perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i

advertisement
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DISPENSASI NIKAH UNTUK MENDAPATKAN KEPASTIAN HUKUM
BAGI PELAKU HUBUNGAN DI LUAR NIKAH
DI PENGADILAN AGAMA SUKOHARJO
(Studi Efektivitas Pasal 7 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan Dalam Perspektif Sosiologi Hukum)
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk
Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam
Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh
Rio Andi Kurniawan
NIM. E0008072
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2012
commit to user
i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO
1. Lupakan masa lalu, jelang hari esok yang lebih baik.
2. Jangan merasa rendah diri karena menempuh jalan yang benar walaupun
sedikit orang yang menempuhnya, dan kamu jangan tertipu dengan yang
bathil walaupun banyak orang yang mengamalkannya.
3. Tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan, selama ada komitmen
untuk menyelesaikannya.
commit to user
v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN
Skripsi ini kupersembahkan untuk:
1. Allah SWT atas segala rahmat, nikmat, rizki
dan hidayahNYA.
2. Bapak, Ibu, dan keluarga yang selalu memberi
dukungan dan kepercayaan yang diberikan.
3. Sahabat-sahabat saya yang selalu memberikan
dukungan dan doa yang begitu besar.
4. Dan untuk semua yang telah memberikan
semangat dan bantuan hingga skripsi ini
terwujud.
5. Pembaca yang budiman.
6. Almamater.
commit to user
vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK
Rio Andi Kurniawan, E0008072. 2012. DISPENSASI NIKAH UNTUK
MENDAPATKAN KEPASTIAN HUKUM BAGI PELAKU HUBUNGAN DI
LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA SUKOHARJO (Studi Efektivitas
Pasal 7 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Dalam Perspektif Sosiologi Hukum). Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret.
Tujuan Penelitian ini adalah mendeskripsikan serta mengkaji dan menjawab
permasalahan mengenai faktor penyebab peningkatan dispensasi nikah di Pengadilan
Agama Sukoharjo, dampak dispensasi Pengadilan Agama terhadap kehidupan sosial
masyarakat di Sukoharjo, serta efektivitas Pasal 7 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974 yang
mengatur mengenai dispensasi pernikahan yang berkaitan dengan hubungan diluar
nikah dalam mendapatkan suatu kepastian hukum.
Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum empiris yang bersifat
deskriptif. Penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer didapat
dari hasil observasi dan wawancara. Sedangkan data sekunder berasal dari studi
kepustakaan terhadap undang-undang, arsip, buku dan dokumen lain terkait dengan
penelitian yang diteliti. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan adalah dengan
cara observasi, wawancara dan studi kepustakaan.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan kesimpulan bahwa
faktor penyebab peningkatan dispensasi di Pengadilan Agama Sukoharjo disebabkan
oleh beberapa faktor antara lain pergaulan bebas, kurang pemahaman terhadap
undang-undang perkawinan, serta semakin berkembangnya teknologi komunikasi
yang disalahgunakan, faktor ekonomi yang lemah dan faktor kurangnya pendidikan.
Dampak dispensasi adalah sebagai solusi untuk mengatasi keresahan dalam
masyarakat akibat hamil diluar nikah, untuk mendapatkan kepastian hukum bagi
pelaku kawin hamil, terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, indikasi peningkatan
perceraian pasangan usia muda, berpotensi melanggar hak-hak anak. Penerapan pasal
7 ayat 2 Undang-Undang perkawinan pada kehidupan masyarakat di Sukoharjo,
berlaku efektif guna mendapatkan kepastian hukum bagi pelaku kawin hamil.
Kata kunci: Dispensasi, Pernikahan, Kawin Hamil
commit to user
vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT
Rio Andi Kurniawan, E0008072. 2012. MARRIAGE DISPENSATION TO
OBTAIN LAW CERTAINTY FOR THE ACTOR OF OUT-OF-MARRIAGE
RELATION IN SUKOHARJO RELIGION COURT (A Study on the
Effectiveness of Article 7 Clause 2 of Act Number 1 of 1974 about Marriage in
Legal Sociological Perspective). Faculty of Law of Sebelas Maret University.
The objective of research was to describe as well as to study and to answer the
problem of the factors resulting in increased marriage dispensation in Sukoharjo
Religion Court, the effect of Religion Court‟s dispensation on the Sukoharjo people‟s
social life, as well as the effectiveness of Article 7 Clause 2 of Act Number 1 of 1974
governing the marriage dispensation in relation to the out-of-marriage relation in
obtaining a law certainty.
This study belonged to an empirical law research that was descriptive in
nature. This research included primary and secondary data. The primary data was
obtained from observation and interview result. Meanwhile the secondary data
derived from library study on law, archive, book and other document relevant to the
research studied. Techniques of collecting data used were observation, interview, and
library study.
Based on the result of research and discussion, it could be concluded that the
factors causing the increased dispensation in Sukoharjo Religion Court were free-sex,
less knowledge on marriage act, communication technology development misusage,
weak economic factor, and low education factor. The effect of dispensation was as
the solution to cope with people anxiety due to out-of-marriage pregnancy, to get law
certainty for the pregnant marrying actor, and domestic violence incidence,
indication of increased divorce rate among young couples, potential violation against
the child‟s rights. The application of article 7 clause 2 of Marriage Act to the
Sukoharjo people was enacted effectively in order to get law certainty for the
pregnant marrying actor.
Keywords: Dispensation, Marriage, Pregnant Marrying.
commit to user
viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang
senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penyusunan skripsi yang
berjudul “DISPENSASI NIKAH UNTUK MENDAPATKAN KEPASTIAN
HUKUM BAGI PELAKU HUBUNGAN DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN
AGAMA SUKOHARJO (Studi Efektivitas Pasal 7 Ayat 2 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dalam Perspektif Sosiologi
Hukum)”, dapat terselesaikan. Skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu
persyaratan dalam rangka memperoleh gelar kesarjanaan pada Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penulis menyadari skripsi ini dari awal hingga akhir tidak terlepas dari
bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, karena itu dengan kerendahan hati
penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S, selaku Rektor Universitas Sebelas Maret.
2. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M. Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret.
3. Bapak H. Mohammad Adnan. S.H., M. Hum., selaku Ketua Bagian Hukum dan
Masyarakat.
4. Bapak Bambang Joko S, S.H, M.H selaku Dosen Pembimbing Utama dalam
Skripsi ini yang selalu sabar serta memberikan pengarahan dan kemudahan dalam
menyelesaikan skripsi ini.
5. Bapak Mulyanto, S.H, M.Hum selaku Dosen Co. Pembimbing skripsi, yang
selalu teliti dalam memberikan pengarahan guna menyelesaikan proposal skripsi
Penulis.
6. Bapak Sutapa Mulya Widada, S.H., M. Hum selaku pembimbing akademik yang
telah memberikan bimbingan kepada penulis selama menjalani kuliah di Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret.
commit to user
ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
7. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang
telah memberikan bekal ilmu pengetahuan kepada Penulis.
8. Karyawan dan Staff Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang
telah membantu kelancaran perkuliahan.
9. Bapak Drs. Munjid Lughowi selaku Hakim di Pengadilan Agama Sukoharjo yang
selalu memberikan pengarahan selama proses peneltian di Pengadilan Agama
Sukoharjo.
10. Kedua orang tua yaitu, Bapak Hartadi dan Ibu Nanik Hastuti yang selalu memberi
doa dan dukungan
11. Segenap teman-teman DPR “Army” yang selalu memberikan kritik, saran, serta
masukan guna menyelesaikan skripsi ini.
12. Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini, yang tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu, semoga Allah SWT membalas kebaikan pada kita
semua. Amin.
Penulis menyadari bahwa suatu nilai kesempurnaan hanya milik Allah SWT,
maka dengan Penuh keikhlasan Penulis akan merasa sangat berbahagia apabila
terdapat kritik maupun saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi
ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat menjadi momentum awal yang
bermanfaat bagi perkembangan disiplin ilmu, terutama dalam bidang Ilmu Hukum
serta tegaknya hukum di Indonesia.
Surakarta, 12 Juli 2012
RIO ANDI KURNIAWAN
NIM. E0008072
commit to user
x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1
: Perkara Dispensasi Nikah Pada Tahun 2007-2011 Pengadilan Agama
Sukoharjo…………………………………………………………...51
Tabel 2
: Jumlah Perkara Perceraian yang Sudah Diputus Di Pengadilan
Agama Sukoharjo Dari Tahun 2007-2011………………………….66
commit to user
xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1
: Skema Model Analisis Kualitatif.....................................13
Gambar 2
: Kerangka Pemikiran........................ ……………………….37
Gambar 3
: Perkara Dispensasi Nikah Pada Tahun 2007-2011………...52
commit to user
xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1: Penetapan Perkara No: 17/Pdt.P/2010/PA. Skh
Lampiran 2: Penetapan Perkara No: 25/Pdt.P/2011/PA. Skh
commit to user
xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL………………………………………………………………… i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING…………………………………….. ii
HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………………........ iii
HALAMAN PERNYATAAN……………………………………………………… iv
HALAMAN MOTTO………………………………………………………………. v
HALAMAN PERSEMBAHAN…………………………………………………….. vi
ABSTRAK…………………………………………………………………………. vii
HALAMAN KATA PENGANTAR……………………………………………….. ix
DAFTAR TABEL…………………………………………………………………. xi
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………………. xii
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………………. xiii
HALAMAN DAFTAR ISI………………………………………………………… xiv
BAB I : PENDAHULUAN……………………………………………………….
1
A. Latar Belakang Masalah……………………………………………... 1
B. Rumusan Masalah……………………………………………………
5
C. Tujuan Penelitian…………………………………………………….
6
D. Manfaat Penelitian…………………………………………………...
7
E. Metode Penelitian…………………………………………………… 8
F. Sistematika Penulisan Hukum……………………………………..... 14
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………… 16
A. Kerangka Teori……………………………………………………... 16
1. Tinjauan Umum Efektivitas Hukum…………………………… 16
2. Tinjauan Umum Kepastian Hukum……………………………. 23
3. Tinjauan Umum Mengenai Perkawinan……………………….. 24
a). Pengertian Perkawinan……………………………………... 24
b). Tujuan Perkawinan…………………………………………. 25
commit to user
xiv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
c). Syarat-syarat Perkawinan………………………………….. 26
d). Asas-asas Hukum Perkawinan…………………………….. 28
e). Batasan Usia Perkawinan Menurut Al-Quran dan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan……… 30
4. Tinjauan Mengenai Dispensasi Perkawinan…………………… 32
a). Pengertian Dispensasi Kawin……………………………… 32
b). Dispensasi Pengadilan Agama Terhadap Perkawinan Di Bawah
Umur……………………………………………………….. 32
5. Tinjauan Mengenai Hubungan Luar Nikah……………………. 33
6. Tinjauan Mengenai Penelitian Terdahulu Yang Relevan Terhadap
Penelitian Yang Diteliti………………………………………… 35
B. Kerangka Pemikiran………………………………………………… 37
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………………………... 39
A. Faktor Penyebab Peningkatan Permohonan Dispensasi Nikah……. 39
1. Faktor
Penyebab
Peningkatan
Dispensasi
Pernikahan
Di
Indonesia……………………………………………………….. 39
a). Norma Agama Tidak Mengharamkan Pernikahan Di Bawah
Umur……………………………………………………….. 39
b). Kebiasaan Dan Tradisi Yang Telah Membudaya Dalam
Masyarakat…………………………………………………. 41
c). Pernikahan Sebagai Jalan Keluar Dari Belenggu Keterpurukan
Ekonomi Dan Beban Hidup………………………………… 42
d). Kecenderungan Berkembangnya Pergaulan Bebas Remaja… 42
2. Faktor Penyebab Peningkatan Dispensasi Pernikahan Di Sukoharjo
…………………………………………………………………... 43
a). Faktor Pergaulan Bebas Remaja Yang Berdampak Pada
Hubungan Seks Diluar Nikah……………...……………….. 43
commit to user
xv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b). Faktor Masyarakat Yang Kurang Memahami Mengenai
Undang-Undang
Perkawinan
dan
Hukum
Perkawinan
Islam……………………………………………………….. 45
c). Faktor Perkembangan Teknologi Sarana Telekomunikasi Dan
Informasi Yang Disalahgunakan Oleh Masyarakat……….. 47
d). Faktor Ekonomi Yang Lemah Dan Faktor Kurangnya
Pendidikan………………………………………………… 49
B. Dampak Dispensasi Pengadilan Agama Terhadap Kehidupan Sosial
Masyarakat Di Sukoharjo…………………………………………. 57
1. Dampak Positif Dispensasi Pernikahan……………………….. 57
a). Solusi Untuk Mengatasi Keresahan Dalam Masyarakat Akibat
Hamil Diluar Nikah……………………………………….. 57
b). Untuk Mendapatkan Kepastian Hukum Bagi Pelaku Kawin
Hamil ……………………………………………………… 57
2. Dampak Negatif Dispensasi Pernikahan……………………….. 64
a). Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga……………… 64
b). Indikasi Peningkatan Perceraian Pasangan Muda………….. 65
c). Berpotensi Melanggar Hak-Hak Anak, Terutama Bagi Anak
Perempuan………………………………………………….. 67
C. Efektivitas Pasal 7 Ayat 2 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Yang
Mengatur Mengenai Dispensasi Pernikahan Yang Berkaitan Dengan
Hubungan Diluar Nikah Dalam Mendapatkan Suatu Kepastian
Hukum…………………………………………………………….. 69
1. Terjadi Disharmonisasi Antara Undang-Undang Perkawinan
Dengan Undang-Undang Perlindungan Anak………………… 69
2. Ketidakjelasan Rumusan Dispensasi Pernikahan……………… 70
3. Efektivitas Pasal 7 Ayat 2 Mengenai Dispensasi Pernikahan… 73
commit to user
xvi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV : PENUTUP……………………………………………………………. 84
A. Simpulan………………………………………………………….. 84
B. Saran………………………………………………………………. 86
DAFTAR PUSTAKA
commit to user
xvii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Fenomena mengenai hubungan seks diluar nikah kian hari semakin
marak terjadi dalam kehidupan masyarakat, berdasarkan pada penelitian di
berbagai kota besar di Indonesia. Pada tahun 2005-2006 di kota-kota besar
seperti Jabotabek, Medan, Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Makassar,
berkisar 47,54 persen remaja mengaku melakukan hubungan seks sebelum
nikah. Namun, hasil survey terakhir tahun 2008 meningkat menjadi 63 persen.
Sementara dari data survey Kesehatan Reproduksi Remaja usia (15-19 tahun)
oleh Badan Pusat Statistik. Pada tahun 2009 perilaku remaja terhadap
kesehatan reproduksi menunjukkan fakta yang mencengangkan.
Data tersebut menyebutkan bahwa dari 10.833 remaja laki-laki yang
disurvei, 72 persen diantaranya mengaku sudah berpacaran. Dan dari 72
persen itu diperoleh data 10,2 persen mengaku telah melakukan hubungan
seks (seks di luar nikah). 62 persen mengaku telah melakukan petting. Sedang
dari hasil survei terhadap 8.340 remaja putri diperoleh data 6,3 persen
mengaku telah melakukan hubungan seks bebas dengan pacarnya. 63 persen
mengaku telah melakukan petting. Dan dari hasil survey tersebut diketahui
bahwa kategori pelajar yang telah berpacaran mayoritas telah melakukan
kissing (berciuman). Ada pula yang lebih suka berpegang-pegangan tangan
ataupun menyentuh bagian tubuh tertentu yang sensitive (Kompasiana,
http://edukasi .kompasiana. com /2011/09/14/ sekolah-perlu-ajarkan-seks/).
Hal serupa didapat, dari data Komisi Nasional Perlindungan Anak
tahun 2008. Dari 4.726 responden siswa SMP dan SMA di 17 kota besar
diperoleh hasil, 97 persen remaja pernah menonton film porno serta 93,7
persen pernah melakukan ciuman, meraba kemaluan, ataupun melakukan seks
oral. Sebanyak 62,7 persen remaja SMP tidak perawan dan 21,2 persen remaja
mengaku pernah aborsi. Perilaku seks bebas pada remaja terjadi di kota dan
commit to user
desa
pada
tingkat
ekonomi
kaya
dan
miskin
(BKKBP,
1
2
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
http://www.bkkbn.go.id/
berita
/Pages
/Program-PKBR-Antisipasi-Seks-
Bebas-Pada-Remaja.aspx).
Perzinaan yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat pelakunya
kebanyakan dari kalangan remaja. Hal tersebut dapat dicermati berdasarkan
hasil riset dari penelitian yang telah dilakukan oleh KOMNAS Perlindungan
Anak
(2007)
ataupun
Badan
Kependudukan
Keluarga
Berencana
Nasional (BKKBN) (2010), mengenai perilaku remaja yang melakukan
hubungan seks pra nikah, menunjukkan kecenderungan meningkat. Data hasil
riset Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) misalnya,
mengatakan bahwa separuh remaja perempuan lajang yang tinggal di wilayah
Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi telah kehilangan keperawanan dan
mengaku pernah melakukan hubungan seks sebelum menikah, bahkan tidak
sedikit yang mengalami kasus hamil di luar nikah. Ironisnya temuan serupa
ternyata juga terjadi di kota-kota besar lainnya seperti Surabaya, Medan,
Bandung, dan Yogyakarta (Andy, http://kickandy.com/theshow /1/1202/read
/ancaman-seksbebas-dikalangan-remaja.html).
Hasil senada juga ditunjukkan oleh riset yang dilakukan oleh Yayasan
Kita dan Buah Hati (YKB) selama tahun 2010. Pada awalnya riset YKB lebih
ke arah kesiapan anak menghadapi masa pubertasnya.Tetapi hal mengejutkan
terjadi ketika YKB menemukan bahwa anak-anak (SD kelas 4 dan 5) justru
memberikan informasi mengenai sejauh mana mereka telah mengetahui
tentang pornografi, dan itu sangat tidak terbayangkan sebelumnya oleh para
relawan YKB. Kecenderungan perilaku seks bebas dikalangan usia 13 hingga
18 tahun ini tentu saja membawa dampak tidak hanya pada rentannya
kesehatan alat reproduksi, selain meningkatnya kasus penularan penyakit
infeksi HIV/AIDS, tetapi juga tingginya jumlah kasus kehamilan di luar nikah
yang memicu masalah lain (Andi,http://kickandy.com/theshow /1/1/2026
/read/ancaman-seks-bebas-di-kalangan-remaja .html).
Fenomena mengenai hubungan seks di luar nikah tidak hanya terjadi di
kota-kota besar seperti kawasan Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi
commit Bandung,
to user
(Jabodetabek), Surabaya, Medan,
dan Yogyakarta. Fenomena
perpustakaan.uns.ac.id
3
digilib.uns.ac.id
tersebut juga terdapat di Kabupaten Sukoharjo. Hal ini memicu naiknya
perkara dispensasi pernikahan yang masuk di Pengadilan Agama Sukoharjo.
Hal Tersebut di dukung oleh data yang diperoleh di Pengadilan Agama
Sukoharjo dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2011. Perkara yang masuk
pada tahun 2007 dan 2008 hanya ada 9 dan 8 kasus saja, namun pada tahun
2009 dan 2010 mencapai 22 dan 21 kasus. Dan pada tahun 2011 terjadi
peningkatan yang sangat drastis mencapai 44 kasus dalam jangka waktu satu
tahun. Maka daripada itu pendidikan moral untuk menanggulangi kasus-kasus
tersebut perlu di terapkan yang dimulai dalam kehidupan keluarga dan
masyarakat disekitar kita.
Dalam KUHP sesungguhnya sudah diatur mengenai larangan
perzinaan. Ketentuan tersebut diatur dalam pasal 284 KUHP, adapun yang
dimaksud dengan zina adalah hubungan seksual atau persetubuhan di luar
perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan
yang kedua-duanya atau salah satunya masih terikat dalam perkawinan dengan
orang lain (Neng Djubaedah, 2010: 65). Adapun dalam pasal yang lain, juga
mengatur ketentuan mengenai perzinaan, ketentuan tersebut terdapat dalam
pasal 287 KUHP.
Dalam Pasal 287 KUHP, seseorang dapat dikategorikan sebagai pelaku
zina, yaitu terhadap orang yang melakukan persetubuhan di luar
perkawinan dengan seorang perempuan, yang diketahuinya atau
sepatutnya harus di duga olehnya, bahwa perempuan bersangkutan
belum berumur 15 (lima belas) tahun. Jika usia perempuan tersebut
tidak jelas, maka dapat diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya
bahwa perempuan tersebut belum waktunya untuk dinikahi (Neng
Djubaedah, 2010: 66).
Selain ketentuan hukum positif di atas, juga terdapat ketentuan hukum
lain yang hidup dalam masyarakat, mengenai larangan perzinaan yang diatur
dalam hukum islam. Islam mengajarkan bahwa perbuatan zina merupakan
perbuatan amoral, munkar dan berakibat sangat buruk bagi pelaku dan
masyarakat, sehingga Allah mengingatkan agar hambanya terhindar dari
perbuatan tersebut. Hal ini ditegaskan dalam Firman-Nya “Dan janganlah
commit zina
to user
kamu mendekati zina, sesungguhnya
itu adalah suatu perbuatan yang keji
perpustakaan.uns.ac.id
4
digilib.uns.ac.id
dan suatu jalan yang buruk”(Q.S Al Isra: 32). Hal itu dikarenakan terlalu
banyak efek yang ditimbulkan dari perzinahan, baik efek psikologi, sosial
maupun moral. Meskipun sudah terdapat peraturan-peraturan yang mengatur
tentang larangan perzinaan, namun kasus mengenai perzinaan (hubungan seks
diluar nikah) masih kerap terjadi dan tidak jarang diketemukan dalam
kehidupan masyarakat di sekitar kita.
Pentingnya peran serta keluarga dan masyarakat dalam memberikan
pendidikan moral kepada para remaja sangatlah penting, agar dapat tercipta
suatu kehidupan yang harmonis yang sesuai dengan tuntunan agama dan
norma sosial yang ada di masyarakat. Sejalan dengan perkembangan
kehidupan manusia, muncul suatu permasalahan yang terjadi dalam
masyarakat, yaitu hamil sebelum nikah. Timbullah anak zina lalu orang tua
menutup malu dengan buru-buru menikahkan, sehingga kadang-kadang ketika
pengantin duduk bersanding, perut anak dara kelihatan sudah besar. Mengenai
kasus kehamilan diluar nikah inilah yang menjadi problematika yang ada
dalam kehidupan masyarakat, mengenai status anak yang dilahirkan dari
hubungan seks diluar nikah.
Guna mendapatkan kepastian hukum, serta guna menghindari akibat
yang ditimbulkan yang ada dalam kehidupan masyarakat akibat dari hubungan
diluar nikah. Maka, antara pelaku hubungan diluar nikah tersebut harus segera
dinikahkan. Namun yang menjadi kendala dalam hal ini apabila pelaku
perzinaan atau hubungan seks diluar nikah tersebut belum cukup umur untuk
segera dilangsungkan pernikahan. Maka dalam hal ini dispensasi pernikahan
menjadi upaya yang bisa dijadikan solusi untuk mengatasi hal tersebut untuk
mendapatkan kepastian hukum bagi pelaku hubungan diluar nikah.
Peradilan Agama merupakan lembaga yang berwenang dalam
memberikan penetapan dispensasi nikah. Peradilan Agama adalah peradilan
bagi orang-orang yang beragama Islam (Undang-Undang nomor 50 tahun
2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama). Peradilan Agama merupakan peradilan khusus.
commit
to user
Kekhususannya itu ditunjukkan
oleh tiga
hal, yaitu: (1) Kewenangan meliputi
perpustakaan.uns.ac.id
5
digilib.uns.ac.id
hukum keluarga Islam yang bersumber dari Al Qur‟an, Sunnah dan Ijtihad; (2)
Kewenangannya itu hanya berlaku bagi sebagian rakyat Indonesia, yaitu
mereka yang memeluk Agama Islam; dan (3) tenaga-tenaga teknis pada
peradilan agama dipersyaratkan beragama Islam (Departemen Agama RI,
2000: 20).
Peradilan agama seperti yang telah dijelaskan di atas diperuntukkan
bagi orang-orang yang beragama Islam, dalam Hukum Islam yang berlaku
bagi umat Islam di Indonesia telah disusun Peraturan Perundang-undangan,
yaitu Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.
Meskipun telah ditentukan batas umur minimal untuk melangsungkan
pernikahan, namun dalam undang-undang memperbolehkan penyimpangan
terhadap syarat umur tersebut, melalui pasal 7 ayat (2) yang berbunyi: “Dalam
hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi
kepada Pengadilan dan Pejabat lain, yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak
pria maupun pihak wanita. Sehingga yang ada berkeinginan untuk melakukan
perkawinan dengan berbagai alasan kenapa perkawinan tersebut harus
dilakukan, seperti calon sudah sedemkian akrabnya atau bahkan telah hamil
pra nikah.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka hal-hal tersebut mendasari
dan melatarbelakangi Penulis untuk menyajikan penulisan hukum dengan
judul “DISPENSASI NIKAH UNTUK MENDAPATKAN KEPASTIAN
HUKUM BAGI PELAKU HUBUNGAN DI LUAR NIKAH DI
PENGADILAN AGAMA SUKOHARJO (Studi Efektivitas Pasal 7 Ayat
2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dalam
Perspektif Sosiologi Hukum)”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, penulis
merumuskan masalah untuk mengetahui dan menegaskan masalah-masalah
apa yang hendak diteliti sehingga dapat memudahkan penulis di dalam
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
6
digilib.uns.ac.id
mengumpulkan, menyusun, dan mengkaji data secara lebih rinci. Adapun
permasalahan yang akan dikaji penelitian ini adalah :
1. Faktor apa yang menyebabkan permohonan dispensasi nikah diajukan di
Pengadilan Agama Sukoharjo meningkat?
2. Apa dampak dispensasi Pengadilan Agama terhadap kehidupan sosial
masyarakat di Sukoharjo?
3. Bagaimana efektivitas Pasal 7 ayat 2 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
yang mengatur mengenai dispensasi pernikahan yang berkaitan dengan
hubungan diluar nikah dalam mendapatkan suatu kepastian hukum?
C. Tujuan Penelitian
Dalam suatu kegiatan penelitian harus mempunyai tujuan yang hendak
dicapai dengan jelas. Tujuan penelitian diperlukan untuk memberikan arah
dalam pelaksanaan penelitian tersebut. Adapun tujuan yang hendak dicapai
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui penyebab permohonan dispensasi nikah diajukan di
Pengadilan Agama Sukoharjo meningkat.
b. Untuk mengetahui dampak dispensasi Pengadilan Agama terhadap
kehidupan sosial masyarakat di Sukoharjo.
c. Bagaimana efektivitas Pasal 7 ayat 2 Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 yang mengatur mengenai dispensasi pernikahan yang berkaitan
dengan hubungan diluar nikah dalam mendapatkan suatu kepastian
hukum.
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk menambah wawasan, pengetahuan, dan kemampuan penulis di
bidang ilmu hukum pada umumnya, hukum dan masyarakat pada
khususnya.
b. Untuk menambah pengetahuan penulis dalam tata cara pengajuan
permohonan dispensasi pernikahan di Pengadilan Agama Sukoharjo.
commit to user
7
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c. Untuk melatih kemampuan penulis dalam mempraktekan teori ilmu
hukum, mengembangkan dan memperluas wacana pemikiran serta
pengetahuan
yang
didapat
selama
masa
perkuliahan
guna
menerapkannya di dalam kehidupan sosial di masyarakat dan di dalam
praktek beracara di Pengadilan Agama.
d. Untuk memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh gelar Strata1 (S1) dalam bidang ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret.
D. Manfaat Penelitian
Salah Satu aspek dalam kegiatan penelitian yang tidak dapat diabaikan
adalah mengenai manfaat penelitian. Penulis berharap hasil penelitian ini
dapat memberikan manfaat bagi banyak pihak yang terkait dengan penulisan
hukum ini, yaitu bagi penulis, maupun bagi pembaca dan pihak-pihak lain.
Karena nilai dari sebuah penelitian ditentukan oleh besarnya manfaat yang
dapat diambil dari adanya penelitian tersebut. Adapun manfaat yang penulis
harapkan dari penelitian ini antara lain :
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan memberikan
sumbangan pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum
pada umumnya, Hukum dan Masyarakat pada khususnya.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan
literatur kepustakaan tentang Dispensasi Nikah Untuk Mendapatkan
Kepastian Hukum Bagi Pelaku Hubungan Di Luar Nikah Di
Pengadilan Agama Sukoharjo (Studi Efektivitas Pasal 7 Ayat 2
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dalam
Perspektif Sosiologi Hukum).
2. Manfaat Praktis
a. Penelitian
membentuk
ini
diharapkan
pola
dapat
pikir dinamis,
commit to user
mengembangkan
sekaligus
penalaran,
mengembangkan
8
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu hukum yang diperoleh di
masa perkuliahan.
b. Memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti.
c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan
pamahaman, memberikan tambahan masukan dan pengetahuan kepada
pihak-pihak terkait dengan masalah yang sedang diteliti, dan juga
kepada berbagai pihak yang berminat pada permasalahan yang sama.
E. Metode Penelitian
Penelitian merupakan cara-cara ilmiah untuk memahami dan
memecahkan masalah sehingga didapatkan kebenaran yang sifatnya kebenaran
ilmiah (Muhammad Idrus, 2009: 9). Penelitian hukum merupakan suatu
kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran
tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum
tertentu, dengan jalan menganalisanya (Soerjono Soekanto, 2010: 43).
Adapun metode yang digunakan dalam penulisan hukum dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Pada penelitian ini penulis menggunakan penelitian yang masuk
dalam kategori penelitian hukum empiris atau sosiologis. Dalam hal ini
penulis menjelaskan secara deskriptif mengenai apa yang dikaji dan diteliti
mengenai fenomena dispensasi pernikahan yang terjadi di Sukoharjo.
Penelitian empiris adalah penelitian hukum yang data-datanya diperoleh
langsung dari lapangan (Soerjono Soekanto, 2010: 52).
Penelitian empiris artinya penelitian berdasarkan gejala sosial yang
terjadi dalam masyarakat, yang mengharuskan penulis turun langsung ke
lapangan, dalam hal ini Pengadilan Agama Sukoharjo untuk melakukan
pengamatan dan menganalisis terhadap gejala sosial yang ditimbulkan
oleh aturan hukum yang tidak bekarja secara maksimal dalam masyarakat.
commit to user
9
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Sifat Penelitian
Sifat penelitian dalam penulisan hukum ini adalah penelitian
deskriptif, yang bermaksud untuk memberikan uraian mengenai suatu
gejala sosial yang diteliti (Soerjono Soekanto, 2010: 10). Dalam hal ini
penulis berusaha menggambarkan gejala sosial mengenai fenomena
dispensasi pernikahan yang ada di Sukoharjo, dalam upaya mendapatkan
kepastian hukum bagi pelaku hubungan diluar nikah untuk melakukan
perkawinan.
3. Pendekatan Penelitian
Penelitian empiris merupakan salah satu model penelitian
kualitatif. Pada penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan kualitatif,
dimana penulis akan melakukan studi kasus di Pengadilan Agama
Sukoharjo. Untuk menggambarkan gejala sosial mengenai fenomena
dispensasi pernikahan yang ada di Sukoharjo, dalam upaya mendapatkan
kepastian hukum bagi pelaku hubungan diluar nikah untuk melakukan
perkawinan.
4. Lokasi Penelitian
Penelitian dalam penulisan hukum ini mengambil lokasi di
Pengadilan Agama Sukoharjo.
5. Jenis dan Sumber Data Penelitian
a. Jenis Data
1) Data Primer
Data Primer adalah data yang langsung dan segera
diperoleh dari sumber-sumber data untuk tujuan penelitian yang
dilakukan dan mendapat hasil yang sebenarnya pada obyek yang
diteliti. Data ini diperoleh dari wawancara Hakim di Pengadilan
Agama Sukoharjo. Dimana penulis mengadakan wawancara
dengan tiga Hakim di Pengadilan Agama Sukoharjo, yaitu dengan
Drs. Munjid Lughowi, Drs. Makali, dan Drs. H.A. Shonhadji Ali,
M.HI. Selaku ketua Pengadilan Agama Sukoharjo. Serta Pelaku
commit
to Dalam
user hal ini penulis telah bersepakat
hubungan seks diluar
nikah.
10
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
untuk merahasiakan nama dan identitas pelaku guna menghormati
dan menghargai pelaku.
2) Data Sekunder
Data Sekunder adalah data yang tidak diperoleh secara
langsung, yaitu data yang mendukung dan menunjang kelengkapan
data primer melalui kepustakaan, majalah, dokumen dalam bentuk
buku-buku ilmiah antara lain buku karangan Zainuddin Ali yang
berjudul Sosiologi hukum, Mohammad Daud Ali yang berjudul
Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan), Mohd.
Idris Ramulyo yang berjudul Hukum Perkawinan Islam, Al Qur‟an,
Al Hadist riwayat Imam Bukhori dan buku lain yang terkait dengan
penelitian yang diteliti.
b. Sumber Data
1) Sumber data primer
Narasumber dalam hal ini adalah Para Hakim Pengadilan
Agama Sukoharjo, yaitu Drs. Munjid Lughowi, Drs. Makali, dan
Drs. H.A. Shonhadji Ali, M.HI, selaku ketua Pengadilan Agama
Sukoharjo. Serta Pelaku hubungan seks diluar nikah yang
mengajukan dispensasi di Pengadilan Agama Sukoharjo. Dalam
hal ini penulis telah bersepakat untuk merahasiakan nama dan
identitas pelaku guna menghormati dan menghargai pelaku.
2) Sumber data sekunder
Jenis data yang secara langsung mendukung sumber primer
yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan seperti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,
Undang-Undang No 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang No 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama,
Kompilasi Hukum Islam (Instruksi Presiden RI. I. Nomor 1 tahun
1991), Putusan Pengadilan tentang dispensasi pernikahan, antara
lain Nomor 0025/Pdt.P/2011/PA. Skh, 0017/Pdt.P/2010/PA.Skh
commit to user
11
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dan dokumen-dokumen yang dalam hal ini berhubungan dengan
obyek penelitian.
6. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian pada umumnya dikenal tiga jenis alat
pengumpulan data, yaitu studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan
atau observasi dan wawancara atau interview (Soerjono Soekanto, 2010:
21).
a. Pengamatan atau observasi
Merupakan
teknik
pengumpulan
data
dimana
peneliti
mengamati secara langsung objek yang ada di Pengadilan Agama
Sukoharjo tentang segala sesuatu mengenai objek penelitian. Dalam
hal ini objek yang dimaksud adalah data mengenai jumlah perkara
dispensasi pernikahan yang masuk di Pengadilan Agama Sukoharjo
dari tahun 2007-2011 serta beberapa putusan perceraian yang ada di
pengadilan Agama Sukoharjo.
b. Wawancara
Metode ini merupakan suatu kegiatan pengumpulan data
dengan cara mengadakan komunikasi secara langsung terhadap para
Hakim Pengadilan Agama Sukoharjo guna memperoleh data, baik
lisan maupun tertulis atas sejumlah keterangan dan data yang
diperlukan. Hakim tersebut bernama Drs. Munjid Lughowi, Drs.
Makali, dan Drs. H. A. Shonhadji Ali, M.HI, selaku ketua Pengadilan
Agama Sukoharjo. Serta Pelaku hubungan seks diluar nikah. Dalam
hal ini penulis telah bersepakat untuk merahasiakan nama dan
identitas pelaku guna menghormati dan menghargai pelaku.
c. Studi dokumen atau bahan pustaka
Penulis mengumpulkan, membaca dan mengkaji dokumen,
buku-buku, peraturan perundang-undangan, putusan peradilan tentang
dispensasi perkawinan dan perceraian, majalah, dan bahan pustaka
lainnya berbentuk data tertulis yang diperoleh di lokasi penelitian atau
commit to user
di tempat lain.
12
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
7. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik analisis
kualitatif dengan model interaktif yaitu komponen reduksi data dan
penyajian data dilakukan bersama dengan pengumpulan data, kemudian
setelah data terkumpul maka tiga komponen tersebut berinteraksi, dan
bila kesimpulan dirasakan kurang maka perlu ada verifikasi dan
penelitian kembali mengumpulkan data di lapangan (HB. Sutopo, 2002:
8). Selain itu dilakukan pula suatu proses siklus antara tahap-tahap
tersebut sehingga data yang terkumpul akan berhubungan satu dengan
yang lainnya secara sistematis (HB. Sutopo, 2002: 96). Menurut
Heribertus Sutopo, Ketiga komponen tersebut adalah:
a. Reduksi Data
Kegiatan yang bertujuan untuk mempertegas, memperpendek,
membuat fokus, membuang hal-hal yang tidak penting yang muncul
dari catatan dan pengumpulan data. Dalam hal ini Penulis memilih
data perkara dispensasi yang masuk di Pengadilan Agama Sukoharjo
dari tahun 2007 sampai tahun 2011. Karena untuk memfokuskan
penelitian pada efektivitas pasal 7 ayat 2 Undang-Undang No. 1 tahun
1974 Tentang Perkawinan. Membuang hal-hal yang tidak penting
yang muncul dari catatan dan pengumpulan data, seperti tidak
mencantumkan data dispensasi yang ditolak oleh pengadilan agama.
Karena yang menjadi pokok pembahasan penelitian, yaitu mengenai
penyebab peningkatan dispensasi berdasarkan perkara yang masuk,
diterima dan sudah diputus oleh Pengadilan Agama Sukoharjo,
dampak dispensasi, serta efektivitas dari pasal 7 ayat 2 yang
menjelaskan tentang kebolehan mengajukan dispensasi itu sendiri.
Proses ini berlangsung terus-menerus sampai laporan akhir penelitian
selesai.
b. Penyajian Data
Merupakan informasi tentang perkara dispensasi pernikahan
commit
to user
yang masuk dan sudah
diputus
oleh Pengadilan Agama Sukoharjo
13
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang telah terkumpul dan tersusun dalam satu kesatuan yang
disederhanakan, selektif dalam konfigurasi yang mudah digunakan
sehingga dapat memberi kemungkinan kesimpulan riset dapat
dilaksanakan yang berupa tabel data dispensasi yang masuk dan sudah
diputus. Setiap perkara yang masuk dan diputus pada tahun 20072011. Untuk menguatkan data-data tersebut perlu didukung
keterangan dari Hakim Pengadilan Agama Sukoharjo, Panitera
pengganti yang mencatat berkas-berkas perkara dispensasi tersebut.
c. Menarik Kesimpulan
Setelah memahami arti dari berbagai hal yang meliputi
berbagai hal yang ditemui dengan melakukan pencatatan-pencatatan
peraturan,
pernyataan-pernyataan,
konfigurasi-konfigurasi
yang
mungkin alur sebab akibat, akhirnya peneliti menarik kesimpulan
(HB. Sutopo, 2002: 37). Kesimpulan tersebut mengenai efektivitas
pasal 7 ayat 2 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Tentang
Perkawinan, dalam mendapatkan kepastian hukum bagi pelaku
hubungan seks diluar nikah dalam melaksanakan pernikahan. Berikut,
akan penulis berikan ilustrasi bagan dari tahap analisis data :
Pengumpulan Data
Reduksi Data
Penyajian Data
Penarikan Kesimpulan
Gambar 1: Skema Model Analisis Kualitatif
Dengan model analisis ini maka penulis harus bergerak
diantara empat sumbu kumparan itu selama pengumpulan data,
selanjutnya akan bergerak berputar dan kembali lagi diantara kegiatan
reduksi, penyajian data, dan penarikan kesimpulan selama sisa waktu
commit to user
penelitian.
perpustakaan.uns.ac.id
14
digilib.uns.ac.id
F. Sistematika Penulisan Hukum
Sistematika penulisan hukum bertujuan untuk memberikan gambaran
secara keseluruhan tentang isi dari penelitian sesuai dengan aturan yang sudah
ada dalam penulisan hukum. Sistematika penulisan dalam penelitian ini
meliputi:
BAB I PENDAHULUAN
Bab I terdiri dari beberapa sub bab, yaitu mengenai latar belakang
masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
metode penelitian dan sistematika penulisan hukum (skripsi).
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini memuat kerangka teori dan kerangka pemikiran.
Kerangka teori terdiri dari beberapa sub bab yaitu Tinjauan Umum
Mengenai Efektivitas hukum yang meliputi pengertian efektivitas
Hukum, Tinjauan Umum Mengenai Kepastian Hukum yang meliputi
pengertian kepastian hukum, Tinjauan Umum Mengenai Perkawinan
yang meliputi Pengertian Perkawinan, Tujuan Perkawinan, SyaratSyarat Perkawinan, Asas-asas Hukum Perkawinan, Batasan Usia
Perkawinan Menurut Al-Qur‟an dan Undang-Undang Perkawinan,
Tinjauan mengenai Dispensasi Perkawinan yang meliputi Pengertian
Dispensasi Perkawinan, Dispensasi Pengadilan Agama terhadap
Perkawinan Dibawah Umur, Tinjauan Mengenai Penelitian Terdahulu
Yang Relevan Terhadap Penelitian Yang Diteliti meliputi Tinjauan
Mengenai Dispensasi Kawin Karena Hubungan Luar Nikah (Studi
Penetapan Hakim Di Pengadilan Agama Salatiga Tahun 2005), Skripsi.
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini penulis menjawab permasalahan yang diangkat dalam
rumusan masalah mengenai faktor yang menyebabkan permohonan
dispensasi nikah diajukan di Pengadilan Agama Sukoharjo meningkat,
dampak dispensasi Pengadilan Agama terhadap kehidupan sosial
masyarakat di Sukoharjo dan efektivitas Pasal 7 ayat 2 Undang-Undang
to user
No. 1 Tahun 1974 yangcommit
mengatur
mengenai dispensasi pernikahan yang
15
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
berkaitan dengan hubungan diluar nikah dalam mendapatkan suatu
kepastian hukum.
BAB IV PENUTUP
Dalam bab ini Penulis mengemukakan mengenai kesimpulan yang telah
diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan, serta mengemukakan
saran dari penulis yang relevan terhadap permasalahan yang diteliti.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum Efektivitas Hukum
Bila membicarakan efektivitas hukum dalam masyarakat berarti
membicarakan daya kerja hukum itu dalam mengatur dan atau memaksa
masyarakat untuk taat terhadap hukum. Efektivitas hukum yang di maksud
berarti mengkaji kembali hukum yang harus memenuhi syarat, yaitu
berlaku secara yuridis, berlaku secara sosiologis dan berlaku secara
filosofis. Oleh karena itu faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hukum
itu berfungsi dalam masyarakat yaitu:
a) Kaidah Hukum
Dalam teori Ilmu hukum dapat dibedakan tiga macam hal
mengenai berlakunya hukum sebagai kaidah. Hal itu diungkapkan
sebagai berikut (Zainuddin Ali, 2006: 62):
1) Kaidah hukum berlaku secara yuridis apabila penentuannya
didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi tingkatannya atau
terbentuk atas dasar yang telah ditetapkan;
2) Kaidah hukum berlaku secara Sosiologis apabila kaidah tersebut
efektif artinya kaidah dimaksud dapat dipaksakan berlakunya oleh
penguasa walaupun tidak diterima oleh warga masyarakat (teori
Kekuasaan). Atau kaidah itu berlaku karena adanya pengakuan dari
masyarakat;
3) Kaidah hukum berlaku secara filosofis yaitu sesuai dengan cita
hukum sebagai nilai positif yang tertinggi.
Jika dikaji secara mendalam, agar hukum itu berfungsi maka
setiap kaidah hukum harus memenuhi ketiga macam unsur diatas,
sebab: (1) bila kaidah hukum hanya berlaku secara yuridis, ada
kemungkinan kaidah itu merupakan kaidah mati; (2) kalau hanya
commit
to user
berlaku secara sosiologis
dalam
arti teori kekuasaan, maka kaidah itu
16
17
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menjadi aturan pemaksa; (3) apabila hanya berlaku secara filosofis ,
kemungkinan kaidah itu hanya merupakan hukum yang dicita-citakan
(ius constituendum) (Zainuddin Ali, 2006: 62).
b) Penegak Hukum
Dalam hal ini akan dilihat apakah para penegak hukum sudah
betul-betul melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan baik,
sehingga dengan demikian hukum akan berlaku secara efektif dalam
melaksanakan tugas dan kewajibannya, para penegak hukum tentu saja
harus berpedoman pada peraturan tertulis, yang dapat berupa peraturan
perundang–undangan, peraturan pemerintah dalam aturan-aturan
lainnya yang sifatnya mengatur, sehingga masyarakat mau atau tidak
mau, suka atau tidak suka harus patuh pada aturan–aturan yang
dijalankan oleh para penegak hukum karena berdasarkan pada aturan
hukum yang jelas.
Namun dalam kasus-kasus tertentu, penegak hukum dapat
melaksanakan kebijakan-kebijakan yang mungkin tidak sesuai dengan
peraturan-peraturan yang ada dengan pertimbangan–pertimbangan
tertentu sehingga aturan yang berlaku dinilai bersifat fleksibel dan
tidak terlalu bersifat mengikat dengan tidak menyimpang dari aturan–
aturan yang telah ditetapkan.
c) Sarana atau Fasilitas
Fasilitas atau sarana amat penting untuk mengefektifkan suatu
aturan tertentu. Ruang lingkup sarana dimaksud, terutama sarana fisik
yang berfungsi sebagai faktor pendukung. Memang sering terjadi
bahwa suatu peraturan sudah difungsikan, padahal fasilitasnya belum
tersedia
lengkap.
Peraturan
yang
semula
bertujuan
untuk
memperlancar proses, malahan mengakibatkan terjadinya kemacetan.
Ada baiknya, apabila hendak menerapkan suatu peraturan
secara resmi ataupun memberikan tugas kepada petugas, dipikirkan
mengenai fasilitas-fasilitas yang berpatokan kepada: (1) apa yang
to user
sudah ada, dipelihara commit
terus agar
setiap saat berfungsi; (2) apa yang
18
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
belum ada perlu diadakan dengan memperhitungkan jangka waktu
pengadaannya; (3) apa yang kurang, perlu dilengkapi; (4) apa yang
telah rusak, diperbaiki atau diganti; (5) apa yang macet dilancarkan;
(6) apa yang telah mundur, ditingkatkan (Zainuddin Ali, 2006: 64).
d) Warga Masyarakat
Salah satu faktor yang mengefektifkan suatu peraturan adalah
warga masyarakat. Kesadarann untuk mematuhi suatu peraturan
perundang-undangan,
kerap
disebut
derajat
kepatuhan.
Secara
sederhana dapat dikatakan, bahwa derajat kepatuhan masyarakat
terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum
yang bersangkutan. Sebagai contoh dapat diungkapkan sebagai berikut.
1) Apabila derajat kepatuhan terhadap peraturan rambu-rambu lalu
lintas adalah tinggi maka peraturan lalu lintas yang dimaksud, pasti
akan berfungsi, yaitu mengatur waktu penyeberangan pada
persimpangan jalan. Oleh karena itu, bila rambu-rambu lalu lintas
warna
kuning
menyala,
para
pengemudi
diharapakan
memperlambat laju kendaraannya. Namun bila terjadi sebaliknya,
kendaraan yang dikemudikan makin dipercepat lajunya atau tancap
gas, besar kemungkinan akan terjadi tabrakan.
2) Bagi orang Islam Indonesia termasuk warga masyarakat Islam yang
mendiami kota Palu, tahu dan paham tentang Undang-Undang
Nomor 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat. Undang-undang
dimaksud, lahir dari adanya ajaran Islam yang mewajibkan
berzakat bagi setiap muslim yang mempunyai penghasilan, baik
penghasilan dari pekerjaan profesi sebagai pegawai negeri, pejabat
struktural, maupun pejabat fungsional. Namun demikian, masih
ditemukan pegawai negeri sipil dimaksud, mengeluarkan zakatnya
tanpa melembaga. Artinya orang Islam dimaksud, memberikan
zakat kepada orang yang dianggap berhak menerimanya. Padahal
baik peraturan perundang-undangan maupun ajaran Islam (Alquran
commit
to user agar zakat dikeluarkan melalui
Surah At-Taubah: 60)
menghendaki
19
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
lembaga amil zakat. Sebab, salah satu dari fungsi sosial zakat
adalah pemenuhan hak bagi delapan golongan yang berhak
menerima zakat dalam mewujudkan kesejahteraan dan keadilan
sosial.
Berdasarakan dua contoh di atas, persoalannya adalah (1)
apabila
peraturan
baik,
sedangkan
warga
masyarakat
tidak
mematuhinya, faktor apakah yang menyebabkan? (2) apabila peraturan
itu baik serta petugas cukup berwibawa, fasilitas cukup, mengapa
masih ada yang tidak mematuhi peraturan perundang-undangan?
Selain masalah-masalah di atas, masih ada persoalan lain, yaitu
adanya asumsi yang menyatakan bahwa semakin besar peran sarana
pengendalian sosial selain hukum (agama dan adat istiadat), semakin
kecil peran hukum. Oleh karena itu, hukum tidak dapat dipaksakan
keberlakuannya di dalam segala hal, selama masih ada sarana lain yang
ampuh. Hukum hendaknya dipergunakan pada tingkat terakhir bila
sarana lainnya tidak mampu lagi untuk mengatasi masalah. Perlu
kesadaran masyarakat terhadap hukum, yaitu (1) penyuluhan hukum
yang teratur; (2) pemberian teladan yang baik dari petugas di dalam hal
kepatuhan terhadap hukum dan respek terhadap hukum; (3)
pelembagaan yang terencana dan terarah (Zainuddin Ali, 2006: 62-65).
”Keefektivan hukum adalah situasi dimana hukum yang berlaku
dapat dilaksanakan, ditaati dan berdaya guna sebagai alat kontrol sosial
atau sesuai tujuan dibuatnya hukum tersebut”. (Soerjono Soekanto, 1998 :
5).
Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan atau keefektivan
hukum:
a) Faktor Hukum
Dalam praktik penyelenggaraan hukum di lapangan ada
kalanya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hal
ini disebabkan oleh konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang
commit to user
20
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bersifat abstrak, sedangkan kepastian hukum merupakan suatu
prosedur yang telah ditentukan secara normatif.
Suatu kebijakan atau tindakan yang tidak sepenuhnya berdasar
hukum merupakan sesuatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan
atau tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum. Maka pada
hakikatnya
penyelenggaraan
hukum
bukan
hanya
mencakup
penegakan hukum saja, namun juga pemeliharaan perdamaian, karena
penyelenggaraan hukum sesungguhnya merupakan proses penyerasian
antara nilai kaedah dan pola perilaku nyata yang bertujuan untuk
mencapai kedamaian.
b) Faktor Penegakan Hukum
Dalam berfungsinya hukum, mentalitas atau kepribadian
petugas penegak hukum memainkan peranan penting, kalau peraturan
sudah baik, tetapi kualitas petugas kurang baik, ada masalah. Oleh
karena itu, salah satu kunci keberhasilan dalam penegakan hukum
adalah mentalitas atau kepribadian penegak hukum.
Mengutip pendapat J. E. Sahetapy yang mengatakan “Dalam
rangka penegakan hukum dan implementasi penegakan hukum bahwa
penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebijakan.
Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kemunafikan.
Dalam kerangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegakan
hukum
(inklusif
manusianya)
keadilan
dan
kebenaran
harus
dinyatakan, harus terasa dan terlihat, harus diaktualisasikan”.
c) Faktor Sarana atau Fasilitas Pendukung
Faktor sarana atau fasilitas pendukung mencakup perangkat
lunak dan perangkat keras, salah satu contoh perangkat lunak adalah
pendidikan. Pendidikan yang diterima oleh Polisi dewasa ini
cenderung pada hal-hal yang praktis konvensional, sehingga dalam
banyak hal polisi mengalami hambatan di dalam tujuannya,
diantaranya adalah pengetahuan tentang kejahatan komputer, dalam
to user ini masih diberikan wewenang
tindak pidana khususcommit
yang selama
21
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kepada jaksa, hal tersebut karena secara teknis yuridis polisi dianggap
belum mampu dan belum siap.
Walaupun disadari pula bahwa tugas yang harus diemban oleh
polisi begitu luas dan banyak. Masalah perangkat keras dalam hal ini
adalah sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor pendukung. Sebab
apabila sarana fisik seperti kertas tidak ada dan karbon kurang cukup
dan mesin tik yang kurang baik, bagaimana petugas dapat membuat
berita acara mengenai suatu kejahatan.
Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah mengemukakan
bahwa bagaimana polisi dapat bekerja dengan baik, apabila tidak
dilengkapi
dengan
kendaraan
dan
alat-alat
komunikasi
yang
proporsional. Oleh karena itu, sarana atau fasilitas mempunyai peranan
yang sangat penting di dalam penegakan hukum. Tanpa adanya sarana
atau fasilitas tersebut, tidak akan mungkin penegak hukum
menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan yang aktual.
d) Faktor Masyarakat
Penegak hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk
mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Setiap warga masyarakat
atau kelompok sedikit banyaknya mempunyai kesadaran hukum,
persoalan yang timbul adalah taraf kepatuhan hukum, yaitu kepatuhan
hukum yang tinggi, sedang, atau kurang.
Adanya derajat kepatuhan hukum masyarakat terhadap hukum,
merupakan
salah
satu
indikator
berfungsinya
hukum
yang
bersangkutan. Sikap masyarakat yang kurang menyadari tugas polisi,
tidak mendukung, dan malahan kebanyakan bersikap apatis serta
menganggap tugas penegakan hukum semata-mata urusan polisi, serta
keengganan terlibat sebagai saksi dan sebagainya. Hal ini menjadi
salah satu faktor penghambat dalam penegakan hukum.
e) Faktor Kebudayaan
Dalam
kebudayaan sehari-hari, orang begitu sering
to userKebudayaan menurut Soerjono
membicarakan soal commit
kebudayaan.
22
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Soekanto, mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan
masyarakat, yaitu mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana
seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya kalau mereka
berhubungan dengan orang lain. Dengan demikian, kebudayaan adalah
suatu garis pokok tentang perikelakuan yang menetapkan peraturan
mengenai apa yang harus dilakukan, dan apa yang dilarang.
Kelima faktor di atas, saling berkaitan dengan eratnya. Karena
menjadi hal pokok dalam penegakan hukum, serta sebagai tolok ukur
dari efektivitas penegakan hukum. Dari lima faktor penegakan hukum
tersebut faktor penegakan hukumnya sendiri merupakan titik
sentralnya. Hal ini disebabkan oleh baik undang-undangnya disusun
oleh penegak hukum, penerapannya pun dilaksanakan oleh penegak
hukum dan penegakan hukumnya sendiri juga merupakan panutan oleh
masyarakat luas.
Dari tinjauan tentang efektivitas hukum yang dikemukakan
para ahli di atas. Maka dapatlah ditarik suatu pendapat dari Penulis
mengenai pengertian efektivitas hukum, yaitu hukum dapat berlaku
secara efektif apabila aturan yang dibuat oleh pembentuk undangundang tersebut dipatuhi oleh masyarakat. Sehingga tujuan yang
hendak dicapai dalam pembuatan peraturan tersebut dapat menciptakan
suatu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum dalam masyarakat.
Efektivitas yang dimaksud dalam penulisan hukum ini adalah
manakala pasal 7 ayat 2 undang-undang perkawinan yang mengatur
mengenai dispensasi pernikahan, dipatuhi dan ditaati oleh masyarakat
Sukoharjo. Guna memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat, serta
kemanfaatan dan terjaminnya kepastian hukum bagi pemohon
dispensasi agar dapat diperbolehkan untuk melakukan pernikahan.
Dalam mengajukan dispensasi ke pengadilan agama, antara lain
dengan tujuan untuk mendapatkan kepastian hukum. Baik bagi pelaku
hubungan diluar nikah maupun bukan pelaku hubungan diluar nikah,
commit
user
yang belum cukup umur
dalamtomelangsungkan
pernikahan.
23
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Tinjauan Umum Kepastian Hukum
Pada masyarakat modern, aturan yang bersifat umum tempat
dituangkannya perlindungan kepentingan-kepentingan itu adalah undangundang. Aturan hukum, baik berupa undang-undang maupun hukum tidak
tertulis, dengan demikian, berisi aturan-aturan yang bersifat umum yang
menjadi
pedoman
bagi
individu
bertingkah
laku
dalam
hidup
bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama individu maupun
dalam hubungan dengan masyarakat. Aturan-aturan itu menjadi batasan
bagi masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan terhadap
individu.
Adanya aturan semacam itu dan pelaksanaan aturan tersebut
menimbulkan kepastian hukum. Dengan demikian, kepastian hukum
mengandung dua pengertian, yaitu pertama, adanya aturan yang bersifat
umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak
boleh dilakukan. Dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari
kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat
umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau
dilakukan oleh negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya
berupa pasal-pasal dalam undang-undang, melainkan juga adanya
konsistensi dalam putusan hakim. Antara putusan hakim yang satu dengan
putusan hakim lainnya untuk kasus serupa yang telah diputuskan (Peter
Mahmud Marzuki, 2008: 157-158).
Istilah asas kepastian hukum dalam terminologi hukum biasanya
ditemukan dalam dua pengertian, yaitu asas kepastian hukum dalam
bahasa inggris the principle of legal security dan dalam bahasa belanda
rechtzekerheid beginzel. Kedua terminologi ini memuat pengertian yang
sama dan digunakan para praktisi dan akademisi hukum. Asas kepastian
hukum adalah asas untuk mengetahui dengan tepat aturan apa yang
berlaku dan apa yang dikehendaki daripadanya. Dalam Kamus istilah
rechtzekerheid yang diartikan sebagai jaminan bagi anggota masyarakat
commit
to useratau penguasa berdasarkan aturan
bahwa ia akan diperlakukan
oleh negara
24
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
hukum dan sewenang-wenang, dengan pula diartikan mengenai isi dari
aturan itu (S. F Marbun, 2001: 216).
Dari tinjauan tentang kepastian hukum yang dikemukakan para ahli
di atas. Maka dapatlah ditarik suatu pendapat dari Penulis mengenai
pengertian kepastian hukum, yaitu suatu peraturan dibuat dan diundangkan
secara pasti yang mengatur secara jelas mengenai suatu ketentuan yang
pada dasarnya memberikan perlindungan hukum bagi setiap warga dari
kekuasaan yang bertindak sewenang-wenang.
Dengan demikian, kepastian hukum yang di maksud dalam
penulisan hukum ini adalah kepastian hukum yang diperoleh dari
pengadilan
agama
dalam
mendapatkan
dispensasi
agar
dapat
melangsungkan perkawinan secara sah yang dilatarbelakangi oleh
hubungan diluar nikah terlebih dahulu.
3. Tinjauan Umum Mengenai Perkawinan
a) Pengertian Perkawinan
Pengertian perkawinan berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Perkawinan ialah ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pengertian perkawinan terdapat lima unsur di dalamnya adalah
sebagai berikut :
1) Ikatan lahir bathin.
2) Antara seorang pria dengan seorang wanita.
3) Sebagai suami isteri.
4) Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal.
5) Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1
merumuskan bahwa ikatan suami isteri berdasarkan Ketuhanan Yang
commit to user
25
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Maha Esa, perkawinan merupakan perikatan yang suci. Perikatan tidak
dapat melepaskan dari agama yang dianut suami isteri.
Menurut pengertian fukaha, perkawinan adalah aqad yang
mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan kelamin dengan
lafadl nikah atau ziwaj yang semakna keduanya (Zakiah Daradjat,
1995: 37). Menurut golongan Malikiyah, nikah adalah aqad yang
mengandung ketentuan hukum semata-mata untuk membolehkan
watha‟, bersenang-senang dan menikmati yang ada pada diri wanita
yang boleh nikah dengannya (Djaman Nur, 1993: 3).
Pengertian (ta‟rif) perkawinan menurut Pasal 1 Kompilasi
Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu :aqad yang sangat kuat atau
mitsaaqaan ghaaliizhan untuk mentaati perintah Allah SWT dan
melaksanakannya merupakan ibadah. Melakukan perbuatan ibadah
berarti melaksanakan ajaran agama. Perkawinan salah satu perbuatan
hukum yang dapat dilaksanakan oleh mukallaf yang memenuhi syarat.
b) Tujuan Perkawinan
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1, tujuan
perkawinan adalah “Untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Membentuk keluarga artinya membentuk kesatuan masyarakat kecil
yang terdiri dari suami, isteri dan anak-anak. Membentuk keluarga
yang bahagia rapat hubungannya dengan keturunan yang merupakan
tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan
kewajiban kedua orang tua.
Tujuan perkawinan menurut Hukum Islam adalah untuk
memenuhi kebutuhan hidup jasmani dan rohani manusia, untuk
membentuk keluarga dan memelihara serta meneruskan keturunan
dalam menjalani hidupnya di dunia dan untuk mencegah perzinahan
agar tercipta ketenangan dan ketenteraman keluarga dan masyarakat
(Mohd. Idris Ramulyo, 2002: 26-27). Untuk memperoleh keturunan
commit dengan
to user mendirikan rumah tangga yang
yang sah dalam masyarakat
26
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
damai dan teratur. Manusia diciptakan Allah SWT mempunyai naluri
manusiawi yang perlu mendapat pemenuhan, untuk mengabdikan
dirinya kepada Khaliq.
Menurut Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disingkat KHI),
dalam pasal 3 merumuskan tujuan perkawinan sebagai berikut:
“Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga
yang sakinah, mawaddah, dan rahmah”.
c) Syarat-syarat Perkawinan
Syarat-syarat perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 meliputi :
1) Syarat-syarat materiil
a) Syarat-syarat secara umum adalah sebagai berikut:
1) Harus ada persetujuan dari kedua belah pihak calon
mempelai. Arti persetujuan yaitu tidak seorangpun dapat
memaksa calon mempelai perempuan dan calon mempelai
laki-laki, tanpa persetujuan kehendak yang bebas dari
mereka. Persetujuan dari kedua belah pihak calon mempelai
adalah syarat yang relevan untuk membina keluarga.
2) Usia calon mempelai pria sekurang-kurangnya harus sudah
mencapai 19 tahun dan pihak calon mempelai wanita harus
sudah berumur 16 tahun.
3) Tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain.
b) Syarat materiil secara khusus, yaitu :
1) Tidak melanggar larangan perkawinan yang diatur dalam
pasal 8, pasal 9 dan pasal 10 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974, yaitu larangan perkawinan antara dua orang
yaitu :
(a) Hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah
atau ke atas.
(b) Hubungan darah garis keturunan ke samping.
to user
(c) Hubungancommit
semenda.
27
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(d) Hubungan sesusuan.
(e) Hubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi.
(f) Mempunyai hubungan dengan agama atau peraturan yang
berlaku dilarang kawin.
(g) Telah bercerai untuk kedua kalinya, sepanjang hukum
masing-masing agama dan kepercayaan tidak menentukan
lain.
2) Izin dari kedua orang tua bagi calon mempelai yang belum
berumur 21 tahun. Yang berhak memberi izin kawin yaitu :
(a) Orang tua dari kedua belah pihak calon mempelai.
Jika kedua orang tua masih ada, maka izin diberi
bersama oleh kedua orang tua calon mempelai. Jika orang
tua laki-laki telah meninggal dunia, pemberian izin
perkawinan beralih kepada orang tua perempuan yang
bertindak sebagai wali.J ika orang tua perempuan sebagai
wali, maka hal ini bertentangan dengan perkawinan yang
diatur Hukum Islam karena menurut Hukum Islam tidak
boleh orang tua perempuan bertindak sebagai wali.
(b) Apabila salah seorang dari kedua orang tua telah
meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu
menyatakan kehendaknya disebabkan :
(1) Oleh karena misalnya berada di bawah kuratele.
(2) Berada dalam keadaan tidak waras.
(3) Tempat tinggalnya tidak diketahui.
Maka izin cukup diberikan oleh orang tua yang
masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan
kehendaknya.
(c) Apabila kedua orang tua telah meninggal dunia atau
kedua-duanya dalam keadaan tidak mampu menyatakan
kehendaknya maka izin diperoleh dari :
commit
to user calon mempelai.
(1) wali yang
memelihara
28
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(2) keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam
garis keturunan ke atas selama masih hidup dan dalam
keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
(d) Jika ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang
disebut dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
pasal 6 ayat (2), (3) dan (4) atau seorang atau lebih
diantara orang-orang tidak ada menyatakan pendapatnya,
Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang
yang hendak melangsungkan perkawinan bertindak
memberi izin perkawinan. Pemberian izin dari Pengadilan
diberikan:
(1) atas permintaan pihak yang hendak melakukan
perkawinan.
(2) setelah lebih dulu Pengadilan mendengar sendiri
orang yang disebut dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 pasal 6 ayat (2), (3) dan (4).
2) Syarat-syarat Formil
a) Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan
kepada pegawai pencatat perkawinan.
b) Pengumuman oleh pegawai pencatat perkawinan.
c) Pelaksanaan
perkawinan
menurut
hukum
agama
dan
kepercayaan masing-masing.
d) Pencatatan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan.
d) Asas-asas Hukum Perkawinan
Ikatan perkawinan sebagai salah satu bentuk perjanjian (suci)
antara seorang pria dengan seorang wanita, yang mempunyai segi-segi
perdata berlaku beberapa asas, antara lain yaitu:
1. Asas kesukarelaan, asas ini merupakan asas terpenting
perkawinan Islam. Kesukarelaan itu tidak hanya harus
terdapat antara kedua calon suami istri, tetapi juga antara
to user
kedua orang commit
tua, kedua
belah pihak, kesukarelaan orang tua
perpustakaan.uns.ac.id
2.
3.
4.
5.
6.
29
digilib.uns.ac.id
yang menjadi wali seorang wanita, merupakan sendi asasi
perkawinan Islam. Dalam berbagai hadis nabi, asas ini
dinyatakan dengan tegas.
Asas persetujuan kedua belah pihak merupakan konsekuensi
logis asas pertama diatas. Ini berarti bahwa tidak boleh ada
paksaan dalam melangsungkan perkawinan. Persetujuan
seorang gadis untuk dinikahkan dengan seorang pemuda,
misalnya harus diminta terlebih dahulu oleh wali atau orang
tuanya. Menurut sunnah nabi, persetujuan ini dapat
disimpulkan dari diamnya gadis tersebut. Dari berbagai
sunnah nabi dapat diketahui bahwa perkawinan yang
dilangsungkan tanpa persetujuan kedua belah pihak, dapat
dibatalkan oleh pengadilan.
Asas kebebasan memilih pasangan, asas ini juga disebutkan
dalam Sunnah nabi. Diceritakan oleh Ibnu Abbas bahwa pada
suatu ketika seorang gadis bernama Jariyah menghadap
Rasulullah dan menyatakan bahwa ia telah dikawinkan oleh
ayahnya dengan seseorang yang tidak disukainya. Setelah
mendengar pengaduan itu, nabi menegaskan bahwa (Jariyah)
dapat memilih untuk meneruskan perkawinan dengan orang
yang tidak disukainya itu atau meminta supaya
perkawinannya dibatalkan untuk dapat memilih pasangan dan
kawin dengan orang lain yang disukainya.
Asas kemitraan suami istri dengan tugas dan fungsi yang
berbeda karena perbedaan kodrat (sifat asal, pembawaan).
Kemitraan ini menyebabkan kedudukan suami istri dalam
beberapa hal sama, dalam hal yang lain berbeda. Suami
menjadi kepala keluarga, istri menjadi kepala dan
penanggung jawab pengaturan rumah tangga.
Asas untuk selama-lamanya menunjukan bahwa perkawinan
dilaksanakan untuk melangsungkan keturunan dan membina
cinta serta kasih sayang selama hidup. Karena asas ini pula
maka perkawinan mut‟ah yakni perkawinan sementara untuk
bersenang-senang selama waktu tertentu saja, seperti yang
terdapat dalam masyarakat Arab Jahiliyah dahulu dan
beberapa waktu setelah islam, dilarang oleh nabi Muhammad.
Asas monogami terbuka, disimpulkan dari Alquran surat AnNisa‟ surat ke (4) Ayat 3 jo ayat 129. Di dalam ayat 3
dinyatakan bahwa seorang pria muslim dibolehkan atau boleh
beristri lebih dari seorang, asal memenuhi beberapa syarat
tertentu, diantaranya adalah syarat mampu berlaku adil
terhadap semua wanita yang menjadi istrinya. Dalam ayat
129 surat yang sama Allah menyatakan bahwa manusia tidak
mungkin berlaku adil terhadap istri-istrinya walaupun ia ingin
berbuat demikian. Oleh karena ketidak mungkinan berlaku
to user
adil terhadapcommit
istri-istri
itu maka Allah menegaskan bahwa
30
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
seorang laki-laki lebih baik kawin dengan seorang wanita
saja. Ini berarti bahwa beristri lebih dari seorang merupakan
jalan darurat yang baru boleh dilalui oleh seorang laki-laki
muslim kalau terjadi bahaya, antara lain, untuk
menyelamatkan dirinya dari berbuat dosa, dan kalau istri
sudah tidak mampu memenuhi kawajibannya sebagai seorang
istri (Daud Ali Muhammad, 1998: 139).
e) Batasan Usia Perkawinan Menurut Al-Qur’an dan UndangUndangNomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
1)
Batas Usia Perkawinan Menurut Al-Qur‟an.
Al-Qur‟an secara konkrit tidak menentukan batas usia bagi
pihak yang akan melangsungkan pernikahan. Batasan hanya
diberikan berdasarkan kualitas yang harus dinikahi oleh mereka
sebagaimana dalam surat An-Nisa‟ ayat 6:“Dan ujilah anak-anak
yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah. Kemudian
jika
menurut
memelihara
pendapatmu
harta)
maka
mereka
telah
serahkanlah
cerdas
(pandai
kepada
mereka
hartanya,…”.(Amir Syarifuddin, 2006: 67).
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa kawin itu mempunyai
batas umur dan batas umur itu adalah baligh. Yang dimaksud
dengan sudah cukup umur untuk menikah adalah setelah timbul
keinginan untuk berumah tangga, dan siap menjadi suami dan
memimpin keluarga. Hal ini tidak akan bisa berjalan sempurna,
jika dia belum mampu mengurus harta kekayaan. Berdasarkan
ketentuan umum tersebut, para fuqoha dan ahli undang-undang
sepakat menetapkan, seseorang diminta pertanggungjawaban atas
perbuatannya dan mempunyai kebebasan menentukan hidupnya
setelah cukup umur (baligh) (Amir Syarifuddin, 2006: 68).
2)
Batas Usia Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan
Walaupun menurut Al-Qur‟an secara konkrit tidak
menentukan batas usia perkawinan, namun Undang-Undang
Perkawinan menentukan batasan usia bagi pihak yang akan
commit to user
31
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
melangsungkan pernikahan dan sebagai salah satu syarat
perkawinan.
Ketentuan dalam pasal 7 ayat (1) yang berbunyi:
“Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur
19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita mencapai umur 16
(enambelas) tahun”. Meski telah ditentukan batas umur minimal,
tampaknya
undang-undang
memperbolehkan
penyimpangan
terhadap syarat umur tersebut, melalui pasal 7 ayat (2) yang
berbunyi: “Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini
dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain,
yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak
wanita.”
Undang-Undang Perkawinan memang telah menentukan
batasan usia bagi pihak yang akan melangsungkan pernikahan
sebagai salah satu syarat perkawinan, tapi tidak menyebutkan
syarat-syarat atau alasan-alasan dalam pengajuan dispensasi,
seperti hubungan luar nikah. Menurut KHI secara tersirat tidak
melarang menikahkan seseorang yang melakukan hubungan luar
nikah, apalagi hingga mengakibatkan kehamilan. Hal ini terdapat
dalam ketentuan pasal 53 KHI yang berbunyi:
(a) Seorang wanita hamil diluar nikah, dapat dikawinkan dengan
pria yang menghamilinya.
(b) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1)
dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran
anaknya.
(c) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita
hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang
dikandung lahir.
commit to user
32
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
4.Tinjauan Mengenai Dispensasi Perkawinan
a) Pengertian Dispensasi Kawin
Roihan A. Rasyid berpendapat bahwa dispensasi kawin adalah
dispensasi yang diberikan Pengadilan Agama kepada calon mempelai
yang belum cukup umur untuk melangsungkan perkawinan, bagi pria
yang belum mencapai 19 (sembilan belas) tahun dan wanita belum
mencapai 16 (enam belas) tahun. Dispensasi kawin diajukan oleh para
pihak kepada Pengadilan Agama yang ditunjuk oleh orang tua masingmasing. Pengajuan perkara permohonan diajukan dalam bentuk
permohonan (voluntair) bukan gugatan. Dan jika calon suami istri
beragama non Islam maka pengajuan permohonannya ke Pengadilan
Negeri (Roihan A. Rasyid, 1998: 32).
Undang-Undang Perkawinan telah menentukan batas umur
untuk kawin bagi pria maupun wanita, ialah 19 (sembilan belas) tahun
bagi pria dan 16 (enam belas) tahun bagi wanita yaitu meliputi pasal 7
ayat (1) yang berbunyi: “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria
sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita
mencapai umur 16 (enam belas) tahun. ”Meskipun telah ditentukan
batas umur minimal, namun undang-undang memperbolehkan
penyimpangan terhadap syarat umur tersebut, melalui pasal 7 ayat (2)
yang berbunyi: “Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini
dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan dan Pejabat lain yang
ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita”.
Adapun yang penulis maksudkan dengan dispensasi kawin
adalah kelonggaran yang diberikan Pengadilan Agama kepada calon
mempelai yang belum cukup umur untuk melangsungkan perkawinan,
bagi pria yang belum mencapai 19 (sembilan belas) tahun dan wanita
belum mencapai 16 (enam belas) tahun.
b) Dispensasi Pengadilan Agama terhadap Perkawinan Dibawah
Umur
Kewenangan Pengadilan Agama dalam pasal 49 UndangUndang Nomor 50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama, yaitu
meliputi: Memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara ditingkat
commit to user
pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang
33
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat,infaq, shadaqah, dan
ekonomi syari‟ah. Pengadilan Agama hanya berwenang untuk
memeriksa dan mengabulkan permohonan apabila hal itu ditentukan
oleh peraturan perundang-undangan.
Permohonan Dispensasi Kawin adalah termasuk salah satu
jenis perkara permohonan yang dapat diajukan melalui Pengadilan
Agama sesuai dengan tugas dan wewenang Pengadilan Agama.
Permohonan diajukan dengan permohonan yang ditandatangani oleh
pemohon atau kuasanya yang sah dan ditujukan kepada Ketua
Pengadilan Agama di tempat tinggal pemohon. Perkara permohonan
termasuk dalam pengertian yurisdiksi voluntair dan terhadap perkara
permohonan yang diajukan itu selanjutnya Hakim akan memberikan
suatu penetapan.
5. Tinjauan Mengenai Hubungan Luar Nikah
Hubungan adalah pertalian, ada ikatan (Em Zul Fajri dan Ratu
Aprilia Senja, 2005: 363). Luar adalah kedudukan atau tempat yang bukan
bagian dari sesuatu itu sendiri, bukan dari lingkungan keluarga, bukan dari
lingkungan negeri atau daerah, dan sebagainya, bagian yang tidak di dalam
(Em Zul Fajri dan Ratu Aprilia Senja, 2005: 535). Sedangkan nikah adalah
perkawinan yang dilakukan dengan diawali mengikat perjanjian antara
seorang pria dengan seorang wanita untuk menjalin hubungan rumah
tangga, perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk menjalin
hubungan suami isteri secara sah yang disaksikan oleh beberapa orang dan
dibimbing oleh wali dari pihak perempuan (Em Zul Fajri dan Ratu Aprilia
Senja, 2005: 590).
Dalam konteks pencatatan pernikahan, banyak istilah yang
digunakan untuk menunjuk sebuah pernikahan yang tidak tercatat, ada
yang menyebut nikah di bawah tangan, nikah syar‟i, nikah modin, dan
kerap pula disebut nikah kiyai (Mukhlisin Muzarie, 2002: 110).
user
Pernikahan tidak tercatatcommit
ialah to
pernikahan
yang secara materiil telah
34
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
memenuhi ketentuan syariat sesuai dengan maksud pasal 2 ayat 1 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974, tetapi tidak memenuhi ketentuan ayat 2
pasal tersebut jo pasal 10 ayat 3 PP Nomor 9 Tahun 1975 (Shonhadji Ali,
2012: 2).
Pada umumnya yang dimaksud pernikahan tidak tercatat adalah
pernikahan yang tidak dicatat oleh Petugas Pencatat Nikah (PPN).
Pernikahan yang tidak berada di bawah pengawasan PPN, dianggap sah
secara agama tetapi tidak mempunyai kekuatan hukum karena tidak
memiliki bukti-bukti pernikahan yang sah menurut peraturan perundangundangan yang berlaku (Jaih Mubarok, 2005: 87).
Aqad pada pernikahan tidak tercatat biasanya dilakukan di
kalangan terbatas, di muka Pak Kiai atau tokoh agama, tanpa kehadiran
petugas Kantor Urusan Agama (untuk selanjutnya disingkat KUA), dan
tentu saja tidak memiliki surat nikah yang resmi. Dalam pasal 2 ayat 2
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ditegaskan bahwa tiap-tiap
pernikahan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pernikahan tidak tercatat secara agama adalah sah manakala memenuhi
syarat dan rukun pernikahan. Meskipun demikian, karena pernikahan
tersebut tidak tercatat maka dalam hukum positif dianggap tidak sah
karena tidak diakui negara (dasarnya Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang No. 1
tahun 1974) (Moh. Idris Ramulyo, 2002: 224). Dengan demikian,
pernikahan apa pun selain yang tercatat secara resmi di negara hukumnya
tidak sah (Dadang Hawari, 2006: 83).
Pernikahan yang sah adalah pernikahan yang mengikuti prosedur
Pasal 2 ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Sah
apabila
dilakukan
menurut
hukum
masing-masing
agama
dan
kepercayaannya serta wajib dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku. Dengan demikian penulis berkesimpulan bahwa
hubungan diluar nikah bukanlah termasuk dalam pernikahan tidak tercatat
maupun pernikahan tercatat, karena pada dasarnya hubungan diluar nikah
to user oleh pria dan wanita yang tidak
adalah hubungan seksual commit
yang dilakukan
perpustakaan.uns.ac.id
35
digilib.uns.ac.id
terikat dalam pernikahan yang sah. Baik sah secara agama namun tidak
tercatat, maupun sah menurut negara yang dicatatkan pada KUA.
6. Penelitian Terdahulu Yang Relevan Terhadap Penelitian Yang Diteliti
Dalam memperkuat kreatifitas penulis, maka penulis juga mengkaji
dari hasil penelitian lain untuk dijadikan sebagai bahan penunjang untuk
menambah wawasan dari penulis mengenai perkara dispensasi pernikahan
yang sebelumnya telah diteliti oleh Saudari Sariyanti sebagai syarat dalam
menempuh gelar Program Sarjana Hukum Islam, Jurusan Syari‟ah Sekolah
Tinggi Agama Islam Negeri Stain Salatiga. Dengan judul “Dispensasi
Kawin Karena Hubungan Luar Nikah (Studi Penetapan Hakim Di
Pengadilan Agama Salatiga Tahun 2005)”.
Adapun hasil penelitian yang diteliti oleh Saudari Sariyanti,
diperoleh kesimpulan bahwa dalam al-Qur‟an secara konkrit tidak
menentukan usia perkawinan. Batasan hanya diberikan berdasarkan
kualitas. Salah satu standar yang biasa digunakan adalah masa baligh yang
ditandai dengan kemampuan untuk menunaikan tugas-tugas biologis
seorang suami maupun seorang isteri. Para ahli fiqih pada umumnya
berpendapat usia baligh adalah umur 15 tahun. Usia perkawinan menurut
Undang-Undang Perkawinan terdapat pada pasal 7 ayat (1) yang
menyebutkan pihak pria sudah mencapai 19 tahun dan pihak wanita
mencapai umur 16 tahun.
Mekanisme pengajuan perkara permohonan Dispensasi Pernikahan
di Pengadilan Agama Salatiga adalah sebagai berikut: Prameja, Meja I,
Kasir dan yang terakhir ke Meja II. Proses penyelesaian perkara
permohonan Dispensasi Pernikahan di Pengadilan Agama Salatiga adalah
sebagai berikut: sidang dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum
kemudian penasehatan selanjutnya pemeriksaan dan yang terakhir
penetapan. Pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara permohonan
Dispensasi Pernikahan karena hubungan luar nikah di Pengadilan Agama
commit
user
Salatiga adalah kemaslahatan
dantokemudharatannya,
ditakutkan bila tidak
perpustakaan.uns.ac.id
36
digilib.uns.ac.id
dinikahkan akan menambah dosa dan terjadi perkawinan di bawah tangan
yang akan mengacaukan proses-proses hukum yang akan terjadi
berikutnya atau mengacaukan hak-hak anak yang dilahirkan. Penetapan
hakim dalam permohonan Dispensasi Pernikahan di Pengadilan Agama
Salatiga dengan Nomor: 04/Pdt.P/2005/PA.Sal. dan 05/Pdt.P/2005/PA.Sal.
tidak menyimpang dari ketentuan Undang-Undang Perkawinan pasal 7
ayat (2) dan KHI pasal 53.
Dalam hal ini penulis hanya mengkaji penelitian lain ini untuk
membandingkan dan menambah masukkan bagi penulis dengan tidak
melakukan suatu plagiarisme terhadap penelitian yang telah ada
sebelumnya. Dalam hal ini penulis menjamin bahwa isi dari penelitian
yang penulis buat jauh berbeda dengan penelitian yang sudah ada
sebelumnya, baik dari segi pembahasannya maupun lokasi penelitian, serta
narasumber dalam hal ini hakim di Pengadilan Agama Sukoharjo. Hal ini
bisa dibuktikan dari segi pembahasannya yang berbeda. Dalam hal ini,
penelitian yang diteliti oleh Saudari Sariyanti membahas mengenai
pertimbangan Hakim dalam membuat suatu penetapan.
Adapun penelitian yang penulis teliti membahas mengenai faktor
penyebab dispensasi nikah yang diajukan di Pengadilan Agama Sukoharjo
meningkat, pengaruh dispensasi Pengadilan Agama terhadap kehidupan
sosial masyarakat di Sukoharjo, efektivitas Pasal 7 ayat 2 Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 yang mengatur mengenai dispensasi pernikahan yang
berkaitan dengan pelaku hubungan diluar nikah dalam mendapatkan suatu
kepastian hukum.
Penelitian yang diteliti oleh saudari Sariyanti lebih menyoroti
mengenai pertimbangan hakim dalam membuat suatu penetapan dispensasi
nikah. Sedangkan penelitian yang penulis teliti lebih menyoroti pada
faktor penyebab dispensasi, dampak dari dispensasi pengadilan Agama
terhadap kehidupan sosial masyarakat, serta efektivitas Pasal 7 ayat 2
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang mengatur mengenai dispensasi
commit to user
37
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pernikahan yang berkaitan dengan hubungan diluar nikah dalam
mendapatkan suatu kepastian hukum.
B. Kerangka Pemikiran
Undang-undang No 50 Tahun
2009 Tentang Peradilan Agama
Permohonan Dispensasi
Undang-undang No 1 Tahun
Perkawinan Di Pengadilan
1974 Tentang Perkawinan
Agama
Sidang Pemeriksaan Perkara
Dispensasi Perkawinan Di
Pengadilan Agama
Ditolak
Diterima
Penetapan Dispensasi
Efektivitas Pasal 7 ayat
Perkawinan Oleh
2 Undang-Undang No. 1
Hakim
Tahun 1974
Terjadi Perkawinan Di
Bawah Umur
commit to user
38
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Keterangan Kerangka Pemikiran :
Permohonan Dispensasi Pernikahan diajukan ke pengadilan agama
sesuai dengan kewenangan Peradilan Agama berdasarkan pada Undangundang No 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama. Permohonan Dispensasi
diperbolehkan asal sesuai dengan syarat-syarat tertentu yang menurut
pertimbangan Hakim bisa segera dilangsungkan pernikahan. Mengenai izin
dispensasi pernikahan diatur dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan pasal 7 ayat (2).
Dalam proses persidangan pihak yang mengajukan dispensasi harus
memenuhi persyaratan dalam mengajukan dispensasi serta antar pihak harus
sudah siap dalam membina hubungan rumah tangga secara lahir dan batin,
apabila persyaratan dalam proses persidangan telah sesuai, maka hakim akan
mengabulkan permohonan dispensasi dengan putusan berupa penetapan
dispensasi pernikahan. Sehingga Pasal 7 ayat 2 Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 berlaku efektif bagi pelaku hubungan diluar nikah.
Setelah mendapatkan putusan dari Pengadilan Agama, terjadilah
pernikahan di bawah umur. Bagi permohonan dispensasi yang diterima, maka
akan menimbulkan akibat hukum bisa segera melakukan pernikahan ke KUA
karena telah mendapatkan izin dari pengadilan. Namun bagi permohonan
dispensasi yang ditolak. Akan menimbulkan akibat hukum tidak bisa
melakukan pernikahan secara sah menurut hukum negara, tetapi guna
memberikan solusi bagi pelaku kawin hamil. Terpaksa pelaku kawin hamil
tersebut melakukan nikah siri, yang hanya sah secara agama tetapi tidak sah
secara hukum negara.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Faktor Penyebab Peningkatan Permohonan Dispensasi Nikah
Fenomena pernikahan di bawah umur atau yang lebih populer disebut
dengan pernikahan dini akhir-akhir ini semakin marak terjadi di berbagai
daerah di seluruh wilayah Indonesia. Badan Perencanaan dan Pembangunan
Nasional (BAPPENAS) melansir data bahwa pada tahun 2008 sekitar 2 juta
pasangan nikah terdapat 35% pasangan merupakan pernikahan dini. Walaupun
tidak ada data yang pasti namun pernikahan di bawah umur terjadi merata di
seluruh wilayah Indonesia (Pardiyanto, 2010: 3).
1. Faktor Penyebab Peningkatan Pernikahan Dibawah Umur (Dispensasi
Pernikahan) Di Indonesia.
a. Norma Agama (Khususnya Islam) Tidak Mengharamkan Atau
Menentang Pernikahan Di Bawah Umur
Perkawinan dalam pandangan Islam adalah fitrah kemanusiaan,
dan sangat dianjurkan bagi umat Islam, karena menikah merupakan
gharizah insaniyah (naluri kemanusiaan), yang harus dipenuhi dengan
jalan yang sah agar tidak mencari jalan sesat yaitu jalan setan yang
menjerumuskan ke lembah hitam.
Perintah perkawinan atau pernikahan dalam Islam tertuang
dalam Al-Qur‟an (Kitabullah umat Islam) dan hadist Nabi Muhammad
SAW. Diambil dari tulisan Ustad Abu Ibrohim Muhammad Ali AM,
disampaikan beberapa ayat Al-Qur‟an dan Hadist yang mendasari
pernikahan atau perkawinan sebagai berikut : “Dan kawinkanlah
orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang
layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hambahamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan
memampukan mereka dengan kurnia-Nya, dan Allah Maha luas
(pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui” (QS. an-Nur [24]: 32).
to usermerupakan Sunnah sebagaimana
Walaupun demikian, commit
perkawinan
39
40
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
terlihat dalam hadist, berikut ; “…. Sedangkan aku menikah, maka
barang siapa tidak suka sunnah (petunjuk) ku, maka bukan dari
golonganku.” (HR. al-Bukhori: 4776 dan Muslim: 1401),.
Perintah dan anjuran melakukan pernikahan, tidak memberikan
batasan umur seseorang untuk melakukan pernikahan, namun
ditekankan perlunya kedewasaan seseorang melakukan pernikahan
untuk mencegah kemudharatan (hal-hal buruk). “Wahai para pemuda,
barang siapa di antara kalian mampu menikah maka hendaklah
menikah karena menikah dapat lebih menundukkan pandangan dan
lebih memelihara kemaluan. Barang siapa tidak mampu (menikah)
maka hendaklah ia berpuasa, karena (puasa) itu tameng baginya.”(HR.
al-Bukhori: 1806).
Dalam hadist lainnya, “Apabila datang kepadamu seorang yang
kamu ridhoi akhlak dan agamanya, maka nikahkanlah ia. Apabila hal
itu tidak kamu lakukan, akan datang fitnah dan kerusakan yang besar
di bumi.” (HR. at-Tirmidzi: 1/201, Ibnu Majah: 1/606, al-Hakim:
2/164, dan dihasankan oleh al-Albani dalam Silsilah Alhadits
Shohihah: 3/20 dan Irwa„ al-Gholil: 1868). Sehingga kedewasaan
secara psikologis dan biologis secara implisit dianjurkan melalui hadist
tersebut, namun muncul kontroversi menyangkut batasan kedewasaan
seseorang untuk boleh menikah, yang berimplikasi terhadap tidak ada
keberatan atas pernikahan dibawah umur dari kaca mata ini.
Dalam hal ini, sangat relevan dengan hukum positif Indonesia
(Undang-Undang
Perkawinan,
KUHP
dan
Undang-Undang
Perlindungan Anak) yang tidak menegaskan sanksi hukum terhadap
pernikahan di bawah umur. Walaupun dalam pasal 26 Undang-Undang
Nomor 23 tahun 2002 mewajibkan orang tua dan keluarga untuk
mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak, namun
pernikahan dibawah umur tidak serta merta dipandang sebagai
tindakan kriminal menurut hukum. Sementara itu, Undang-Undang
commit to user
41
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Perkawinan memberikan dispensasi kepada pasangan yang belum
cukup usianya untuk bisa melakukan pernikahan.
Dalam hal ini, hukum yang ada memberikan ruang bagi
keberlangsungan praktek-praktek pernikahan di bawah umur. Sehingga
dalam hal ini terjadi disharmonisasi peraturan antara Undang-Undang
Nomor 23 tahun 2002 yang dalam pasalnya menyebutkan bahwa orang
tua dan keluarga wajib untuk mencegah terjadinya perkawinan pada
usia anak-anak, namun di sisi lain dalam Undang-Undang Nomor 1
tahun 1974 tentang perkawinan yang dalam pasalnya membolehkan
dispensasi pernikahan kepada pasangan yang belum cukup usianya
untuk bisa melakukan pernikahan.
b. Kebiasaan Dan Tradisi Yang Telah Membudaya Dalam Masyarakat.
Dilihat dari segi budaya dan tradisi, terdapat beberapa daerah di
Indonesia menganggap bahwa perkawinan di bawah umur merupakan
tindakan yang biasa. Di Desa Tegaldowo, Kab. Rembang, Jawa
Tengah masyarakatnya tidak melarang pernikahan dibawah umur
karena adanya kepercayaan bahwa “seorang anak perempuan yang
sudah dilamar harus diterima, kalau tidak diterima bisa berakibat si
anak tidak laku (tidak dapat jodoh) sampai lama” (www.dwworld/dw/article/, “kuatnya tradisi, salah satu penyebab pernikahan”,
16/11/09). Sementara di Indramayu, Jawa Barat muncul keyakinan
untuk tidak menolak pinangan pertama kepada anak perempuan.
Di daerah Karo, Sumatera Utara terdapat tradisi menikahkan
anak usia dini dengan tujuan mencegah mara bahaya dalam keluarga,
namun bukan berarti setelah pernikahan diperbolehkan berkumpul
layaknya suami istri, termasuk juga di Desa Plakpak, Kec. Palenga‟an,
Kab. Pamekasan Madura yang menikahkan anaknya di usia dini untuk
menghindari terjadinya fitnah bagai pasangan yang berpacaran
(www.berita8. com/news. php ?cat=2&id=9057, “Perkawianan Dini
Jadi Tradisi”, 06/03/2009). Hal yang sama juga terjadi di Desa
to user Kota Sumenep, Madura yang
Leggung Barat, Kec. commit
Batang-Batang,
42
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dikenal dengan pernikahan siri (rahasia), agar tidak ada cacat dari
ikatan
pernikahan
dikemudian
hari
(www.jawapos.co.id/rada
/index.php?act=detail&rid=38655,“Tradisi Nikah Dini
di Desa
Leggung Barat, Kec. Batang-Batang”,).
Jadi, dalam hal ini masyarakat cenderung memaklumi adanya
pernikahan di bawah umur yang dari tahun ke tahun selalu mengalami
peningkatan, tanpa memandang akibat yang ditimbulkan dari adanya
pernikahan di bawah umur tersebut.
c. Pernikahan Sebagai Jalan Untuk Keluar Dari Belenggu Keterpurukan
Ekonomi Dan Beban Hidup
Dari segi sosial masyarakat yang mendorong sikap apatis
terhadap
pernikahan
dibawah
umur
adalah
faktor
rendahnya
pendidikan dan tingkat perekonomian. Sikap dan pandangan
masyarakat membiarkan pernikahan dibawah umur, merupakan
ekspresi dari ketidaktahuan masyarakat terhadap efek buruk yang
dialami seseorang yang menikah dini baik dari kesehatan maupun
psikologis. Disamping itu, masyarakat beranggapan bahwa pernikahan
dapat mengangkat persoalan ekonomi yang dihadapi, yang mana
masyarakat dengan kondisi keterbatasan ekonomi lebih rentan
menerima pernikahan di bawah umur tanpa tahu akibat dari anak yang
menjalani pernikahan dibawah umur.
d. Kecenderungan Berkembangnya Pergaulan Bebas Remaja Dan AnakAnak.
Pergaulan bebas oleh remaja dan anak-anak yang memiliki
sikap menerima atau menganggap wajar hubungan seks diluar nikah,
bahkan seks bebas cenderung mengalami peningkatan akhir-akhir ini.
Walaupun pernikahan dibawah umur dengan budaya seks bebas
merupakan hubungan yang memiliki latar belakang berbeda, karena
kelompok penganut seks bebas cenderung menghindari pernikahan
yang dianggap membatasi kebebasan, namun perilaku kelompok seks
commit
to user
bebas akan berpengaruh
terhadap
masyarakat luas berupa merebaknya
43
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
perilaku pergaulan bebas dan hubungan seks pra-nikah oleh seseorang
yang bukan penganut seks bebas.
Banyak alasan seseorang menikah di usia muda karena wanita
hamil akibat perilaku seks bebas, solusinya adalah orang tua mereka
harus menikahkan mereka pada usia muda. Dan pada akhirnya banyak
anggota masyarakat meminta Surat Dispensasi Kawin dengan alasan
hamil diluar nikah akibat pergaulan bebas, hubungan pra-nikah
maupun seks bebas (Titik Handriyani, Panitera Muda PA Bantul,
“Nikah Dini Marak di DIY, Hamil Duluan Jadi Alibi”, www.okezone
.com/read/2009/08/22/1/250392, 13/06/2009). Situasi semacam itu
mengilustrasikan relevansi meningkatnya pernikahan dibawah umur
karena banyaknya kehamilan pra-nikah pada usia anak-anak akibat
berkembangnya budaya seks bebas.
2. Faktor Penyebab Peningkatan Pernikahan Dibawah Umur (Dispensasi
Pernikahan) Di Sukoharjo
a. Faktor Pergaulan Bebas Remaja Yang Berdampak Pada Hubungan
Seks Diluar Nikah
Faktor pergaulan bebas di kalangan remaja yang berdampak
pada hubungan seks diluar nikah, mengakibatkan peningkatan perkara
dispensasi nikah yang masuk di pengadilan agama Sukoharjo. Menurut
penuturan Drs. Makali selaku hakim Pengadilan Agama Sukoharjo
peningkatan perkara Dispensasi Nikah ini tidak hanya terjadi di
Pengadilan agama Sukoharjo, melainkan juga terjadi diseluruh
Pengadilan Agama di Indonesia. Khususnya di kota-kota besar seperti
Jakarta, Semarang, dan Surabaya (Wawancara Hakim Drs. Makali di
Pengadilan Agama Sukoharjo,02/02/2012).
Berdasarkan fakta persidangan dan alasan yang ada dalam
berbagai putusan yang telah di putus oleh pengadilan Agama
Sukoharjo, dari tahun 2007 sampai tahun 2011 yang penulis ambil
commit
to user
beberapa sampel putusan
sebagai
data untuk mendukung penelitian ini.
44
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
antara lain disebabkan karena para pihak hamil terlebih dahulu
sebelum melakukan pernikahan.
Dalam suatu kasus para remaja tidak sadar terhadap perbuatan
mereka dalam pergaulan terhadap lawan jenisnya. Karena sudah
didasari rasa suka dan saling mencintai tersebut menyebabkan mereka
melakukan suatu hubungan yang melanggar norma-norma agama
maupun kesopanan dengan melakukan hubungan intim diluar
pernikahan yang mana hal ini jelas melanggar kaidah hukum serta
nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Maka daripada itu pernikahan
di bawah umur yang dilatarbelakangi oleh kehamilan terlebih dahulu
memicu peningkatan permohonan dispensasi di Pengadilan Agama
Sukoharjo.
Hal tersebut didukung berdasarkan hasil observasi yang penulis
lakukan
dengan
mengikuti
proses
persidangan
dispensasi
di
Pengadilan Agama Sukoharjo selama penelitian dan dengan membaca
berbagai putusan yang telah di putus di pengadilan agama sukoharjo,
selama lima tahun terakhir yang dalam hal ini penulis mengambil
beberapa contoh putusan yang dijadikan sampel secara acak guna
menegaskan hasil temuan yang penulis temukan di lapangan dalam
penelitian ini. Bahwa kebanyakan dalam duduk perkara putusan
tersebut pihak wanita telah mengalami kehamilan terlebih dahulu
sebelum dilakukan pernikahan yang sah
Penulis telah melakukan wawancara dengan pelaku hubungan
seks diluar nikah, yang dalam hal ini penulis telah bersepakat dengan
pelaku untuk tidak memberitahukan identitas asli pelaku. Berdasarkan
penuturan pelaku hubungan seks diluar nikah tersebut, penyebab hamil
diluar nikah yang pelaku alami disebabkan karena begitu dekatnya
hubungan antara pelaku dengan pacarnya, karena terlalu dekat dan
disertai dengan nafsu yang tidak tertahankan, didukung oleh faktor
tempat yang sepi.
commit to user
45
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Berdasarkan keterangan dari pelaku, pada saat mereka
melakukan perzinaan tersebut, mereka berada dirumah pelaku yang
pada saat itu sedang sepi. Mengingat orang tua pelaku sedang bekerja
pada saat itu, sehingga mengakibatkan mereka melakukan perzinaan
yang dilarang tersebut. Sehingga menimbulkan kehamilan diluar
hubungan pernikahan yang sah, baik secara agama maupun hukum
yang ada di Indonesia. Sekedar informasi, bahwa dalam hal ini pelaku
yang penulis jadikan sebagai narasumber merupakan seorang wanita
(Wawancara Pelaku hubungan seks diluar nikah di Sukoharjo,
16/04/2012).
Berdasarkan data dan fakta yang penulis temukan di lapangan,
dari hasil observasi, wawancara, serta membaca putusan-putusan
tentang dispensasi pernikahan. Sehingga hal ini menguatkan bahwa
salah satu faktor penyebab peningkatan dispensasi di Pengadilan
Agama Sukoharjo antara lain adalah pergaulan bebas
yang
menyebabkan hamil diluar nikah.
b. Faktor Masyarakat Yang Kurang Memahami Mengenai UndangUndang Perkawinan dan Hukum Perkawinan Islam.
Dispensasi diberikan kepada para pihak di dalam
pernikahan
karena hal tersebut
sangat
mendesak
suatu
untuk segera
dilangsungkan pernikahan, dengan alasan telah terjalin pertunangan
sejak kurang lebih 2 tahun dan hubungan
yang telah sedemikian
eratnya, sehingga hal tersebut sangat di khawatirkan akan terjadi
perbuatan yang dilarang oleh ketentuan hukum Islam apabila tidak
segera dinikahkan. Hal ini dikutip dari dasar permohonan perkara
Dispensasi Nikah Nomor: 0025/Pdt.P/2011/PA. Skh.
Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang nomor 1 Tahun
1974. Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai
umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita mencapai umur 16
(enam belas) tahun, maka dari itu Dispensasi Nikah merupakan upaya
commit
to user
di dalam menanggulangi
hubungan
yang tidak diinginkan di luar nikah
46
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
oleh para pihak yang saling mencintai tetapi masih belum mencapai
usia minimum dalam melakukan pernikahan.
Secara hukum hubungan di luar nikah atau persetubuhan di luar
perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap perempuan
yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum berumur 15
(lima belas) tahun dimasukkan sebagai perbuatan pidana (Neng
Djubaedah, 2010:67), maka dari itu untuk mencegah hal-hal sepeti itu
dispensasi nikah bisa dijadikan solusi.
Dalam agama juga dijelaskan mengenai anjuran melakukan
perkawinan, untuk menjauhkan diri dari yang tidak halal sepeti hadist
yang dikutip oleh Mohd. Idris Ramulyo dalam bukunya Hukum
Perkawinan Islam, yang berbunyi Dari „Abdullah (bin Mas‟ud), ia
berkata : Rasulullah SAW bersabda kepada kami, “Hai para pemuda,
barangsiapa diantara kalian yang sudah mampu menikah, maka
nikahlah, karena sesungguhnya nikah itu lebih dapat menundukkan
pandangan dan lebih dapat menjaga kemaluan. Dan barangsiapa
yang belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena berpuasa itu
baginya (menjadi) pengekang syahwat”.[HR. Muslim juz 2,hal. 1019].
Dari hadis di atas dapat disimpulkan bahwa siapa yang mampu
serta berkeinginan untuk menikah, maka diperbolehkan untuk
mencegah hal-hal yang tidak diinginkan seperti zina dan lainnya.
Dispensasi Nikah pada dasarnya juga diperbolehkan oleh undangundang dalam pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
yang mana dalam hal ini hakim dalam mengabulkan permohonan
dengan memberikan penetapan berdasarkan pertimbangan hukum yang
matang.
Kurangnya pemahaman terhadap undang-undang perkawinan
inilah yang menyebabkan memicu para remaja melakukan hubungan
seks diluar nikah. Padahal dalam undang-undang sendiri telah
memperbolehkan melakukan pernikahan meski belum cukup umur
commit to user
47
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
guna menghindari hubungan diluar nikah yang dapat berdampak buruk
bagi diri sendiri maupun masyarakat sekitar.
Dalam Al-Qur‟an dan hadist-hadist Nabi pun juga sudah
diterangkan dengan jelas apabila seseorang berkeinginan untuk
menikah, maka diperbolehkan untuk segera menikah guna mencegah
hal-hal yang tidak diinginkan seperti zina dan lainnya. Namun apabila
belum mampu maka hendaklah mengindar dari perbuatan zina
sebagaimana yang telah ditegaskan dalam Firman-Nya “Dan janganlah
kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan
yang keji dan suatu jalan yang buruk” (Q.S Al Isra: 32).
Dengan demikian, perlu bagi masyarakat untuk memahami
undang-undang perkawinan serta hukum perkawinan Islam agar dalam
melakukan suatu tindakan yang berhubungan dengan pernikahan tidak
dilakukan secara main-main, karena pada hakekatnya perkawinan
adalah suatu ikatan lahir dan batin dengan tujuan membentuk suatu
keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.
c. Faktor
Perkembangan
Teknologi
Sarana
Telekomunikasi
Dan
Informasi Yang Disalahgunakan Oleh Masyarakat.
Temuan lain yang relevan dengan kondisi sosial masyarakat
terkini adalah perubahan tata nilai dalam masyarakat, terutama
penggunaan teknologi komunikasi seperti telepon genggam dan
internet, semakin membuka ruang interaksi sosial dan ekspresi
individu bagi kalangan pemuda untuk lebih permisif.
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa kemajuan teknologi
membawa pengaruh yang besar bagi kehidupan manusia, tentu saja
pengaruh atau dampak tersebut berbentuk positif maupun negatif.
Dapat dicermati bahwa segala kemudahan seperti jalinan komunikasi
yang lancar antar manusia juga merupakan hasil dari kemajuan
teknologi tersebut seperti internet, handphone dan lain sebagainya
commit
to user
sehingga akses informasi
mudah
sekali didapat, akan tetapi apabila
48
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
teknologi tidak digunakan secara tepat juga akan berakibat yang tidak
baik. Salah satu dampak dari penggunaan teknologi yang salah bisa
dilihat dari pernyataan salah satu Hakim Pengadilan Agama di
Sukoharjo di bawah ini.
Dari hasil wawancara yang Penulis lakukan kepada Hakim
Pengadilan Agama Sukoharjo, menurut Drs. Munjid Lughowi selaku
Hakim di Pengadilan Agama Sukoharjo menyatakan bahwa selama ini
penyebab meningkatnya perkara dispensasi nikah di Pengadilan
Agama Sukoharjo disebabkan semakin maraknya penggunaan sarana
komunikasi berupa handphone dan kemudahan akses informasi berupa
internet di kalangan remaja saat ini (Wawancara Hakim Drs. Munjid
Lughowi di Pengadilan Agama Sukoharjo, 31/01/2012).
Sekarang mulai dari anak-anak Sekolah Dasar pun sudah
memiliki handphone sendiri. Hal inilah yang menyebabkan para
remaja
sekarang
mudah
dalam
melakukan
perkenalan
dan
berkomunikasi via handphone dengan lawan jenis mereka yang
kemudian menjadikan hubungan mereka semakin dekat, kemudian
berpacaran dan apabila tidak diawasi oleh anggota keluarga masingmasing secara ketat bisa memicu pada hubungan perzinaan karena
kedekatannya tersebut.
Handphone
dapat
dijadikan
alat
yang
mudah
untuk
menyaksikan video-video porno yang seharusnya tidak diperbolehkan
untuk beredar, sehingga ada dari mereka yang karena begitu dekatnya
kemudian saling mencintai bahkan telah melakukan hubungan badan
di luar nikah. Hal tersebut di dukung berdasarkan pengakuan pelaku
hubungan seks diluar nikah yang penulis temui di kediamannya,
mengingat pelaku tersebut merupakan tetangga dari penulis sendiri.
Bahwa pelaku tersebut mengaku sering melihat video porno yang
direkam di handphone miliknya bersama teman-temannya. Sehingga
faktor tersebut merupakan pemicu bagi pelaku, karena didasari rasa
commitmenirukan
to user
penasaran untuk mencoba
adegan dalam video porno
49
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tersebut dengan pacarnya, yang mengakibatkan hamil diluar nikah
(Wawancara Pelaku hubungan seks diluar nikah di Sukoharjo,
16/04/2012).
Faktor perkembangan teknologi sarana komunikasi dan
informasi, handphone pada khususnya menjadi faktor penyebab
peningkatan dispensasi pernikahan di Pengadilan Agama Sukoharjo,
hal ini juga dibenarkan oleh Drs. Makali selaku hakim di Pengadilan
Agama Sukoharjo (Wawancara Hakim Drs. Makali di Pengadilan
Agama Sukoharjo,02/02/2012). Semua itu bermulai dari sarana
komunikasi yang sekarang sangat mudah untuk digunakan, contohnya
seperti handphone.
d.
Faktor Ekonomi Yang Lemah Dan Faktor Kurangnya Pendidikan
Keluarga memiliki peran yang sangat besar dalam proses
pengambilan keputusan pernikahan anak. Namun, faktor penyebab
utama adalah kemiskinan. Anak perempuan dianggap sebagai beban
ekonomi keluarga, sehingga dengan menikahkan anak perempuan
segera setelah ia mendapatkan menstruasi akan meringankan beban
ekonomi keluarga.
Pemahaman seperti inilah yang kadang masih dipegang teguh
oleh masyarakat, hal ini juga masih terjadi di Kabupaten Sukoharjo
mengingat bahwa berdasarkan hasil observasi yang penulis lakukan
selama ini, pemohon dispensasi kebanyakan berasal dari keluarga
miskin dari kalangan petani maupun buruh di Sukoharjo.
Tradisi lokal yang menganggap pernikahan anak sebagai hal
lazim dan implementasi hukum terkait pernikahan di Indonesia
(Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi
Hukum Islam tentang dispensasi pernikahan anak di bawah 16 tahun),
kian memberi jalan bagi praktik pernikahan di bawah umur. Ditambah
kurangnya kesadaran dan pemahamam kesehatan reproduksi, banyak
ditemukan kasus anak perempuan yang mengalami kehamilan yang
commit to user
50
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tidak
diinginkan
(Kompasiana,
http://edukasi.kompasiana.com
/2011/12/07/ cegah-pernikahan anak - diindonesia).
Solusi yang umum berlangsung di masyarakat adalah melalui
pernikahan. Masyarakat sepertinya tidak memiliki pilihan lain, karena
latar belakang pendidikan mereka umumnya rendah dan berasal dari
kalangan keluarga petani dan buruh. Berdasarkan penjelasan di atas
dapat dilihat pada tabel mengenai perkara Dispensasi Nikah yang
masuk dan sudah di putus di Pengadilan Agama Sukoharjo dari tahun
2007 sampai 2011.
Tabel. 1 Perkara Dispensasi Nikah Pada Tahun 2007-2011
Pengadilan Agama Sukoharjo
Tahun
1
Jan
Sdh dipts
masuk
masuk
2011
Perkara
2010
Perkara
Sdh dipts
2009
masuk
masuk
Sdh dipts
2008
Perkara
Sdh dipts
masuk
Perkara
2007
Perkara
an
Sdh dipts
Bul
1
1
-
-
-
-
-
-
4
4
1
1
-
-
2
2
1
1
5
5
1
1
1
1
2
2
-
-
2
2
-
-
-
-
1
1
1
1
1
1
uari
2
Feb
ruar
i
3
Mar
et
4
Apr
il
5
Mei
1
1
-
-
5
5
4
4
8
8
6
Juni
-
-
-
-
1
1
1
1
5
5
7
Juli
1
1
3
3
1
1
1
1
3
3
8
Ag
-
-
1
1
commit to user
1
1
3
3
2
2
ustu
51
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
s
9
Sep
1
1
1
1
1
1
4
4
6
6
-
-
-
-
1
1
3
3
3
3
2
2
1
1
5
5
2
2
4
4
1
1
1
1
2
2
1
1
1
1
9
9
8
8
2
2
2
2
4
4
2
2
1
1
4
4
tem
ber
1
Okt
0
obe
r
1
No
1
ve
mb
er
1
Des
2
em
ber
Sumber: Pengadilan Agama Sukoharjo (2012)
Tabel di atas adalah data yang berhasil dikumpulkan oleh penulis yang
kemudian diolah dan disusun secara sistematis mengenai perkara dispensasi
pernikahan yang masuk dan telah diputus di Pengadilan Agama Sukoharjo tiap
tahun dalam kurun waktu lima tahun terakhir antara tahun 2007 sampai dengan
tahun 2011. Agar data tersebut di atas bisa dipahami secara lebih terperinci, dalam
hal ini penulis membuat grafik berdasarkan tabel di atas untuk menggambarkan
fenomena peningkatan dispensasi pernikahan yang terjadi di Pengadilan Agama
Sukoharjo dalam kurun waktu antara tahun 2007 sampai dengan tahun 2011
tersebut di atas.
Gambar.3 Perkara Dispensasi Nikah Pada Tahun 2007-2011
commit to user
52
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
50
45
40
35
30
25
jumlah perkara yg msuk
yg sdh diputus
20
15
10
5
0
2007
2008
2009
2010
2011
Sumber: Pengadilan Agama Sukoharjo (2012)
Grafik di atas dapat dicermati mengenai perkara Dispensasi Nikah yang
masuk dan sudah di putus oleh Pengadilan Agama Sukoharjo Dari tahun 2007
sampai pada tahun 2010 mengalami naik turun. Terjadi kenaikan yang sangat
signifikan pada tahun 2011 disebabkan oleh faktor-faktor antara lain yaitu
pergaulan bebas, kurang memahami terhadap undang-undang perkawinan, serta
semakin berkembangnya teknologi komunikasi yang mempermudah para
remaja saling mengenal dan menjalin kedekatan diantara keduanya. Sehingga
menyebabkan pernikahan di bawah umur yang memicu kenaikan terhadap
permohonan dispensasi pernikahan di Pengadilan Agama Sukoharjo.
Beberapa Contoh Penetapan Perkara Dispensasi Nikah Yang Sudah
Diputus Di Pengadilan Agama Sukoharjo:
1) Perkara Nomor: 0017/Pdt.P/2010/PA. Skh.
Dalam duduk perkaranya dijelaskan bahwa pemohon yang bekerja sebagai
commit to user
buruh, yang ingin menikahkan anak kandungnya perempuan yang berumur
perpustakaan.uns.ac.id
53
digilib.uns.ac.id
14 tahun 11 bulan dengan calon suaminya yang berumur 19 tahun. Dalam
duduk perkara permohonan tersebut bahwa sebelumnya para pihak yang
akan dinikahkan telah bertunangan sejak lebih 2 tahun yang lalu dan
berhubungan dengan sedemikian eratnya, bahkan anak pemohon sudah
dalam keadaan hamil 4 bulan. Maka dalam hal ini pernikahan tersebut
sangat mendesak untuk segera dilangsungkan.
2) Perkara Nomor: 0018/Pdt.P/2010/PA. Skh.
Dalam duduk perkaranya dijelaskan bahwa pemohon yang ingin
menikahkan anak kandungnya laki-laki yang berumur 17 tahun 3 bulan
dengan calon isterinya yang berumur 18 tahun. Dalam duduk perkara
permohonan tersebut bahwa sebelumnya para pihak yang akan dinikahkan
telah bertunangan sejak 1 tahun yang lalu dan berhubungan dengan
sedemikian eratnya, serta keduanya tidak ada larangan untuk menikah dan
siap untuk membina hubungan rumah tangga. Maka dalam hal ini
pernikahan tersebut sangat mendesak untuk segera dilangsungkan agar
terhindar dari kemaksiatan.
3) Perkara Nomor: 0033/Pdt.P/2011/PA. Skh.
Dalam duduk perkaranya dijelaskan bahwa pemohon yang bekerja sebagai
buruh, yang ingin menikahkan anak kandungnya laki-laki berumur 17 tahun
8 bulan dengan calon isterinya yang berumur 16 tahun. Dalam duduk
perkara permohonan tersebut bahwa sebelumnya para pihak yang akan
dinikahkan telah bertunangan sejak 3 tahun yang lalu dan berhubungan
dengan sedemikian eratnya, serta keduanya tidak ada larangan untuk
menikah dan siap untuk membina hubungan rumah tangga. Maka dalam hal
ini pernikahan tersebut sangat mendesak untuk segera dilangsungkan agar
terhindar dari kemaksiatan.
4) Perkara Nomor: 0025/Pdt.P/2011/PA. Skh.
Dalam duduk perkaranya dijelaskan bahwa pemohon, yang bekerja sebagai
tukang kayu yang ingin menikahkan anak kandungnya laki-laki yang
berumur 17 tahun 8 bulan dengan calon isterinya yang berumur 17 tahun 5
commit
to user tersebut bahwa sebelumnya para
bulan. Dalam duduk perkara
permohonan
perpustakaan.uns.ac.id
54
digilib.uns.ac.id
pihak yang akan dinikahkan telah bertunangan sejak kurang lebih 2 tahun
yang lalu dan berhubungan dengan sedemikian eratnya, serta keduanya
tidak ada larangan untuk menikah dan siap untuk membina hubungan
rumah tangga. Bahkan dalam pertimbangan hakim dijelaskan bahwa calon
isteri sudah hamil selama 2 bulan sebelumnya. Maka dalam hal ini
pernikahan tersebut sangat mendesak untuk segera dilangsungkan.
5) Perkara Nomor : 0001/Pdt.P/2012/PA.Skh.
Dalam duduk perkaranya dijelaskan bahwa pemohon yang bekerja sebagai
buruh, yang ingin menikahkan anak kandungnya laki-laki yang berumur 18
tahun 1 bulan dengan calon isterinya yang berumur 17 tahun. Dalam duduk
perkara permohonan tersebut bahwa sebelumnya para pihak yang akan
dinikahkan telah bertunangan sejak 6bulan yang lalu dan berhubungan
dengan sedemikian eratnya, serta keduanya tidak ada larangan untuk
menikah dan siap untuk membina hubungan rumah tangga. Maka dalam hal
ini pernikahan tersebut sangat mendesak untuk segera dilangsungkan agar
terhindar dari kemaksiatan.
Berdasarkan beberapa contoh penetapan di atas, hampir memiliki
kesamaan dalam duduk perkaranya yang didasari oleh alasan bahwa antara
pihak-pihak calon suami maupun calon isteri telah bertunangan sebelumnya
dan tidak ada larangan untuk melangsungkan pernikahan, bahkan ada
diantaranya yang telah hamil sebelum pernikahan berlangsung.
Dalam memberikan pertimbangan, meskipun hakim tidak memasukan
alasan mengenai kehamilan yang terjadi pada calon isteri. Pada dasarnya hakim
dalam memberikan penetapan tetap mengacu pada hal tersebut. Karena Hakim
juga memandang terhadap calon isteri yang mengalami kehamilan tersebut
apabila tidak segera dinikahkan atau bahkan permohonan dispensasi ditolak
oleh hakim. Hal tersebut bisa mempengaruhi kondisi psikis bagi calon isteri
yang mengalami kehamilan tersebut disebabkan rasa malu karena tidak
memiliki ayah atas anak yang dikandungnya tersebut (Wawancara Hakim Drs.
Munjid Lughowi di Pengadilan Agama Sukoharjo, 31/01/2012). Bahkan
to user dari masyarakat sekitar, dengan
tekanan yang lebih berat lagicommit
akan muncul
perpustakaan.uns.ac.id
55
digilib.uns.ac.id
adanya gunjingan serta cemoohan dari masyarakat akibat mengalami
kehamilan tanpa suami apabila tidak segera dinikahkan.
Pada dasarnya dispensasi pernikahan diberikan kepada calon suami
isteri yang belum cukup umur dalam melangsungkan pernikahan. Sehingga
kondisi lahir batin kedua calon mempelai dalam hal ini dirasa belum mampu
dalam membina hubungan rumah tangga dengan baik mengingat usia mereka
yang masih muda dalam melangsungkan pernikahan.
Dalam peradilan agama yang dicari hanya kebenaran formil dan bukan
kebenaran materiil. Sehingga pertimbangan hakim dalam memberikan
dispensasi hanya melihat dari bukti yang ada dalam fakta persidangan selama
ini. Tidak mempertimbangkan pada kondisi materiil yang ada dalam kehidupan
sosial yang akan dijalani kelak oleh kedua belah pihak yang akan
melangsungkan pernikahan tersebut, apakah mereka mampu atau tidak dalam
membina hubungan rumah tangga ke depannya. Karena dalam hal ini, Hakim
juga mengalami dilema dalam mengabulkan permohonan dispensasi bagi
pernikahan anak karena mayoritas pasangan-pasangan tersebut sudah
mengalami kehamilan di luar nikah.
Adapun pertimbangan Hakim dalam memberikan dispensasi pernikahan
adalah:
a) Dikhawatirkan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seandainya tidak segera
dinikahkan;
Dalam memberikan pertimbangan ini Hakim memandang bahwa,
apabila tidak segera dinikahkan akan berakibat fatal bagi keluarga maupun
masyarakat sekitar. Mengingat hubungan antara keduanya sudah sangat
dekat, ditakutkan mereka akan melakukan perbuatan zina yang jelas
melanggar norma agama dan undang-undang. Maka hakim memberikan
pertimbangan ini dalam memberikan penetapan dispensasi pernikahan yang
diputus.
b) Anak Pemohon menyatakan siap baik fisik maupun mental dalam membina
hubungan rumah tangga; commit to user
56
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Berdasarkan atas kesaksian dalam persidangan serta bukti-bukti yang
menguatkan, bahwa anak pemohon siap baik fisik maupun mental untuk
memasuki jenjang perkawinan dan siap menjadi seorang suami isteri yang
baik, dengan membina hubungan rumah tangga yang bertanggung jawab
pada keluarga. Dengan melihat bahwa calon suami sudah bekerja dan
memiliki penghasilan serta mampu dan berkemauan utnuk membina
hubungan keluarga, maka daripada itu hakim memberikan pertimbangan ini
dalam memberikan penetapan dispensasi pernikahan yang diputus.
c) Tidak ada hubungan yang menjadikan keduanya terlarang untuk
melangsungkan pernikahan;
Berdasarkan pada bukti dan fakta persidangan yang ada, bahwa calon
suami dan calon isteri tidak ada larangan untuk melakukan pernikahan.
Sesuai dengan Pasal 8 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan. Maka hakim memberikan pertimbangan ini dalam memberikan
penetapan dispensasi pernikahan yang diputus.
d) Berdasar Pasal 7 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 perlu
diberikan Dispensasi Nikah
Mengacu pada pasal tersebut, Hakim memandang perlunya diberikan
dispensasi pada calon suami dan calon isteri agar terhindar dari kerusakankerusakan dalam menjalankan agama Islam sesuai dengan kaidah Fiqih,
meninggalkan mafasadat atau kerusakan lebih diutamakan daripada
mengambil kemaslahatan. Maka hakim memberikan pertimbangan ini dalam
memberikan penetapan dispensasi pernikahan yang diputus.
commit to user
57
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B. Dampak Dispensasi Pengadilan Agama Terhadap Kehidupan Sosial
Masyarakat Di Sukoharjo
Pemberian dispensasi pernikahan oleh Hakim kepada anak di bawah
umur dalam melangsungkan pernikahan bisa memiliki dampak positif maupun
negatif, baik bagi pihak yang diberi dispensasi maupun bagi kehidupan sosial
di sekitarnya.
1. Dampak Positif Dari Adanya Dispensasi Pernikahan
a. Sebagai Solusi Untuk Mengatasi Keresahan Dalam Masyarakat Akibat
Hamil Diluar Nikah
Dispensasi pernikahan bisa menjadi solusi untuk mengatasi
keresahan yang timbul dalam masyarakat apabila dalam masyarakat
tersebut ada anak remaja yang belum cukup umur untuk melakukan
pernikahan, namun karena sudah sedemikian dekatnya berpacaran dan
tidak bisa dipisahkan lagi bahkan mereka telah melakukan hubungan
diluar nikah, hal tersebut bisa memicu keresahan dalam masyarakat
dan harus bagaimanakah mereka mencari jalan keluar untuk mengatasi
masalah tersebut.
Maka dalam hal inilah dispensasi Pengadilan Agama bisa
dijadikan sebagai upaya terakhir atau tindakan darurat untuk dilakukan
demi menghindari akibat yang tidak diinginkan yang timbul dalam
masyarakat yang biasa dinamakan “kumpul kebo” (wawancara Drs.
H.A. Shonhadji Ali, M.HI Ketua Pengadilan Agama Sukoharjo,
12/06/2012).
b. Untuk Mendapatkan Kepastian Hukum Bagi Pelaku Kawin Hamil
Kasus kawin hamil di luar nikah secara khusus diatur dalam
Pasal 53 KHI. Pasal tersebut menjelaskan tentang kebolehan
melangsungkan perkawinan bagi wanita hamil di luar nikah (Nurul
Huda, 2009: 40). Meskipun demikian, ada ketentuan yang harus
dipenuhi dalam perkawinan tersebut, diantaranya:
1) Seorang wanita hamil di luar nikah bisa dikawinkan dengan pria
commit to user
yang menghamilinya.
58
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat
dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil,
tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung
lahir.
Ketentuan Pasal 53 KHI tentang kebolehan melangsungkan
perkawinan bagi wanita hamil ini bisa dikategorikan kontroversial
karena akan melahirkan perdebatan dan silang pendapat dari berbagai
kalangan. Pendapat yang kontra tentu akan merasa keberatan dengan
ketentuan ini yang dinilai longgar dan cenderung kompromistis. Bisa
dimungkinkan ketentuan ini justru akan dijadikan payung hukum
legalisasi perzinaan (Nurul Huda, 2009: 40).
Pasal 53 KHI tersebut tidak memberikan sanksi atau hukuman
bagi pezina, melainkan justru memberi solusi kepada seseorang yang
hamil akibat perzinaan itu untuk segera melangsungkan perkawinan
(Nurul Huda, 2009: 40). Padahal dalam fiqih telah dijelaskan perihal
hukuman terhadap pelaku zina, diantaranya: jika pelaku zina itu sudah
menikah (zina muhsan) hukumannya adalah didera seratus kali dan
kemudian dirajam. Bagi pelaku zina yang belum menikah (zina ghairu
muhsan) hukumannya adalah didera seratus kali dan kemudian
diasingkan ke tempat lain selama satu tahun (Asy Syaukani, 1994:
550). Kendati demikian, ketentuan Pasal 53 KHI tersebut juga
berpegangan pada alasan logis dan bisa dijadikan landasan hukum
untuk diterapkan dalam tatanan kehidupan masyarakat di Indonesia.
Kebolehan melangsungkan perkawinan bagi wanita hamil
menurut ketentuan Pasal 53 KHI, secara tegas dibatasi pada
perkawinan dengan laki-laki yang menghamilinya. Hal tersebut
berlandaskan pada firman Allah SWT dalam surat An-Nur ayat 3:
Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang
berzina, atau perempuan yang musyrik. Dan perempuan yang berzina
commit
to useryang berzina atau laki-laki yang
tidak dikawini melainkan
laki-laki
59
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
musyrik. Dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang
mukmin (Q.S. al-Nur: 3).
Dalam Hadits riwayat ‟Aisyah, yaitu ketika Rasulullah SAW
ditanya tentang seorang laki-laki yang berzina dengan seorang wanita,
lalu laki-laki itu berniat mengawininya. Saat itu Rasulullah s.a.w.
menjawab:
Permulaannya
perzinaan,
tetapi
akhirnya
adalah
pernikahan (perkawinan). Dan yang haram itu tidak mengharamkan
yang halal (HR. Al-Thabraniy dan al-Daruquthniy) (Daradjat,1995:
113).
Perzinaan merupakan perbuatan yang haram, sedangkan
perkawinan merupakan perbuatan yang halal, sehingga dalam konteks
hadits ini menunjukkan bahwa perbuatan yang haram (zina) tidak bisa
mengharamkan perbuatan yang halal (kawin). Dengan demikian,
keharaman perzinaan itu tidak dapat mengharamkan pelaksanaan
perkawinan, meskipun yang melangsungkan perkawinan itu adalah
pasangan
yang
sebelumnya
melakukan
perzinaan
sehingga
menyebabkan wanita hamil.
Selain itu, peristiwa yang diriwayatkan Ibnu Umar, yaitu ketika
Abu Bakar As-Shiddiq sedang di masjid, tiba-tiba datang seorang lakilaki dan berbicara tidak jelas serta tampak kebingungan. Kemudian,
Abu Bakar menyuruh Umar untuk mendatangi dan melihat laki-laki
itu, dan ketika Umar mendapatkan jawaban laki-laki itu mempunyai
seorang tamu, lalu tamunya itu berzina dengan anak perempuannya.
Seketika itu Umar langsung memukul laki-laki itu dan berkata: Jelek
sekali engkau ini. Kenapa tidak engkau tutupi, tidak engkau
rahasiakan saja hal anakmu itu? Abu Bakar lalu memerintahkan agar
laki-laki yang berzina dan anak perempuan itu dihukum had,
kemudian Abu Bakar mengawinkan keduanya, lalu mengasingkan
keduanya setahun”(al-„Arabi, tt: 262).
Peristiwa riwayat Ibnu Umar tersebut menyiratkan pesan
commit to user
implisit agar tidak menyebarkan
perzinaan yang dilakukan anggota
60
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
keluarga kepada khalayak atau di depan publik, tetapi dengan menutup
atau merahasiakan sehingga tidak menjadi aib keluarga maupun
pasangan yang berzina. Untuk kemudian segera melakukan langkah
penyelesaian secara konkret yaitu dengan segera melangsungkan
perkawinan agar perzinaan itu tidak terus berlanjut dan berulang-ulang
dilakukan.
Uraian normatif di atas merupakan landasan bagi istimbat
hukum ditetapkan ketentuan Pasal 53 KHI tersebut. Selain berpegang
pada landasan normatif sebagaimana dalam uraian di atas, ketentuan
Pasal 53 tersebut juga berpegangan pada beberapa faktor yang dapat
memperkuat kedudukan Pasal 53 tersebut. Dalam hal ini ada empat (4)
faktor yang bisa menjadi landasan hukum atas terbitnya ketentuan
pasal 53 KHI, yaitu:
a. Faktor filosofis (Nurul Huda, 2009: 42)
Setiap pembuatan undang-undang, peraturan, maupun
ketentuan hukum harus didasari adanya landasan filosofis.
Landasan filosofis mutlak diperlukan karena keberadaannya untuk
menjelaskan maksud, cita-cita, atau tujuan ditetapkan sebuah
hukum, peraturan, maupun ketentuan.
Jika sebuah hukum, peraturan, maupun ketentuan itu tidak
didasari landasan filosofis ini maka dalam produk hukum,
peraturan, maupun ketentuan tersebut akan hampa dan kehilangan
makna karena mengalami disorientasi. Hal yang sama juga berlaku
dalam ketentuan Pasal 53 KHI tersebut.
Ketentuan Pasal 53 tersebut mempunyai landasan filosofis
untuk melindungi kelangsungan hidup wanita hamil di luar nikah,
sekaligus menjaga kelangsungan hidup anaknya, agar kelak setelah
lahir dapat melangsungkan kehidupannya secara normal dan tidak
kehilangan haknya sebagai manusia secara individu maupun
sebagai anggota masyarakat.
commit to user
61
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Didasari semangat itulah, maka ketentuan Pasal 53 KHI
tersebut membolehkan wanita hamil di luar nikah melangsungkan
perkawinan
dengan
laki-laki
yang
menghamilinya,
untuk
menghindari dampak negatif lain yang akan diterima khususnya
oleh wanita dan anak sebagai pihak yang paling merasakan
akibatnya.
Keberadaan ketentuan Pasal 53 KHI tersebut sekaligus
menjadi landasan bagi pihak wanita untuk menuntut pihak laki-laki
agar bersedia bertanggung jawab, dan diwujudkan dengan
melangsungkan perkawinan serta menjalankan kewajibannya
sebagai suami sebagaimana dalam keluarga yang normal.
Selanjutnya, landasan filosofis tersebut akan didukung oleh
landasan-landasan lain, yang secara logis menjadi dasar perlu
ditetapkan ketetapan Pasal 53 KHI tersebut.
b. Faktor Sosiologis
Di Indonesia, sebelumnya tidak terdapat hukum tertulis
perihal penyelesaian wanita hamil di luar nikah. Masyarakat
biasanya menggunakan penyelesaian dengan cara melangsungkan
perkawinan antara wanita hamil tersebut dengan laki-laki yang
menghamilinya tanpa menunggu kelahiran anak yang dikandung.
Cara ini bertujuan untuk menutup aib agar tidak diketahui
masyarakat luas (Nurul Huda, 2009: 42-43).
Selama para pelaku zina dan keluarga mampu menjaga
rahasia itu, maka para pezina dan juga anaknya akan selamat dari
tanggapan masyarakat. Masyarakat dalam menanggapi perzinaan
biasanya dengan melakukan pengasingan atau pengisolasian
terhadap pelaku zina, keturunan, dan bahkan kepada keluarganya
sekalipun.
Tanggapan
memanusiakan
pelaku
masyarakat
zina,
tersebut
keluarga,
bahkan
tentu
anak
tidak
yang
semestinya tidak melakukan dosa namun harus menerima hukuman
commit
to user
itu (Nurul Huda, 2009:
42-43).
62
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dalam rangka menjaga kelangsungan hidup pelaku zina dan
terutama anaknya, maka diperlukan payung hukum berupa
ketentuan yang mengatur tentang kebolehan melangsungkan
perkawinan bagi wanita hamil karena zina. Selain itu, ketentuan
Pasal 53 KHI tersebut bisa dikatakan mengadopsi penyelesaian
masyarakat dengan cara melangsungkan perkawinan antara
pasangan zina tersebut (Nurul Huda, 2009: 42-43).
Sistem adopsi tersebut didukung oleh realitas sejarah yang
menunjukkan bahwa produk-produk pemikiran yang sering
dianggap sebagai hukum Islam itu tidak lebih merupakan hasil
interaksi antar pemikir hukum dengan lingkungan sosio-kultural
atau sosio-politik yang mengitarinya (Mudzhar, 2000: 105).
Produk hukum semacam itu bisa diterima sebagai hukum positif
dan bagian dari pengembangan hukum yang bersifat ijtihadiyah
(Mu‟allim dan Yusdani, 1999: 131).
Sistem adopsi ini juga didukung kaidah ushul fiqh yang
mengatakan:
“Adat
kebiasaan
itu
bisa
menjadi
hukum”
(Haroen,1996: 142). Kaidah ushul fiqh tersebut menunjukan
kebolehan mengadopsi adat atau kebiasaan masyarakat tertentu
untuk diterapkan menjadi sebuah ketentuan hukum. Imam alQarafi (w. 684 H) membolehkan mengadopsi adat atau kebiasaan
masyarakat tersebut dengan meneliti kebiasaan yang berlaku dalam
masyarakat setempat, sehingga hukum yang ditetapkan itu tidak
bertentangan
atau
menghilangkan
kemaslahatan
masyarakat
setempat (Haroen, 1996: 142).
Kebolehan
tersebut
sekaligus
menetapkan,
dalam
pelaksanaan produk hukum diberlakukan asas lex specialis derogat
legi generali, yang berarti penerapan hukum yang bersifat dan
berlaku khusus bisa mengesampingkan penerapan hukum yang
bersifat dan berlaku umum (Hamzah, 1986: 352). Melalui langkah
commit
to user
ini maka ketentuan
Pasal
53 KHI ini mempunyai landasan
63
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sosiologis yang kuat, sehingga akan efektif diterapkan dalam
masyarakat Indonesia.
c. Faktor Psikologis
Kehamilan seorang wanita disebabkan zina pada dasarnya
adalah kehamilan yang tidak diinginkan. Dihadapkan pada situasi
ini, wanita menjadi pihak yang paling merasakan tekanan
psikologis yang sangat kuat. Jika kondisi seperti itu dibiarkan
berlarut-larut dan tidak segera dilangsungkan perkawinan dengan
laki-laki yang menghamilinya, maka dikhawatirkan situasi lebih
buruk akan terjadi. Seperti kasus bunuh diri dan aborsi biasanya
didominasi oleh tekanan psikologis akibat kehamilan di luar nikah
(Nurul Huda, 2009: 43-44).
Kedua kasus tersebut bisa terjadi karena wanita merasa
hidupnya tidak nyaman, selalu dihantui rasa malu, rendah diri,
perasaan berdosa, depresi, pesimis, dan sebagainya (Zein dan
Suryani, 2005: 114). Namun ternyata, jika kemudian wanita hamil
tersebut tetap menjalani kehidupannya seperti semula dan memilih
menjadi orang tua tunggal (single parent), langkah itu juga tidak
mampu memberi garansi bagi kesehatan mental pada anak. Seperti
ibunya, anak juga akan mendapatkan tekanan psikologis yang
sama.
Perkembangan psikologis anak menjadi tidak sehat selain
karena
faktor
aib
latar
belakang
kelahirannya
sehingga
eksistensinya dilabeli sebagai “anak haram”, juga karena
disebabkan faktor realitas keluarganya yang tidak utuh. Realitas
tersebut tentu akan menjadi dampak lanjut, karena keutuhan
keluarga juga menjadi faktor yang mempengaruhi perkembangan
psikologis dan sosial seorang anak (Gerungan, 2004: 199).
Dalam perkembangan hidup seperti itu, anak tidak
mendapatkan perhatian dan kasih sayang secara utuh, karena hanya
commit
to user
mendapatkan kasih
sayang
secara sepihak dari ibunya. Dalam
64
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
situasi yang timpang ini tidak menutup kemungkinan anak tersebut
menjadi pribadi yang pesimis, rendah diri, atau bahkan kelak justru
berubah menjadi kejam karena merasa ditelantarkan bapaknya.
Problem lanjut inilah yang menjadi landasan psikologis perlu
ditetapkan ketentuan Pasal 53 KHI tersebut (Nurul Huda, 2009: 4344).
Perspektif psikologis tersebut memperlihatkan bahwa
ketetapan Pasal 53 KHI tersebut ditujukan untuk melakukan upaya
preventif guna mencegah terjadinya problem lanjut dan sudah
barang tentu akan menimbulkan persoalan baru bagi upaya
pembangunan kesehatan bangsa yang meliputi, kesehatan jasmani
dan kesehatan mental bangsa.
d. Faktor Yuridis
Di Indonesia, sebelumnya tidak terdapat hukum tertulis
perihal penyelesaian wanita hamil di luar nikah. Masyarakat
biasanya menggunakan penyelesaian dengan cara melangsungkan
perkawinan antara wanita hamil tersebut dengan laki-laki yang
menghamilinya, tanpa menunggu kelahiran anak yang dikandung.
Karena tidak adanya hukum tertulis yang mengatur mengenai
kawin hamil sebelumnya, maka dalam hal ini timbullah pemikiran
mengenai munculnya pasal 53 KHI tersebut guna mendapatkan
kepastian hukum bagi pelaku kawin hamil yang terjadi dalam
masyarakat guna mendapatkan kepastian hukum tentang statusnya
sebagai pasangan suami isteri yang sah.
2. Dampak Negatif Dari Adanya Dispensasi Pernikahan
a. Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Dampak negatif yang ditimbulkan dari adanya dispensasi
pernikahan yaitu kekerasan dalam rumah tangga yang kerap terjadi
pada pasangan muda diakibatkan belum matang kondisi psikologisnya
commit rumah
to user tangga, sehingga hal ini juga
dalam membina hubungan
65
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
berdampak pada terganggunya kesehatan mental dari masing-masing
pasangan (wawancara Drs. H.A. Shonhadji Ali, M.HI Ketua
Pengadilan Agama Sukoharjo, 12/06/2012).
Hal tersebut juga di dukung berdasarkan hasil penelitian yang
mengungkapkan bahwa pernikahan anak cenderung membawa dampak
buruk bagi pelaku. Dampak yang signifikan adalah terganggunya
kesehatan reproduksi, seperti mengalami kehamilan berisiko dan
komplikasi
kehamilan
(Kompasiana,
http://edukasi.kompasiana
.com/2011/12/07/cegah-pernikahan anak - diindonesia).
b. Indikasi Peningkatan Perceraian Pasangan Usia Muda.
“Divorce is a complex event that can be viewed from multiple
perspectives” (Paul R. Amato, 2003: 602). Dispensasi merupakan
salah satu factor pemicu kenaikan jumlah perceraian yang terjadi pada
pasangan muda. Hal ini di dukung berdasarkan data dalam 5 (lima)
tahun terakhir, rata-rata terjadi 2 juta perkawinan per tahun, dimana
terdapat 200 ribu kasus perceraian (sekitar 10%) yang sebagian besar
dialami pasangan muda (Surya Dharma Ali, Menteri Agama,
“Infotainment
Dongkrak
Angka
Perceraian”,
www.jpnn
.com/index.phb?mib=berita, 12/01/2010).
Peningkatan perceraian yang sebagaian besar adalah pasangan
muda terjadi di beberapa daerah seperti Kab. Bulungan, Kalimantan
Timur (M. Nasir, Panitera Muda Pengadilan Agama Bulungan, “203
Perceraian,
Mayoritas
Usia
Muda”,
www.kaltimpost
.co.id/index.Php?mib =berita ,28/11/2009) dan Provinsi Bangka
Belitung (Nasrudin, Panitera Muda Pengadilan Tinggi Agama Babel,
“340 Pasutri Pilih Cerai”, www.cetak.bangkapost.com/tbabel/read
/24423.html,) yang disebabkan faktor ekonomi, orang ketiga dan tidak
ada tanggungjawab salah satu pasangan.
”There exists substantial controversy and uncertainty about the
impact of divorce on children” (Betsey Stevenson and Justin Wolfers,
to user
2007: 30). Selain itu commit
perceraian
pasangan usia muda menimbulkan
66
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dampak sosial lain seperti keterpurukan ekonomi sehingga mendorong
perempuan terjerembab ke dalam prostitusi. Kondisi masyarakat
dihadapkan dengan kecenderungan meningkatnya prostitusi oleh
perempuan usia anak akibat perceraian yang dialami pasangan nikah
pada usia anak.
Fenomena perceraian pada usia muda selama ini juga terjadi di
sukoharjo. Berdasarkan observasi atau pengamatan yang penulis
lakukan selama melakukan penelitian di Pengadilan Agama Sukoharjo
dengan mengikuti jalannya kasus sidang perceraian serta membaca
beberapa putusan yang sudah di putus dalam kurun waktu 5 tahun
terakhir, dengan mengambil salah satu sampel putusan pada tiap tahun
di pengadilan agama sukoharjo.
Terdapat fakta bahwa, kebanyakan kasus perceraian yang
terjadi rata-rata antara usia 20-25 tahun. Padahal seharusnya pada usiausia tersebut adalah waktu yang tepat dalam melangsungkan suatu
pernikahan, namun malah sebaliknya. Jumlah cerai talak maupun cerai
gugat,
antara
pihak-pihak
baik
penggugat
maupun
tergugat
kebanyakan berusia masih sangat muda antara usia 20-25 tahun.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dilihat dalam tabel mengenai
perkara perceraian yang masuk dan sudah di putus di Pengadilan
Agama Sukoharjo dari tahun 2007 sampai 2011.
Tabel 2. Jumlah Perkara Perceraian yang Sudah Diputus Di
Pengadilan Agama Sukoharjo Dari Tahun 2007-2011
Tahun
2007
2008
2009
2010
2011
Cerai Talak
257
486
288
369
355
Cerai Gugat
438
943
625
700
736
Sumber: Pengadilan Agama Sukoharjo (2012)
commit to user
Jumlah
695
1429
913
1069
1091
67
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dari tabel diatas dapat dilihat banyaknya kasus perceraian
yang terjadi selama kurun waktu lima tahun terakhir dari tahun 20072011. Terjadi peningkatan yang sangat signifikan dari tahun 20072008. Namun terjadi penurunan pada tahun 2009 dan kembali lagi
mengalami kenaikan pada tahun-tahun berikutnya sampai pada tahun
2011.
Perceraian pada usia muda bukanlah merupakan faktor yang
utama sebagai dampak dari dispensasi, namun demikian hal tersebut
merupakan salah satu indikasi akibat dampak dari dispensasi yang
terjadi di Sukoharjo, yaitu memicu kenaikan jumlah angka perceraian
pada usia 20-25 tahun dalam kehidupan masyarakat di sukoharjo yang
disebabkan belum matang kondisi psikologis pelaku pernikahan di
bawah umur, sehingga hal ini juga berdampak pada terganggunya
kesehatan mental dari masing-masing pasangan.
c. Berpotensi Melanggar Hak-Hak Anak, Terutama Bagi Anak
Perempuan
Secara umum dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 C
ayat 1, menyebutkan bahwa setiap orang berhak mengembangkan diri
melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan
dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni
dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi
kesejahteraan umat manusia.
Dalam Pasal 9 ayat 1 Undang-Undang No 23 Tahun 2002
tentang perlindungan anak menyebutkan bahwa setiap anak berhak
memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan
pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan
bakatnya. Sedangkan dalam pasal 11 menyebutkan bahwa setiap anak
berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul
dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai
dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan
commit to user
diri.
68
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Berdasarkan penjelasan beberapa pasal tersebut di atas,
pernikahan anak berpotensi melanggar hak-hak anak, terutama bagi
anak perempuan. Pasca menikah, anak akan kehilangan hak untuk
mengekspresikan pandangan secara bebas, hak untuk mendapatkan
perlindungan dari segala bentuk kekerasan fisik dan mental, dan hak
untuk mendapat pendidikan dasar yang sama. Banyak dijumpai, siswi
yang mengalami kehamilan tak diinginkan kemudian dikeluarkan dari
sekolah dengan alasan pelanggaran norma dan merusak citra sekolah
(Kompasiana,http://edukasi.kompasiana.com/2011/12/07/cegah-pernik
ahan-anak-di indonesia).
Dalam hal ini jelas melanggar hak anak untuk mendapat
pendidikan. Tidak mudah menghentikan praktik pernikahan anak di
Indonesia. Namun demikian, ada beberapa hal yang bisa dilakukan
agar siklus itu tidak berkelanjutan. Di tingkat nasional, perlu dilakukan
upaya penyelarasan undang-undang dan peraturan pemerintah yang
berkaitan dengan pernikahan dengan sejumlah konvensi internasional
yang sudah diratifikasi pemerintah.
Dalam
hal
ini
diperlukan
sosialisasi
dan
pendekatan
perlindungan anak berbasis hak, pemberdayaan ekonomi bagi keluarga
miskin, membuat peraturan daerah tentang pencegahan pernikahan
anak, dan memberlakukan wajib belajar 12 tahun dengan kurikulum
yang
mengadaptasi
pendidikan
kesehatan
reproduksi.
Dengan
demikian, aspek sosial dan aspek pelanggaran HAM terhadap
pernikahan dibawah umur dapat diminimalisir.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
69
digilib.uns.ac.id
C. Efektivitas Pasal 7 Ayat 2 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Yang
Mengatur Mengenai Dispensasi Pernikahan Yang Berkaitan Dengan
Hubungan Diluar Nikah Dalam Mendapatkan Suatu Kepastian Hukum
1. Terjadi Disharmonisasi Antara Undang-Undang Perkawinan Dengan
Undang-Undang Perlindungan Anak
Pernikahan diatur dalam hukum positif Indonesia yang tertuang
dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam
Pasal 1 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 menyatakan bahwa
“perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seseorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Perkawinan diperbolehkan bagi pasangan pria dan wanita yang
telah memenuhi batasan usia perkawinan bahwa “Perkawinan hanya
diizinkan jika pria sudah umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita
sudah mencapai 16 (enam belas) tahun (sesuai Undang-Undang
Perkawinan Pasal 7 ayat 1). Ketentuan tersebut secara eksplisit
mengisyaratkan bahwa setiap perkawinan yang dilakukan oleh seorang
pria yang belum mencapai 19 tahun atau wanita yang belum mencapai 16
tahun sebagai pernikahan dibawah umur, harus memiliki konsekuensi
hukum.
Apabila pernikahan yang dilakukan belum sesuai atau belum cukup
umur, dalam pasal 7 ayat 2 Undang-Undang No. 1 tahun 1974
memperbolehkan adanya dispensasi bagi anak yang belum cukup umur
tersebut, untuk melangsungkan pernikahan dengan memintakan dispensasi
ke pengadilan agama dengan sebuah penetapan. Pernikahan dibawah umur
oleh pasangan yang belum memenuhi batas usia pernikahan pada
hakekatnya suatu pernikahan yang dikerjakan oleh seseorang pada usia
anak-anak. Undang-Undang Perlindungan Anak menegaskan bahwa anak
adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk
anak yang masih dalam kandungan (Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No 23
commit to user
Tahun 2002).
70
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dalam undang-undang perkawinan, memperbolehkan adanya
pernikahan di bawah umur kepada pasangan yang belum cukup usia dalam
melangsungkan pernikahan. Hal tersebut diwujudkan dalam pasal 7 ayat 2
mengenai dispensasi pernikahan. Sehingga dalam hal ini, hukum yang ada
memberikan ruang bagi keberlangsungan praktek-praktek pernikahan di
bawah umur. Namun demikian, dalam undang-undang nomor 23 tahun
2002 tentang perlindungan anak dalam pasal 26 ayat 1 point c
menyebutkan bahwa orang tua berkewajiban untuk mencegah terjadinya
perkawinan pada usia anak-anak, dan menjadi kewajiban keluarga
manakala
orang
tua
tidak
dapat
melakukan
kewajiban
dan
tanggungjawabnya atas suatu alasan, agar terlindungi dan terjaga hak-hak
sebagai anak. Kebijakan pembatasan usia perkawinan pada dasarnya
memberikan hak-hak anak untuk menjalani siklus kehidupan secara
natural dan manusiawi tanpa eksploitasi, diskriminasi dan penindasan.
Dengan demikian, berdasarkan penjelasan di atas, antara undangundang perkawinan dan undang-undang perlindungan anak telah terjadi
disharmonisasi atau terdapat peraturan yang bertentangan di dalamnya.
Dalam undang-undang perkawinan memperbolehkan perkawinan di bawah
umur, namun di sisi lain dalam undang-undang perlindungan anak
melarang adanya perkawinan di bawah umur atau belum mencapai usia
yang pantas dalam melangsungkan pernikahan.
2. Ketidakjelasan Rumusan Dispensasi Pernikahan
Dalam hukum positif di Indonesia tidak diatur mengenai ketentuan
kawin hamil diluar nikah. Sehingga menimbulkan ketidakpastian apakah
hal tersebut diperbolehkan atau tidak, melanggar ketentuan hukum pidana
atau tidak. Mengingat bahwa secara hukum hubungan di luar nikah atau
persetubuhan di luar perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki-laki
terhadap perempuan yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya
belum berumur 15 (lima belas) tahun dimasukkan sebagai perbuatan
to userNamun dalam masyarakat untuk
pidana (Neng Djubaedah,commit
2010:67).
71
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menutupi perbuatan tersebut biasanya pihak keluarga segera menikahkan
anak yang melakukan perbuatan perzinaan tersebut untuk menutupi aib
yang telah dilakukannya.
Jika pelaku perzinaan tersebut belum cukup umur, untuk
melangsungkan pernikahan maka masyarakat menggunakan upaya terakhir
dengan meminta dispensasi pernikahan di Pengadilan Agama untuk
melegalkan perbuatan yang semulanya adalah haram dan mengandung
unsur pidana.
Dalam ketentuan Undang-Undang Perkawinan pada pasal 7 ayat 2
yang mengatur mengenai dispensasi pernikahan, selama ini tidak
memberikan batasan yang jelas mengenai kawin hamil bagi anak di bawah
umur dalam melangsungkan pernikahan, apakah diperbolehkan atau tidak
dalam
mengajukan
permohonan
dispensasi.
Karena
jika
alasan
mengajukan dispensasi pernikahan disebabkan karena hamil terlebih
dahulu. Hal ini bisa disebabkan karena keterpaksaan untuk melangsungkan
pernikahan. Karena pada dasarnya calon suami isteri tersebut melakukan
pernikahan disebabkan karena kecelakaan akibat perzinaan yang dilakukan
sebelumnya.
Berdasarkan Pasal 287 KUHP persetubuhan di luar perkawinan
yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap perempuan yang
diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum berumur 15 (lima
belas) tahun dimasukkan sebagai perbuatan pidana (Neng Djubaedah,
2010:67). Hal ini juga ditegaskan dalam hukum Islam bahwa bagi pelaku
zina yang belum menikah (zina ghairu muhsan) hukumannya adalah
didera seratus kali dan kemudian diasingkan ke tempat lain selama satu
tahun (Asy Syaukani, 1994: 550). Namun dengan adanya dispensasi
pernikahan pelaku zina tersebut lolos dari hukum pidana maupun hukum
cambuk seratus kali apabila pelaku zina tersebut beragama Islam.
Sikap masyarakat secara umum cenderung bersikap pemakluman
terhadap terjadinya pernikahan di bawah umur, bahkan dianggap peristiwa
commit tohukum
user
yang biasa terjadi karena
positif perkawinan tidak
perpustakaan.uns.ac.id
72
digilib.uns.ac.id
mengkriminalkan pernikahan dibawah umur. Sehingga ada kebuntuan
hukum dalam meminimalisir dan mencegah terjadinya pernikahan
dibawah umur.
Undang-Undang Perkawinan memberikan toleransi bagi setiap
warga negara yang batas usianya belum mencukupi dengan surat
dispensasi dari pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua
orang tua pihak pria maupun wanita (Pasal 7 ayat 2 Undang-Undang
Nomor 1 tahun 1974). Pelaku dan para pihak yang terlibat dalam
pernikahan dibawah umur akan sulit dikriminalkan tanpa melihat aspek
sebab-sebab (alasan), proses dan tujuan dari pernikahannya.
Dalam undang-undang perkawinan sendiri sebenarnya telah terjadi
inkonsistensi dalam pasalnya, yaitu antara pasal 7 ayat 1 yang
menyebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai
umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16
(enam belas) tahun, dan dalam pasal 7 ayat 2 pasal tersebut berbalik
dengan menyebutkan jika terdapat penyimpangan dalam pasal 7 ayat 1,
dapat minta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang diminta
oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita. Padahal dalam pasal 7
ayat 1 sudah jelas menyebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan
apabila para pihak sudah memenuhi usia minimal yang telah ditentukan
dalam undang-undang itu sendiri. Namun hal tersebut bisa dibatalkan
bahkan diterobos oleh pasal 7 ayat 2, yang memperbolehkan melakukan
perkawinan di bawah umur yang sudah ditentukan dalam undang-undang
itu sendiri.
Dalam hal ini, peraturan dalam pasal 7 ayat 1 menjadi “kabur” atau
tidak jelas, dengan adanya pasal 7 ayat 2. Di sisi lain membatasi usia
pernikahan, namun pada sisi lain aturan yang sudah ada tersebut justru
bisa diterobos oleh aturan yang lain dalam undang-undang tersebut.
Menurut pendapat Achmad Ali, hal tersebut bisa dikategorikan sebagai
“Sleeping law” atau aturan hukum yang tidur. Maksudnya adalah aturan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
73
digilib.uns.ac.id
hukum tersebut tetap digunakan, tetapi tidak secara optimal, ibarat orang
yang terkantuk-kantuk (Achmad Ali, 2009: 209).
Tidak adanya ketentuan pidana dalam undang-undang perkawinan
menyebabkan sulitnya memberikan hukuman terhadap pernikahan di
bawah umur. Kriminalisasi terhadap pernikahan di bawah umur, lebih
berdasarkan pada adanya pelanggaran atas hak asasi manusia yaitu
melanggar hak asasi anak (Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Bagian
Kesepuluh tentang Hak Anak pasal 52 sampai pasal 66), antara lain ;
pertama, hak untuk mendapatkan pendidikan. Kedua, hak untuk berpikir
dan berekspresi. Ketiga, hak untuk menyatakan pendapat dan didengar
pendapatnya. Keempat, hak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu
luang, bergaul dengan teman sebaya, bermain, berekspresi, dan berkreasi.
Kelima, hak mendapat perlindungan.
Dengan demikian, tindakan perkawinan atau pernikahan di bawah
umur tidak serta merta menjadi tindakan melanggar hukum atau tindakan
kriminal, karena diperlukan beberapa unsur kriminalnya, seperti adanya
pemaksaan, kekerasan atau ancaman kekerasan, dan atau eksploitasi,
sebagaimana ketentuan pidana dalam Pasal 81, pasal 82 dan pasal 88
Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, serta pasal
13 dan 26 dalam undang-undang tersebut. Dengan demikian, kriminalisasi
pernikahan di bawah umur lebih berorientasi terhadap pelanggaran
Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM dan UndangUndang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
3. Efektivitas Pasal 7 Ayat 2 Mengenai Dispensasi Pernikahan.
Banyaknya kasus mengenai hubungan seks diluar nikah atau
perzinaan yang terjadi dikalangan remaja pada saat ini sungguh sangat
memprihatinkan. Apalagi banyaknya kasus tersebut dilakukan oleh anak
yang belum cukup umur dalam melangsungkan pernikahan yang kemudian
berakibat fatal sehingga menyebabkan kehamilan. Karena faktor inilah
commit
to user
yang kemudian memicu kawin
hamil
yang dilakukan oleh anak di bawah
perpustakaan.uns.ac.id
74
digilib.uns.ac.id
umur. Karena pihak-pihak yang melangsungkan pernikahan belum cukup
umur, sehingga perlu permohonan dispensasi ke Pengadilan Agama. Hal
semacam ini yang selama ini dijumpai di Kabupaten Sukoharjo.
Berdasarkan pada Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, dalam pasal 7 ayat 2 memperbolehkan adanya dispensasi
pernikahan bagi anak dibawah umur dalam melakukan pernikahan.
Melihat dari jumlah peningkatan perkara dispensasi pernikahan pada tahun
2007-2011. Dalam hal ini penulis berpendapat, bahwa penerapan pasal 7
ayat 2 Undang-Undang perkawinan pada kehidupan masyarakat di
Sukoharjo, telah berjalan secara efektif guna mendapatkan kepastian
hukum bagi pelaku kawin hamil atau hubungan seks diluar nikah, guna
mendapatkan kepastian hukum untuk melakukan suatu perkawinan.yang
selama ini semakin marak terjadi di kabupaten Sukoharjo.
Hal tersebut didukung berdasarkan data perkara dispensasi yang
masuk dan sudah di putus oleh Pengadilan Agama Sukoharjo. Dari tahun
2007 dan 2008 yang hanya ada 9 dan 8 perkara saja, namun terjadi
peningkatan pada tahu 2009 dan 2010 menjadi 22 dan 21 perkara.
Kemudian pada tahun selanjutnya di tahun 2011 terjadi peningkatan yang
sangat drastis menjadi 44 perkara. Dalam fakta persidangan dan juga
alasan pengajuan dispensasi oleh Pemohon,yang terdapat dalam beberapa
putusan yang telah di putus oleh Pengadilan Agama di Sukoharjo. Antara
lain terdapat dalam penetapan dengan nomorperkara: 0017/Pdt.P/2010/PA.
Skh dan penetapan dengan nomor perkara: 0025/Pdt.P/2011/PA. Skh,
yang telah dijelaskan isinya pada pembahasan sebelumnya diatas. Selama
ini dilatarbelakangi bahwa pihak wanita sudah mengalami kehamilan
terlebih dahulu sebelum melakukan pernikahan secara sah, berdasarkan
hukum positif maupun hukum agama yang berlaku di Indonesia serta
masyarakat di Sukoharjo pada khususnya.
Menurut keterangan dari Ketua Pengadilan Agama Sukoharjo Drs.
H.A. Shonhadji Ali, M.HI menuturkan bahwa ada juga sebagian
commit to user
masyarakat yang tidak mengajukan
dispensasi meskipun usianya belum
perpustakaan.uns.ac.id
75
digilib.uns.ac.id
cukup dalam melakukan pernikahan. Biasanya hal tersebut terjadi dengan
cara menaikkan atau “mengkatrol” usianya agar menjadi cukup dalam
melangsungkan pernikahan (wawancara Drs. H.A. Shonhadji Ali,
M.HIKetua Pengadilan Agama Sukoharjo, 12/06/2012).
Cara seperti itu sebenarnya melanggar ketentuan hukum yang
berlaku, mengingat bahwa dalam undang-undang perkawinan itu sendiri
sudah diatur mengenai dispensasi pernikahan yang harus mendapatkan
penetapan pengadilan terlebih dahulu. Namun dalam masyarakat masih
kerap terjadi hal seperti itu. Meskipun demikian, baik bagi yang
mengajukan dispensasi maupun tidak mengajukan dispensasi, memiliki
hak yang sama dalam melangsungkan pernikahan.
Bagi yang mengajukan dispensasi ke Pengadilan lebih menjamin
dalam mendapatkan kepastian hukum yang kuat karena telah sesuai
dengan peraturan yang ada dan sah. Namun bagi yang tidak mengajukan
dispensasi, dapat menjadi masalah di kemudian hari apabila data atau
identitas dalam melangsungkan pernikahan tersebut tidak sesuai dengan
data asli akta kelahiran akibat dari menaikkan usia tanpa melalui prosedur
yang sah yang telah diberikan oleh negara, yang dalam hal ini telah diatur
dalam pasal 7 ayat 2 undang-undang perkawinan. Sehingga pernikahan
yang dilakukan bisa terancam dibatalkan oleh pengadilan karena
hakekatnya dilakukan secara ilegal dengan tidak mematuhi aturan yang
telah ditentukan oleh undang-undang.
Tidak adanya batasan kawin hamil dalam pasal 7 ayat 2 undangundang perkawinan. Menyebabkan pelaku zina yang mengajukan
dispensasi memiliki hak yang sama dengan bukan pelaku zina dalam
mengajukan dispensasi ke pengadilan agama. Karena tidak ada batasan
yang jelas tersebut, seolah-olah negara tidak membedakan antara pemohon
dispensasi yang tidak melakukan zina dengan pemohon dispensasi yang
melakukan zina terlebih dahulu sebelum terjadi pernikahan yang sah, baik
menurut aturan agama maupun undang-undang. Sehingga dalam hal ini
commit
to user tindak kejahatan perzinaan yang
negara terkesan seolah-olah
melindungi
perpustakaan.uns.ac.id
76
digilib.uns.ac.id
dilakukan oleh anak dibawah umur dalam melangsungkan pernikahan
tersebut. Bahkan dalam hal ini negara terkesan tidak memberikan
hukuman bagi pelaku zina tersebut, malahan memberikan hadiah dengan
sebuah pernikahan berkedok dispensasi.
Aturan yang sebenarnya baik justru disalahgunakan oleh oknum
tertentu (pezina remaja) untuk mendapatkan kepastian hukum dalam
melakukan pernikahan. Maka dalam hal ini Penulis berpendapat alangkah
baiknya apabila dalam pasal 7 ayat 2 undang-undang perkawinan tersebut
diberikan batasan yang jelas, bahwa dispensasi hanya boleh diberikan pada
laki-laki maupun perempuan yang masih perjaka dan perawan saja, tanpa
dilatarbelakangi oleh kehamilan dari pihak wanita terlebih dahulu. Karena
hakekatnya hamil disebabkan hubungan diluar nikah merupakan suatu
tindak pidana yang diatur dalam hukum positif negara ini dalam pasal 287
KUHP maupun dalam hukum Islam apabila pezina tersebut beragama
islam.
Jadi, dalam hal ini pasal 7 ayat 2 yang mengatur mengenai
dispensasi pernikahan. Berlaku efektif bagi pelaku hubungan diluar nikah
yang belum cukup umur dalam melangsungkan pernikahan. Guna
mendapatkan kepastian hukum dalam melangsungkan pernikahan, dengan
cara mengajukan dispensasi ke pengadilan agama.
Tujuan hukum adalah sesuatu yang ingin dicapai oleh hukum,
yakni keadilan dan kepastian hukum (perlindungan hukum). Tujuan
mempertahankan ketertiban masyarakat dicapai dengan cara melindungi
kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat secara seimbang.
Implementasi tujuan hukum tersebut dapat dilaksanakan dalam suatu
negara berdasarkan atas hukum.
Untuk mencapai tujuannya, hukum haruslah ditegakkan. Dalam hal
ini hukum diasumsikan sebagai hukum yang baik (walau faktanya ada juga
hukum yang tidak baik). Jika kita membicarakan penegakan hukum, maka
itu berarti harus membahas sistem hukum. Lawrence Meir Friedman
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
77
digilib.uns.ac.id
menyatakan ada tiga unsur yang terkait dalam sistem hukum yaitu
(Achmad Ali, 2009: 204):
a. Struktur (structure)
Yaitu, keseluruhan institusi-institusi hukum yang ada beserta
aparatnya, mencakup antara lain kepolisisan dengan para polisinya,
kejaksaan dengan para jaksanya, pengadilan dengan para hakimnya,
dan lain-lain.
b. Substansi (substance)
Yaitu, keseluruhan aturan hukum, norma hukum dan asas hukum, baik
yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan.
c. Kultur hukum (legalculture)
Yaitu, opini-opini, kepercayaan-kepercayaan (keyakinan-keyakinan)
kebiasaan-kebiasaan, cara berpikir, dan cara bertindak, baik dari para
penegak hukum maupun dari warga masyarakat, tentang hukum dan
berbagai fenomena yang berkaitan dengan hukum.
Hubungan antara tiga unsur sistem hukum itu sendiri tak berdaya,
seperti pekerjaan mekanik. Struktur diibaratkan seperti mesin, substansi
adalah apa yang dikerjakan dan dihasilkan oleh mesin, sedangkan kultur
hukum adalah apa saja atau siapa saja yang memutuskan untuk
menghidupkan dan mematikan mesin itu, serta memutuskan bagaimana
mesin itu digunakan.
Hukum dapat berlaku secara efektif apabila aturan yang dibuat oleh
pembentuk undang-undang tersebut dipatuhi oleh masyarakat. Sehingga
tujuan yang hendak dicapai dalam pembuatan peraturan tersebut dapat
menciptakan suatu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum dalam
masyarakat.
Efektivitas yang dimaksud dalam penulisan hukum ini adalah
manakala pasal 7 ayat 2 undang-undang perkawinan yang mengatur
mengenai dispensasi pernikahan, dipatuhi dan ditaati oleh masyarakat
Sukoharjo. Guna memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat, serta
commit
to user hukum bagi pemohon dispensasi
kemanfaatan dan terjaminnya
kepastian
78
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
agar
dapat
diperbolehkan
untuk
melakukan
pernikahan.
Dalam
mengajukan dispensasi ke pengadilan agama, antara lain dengan tujuan
untuk mendapatkan kepastian hukum. Baik bagi pelaku hubungan diluar
nikah maupun bukan pelaku hubungan diluar nikah, yang belum cukup
umur dalam melangsungkan pernikahan.
Dalam efektivitas pasal 7 ayat 2 yang mengatur mengenai
dispensasi
pernikahan
yang
berhubungan
dengan
kondisi
sosial
masyarakat Sukoharjo, dalam hal ini juga dipengaruhi oleh beberapa
faktor antara lain.
1. Faktor Struktur hukum
Menurut Friedman, struktur adalah kerangka atau rangkanya,
bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberi semacam bentuk dan
batasan terhadap keseluruhan. Di Indonesia, misalnya jika kita
berbicara tentang struktur sistem hukum Indonesia, maka termasuk di
dalamnya struktur institusi-institusi penegakan hukum, seperti
kepolisian,
kejaksaan,
pengadilan,
advokat,
dan
lembaga
permasyarakatan (Achmad Ali, 2009: 204).
Adanya lembaga yang menjadi wadah dalam mengajukan
dispensasi, dalam hal ini adalah Pengadilan Agama dan KUA sebagai
pencatat pernikahan. Sehingga menyebabkan semakin mudahnya,
pelaku hubungan diluar nikah yang belum cukup umur dalam
melangsungkan pernikahan, mengajukan dispensasi ke pengadilan
agama guna mendapatkan kepastian hukum dalam melangsungkan
pernikahan. Apabila terdapat sarana yang memadai, serta mudahnya
para aparat, dalam hal ini hakim atau petugas pengadilan dan pegawai
pencatat pernikahan. Memberikan kemudahan dalam mengajukan
dispensasi, maka hal tersebut dapat menyebabkan peningkatan
dispensasi yang terjadi selama ini, baik di Sukoharjo maupun diseluruh
wilayah Indonesia.
commit to user
79
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Adapun mekanisme pengajuan perkara permohonan dispensasi
pernikahan di Pengadilan Agama Sukoharjo adalah sebagai berikut:
a. Prameja
Sebelum pemohon mengajukan permohonannya, pemohon
ke prameja terlebih dahulu untuk memperoleh penjelasan tentang
bagaimana cara berperkara, cara membuat surat permohonan, dan di
prameja pemohon dapat minta tolong untuk dibuatkan surat
permohonan.
b. Meja I
Surat permohonan yang telah dibuat dan ditandatangani
diajukan pada sub Kepaniteraan Permohonan, pemohon menghadap
pada meja pertama yang akan menaksir besarnya panjar biaya
perkara dan menuliskanya pada Surat Kuasa Untuk Membayar
(SKUM). Besarnya panjar biaya perkara diperkirakan harus telah
mencukupi untuk menyelesaikan perkara tersebut, yang berdasarkan
pasal 193 R.Bg/ pasal 182 ayat (1) HIR/pasal 90 ayat (1) UUPA,
meliputi:
1. Biaya kepaniteraan dan biaya materai.
2. Biaya pemeriksaan, saksi ahli, juru bahasa dan biaya sumpah.
3. Biaya pemeriksaan setempat dan perbuatan Hakim yang lain.
4. Biaya pemanggilan, pemberitahuan dan lain-lain atas perintah
Pengadilan yang berkenaan dengan perkara itu. Bagi yang
tidak mampu dapat diijinkan berperkara secara prodeo (cumacuma). Ketidakmampuan tersebut dibuktikan dengan melampirkan
surat keterangan dari Lurah/Kepala Desa setempat yang dilegalisir
oleh Camat. Bagi yang tidak mampu maka panjar biaya perkara
ditaksir Rp.0,00 dan ditulis dalam SKUM.
c. Kasir
Pemohon kemudian menghadap kepada kasir dengan
menyerahkan surat permohonan dan SKUM. Kasir kemudian:
commit to user
80
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1. menerima uang tersebut dan mencatat dalam jurnal biaya
perkara.
2. menandatangani dan memberi nomor perkara serta tanda lunas
pada SKUM.
3. mengembalikan surat permohonan dan SKUM kepada Pemohon
d. Meja II
Pemohon kemudian menghadap pada Meja II dengan
menyerahkan surat permohonan dan SKUM yang telah dibayar.
Kemudian Meja II:
1. Memberi nomor pada surat permohonan sesuai dengan nomor
yang diberikan oleh Kasir. Sebagai tanda telah terdaftar maka
petugas Meja II membubuhkan paraf.
2. Menyerahkan satu lembar surat permohonan yang telah terdaftar
bersama satu helai SKUM kepada pemohon.
Demikianlah, prosedur dan cara pengajuan permohonan
dispensasi pernikahan di Pengadilan Agama Sukoharjo.
2. Faktor Substantif Hukum
Menurut Friedman, substansi adalah aturan, norma hukum dan
asas hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk
putusan pengadilan serta pola perilaku nyata manusia yang berada
dalam sistem itu (Achmad Ali, 2009: 204). Substansi juga berarti
produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum
tersebut, mencakup keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru
yang mereka susun. Substansi juga mencakup living law (hukum yang
hidup), dan bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang undang
atau law the books.
Faktor substantif berpengaruh terhadap efektivitas pasal 7 ayat
2 yang mengatur mengenai dispensasi pernikahan. Karena dalam hal
ini undang-undang memperbolehkan adanya perkawinan di bawah
umur, meskipun tidak terdapat batasan mengenai kawin hamil yang
commit
to user
dilakukan. Sehingga hal
tersebut
menyebabkan pelaku hubungan diluar
81
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
nikah yang belum cukup umur dalam melangsungkan pernikahan,
berbondong-bondong ke pengadilan agama untuk mengajukan
dispensasi, guna mendapatkan kepastian hukum dalam melangsungkan
pernikahan.
Akibat dari adanya aturan hukum yang memperbolehkan
dispensasi, maka peningkatan dispensasi yang terjadi di pengadilan
agama sendiri merupakan sesuatu yang wajar terjadi, karena aturannya
ada. Namun, apabila terlalu banyak pernikahan yang terjadi
disebabkan dispensasi, hal tersebut juga dapat membawa dampak yang
buruk kepada pasangan suami isteri yang melakukan pernikahan
tersebut. Karena belum matangnya usia pasangan suami isteri dalam
melangsungkan pernikahan untuk membina hubungan keluarga secara
harmonis.
3. Faktor Kultur Hukum
Menurut
Friedman,
kultur
hukum
yaitu,
opini-opini,
kepercayaan-kepercayaan (keyakinan-keyakinan) kebiasaan-kebiasaan,
cara berpikir, dan cara bertindak, baik dari para penegak hukum
maupun dari warga masyarakat, tentang hukum dan berbagai fenomena
yang berkaitan dengan hukum (Achmad Ali, 2009: 204).
Menurut Friedman, aspek kultural melengkapi aktualisasi suatu
sistem hukum, yang menyangkut dengan nilai-nilai, sikap, pola
perilaku para warga masyarakat dan faktor nonteknis yang merupakan
pengikat sistem hukum tersebut. Wibawa hukum melengkapi
kehadiran dari faktor-faktor non teknis dalam hukum. Wibawa hukum
memperlancar bekerjanya hukum sehingga perilaku orang menjadi
positif terhadap hukum. Wibawa hukum tidak hanya berkaitan dengan
hal-hal yang rasional, tetapi lebih daripada itu mengandung unsurunsur spiritual, yaitu kepercayaan. Kewibawaan hukum dapat
dirumuskan sebagai suatu kondisi psikologis masyarakat yang
menerima dan menghormati hukumnya.
commit to user
82
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Menurut Friedman budaya hukum diterjemahkan sebagai
sikap-sikap dan nilai-nilai yang berhubungan dengan hukum dan
lembaganya, baik secara positif, maupun negatif. Jika masyarakat
mempunyai nilai nilai yang positif, maka hukum akan diterima dengan
baik, sebaliknya jika negatif, masyarakat akan menentang dan
menjauhi hukum dan bahkan menganggap hukum tidak ada.
Membentuk undang-undang memang merupakan budaya hukum.
Tetapi mengandalkan undang-undang untuk membangun budaya
hukum yang berkarakter tunduk, patuh dan terikat pada norma hukum
adalah jalan pikiran yang setengah sesat. Budaya hukum bukanlah
hukum. Budaya hukum secara konseptual adalah soal-soal yang ada di
luar hukum.
Budaya hukum berpengaruh terhadap pola pikir masyarakat,
dalam hal ini budaya hukum akibat hamil diluar nikah yang kerap
terjadi
dalam
kehidupan
masyarakat.
Biasanya
masyarakat
menggunakan penyelesaian dengan cara melangsungkan perkawinan
antara wanita hamil tersebut dengan laki-laki yang menghamilinya
tanpa menunggu kelahiran anak yang dikandung. Cara ini bertujuan
untuk menutup aib agar tidak diketahui masyarakat luas (Nurul Huda,
2009: 42-43).
Adanya pasal 7 ayat 2 mengenai dispensasi pernikahan,
seolah-olah memberikan angin segar bagi para pelaku hubungan seks
diluar nikah yang kerap terjadi dalam kehidupan masyarakat,
khususnya di Sukoharjo sekarang ini. Sebab dengan adanya aturan
tersebut, menjadikan pola pikir masyarakat akan perbuatan hubungan
seks diluar nikah. Bukan merupakan sesuatu yang menakutkan atau
mengkhawatirkan lagi. Sebab secara yuridis dilindungi oleh undangundang, apabila pelaku hubungan seks tersebut mengajukan dispensasi
ke pengadilan agama dan diterima dengan sebuah penetapan.
Dengan demikian, aturan yang pada awalnya dibuat sebagai
commit
to user perzinaan disebabkan karena
solusi untuk mencegah
terjadinya
83
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
banyaknya remaja di bawah umur yang menurut undang-undang belum
diperbolehkan melangsungkan pernikahan, melakukan pacaran pada
era sekarang ini. Justru disalahgunakan oleh masyarakat untuk
mendapatkan suatu kepastian hukum dan legalisasi perbuatan yang
awalnya haram dan melanggar pidana, seolah-olah menjadi perbuatan
yang baik dengan jalan pernikahan, yang dilatarbelakangi oleh hamil
sebelum nikah. Pola pikir yang keliru inilah yang menjadikan
kebanyakan masyarakat mengarah pada pengajuan dispensasi ke
Pengadilan Agama apabila terjadi kehamilan akibat hubungan diluar
nikah. Sehingga hal tersebut menjadi salah satu faktor yang
menyebabkan pasal 7 ayat 2 ini menjadi efektif dalam rangka
mendapatkan kepastian hukum bagi pelaku kawin hamil akibat
hubungan diluar nikah.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah penulis
lakukan, dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Faktor penyebab peningkatan dispensasi di pengadilan agama sukoharjo,
yaitu faktor pergaulan bebas remaja yang berdampak pada hubungan seks
diluar nikah, faktor masyarakat yang kurang memahami mengenai undangundang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan hukum perkawinan
islam, faktor perkembangan teknologi sarana telekomunikasi dan
informasi yang disalahgunakan oleh masyarakat, faktor ekonomi yang
lemah dan faktor kurangnya pendidikan.
2. Dampak dispensasi pengadilan agama terhadap kehidupan sosial
masyarakat di sukoharjo, meliputi dampak positif dan negatif. Adapun
dampak positifnya yaitu, sebagai solusi untuk mengatasi keresahan dalam
masyarakat akibat hamil diluar nikah, yang terjadi pada anak di bawah
umur dalam melakukan perkawinan,dan untuk mendapatkan kepastian
hukum bagi pelaku kawin hamil. Sedangkan dampak negatif akibat
dispensasi nikah yaitu, terjadinya kekerasan dalam rumah tangga akibat
belum matangnya kondisi psikologis pasangan suami isteri dalam
membina hubungan rumah tangga, indikasi peningkatan perceraian
pasangan usia muda, berpotensi melanggar hak-hak anak, terutama bagi
anak perempuan
3. Efektivitas Pasal 7 Ayat 2 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang
mengatur mengenai dispensasi pernikahan yang berkaitan dengan
hubungan diluar nikah dalam mendapatkan suatu kepastian hukum
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
a. Faktor Struktur hukum
Adanya lembaga yang menjadi wadah dalam mengajukan
commit
to user
dispensasi, dalam hal ini
adalah
Pengadilan Agama dan KUA sebagai
84
85
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pencatat pernikahan. Sehingga menyebabkan semakin mudahnya,
pelaku hubungan diluar nikah yang belum cukup umur dalam
melangsungkan pernikahan, mengajukan dispensasi ke pengadilan
agama guna mendapatkan kepastian hukum dalam melangsungkan
pernikahan.
Apabila terdapat sarana yang memadai, serta mudahnya para
aparat, dalam hal ini hakim atau petugas pengadilan dan pegawai
pencatat pernikahan. Memberikan kemudahan dalam mengajukan
dispensasi, maka hal tersebut dapat menyebabkan peningkatan
dispensasi yang terjadi selama ini, baik di Sukoharjo maupun diseluruh
wilayah Indonesia.
b. Faktor Substantif hukum
Faktor substantif berpengaruh terhadap efektivitas pasal 7 ayat
2 yang mengatur mengenai dispensasi pernikahan. Karena dalam hal
ini undang-undang memperbolehkan adanya perkawinan di bawah
umur, meskipun tidak terdapat batasan mengenai kawin hamil yang
dilakukan. Sehingga hal tersebut menyebabkan pelaku hubungan diluar
nikah yang belum cukup umur dalam melangsungkan pernikahan,
berbondong-bondong ke pengadilan agama untuk mengajukan
dispensasi, guna mendapatkan kepastian hukum dalam melangsungkan
pernikahan.
Akibat dari adanya aturan hukum yang memperbolehkan
dispensasi, maka menyebabkan peningkatan dispensasi yang terjadi di
pengadilan agama. Hal tersebut terjadi karena aturan tersebut terdapat
dalam
undang-undang,
dan
undang-undang
memperbolehkan
pernikahan di bawah umur.
c. Faktor Kultur Hukum
Adanya pasal 7 ayat 2 mengenai dispensasi pernikahan,
menjadikan pola pikir masyarakat akan perbuatan hubungan seks
diluar nikah. Bukan merupakan sesuatu yang menakutkan atau
user yuridis dilindungi oleh undangmengkhawatirkan lagi.commit
Sebab tosecara
86
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
undang, apabila pelaku hubungan seks tersebut mengajukan dispensasi
ke pengadilan agama dan diterima dengan sebuah penetapan.
Dengan demikian, aturan yang pada awalnya dibuat sebagai
solusi untuk mencegah terjadinya perzinaan disebabkan karena
banyaknya remaja di bawah umur yang menurut undang-undang belum
diperbolehkan melangsungkan pernikahan, melakukan pacaran pada
era sekarang ini. Justru disalahgunakan oleh masyarakat untuk
mendapatkan suatu kepastian hukum dan legalisasi perbuatan yang
awalnya haram dan melanggar pidana, seolah-olah menjadi perbuatan
yang baik dengan jalan pernikahan, yang dilatarbelakangi oleh hamil
sebelum nikah.
Pola pikir yang keliru tentang dispensasi, mengakibatkan
masyarakat memandang bahwa dispensasi Pengadilan Agama, sebagai
solusi terakhir dalam mendapatkan kepastian hukum dalam melakukan
pernikahan yang disebabkan kehamilan akibat hubungan diluar nikah.
Sehingga hal tersebut menjadi salah satu faktor yang menyebabkan
pasal 7 ayat 2 ini menjadi efektif dalam rangka mendapatkan kepastian
hukum bagi pelaku kawin hamil akibat hubungan diluar nikah.
B. Saran
Dari hasil penelitian dan pembahasan, beberapa saran dapat penulis
sampaikan sebagai berikut :
1. Sebaiknya perlu ditegakkan hukum secara tegas tentang penerapan pasal
287 KUHP untuk menjerat pelaku perzinaan bagi kalangan remaja, yang
makin marak terjadi akhir-akhir ini di seluruh Indonesia dan di Sukoharjo
pada khususnya. Untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku perzinaan yang
dilakukan oleh para remaja yang belum cukup umur dalam melakukan
pernikahan. Agar pernikahan di bawah umur tidak semakin marak terjadi,
sehingga mengurangi peningkatan dispensasi pernikahan di Pengadilan
Agama.
commit to user
87
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Perlunya peran serta pemerintah dan masyarakat untuk memberikan
bimbingan moral, serta penyuluhan di sekolah-sekolah mulai dari kelas 3
(tiga) SMP sampai dengan kelas 3 (tiga) SMU. Mengenai bahaya
hubungan seks diluar nikah beserta dampak negatifnya guna mencegah
terjadinya pernikahan dini. Maupun bimbingan moral serta penyuluhan
dilingkungan masyarakat sekitar kepada para remaja saat ini tentang
bahaya hubungan seks diluar nikah yang kerap terjadi selama ini. Sehingga
dispensasi pernikahan tidak berdampak buruk bagi masyarakat yang
dilatarbelakangi hamil diluar nikah.
3. Peraturan yang ada dalam undang-undang perkawinan seharusnya perlu
diperbaiki pasal-pasalnya, karena dalam pasalnya masih terdapat
ketidaksesuaian antara aturan yang satu dengan aturan yang lain. Dalam
hal ini Pasal 7 ayat 1 dengan pasal 7 ayat 2. Sebaiknya dalam pasal 7 ayat
2 yang mengatur mengenai dispensasi pernikahan, diberikan batasan bagi
calon yang akan melakukan pernikahan tidak boleh dilatarbelakangi oleh
kehamilan diluar nikah terlebih dahulu. Karena pada dasarnya kehamilan
yang disebabkan karena hamil diluar nikah bertentangan dengan pasal 1
ayat 1 dalam Undang-Undang itu sendiri. Seharusnya pernikahan bersifat
sakral, namun akibat dilatarbelakangi kehamilan terlebih dahulu
menyebabkan perkawinan itu sendiri terkesan dilakukan secara terpaksa
akibat hamil terlebih dahulu. Sehingga dalam hal ini Penulis
menganjurkan, agar aturan yang dibuat oleh pembuat peraturan benarbenar bisa dilakukan secara efektif, tanpa adanya pertentangan terhadap
aturan yang lain.
commit to user
Download