberapa komponen pengendalian yang potensial
seperti teknis budi daya yang mampu mencegah penyakit, pengendalian secara fisis dan
mekanis, pengendalian hayati, dan pemanfaatan ekstrak nabati bersifat antimikroba.
STATUS PENYAKIT TULAR TANAH
Penyakit busuk batang S. rolfsii pada kacang tanah menjadi kendala serius di beberapa
negara produsen dunia seperti Amerika Serikat, Amerika Latin, China, India, Thailand,
Mesir, Mali, Nigeria, Senegal, Bangladesh, Australia, dan Indonesia (Mehan et al. 1995).
Kacang tanah varietas Kelinci yang terinfeksi S. rolfsii, menyebabkan turunnya hasil panen
polong sebesar 11% (Budi 2004). Infeksi jamur tersebut menyebabkan rusaknya perakaran dan pangkal batang kacang tanah, sehingga sebagian besar polong tertinggal dalam
tanah pada saat dipanen (Timper et al. 2001). Menurut Kemerait (2008) busuk batang S.
rolfsii merupakan penyebab kerugian ekonomis cukup tinggi pada kacang tanah, dan
biaya pengelolaannya diestimasi mencapai 38 milyar dolar pada kurun waktu 2004 hingga
2007.
Pada kedelai, infeksi S. rolfsii dan Phytophthora sp. dilaporkan menurunkan hasil
kedelai hingga 2.500 ton. Sementara itu di Amerika Serikat, busuk batang S. rolfsii pada
kedelai menyebabkan penurunan hasil hingga 9.200 ton (Wrather et al. 2001). Di daerah
Genteng-Banyuwangi, infeksi S. rolfsii pada kedelai Anjasmoro menyebabkan berkurangnya populasi tanaman karena 23% tanaman layu dan mati (Rahayu 2011). Sementara itu patogen lain seperti R. solani yang menginfeksi kedelai, menyebabkan kehilangan
hasil 60–70% (Meyera et al. 2006), dan infeksinya pada kacang hijau menyebabkan
kehilangan hasil 42–90% (Nawar 2008).
Bakteri R. solanacearum penyebab penyakit layu pada kacang tanah di China dilaporkan sebagai patogen yang sangat merugikan, menyebabkan kehilangan hasil cukup tinggi
diestimasi mencapai 50.000 ton dalam setiap tahun (Boshou 1999).
Status penting suatu penyakit ditentukan beberapa faktor seperti areal sebaran
penyakit, frekuensi penyakit, intensitas atau tingkat keparahan penyakit, kehilangan hasil
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2013
817
yang ditimbulkan, serta tersedianya teknologi pengendaliannya. Penyakit yang sebarannya
meliputi areal luas dan sering muncul setiap musim tanam dengan tingkat serangan parah,
pada umumnya mengakibatkan kehilangan hasil yang tinggi (Saleh 2004).
BIOEKOLOGI PATOGEN
Patogen tular tanah pada umumnya memiliki jenis inang yang sama, dapat menginfeksi secara bersamaan pada satu jenis inang sehingga menimbulkan kerusakan yang
kompleks. Adanya kemiripan gejala dan tanda penyakit oleh patogen berbeda, seringkali
menjadi masalah dalam diagnosis penyakit dan hal ini menyulitkan pengendaliannya
sehingga diperlukan pemahaman dalam diagnosis penyakit. Dalam Tabel 1 ditampilkan
biologi dan ekologi patogen tular tanah yang dominan pada tanaman aneka kacang.
Tabel 1. Patogen dan gejala penyakit tular tanah pada tanaman aneka kacang di Indonesia
Patogen
1. Sclerotium rolfsii
Inang
kedelai,
kacang
tanah,
kacang
hijau
Penyakit
rebah bibit
(damping-off),
busuk pangkal
batang, layu
Gejala infeksi
bercak berjamur, di pangkal
batang dan permukaan tanah
tumbuh miselia jamur berwarna
putih dan sklerosia berbentuk
butiran kecil kecoklatan
2. Fusarium spp.
kedelai
layu
3. Rhizoctonia solani
kedelai,
kacang
tanah,
kacang
hijau
busuk akar,
busuk bersarang
(web blight),
busuk kanopi
(aerial blight)
bercak coklat di perakaran,
tanaman layu, klorosis, daun
mudah gugur
bercak kemerahan pada bibit,
busuk kanopi disertai munculnya
miselia putih menjalar antar
organ tanaman, sklerosia
kecoklatan bentuk besar tidak
beraturan
4. Aspergillus spp.
kacang
tanah
busuk leher akar
(collar rot)
5. Phytophthora sp.
kedelai,
kacang
hijau
kedelai,
kacang
hijau
kacang
tanah
rebah bibit
(damping-off)
6. Pythium sp.
7. Ralstonia
solanacearum
rebah bibit
(damping-off)
layu bakteri
busuk kecambah dan leher akar,
petumbuhan terhambat; busuk
hitam/hijau pada perakaran,
polong dan biji
Busuk biji dan kecambah, bercak
basah di pangkal batang,
tanaman layu
busuk kecambah, bibit layu
layu, kerusakan jaringan
pembuluh batang
Sumber: Wrather et al. (2001), Djauhari (2003), Rahayu dan Hardaningsih (2006), Semangun (2008).
Sclerotium rolfsii
S. rolfsii secara taksonomi termasuk kelompok Deuteromycetes suatu jamur yang tidak
membentuk spora. S. rolfsii dapat menginfeksi lebih dari 500 jenis tanaman dikotil dan
monokotil meliputi aneka kacang, tanaman sayuran, ubi jalar, ubi kayu, talas, semangka,
tebu, tanaman hias, tanaman serealia, tembakau, tanaman obat, gulma dan rumput pakan
818
Rahayu: Ragam penyakit tular tanah pada aneka kacang dan pengendalian non kimiawi
ternak (Anahosur 2001, Sarma et al. 2002). Fase kritis terhadap S. rolfsii adalah awal
tanaman tumbuh, tetapi jamur mampu menginfeksi sejak biji berkecambah hingga menjelang panen. Infeksi awal terjadi pada pangkal batang berupa lesio (ruam), lesio berwarna
coklat muda, kemudian berkembang menjadi coklat tua. Infeksi pada perakaran dan
pangkal batang menyebabkan rusaknya pembuluh pengangkutan sehingga timbul gejala
layu. Pada tingkat infeksi lanjut, di pangkal batang tanaman terinfeksi muncul tanda fisik
dari patogen yaitu berupa miselia tipis berwarna putih, bentuk teratur seperti bulu, dan
mudah dilihat secara visual karena tumbuh di pangkal batang dan di sekitar lubang tanam.
Selain miselia, jamur mampu membentuk struktur sklerosia untuk alat berbiak. Sklerosia
berbentuk butiran sangat kecil (diameter 0,5–1 mm) berwarna putih saat baru tumbuh dan
berubah menjadi kecoklatan setelah tua, biasanya mudah ditemukan di permukaan tanah
sekitar lubang tanam dan di pangkal batang (Mehan et al. 1995, Agrios 2005).
S. rolfsii mempunyai dua fase dalam siklus hidupnya yaitu 1) fase parasit membentuk
miselia infektif menimbulkan penyakit pada tanaman inang, disebut fase patogenesis, dan
2) fase dorman berupa struktur sklerosia berdinding tebal dan bertahan hidup di tanah
ataupun residu tanaman, dan fase ini disebut saprogenesis. Sklerosia dalam tanah mampu
bertahan hidup 2–3 tahun, bergantung pada ketersediaan substrat bahan organik sebelum
akhirnya menginfeksi inang yang sesuai dan menimbulkan penyakit. Selama proses
infeksinya, S. rolfsii memproduksi senyawa fitotoksik berupa asam oksalat. Senyawa ini
berkorelasi positif dengan virulensi atau keganasan patogen tersebut (Ansari dan Agnihotri
2000). S. rolfsii isolat virulen mengandung asam oksalat 5–6,5 mg/ml, sedangkan isolat
kurang virulen asam oksalat yang dihasilkannya kurang dari 5 mg/ml (Shwetha 2011).
Lingkungan bersuhu hangat dengan kelembaban tinggi, merupakan kondisi yang
kondusif bagi S. rolfsii. Sebaliknya di daerah bersuhu dingin, penyakit terhambat dan akan
berkembang lagi ketika suhu berubah lebih hangat (FAO 2007). Jamur mampu tumbuh di
tanah masam hingga netral, dengan pH 3,0 hingga pH 7,0. Sklerosia terhambat pertumbuhannya pada pH lebi dari 7,0. Pada suhu rendah 10 ºC dan suhu tinggi 40 ºC, terjadi
penghambatan pertumbuhan miselium tetapi pada suhu sangat rendah minus 10 ºC
sklerosia masih mampu bertahan hidup (Ferreira dan Boley 2006). S. rolfsii memerlukan
kondisi lembab berkisar 55–100% untuk pertumbuhannya (Hartati et al. 2008).
Rhizoctonia solani
Infeksi R. solani pada pangkal batang kedelai muda berupa lesio (ruam) agak berkerut
dan berwarna kemerahan. Penyakit oleh R. solani dipicu kondisi lahan dengan kelembaban tinggi, drainase buruk dan didukung cuaca panas (Russin dan Stetina 1999).
Kondisi demikian, kondusif untuk pertumbuhan miselia dan sklerosia R. solani. Sklerosia
berukuran besar dengan diameter 2 – 5mm, berbentuk bulat hingga tidak beraturan, dan
berwarna coklat. Jamur ini termasuk Deuteromycetes, tidak membentuk spora dan berbiak
dengan miselia dan sklerosia. Gejala Hasil penelitian di lahan pasang surut Kalimantan
Selatan menunjukkan bahwa R. solani menyebabkan penyakit busuk aerial atau busuk
kanopi pada kedelai varietas Anjasmoro. Kondisi lahan pasang surut yang sangat lembab
menyebabkan intensitas serangannya sangat tinggi mencapai lebih dari 50% (Rahayu et
al. 2011).
Selama proses infeksinya, R. solani mengeluarkan toksin. Aliferis dan Jabaji (2010)
menyatakan bahwa senyawa toksik dari R. solani komposisinya sangat kompleks terdiri
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2013
819
atas fenol (17,4%), asam karboksilat (12,8%), karbohidrat (6,1%), asam lemak (3,8%),
dan asam amino (3,5%).
Pada kacang tanah, infeksi R. solani menyebabkan polong busuk berair, dan berwarna
coklat kehitaman. Kerusakan polong biasanya tidak menyeluruh hanya terjadi pada
beberapa polong, dan gejala tersebut bianya tidak nampak pada tajuk tanaman. Busuk
polong jarang mencapai intensitas parah, kecuali bila kacang tanah ditanam secara terus
menerus pada lahan yang sama di lahan endemik. Damicone dan Melouk (2013)
menyatakan bahwa keparahan infeksi R. solani dipicu kelembaban tinggi, defisiensi
kalsium, dan adanya luka pada polong akibat serangga tanah.
Fusarium spp.
Fusarium spp. merupakan jamur parasit fakultatif, mampu hidup lama dalam tanah
dan penyebarannya melalui tanah (Kendrick 2000). Jamur mampu membentuk struktur
dorman berupa klamidospora yang tahan lenkungan ektrim tanah seperti kekeringan.
Infeksi Fusarium spp. pada kedelai biasanya dumilai dari perakaran dan menyebabkan
busuk akar, bercak nekrosis berwarna kecoklatan pada pangkal batang, dan tanaman layu.
Pada tingkat infeksi lanjut menyebabkan daun menguning atau klorosis, berkerut,
mengering, gugur daun prematur dengan tangkai tetap tinggal di batang, dan akhirnya
tanaman mati (www.planthealth.info/pdf_docs/soy_pathology_white_paper 2007).
Fusarium yang menginfeksi kedelai di Sleman Yogyakarta, dilaporkan terdiri atas
beberapa jenis seperti F. graminearum, F. solani, F. oxysporum, F. sporotrichoides, F.
acuminatum, serta F. equiseti. Pada kedelai umur sebulan, teridentifikasi dua spesies
dominan yaitu F. graminearum, F. solani. Gejala infeksinya terutama pada di perakaran
berupa busuk akar dengan bercak coklat kehitaman, dan penyakit dapat mencapai batang
dan ranting (Kasiamdari dan Maryani 2004).
Selama proses infeksinya, Fusarium spp. menghasilkan toksin yang tersebar sistemik
dalam jaringan pembuluh batang sehingga timbul gejala layu. Fusarium spp. berkembang
biak dengan spora, dan terdapat dua jenis spora yaitu spora makro dan mikro. Spora
makro berbentuk melengkung dengan kedua ujung lancip mirip sabit, bersekat dua hingga
tiga. Spora mikro berukuran kecil berbentuk bulat panjang, kadang bersekat. Di samping
membentuk spora, Fusarium membentuk klamidospora berbentuk bulat dan berdinding
tebal, merupakan struktur pembiakan yang mampu bertahan hidup lama dalam tanah dan
tahan kondisi ekstrim seperti kekeringan. Jamur ini mampu menginfeksi aneka jenis inang
seperti kacang tanah, kedelai, buncis, tomat, dan lada (Mayee 2005).
Aspergillus spp.
A. flavus dan A. niger merupakan dua spesies dominan penyebab penyakit busuk leher
akar pada kacang tanah (Horn 2003). Jamur berkembang biak dengan spora yang
terbentuk secara vegetatif. Infeksi A. niger ditandai munculnya koloni spora berwarna
hitam di leher akar sedangkan A. flavus koloni spora berwarna hijau. Luka pada polong
dan biji kacang tanah didukung kondisi suhu relatif tinggi 22–37oC, dapat meningkatkan
kolonisasi jamur Aspergillus spp. pada kacang tanah (Horn 2005).
A. flavus merupakan jamur menghasilkan aflatoksin, suatu racun karsinogenik pemicu
penyakit kanker pada mammalia. Wild dan Turner (2002) menyatakan bahwa kontaminasi aflatoksin pada pangan telah meningkatkan kejadian penyakit kanker hati di beberapa
negara Afrika dan Asia. Atas dasar kemampuannya membentuk aflatoksin, A. flavus
820
Rahayu: Ragam penyakit tular tanah pada aneka kacang dan pengendalian non kimiawi
dibedakan menjadi dua strain. Strain toksik mampu membentuk aflatoksin sedangkan
strain non toksik tidak menghasilkan aflatoksin. Pada media mengandung air kelapa, strain
A. flavus secara cepat mudah dibedakan karakternya. Strain toksik yang dipapar di bawah
sinar ultra violet (panjang gelombang 365nm) akan berpendar fluoresen biru, dan karakter
tersebut tidak ditemukan pada strain non toksik (Yusnawan dan Rahmianna 2004).
Kontaminasi aflatoksin pada biji kacang tanah dan produk pertanian yang diproses menjadi bahan pangan dan pakan, dapat membahayakan kesehatan manusia dan ternak.
Lamb dan Sternitzke (2001) menyatakan bahwa untuk mengurangi dampak negatif terhadap kesehatan, maka industri produk kacang tanah di Amerika Serikat mengeluarkan dana
26 juta dolar per tahun untuk pengelolaan aflatoksin.
Ralstonia solanacearum
Di antara tanaman aneka kacang, hanya kacang tanah yang menjadi inang R.
solanacearum. Bakteri kelompok ras 1 merupakan penyebab penyakit layu pada inang
dari famili solanaceae dan bukan solanaceae seperti kacang tanah, buncis, kecipir, bunga
matahari, dahlia, lili, anturium, dan strawberi (EPPO/CABI 2006).
Gejala infeksi awal pada kacang tanah biasanya muncul tiba-tiba, daun tetap berwarna
hijau namun lambat laun daun menjadi lungkai seperti bekas tersiram air panas. Bila
infeksi terjadi pada tanaman lebih tua atau fase generatif, proses kelayuan terjadi bertahap
seringkali hanya sebagian cabang yang layu. Selama proses infeksinya, bakteri
manghasilkan senyawa metabolit ekstraseluler dengan bobot molekul tinggi seperti
poligakturonase, endoglukanase, dan toksin lain. Senyawa tersebut berperan sebagai
faktor penentu virulensi R. solanacearum (Saile et al. 1997, Huang dan Allen 2000).
Deposit senyawa tersebut dalam pembuluh akar dan batang inang berakibat pada
tersumbatnya aliran air ke seluruh tanaman sehingga terjadi layu sistemik dan tanaman
layu sulit disembuhkan.
Gulma yang biasanya tumbuh bersama kacang tanah seperti Ageratum conyzoides,
Crotalaria juncea, dan Croton hirtus merupakan inang R. solanacearum (Mehan et al.
1994). Demikian juga gulma Portulaca oleracea, dalam kondisi terinfeksi gulma ini tidak
menunjukkan gejala layu, hanya berperan sebagai gudang (reservoir) inokulum R.
solanacearum dan membantu penyebaran penyakit di lapangan dari satu musim ke musim
tanam berikutnya (Lopez dan Biosca 2004). R. solanacearum sangat sensitif terhadap
kadar air rendah (kekeringan), pH tinggi (tanah alkalin), suhu rendah, dan tingkat
kesuburan tanah rendah (Hidayah dan Djajadi 2009).
Penularan penyakit layu melalui beberapa media seperti air, tanah, residu tanaman
sakit, terbawa serangga tanah, dan melalui benih hasil panen dari tanaman induk
terinfeksi. Zeng et al. (1994) menyatakan bahwa dari kacang tanah terinfeksi R. Solanacearum, sebanyak 4% biji hasil papennya terdeteksi adanya bakteri atau membawa
penyakit. Penyebaran penyakit melalui benih merupakan modus penyebaran pasif dari
patogen tular benih, dan hal ini sangat dipengaruhi oleh aktivitas distribusi benih.
Distribusi benih antar lokasi ataupun antar negara, akan seiring dengan penyebaran
penyakit ke wilayah lebih luas. Hal demikian akan sangat merugikan karena menjadi
penghambat dalam perdagangan benih kacang tanah skala nasional ataupun
internasional.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2013
821
STRATEGI PENGENDALIAN NON KIMIAWI
Strategi pengendalian non kimiawi yang secara teknis diwujudkan dalam beberapa
komponen pengendalian seperti 1) teknis budi daya, 2) pengendalian secara fisis dan
mekanis, 3) pengendalian hayati, dan 4) pemanfaatan esktrak nabati merupakan cara
pengendalian yang potensial untuk menekan penyakit tular tanah pada tanaman aneka
kacang.
1. Teknis budi daya
Pengolahan tanah merupakan unsur utama dalam budi daya pertanian, kegiatan ini
dapat memodifikasi lingkungan fisikokimia tanah seperti suhu dan kelembaban menjadi
lebih baik agar tanaman tumbuh sehat. Kelembaban dan suhu tanah merupakan faktor
utama yang mempengaruhi aktifitas jamur tular tanah. Tanah yang diolah cukup dalam,
dapat membenam struktur pembiakan jamur seperti sklerosia dan klamidospora. Dalam
kondisi terbenam, patogen tidak mendapatkan cukup oksigen, pertumbuhannya
terhambat, sehingga mengurangi infeksinya (Agrios 1997). Sebaliknya tanpa olah tanah,
seringkali sklerosia dalam kondisi relatif tidak mengalami perubahan strata, tetap berada di
risosfer inang dan tetap infektif. Hal itu dapat mempertahankan kepadatan inokulum
selama beberapa waktu hingga akhirnya patogen menemukan jenis inang baru yang
rentan. Franchini et al. (2006) menyatakan bahwa pengolahan tanah dapat mengurangi
populasi hama dan patogen penghuni tanah.
Peran teknis budi daya dalam pengendalian penyakit lebih bersifat preventif. Budi daya
monokultur secara terus menerus cenderung meningkatkan populasi inokulum patogen
yang hidup dalam tanah (van Bruggen dan Termorshuizen 2003). Hal itu terbukti pada
penelitian Kumar dan Sharma (2004), dimana tomat ditanam secara berurutan tanpa
rotasi di lahan mengandung bakteri R. solanacearum mengakibatkan meningkatnya
populasi bakteri tersebut hingga 164% dari populasi awal, serta meningkatkan kejadian
penyakit layu pada tomat. Sebaliknya penerapan rotasi kacang tanah dengan beberapa
jenis tanaman seperti jagung, kedelai, padi, dan ubi jalar selama 3 tahun berturut-turut
dapat mengurangi secara nyata penyakit layu R. solanacearum pada kacang tanah
(Machmud 1993).
Dalam budi daya rotasi, pergantian jenis inang dapat memutus siklus penyakit. Tetapi
pengaruh rotasi seringkali kurang efektif untuk patogen dengan kisaran inang yang luas
seperti sebagian besar jamur tular tanah. Misalnya R. solani, selain menginfeksi kacang
tanah, kacang hijau, kedelai, buncis, dan kacang panjang (Hartman et al. 1999,
Semangun 2008), juga meginfeksi serealia seperti padi dan jagung (Talanca 2005), serta
tanaman sayuran dan tanaman hias (Bohlooli et al. 2005). Dengan demikian rotasi di
antara jenis inang tersebut kurang efektif menekan penyakit R. solani.
Gulma merupakan tumbuhan pesaing yang merugikan tanaman utama, selain itu
gulma berperan sebagai inang alternatif bagi kebanyakan patogen tular tanah. Portulaca
oleracea misalnya, gulma ini berperan sebagai gudang (reservoir) sumber bakteri R.
solanacearum. Lopez dan Biosca (2004) menyatakan bahwa gulma Portulaca oleracea
berperan pada penyebaran penyakit layu bakteri pada kacang tanah. Seringkali, gulma
yang terinfeksi R. solanacearum tidak menunjukkan gejala layu, sehingga menyulitkan
pengendaliannya.
Pengelolaan lahan secara organik dilaporkan mampu mencegah penyakit tular tanah.
Dinyatakan Schonfeld et al. (2003) bahwa pengelolaan lahan secara organik melalui
822
Rahayu: Ragam penyakit tular tanah pada aneka kacang dan pengendalian non kimiawi
pemberian kompos dan pupuk hijau dapat meningkatkan supresifitas tanah atau
kemampuan tanah menekan populasi patogen yang berada dalam tanah. Mekanisme
penekanan penyakit pada lahan organik terjadi melalui beberapa cara : 1) menimbulkan
kapasitas penekanan terhadap patogen (supresisifitas) karena bahan organik memberi lingkungan kondusif bagi mikroba agens hayati, dan 2) bahan organik secara tidak langsung
mempengaruhi tanaman inang melalui tersedianya nutrisi. Pemberian bahan organik
dapat memperbaiki tekstur pada jenis tanah berat, sehingga meningkatkan perkolasi air ke
lapisan yang lebih dalam dan mengurangi kerak pada lapisan atas tanah. Perkolasi yang
baik biasanya akan memperbaiki pertumbuhan akar sehingga meningkatkan ketahanan
tanaman dari infeksi patogen tular tanah.
2. Varietas tahan penyakit
Para pemulia tanaman aneka kacang selalu menyertakan karakter ketahanan terhadap
penyakit merugikan pada program perakitan varietas unggul baru, dan varietas tahan
merupakan cara pengendalian yang praktis dan mudah diadopsi petani. Budi (2004)
menyatakan bahwa kacang tanah varietas Zebra memiliki ketahanan cukup baik terhadap
busuk batang S. rolfsii dengan kejadian penyakit 17%, sedangkan Macan sangat rentan
dengan kejadian penyakit 52%.
Kacang tanah varietas Bison, Domba, Tuban, Turangga, dan Jerapah dilaporkan
memiliki ketahanan cukup baik terhadap Aspergillus spp. (Yusdar et al. 2004). Demikian
juga Yusnawan (2013) melaporkan bahwa ketahanan kacang tanah terhadap Aspergillus
masih terekspresi pada beberapa varietas seperti Jerapah, Bison, Domba, dan Turangga.
Selain itu varietas Kancil dan Sima diketahui tahan A. flavus. Untuk ketahanan terhadap
layu bakteri, beberapa varietas kacang tanah yang memiliki ketahanan cukup baik antara
lain adalah Gajah, Banteng, Tapir, Kidang, Tupai, Domba, Mahesa, Turangga, Anoa, dan
Tuban (Nugrahaeni et al. 2007); Panter, Kancil, Anoa, KI Putih, Papua merah, dan Zb Pth
(Rahayu, 2009). Sebagaian besar varietas tersebut merupakan keturunan varietas
Schwarz-21 yang tahan penyakit layu bakteri. Varietas tahan penyakit tersebut perlu lebih
disebar luaskan kepada petani sebagai upaya preventif terhadap penyakit tular tanah.
3. Pengendalian secara mekanis dan fisis
Mencabut, membakar, dan membenam tanaman terinfeksi merupakan upaya
pengendalian mekanis dan fisis untuk membersihkan lahan dari sumber penyakit.
Membakar residu tanaman sakit yang mengandung struktur dorman jamur seperti sklerosia
dan klamidospora, sangat diperlukan untuk mengurangi sumber inokulum awal dan
menekan kejadian lanjut penyakit tular tanah. Pembenaman residu inang terinfeksi ke
dalam tanah, menyebabkan kurangnya asupan oksigen bagi inokulum tersebut sehingga
menekan penyakit. Selain oksigen, kelembaban dan jenis tanah juga berpengaruh
terhadap perkembangan penyakit tular tanah.
Solarisasi atau pemaparan lapisan olah tanah terhadap panas matahari merupakan
upaya untuk meningkatkan suhu tanah yang berdampak pada tertekannya pertumbuhan
mikroba patogen tular tanah. Mehan et al. (1994) menyatakan bahwa solarisasi tanah
dimungkinkan penerapannya di wilayah dengan suhu udara tinggi dan lahan memiliki
cukup fasilitas irigasi. Selain menggunakan sinar matahari, pemulsaan tanah menggunakan plastik transparan merupakan salah satu sarana untuk solarisasi tanah. Katan (2008)
melaporkan bahwa solarisasi tanah menggunakan mulsa plastik dapat menekan perkem-
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2013
823
bangan jamur tular tanah. Hal yang sama dilaporkan Raj dan Upmanyu (2007) bahwa
pemulsaan tanah menggunakan plastik polietilen dapat menurunkan kejadian layu Fusarium sp. pada tanaman gladiol. Plastik transparan yang digunakan sebagai penutup tanah
dengan periode solarisasi 3–4 minggu sebelum tanam kacang tanah, dapat menekan
perkecambahan sklerosia dan menurunkan patogenisitas S. rolfsii penyebab penyakit
busuk batang pada kacang tanah (Kartini dan Widodo 2000). Ratulangi (2004) juga
menyatakan bahwa solarisasi selama 6 minggu menggunakan plastik transparan, dapat
menekan kejadian penyakit layu S. rolfsii pada kedelai sebesar 6,24% sedangkan tanpa
solarisasi kejadian penyakit lebih tinggi mencapai 44,7%. Tingginya suhu yang mencapai
50–55 oC pada solarisasi tanah merupakan faktor penyebab tidak aktifnya sklerosia S.
rolfsii (Ferreira dan Boley 2006).
4. Pengendalian hayati
Dewasa ini masyarakat semakin memperhatikan keamanan hayati produk pertanian.
Itu sebabnya penggunaan pestisida kimia secara berangsur-angsur disusbstitusi dengan
biopestisida berbahan aktif agens hayati yang ramah lingkungan. Beberapa jenis agens
hayati yang mampu menekan patogen tular tanah ditampilkan dalam Tabel 2. Menurut
Machmud et al. (2002) agens hayati terdiri jamur, bakteri dan aktinomisetes dapat diisolasi
dari tanah risosfer aneka tanaman pangan.
Trichoderma spp. merupakan jamur antagonis yang intensif diteliti dan diaplikasikan
untuk mengendalikan penyakit tular tanah pada aneka tanaman. Salah satu spesies T.
harzianum dilaporkan efektif mengendalikan penyakit busuk batang S. rolfsii pada kacang
tanah (Kajal dan Chitreswar 2000). Di Indonesia, produk biofungisida Biotric yang
mengandung bahan aktif T. harzianum, dilaporkan efektif mengendalikan penyakit layu S.
rolfsii pada kedelai (Sudantha 2000). Melalui mekanisme mikoparasitik, T. harzianum
dapat menekan R. solani dan P. ultimum (Mukherjee et al. 2007). Di samping berperan
sebagai agens hayati, Trichoderma memiliki keuntungan lain yaitu berguna sebagai pupuk
hayati. Metabolit ekstraseluler berupa asam organik seperti asam sitrat dan glukonik yang
dihasilkan Trichoderma dapat membantu pelarutan beberapa mineral seperti fosfat, besi,
Mn, dan Mg yang berperan dalam metabolisme tanaman (Benitez et al. 2004). Menurut
Harman et al. (2004) Trichoderma membantu meningkatkan tersedianya nutrisi dan juga
meningkatkan ketahanan tanaman terhadap penyakit. Sejauh ini pemberdayaan Trichoderma spp. menjadi produk biopestisida lebih berkembang pesat daripada bakteri antagonis seperti P. fluorescens dan Bacillus spp. (Ganesan et al. 2003 dan Ganesan et al.
2004). Pada umumnya bakteri antagonis dapat diperoleh atau diisolasi dari rizosfer atau
tanah di sekitar perakaran sehingga beberapa strain mampu menekan penyakit tular
tanah.
P. fluorescens merupakan bakteri kelompok Gram negatif, yang efektif dan sangat
potensial sebagai biopestisida pertanian. Bakteri tersebut menghasilkan senyawa metabolit
ekstraseluler berupa antibiotik seperti fenazinkarboksilat, pioluteorin, siderofor fluoresen,
dan HCN yang bersifat menekan patogen tanaman (Whipps 2001, Raaijmakers et al.
2002). P. fluorescens efektif untuk menekan Fusarium sp. pada kacang chickpea (Inam-ulHaq et al. 2003).
Isolat lokal P. fluorescens asal risosfer tanaman aneka kacang di Jawa Timur yang
diaplikasikan melalui benih dan pangkal batang kedelai, dapat menurunkan kejadian
penyakit rebah S. rolfsii dengan efektifitas 55,2% (Rahayu 2006). Selain menekan
824
Rahayu: Ragam penyakit tular tanah pada aneka kacang dan pengendalian non kimiawi
penyakit, agens hayati tersebut dapat menurunkan persentase perkecambahan sklerosia S.
rolfsii (Rahayu 2008). Penyakit busuk batang S. rolfsii pada kacang tanah dapat
dikendalikan dengan aplikasi P. fluorescens (Podile dan Kishore 2002, Vikram dan
Hamzehzarghani 2011). Agens hayati tersebut mampu menekan penyakit yang disebabkan jamur maupun bakteri. Arwiyanto dan Hartana (2001) menyatakan bahwa P.
fluorescens dilaporkan efektif untuk mengendalikan layu bakteri R. solanacearum pada
tembakau. Demikian juga Pseudomonas sp. isolat Pf91 yang diaplikasikan pada tanaman
aromatik nilam, efektif untuk menekan layu R. solanacearum hingga mencapai tingkat
serangan 50,56% (Nasrun et al. 2005).
Tabel 2. Ragam agens hayati dan patogen tular tanah sasaran pengendalian
Agens Hayati
Patogen Tular Tanah
Inang
Pustaka
Pseudomonas sp.,
P. fluorescens
S. rolfsii, Fusarium
R. solani, R.
solanacearum
Kedelai,
Kacang tanah
Ganesan et al. (2003 & 2004)
Doan dan Nguyen (2006),
Rahayu (2006 dan 2008)
Bacillus spp.
Bacillus subtilis
AU195
R. solanacearum
A. flavus
Kacang tanah,
Doan and Nguyen (2006)
Moyne et al. (2001)
Tamehiro et al. (2002)
Trichoderma spp.
T.harzianum
T. atroviride
T. viride
R. solani, A. flavus,
Fusarium, Pythium
Kacang tanah,
Aneka kacang
Kajal dan Chitreswar (2000),
Iglis dan Kawchuck (2002),
Ganesan dan Sekar (2004)
Reithner et al. (2005)
Rajeswari dan Kannabiran
(2011)
Hardaningsih (1997)
Gliocladium roseum
F. oxysporum
R. solani, Botrytis
R. solani, S. rolfsii
A. niger, Fusarium
Colletotricum
Kedelai
Bacillus spp. suatu bakteri kelompok Gram positif, berperan sebagai agens hayati
karena menghasilkan antibiotik seperti subtilin, subsporin, mikobasilin, ituirin, cerexin,
surfaktin, basilomisin, dan basilisin yang berperan sebagai senyawa antimikroba
(Tamehiro et al. 2002, Leclere et al. 2005). Aplikasi Bacillus melalui benih kacang tanah
dapat menekan layu R. solanacearum dan meningkatkan hasil polong menjadi 2,71–2,75
t/ha, sebaliknya tanpa pemberian agens hayati hasilnya lebih rendah hanya 2 t/ha (Doan
dan Nguyen 2006).
5. Pestisida nabati potensial
Pestisida berasal dari ekstrak tumbuhan tertentu akhir-akhir ini sering mendapat
perhatian petani, karena berkhasiat menekan hama penyakit. Beberapa jenis ekstrak
beberapa jenis tanaman seperti daun jambu biji Psidum guajava, cangkang biji mangga
Garcinia mangostana, rimpang kunyit Curcuma longa, dan akar rumput teki Cyperus
rotundus dilaporkan mengandung senyawa aktif yang mampu menekan bakteri R.
solanacearum (Vudhivanich 2003). Minyak atsiri berasal dari serai wangi dan serai dapur
diketahui bersifat antibakteri, dan bermanfaat sebagai pestisida banati untuk mengurangi
serangan bakteri layu R. solanacearum (Pradhanang et al. 2005).
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2013
825
Ekstrak Lantana camara mengandung senyawa aktif yang dapat menghambat
pertumbuhan jamur tular tanah Fusarium oxysporum (Sharma dan Kumar 2009),
demikian juga juga ekstrak air dan ekstrak etanol dari kelor Moringa sp. mampu menekan
F. verticilliodes dan Macrophomina sp. (Enikuomehin dan Oyedeji 2010). Ektrak air dari
daun selasih Ocimum gratissimum dan daun kayu putih Eucalyptus globulus, dilaporkan
dapat menurunkan intensitas layu S. rolfsii pada kacang tunggak sebesar 4–12%
sedangkan tanpa pengendalian intensitas penyakit lebih tinggi mencapai 39% (Okwute
2012).
KESIMPULAN
Penyakit tular tanah merupakan salah satu kendala pada peningkatan hasil tanaman
aneka kacang seperti kedelai, kacang tanah, dan kacang hijau. Patogen penyebabnya
terutama terdiri beragam jenis jamur seperti Sclerotium rolfsii, Rhizoctonia solani,
Aspergillus niger, A. flavus, Fusarium spp. dan bakteri Ralstonia solanacearum. Dengan
semakin banyaknya perhatian terhadap isu keamanan pangan dan lingkungan, para pakar
perlindungan tanaman melalui penelitian intensif mendapatkan beberapa komponen
pengendalian yang diarahkan pada tindakan non kimiawi. Komponen pengendalian non
kimiawi yang terdiri atas teknis budi daya, varietas tahan penyakit, pengendalian secara
fisis dan mekanis, pengendalian hayati dan pemanfaatan esktrak nabati, sangat ptensial
diterapkan untuk mengendalikan penyakit tular tanah pada tanaman aneka kacang.
DAFTAR PUSTAKA
Adhikari, TB, and RC Basnyat. 1998. Effect of crop rotation and cultivar resistance on bacterial
wilt of tomato in Nepal. Can. J. Plant Pathol., 20: 283–287.
Agrios, GN. 2005. Plant pathology. 5th ed. Elsevier, Amsterdam. 922pp.
Aliferis, KA, and S Jabaji. 2010. 1H NMR and GS-MS metabolic fingerprinting of
developmental stages of Rhizoctonia solani sclerotia. Metabolomics 6:96–108.
Anahosur, KH. 2001. Integrated management of potato Sclerotium wilt caused by Sclerotium
rolfsii. Indian Phytopathology 54:158–166.
Ansari, MM, and Agnihotri, SK. 2000. Morphological, physiological, and pathogenic variations
among Sclerotium rolfsii isolates of soybean. Indian Phytopathology, 53:65–67.
Arunasri, P., T.V. Chalam, N.P. Eswara Reddy, and S. Tirumala Reddy. 2011. Collar rot
disease of cassandra induced by Sclerotium rolfsii and its management: a critical review.
Internat. J. of Applied Biology and Pharmaceutical Tech.. 2(2):307–314.
Arwiyanto, T. dan I. Hartana. 2001. Penelitian lapangan penyakit layu (Ralstonia
solanacearum) pada tembakau.Mediagama 3:7–14.
Backman PA, Brenneman TB. 1997. Stem-rot. In : Burelle NK, Porter DM, Kabana RR, Smith
DH, Subrahmanyam P, (Ed.). Compendium of peanut diseases. American
Phytopathological Society, St. Paul, MN.
Benitez, T, AM. Rincon, and AC. Condon. 2004. Biocontrol mechanism of Trichoderma strains.
International Microbiology. 7:249–260.
Bohlooli, A., S.M. Okhowat and M. Javan-Nikkhah. 2005. Identification of anastomosis group
of Rhizoctonia solani, the causal agent of seed rot and damping-off of bean in Iran.
Commun. Agric. Applied Biol. Sci. 70:137–141.
Boshou, L. 1999. Groundnut Bacterial Wilt Working Group (GBWWG). Oil Crops Research
Institute (OCRI), China. News Sheet. No. 2. 11pp.
Budi, R. 2004. Uji ketahanan beberapa varietas kacang tanah terhadap penyakit Sclerotium
rolfsii di lahan petani (on farm research). Ringkasan Skripsi. Faperta, IPB Bogor. 2 hlm.
826
Rahayu: Ragam penyakit tular tanah pada aneka kacang dan pengendalian non kimiawi
Damicone, J, and H Melouk. 2013. Soilborne diseases of peanut. Oklahoma cooperative
extension service. EPP-7664. Oklahoma State University. 7pp.
Djauhari, S. 2003. Structural equation modelling penyakit busuk batang (Sclerotium rolfsii
Sacc.) pada kedelai (Glycines max L. Merr.). Ringkasan Disertasi. Universitas Brawijaya
Malang. 39hlm.
Doan, TT, and Nguyen TH. 2006. Status of research on biological control of tomato and
goundnut bacterial wilt in Vietnam. In : Zeller W., and C. Ullrich (eds.). Proceedings of first
international symposium on biological control of bacterial plant diseases. Germany.
p:105–111.
Dorrance, AE. and D Mills. 2009. Phytophthora damping-off and root rot of soybean.
Agriculture and Natural Resources. The Ohio State University. 4pp.
Enikuomehin, OA., Oyedeji EO. 2010. Fungitoxic effect of some plant extracts against tomato
fruit rot pathogens. Archives of Phytopathology and Plant Protection. 43(3):233–240.
EPPO/CABI. 2006. Distribution maps of plant diseases: Ralstonia solanacearum (2003–2006).
http://www.cabi.org/DMPD.
FAO (Food and Agriculture Organization). 2007. White mold Sclerotium rolfsii. Regional
vegetable
IPM
program,
Green
bean
ecological
guide.
pp:21–74.
www.vegetableipmasia.org.PDF (Diakses Oktober 2009).
Ferreira, SA, and RA Boley. 2006. Sclerotium rolfsii. Plant disease pathogen. University of
Hawaii. 6pp. www.extento.hawaii.edu/kbase/crop/Type/s_rolfs.htm (Diakses Februari
2006).
Ganesan, S and R. Sekar. 2004. Biocontrol mechanism of Trichoderma harzianum (ITTC 4572) on groundnut web blight disease caused by Rhizoctonia solani. J. Theor. Expl. Biol.
1: 43–47.
Ganesan, S, P Manimaran, K Ramesh, and R Sekar. 2003. Biocontrol of Onion Basal Rot
disease caused by Fusarium oxysporum f. sp. cepae. In : AD. Deshmukh (ed): Proceeding
of International Conference of SAARC Countries on Biotechnology in Agriculture Industry
and Environment. Microbiology Society. Karad. Maharashtra, pp. 119–124.
Harman, GE., CR. Howell, A. Viterbo, I. Chet, and M. Lorito 2004. Trichoderma speciesopportunistic, avirulent plant symbionts. Nature Review Microbiology. 2:43–56.
Hartati, SY, E Taufik, Supriadi, dan N Karyani. 2008. Karakteristik fisiologis isolat Sclerotium
sp. asal tanaman sambiloto. Jurnal Litri. 14(1):25–29.
Hartman, GL, Sinclair JB, and Rupe JC. 1999. Rhizoctonia foliar blight. Pages 24–25 in:
Compendium of Soybean Diseases, 4th Ed. American Phytopathological Society, St. Paul,
MN.
Hidayah, N. dan Djajadi. 2009. Sifat-sifat tanah yang mempengaruhi perkembangan patogen
tular tanah pada tanaman tembakau. Perspektif. 8(2):74–83.
Horn, BW. 2003. Ecology and population biology of aflatoxigenic fungi in soil. J. Toxicol-Toxin
Rev 22:351–379.
Horn, BW. 2005. Colonization of wounded peanut seeds by soil fungi: selectivity for species
from Aspergillus section Flavi. Mycologia. 97(1):202–217.
Huang, Q, and C Allen. 2000. Polygalacturonaces are required for rapid colonization and full
virulence of Ralstonia solanacearum on tomato plants. Physiol. Mol. Plant Pathol.
57:77–83.
Inam-ul-Haq, M, N Javed, R Ahmad, and A Rehman. 2003. Evaluation of different strains of
Pseudomonas fluorescens for the biocontrol of Fusarium wilt of chickpea. Pakistan J. of
Plant Pathol. 2(1): 65–74.
Kajal, KB, and Chitreswar S. 2000. Management of stem rot of groundnut caused by
Sclerotium rolfsii through Trichoderma harzianum. Indian Phytopath. 53:290–295.
Kasiamdari, RS dan Maryani. 2004. Identifikasi jenis jamur mikroskopis penyebab penyakit
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2013
827
tanaman kedelai (Glycines max L. Merr.). Prosiding symposium nasional I tentang
Fusarium. Perhimpunan Fitopatologi Indonesia & Jurusan HPT Fak. Pertanian Univ.
Jendral Soedirman, Purwokerto. p:160–175.
Katan, J. 2008. Soil solarization research as a model for the development of new methods of
disease control. Phytoparasitica 20:S133–S135.
Kemerait, R. 2008. Peanut. Georgia plant disease loss estimates. University of Georgia,
Cooperative Extension Service. p.15.
Kendrick, B. 2000. The fifth kingdom. Focus Publishing. R. Pullins Co. USA. p:200–216.
Kumar, S, and JP Sharma. 2004. Effect of crop rotation on population dynamics of Ralstonia
solanacearum in tomato wilt sick soil. Indian Phytopathology 57:80–81.
Lamb, M.C, and DA Sternitzke. 2001. Cost of aflatoxin to the farmer, buying point, and sheller
segments of the Southeast United States peanut industry. Peanut Sci. 28:59–63.
Leclere, V, Bechet M., Adam A, Guez JS, Wathelet B., Ongena M, Thonart P, Gancel F,
Chollet-Imbert M, and Jacques P. 2005. Mycosubtilin overproduction by Bacillus subtilis
BBG100 enhances the organism’s antagonistic and biocontrol activities. Appl. Environ.
Microbiol. 71:4577–4584.
Lindsey D. Thiessen, and Jason E. Woodward. 2012. Diseases of Peanut Caused by Soilborne
Pathogens in the Southwestern United States. ISRN Agronomy. Lubbock, TX 79403,
USA. Article ID 517905, 9 pp.
Lopez, MM, and Biosca, EG. 2004. Potato bacterial wilt management: new prospects for
an old problem. In: Allen C., Prior P., and Hayward AC. (eds.). Bacterial wilt disease
and the Ralstonia species complex. APS Press, St. Paul, Minnesota, USA. pp.205–224.
Machmud, M, Sudjadi M, Suryadi Y. 2002. Seleksi dan Karakterisasi Mikroba Antagonis. Balai
Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian. http://www.indobiogen.or.id/
terbitan/prosiding/fulltext_pdf/prosiding2003_118–127_machmud_antagonis.pdf. Diakses
tanggal 23 Maret 2007. 10 hlm.
Machmud, M. 1993. Present status of groundnut bacterial wilt research in Indonesia. Proc of
the 2nd Working Group Meeting. Asian Vegetable Res and Dev Centre, Taiwan. p:14–24.
Mayee, CD. 2005. Diseases of groundnut and their management. In: Thind, T.D. (ed.).
Diseases of field crops and their management. New Delhi, India. pp:115–134.
Mehan, VK, BS Liao, YJ Tan, A Robinson-Smith, D McDonald, and AC Hayward. 1994.
Bacterial wilt of groundnut. ICRISAT Information Bull. No. 35. 28pp.
Mehan, VK, CD. Mayee, TB. Brennenman, and D McDonald. 1995. Stem and pod rots of
groundnut. Information bulletin no. 14, ICRISAT, Andhra Pradesh, India. 23pp.
Meyera, MC, CJ Buenob, NL de Souzab and JT Yorinoric. 2006. Effect of doses of fungicides
and plant resistance activators on the control of Rhizoctonia foliar blight of soybean and
on Rhizoctonia solani AG1-IA in vitro development. Crop Protect. 25: 848–854.
Moyne, A L, Shelby R, Cleveland TE, and Tuzun S. 2001. Bacillomycin D: an iturin with
antifungal activity against Aspergillus flavus. J. Appl. Microbiol. 90:622–629.
Mukherjee, M, Mukherjee PK, Kale PS. 2007. cAMP signalling is involved in growth,
germination, mycoparasitism and secondary metabolism in Trichoderma virens. Microbiol
153: 1734–1742.
Nasrun, C, T Arwiyanto, dan I Mariska. 2005. Pengendalian penyakit layu bakteri nilam
menggunakan pseudomonad fluoresen. Jurnal Penelitian Tanaman Industri 11(1):19–24.
Nawar, LS. 2008. Control of root rot of green gram bean with composted rice straw forified
with Trichoderma harzianum. American-Eurasian J. Agric. & Environ. Sci. 3(3):370–379.
Nugrahaeni, N., Soemartono, W. Mangoendidjojo, dan M. Machmud. 2007. Analisis dialel
ketahanan kacang tanah (Arachis hypogea L.) terhadap penyakit layu bakteri Ralstonia
solanacearum. Zuriat 18 (1): 1–9.
Okwute, SK. 2012. Plants as potensial sources of pesticidal agents : A review. Available in
828
Rahayu: Ragam penyakit tular tanah pada aneka kacang dan pengendalian non kimiawi
//www.intechopen.com/books/pesticides_advances_. Diakses April 2013.
Pradhanang, PM, MT Momol, SM Olson, and JB Jones. 2005. Management of bacterial wilt in
tomato with essesial oils and systemic acquaired resistance inducers. In Bacterial wilt
Disease and the Ralstonia solanacearum Species Complex. APS Press, Minnesota USA.
p:113–138.
Podile, A.R. and Kishore, G.K. 2002. Biological control of peanut diseases. In: Biological
control of crop diseases. Marcel Dekker Inc. New York. pp:131–160.
Raaijmakers, J.M., Vlami M., and de Souza J.T. 2002. Antibiotic production by bacterial
biocontrol agents. Antoni van Leuwenhoek. 81:537–547.
Rahayu, M. 2006. Antagonisme antara dua isolat Pseudomonas fluorescens dengan Sclerotium
rolfsii dan Rhizoctonia solani serta pengaruhnya terhadap penyakit rebah kedelai. Agrivita
28(1): 79–86.
Rahayu, M. 2007. Ragam Patogen Tular Tanah Dan Mikroba Antagonisnya Pada Rizosfer
Kacang-Kacangan di Jawa Timur. Prosiding : Peningkatan Produksi Kacang-Kacangan
dan Umbu-Umbian Mendukung Kemandirian Pangan. Puslitbangan Tanaman Pangan,
Bogor. hlm : 423–435.
Rahayu, M. 2008. Efikasi isolat Pseudomonas fluorescens terhadap penyakit rebah semai pada
kedelai. Jurnal Penelitian Pertanian. Puslitbangtan Bogor. Vol 27 No. 3. hlm:179–184.
Rahayu, M. dan S. Hardaningsih. 2006. Inventarisasi dan identifikasi penyakit tular tanah.
Laporan teknis Balitkabi Malang. 26 hlm.
Rahayu, M., Baliadi, Y., Prayogo, Y., Bedjo, Hardaningsih, S. 2011. Status, komposisi species
dan dominansi hama penyakit kedelai, musuh alami dan tanaman inang hama penyakit
kedelai di lahan pasang surut. Laporan Akhir. Balai Penelitian Tanaman Kacangkacangan dan Umbi-umbian Malang. 37 hlm.
Raj, H. and S. Upmanyu. 2007. Soil solarization for the management of wilt (Fusarium
oxysporum f.sp. gladioli) of gladiolus. Proceedings the third Asian Conference on Plant
Pathology. The Indonesian Phytopathological Society, Faculty of Agriculture Gadjah
Mada Univ. Yogyakarta. p:316–317.
Rajeswari, P., and B.Kannabiran. 2011. In vitro effects of antagonistic microorganisms on
Fusarium oxysporum (Schlecht. Emend. Synd & Hans) infecting Arachis hypogaea L.
Journal of Phytology 3(3):83–85.
Ratulangi, M.M. 2004. Pengendalian penyakit layu sklerotium pada tanaman kedelai dengan
solarisasi tanah. Eugenia. 10(1):1–7.
Reithner, B. Brunner, K. Schuhmacher, R. Piessl, I. Seidl, V. Krska, R. Zeilinger, S. 2005. The G
protein α subunit Tga1 of Trichoderma atroviride is insolved in chitinase formation and
differential production of antifungal metabolites. Fungal Genet. Biol. 42: 749–760.
Russin, J.S., and SR. Stetina. 1999. Rhizoctonia foliar blight. In: G. L. Hartman, J. B. Sinclair,
and J. C. Rupe (eds). Compendium of Soybean Diseases, 4th ed.. American
Phytopathological Society, St. Paul, Minnesota. pp: 24–25.
Saile, E., McGarvey, JA., Schell, MA., and Denny, TP. 1997. Role of extracellular polysaccharide and endoglucanase in root invasion and colonization of tomato palnts by Ralstonia solanacearum. Phytopathology. 87:1264–1271.
Saleh, N. 2004. Strategi pengendalian penyakit tanaman kedelai. Bul Palawija 7 & 8: 49–58.
Sarma, B.K., U.P. Sigh, and K.P. Sigh. 2002. Variability in Indian isolates of Sclerotium rolfsii.
Mycologia 94: 1051–1058.
Semangun, H. 2008. Penyakit-penyakit Tanaman Pangan di Indonesia (Edisi kedua). Gadjah
Mada University Press. 475 h.
Sharma, B. and P. Kumar. 2009. Invitro antifungal potency of some plant extracts against
Fusarium oxysporum. International J. Green Pharm. 3(1): 63–65.
Shwetha, GS. 2011. Studies on variability and management of Sclerotium rolfsii Sacc. causing
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2013
829
wilt of stevia. Thesis Master of Science, Univ of Agric Sci Dharwad-Karnataka India. 104
pp. //www.google.com/search?q=Sclerotium+toxinie= (Diakses Maret 2013).
Soylu, S., E.M. Soylu, S. Kurt and O.K. Ekici. 2005. Antagonistic potentials of rhizosphereassociated bacterial isolates against soilborne diseases of tomato and pepper caused by
Sclerotinia sclerotiorum and Rhizoctonia solani. Pak. J. Biol. Sci. 8: 43–48.
Sudantha, IM. 2000. Pengendalian hayati jamur Sclerotium rolfsii pada tanaman kedelai
menggunakan biofungisida “Biotric” (bahan aktif jamur Trichoderma harzianum). Prosiding Kongres Nasional XV dan Seminar Ilmiah PFI. hlm 121–126.
Sunkad, G. 2012. Tebuconazole: a new triazole fungicide molecule for the management of
stem rot of groundnut caused by Sclerotium rolfsii. The Bioscan 7(4):601–603.
Tamehiro, N., Okamoto-Hosoya, Y., Okamoto, S., Ubukata, M., Hamada, M., Naganawa, H.
and Ochi K. 2002. Bacilysocin, a novel phospholipids antibiotic produced by Bacillus
subtilis 168. Antim. Agent Chemother 46(2): 315–320.
Thiessen, L.D and Jason E. Woodward. 2012. Diseases of peanut caused by soilborne
pathogens in the Southwestern United States. ISRN Agronomy. Article ID 517905. 9pp.
Timper, P., N.A. Minton, A.W. Johnson, T.B. Brenneman, A.K. Culbreath, K.G. Burton, S.H.
Baker, and G.j. Gascho. 2001. Influence of cropping system on stem rot (Sclerotium
rolfsii), Meloydogyne arenaria, and the nematode antagonis Pasteuria penetrans in
peanut. 85 (7): 767–772.
van-Bruggen, AHC., and Termorshuizen, AJ. 2003. Integrated approaches to root disease
management in organic farming systems. Australian Plant Pathology 32:141–156.
Vikram, A., and H. Hamzehzarghani. 2011. Integrated management of Sclerotium rolfsii (Sacc.)
in groundnut (Arachis hypogaea L.) under pot culture conditions. Pest Technology. Global
Science Books. 6pp.
Vudhivanich, S. 2003. Potential of some herbal extracts for inhabiting growth of R. solanacearum, the causal agent of bacterial wilt of tomato. Kamphaengsaen Acad. J. 1(2):70–76.
Weller, D.M., J.M. Raaijmakers, B.B.M. Gardner and LS. Thomashow. 2002. Microbial population responsible for specific soil suppressiveness to plant pathogen. Ann. Rev. Phytopathol. 40: 309–348.
Whipps, J.M. 2001. Microbial interactions and biocontrol in the rhizosphere. J. Exp. Bot. 52:
487–511.
Wild, CP. and PC. Turner. 2002. The toxicology of aflatoxin as a basis for basic for public
health decisions. Mutagenesis 17: 471–481.
Wrather, J. A., T.R. Anderson, D.M. Arsyad, Y. Tan, L.D. Ploper, A. Porta-puglia, H.H. Ram,
and J.T. Yorinori. 2001. Soybean diseases loss estimates for the top ten soybean
producing countries in 1998. Can. J. Plant Pathol. 23: 115–121.
www.planthealth.info/pdf_docs/soy_pathology_white_paper. 2007. Soybean pathology white
paper. Diakses 4 Desember 2007.
Yusdar, H., A. Kasno, dan N. Saleh. 2004. Tanaman kacang-kacangan dan umbi-umbian:
Perannya dalam ketahanan pangan dan teknologi pengembangan. Inovasi Pertanian
Tanaman Pangan. Puslitbangtan, Bogor. pp: 95–132.
Yusnawan, E, dan AA Rahmianna. 2004. Ekstrak kelapa komersial sebagai media untuk deteksi
cepat Aspergillus flavus penghasil aflatoksin. Prosiding kinerja penelitian mendukung agribisnis kacang-kacangan dan umbi-umbian. Puslitbangtan.
Yusnawan, E. 2013. Isu global keamanan pangan kacang tanah I: Kontaminasi aflatoksin dan
cara pencegahan saat prapanen berdasarkan bioekologi Aspergillus flavus. Bul. Palawija
No. 25: 11–17.
Zeng, DF., Tan, Yj., and Xu, ZY. 1994. Survival of Pseudomonas solanacearum in peanut
seeds. Bacterial Wilt Newsletter 10: 8–9.
830
Rahayu: Ragam penyakit tular tanah pada aneka kacang dan pengendalian non kimiawi
Download