perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id DISPENSASI NIKAH UNTUK MENDAPATKAN KEPASTIAN HUKUM BAGI PELAKU HUBUNGAN DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA SUKOHARJO (Studi Efektivitas Pasal 7 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dalam Perspektif Sosiologi Hukum) Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh Rio Andi Kurniawan NIM. E0008072 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012 commit to user i perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user iii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user iv perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id MOTTO 1. Lupakan masa lalu, jelang hari esok yang lebih baik. 2. Jangan merasa rendah diri karena menempuh jalan yang benar walaupun sedikit orang yang menempuhnya, dan kamu jangan tertipu dengan yang bathil walaupun banyak orang yang mengamalkannya. 3. Tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan, selama ada komitmen untuk menyelesaikannya. commit to user v perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id PERSEMBAHAN Skripsi ini kupersembahkan untuk: 1. Allah SWT atas segala rahmat, nikmat, rizki dan hidayahNYA. 2. Bapak, Ibu, dan keluarga yang selalu memberi dukungan dan kepercayaan yang diberikan. 3. Sahabat-sahabat saya yang selalu memberikan dukungan dan doa yang begitu besar. 4. Dan untuk semua yang telah memberikan semangat dan bantuan hingga skripsi ini terwujud. 5. Pembaca yang budiman. 6. Almamater. commit to user vi perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id ABSTRAK Rio Andi Kurniawan, E0008072. 2012. DISPENSASI NIKAH UNTUK MENDAPATKAN KEPASTIAN HUKUM BAGI PELAKU HUBUNGAN DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA SUKOHARJO (Studi Efektivitas Pasal 7 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dalam Perspektif Sosiologi Hukum). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Tujuan Penelitian ini adalah mendeskripsikan serta mengkaji dan menjawab permasalahan mengenai faktor penyebab peningkatan dispensasi nikah di Pengadilan Agama Sukoharjo, dampak dispensasi Pengadilan Agama terhadap kehidupan sosial masyarakat di Sukoharjo, serta efektivitas Pasal 7 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974 yang mengatur mengenai dispensasi pernikahan yang berkaitan dengan hubungan diluar nikah dalam mendapatkan suatu kepastian hukum. Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum empiris yang bersifat deskriptif. Penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer didapat dari hasil observasi dan wawancara. Sedangkan data sekunder berasal dari studi kepustakaan terhadap undang-undang, arsip, buku dan dokumen lain terkait dengan penelitian yang diteliti. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan adalah dengan cara observasi, wawancara dan studi kepustakaan. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan kesimpulan bahwa faktor penyebab peningkatan dispensasi di Pengadilan Agama Sukoharjo disebabkan oleh beberapa faktor antara lain pergaulan bebas, kurang pemahaman terhadap undang-undang perkawinan, serta semakin berkembangnya teknologi komunikasi yang disalahgunakan, faktor ekonomi yang lemah dan faktor kurangnya pendidikan. Dampak dispensasi adalah sebagai solusi untuk mengatasi keresahan dalam masyarakat akibat hamil diluar nikah, untuk mendapatkan kepastian hukum bagi pelaku kawin hamil, terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, indikasi peningkatan perceraian pasangan usia muda, berpotensi melanggar hak-hak anak. Penerapan pasal 7 ayat 2 Undang-Undang perkawinan pada kehidupan masyarakat di Sukoharjo, berlaku efektif guna mendapatkan kepastian hukum bagi pelaku kawin hamil. Kata kunci: Dispensasi, Pernikahan, Kawin Hamil commit to user vii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id ABSTRACT Rio Andi Kurniawan, E0008072. 2012. MARRIAGE DISPENSATION TO OBTAIN LAW CERTAINTY FOR THE ACTOR OF OUT-OF-MARRIAGE RELATION IN SUKOHARJO RELIGION COURT (A Study on the Effectiveness of Article 7 Clause 2 of Act Number 1 of 1974 about Marriage in Legal Sociological Perspective). Faculty of Law of Sebelas Maret University. The objective of research was to describe as well as to study and to answer the problem of the factors resulting in increased marriage dispensation in Sukoharjo Religion Court, the effect of Religion Court‟s dispensation on the Sukoharjo people‟s social life, as well as the effectiveness of Article 7 Clause 2 of Act Number 1 of 1974 governing the marriage dispensation in relation to the out-of-marriage relation in obtaining a law certainty. This study belonged to an empirical law research that was descriptive in nature. This research included primary and secondary data. The primary data was obtained from observation and interview result. Meanwhile the secondary data derived from library study on law, archive, book and other document relevant to the research studied. Techniques of collecting data used were observation, interview, and library study. Based on the result of research and discussion, it could be concluded that the factors causing the increased dispensation in Sukoharjo Religion Court were free-sex, less knowledge on marriage act, communication technology development misusage, weak economic factor, and low education factor. The effect of dispensation was as the solution to cope with people anxiety due to out-of-marriage pregnancy, to get law certainty for the pregnant marrying actor, and domestic violence incidence, indication of increased divorce rate among young couples, potential violation against the child‟s rights. The application of article 7 clause 2 of Marriage Act to the Sukoharjo people was enacted effectively in order to get law certainty for the pregnant marrying actor. Keywords: Dispensation, Marriage, Pregnant Marrying. commit to user viii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penyusunan skripsi yang berjudul “DISPENSASI NIKAH UNTUK MENDAPATKAN KEPASTIAN HUKUM BAGI PELAKU HUBUNGAN DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA SUKOHARJO (Studi Efektivitas Pasal 7 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dalam Perspektif Sosiologi Hukum)”, dapat terselesaikan. Skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam rangka memperoleh gelar kesarjanaan pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulis menyadari skripsi ini dari awal hingga akhir tidak terlepas dari bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, karena itu dengan kerendahan hati penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S, selaku Rektor Universitas Sebelas Maret. 2. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M. Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. 3. Bapak H. Mohammad Adnan. S.H., M. Hum., selaku Ketua Bagian Hukum dan Masyarakat. 4. Bapak Bambang Joko S, S.H, M.H selaku Dosen Pembimbing Utama dalam Skripsi ini yang selalu sabar serta memberikan pengarahan dan kemudahan dalam menyelesaikan skripsi ini. 5. Bapak Mulyanto, S.H, M.Hum selaku Dosen Co. Pembimbing skripsi, yang selalu teliti dalam memberikan pengarahan guna menyelesaikan proposal skripsi Penulis. 6. Bapak Sutapa Mulya Widada, S.H., M. Hum selaku pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan kepada penulis selama menjalani kuliah di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. commit to user ix perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 7. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan kepada Penulis. 8. Karyawan dan Staff Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah membantu kelancaran perkuliahan. 9. Bapak Drs. Munjid Lughowi selaku Hakim di Pengadilan Agama Sukoharjo yang selalu memberikan pengarahan selama proses peneltian di Pengadilan Agama Sukoharjo. 10. Kedua orang tua yaitu, Bapak Hartadi dan Ibu Nanik Hastuti yang selalu memberi doa dan dukungan 11. Segenap teman-teman DPR “Army” yang selalu memberikan kritik, saran, serta masukan guna menyelesaikan skripsi ini. 12. Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, semoga Allah SWT membalas kebaikan pada kita semua. Amin. Penulis menyadari bahwa suatu nilai kesempurnaan hanya milik Allah SWT, maka dengan Penuh keikhlasan Penulis akan merasa sangat berbahagia apabila terdapat kritik maupun saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat menjadi momentum awal yang bermanfaat bagi perkembangan disiplin ilmu, terutama dalam bidang Ilmu Hukum serta tegaknya hukum di Indonesia. Surakarta, 12 Juli 2012 RIO ANDI KURNIAWAN NIM. E0008072 commit to user x perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1 : Perkara Dispensasi Nikah Pada Tahun 2007-2011 Pengadilan Agama Sukoharjo…………………………………………………………...51 Tabel 2 : Jumlah Perkara Perceraian yang Sudah Diputus Di Pengadilan Agama Sukoharjo Dari Tahun 2007-2011………………………….66 commit to user xi perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1 : Skema Model Analisis Kualitatif.....................................13 Gambar 2 : Kerangka Pemikiran........................ ……………………….37 Gambar 3 : Perkara Dispensasi Nikah Pada Tahun 2007-2011………...52 commit to user xii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1: Penetapan Perkara No: 17/Pdt.P/2010/PA. Skh Lampiran 2: Penetapan Perkara No: 25/Pdt.P/2011/PA. Skh commit to user xiii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL………………………………………………………………… i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING…………………………………….. ii HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………………........ iii HALAMAN PERNYATAAN……………………………………………………… iv HALAMAN MOTTO………………………………………………………………. v HALAMAN PERSEMBAHAN…………………………………………………….. vi ABSTRAK…………………………………………………………………………. vii HALAMAN KATA PENGANTAR……………………………………………….. ix DAFTAR TABEL…………………………………………………………………. xi DAFTAR GAMBAR………………………………………………………………. xii DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………………. xiii HALAMAN DAFTAR ISI………………………………………………………… xiv BAB I : PENDAHULUAN………………………………………………………. 1 A. Latar Belakang Masalah……………………………………………... 1 B. Rumusan Masalah…………………………………………………… 5 C. Tujuan Penelitian……………………………………………………. 6 D. Manfaat Penelitian…………………………………………………... 7 E. Metode Penelitian…………………………………………………… 8 F. Sistematika Penulisan Hukum……………………………………..... 14 BAB II : TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………… 16 A. Kerangka Teori……………………………………………………... 16 1. Tinjauan Umum Efektivitas Hukum…………………………… 16 2. Tinjauan Umum Kepastian Hukum……………………………. 23 3. Tinjauan Umum Mengenai Perkawinan……………………….. 24 a). Pengertian Perkawinan……………………………………... 24 b). Tujuan Perkawinan…………………………………………. 25 commit to user xiv perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id c). Syarat-syarat Perkawinan………………………………….. 26 d). Asas-asas Hukum Perkawinan…………………………….. 28 e). Batasan Usia Perkawinan Menurut Al-Quran dan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan……… 30 4. Tinjauan Mengenai Dispensasi Perkawinan…………………… 32 a). Pengertian Dispensasi Kawin……………………………… 32 b). Dispensasi Pengadilan Agama Terhadap Perkawinan Di Bawah Umur……………………………………………………….. 32 5. Tinjauan Mengenai Hubungan Luar Nikah……………………. 33 6. Tinjauan Mengenai Penelitian Terdahulu Yang Relevan Terhadap Penelitian Yang Diteliti………………………………………… 35 B. Kerangka Pemikiran………………………………………………… 37 BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………………………... 39 A. Faktor Penyebab Peningkatan Permohonan Dispensasi Nikah……. 39 1. Faktor Penyebab Peningkatan Dispensasi Pernikahan Di Indonesia……………………………………………………….. 39 a). Norma Agama Tidak Mengharamkan Pernikahan Di Bawah Umur……………………………………………………….. 39 b). Kebiasaan Dan Tradisi Yang Telah Membudaya Dalam Masyarakat…………………………………………………. 41 c). Pernikahan Sebagai Jalan Keluar Dari Belenggu Keterpurukan Ekonomi Dan Beban Hidup………………………………… 42 d). Kecenderungan Berkembangnya Pergaulan Bebas Remaja… 42 2. Faktor Penyebab Peningkatan Dispensasi Pernikahan Di Sukoharjo …………………………………………………………………... 43 a). Faktor Pergaulan Bebas Remaja Yang Berdampak Pada Hubungan Seks Diluar Nikah……………...……………….. 43 commit to user xv perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id b). Faktor Masyarakat Yang Kurang Memahami Mengenai Undang-Undang Perkawinan dan Hukum Perkawinan Islam……………………………………………………….. 45 c). Faktor Perkembangan Teknologi Sarana Telekomunikasi Dan Informasi Yang Disalahgunakan Oleh Masyarakat……….. 47 d). Faktor Ekonomi Yang Lemah Dan Faktor Kurangnya Pendidikan………………………………………………… 49 B. Dampak Dispensasi Pengadilan Agama Terhadap Kehidupan Sosial Masyarakat Di Sukoharjo…………………………………………. 57 1. Dampak Positif Dispensasi Pernikahan……………………….. 57 a). Solusi Untuk Mengatasi Keresahan Dalam Masyarakat Akibat Hamil Diluar Nikah……………………………………….. 57 b). Untuk Mendapatkan Kepastian Hukum Bagi Pelaku Kawin Hamil ……………………………………………………… 57 2. Dampak Negatif Dispensasi Pernikahan……………………….. 64 a). Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga……………… 64 b). Indikasi Peningkatan Perceraian Pasangan Muda………….. 65 c). Berpotensi Melanggar Hak-Hak Anak, Terutama Bagi Anak Perempuan………………………………………………….. 67 C. Efektivitas Pasal 7 Ayat 2 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Yang Mengatur Mengenai Dispensasi Pernikahan Yang Berkaitan Dengan Hubungan Diluar Nikah Dalam Mendapatkan Suatu Kepastian Hukum…………………………………………………………….. 69 1. Terjadi Disharmonisasi Antara Undang-Undang Perkawinan Dengan Undang-Undang Perlindungan Anak………………… 69 2. Ketidakjelasan Rumusan Dispensasi Pernikahan……………… 70 3. Efektivitas Pasal 7 Ayat 2 Mengenai Dispensasi Pernikahan… 73 commit to user xvi perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB IV : PENUTUP……………………………………………………………. 84 A. Simpulan………………………………………………………….. 84 B. Saran………………………………………………………………. 86 DAFTAR PUSTAKA commit to user xvii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fenomena mengenai hubungan seks diluar nikah kian hari semakin marak terjadi dalam kehidupan masyarakat, berdasarkan pada penelitian di berbagai kota besar di Indonesia. Pada tahun 2005-2006 di kota-kota besar seperti Jabotabek, Medan, Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Makassar, berkisar 47,54 persen remaja mengaku melakukan hubungan seks sebelum nikah. Namun, hasil survey terakhir tahun 2008 meningkat menjadi 63 persen. Sementara dari data survey Kesehatan Reproduksi Remaja usia (15-19 tahun) oleh Badan Pusat Statistik. Pada tahun 2009 perilaku remaja terhadap kesehatan reproduksi menunjukkan fakta yang mencengangkan. Data tersebut menyebutkan bahwa dari 10.833 remaja laki-laki yang disurvei, 72 persen diantaranya mengaku sudah berpacaran. Dan dari 72 persen itu diperoleh data 10,2 persen mengaku telah melakukan hubungan seks (seks di luar nikah). 62 persen mengaku telah melakukan petting. Sedang dari hasil survei terhadap 8.340 remaja putri diperoleh data 6,3 persen mengaku telah melakukan hubungan seks bebas dengan pacarnya. 63 persen mengaku telah melakukan petting. Dan dari hasil survey tersebut diketahui bahwa kategori pelajar yang telah berpacaran mayoritas telah melakukan kissing (berciuman). Ada pula yang lebih suka berpegang-pegangan tangan ataupun menyentuh bagian tubuh tertentu yang sensitive (Kompasiana, http://edukasi .kompasiana. com /2011/09/14/ sekolah-perlu-ajarkan-seks/). Hal serupa didapat, dari data Komisi Nasional Perlindungan Anak tahun 2008. Dari 4.726 responden siswa SMP dan SMA di 17 kota besar diperoleh hasil, 97 persen remaja pernah menonton film porno serta 93,7 persen pernah melakukan ciuman, meraba kemaluan, ataupun melakukan seks oral. Sebanyak 62,7 persen remaja SMP tidak perawan dan 21,2 persen remaja mengaku pernah aborsi. Perilaku seks bebas pada remaja terjadi di kota dan commit to user desa pada tingkat ekonomi kaya dan miskin (BKKBP, 1 2 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id http://www.bkkbn.go.id/ berita /Pages /Program-PKBR-Antisipasi-Seks- Bebas-Pada-Remaja.aspx). Perzinaan yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat pelakunya kebanyakan dari kalangan remaja. Hal tersebut dapat dicermati berdasarkan hasil riset dari penelitian yang telah dilakukan oleh KOMNAS Perlindungan Anak (2007) ataupun Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) (2010), mengenai perilaku remaja yang melakukan hubungan seks pra nikah, menunjukkan kecenderungan meningkat. Data hasil riset Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) misalnya, mengatakan bahwa separuh remaja perempuan lajang yang tinggal di wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi telah kehilangan keperawanan dan mengaku pernah melakukan hubungan seks sebelum menikah, bahkan tidak sedikit yang mengalami kasus hamil di luar nikah. Ironisnya temuan serupa ternyata juga terjadi di kota-kota besar lainnya seperti Surabaya, Medan, Bandung, dan Yogyakarta (Andy, http://kickandy.com/theshow /1/1202/read /ancaman-seksbebas-dikalangan-remaja.html). Hasil senada juga ditunjukkan oleh riset yang dilakukan oleh Yayasan Kita dan Buah Hati (YKB) selama tahun 2010. Pada awalnya riset YKB lebih ke arah kesiapan anak menghadapi masa pubertasnya.Tetapi hal mengejutkan terjadi ketika YKB menemukan bahwa anak-anak (SD kelas 4 dan 5) justru memberikan informasi mengenai sejauh mana mereka telah mengetahui tentang pornografi, dan itu sangat tidak terbayangkan sebelumnya oleh para relawan YKB. Kecenderungan perilaku seks bebas dikalangan usia 13 hingga 18 tahun ini tentu saja membawa dampak tidak hanya pada rentannya kesehatan alat reproduksi, selain meningkatnya kasus penularan penyakit infeksi HIV/AIDS, tetapi juga tingginya jumlah kasus kehamilan di luar nikah yang memicu masalah lain (Andi,http://kickandy.com/theshow /1/1/2026 /read/ancaman-seks-bebas-di-kalangan-remaja .html). Fenomena mengenai hubungan seks di luar nikah tidak hanya terjadi di kota-kota besar seperti kawasan Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi commit Bandung, to user (Jabodetabek), Surabaya, Medan, dan Yogyakarta. Fenomena perpustakaan.uns.ac.id 3 digilib.uns.ac.id tersebut juga terdapat di Kabupaten Sukoharjo. Hal ini memicu naiknya perkara dispensasi pernikahan yang masuk di Pengadilan Agama Sukoharjo. Hal Tersebut di dukung oleh data yang diperoleh di Pengadilan Agama Sukoharjo dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2011. Perkara yang masuk pada tahun 2007 dan 2008 hanya ada 9 dan 8 kasus saja, namun pada tahun 2009 dan 2010 mencapai 22 dan 21 kasus. Dan pada tahun 2011 terjadi peningkatan yang sangat drastis mencapai 44 kasus dalam jangka waktu satu tahun. Maka daripada itu pendidikan moral untuk menanggulangi kasus-kasus tersebut perlu di terapkan yang dimulai dalam kehidupan keluarga dan masyarakat disekitar kita. Dalam KUHP sesungguhnya sudah diatur mengenai larangan perzinaan. Ketentuan tersebut diatur dalam pasal 284 KUHP, adapun yang dimaksud dengan zina adalah hubungan seksual atau persetubuhan di luar perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan yang kedua-duanya atau salah satunya masih terikat dalam perkawinan dengan orang lain (Neng Djubaedah, 2010: 65). Adapun dalam pasal yang lain, juga mengatur ketentuan mengenai perzinaan, ketentuan tersebut terdapat dalam pasal 287 KUHP. Dalam Pasal 287 KUHP, seseorang dapat dikategorikan sebagai pelaku zina, yaitu terhadap orang yang melakukan persetubuhan di luar perkawinan dengan seorang perempuan, yang diketahuinya atau sepatutnya harus di duga olehnya, bahwa perempuan bersangkutan belum berumur 15 (lima belas) tahun. Jika usia perempuan tersebut tidak jelas, maka dapat diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa perempuan tersebut belum waktunya untuk dinikahi (Neng Djubaedah, 2010: 66). Selain ketentuan hukum positif di atas, juga terdapat ketentuan hukum lain yang hidup dalam masyarakat, mengenai larangan perzinaan yang diatur dalam hukum islam. Islam mengajarkan bahwa perbuatan zina merupakan perbuatan amoral, munkar dan berakibat sangat buruk bagi pelaku dan masyarakat, sehingga Allah mengingatkan agar hambanya terhindar dari perbuatan tersebut. Hal ini ditegaskan dalam Firman-Nya “Dan janganlah commit zina to user kamu mendekati zina, sesungguhnya itu adalah suatu perbuatan yang keji perpustakaan.uns.ac.id 4 digilib.uns.ac.id dan suatu jalan yang buruk”(Q.S Al Isra: 32). Hal itu dikarenakan terlalu banyak efek yang ditimbulkan dari perzinahan, baik efek psikologi, sosial maupun moral. Meskipun sudah terdapat peraturan-peraturan yang mengatur tentang larangan perzinaan, namun kasus mengenai perzinaan (hubungan seks diluar nikah) masih kerap terjadi dan tidak jarang diketemukan dalam kehidupan masyarakat di sekitar kita. Pentingnya peran serta keluarga dan masyarakat dalam memberikan pendidikan moral kepada para remaja sangatlah penting, agar dapat tercipta suatu kehidupan yang harmonis yang sesuai dengan tuntunan agama dan norma sosial yang ada di masyarakat. Sejalan dengan perkembangan kehidupan manusia, muncul suatu permasalahan yang terjadi dalam masyarakat, yaitu hamil sebelum nikah. Timbullah anak zina lalu orang tua menutup malu dengan buru-buru menikahkan, sehingga kadang-kadang ketika pengantin duduk bersanding, perut anak dara kelihatan sudah besar. Mengenai kasus kehamilan diluar nikah inilah yang menjadi problematika yang ada dalam kehidupan masyarakat, mengenai status anak yang dilahirkan dari hubungan seks diluar nikah. Guna mendapatkan kepastian hukum, serta guna menghindari akibat yang ditimbulkan yang ada dalam kehidupan masyarakat akibat dari hubungan diluar nikah. Maka, antara pelaku hubungan diluar nikah tersebut harus segera dinikahkan. Namun yang menjadi kendala dalam hal ini apabila pelaku perzinaan atau hubungan seks diluar nikah tersebut belum cukup umur untuk segera dilangsungkan pernikahan. Maka dalam hal ini dispensasi pernikahan menjadi upaya yang bisa dijadikan solusi untuk mengatasi hal tersebut untuk mendapatkan kepastian hukum bagi pelaku hubungan diluar nikah. Peradilan Agama merupakan lembaga yang berwenang dalam memberikan penetapan dispensasi nikah. Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam (Undang-Undang nomor 50 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama). Peradilan Agama merupakan peradilan khusus. commit to user Kekhususannya itu ditunjukkan oleh tiga hal, yaitu: (1) Kewenangan meliputi perpustakaan.uns.ac.id 5 digilib.uns.ac.id hukum keluarga Islam yang bersumber dari Al Qur‟an, Sunnah dan Ijtihad; (2) Kewenangannya itu hanya berlaku bagi sebagian rakyat Indonesia, yaitu mereka yang memeluk Agama Islam; dan (3) tenaga-tenaga teknis pada peradilan agama dipersyaratkan beragama Islam (Departemen Agama RI, 2000: 20). Peradilan agama seperti yang telah dijelaskan di atas diperuntukkan bagi orang-orang yang beragama Islam, dalam Hukum Islam yang berlaku bagi umat Islam di Indonesia telah disusun Peraturan Perundang-undangan, yaitu Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Meskipun telah ditentukan batas umur minimal untuk melangsungkan pernikahan, namun dalam undang-undang memperbolehkan penyimpangan terhadap syarat umur tersebut, melalui pasal 7 ayat (2) yang berbunyi: “Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan dan Pejabat lain, yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita. Sehingga yang ada berkeinginan untuk melakukan perkawinan dengan berbagai alasan kenapa perkawinan tersebut harus dilakukan, seperti calon sudah sedemkian akrabnya atau bahkan telah hamil pra nikah. Berdasarkan latar belakang di atas, maka hal-hal tersebut mendasari dan melatarbelakangi Penulis untuk menyajikan penulisan hukum dengan judul “DISPENSASI NIKAH UNTUK MENDAPATKAN KEPASTIAN HUKUM BAGI PELAKU HUBUNGAN DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA SUKOHARJO (Studi Efektivitas Pasal 7 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dalam Perspektif Sosiologi Hukum)”. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, penulis merumuskan masalah untuk mengetahui dan menegaskan masalah-masalah apa yang hendak diteliti sehingga dapat memudahkan penulis di dalam commit to user perpustakaan.uns.ac.id 6 digilib.uns.ac.id mengumpulkan, menyusun, dan mengkaji data secara lebih rinci. Adapun permasalahan yang akan dikaji penelitian ini adalah : 1. Faktor apa yang menyebabkan permohonan dispensasi nikah diajukan di Pengadilan Agama Sukoharjo meningkat? 2. Apa dampak dispensasi Pengadilan Agama terhadap kehidupan sosial masyarakat di Sukoharjo? 3. Bagaimana efektivitas Pasal 7 ayat 2 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang mengatur mengenai dispensasi pernikahan yang berkaitan dengan hubungan diluar nikah dalam mendapatkan suatu kepastian hukum? C. Tujuan Penelitian Dalam suatu kegiatan penelitian harus mempunyai tujuan yang hendak dicapai dengan jelas. Tujuan penelitian diperlukan untuk memberikan arah dalam pelaksanaan penelitian tersebut. Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Tujuan Obyektif a. Untuk mengetahui penyebab permohonan dispensasi nikah diajukan di Pengadilan Agama Sukoharjo meningkat. b. Untuk mengetahui dampak dispensasi Pengadilan Agama terhadap kehidupan sosial masyarakat di Sukoharjo. c. Bagaimana efektivitas Pasal 7 ayat 2 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang mengatur mengenai dispensasi pernikahan yang berkaitan dengan hubungan diluar nikah dalam mendapatkan suatu kepastian hukum. 2. Tujuan Subyektif a. Untuk menambah wawasan, pengetahuan, dan kemampuan penulis di bidang ilmu hukum pada umumnya, hukum dan masyarakat pada khususnya. b. Untuk menambah pengetahuan penulis dalam tata cara pengajuan permohonan dispensasi pernikahan di Pengadilan Agama Sukoharjo. commit to user 7 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id c. Untuk melatih kemampuan penulis dalam mempraktekan teori ilmu hukum, mengembangkan dan memperluas wacana pemikiran serta pengetahuan yang didapat selama masa perkuliahan guna menerapkannya di dalam kehidupan sosial di masyarakat dan di dalam praktek beracara di Pengadilan Agama. d. Untuk memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh gelar Strata1 (S1) dalam bidang ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. D. Manfaat Penelitian Salah Satu aspek dalam kegiatan penelitian yang tidak dapat diabaikan adalah mengenai manfaat penelitian. Penulis berharap hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi banyak pihak yang terkait dengan penulisan hukum ini, yaitu bagi penulis, maupun bagi pembaca dan pihak-pihak lain. Karena nilai dari sebuah penelitian ditentukan oleh besarnya manfaat yang dapat diambil dari adanya penelitian tersebut. Adapun manfaat yang penulis harapkan dari penelitian ini antara lain : 1. Manfaat Teoritis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada umumnya, Hukum dan Masyarakat pada khususnya. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan literatur kepustakaan tentang Dispensasi Nikah Untuk Mendapatkan Kepastian Hukum Bagi Pelaku Hubungan Di Luar Nikah Di Pengadilan Agama Sukoharjo (Studi Efektivitas Pasal 7 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dalam Perspektif Sosiologi Hukum). 2. Manfaat Praktis a. Penelitian membentuk ini diharapkan pola dapat pikir dinamis, commit to user mengembangkan sekaligus penalaran, mengembangkan 8 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu hukum yang diperoleh di masa perkuliahan. b. Memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti. c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan pamahaman, memberikan tambahan masukan dan pengetahuan kepada pihak-pihak terkait dengan masalah yang sedang diteliti, dan juga kepada berbagai pihak yang berminat pada permasalahan yang sama. E. Metode Penelitian Penelitian merupakan cara-cara ilmiah untuk memahami dan memecahkan masalah sehingga didapatkan kebenaran yang sifatnya kebenaran ilmiah (Muhammad Idrus, 2009: 9). Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya (Soerjono Soekanto, 2010: 43). Adapun metode yang digunakan dalam penulisan hukum dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Jenis Penelitian Pada penelitian ini penulis menggunakan penelitian yang masuk dalam kategori penelitian hukum empiris atau sosiologis. Dalam hal ini penulis menjelaskan secara deskriptif mengenai apa yang dikaji dan diteliti mengenai fenomena dispensasi pernikahan yang terjadi di Sukoharjo. Penelitian empiris adalah penelitian hukum yang data-datanya diperoleh langsung dari lapangan (Soerjono Soekanto, 2010: 52). Penelitian empiris artinya penelitian berdasarkan gejala sosial yang terjadi dalam masyarakat, yang mengharuskan penulis turun langsung ke lapangan, dalam hal ini Pengadilan Agama Sukoharjo untuk melakukan pengamatan dan menganalisis terhadap gejala sosial yang ditimbulkan oleh aturan hukum yang tidak bekarja secara maksimal dalam masyarakat. commit to user 9 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id 2. Sifat Penelitian Sifat penelitian dalam penulisan hukum ini adalah penelitian deskriptif, yang bermaksud untuk memberikan uraian mengenai suatu gejala sosial yang diteliti (Soerjono Soekanto, 2010: 10). Dalam hal ini penulis berusaha menggambarkan gejala sosial mengenai fenomena dispensasi pernikahan yang ada di Sukoharjo, dalam upaya mendapatkan kepastian hukum bagi pelaku hubungan diluar nikah untuk melakukan perkawinan. 3. Pendekatan Penelitian Penelitian empiris merupakan salah satu model penelitian kualitatif. Pada penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan kualitatif, dimana penulis akan melakukan studi kasus di Pengadilan Agama Sukoharjo. Untuk menggambarkan gejala sosial mengenai fenomena dispensasi pernikahan yang ada di Sukoharjo, dalam upaya mendapatkan kepastian hukum bagi pelaku hubungan diluar nikah untuk melakukan perkawinan. 4. Lokasi Penelitian Penelitian dalam penulisan hukum ini mengambil lokasi di Pengadilan Agama Sukoharjo. 5. Jenis dan Sumber Data Penelitian a. Jenis Data 1) Data Primer Data Primer adalah data yang langsung dan segera diperoleh dari sumber-sumber data untuk tujuan penelitian yang dilakukan dan mendapat hasil yang sebenarnya pada obyek yang diteliti. Data ini diperoleh dari wawancara Hakim di Pengadilan Agama Sukoharjo. Dimana penulis mengadakan wawancara dengan tiga Hakim di Pengadilan Agama Sukoharjo, yaitu dengan Drs. Munjid Lughowi, Drs. Makali, dan Drs. H.A. Shonhadji Ali, M.HI. Selaku ketua Pengadilan Agama Sukoharjo. Serta Pelaku commit to Dalam user hal ini penulis telah bersepakat hubungan seks diluar nikah. 10 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id untuk merahasiakan nama dan identitas pelaku guna menghormati dan menghargai pelaku. 2) Data Sekunder Data Sekunder adalah data yang tidak diperoleh secara langsung, yaitu data yang mendukung dan menunjang kelengkapan data primer melalui kepustakaan, majalah, dokumen dalam bentuk buku-buku ilmiah antara lain buku karangan Zainuddin Ali yang berjudul Sosiologi hukum, Mohammad Daud Ali yang berjudul Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan), Mohd. Idris Ramulyo yang berjudul Hukum Perkawinan Islam, Al Qur‟an, Al Hadist riwayat Imam Bukhori dan buku lain yang terkait dengan penelitian yang diteliti. b. Sumber Data 1) Sumber data primer Narasumber dalam hal ini adalah Para Hakim Pengadilan Agama Sukoharjo, yaitu Drs. Munjid Lughowi, Drs. Makali, dan Drs. H.A. Shonhadji Ali, M.HI, selaku ketua Pengadilan Agama Sukoharjo. Serta Pelaku hubungan seks diluar nikah yang mengajukan dispensasi di Pengadilan Agama Sukoharjo. Dalam hal ini penulis telah bersepakat untuk merahasiakan nama dan identitas pelaku guna menghormati dan menghargai pelaku. 2) Sumber data sekunder Jenis data yang secara langsung mendukung sumber primer yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Undang-Undang No 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam (Instruksi Presiden RI. I. Nomor 1 tahun 1991), Putusan Pengadilan tentang dispensasi pernikahan, antara lain Nomor 0025/Pdt.P/2011/PA. Skh, 0017/Pdt.P/2010/PA.Skh commit to user 11 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id dan dokumen-dokumen yang dalam hal ini berhubungan dengan obyek penelitian. 6. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian pada umumnya dikenal tiga jenis alat pengumpulan data, yaitu studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau observasi dan wawancara atau interview (Soerjono Soekanto, 2010: 21). a. Pengamatan atau observasi Merupakan teknik pengumpulan data dimana peneliti mengamati secara langsung objek yang ada di Pengadilan Agama Sukoharjo tentang segala sesuatu mengenai objek penelitian. Dalam hal ini objek yang dimaksud adalah data mengenai jumlah perkara dispensasi pernikahan yang masuk di Pengadilan Agama Sukoharjo dari tahun 2007-2011 serta beberapa putusan perceraian yang ada di pengadilan Agama Sukoharjo. b. Wawancara Metode ini merupakan suatu kegiatan pengumpulan data dengan cara mengadakan komunikasi secara langsung terhadap para Hakim Pengadilan Agama Sukoharjo guna memperoleh data, baik lisan maupun tertulis atas sejumlah keterangan dan data yang diperlukan. Hakim tersebut bernama Drs. Munjid Lughowi, Drs. Makali, dan Drs. H. A. Shonhadji Ali, M.HI, selaku ketua Pengadilan Agama Sukoharjo. Serta Pelaku hubungan seks diluar nikah. Dalam hal ini penulis telah bersepakat untuk merahasiakan nama dan identitas pelaku guna menghormati dan menghargai pelaku. c. Studi dokumen atau bahan pustaka Penulis mengumpulkan, membaca dan mengkaji dokumen, buku-buku, peraturan perundang-undangan, putusan peradilan tentang dispensasi perkawinan dan perceraian, majalah, dan bahan pustaka lainnya berbentuk data tertulis yang diperoleh di lokasi penelitian atau commit to user di tempat lain. 12 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id 7. Teknik Analisis Data Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik analisis kualitatif dengan model interaktif yaitu komponen reduksi data dan penyajian data dilakukan bersama dengan pengumpulan data, kemudian setelah data terkumpul maka tiga komponen tersebut berinteraksi, dan bila kesimpulan dirasakan kurang maka perlu ada verifikasi dan penelitian kembali mengumpulkan data di lapangan (HB. Sutopo, 2002: 8). Selain itu dilakukan pula suatu proses siklus antara tahap-tahap tersebut sehingga data yang terkumpul akan berhubungan satu dengan yang lainnya secara sistematis (HB. Sutopo, 2002: 96). Menurut Heribertus Sutopo, Ketiga komponen tersebut adalah: a. Reduksi Data Kegiatan yang bertujuan untuk mempertegas, memperpendek, membuat fokus, membuang hal-hal yang tidak penting yang muncul dari catatan dan pengumpulan data. Dalam hal ini Penulis memilih data perkara dispensasi yang masuk di Pengadilan Agama Sukoharjo dari tahun 2007 sampai tahun 2011. Karena untuk memfokuskan penelitian pada efektivitas pasal 7 ayat 2 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan. Membuang hal-hal yang tidak penting yang muncul dari catatan dan pengumpulan data, seperti tidak mencantumkan data dispensasi yang ditolak oleh pengadilan agama. Karena yang menjadi pokok pembahasan penelitian, yaitu mengenai penyebab peningkatan dispensasi berdasarkan perkara yang masuk, diterima dan sudah diputus oleh Pengadilan Agama Sukoharjo, dampak dispensasi, serta efektivitas dari pasal 7 ayat 2 yang menjelaskan tentang kebolehan mengajukan dispensasi itu sendiri. Proses ini berlangsung terus-menerus sampai laporan akhir penelitian selesai. b. Penyajian Data Merupakan informasi tentang perkara dispensasi pernikahan commit to user yang masuk dan sudah diputus oleh Pengadilan Agama Sukoharjo 13 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id yang telah terkumpul dan tersusun dalam satu kesatuan yang disederhanakan, selektif dalam konfigurasi yang mudah digunakan sehingga dapat memberi kemungkinan kesimpulan riset dapat dilaksanakan yang berupa tabel data dispensasi yang masuk dan sudah diputus. Setiap perkara yang masuk dan diputus pada tahun 20072011. Untuk menguatkan data-data tersebut perlu didukung keterangan dari Hakim Pengadilan Agama Sukoharjo, Panitera pengganti yang mencatat berkas-berkas perkara dispensasi tersebut. c. Menarik Kesimpulan Setelah memahami arti dari berbagai hal yang meliputi berbagai hal yang ditemui dengan melakukan pencatatan-pencatatan peraturan, pernyataan-pernyataan, konfigurasi-konfigurasi yang mungkin alur sebab akibat, akhirnya peneliti menarik kesimpulan (HB. Sutopo, 2002: 37). Kesimpulan tersebut mengenai efektivitas pasal 7 ayat 2 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan, dalam mendapatkan kepastian hukum bagi pelaku hubungan seks diluar nikah dalam melaksanakan pernikahan. Berikut, akan penulis berikan ilustrasi bagan dari tahap analisis data : Pengumpulan Data Reduksi Data Penyajian Data Penarikan Kesimpulan Gambar 1: Skema Model Analisis Kualitatif Dengan model analisis ini maka penulis harus bergerak diantara empat sumbu kumparan itu selama pengumpulan data, selanjutnya akan bergerak berputar dan kembali lagi diantara kegiatan reduksi, penyajian data, dan penarikan kesimpulan selama sisa waktu commit to user penelitian. perpustakaan.uns.ac.id 14 digilib.uns.ac.id F. Sistematika Penulisan Hukum Sistematika penulisan hukum bertujuan untuk memberikan gambaran secara keseluruhan tentang isi dari penelitian sesuai dengan aturan yang sudah ada dalam penulisan hukum. Sistematika penulisan dalam penelitian ini meliputi: BAB I PENDAHULUAN Bab I terdiri dari beberapa sub bab, yaitu mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan hukum (skripsi). BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini memuat kerangka teori dan kerangka pemikiran. Kerangka teori terdiri dari beberapa sub bab yaitu Tinjauan Umum Mengenai Efektivitas hukum yang meliputi pengertian efektivitas Hukum, Tinjauan Umum Mengenai Kepastian Hukum yang meliputi pengertian kepastian hukum, Tinjauan Umum Mengenai Perkawinan yang meliputi Pengertian Perkawinan, Tujuan Perkawinan, SyaratSyarat Perkawinan, Asas-asas Hukum Perkawinan, Batasan Usia Perkawinan Menurut Al-Qur‟an dan Undang-Undang Perkawinan, Tinjauan mengenai Dispensasi Perkawinan yang meliputi Pengertian Dispensasi Perkawinan, Dispensasi Pengadilan Agama terhadap Perkawinan Dibawah Umur, Tinjauan Mengenai Penelitian Terdahulu Yang Relevan Terhadap Penelitian Yang Diteliti meliputi Tinjauan Mengenai Dispensasi Kawin Karena Hubungan Luar Nikah (Studi Penetapan Hakim Di Pengadilan Agama Salatiga Tahun 2005), Skripsi. BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini penulis menjawab permasalahan yang diangkat dalam rumusan masalah mengenai faktor yang menyebabkan permohonan dispensasi nikah diajukan di Pengadilan Agama Sukoharjo meningkat, dampak dispensasi Pengadilan Agama terhadap kehidupan sosial masyarakat di Sukoharjo dan efektivitas Pasal 7 ayat 2 Undang-Undang to user No. 1 Tahun 1974 yangcommit mengatur mengenai dispensasi pernikahan yang 15 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id berkaitan dengan hubungan diluar nikah dalam mendapatkan suatu kepastian hukum. BAB IV PENUTUP Dalam bab ini Penulis mengemukakan mengenai kesimpulan yang telah diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan, serta mengemukakan saran dari penulis yang relevan terhadap permasalahan yang diteliti. DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Efektivitas Hukum Bila membicarakan efektivitas hukum dalam masyarakat berarti membicarakan daya kerja hukum itu dalam mengatur dan atau memaksa masyarakat untuk taat terhadap hukum. Efektivitas hukum yang di maksud berarti mengkaji kembali hukum yang harus memenuhi syarat, yaitu berlaku secara yuridis, berlaku secara sosiologis dan berlaku secara filosofis. Oleh karena itu faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hukum itu berfungsi dalam masyarakat yaitu: a) Kaidah Hukum Dalam teori Ilmu hukum dapat dibedakan tiga macam hal mengenai berlakunya hukum sebagai kaidah. Hal itu diungkapkan sebagai berikut (Zainuddin Ali, 2006: 62): 1) Kaidah hukum berlaku secara yuridis apabila penentuannya didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi tingkatannya atau terbentuk atas dasar yang telah ditetapkan; 2) Kaidah hukum berlaku secara Sosiologis apabila kaidah tersebut efektif artinya kaidah dimaksud dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh warga masyarakat (teori Kekuasaan). Atau kaidah itu berlaku karena adanya pengakuan dari masyarakat; 3) Kaidah hukum berlaku secara filosofis yaitu sesuai dengan cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi. Jika dikaji secara mendalam, agar hukum itu berfungsi maka setiap kaidah hukum harus memenuhi ketiga macam unsur diatas, sebab: (1) bila kaidah hukum hanya berlaku secara yuridis, ada kemungkinan kaidah itu merupakan kaidah mati; (2) kalau hanya commit to user berlaku secara sosiologis dalam arti teori kekuasaan, maka kaidah itu 16 17 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id menjadi aturan pemaksa; (3) apabila hanya berlaku secara filosofis , kemungkinan kaidah itu hanya merupakan hukum yang dicita-citakan (ius constituendum) (Zainuddin Ali, 2006: 62). b) Penegak Hukum Dalam hal ini akan dilihat apakah para penegak hukum sudah betul-betul melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan baik, sehingga dengan demikian hukum akan berlaku secara efektif dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, para penegak hukum tentu saja harus berpedoman pada peraturan tertulis, yang dapat berupa peraturan perundang–undangan, peraturan pemerintah dalam aturan-aturan lainnya yang sifatnya mengatur, sehingga masyarakat mau atau tidak mau, suka atau tidak suka harus patuh pada aturan–aturan yang dijalankan oleh para penegak hukum karena berdasarkan pada aturan hukum yang jelas. Namun dalam kasus-kasus tertentu, penegak hukum dapat melaksanakan kebijakan-kebijakan yang mungkin tidak sesuai dengan peraturan-peraturan yang ada dengan pertimbangan–pertimbangan tertentu sehingga aturan yang berlaku dinilai bersifat fleksibel dan tidak terlalu bersifat mengikat dengan tidak menyimpang dari aturan– aturan yang telah ditetapkan. c) Sarana atau Fasilitas Fasilitas atau sarana amat penting untuk mengefektifkan suatu aturan tertentu. Ruang lingkup sarana dimaksud, terutama sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor pendukung. Memang sering terjadi bahwa suatu peraturan sudah difungsikan, padahal fasilitasnya belum tersedia lengkap. Peraturan yang semula bertujuan untuk memperlancar proses, malahan mengakibatkan terjadinya kemacetan. Ada baiknya, apabila hendak menerapkan suatu peraturan secara resmi ataupun memberikan tugas kepada petugas, dipikirkan mengenai fasilitas-fasilitas yang berpatokan kepada: (1) apa yang to user sudah ada, dipelihara commit terus agar setiap saat berfungsi; (2) apa yang 18 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id belum ada perlu diadakan dengan memperhitungkan jangka waktu pengadaannya; (3) apa yang kurang, perlu dilengkapi; (4) apa yang telah rusak, diperbaiki atau diganti; (5) apa yang macet dilancarkan; (6) apa yang telah mundur, ditingkatkan (Zainuddin Ali, 2006: 64). d) Warga Masyarakat Salah satu faktor yang mengefektifkan suatu peraturan adalah warga masyarakat. Kesadarann untuk mematuhi suatu peraturan perundang-undangan, kerap disebut derajat kepatuhan. Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa derajat kepatuhan masyarakat terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan. Sebagai contoh dapat diungkapkan sebagai berikut. 1) Apabila derajat kepatuhan terhadap peraturan rambu-rambu lalu lintas adalah tinggi maka peraturan lalu lintas yang dimaksud, pasti akan berfungsi, yaitu mengatur waktu penyeberangan pada persimpangan jalan. Oleh karena itu, bila rambu-rambu lalu lintas warna kuning menyala, para pengemudi diharapakan memperlambat laju kendaraannya. Namun bila terjadi sebaliknya, kendaraan yang dikemudikan makin dipercepat lajunya atau tancap gas, besar kemungkinan akan terjadi tabrakan. 2) Bagi orang Islam Indonesia termasuk warga masyarakat Islam yang mendiami kota Palu, tahu dan paham tentang Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat. Undang-undang dimaksud, lahir dari adanya ajaran Islam yang mewajibkan berzakat bagi setiap muslim yang mempunyai penghasilan, baik penghasilan dari pekerjaan profesi sebagai pegawai negeri, pejabat struktural, maupun pejabat fungsional. Namun demikian, masih ditemukan pegawai negeri sipil dimaksud, mengeluarkan zakatnya tanpa melembaga. Artinya orang Islam dimaksud, memberikan zakat kepada orang yang dianggap berhak menerimanya. Padahal baik peraturan perundang-undangan maupun ajaran Islam (Alquran commit to user agar zakat dikeluarkan melalui Surah At-Taubah: 60) menghendaki 19 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id lembaga amil zakat. Sebab, salah satu dari fungsi sosial zakat adalah pemenuhan hak bagi delapan golongan yang berhak menerima zakat dalam mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial. Berdasarakan dua contoh di atas, persoalannya adalah (1) apabila peraturan baik, sedangkan warga masyarakat tidak mematuhinya, faktor apakah yang menyebabkan? (2) apabila peraturan itu baik serta petugas cukup berwibawa, fasilitas cukup, mengapa masih ada yang tidak mematuhi peraturan perundang-undangan? Selain masalah-masalah di atas, masih ada persoalan lain, yaitu adanya asumsi yang menyatakan bahwa semakin besar peran sarana pengendalian sosial selain hukum (agama dan adat istiadat), semakin kecil peran hukum. Oleh karena itu, hukum tidak dapat dipaksakan keberlakuannya di dalam segala hal, selama masih ada sarana lain yang ampuh. Hukum hendaknya dipergunakan pada tingkat terakhir bila sarana lainnya tidak mampu lagi untuk mengatasi masalah. Perlu kesadaran masyarakat terhadap hukum, yaitu (1) penyuluhan hukum yang teratur; (2) pemberian teladan yang baik dari petugas di dalam hal kepatuhan terhadap hukum dan respek terhadap hukum; (3) pelembagaan yang terencana dan terarah (Zainuddin Ali, 2006: 62-65). ”Keefektivan hukum adalah situasi dimana hukum yang berlaku dapat dilaksanakan, ditaati dan berdaya guna sebagai alat kontrol sosial atau sesuai tujuan dibuatnya hukum tersebut”. (Soerjono Soekanto, 1998 : 5). Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan atau keefektivan hukum: a) Faktor Hukum Dalam praktik penyelenggaraan hukum di lapangan ada kalanya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hal ini disebabkan oleh konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang commit to user 20 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id bersifat abstrak, sedangkan kepastian hukum merupakan suatu prosedur yang telah ditentukan secara normatif. Suatu kebijakan atau tindakan yang tidak sepenuhnya berdasar hukum merupakan sesuatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum. Maka pada hakikatnya penyelenggaraan hukum bukan hanya mencakup penegakan hukum saja, namun juga pemeliharaan perdamaian, karena penyelenggaraan hukum sesungguhnya merupakan proses penyerasian antara nilai kaedah dan pola perilaku nyata yang bertujuan untuk mencapai kedamaian. b) Faktor Penegakan Hukum Dalam berfungsinya hukum, mentalitas atau kepribadian petugas penegak hukum memainkan peranan penting, kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas petugas kurang baik, ada masalah. Oleh karena itu, salah satu kunci keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian penegak hukum. Mengutip pendapat J. E. Sahetapy yang mengatakan “Dalam rangka penegakan hukum dan implementasi penegakan hukum bahwa penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebijakan. Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kemunafikan. Dalam kerangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegakan hukum (inklusif manusianya) keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, harus terasa dan terlihat, harus diaktualisasikan”. c) Faktor Sarana atau Fasilitas Pendukung Faktor sarana atau fasilitas pendukung mencakup perangkat lunak dan perangkat keras, salah satu contoh perangkat lunak adalah pendidikan. Pendidikan yang diterima oleh Polisi dewasa ini cenderung pada hal-hal yang praktis konvensional, sehingga dalam banyak hal polisi mengalami hambatan di dalam tujuannya, diantaranya adalah pengetahuan tentang kejahatan komputer, dalam to user ini masih diberikan wewenang tindak pidana khususcommit yang selama 21 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id kepada jaksa, hal tersebut karena secara teknis yuridis polisi dianggap belum mampu dan belum siap. Walaupun disadari pula bahwa tugas yang harus diemban oleh polisi begitu luas dan banyak. Masalah perangkat keras dalam hal ini adalah sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor pendukung. Sebab apabila sarana fisik seperti kertas tidak ada dan karbon kurang cukup dan mesin tik yang kurang baik, bagaimana petugas dapat membuat berita acara mengenai suatu kejahatan. Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah mengemukakan bahwa bagaimana polisi dapat bekerja dengan baik, apabila tidak dilengkapi dengan kendaraan dan alat-alat komunikasi yang proporsional. Oleh karena itu, sarana atau fasilitas mempunyai peranan yang sangat penting di dalam penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut, tidak akan mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan yang aktual. d) Faktor Masyarakat Penegak hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Setiap warga masyarakat atau kelompok sedikit banyaknya mempunyai kesadaran hukum, persoalan yang timbul adalah taraf kepatuhan hukum, yaitu kepatuhan hukum yang tinggi, sedang, atau kurang. Adanya derajat kepatuhan hukum masyarakat terhadap hukum, merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan. Sikap masyarakat yang kurang menyadari tugas polisi, tidak mendukung, dan malahan kebanyakan bersikap apatis serta menganggap tugas penegakan hukum semata-mata urusan polisi, serta keengganan terlibat sebagai saksi dan sebagainya. Hal ini menjadi salah satu faktor penghambat dalam penegakan hukum. e) Faktor Kebudayaan Dalam kebudayaan sehari-hari, orang begitu sering to userKebudayaan menurut Soerjono membicarakan soal commit kebudayaan. 22 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Soekanto, mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat, yaitu mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya kalau mereka berhubungan dengan orang lain. Dengan demikian, kebudayaan adalah suatu garis pokok tentang perikelakuan yang menetapkan peraturan mengenai apa yang harus dilakukan, dan apa yang dilarang. Kelima faktor di atas, saling berkaitan dengan eratnya. Karena menjadi hal pokok dalam penegakan hukum, serta sebagai tolok ukur dari efektivitas penegakan hukum. Dari lima faktor penegakan hukum tersebut faktor penegakan hukumnya sendiri merupakan titik sentralnya. Hal ini disebabkan oleh baik undang-undangnya disusun oleh penegak hukum, penerapannya pun dilaksanakan oleh penegak hukum dan penegakan hukumnya sendiri juga merupakan panutan oleh masyarakat luas. Dari tinjauan tentang efektivitas hukum yang dikemukakan para ahli di atas. Maka dapatlah ditarik suatu pendapat dari Penulis mengenai pengertian efektivitas hukum, yaitu hukum dapat berlaku secara efektif apabila aturan yang dibuat oleh pembentuk undangundang tersebut dipatuhi oleh masyarakat. Sehingga tujuan yang hendak dicapai dalam pembuatan peraturan tersebut dapat menciptakan suatu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum dalam masyarakat. Efektivitas yang dimaksud dalam penulisan hukum ini adalah manakala pasal 7 ayat 2 undang-undang perkawinan yang mengatur mengenai dispensasi pernikahan, dipatuhi dan ditaati oleh masyarakat Sukoharjo. Guna memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat, serta kemanfaatan dan terjaminnya kepastian hukum bagi pemohon dispensasi agar dapat diperbolehkan untuk melakukan pernikahan. Dalam mengajukan dispensasi ke pengadilan agama, antara lain dengan tujuan untuk mendapatkan kepastian hukum. Baik bagi pelaku hubungan diluar nikah maupun bukan pelaku hubungan diluar nikah, commit user yang belum cukup umur dalamtomelangsungkan pernikahan. 23 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id 2. Tinjauan Umum Kepastian Hukum Pada masyarakat modern, aturan yang bersifat umum tempat dituangkannya perlindungan kepentingan-kepentingan itu adalah undangundang. Aturan hukum, baik berupa undang-undang maupun hukum tidak tertulis, dengan demikian, berisi aturan-aturan yang bersifat umum yang menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam hidup bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama individu maupun dalam hubungan dengan masyarakat. Aturan-aturan itu menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan terhadap individu. Adanya aturan semacam itu dan pelaksanaan aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum. Dengan demikian, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan. Dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang, melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim. Antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus serupa yang telah diputuskan (Peter Mahmud Marzuki, 2008: 157-158). Istilah asas kepastian hukum dalam terminologi hukum biasanya ditemukan dalam dua pengertian, yaitu asas kepastian hukum dalam bahasa inggris the principle of legal security dan dalam bahasa belanda rechtzekerheid beginzel. Kedua terminologi ini memuat pengertian yang sama dan digunakan para praktisi dan akademisi hukum. Asas kepastian hukum adalah asas untuk mengetahui dengan tepat aturan apa yang berlaku dan apa yang dikehendaki daripadanya. Dalam Kamus istilah rechtzekerheid yang diartikan sebagai jaminan bagi anggota masyarakat commit to useratau penguasa berdasarkan aturan bahwa ia akan diperlakukan oleh negara 24 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id hukum dan sewenang-wenang, dengan pula diartikan mengenai isi dari aturan itu (S. F Marbun, 2001: 216). Dari tinjauan tentang kepastian hukum yang dikemukakan para ahli di atas. Maka dapatlah ditarik suatu pendapat dari Penulis mengenai pengertian kepastian hukum, yaitu suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti yang mengatur secara jelas mengenai suatu ketentuan yang pada dasarnya memberikan perlindungan hukum bagi setiap warga dari kekuasaan yang bertindak sewenang-wenang. Dengan demikian, kepastian hukum yang di maksud dalam penulisan hukum ini adalah kepastian hukum yang diperoleh dari pengadilan agama dalam mendapatkan dispensasi agar dapat melangsungkan perkawinan secara sah yang dilatarbelakangi oleh hubungan diluar nikah terlebih dahulu. 3. Tinjauan Umum Mengenai Perkawinan a) Pengertian Perkawinan Pengertian perkawinan berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pengertian perkawinan terdapat lima unsur di dalamnya adalah sebagai berikut : 1) Ikatan lahir bathin. 2) Antara seorang pria dengan seorang wanita. 3) Sebagai suami isteri. 4) Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal. 5) Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 merumuskan bahwa ikatan suami isteri berdasarkan Ketuhanan Yang commit to user 25 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Maha Esa, perkawinan merupakan perikatan yang suci. Perikatan tidak dapat melepaskan dari agama yang dianut suami isteri. Menurut pengertian fukaha, perkawinan adalah aqad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan kelamin dengan lafadl nikah atau ziwaj yang semakna keduanya (Zakiah Daradjat, 1995: 37). Menurut golongan Malikiyah, nikah adalah aqad yang mengandung ketentuan hukum semata-mata untuk membolehkan watha‟, bersenang-senang dan menikmati yang ada pada diri wanita yang boleh nikah dengannya (Djaman Nur, 1993: 3). Pengertian (ta‟rif) perkawinan menurut Pasal 1 Kompilasi Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu :aqad yang sangat kuat atau mitsaaqaan ghaaliizhan untuk mentaati perintah Allah SWT dan melaksanakannya merupakan ibadah. Melakukan perbuatan ibadah berarti melaksanakan ajaran agama. Perkawinan salah satu perbuatan hukum yang dapat dilaksanakan oleh mukallaf yang memenuhi syarat. b) Tujuan Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1, tujuan perkawinan adalah “Untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Membentuk keluarga artinya membentuk kesatuan masyarakat kecil yang terdiri dari suami, isteri dan anak-anak. Membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungannya dengan keturunan yang merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban kedua orang tua. Tujuan perkawinan menurut Hukum Islam adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup jasmani dan rohani manusia, untuk membentuk keluarga dan memelihara serta meneruskan keturunan dalam menjalani hidupnya di dunia dan untuk mencegah perzinahan agar tercipta ketenangan dan ketenteraman keluarga dan masyarakat (Mohd. Idris Ramulyo, 2002: 26-27). Untuk memperoleh keturunan commit dengan to user mendirikan rumah tangga yang yang sah dalam masyarakat 26 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id damai dan teratur. Manusia diciptakan Allah SWT mempunyai naluri manusiawi yang perlu mendapat pemenuhan, untuk mengabdikan dirinya kepada Khaliq. Menurut Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disingkat KHI), dalam pasal 3 merumuskan tujuan perkawinan sebagai berikut: “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah”. c) Syarat-syarat Perkawinan Syarat-syarat perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 meliputi : 1) Syarat-syarat materiil a) Syarat-syarat secara umum adalah sebagai berikut: 1) Harus ada persetujuan dari kedua belah pihak calon mempelai. Arti persetujuan yaitu tidak seorangpun dapat memaksa calon mempelai perempuan dan calon mempelai laki-laki, tanpa persetujuan kehendak yang bebas dari mereka. Persetujuan dari kedua belah pihak calon mempelai adalah syarat yang relevan untuk membina keluarga. 2) Usia calon mempelai pria sekurang-kurangnya harus sudah mencapai 19 tahun dan pihak calon mempelai wanita harus sudah berumur 16 tahun. 3) Tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain. b) Syarat materiil secara khusus, yaitu : 1) Tidak melanggar larangan perkawinan yang diatur dalam pasal 8, pasal 9 dan pasal 10 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu larangan perkawinan antara dua orang yaitu : (a) Hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas. (b) Hubungan darah garis keturunan ke samping. to user (c) Hubungancommit semenda. 27 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id (d) Hubungan sesusuan. (e) Hubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi. (f) Mempunyai hubungan dengan agama atau peraturan yang berlaku dilarang kawin. (g) Telah bercerai untuk kedua kalinya, sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaan tidak menentukan lain. 2) Izin dari kedua orang tua bagi calon mempelai yang belum berumur 21 tahun. Yang berhak memberi izin kawin yaitu : (a) Orang tua dari kedua belah pihak calon mempelai. Jika kedua orang tua masih ada, maka izin diberi bersama oleh kedua orang tua calon mempelai. Jika orang tua laki-laki telah meninggal dunia, pemberian izin perkawinan beralih kepada orang tua perempuan yang bertindak sebagai wali.J ika orang tua perempuan sebagai wali, maka hal ini bertentangan dengan perkawinan yang diatur Hukum Islam karena menurut Hukum Islam tidak boleh orang tua perempuan bertindak sebagai wali. (b) Apabila salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya disebabkan : (1) Oleh karena misalnya berada di bawah kuratele. (2) Berada dalam keadaan tidak waras. (3) Tempat tinggalnya tidak diketahui. Maka izin cukup diberikan oleh orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. (c) Apabila kedua orang tua telah meninggal dunia atau kedua-duanya dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari : commit to user calon mempelai. (1) wali yang memelihara 28 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id (2) keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan ke atas selama masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya. (d) Jika ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 6 ayat (2), (3) dan (4) atau seorang atau lebih diantara orang-orang tidak ada menyatakan pendapatnya, Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang hendak melangsungkan perkawinan bertindak memberi izin perkawinan. Pemberian izin dari Pengadilan diberikan: (1) atas permintaan pihak yang hendak melakukan perkawinan. (2) setelah lebih dulu Pengadilan mendengar sendiri orang yang disebut dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 6 ayat (2), (3) dan (4). 2) Syarat-syarat Formil a) Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan kepada pegawai pencatat perkawinan. b) Pengumuman oleh pegawai pencatat perkawinan. c) Pelaksanaan perkawinan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing. d) Pencatatan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan. d) Asas-asas Hukum Perkawinan Ikatan perkawinan sebagai salah satu bentuk perjanjian (suci) antara seorang pria dengan seorang wanita, yang mempunyai segi-segi perdata berlaku beberapa asas, antara lain yaitu: 1. Asas kesukarelaan, asas ini merupakan asas terpenting perkawinan Islam. Kesukarelaan itu tidak hanya harus terdapat antara kedua calon suami istri, tetapi juga antara to user kedua orang commit tua, kedua belah pihak, kesukarelaan orang tua perpustakaan.uns.ac.id 2. 3. 4. 5. 6. 29 digilib.uns.ac.id yang menjadi wali seorang wanita, merupakan sendi asasi perkawinan Islam. Dalam berbagai hadis nabi, asas ini dinyatakan dengan tegas. Asas persetujuan kedua belah pihak merupakan konsekuensi logis asas pertama diatas. Ini berarti bahwa tidak boleh ada paksaan dalam melangsungkan perkawinan. Persetujuan seorang gadis untuk dinikahkan dengan seorang pemuda, misalnya harus diminta terlebih dahulu oleh wali atau orang tuanya. Menurut sunnah nabi, persetujuan ini dapat disimpulkan dari diamnya gadis tersebut. Dari berbagai sunnah nabi dapat diketahui bahwa perkawinan yang dilangsungkan tanpa persetujuan kedua belah pihak, dapat dibatalkan oleh pengadilan. Asas kebebasan memilih pasangan, asas ini juga disebutkan dalam Sunnah nabi. Diceritakan oleh Ibnu Abbas bahwa pada suatu ketika seorang gadis bernama Jariyah menghadap Rasulullah dan menyatakan bahwa ia telah dikawinkan oleh ayahnya dengan seseorang yang tidak disukainya. Setelah mendengar pengaduan itu, nabi menegaskan bahwa (Jariyah) dapat memilih untuk meneruskan perkawinan dengan orang yang tidak disukainya itu atau meminta supaya perkawinannya dibatalkan untuk dapat memilih pasangan dan kawin dengan orang lain yang disukainya. Asas kemitraan suami istri dengan tugas dan fungsi yang berbeda karena perbedaan kodrat (sifat asal, pembawaan). Kemitraan ini menyebabkan kedudukan suami istri dalam beberapa hal sama, dalam hal yang lain berbeda. Suami menjadi kepala keluarga, istri menjadi kepala dan penanggung jawab pengaturan rumah tangga. Asas untuk selama-lamanya menunjukan bahwa perkawinan dilaksanakan untuk melangsungkan keturunan dan membina cinta serta kasih sayang selama hidup. Karena asas ini pula maka perkawinan mut‟ah yakni perkawinan sementara untuk bersenang-senang selama waktu tertentu saja, seperti yang terdapat dalam masyarakat Arab Jahiliyah dahulu dan beberapa waktu setelah islam, dilarang oleh nabi Muhammad. Asas monogami terbuka, disimpulkan dari Alquran surat AnNisa‟ surat ke (4) Ayat 3 jo ayat 129. Di dalam ayat 3 dinyatakan bahwa seorang pria muslim dibolehkan atau boleh beristri lebih dari seorang, asal memenuhi beberapa syarat tertentu, diantaranya adalah syarat mampu berlaku adil terhadap semua wanita yang menjadi istrinya. Dalam ayat 129 surat yang sama Allah menyatakan bahwa manusia tidak mungkin berlaku adil terhadap istri-istrinya walaupun ia ingin berbuat demikian. Oleh karena ketidak mungkinan berlaku to user adil terhadapcommit istri-istri itu maka Allah menegaskan bahwa 30 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id seorang laki-laki lebih baik kawin dengan seorang wanita saja. Ini berarti bahwa beristri lebih dari seorang merupakan jalan darurat yang baru boleh dilalui oleh seorang laki-laki muslim kalau terjadi bahaya, antara lain, untuk menyelamatkan dirinya dari berbuat dosa, dan kalau istri sudah tidak mampu memenuhi kawajibannya sebagai seorang istri (Daud Ali Muhammad, 1998: 139). e) Batasan Usia Perkawinan Menurut Al-Qur’an dan UndangUndangNomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan 1) Batas Usia Perkawinan Menurut Al-Qur‟an. Al-Qur‟an secara konkrit tidak menentukan batas usia bagi pihak yang akan melangsungkan pernikahan. Batasan hanya diberikan berdasarkan kualitas yang harus dinikahi oleh mereka sebagaimana dalam surat An-Nisa‟ ayat 6:“Dan ujilah anak-anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah. Kemudian jika menurut memelihara pendapatmu harta) maka mereka telah serahkanlah cerdas (pandai kepada mereka hartanya,…”.(Amir Syarifuddin, 2006: 67). Dari ayat ini dapat dipahami bahwa kawin itu mempunyai batas umur dan batas umur itu adalah baligh. Yang dimaksud dengan sudah cukup umur untuk menikah adalah setelah timbul keinginan untuk berumah tangga, dan siap menjadi suami dan memimpin keluarga. Hal ini tidak akan bisa berjalan sempurna, jika dia belum mampu mengurus harta kekayaan. Berdasarkan ketentuan umum tersebut, para fuqoha dan ahli undang-undang sepakat menetapkan, seseorang diminta pertanggungjawaban atas perbuatannya dan mempunyai kebebasan menentukan hidupnya setelah cukup umur (baligh) (Amir Syarifuddin, 2006: 68). 2) Batas Usia Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan Walaupun menurut Al-Qur‟an secara konkrit tidak menentukan batas usia perkawinan, namun Undang-Undang Perkawinan menentukan batasan usia bagi pihak yang akan commit to user 31 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id melangsungkan pernikahan dan sebagai salah satu syarat perkawinan. Ketentuan dalam pasal 7 ayat (1) yang berbunyi: “Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita mencapai umur 16 (enambelas) tahun”. Meski telah ditentukan batas umur minimal, tampaknya undang-undang memperbolehkan penyimpangan terhadap syarat umur tersebut, melalui pasal 7 ayat (2) yang berbunyi: “Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain, yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.” Undang-Undang Perkawinan memang telah menentukan batasan usia bagi pihak yang akan melangsungkan pernikahan sebagai salah satu syarat perkawinan, tapi tidak menyebutkan syarat-syarat atau alasan-alasan dalam pengajuan dispensasi, seperti hubungan luar nikah. Menurut KHI secara tersirat tidak melarang menikahkan seseorang yang melakukan hubungan luar nikah, apalagi hingga mengakibatkan kehamilan. Hal ini terdapat dalam ketentuan pasal 53 KHI yang berbunyi: (a) Seorang wanita hamil diluar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. (b) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya. (c) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir. commit to user 32 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id 4.Tinjauan Mengenai Dispensasi Perkawinan a) Pengertian Dispensasi Kawin Roihan A. Rasyid berpendapat bahwa dispensasi kawin adalah dispensasi yang diberikan Pengadilan Agama kepada calon mempelai yang belum cukup umur untuk melangsungkan perkawinan, bagi pria yang belum mencapai 19 (sembilan belas) tahun dan wanita belum mencapai 16 (enam belas) tahun. Dispensasi kawin diajukan oleh para pihak kepada Pengadilan Agama yang ditunjuk oleh orang tua masingmasing. Pengajuan perkara permohonan diajukan dalam bentuk permohonan (voluntair) bukan gugatan. Dan jika calon suami istri beragama non Islam maka pengajuan permohonannya ke Pengadilan Negeri (Roihan A. Rasyid, 1998: 32). Undang-Undang Perkawinan telah menentukan batas umur untuk kawin bagi pria maupun wanita, ialah 19 (sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun bagi wanita yaitu meliputi pasal 7 ayat (1) yang berbunyi: “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita mencapai umur 16 (enam belas) tahun. ”Meskipun telah ditentukan batas umur minimal, namun undang-undang memperbolehkan penyimpangan terhadap syarat umur tersebut, melalui pasal 7 ayat (2) yang berbunyi: “Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan dan Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita”. Adapun yang penulis maksudkan dengan dispensasi kawin adalah kelonggaran yang diberikan Pengadilan Agama kepada calon mempelai yang belum cukup umur untuk melangsungkan perkawinan, bagi pria yang belum mencapai 19 (sembilan belas) tahun dan wanita belum mencapai 16 (enam belas) tahun. b) Dispensasi Pengadilan Agama terhadap Perkawinan Dibawah Umur Kewenangan Pengadilan Agama dalam pasal 49 UndangUndang Nomor 50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama, yaitu meliputi: Memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara ditingkat commit to user pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang 33 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat,infaq, shadaqah, dan ekonomi syari‟ah. Pengadilan Agama hanya berwenang untuk memeriksa dan mengabulkan permohonan apabila hal itu ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Permohonan Dispensasi Kawin adalah termasuk salah satu jenis perkara permohonan yang dapat diajukan melalui Pengadilan Agama sesuai dengan tugas dan wewenang Pengadilan Agama. Permohonan diajukan dengan permohonan yang ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya yang sah dan ditujukan kepada Ketua Pengadilan Agama di tempat tinggal pemohon. Perkara permohonan termasuk dalam pengertian yurisdiksi voluntair dan terhadap perkara permohonan yang diajukan itu selanjutnya Hakim akan memberikan suatu penetapan. 5. Tinjauan Mengenai Hubungan Luar Nikah Hubungan adalah pertalian, ada ikatan (Em Zul Fajri dan Ratu Aprilia Senja, 2005: 363). Luar adalah kedudukan atau tempat yang bukan bagian dari sesuatu itu sendiri, bukan dari lingkungan keluarga, bukan dari lingkungan negeri atau daerah, dan sebagainya, bagian yang tidak di dalam (Em Zul Fajri dan Ratu Aprilia Senja, 2005: 535). Sedangkan nikah adalah perkawinan yang dilakukan dengan diawali mengikat perjanjian antara seorang pria dengan seorang wanita untuk menjalin hubungan rumah tangga, perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk menjalin hubungan suami isteri secara sah yang disaksikan oleh beberapa orang dan dibimbing oleh wali dari pihak perempuan (Em Zul Fajri dan Ratu Aprilia Senja, 2005: 590). Dalam konteks pencatatan pernikahan, banyak istilah yang digunakan untuk menunjuk sebuah pernikahan yang tidak tercatat, ada yang menyebut nikah di bawah tangan, nikah syar‟i, nikah modin, dan kerap pula disebut nikah kiyai (Mukhlisin Muzarie, 2002: 110). user Pernikahan tidak tercatatcommit ialah to pernikahan yang secara materiil telah 34 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id memenuhi ketentuan syariat sesuai dengan maksud pasal 2 ayat 1 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974, tetapi tidak memenuhi ketentuan ayat 2 pasal tersebut jo pasal 10 ayat 3 PP Nomor 9 Tahun 1975 (Shonhadji Ali, 2012: 2). Pada umumnya yang dimaksud pernikahan tidak tercatat adalah pernikahan yang tidak dicatat oleh Petugas Pencatat Nikah (PPN). Pernikahan yang tidak berada di bawah pengawasan PPN, dianggap sah secara agama tetapi tidak mempunyai kekuatan hukum karena tidak memiliki bukti-bukti pernikahan yang sah menurut peraturan perundangundangan yang berlaku (Jaih Mubarok, 2005: 87). Aqad pada pernikahan tidak tercatat biasanya dilakukan di kalangan terbatas, di muka Pak Kiai atau tokoh agama, tanpa kehadiran petugas Kantor Urusan Agama (untuk selanjutnya disingkat KUA), dan tentu saja tidak memiliki surat nikah yang resmi. Dalam pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ditegaskan bahwa tiap-tiap pernikahan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pernikahan tidak tercatat secara agama adalah sah manakala memenuhi syarat dan rukun pernikahan. Meskipun demikian, karena pernikahan tersebut tidak tercatat maka dalam hukum positif dianggap tidak sah karena tidak diakui negara (dasarnya Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang No. 1 tahun 1974) (Moh. Idris Ramulyo, 2002: 224). Dengan demikian, pernikahan apa pun selain yang tercatat secara resmi di negara hukumnya tidak sah (Dadang Hawari, 2006: 83). Pernikahan yang sah adalah pernikahan yang mengikuti prosedur Pasal 2 ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya serta wajib dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku. Dengan demikian penulis berkesimpulan bahwa hubungan diluar nikah bukanlah termasuk dalam pernikahan tidak tercatat maupun pernikahan tercatat, karena pada dasarnya hubungan diluar nikah to user oleh pria dan wanita yang tidak adalah hubungan seksual commit yang dilakukan perpustakaan.uns.ac.id 35 digilib.uns.ac.id terikat dalam pernikahan yang sah. Baik sah secara agama namun tidak tercatat, maupun sah menurut negara yang dicatatkan pada KUA. 6. Penelitian Terdahulu Yang Relevan Terhadap Penelitian Yang Diteliti Dalam memperkuat kreatifitas penulis, maka penulis juga mengkaji dari hasil penelitian lain untuk dijadikan sebagai bahan penunjang untuk menambah wawasan dari penulis mengenai perkara dispensasi pernikahan yang sebelumnya telah diteliti oleh Saudari Sariyanti sebagai syarat dalam menempuh gelar Program Sarjana Hukum Islam, Jurusan Syari‟ah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Stain Salatiga. Dengan judul “Dispensasi Kawin Karena Hubungan Luar Nikah (Studi Penetapan Hakim Di Pengadilan Agama Salatiga Tahun 2005)”. Adapun hasil penelitian yang diteliti oleh Saudari Sariyanti, diperoleh kesimpulan bahwa dalam al-Qur‟an secara konkrit tidak menentukan usia perkawinan. Batasan hanya diberikan berdasarkan kualitas. Salah satu standar yang biasa digunakan adalah masa baligh yang ditandai dengan kemampuan untuk menunaikan tugas-tugas biologis seorang suami maupun seorang isteri. Para ahli fiqih pada umumnya berpendapat usia baligh adalah umur 15 tahun. Usia perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan terdapat pada pasal 7 ayat (1) yang menyebutkan pihak pria sudah mencapai 19 tahun dan pihak wanita mencapai umur 16 tahun. Mekanisme pengajuan perkara permohonan Dispensasi Pernikahan di Pengadilan Agama Salatiga adalah sebagai berikut: Prameja, Meja I, Kasir dan yang terakhir ke Meja II. Proses penyelesaian perkara permohonan Dispensasi Pernikahan di Pengadilan Agama Salatiga adalah sebagai berikut: sidang dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum kemudian penasehatan selanjutnya pemeriksaan dan yang terakhir penetapan. Pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara permohonan Dispensasi Pernikahan karena hubungan luar nikah di Pengadilan Agama commit user Salatiga adalah kemaslahatan dantokemudharatannya, ditakutkan bila tidak perpustakaan.uns.ac.id 36 digilib.uns.ac.id dinikahkan akan menambah dosa dan terjadi perkawinan di bawah tangan yang akan mengacaukan proses-proses hukum yang akan terjadi berikutnya atau mengacaukan hak-hak anak yang dilahirkan. Penetapan hakim dalam permohonan Dispensasi Pernikahan di Pengadilan Agama Salatiga dengan Nomor: 04/Pdt.P/2005/PA.Sal. dan 05/Pdt.P/2005/PA.Sal. tidak menyimpang dari ketentuan Undang-Undang Perkawinan pasal 7 ayat (2) dan KHI pasal 53. Dalam hal ini penulis hanya mengkaji penelitian lain ini untuk membandingkan dan menambah masukkan bagi penulis dengan tidak melakukan suatu plagiarisme terhadap penelitian yang telah ada sebelumnya. Dalam hal ini penulis menjamin bahwa isi dari penelitian yang penulis buat jauh berbeda dengan penelitian yang sudah ada sebelumnya, baik dari segi pembahasannya maupun lokasi penelitian, serta narasumber dalam hal ini hakim di Pengadilan Agama Sukoharjo. Hal ini bisa dibuktikan dari segi pembahasannya yang berbeda. Dalam hal ini, penelitian yang diteliti oleh Saudari Sariyanti membahas mengenai pertimbangan Hakim dalam membuat suatu penetapan. Adapun penelitian yang penulis teliti membahas mengenai faktor penyebab dispensasi nikah yang diajukan di Pengadilan Agama Sukoharjo meningkat, pengaruh dispensasi Pengadilan Agama terhadap kehidupan sosial masyarakat di Sukoharjo, efektivitas Pasal 7 ayat 2 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang mengatur mengenai dispensasi pernikahan yang berkaitan dengan pelaku hubungan diluar nikah dalam mendapatkan suatu kepastian hukum. Penelitian yang diteliti oleh saudari Sariyanti lebih menyoroti mengenai pertimbangan hakim dalam membuat suatu penetapan dispensasi nikah. Sedangkan penelitian yang penulis teliti lebih menyoroti pada faktor penyebab dispensasi, dampak dari dispensasi pengadilan Agama terhadap kehidupan sosial masyarakat, serta efektivitas Pasal 7 ayat 2 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang mengatur mengenai dispensasi commit to user 37 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id pernikahan yang berkaitan dengan hubungan diluar nikah dalam mendapatkan suatu kepastian hukum. B. Kerangka Pemikiran Undang-undang No 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama Permohonan Dispensasi Undang-undang No 1 Tahun Perkawinan Di Pengadilan 1974 Tentang Perkawinan Agama Sidang Pemeriksaan Perkara Dispensasi Perkawinan Di Pengadilan Agama Ditolak Diterima Penetapan Dispensasi Efektivitas Pasal 7 ayat Perkawinan Oleh 2 Undang-Undang No. 1 Hakim Tahun 1974 Terjadi Perkawinan Di Bawah Umur commit to user 38 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Keterangan Kerangka Pemikiran : Permohonan Dispensasi Pernikahan diajukan ke pengadilan agama sesuai dengan kewenangan Peradilan Agama berdasarkan pada Undangundang No 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama. Permohonan Dispensasi diperbolehkan asal sesuai dengan syarat-syarat tertentu yang menurut pertimbangan Hakim bisa segera dilangsungkan pernikahan. Mengenai izin dispensasi pernikahan diatur dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 7 ayat (2). Dalam proses persidangan pihak yang mengajukan dispensasi harus memenuhi persyaratan dalam mengajukan dispensasi serta antar pihak harus sudah siap dalam membina hubungan rumah tangga secara lahir dan batin, apabila persyaratan dalam proses persidangan telah sesuai, maka hakim akan mengabulkan permohonan dispensasi dengan putusan berupa penetapan dispensasi pernikahan. Sehingga Pasal 7 ayat 2 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 berlaku efektif bagi pelaku hubungan diluar nikah. Setelah mendapatkan putusan dari Pengadilan Agama, terjadilah pernikahan di bawah umur. Bagi permohonan dispensasi yang diterima, maka akan menimbulkan akibat hukum bisa segera melakukan pernikahan ke KUA karena telah mendapatkan izin dari pengadilan. Namun bagi permohonan dispensasi yang ditolak. Akan menimbulkan akibat hukum tidak bisa melakukan pernikahan secara sah menurut hukum negara, tetapi guna memberikan solusi bagi pelaku kawin hamil. Terpaksa pelaku kawin hamil tersebut melakukan nikah siri, yang hanya sah secara agama tetapi tidak sah secara hukum negara. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Faktor Penyebab Peningkatan Permohonan Dispensasi Nikah Fenomena pernikahan di bawah umur atau yang lebih populer disebut dengan pernikahan dini akhir-akhir ini semakin marak terjadi di berbagai daerah di seluruh wilayah Indonesia. Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) melansir data bahwa pada tahun 2008 sekitar 2 juta pasangan nikah terdapat 35% pasangan merupakan pernikahan dini. Walaupun tidak ada data yang pasti namun pernikahan di bawah umur terjadi merata di seluruh wilayah Indonesia (Pardiyanto, 2010: 3). 1. Faktor Penyebab Peningkatan Pernikahan Dibawah Umur (Dispensasi Pernikahan) Di Indonesia. a. Norma Agama (Khususnya Islam) Tidak Mengharamkan Atau Menentang Pernikahan Di Bawah Umur Perkawinan dalam pandangan Islam adalah fitrah kemanusiaan, dan sangat dianjurkan bagi umat Islam, karena menikah merupakan gharizah insaniyah (naluri kemanusiaan), yang harus dipenuhi dengan jalan yang sah agar tidak mencari jalan sesat yaitu jalan setan yang menjerumuskan ke lembah hitam. Perintah perkawinan atau pernikahan dalam Islam tertuang dalam Al-Qur‟an (Kitabullah umat Islam) dan hadist Nabi Muhammad SAW. Diambil dari tulisan Ustad Abu Ibrohim Muhammad Ali AM, disampaikan beberapa ayat Al-Qur‟an dan Hadist yang mendasari pernikahan atau perkawinan sebagai berikut : “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hambahamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya, dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui” (QS. an-Nur [24]: 32). to usermerupakan Sunnah sebagaimana Walaupun demikian, commit perkawinan 39 40 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id terlihat dalam hadist, berikut ; “…. Sedangkan aku menikah, maka barang siapa tidak suka sunnah (petunjuk) ku, maka bukan dari golonganku.” (HR. al-Bukhori: 4776 dan Muslim: 1401),. Perintah dan anjuran melakukan pernikahan, tidak memberikan batasan umur seseorang untuk melakukan pernikahan, namun ditekankan perlunya kedewasaan seseorang melakukan pernikahan untuk mencegah kemudharatan (hal-hal buruk). “Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian mampu menikah maka hendaklah menikah karena menikah dapat lebih menundukkan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Barang siapa tidak mampu (menikah) maka hendaklah ia berpuasa, karena (puasa) itu tameng baginya.”(HR. al-Bukhori: 1806). Dalam hadist lainnya, “Apabila datang kepadamu seorang yang kamu ridhoi akhlak dan agamanya, maka nikahkanlah ia. Apabila hal itu tidak kamu lakukan, akan datang fitnah dan kerusakan yang besar di bumi.” (HR. at-Tirmidzi: 1/201, Ibnu Majah: 1/606, al-Hakim: 2/164, dan dihasankan oleh al-Albani dalam Silsilah Alhadits Shohihah: 3/20 dan Irwa„ al-Gholil: 1868). Sehingga kedewasaan secara psikologis dan biologis secara implisit dianjurkan melalui hadist tersebut, namun muncul kontroversi menyangkut batasan kedewasaan seseorang untuk boleh menikah, yang berimplikasi terhadap tidak ada keberatan atas pernikahan dibawah umur dari kaca mata ini. Dalam hal ini, sangat relevan dengan hukum positif Indonesia (Undang-Undang Perkawinan, KUHP dan Undang-Undang Perlindungan Anak) yang tidak menegaskan sanksi hukum terhadap pernikahan di bawah umur. Walaupun dalam pasal 26 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 mewajibkan orang tua dan keluarga untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak, namun pernikahan dibawah umur tidak serta merta dipandang sebagai tindakan kriminal menurut hukum. Sementara itu, Undang-Undang commit to user 41 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Perkawinan memberikan dispensasi kepada pasangan yang belum cukup usianya untuk bisa melakukan pernikahan. Dalam hal ini, hukum yang ada memberikan ruang bagi keberlangsungan praktek-praktek pernikahan di bawah umur. Sehingga dalam hal ini terjadi disharmonisasi peraturan antara Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 yang dalam pasalnya menyebutkan bahwa orang tua dan keluarga wajib untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak, namun di sisi lain dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang dalam pasalnya membolehkan dispensasi pernikahan kepada pasangan yang belum cukup usianya untuk bisa melakukan pernikahan. b. Kebiasaan Dan Tradisi Yang Telah Membudaya Dalam Masyarakat. Dilihat dari segi budaya dan tradisi, terdapat beberapa daerah di Indonesia menganggap bahwa perkawinan di bawah umur merupakan tindakan yang biasa. Di Desa Tegaldowo, Kab. Rembang, Jawa Tengah masyarakatnya tidak melarang pernikahan dibawah umur karena adanya kepercayaan bahwa “seorang anak perempuan yang sudah dilamar harus diterima, kalau tidak diterima bisa berakibat si anak tidak laku (tidak dapat jodoh) sampai lama” (www.dwworld/dw/article/, “kuatnya tradisi, salah satu penyebab pernikahan”, 16/11/09). Sementara di Indramayu, Jawa Barat muncul keyakinan untuk tidak menolak pinangan pertama kepada anak perempuan. Di daerah Karo, Sumatera Utara terdapat tradisi menikahkan anak usia dini dengan tujuan mencegah mara bahaya dalam keluarga, namun bukan berarti setelah pernikahan diperbolehkan berkumpul layaknya suami istri, termasuk juga di Desa Plakpak, Kec. Palenga‟an, Kab. Pamekasan Madura yang menikahkan anaknya di usia dini untuk menghindari terjadinya fitnah bagai pasangan yang berpacaran (www.berita8. com/news. php ?cat=2&id=9057, “Perkawianan Dini Jadi Tradisi”, 06/03/2009). Hal yang sama juga terjadi di Desa to user Kota Sumenep, Madura yang Leggung Barat, Kec. commit Batang-Batang, 42 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id dikenal dengan pernikahan siri (rahasia), agar tidak ada cacat dari ikatan pernikahan dikemudian hari (www.jawapos.co.id/rada /index.php?act=detail&rid=38655,“Tradisi Nikah Dini di Desa Leggung Barat, Kec. Batang-Batang”,). Jadi, dalam hal ini masyarakat cenderung memaklumi adanya pernikahan di bawah umur yang dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan, tanpa memandang akibat yang ditimbulkan dari adanya pernikahan di bawah umur tersebut. c. Pernikahan Sebagai Jalan Untuk Keluar Dari Belenggu Keterpurukan Ekonomi Dan Beban Hidup Dari segi sosial masyarakat yang mendorong sikap apatis terhadap pernikahan dibawah umur adalah faktor rendahnya pendidikan dan tingkat perekonomian. Sikap dan pandangan masyarakat membiarkan pernikahan dibawah umur, merupakan ekspresi dari ketidaktahuan masyarakat terhadap efek buruk yang dialami seseorang yang menikah dini baik dari kesehatan maupun psikologis. Disamping itu, masyarakat beranggapan bahwa pernikahan dapat mengangkat persoalan ekonomi yang dihadapi, yang mana masyarakat dengan kondisi keterbatasan ekonomi lebih rentan menerima pernikahan di bawah umur tanpa tahu akibat dari anak yang menjalani pernikahan dibawah umur. d. Kecenderungan Berkembangnya Pergaulan Bebas Remaja Dan AnakAnak. Pergaulan bebas oleh remaja dan anak-anak yang memiliki sikap menerima atau menganggap wajar hubungan seks diluar nikah, bahkan seks bebas cenderung mengalami peningkatan akhir-akhir ini. Walaupun pernikahan dibawah umur dengan budaya seks bebas merupakan hubungan yang memiliki latar belakang berbeda, karena kelompok penganut seks bebas cenderung menghindari pernikahan yang dianggap membatasi kebebasan, namun perilaku kelompok seks commit to user bebas akan berpengaruh terhadap masyarakat luas berupa merebaknya 43 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id perilaku pergaulan bebas dan hubungan seks pra-nikah oleh seseorang yang bukan penganut seks bebas. Banyak alasan seseorang menikah di usia muda karena wanita hamil akibat perilaku seks bebas, solusinya adalah orang tua mereka harus menikahkan mereka pada usia muda. Dan pada akhirnya banyak anggota masyarakat meminta Surat Dispensasi Kawin dengan alasan hamil diluar nikah akibat pergaulan bebas, hubungan pra-nikah maupun seks bebas (Titik Handriyani, Panitera Muda PA Bantul, “Nikah Dini Marak di DIY, Hamil Duluan Jadi Alibi”, www.okezone .com/read/2009/08/22/1/250392, 13/06/2009). Situasi semacam itu mengilustrasikan relevansi meningkatnya pernikahan dibawah umur karena banyaknya kehamilan pra-nikah pada usia anak-anak akibat berkembangnya budaya seks bebas. 2. Faktor Penyebab Peningkatan Pernikahan Dibawah Umur (Dispensasi Pernikahan) Di Sukoharjo a. Faktor Pergaulan Bebas Remaja Yang Berdampak Pada Hubungan Seks Diluar Nikah Faktor pergaulan bebas di kalangan remaja yang berdampak pada hubungan seks diluar nikah, mengakibatkan peningkatan perkara dispensasi nikah yang masuk di pengadilan agama Sukoharjo. Menurut penuturan Drs. Makali selaku hakim Pengadilan Agama Sukoharjo peningkatan perkara Dispensasi Nikah ini tidak hanya terjadi di Pengadilan agama Sukoharjo, melainkan juga terjadi diseluruh Pengadilan Agama di Indonesia. Khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya (Wawancara Hakim Drs. Makali di Pengadilan Agama Sukoharjo,02/02/2012). Berdasarkan fakta persidangan dan alasan yang ada dalam berbagai putusan yang telah di putus oleh pengadilan Agama Sukoharjo, dari tahun 2007 sampai tahun 2011 yang penulis ambil commit to user beberapa sampel putusan sebagai data untuk mendukung penelitian ini. 44 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id antara lain disebabkan karena para pihak hamil terlebih dahulu sebelum melakukan pernikahan. Dalam suatu kasus para remaja tidak sadar terhadap perbuatan mereka dalam pergaulan terhadap lawan jenisnya. Karena sudah didasari rasa suka dan saling mencintai tersebut menyebabkan mereka melakukan suatu hubungan yang melanggar norma-norma agama maupun kesopanan dengan melakukan hubungan intim diluar pernikahan yang mana hal ini jelas melanggar kaidah hukum serta nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Maka daripada itu pernikahan di bawah umur yang dilatarbelakangi oleh kehamilan terlebih dahulu memicu peningkatan permohonan dispensasi di Pengadilan Agama Sukoharjo. Hal tersebut didukung berdasarkan hasil observasi yang penulis lakukan dengan mengikuti proses persidangan dispensasi di Pengadilan Agama Sukoharjo selama penelitian dan dengan membaca berbagai putusan yang telah di putus di pengadilan agama sukoharjo, selama lima tahun terakhir yang dalam hal ini penulis mengambil beberapa contoh putusan yang dijadikan sampel secara acak guna menegaskan hasil temuan yang penulis temukan di lapangan dalam penelitian ini. Bahwa kebanyakan dalam duduk perkara putusan tersebut pihak wanita telah mengalami kehamilan terlebih dahulu sebelum dilakukan pernikahan yang sah Penulis telah melakukan wawancara dengan pelaku hubungan seks diluar nikah, yang dalam hal ini penulis telah bersepakat dengan pelaku untuk tidak memberitahukan identitas asli pelaku. Berdasarkan penuturan pelaku hubungan seks diluar nikah tersebut, penyebab hamil diluar nikah yang pelaku alami disebabkan karena begitu dekatnya hubungan antara pelaku dengan pacarnya, karena terlalu dekat dan disertai dengan nafsu yang tidak tertahankan, didukung oleh faktor tempat yang sepi. commit to user 45 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Berdasarkan keterangan dari pelaku, pada saat mereka melakukan perzinaan tersebut, mereka berada dirumah pelaku yang pada saat itu sedang sepi. Mengingat orang tua pelaku sedang bekerja pada saat itu, sehingga mengakibatkan mereka melakukan perzinaan yang dilarang tersebut. Sehingga menimbulkan kehamilan diluar hubungan pernikahan yang sah, baik secara agama maupun hukum yang ada di Indonesia. Sekedar informasi, bahwa dalam hal ini pelaku yang penulis jadikan sebagai narasumber merupakan seorang wanita (Wawancara Pelaku hubungan seks diluar nikah di Sukoharjo, 16/04/2012). Berdasarkan data dan fakta yang penulis temukan di lapangan, dari hasil observasi, wawancara, serta membaca putusan-putusan tentang dispensasi pernikahan. Sehingga hal ini menguatkan bahwa salah satu faktor penyebab peningkatan dispensasi di Pengadilan Agama Sukoharjo antara lain adalah pergaulan bebas yang menyebabkan hamil diluar nikah. b. Faktor Masyarakat Yang Kurang Memahami Mengenai UndangUndang Perkawinan dan Hukum Perkawinan Islam. Dispensasi diberikan kepada para pihak di dalam pernikahan karena hal tersebut sangat mendesak suatu untuk segera dilangsungkan pernikahan, dengan alasan telah terjalin pertunangan sejak kurang lebih 2 tahun dan hubungan yang telah sedemikian eratnya, sehingga hal tersebut sangat di khawatirkan akan terjadi perbuatan yang dilarang oleh ketentuan hukum Islam apabila tidak segera dinikahkan. Hal ini dikutip dari dasar permohonan perkara Dispensasi Nikah Nomor: 0025/Pdt.P/2011/PA. Skh. Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974. Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita mencapai umur 16 (enam belas) tahun, maka dari itu Dispensasi Nikah merupakan upaya commit to user di dalam menanggulangi hubungan yang tidak diinginkan di luar nikah 46 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id oleh para pihak yang saling mencintai tetapi masih belum mencapai usia minimum dalam melakukan pernikahan. Secara hukum hubungan di luar nikah atau persetubuhan di luar perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap perempuan yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum berumur 15 (lima belas) tahun dimasukkan sebagai perbuatan pidana (Neng Djubaedah, 2010:67), maka dari itu untuk mencegah hal-hal sepeti itu dispensasi nikah bisa dijadikan solusi. Dalam agama juga dijelaskan mengenai anjuran melakukan perkawinan, untuk menjauhkan diri dari yang tidak halal sepeti hadist yang dikutip oleh Mohd. Idris Ramulyo dalam bukunya Hukum Perkawinan Islam, yang berbunyi Dari „Abdullah (bin Mas‟ud), ia berkata : Rasulullah SAW bersabda kepada kami, “Hai para pemuda, barangsiapa diantara kalian yang sudah mampu menikah, maka nikahlah, karena sesungguhnya nikah itu lebih dapat menundukkan pandangan dan lebih dapat menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena berpuasa itu baginya (menjadi) pengekang syahwat”.[HR. Muslim juz 2,hal. 1019]. Dari hadis di atas dapat disimpulkan bahwa siapa yang mampu serta berkeinginan untuk menikah, maka diperbolehkan untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan seperti zina dan lainnya. Dispensasi Nikah pada dasarnya juga diperbolehkan oleh undangundang dalam pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang mana dalam hal ini hakim dalam mengabulkan permohonan dengan memberikan penetapan berdasarkan pertimbangan hukum yang matang. Kurangnya pemahaman terhadap undang-undang perkawinan inilah yang menyebabkan memicu para remaja melakukan hubungan seks diluar nikah. Padahal dalam undang-undang sendiri telah memperbolehkan melakukan pernikahan meski belum cukup umur commit to user 47 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id guna menghindari hubungan diluar nikah yang dapat berdampak buruk bagi diri sendiri maupun masyarakat sekitar. Dalam Al-Qur‟an dan hadist-hadist Nabi pun juga sudah diterangkan dengan jelas apabila seseorang berkeinginan untuk menikah, maka diperbolehkan untuk segera menikah guna mencegah hal-hal yang tidak diinginkan seperti zina dan lainnya. Namun apabila belum mampu maka hendaklah mengindar dari perbuatan zina sebagaimana yang telah ditegaskan dalam Firman-Nya “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk” (Q.S Al Isra: 32). Dengan demikian, perlu bagi masyarakat untuk memahami undang-undang perkawinan serta hukum perkawinan Islam agar dalam melakukan suatu tindakan yang berhubungan dengan pernikahan tidak dilakukan secara main-main, karena pada hakekatnya perkawinan adalah suatu ikatan lahir dan batin dengan tujuan membentuk suatu keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. c. Faktor Perkembangan Teknologi Sarana Telekomunikasi Dan Informasi Yang Disalahgunakan Oleh Masyarakat. Temuan lain yang relevan dengan kondisi sosial masyarakat terkini adalah perubahan tata nilai dalam masyarakat, terutama penggunaan teknologi komunikasi seperti telepon genggam dan internet, semakin membuka ruang interaksi sosial dan ekspresi individu bagi kalangan pemuda untuk lebih permisif. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa kemajuan teknologi membawa pengaruh yang besar bagi kehidupan manusia, tentu saja pengaruh atau dampak tersebut berbentuk positif maupun negatif. Dapat dicermati bahwa segala kemudahan seperti jalinan komunikasi yang lancar antar manusia juga merupakan hasil dari kemajuan teknologi tersebut seperti internet, handphone dan lain sebagainya commit to user sehingga akses informasi mudah sekali didapat, akan tetapi apabila 48 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id teknologi tidak digunakan secara tepat juga akan berakibat yang tidak baik. Salah satu dampak dari penggunaan teknologi yang salah bisa dilihat dari pernyataan salah satu Hakim Pengadilan Agama di Sukoharjo di bawah ini. Dari hasil wawancara yang Penulis lakukan kepada Hakim Pengadilan Agama Sukoharjo, menurut Drs. Munjid Lughowi selaku Hakim di Pengadilan Agama Sukoharjo menyatakan bahwa selama ini penyebab meningkatnya perkara dispensasi nikah di Pengadilan Agama Sukoharjo disebabkan semakin maraknya penggunaan sarana komunikasi berupa handphone dan kemudahan akses informasi berupa internet di kalangan remaja saat ini (Wawancara Hakim Drs. Munjid Lughowi di Pengadilan Agama Sukoharjo, 31/01/2012). Sekarang mulai dari anak-anak Sekolah Dasar pun sudah memiliki handphone sendiri. Hal inilah yang menyebabkan para remaja sekarang mudah dalam melakukan perkenalan dan berkomunikasi via handphone dengan lawan jenis mereka yang kemudian menjadikan hubungan mereka semakin dekat, kemudian berpacaran dan apabila tidak diawasi oleh anggota keluarga masingmasing secara ketat bisa memicu pada hubungan perzinaan karena kedekatannya tersebut. Handphone dapat dijadikan alat yang mudah untuk menyaksikan video-video porno yang seharusnya tidak diperbolehkan untuk beredar, sehingga ada dari mereka yang karena begitu dekatnya kemudian saling mencintai bahkan telah melakukan hubungan badan di luar nikah. Hal tersebut di dukung berdasarkan pengakuan pelaku hubungan seks diluar nikah yang penulis temui di kediamannya, mengingat pelaku tersebut merupakan tetangga dari penulis sendiri. Bahwa pelaku tersebut mengaku sering melihat video porno yang direkam di handphone miliknya bersama teman-temannya. Sehingga faktor tersebut merupakan pemicu bagi pelaku, karena didasari rasa commitmenirukan to user penasaran untuk mencoba adegan dalam video porno 49 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id tersebut dengan pacarnya, yang mengakibatkan hamil diluar nikah (Wawancara Pelaku hubungan seks diluar nikah di Sukoharjo, 16/04/2012). Faktor perkembangan teknologi sarana komunikasi dan informasi, handphone pada khususnya menjadi faktor penyebab peningkatan dispensasi pernikahan di Pengadilan Agama Sukoharjo, hal ini juga dibenarkan oleh Drs. Makali selaku hakim di Pengadilan Agama Sukoharjo (Wawancara Hakim Drs. Makali di Pengadilan Agama Sukoharjo,02/02/2012). Semua itu bermulai dari sarana komunikasi yang sekarang sangat mudah untuk digunakan, contohnya seperti handphone. d. Faktor Ekonomi Yang Lemah Dan Faktor Kurangnya Pendidikan Keluarga memiliki peran yang sangat besar dalam proses pengambilan keputusan pernikahan anak. Namun, faktor penyebab utama adalah kemiskinan. Anak perempuan dianggap sebagai beban ekonomi keluarga, sehingga dengan menikahkan anak perempuan segera setelah ia mendapatkan menstruasi akan meringankan beban ekonomi keluarga. Pemahaman seperti inilah yang kadang masih dipegang teguh oleh masyarakat, hal ini juga masih terjadi di Kabupaten Sukoharjo mengingat bahwa berdasarkan hasil observasi yang penulis lakukan selama ini, pemohon dispensasi kebanyakan berasal dari keluarga miskin dari kalangan petani maupun buruh di Sukoharjo. Tradisi lokal yang menganggap pernikahan anak sebagai hal lazim dan implementasi hukum terkait pernikahan di Indonesia (Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam tentang dispensasi pernikahan anak di bawah 16 tahun), kian memberi jalan bagi praktik pernikahan di bawah umur. Ditambah kurangnya kesadaran dan pemahamam kesehatan reproduksi, banyak ditemukan kasus anak perempuan yang mengalami kehamilan yang commit to user 50 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id tidak diinginkan (Kompasiana, http://edukasi.kompasiana.com /2011/12/07/ cegah-pernikahan anak - diindonesia). Solusi yang umum berlangsung di masyarakat adalah melalui pernikahan. Masyarakat sepertinya tidak memiliki pilihan lain, karena latar belakang pendidikan mereka umumnya rendah dan berasal dari kalangan keluarga petani dan buruh. Berdasarkan penjelasan di atas dapat dilihat pada tabel mengenai perkara Dispensasi Nikah yang masuk dan sudah di putus di Pengadilan Agama Sukoharjo dari tahun 2007 sampai 2011. Tabel. 1 Perkara Dispensasi Nikah Pada Tahun 2007-2011 Pengadilan Agama Sukoharjo Tahun 1 Jan Sdh dipts masuk masuk 2011 Perkara 2010 Perkara Sdh dipts 2009 masuk masuk Sdh dipts 2008 Perkara Sdh dipts masuk Perkara 2007 Perkara an Sdh dipts Bul 1 1 - - - - - - 4 4 1 1 - - 2 2 1 1 5 5 1 1 1 1 2 2 - - 2 2 - - - - 1 1 1 1 1 1 uari 2 Feb ruar i 3 Mar et 4 Apr il 5 Mei 1 1 - - 5 5 4 4 8 8 6 Juni - - - - 1 1 1 1 5 5 7 Juli 1 1 3 3 1 1 1 1 3 3 8 Ag - - 1 1 commit to user 1 1 3 3 2 2 ustu 51 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id s 9 Sep 1 1 1 1 1 1 4 4 6 6 - - - - 1 1 3 3 3 3 2 2 1 1 5 5 2 2 4 4 1 1 1 1 2 2 1 1 1 1 9 9 8 8 2 2 2 2 4 4 2 2 1 1 4 4 tem ber 1 Okt 0 obe r 1 No 1 ve mb er 1 Des 2 em ber Sumber: Pengadilan Agama Sukoharjo (2012) Tabel di atas adalah data yang berhasil dikumpulkan oleh penulis yang kemudian diolah dan disusun secara sistematis mengenai perkara dispensasi pernikahan yang masuk dan telah diputus di Pengadilan Agama Sukoharjo tiap tahun dalam kurun waktu lima tahun terakhir antara tahun 2007 sampai dengan tahun 2011. Agar data tersebut di atas bisa dipahami secara lebih terperinci, dalam hal ini penulis membuat grafik berdasarkan tabel di atas untuk menggambarkan fenomena peningkatan dispensasi pernikahan yang terjadi di Pengadilan Agama Sukoharjo dalam kurun waktu antara tahun 2007 sampai dengan tahun 2011 tersebut di atas. Gambar.3 Perkara Dispensasi Nikah Pada Tahun 2007-2011 commit to user 52 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id 50 45 40 35 30 25 jumlah perkara yg msuk yg sdh diputus 20 15 10 5 0 2007 2008 2009 2010 2011 Sumber: Pengadilan Agama Sukoharjo (2012) Grafik di atas dapat dicermati mengenai perkara Dispensasi Nikah yang masuk dan sudah di putus oleh Pengadilan Agama Sukoharjo Dari tahun 2007 sampai pada tahun 2010 mengalami naik turun. Terjadi kenaikan yang sangat signifikan pada tahun 2011 disebabkan oleh faktor-faktor antara lain yaitu pergaulan bebas, kurang memahami terhadap undang-undang perkawinan, serta semakin berkembangnya teknologi komunikasi yang mempermudah para remaja saling mengenal dan menjalin kedekatan diantara keduanya. Sehingga menyebabkan pernikahan di bawah umur yang memicu kenaikan terhadap permohonan dispensasi pernikahan di Pengadilan Agama Sukoharjo. Beberapa Contoh Penetapan Perkara Dispensasi Nikah Yang Sudah Diputus Di Pengadilan Agama Sukoharjo: 1) Perkara Nomor: 0017/Pdt.P/2010/PA. Skh. Dalam duduk perkaranya dijelaskan bahwa pemohon yang bekerja sebagai commit to user buruh, yang ingin menikahkan anak kandungnya perempuan yang berumur perpustakaan.uns.ac.id 53 digilib.uns.ac.id 14 tahun 11 bulan dengan calon suaminya yang berumur 19 tahun. Dalam duduk perkara permohonan tersebut bahwa sebelumnya para pihak yang akan dinikahkan telah bertunangan sejak lebih 2 tahun yang lalu dan berhubungan dengan sedemikian eratnya, bahkan anak pemohon sudah dalam keadaan hamil 4 bulan. Maka dalam hal ini pernikahan tersebut sangat mendesak untuk segera dilangsungkan. 2) Perkara Nomor: 0018/Pdt.P/2010/PA. Skh. Dalam duduk perkaranya dijelaskan bahwa pemohon yang ingin menikahkan anak kandungnya laki-laki yang berumur 17 tahun 3 bulan dengan calon isterinya yang berumur 18 tahun. Dalam duduk perkara permohonan tersebut bahwa sebelumnya para pihak yang akan dinikahkan telah bertunangan sejak 1 tahun yang lalu dan berhubungan dengan sedemikian eratnya, serta keduanya tidak ada larangan untuk menikah dan siap untuk membina hubungan rumah tangga. Maka dalam hal ini pernikahan tersebut sangat mendesak untuk segera dilangsungkan agar terhindar dari kemaksiatan. 3) Perkara Nomor: 0033/Pdt.P/2011/PA. Skh. Dalam duduk perkaranya dijelaskan bahwa pemohon yang bekerja sebagai buruh, yang ingin menikahkan anak kandungnya laki-laki berumur 17 tahun 8 bulan dengan calon isterinya yang berumur 16 tahun. Dalam duduk perkara permohonan tersebut bahwa sebelumnya para pihak yang akan dinikahkan telah bertunangan sejak 3 tahun yang lalu dan berhubungan dengan sedemikian eratnya, serta keduanya tidak ada larangan untuk menikah dan siap untuk membina hubungan rumah tangga. Maka dalam hal ini pernikahan tersebut sangat mendesak untuk segera dilangsungkan agar terhindar dari kemaksiatan. 4) Perkara Nomor: 0025/Pdt.P/2011/PA. Skh. Dalam duduk perkaranya dijelaskan bahwa pemohon, yang bekerja sebagai tukang kayu yang ingin menikahkan anak kandungnya laki-laki yang berumur 17 tahun 8 bulan dengan calon isterinya yang berumur 17 tahun 5 commit to user tersebut bahwa sebelumnya para bulan. Dalam duduk perkara permohonan perpustakaan.uns.ac.id 54 digilib.uns.ac.id pihak yang akan dinikahkan telah bertunangan sejak kurang lebih 2 tahun yang lalu dan berhubungan dengan sedemikian eratnya, serta keduanya tidak ada larangan untuk menikah dan siap untuk membina hubungan rumah tangga. Bahkan dalam pertimbangan hakim dijelaskan bahwa calon isteri sudah hamil selama 2 bulan sebelumnya. Maka dalam hal ini pernikahan tersebut sangat mendesak untuk segera dilangsungkan. 5) Perkara Nomor : 0001/Pdt.P/2012/PA.Skh. Dalam duduk perkaranya dijelaskan bahwa pemohon yang bekerja sebagai buruh, yang ingin menikahkan anak kandungnya laki-laki yang berumur 18 tahun 1 bulan dengan calon isterinya yang berumur 17 tahun. Dalam duduk perkara permohonan tersebut bahwa sebelumnya para pihak yang akan dinikahkan telah bertunangan sejak 6bulan yang lalu dan berhubungan dengan sedemikian eratnya, serta keduanya tidak ada larangan untuk menikah dan siap untuk membina hubungan rumah tangga. Maka dalam hal ini pernikahan tersebut sangat mendesak untuk segera dilangsungkan agar terhindar dari kemaksiatan. Berdasarkan beberapa contoh penetapan di atas, hampir memiliki kesamaan dalam duduk perkaranya yang didasari oleh alasan bahwa antara pihak-pihak calon suami maupun calon isteri telah bertunangan sebelumnya dan tidak ada larangan untuk melangsungkan pernikahan, bahkan ada diantaranya yang telah hamil sebelum pernikahan berlangsung. Dalam memberikan pertimbangan, meskipun hakim tidak memasukan alasan mengenai kehamilan yang terjadi pada calon isteri. Pada dasarnya hakim dalam memberikan penetapan tetap mengacu pada hal tersebut. Karena Hakim juga memandang terhadap calon isteri yang mengalami kehamilan tersebut apabila tidak segera dinikahkan atau bahkan permohonan dispensasi ditolak oleh hakim. Hal tersebut bisa mempengaruhi kondisi psikis bagi calon isteri yang mengalami kehamilan tersebut disebabkan rasa malu karena tidak memiliki ayah atas anak yang dikandungnya tersebut (Wawancara Hakim Drs. Munjid Lughowi di Pengadilan Agama Sukoharjo, 31/01/2012). Bahkan to user dari masyarakat sekitar, dengan tekanan yang lebih berat lagicommit akan muncul perpustakaan.uns.ac.id 55 digilib.uns.ac.id adanya gunjingan serta cemoohan dari masyarakat akibat mengalami kehamilan tanpa suami apabila tidak segera dinikahkan. Pada dasarnya dispensasi pernikahan diberikan kepada calon suami isteri yang belum cukup umur dalam melangsungkan pernikahan. Sehingga kondisi lahir batin kedua calon mempelai dalam hal ini dirasa belum mampu dalam membina hubungan rumah tangga dengan baik mengingat usia mereka yang masih muda dalam melangsungkan pernikahan. Dalam peradilan agama yang dicari hanya kebenaran formil dan bukan kebenaran materiil. Sehingga pertimbangan hakim dalam memberikan dispensasi hanya melihat dari bukti yang ada dalam fakta persidangan selama ini. Tidak mempertimbangkan pada kondisi materiil yang ada dalam kehidupan sosial yang akan dijalani kelak oleh kedua belah pihak yang akan melangsungkan pernikahan tersebut, apakah mereka mampu atau tidak dalam membina hubungan rumah tangga ke depannya. Karena dalam hal ini, Hakim juga mengalami dilema dalam mengabulkan permohonan dispensasi bagi pernikahan anak karena mayoritas pasangan-pasangan tersebut sudah mengalami kehamilan di luar nikah. Adapun pertimbangan Hakim dalam memberikan dispensasi pernikahan adalah: a) Dikhawatirkan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seandainya tidak segera dinikahkan; Dalam memberikan pertimbangan ini Hakim memandang bahwa, apabila tidak segera dinikahkan akan berakibat fatal bagi keluarga maupun masyarakat sekitar. Mengingat hubungan antara keduanya sudah sangat dekat, ditakutkan mereka akan melakukan perbuatan zina yang jelas melanggar norma agama dan undang-undang. Maka hakim memberikan pertimbangan ini dalam memberikan penetapan dispensasi pernikahan yang diputus. b) Anak Pemohon menyatakan siap baik fisik maupun mental dalam membina hubungan rumah tangga; commit to user 56 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Berdasarkan atas kesaksian dalam persidangan serta bukti-bukti yang menguatkan, bahwa anak pemohon siap baik fisik maupun mental untuk memasuki jenjang perkawinan dan siap menjadi seorang suami isteri yang baik, dengan membina hubungan rumah tangga yang bertanggung jawab pada keluarga. Dengan melihat bahwa calon suami sudah bekerja dan memiliki penghasilan serta mampu dan berkemauan utnuk membina hubungan keluarga, maka daripada itu hakim memberikan pertimbangan ini dalam memberikan penetapan dispensasi pernikahan yang diputus. c) Tidak ada hubungan yang menjadikan keduanya terlarang untuk melangsungkan pernikahan; Berdasarkan pada bukti dan fakta persidangan yang ada, bahwa calon suami dan calon isteri tidak ada larangan untuk melakukan pernikahan. Sesuai dengan Pasal 8 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Maka hakim memberikan pertimbangan ini dalam memberikan penetapan dispensasi pernikahan yang diputus. d) Berdasar Pasal 7 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 perlu diberikan Dispensasi Nikah Mengacu pada pasal tersebut, Hakim memandang perlunya diberikan dispensasi pada calon suami dan calon isteri agar terhindar dari kerusakankerusakan dalam menjalankan agama Islam sesuai dengan kaidah Fiqih, meninggalkan mafasadat atau kerusakan lebih diutamakan daripada mengambil kemaslahatan. Maka hakim memberikan pertimbangan ini dalam memberikan penetapan dispensasi pernikahan yang diputus. commit to user 57 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id B. Dampak Dispensasi Pengadilan Agama Terhadap Kehidupan Sosial Masyarakat Di Sukoharjo Pemberian dispensasi pernikahan oleh Hakim kepada anak di bawah umur dalam melangsungkan pernikahan bisa memiliki dampak positif maupun negatif, baik bagi pihak yang diberi dispensasi maupun bagi kehidupan sosial di sekitarnya. 1. Dampak Positif Dari Adanya Dispensasi Pernikahan a. Sebagai Solusi Untuk Mengatasi Keresahan Dalam Masyarakat Akibat Hamil Diluar Nikah Dispensasi pernikahan bisa menjadi solusi untuk mengatasi keresahan yang timbul dalam masyarakat apabila dalam masyarakat tersebut ada anak remaja yang belum cukup umur untuk melakukan pernikahan, namun karena sudah sedemikian dekatnya berpacaran dan tidak bisa dipisahkan lagi bahkan mereka telah melakukan hubungan diluar nikah, hal tersebut bisa memicu keresahan dalam masyarakat dan harus bagaimanakah mereka mencari jalan keluar untuk mengatasi masalah tersebut. Maka dalam hal inilah dispensasi Pengadilan Agama bisa dijadikan sebagai upaya terakhir atau tindakan darurat untuk dilakukan demi menghindari akibat yang tidak diinginkan yang timbul dalam masyarakat yang biasa dinamakan “kumpul kebo” (wawancara Drs. H.A. Shonhadji Ali, M.HI Ketua Pengadilan Agama Sukoharjo, 12/06/2012). b. Untuk Mendapatkan Kepastian Hukum Bagi Pelaku Kawin Hamil Kasus kawin hamil di luar nikah secara khusus diatur dalam Pasal 53 KHI. Pasal tersebut menjelaskan tentang kebolehan melangsungkan perkawinan bagi wanita hamil di luar nikah (Nurul Huda, 2009: 40). Meskipun demikian, ada ketentuan yang harus dipenuhi dalam perkawinan tersebut, diantaranya: 1) Seorang wanita hamil di luar nikah bisa dikawinkan dengan pria commit to user yang menghamilinya. 58 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id 2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya. 3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir. Ketentuan Pasal 53 KHI tentang kebolehan melangsungkan perkawinan bagi wanita hamil ini bisa dikategorikan kontroversial karena akan melahirkan perdebatan dan silang pendapat dari berbagai kalangan. Pendapat yang kontra tentu akan merasa keberatan dengan ketentuan ini yang dinilai longgar dan cenderung kompromistis. Bisa dimungkinkan ketentuan ini justru akan dijadikan payung hukum legalisasi perzinaan (Nurul Huda, 2009: 40). Pasal 53 KHI tersebut tidak memberikan sanksi atau hukuman bagi pezina, melainkan justru memberi solusi kepada seseorang yang hamil akibat perzinaan itu untuk segera melangsungkan perkawinan (Nurul Huda, 2009: 40). Padahal dalam fiqih telah dijelaskan perihal hukuman terhadap pelaku zina, diantaranya: jika pelaku zina itu sudah menikah (zina muhsan) hukumannya adalah didera seratus kali dan kemudian dirajam. Bagi pelaku zina yang belum menikah (zina ghairu muhsan) hukumannya adalah didera seratus kali dan kemudian diasingkan ke tempat lain selama satu tahun (Asy Syaukani, 1994: 550). Kendati demikian, ketentuan Pasal 53 KHI tersebut juga berpegangan pada alasan logis dan bisa dijadikan landasan hukum untuk diterapkan dalam tatanan kehidupan masyarakat di Indonesia. Kebolehan melangsungkan perkawinan bagi wanita hamil menurut ketentuan Pasal 53 KHI, secara tegas dibatasi pada perkawinan dengan laki-laki yang menghamilinya. Hal tersebut berlandaskan pada firman Allah SWT dalam surat An-Nur ayat 3: Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik. Dan perempuan yang berzina commit to useryang berzina atau laki-laki yang tidak dikawini melainkan laki-laki 59 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id musyrik. Dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang mukmin (Q.S. al-Nur: 3). Dalam Hadits riwayat ‟Aisyah, yaitu ketika Rasulullah SAW ditanya tentang seorang laki-laki yang berzina dengan seorang wanita, lalu laki-laki itu berniat mengawininya. Saat itu Rasulullah s.a.w. menjawab: Permulaannya perzinaan, tetapi akhirnya adalah pernikahan (perkawinan). Dan yang haram itu tidak mengharamkan yang halal (HR. Al-Thabraniy dan al-Daruquthniy) (Daradjat,1995: 113). Perzinaan merupakan perbuatan yang haram, sedangkan perkawinan merupakan perbuatan yang halal, sehingga dalam konteks hadits ini menunjukkan bahwa perbuatan yang haram (zina) tidak bisa mengharamkan perbuatan yang halal (kawin). Dengan demikian, keharaman perzinaan itu tidak dapat mengharamkan pelaksanaan perkawinan, meskipun yang melangsungkan perkawinan itu adalah pasangan yang sebelumnya melakukan perzinaan sehingga menyebabkan wanita hamil. Selain itu, peristiwa yang diriwayatkan Ibnu Umar, yaitu ketika Abu Bakar As-Shiddiq sedang di masjid, tiba-tiba datang seorang lakilaki dan berbicara tidak jelas serta tampak kebingungan. Kemudian, Abu Bakar menyuruh Umar untuk mendatangi dan melihat laki-laki itu, dan ketika Umar mendapatkan jawaban laki-laki itu mempunyai seorang tamu, lalu tamunya itu berzina dengan anak perempuannya. Seketika itu Umar langsung memukul laki-laki itu dan berkata: Jelek sekali engkau ini. Kenapa tidak engkau tutupi, tidak engkau rahasiakan saja hal anakmu itu? Abu Bakar lalu memerintahkan agar laki-laki yang berzina dan anak perempuan itu dihukum had, kemudian Abu Bakar mengawinkan keduanya, lalu mengasingkan keduanya setahun”(al-„Arabi, tt: 262). Peristiwa riwayat Ibnu Umar tersebut menyiratkan pesan commit to user implisit agar tidak menyebarkan perzinaan yang dilakukan anggota 60 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id keluarga kepada khalayak atau di depan publik, tetapi dengan menutup atau merahasiakan sehingga tidak menjadi aib keluarga maupun pasangan yang berzina. Untuk kemudian segera melakukan langkah penyelesaian secara konkret yaitu dengan segera melangsungkan perkawinan agar perzinaan itu tidak terus berlanjut dan berulang-ulang dilakukan. Uraian normatif di atas merupakan landasan bagi istimbat hukum ditetapkan ketentuan Pasal 53 KHI tersebut. Selain berpegang pada landasan normatif sebagaimana dalam uraian di atas, ketentuan Pasal 53 tersebut juga berpegangan pada beberapa faktor yang dapat memperkuat kedudukan Pasal 53 tersebut. Dalam hal ini ada empat (4) faktor yang bisa menjadi landasan hukum atas terbitnya ketentuan pasal 53 KHI, yaitu: a. Faktor filosofis (Nurul Huda, 2009: 42) Setiap pembuatan undang-undang, peraturan, maupun ketentuan hukum harus didasari adanya landasan filosofis. Landasan filosofis mutlak diperlukan karena keberadaannya untuk menjelaskan maksud, cita-cita, atau tujuan ditetapkan sebuah hukum, peraturan, maupun ketentuan. Jika sebuah hukum, peraturan, maupun ketentuan itu tidak didasari landasan filosofis ini maka dalam produk hukum, peraturan, maupun ketentuan tersebut akan hampa dan kehilangan makna karena mengalami disorientasi. Hal yang sama juga berlaku dalam ketentuan Pasal 53 KHI tersebut. Ketentuan Pasal 53 tersebut mempunyai landasan filosofis untuk melindungi kelangsungan hidup wanita hamil di luar nikah, sekaligus menjaga kelangsungan hidup anaknya, agar kelak setelah lahir dapat melangsungkan kehidupannya secara normal dan tidak kehilangan haknya sebagai manusia secara individu maupun sebagai anggota masyarakat. commit to user 61 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Didasari semangat itulah, maka ketentuan Pasal 53 KHI tersebut membolehkan wanita hamil di luar nikah melangsungkan perkawinan dengan laki-laki yang menghamilinya, untuk menghindari dampak negatif lain yang akan diterima khususnya oleh wanita dan anak sebagai pihak yang paling merasakan akibatnya. Keberadaan ketentuan Pasal 53 KHI tersebut sekaligus menjadi landasan bagi pihak wanita untuk menuntut pihak laki-laki agar bersedia bertanggung jawab, dan diwujudkan dengan melangsungkan perkawinan serta menjalankan kewajibannya sebagai suami sebagaimana dalam keluarga yang normal. Selanjutnya, landasan filosofis tersebut akan didukung oleh landasan-landasan lain, yang secara logis menjadi dasar perlu ditetapkan ketetapan Pasal 53 KHI tersebut. b. Faktor Sosiologis Di Indonesia, sebelumnya tidak terdapat hukum tertulis perihal penyelesaian wanita hamil di luar nikah. Masyarakat biasanya menggunakan penyelesaian dengan cara melangsungkan perkawinan antara wanita hamil tersebut dengan laki-laki yang menghamilinya tanpa menunggu kelahiran anak yang dikandung. Cara ini bertujuan untuk menutup aib agar tidak diketahui masyarakat luas (Nurul Huda, 2009: 42-43). Selama para pelaku zina dan keluarga mampu menjaga rahasia itu, maka para pezina dan juga anaknya akan selamat dari tanggapan masyarakat. Masyarakat dalam menanggapi perzinaan biasanya dengan melakukan pengasingan atau pengisolasian terhadap pelaku zina, keturunan, dan bahkan kepada keluarganya sekalipun. Tanggapan memanusiakan pelaku masyarakat zina, tersebut keluarga, bahkan tentu anak tidak yang semestinya tidak melakukan dosa namun harus menerima hukuman commit to user itu (Nurul Huda, 2009: 42-43). 62 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Dalam rangka menjaga kelangsungan hidup pelaku zina dan terutama anaknya, maka diperlukan payung hukum berupa ketentuan yang mengatur tentang kebolehan melangsungkan perkawinan bagi wanita hamil karena zina. Selain itu, ketentuan Pasal 53 KHI tersebut bisa dikatakan mengadopsi penyelesaian masyarakat dengan cara melangsungkan perkawinan antara pasangan zina tersebut (Nurul Huda, 2009: 42-43). Sistem adopsi tersebut didukung oleh realitas sejarah yang menunjukkan bahwa produk-produk pemikiran yang sering dianggap sebagai hukum Islam itu tidak lebih merupakan hasil interaksi antar pemikir hukum dengan lingkungan sosio-kultural atau sosio-politik yang mengitarinya (Mudzhar, 2000: 105). Produk hukum semacam itu bisa diterima sebagai hukum positif dan bagian dari pengembangan hukum yang bersifat ijtihadiyah (Mu‟allim dan Yusdani, 1999: 131). Sistem adopsi ini juga didukung kaidah ushul fiqh yang mengatakan: “Adat kebiasaan itu bisa menjadi hukum” (Haroen,1996: 142). Kaidah ushul fiqh tersebut menunjukan kebolehan mengadopsi adat atau kebiasaan masyarakat tertentu untuk diterapkan menjadi sebuah ketentuan hukum. Imam alQarafi (w. 684 H) membolehkan mengadopsi adat atau kebiasaan masyarakat tersebut dengan meneliti kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat setempat, sehingga hukum yang ditetapkan itu tidak bertentangan atau menghilangkan kemaslahatan masyarakat setempat (Haroen, 1996: 142). Kebolehan tersebut sekaligus menetapkan, dalam pelaksanaan produk hukum diberlakukan asas lex specialis derogat legi generali, yang berarti penerapan hukum yang bersifat dan berlaku khusus bisa mengesampingkan penerapan hukum yang bersifat dan berlaku umum (Hamzah, 1986: 352). Melalui langkah commit to user ini maka ketentuan Pasal 53 KHI ini mempunyai landasan 63 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id sosiologis yang kuat, sehingga akan efektif diterapkan dalam masyarakat Indonesia. c. Faktor Psikologis Kehamilan seorang wanita disebabkan zina pada dasarnya adalah kehamilan yang tidak diinginkan. Dihadapkan pada situasi ini, wanita menjadi pihak yang paling merasakan tekanan psikologis yang sangat kuat. Jika kondisi seperti itu dibiarkan berlarut-larut dan tidak segera dilangsungkan perkawinan dengan laki-laki yang menghamilinya, maka dikhawatirkan situasi lebih buruk akan terjadi. Seperti kasus bunuh diri dan aborsi biasanya didominasi oleh tekanan psikologis akibat kehamilan di luar nikah (Nurul Huda, 2009: 43-44). Kedua kasus tersebut bisa terjadi karena wanita merasa hidupnya tidak nyaman, selalu dihantui rasa malu, rendah diri, perasaan berdosa, depresi, pesimis, dan sebagainya (Zein dan Suryani, 2005: 114). Namun ternyata, jika kemudian wanita hamil tersebut tetap menjalani kehidupannya seperti semula dan memilih menjadi orang tua tunggal (single parent), langkah itu juga tidak mampu memberi garansi bagi kesehatan mental pada anak. Seperti ibunya, anak juga akan mendapatkan tekanan psikologis yang sama. Perkembangan psikologis anak menjadi tidak sehat selain karena faktor aib latar belakang kelahirannya sehingga eksistensinya dilabeli sebagai “anak haram”, juga karena disebabkan faktor realitas keluarganya yang tidak utuh. Realitas tersebut tentu akan menjadi dampak lanjut, karena keutuhan keluarga juga menjadi faktor yang mempengaruhi perkembangan psikologis dan sosial seorang anak (Gerungan, 2004: 199). Dalam perkembangan hidup seperti itu, anak tidak mendapatkan perhatian dan kasih sayang secara utuh, karena hanya commit to user mendapatkan kasih sayang secara sepihak dari ibunya. Dalam 64 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id situasi yang timpang ini tidak menutup kemungkinan anak tersebut menjadi pribadi yang pesimis, rendah diri, atau bahkan kelak justru berubah menjadi kejam karena merasa ditelantarkan bapaknya. Problem lanjut inilah yang menjadi landasan psikologis perlu ditetapkan ketentuan Pasal 53 KHI tersebut (Nurul Huda, 2009: 4344). Perspektif psikologis tersebut memperlihatkan bahwa ketetapan Pasal 53 KHI tersebut ditujukan untuk melakukan upaya preventif guna mencegah terjadinya problem lanjut dan sudah barang tentu akan menimbulkan persoalan baru bagi upaya pembangunan kesehatan bangsa yang meliputi, kesehatan jasmani dan kesehatan mental bangsa. d. Faktor Yuridis Di Indonesia, sebelumnya tidak terdapat hukum tertulis perihal penyelesaian wanita hamil di luar nikah. Masyarakat biasanya menggunakan penyelesaian dengan cara melangsungkan perkawinan antara wanita hamil tersebut dengan laki-laki yang menghamilinya, tanpa menunggu kelahiran anak yang dikandung. Karena tidak adanya hukum tertulis yang mengatur mengenai kawin hamil sebelumnya, maka dalam hal ini timbullah pemikiran mengenai munculnya pasal 53 KHI tersebut guna mendapatkan kepastian hukum bagi pelaku kawin hamil yang terjadi dalam masyarakat guna mendapatkan kepastian hukum tentang statusnya sebagai pasangan suami isteri yang sah. 2. Dampak Negatif Dari Adanya Dispensasi Pernikahan a. Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dampak negatif yang ditimbulkan dari adanya dispensasi pernikahan yaitu kekerasan dalam rumah tangga yang kerap terjadi pada pasangan muda diakibatkan belum matang kondisi psikologisnya commit rumah to user tangga, sehingga hal ini juga dalam membina hubungan 65 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id berdampak pada terganggunya kesehatan mental dari masing-masing pasangan (wawancara Drs. H.A. Shonhadji Ali, M.HI Ketua Pengadilan Agama Sukoharjo, 12/06/2012). Hal tersebut juga di dukung berdasarkan hasil penelitian yang mengungkapkan bahwa pernikahan anak cenderung membawa dampak buruk bagi pelaku. Dampak yang signifikan adalah terganggunya kesehatan reproduksi, seperti mengalami kehamilan berisiko dan komplikasi kehamilan (Kompasiana, http://edukasi.kompasiana .com/2011/12/07/cegah-pernikahan anak - diindonesia). b. Indikasi Peningkatan Perceraian Pasangan Usia Muda. “Divorce is a complex event that can be viewed from multiple perspectives” (Paul R. Amato, 2003: 602). Dispensasi merupakan salah satu factor pemicu kenaikan jumlah perceraian yang terjadi pada pasangan muda. Hal ini di dukung berdasarkan data dalam 5 (lima) tahun terakhir, rata-rata terjadi 2 juta perkawinan per tahun, dimana terdapat 200 ribu kasus perceraian (sekitar 10%) yang sebagian besar dialami pasangan muda (Surya Dharma Ali, Menteri Agama, “Infotainment Dongkrak Angka Perceraian”, www.jpnn .com/index.phb?mib=berita, 12/01/2010). Peningkatan perceraian yang sebagaian besar adalah pasangan muda terjadi di beberapa daerah seperti Kab. Bulungan, Kalimantan Timur (M. Nasir, Panitera Muda Pengadilan Agama Bulungan, “203 Perceraian, Mayoritas Usia Muda”, www.kaltimpost .co.id/index.Php?mib =berita ,28/11/2009) dan Provinsi Bangka Belitung (Nasrudin, Panitera Muda Pengadilan Tinggi Agama Babel, “340 Pasutri Pilih Cerai”, www.cetak.bangkapost.com/tbabel/read /24423.html,) yang disebabkan faktor ekonomi, orang ketiga dan tidak ada tanggungjawab salah satu pasangan. ”There exists substantial controversy and uncertainty about the impact of divorce on children” (Betsey Stevenson and Justin Wolfers, to user 2007: 30). Selain itu commit perceraian pasangan usia muda menimbulkan 66 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id dampak sosial lain seperti keterpurukan ekonomi sehingga mendorong perempuan terjerembab ke dalam prostitusi. Kondisi masyarakat dihadapkan dengan kecenderungan meningkatnya prostitusi oleh perempuan usia anak akibat perceraian yang dialami pasangan nikah pada usia anak. Fenomena perceraian pada usia muda selama ini juga terjadi di sukoharjo. Berdasarkan observasi atau pengamatan yang penulis lakukan selama melakukan penelitian di Pengadilan Agama Sukoharjo dengan mengikuti jalannya kasus sidang perceraian serta membaca beberapa putusan yang sudah di putus dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, dengan mengambil salah satu sampel putusan pada tiap tahun di pengadilan agama sukoharjo. Terdapat fakta bahwa, kebanyakan kasus perceraian yang terjadi rata-rata antara usia 20-25 tahun. Padahal seharusnya pada usiausia tersebut adalah waktu yang tepat dalam melangsungkan suatu pernikahan, namun malah sebaliknya. Jumlah cerai talak maupun cerai gugat, antara pihak-pihak baik penggugat maupun tergugat kebanyakan berusia masih sangat muda antara usia 20-25 tahun. Berdasarkan penjelasan di atas dapat dilihat dalam tabel mengenai perkara perceraian yang masuk dan sudah di putus di Pengadilan Agama Sukoharjo dari tahun 2007 sampai 2011. Tabel 2. Jumlah Perkara Perceraian yang Sudah Diputus Di Pengadilan Agama Sukoharjo Dari Tahun 2007-2011 Tahun 2007 2008 2009 2010 2011 Cerai Talak 257 486 288 369 355 Cerai Gugat 438 943 625 700 736 Sumber: Pengadilan Agama Sukoharjo (2012) commit to user Jumlah 695 1429 913 1069 1091 67 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Dari tabel diatas dapat dilihat banyaknya kasus perceraian yang terjadi selama kurun waktu lima tahun terakhir dari tahun 20072011. Terjadi peningkatan yang sangat signifikan dari tahun 20072008. Namun terjadi penurunan pada tahun 2009 dan kembali lagi mengalami kenaikan pada tahun-tahun berikutnya sampai pada tahun 2011. Perceraian pada usia muda bukanlah merupakan faktor yang utama sebagai dampak dari dispensasi, namun demikian hal tersebut merupakan salah satu indikasi akibat dampak dari dispensasi yang terjadi di Sukoharjo, yaitu memicu kenaikan jumlah angka perceraian pada usia 20-25 tahun dalam kehidupan masyarakat di sukoharjo yang disebabkan belum matang kondisi psikologis pelaku pernikahan di bawah umur, sehingga hal ini juga berdampak pada terganggunya kesehatan mental dari masing-masing pasangan. c. Berpotensi Melanggar Hak-Hak Anak, Terutama Bagi Anak Perempuan Secara umum dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 C ayat 1, menyebutkan bahwa setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. Dalam Pasal 9 ayat 1 Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak menyebutkan bahwa setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. Sedangkan dalam pasal 11 menyebutkan bahwa setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan commit to user diri. 68 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Berdasarkan penjelasan beberapa pasal tersebut di atas, pernikahan anak berpotensi melanggar hak-hak anak, terutama bagi anak perempuan. Pasca menikah, anak akan kehilangan hak untuk mengekspresikan pandangan secara bebas, hak untuk mendapatkan perlindungan dari segala bentuk kekerasan fisik dan mental, dan hak untuk mendapat pendidikan dasar yang sama. Banyak dijumpai, siswi yang mengalami kehamilan tak diinginkan kemudian dikeluarkan dari sekolah dengan alasan pelanggaran norma dan merusak citra sekolah (Kompasiana,http://edukasi.kompasiana.com/2011/12/07/cegah-pernik ahan-anak-di indonesia). Dalam hal ini jelas melanggar hak anak untuk mendapat pendidikan. Tidak mudah menghentikan praktik pernikahan anak di Indonesia. Namun demikian, ada beberapa hal yang bisa dilakukan agar siklus itu tidak berkelanjutan. Di tingkat nasional, perlu dilakukan upaya penyelarasan undang-undang dan peraturan pemerintah yang berkaitan dengan pernikahan dengan sejumlah konvensi internasional yang sudah diratifikasi pemerintah. Dalam hal ini diperlukan sosialisasi dan pendekatan perlindungan anak berbasis hak, pemberdayaan ekonomi bagi keluarga miskin, membuat peraturan daerah tentang pencegahan pernikahan anak, dan memberlakukan wajib belajar 12 tahun dengan kurikulum yang mengadaptasi pendidikan kesehatan reproduksi. Dengan demikian, aspek sosial dan aspek pelanggaran HAM terhadap pernikahan dibawah umur dapat diminimalisir. commit to user perpustakaan.uns.ac.id 69 digilib.uns.ac.id C. Efektivitas Pasal 7 Ayat 2 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Yang Mengatur Mengenai Dispensasi Pernikahan Yang Berkaitan Dengan Hubungan Diluar Nikah Dalam Mendapatkan Suatu Kepastian Hukum 1. Terjadi Disharmonisasi Antara Undang-Undang Perkawinan Dengan Undang-Undang Perlindungan Anak Pernikahan diatur dalam hukum positif Indonesia yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 menyatakan bahwa “perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seseorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Perkawinan diperbolehkan bagi pasangan pria dan wanita yang telah memenuhi batasan usia perkawinan bahwa “Perkawinan hanya diizinkan jika pria sudah umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 (enam belas) tahun (sesuai Undang-Undang Perkawinan Pasal 7 ayat 1). Ketentuan tersebut secara eksplisit mengisyaratkan bahwa setiap perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria yang belum mencapai 19 tahun atau wanita yang belum mencapai 16 tahun sebagai pernikahan dibawah umur, harus memiliki konsekuensi hukum. Apabila pernikahan yang dilakukan belum sesuai atau belum cukup umur, dalam pasal 7 ayat 2 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 memperbolehkan adanya dispensasi bagi anak yang belum cukup umur tersebut, untuk melangsungkan pernikahan dengan memintakan dispensasi ke pengadilan agama dengan sebuah penetapan. Pernikahan dibawah umur oleh pasangan yang belum memenuhi batas usia pernikahan pada hakekatnya suatu pernikahan yang dikerjakan oleh seseorang pada usia anak-anak. Undang-Undang Perlindungan Anak menegaskan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan (Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No 23 commit to user Tahun 2002). 70 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Dalam undang-undang perkawinan, memperbolehkan adanya pernikahan di bawah umur kepada pasangan yang belum cukup usia dalam melangsungkan pernikahan. Hal tersebut diwujudkan dalam pasal 7 ayat 2 mengenai dispensasi pernikahan. Sehingga dalam hal ini, hukum yang ada memberikan ruang bagi keberlangsungan praktek-praktek pernikahan di bawah umur. Namun demikian, dalam undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak dalam pasal 26 ayat 1 point c menyebutkan bahwa orang tua berkewajiban untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak, dan menjadi kewajiban keluarga manakala orang tua tidak dapat melakukan kewajiban dan tanggungjawabnya atas suatu alasan, agar terlindungi dan terjaga hak-hak sebagai anak. Kebijakan pembatasan usia perkawinan pada dasarnya memberikan hak-hak anak untuk menjalani siklus kehidupan secara natural dan manusiawi tanpa eksploitasi, diskriminasi dan penindasan. Dengan demikian, berdasarkan penjelasan di atas, antara undangundang perkawinan dan undang-undang perlindungan anak telah terjadi disharmonisasi atau terdapat peraturan yang bertentangan di dalamnya. Dalam undang-undang perkawinan memperbolehkan perkawinan di bawah umur, namun di sisi lain dalam undang-undang perlindungan anak melarang adanya perkawinan di bawah umur atau belum mencapai usia yang pantas dalam melangsungkan pernikahan. 2. Ketidakjelasan Rumusan Dispensasi Pernikahan Dalam hukum positif di Indonesia tidak diatur mengenai ketentuan kawin hamil diluar nikah. Sehingga menimbulkan ketidakpastian apakah hal tersebut diperbolehkan atau tidak, melanggar ketentuan hukum pidana atau tidak. Mengingat bahwa secara hukum hubungan di luar nikah atau persetubuhan di luar perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap perempuan yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum berumur 15 (lima belas) tahun dimasukkan sebagai perbuatan to userNamun dalam masyarakat untuk pidana (Neng Djubaedah,commit 2010:67). 71 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id menutupi perbuatan tersebut biasanya pihak keluarga segera menikahkan anak yang melakukan perbuatan perzinaan tersebut untuk menutupi aib yang telah dilakukannya. Jika pelaku perzinaan tersebut belum cukup umur, untuk melangsungkan pernikahan maka masyarakat menggunakan upaya terakhir dengan meminta dispensasi pernikahan di Pengadilan Agama untuk melegalkan perbuatan yang semulanya adalah haram dan mengandung unsur pidana. Dalam ketentuan Undang-Undang Perkawinan pada pasal 7 ayat 2 yang mengatur mengenai dispensasi pernikahan, selama ini tidak memberikan batasan yang jelas mengenai kawin hamil bagi anak di bawah umur dalam melangsungkan pernikahan, apakah diperbolehkan atau tidak dalam mengajukan permohonan dispensasi. Karena jika alasan mengajukan dispensasi pernikahan disebabkan karena hamil terlebih dahulu. Hal ini bisa disebabkan karena keterpaksaan untuk melangsungkan pernikahan. Karena pada dasarnya calon suami isteri tersebut melakukan pernikahan disebabkan karena kecelakaan akibat perzinaan yang dilakukan sebelumnya. Berdasarkan Pasal 287 KUHP persetubuhan di luar perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap perempuan yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum berumur 15 (lima belas) tahun dimasukkan sebagai perbuatan pidana (Neng Djubaedah, 2010:67). Hal ini juga ditegaskan dalam hukum Islam bahwa bagi pelaku zina yang belum menikah (zina ghairu muhsan) hukumannya adalah didera seratus kali dan kemudian diasingkan ke tempat lain selama satu tahun (Asy Syaukani, 1994: 550). Namun dengan adanya dispensasi pernikahan pelaku zina tersebut lolos dari hukum pidana maupun hukum cambuk seratus kali apabila pelaku zina tersebut beragama Islam. Sikap masyarakat secara umum cenderung bersikap pemakluman terhadap terjadinya pernikahan di bawah umur, bahkan dianggap peristiwa commit tohukum user yang biasa terjadi karena positif perkawinan tidak perpustakaan.uns.ac.id 72 digilib.uns.ac.id mengkriminalkan pernikahan dibawah umur. Sehingga ada kebuntuan hukum dalam meminimalisir dan mencegah terjadinya pernikahan dibawah umur. Undang-Undang Perkawinan memberikan toleransi bagi setiap warga negara yang batas usianya belum mencukupi dengan surat dispensasi dari pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita (Pasal 7 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974). Pelaku dan para pihak yang terlibat dalam pernikahan dibawah umur akan sulit dikriminalkan tanpa melihat aspek sebab-sebab (alasan), proses dan tujuan dari pernikahannya. Dalam undang-undang perkawinan sendiri sebenarnya telah terjadi inkonsistensi dalam pasalnya, yaitu antara pasal 7 ayat 1 yang menyebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun, dan dalam pasal 7 ayat 2 pasal tersebut berbalik dengan menyebutkan jika terdapat penyimpangan dalam pasal 7 ayat 1, dapat minta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita. Padahal dalam pasal 7 ayat 1 sudah jelas menyebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila para pihak sudah memenuhi usia minimal yang telah ditentukan dalam undang-undang itu sendiri. Namun hal tersebut bisa dibatalkan bahkan diterobos oleh pasal 7 ayat 2, yang memperbolehkan melakukan perkawinan di bawah umur yang sudah ditentukan dalam undang-undang itu sendiri. Dalam hal ini, peraturan dalam pasal 7 ayat 1 menjadi “kabur” atau tidak jelas, dengan adanya pasal 7 ayat 2. Di sisi lain membatasi usia pernikahan, namun pada sisi lain aturan yang sudah ada tersebut justru bisa diterobos oleh aturan yang lain dalam undang-undang tersebut. Menurut pendapat Achmad Ali, hal tersebut bisa dikategorikan sebagai “Sleeping law” atau aturan hukum yang tidur. Maksudnya adalah aturan commit to user perpustakaan.uns.ac.id 73 digilib.uns.ac.id hukum tersebut tetap digunakan, tetapi tidak secara optimal, ibarat orang yang terkantuk-kantuk (Achmad Ali, 2009: 209). Tidak adanya ketentuan pidana dalam undang-undang perkawinan menyebabkan sulitnya memberikan hukuman terhadap pernikahan di bawah umur. Kriminalisasi terhadap pernikahan di bawah umur, lebih berdasarkan pada adanya pelanggaran atas hak asasi manusia yaitu melanggar hak asasi anak (Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Bagian Kesepuluh tentang Hak Anak pasal 52 sampai pasal 66), antara lain ; pertama, hak untuk mendapatkan pendidikan. Kedua, hak untuk berpikir dan berekspresi. Ketiga, hak untuk menyatakan pendapat dan didengar pendapatnya. Keempat, hak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan teman sebaya, bermain, berekspresi, dan berkreasi. Kelima, hak mendapat perlindungan. Dengan demikian, tindakan perkawinan atau pernikahan di bawah umur tidak serta merta menjadi tindakan melanggar hukum atau tindakan kriminal, karena diperlukan beberapa unsur kriminalnya, seperti adanya pemaksaan, kekerasan atau ancaman kekerasan, dan atau eksploitasi, sebagaimana ketentuan pidana dalam Pasal 81, pasal 82 dan pasal 88 Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, serta pasal 13 dan 26 dalam undang-undang tersebut. Dengan demikian, kriminalisasi pernikahan di bawah umur lebih berorientasi terhadap pelanggaran Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM dan UndangUndang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 3. Efektivitas Pasal 7 Ayat 2 Mengenai Dispensasi Pernikahan. Banyaknya kasus mengenai hubungan seks diluar nikah atau perzinaan yang terjadi dikalangan remaja pada saat ini sungguh sangat memprihatinkan. Apalagi banyaknya kasus tersebut dilakukan oleh anak yang belum cukup umur dalam melangsungkan pernikahan yang kemudian berakibat fatal sehingga menyebabkan kehamilan. Karena faktor inilah commit to user yang kemudian memicu kawin hamil yang dilakukan oleh anak di bawah perpustakaan.uns.ac.id 74 digilib.uns.ac.id umur. Karena pihak-pihak yang melangsungkan pernikahan belum cukup umur, sehingga perlu permohonan dispensasi ke Pengadilan Agama. Hal semacam ini yang selama ini dijumpai di Kabupaten Sukoharjo. Berdasarkan pada Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dalam pasal 7 ayat 2 memperbolehkan adanya dispensasi pernikahan bagi anak dibawah umur dalam melakukan pernikahan. Melihat dari jumlah peningkatan perkara dispensasi pernikahan pada tahun 2007-2011. Dalam hal ini penulis berpendapat, bahwa penerapan pasal 7 ayat 2 Undang-Undang perkawinan pada kehidupan masyarakat di Sukoharjo, telah berjalan secara efektif guna mendapatkan kepastian hukum bagi pelaku kawin hamil atau hubungan seks diluar nikah, guna mendapatkan kepastian hukum untuk melakukan suatu perkawinan.yang selama ini semakin marak terjadi di kabupaten Sukoharjo. Hal tersebut didukung berdasarkan data perkara dispensasi yang masuk dan sudah di putus oleh Pengadilan Agama Sukoharjo. Dari tahun 2007 dan 2008 yang hanya ada 9 dan 8 perkara saja, namun terjadi peningkatan pada tahu 2009 dan 2010 menjadi 22 dan 21 perkara. Kemudian pada tahun selanjutnya di tahun 2011 terjadi peningkatan yang sangat drastis menjadi 44 perkara. Dalam fakta persidangan dan juga alasan pengajuan dispensasi oleh Pemohon,yang terdapat dalam beberapa putusan yang telah di putus oleh Pengadilan Agama di Sukoharjo. Antara lain terdapat dalam penetapan dengan nomorperkara: 0017/Pdt.P/2010/PA. Skh dan penetapan dengan nomor perkara: 0025/Pdt.P/2011/PA. Skh, yang telah dijelaskan isinya pada pembahasan sebelumnya diatas. Selama ini dilatarbelakangi bahwa pihak wanita sudah mengalami kehamilan terlebih dahulu sebelum melakukan pernikahan secara sah, berdasarkan hukum positif maupun hukum agama yang berlaku di Indonesia serta masyarakat di Sukoharjo pada khususnya. Menurut keterangan dari Ketua Pengadilan Agama Sukoharjo Drs. H.A. Shonhadji Ali, M.HI menuturkan bahwa ada juga sebagian commit to user masyarakat yang tidak mengajukan dispensasi meskipun usianya belum perpustakaan.uns.ac.id 75 digilib.uns.ac.id cukup dalam melakukan pernikahan. Biasanya hal tersebut terjadi dengan cara menaikkan atau “mengkatrol” usianya agar menjadi cukup dalam melangsungkan pernikahan (wawancara Drs. H.A. Shonhadji Ali, M.HIKetua Pengadilan Agama Sukoharjo, 12/06/2012). Cara seperti itu sebenarnya melanggar ketentuan hukum yang berlaku, mengingat bahwa dalam undang-undang perkawinan itu sendiri sudah diatur mengenai dispensasi pernikahan yang harus mendapatkan penetapan pengadilan terlebih dahulu. Namun dalam masyarakat masih kerap terjadi hal seperti itu. Meskipun demikian, baik bagi yang mengajukan dispensasi maupun tidak mengajukan dispensasi, memiliki hak yang sama dalam melangsungkan pernikahan. Bagi yang mengajukan dispensasi ke Pengadilan lebih menjamin dalam mendapatkan kepastian hukum yang kuat karena telah sesuai dengan peraturan yang ada dan sah. Namun bagi yang tidak mengajukan dispensasi, dapat menjadi masalah di kemudian hari apabila data atau identitas dalam melangsungkan pernikahan tersebut tidak sesuai dengan data asli akta kelahiran akibat dari menaikkan usia tanpa melalui prosedur yang sah yang telah diberikan oleh negara, yang dalam hal ini telah diatur dalam pasal 7 ayat 2 undang-undang perkawinan. Sehingga pernikahan yang dilakukan bisa terancam dibatalkan oleh pengadilan karena hakekatnya dilakukan secara ilegal dengan tidak mematuhi aturan yang telah ditentukan oleh undang-undang. Tidak adanya batasan kawin hamil dalam pasal 7 ayat 2 undangundang perkawinan. Menyebabkan pelaku zina yang mengajukan dispensasi memiliki hak yang sama dengan bukan pelaku zina dalam mengajukan dispensasi ke pengadilan agama. Karena tidak ada batasan yang jelas tersebut, seolah-olah negara tidak membedakan antara pemohon dispensasi yang tidak melakukan zina dengan pemohon dispensasi yang melakukan zina terlebih dahulu sebelum terjadi pernikahan yang sah, baik menurut aturan agama maupun undang-undang. Sehingga dalam hal ini commit to user tindak kejahatan perzinaan yang negara terkesan seolah-olah melindungi perpustakaan.uns.ac.id 76 digilib.uns.ac.id dilakukan oleh anak dibawah umur dalam melangsungkan pernikahan tersebut. Bahkan dalam hal ini negara terkesan tidak memberikan hukuman bagi pelaku zina tersebut, malahan memberikan hadiah dengan sebuah pernikahan berkedok dispensasi. Aturan yang sebenarnya baik justru disalahgunakan oleh oknum tertentu (pezina remaja) untuk mendapatkan kepastian hukum dalam melakukan pernikahan. Maka dalam hal ini Penulis berpendapat alangkah baiknya apabila dalam pasal 7 ayat 2 undang-undang perkawinan tersebut diberikan batasan yang jelas, bahwa dispensasi hanya boleh diberikan pada laki-laki maupun perempuan yang masih perjaka dan perawan saja, tanpa dilatarbelakangi oleh kehamilan dari pihak wanita terlebih dahulu. Karena hakekatnya hamil disebabkan hubungan diluar nikah merupakan suatu tindak pidana yang diatur dalam hukum positif negara ini dalam pasal 287 KUHP maupun dalam hukum Islam apabila pezina tersebut beragama islam. Jadi, dalam hal ini pasal 7 ayat 2 yang mengatur mengenai dispensasi pernikahan. Berlaku efektif bagi pelaku hubungan diluar nikah yang belum cukup umur dalam melangsungkan pernikahan. Guna mendapatkan kepastian hukum dalam melangsungkan pernikahan, dengan cara mengajukan dispensasi ke pengadilan agama. Tujuan hukum adalah sesuatu yang ingin dicapai oleh hukum, yakni keadilan dan kepastian hukum (perlindungan hukum). Tujuan mempertahankan ketertiban masyarakat dicapai dengan cara melindungi kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat secara seimbang. Implementasi tujuan hukum tersebut dapat dilaksanakan dalam suatu negara berdasarkan atas hukum. Untuk mencapai tujuannya, hukum haruslah ditegakkan. Dalam hal ini hukum diasumsikan sebagai hukum yang baik (walau faktanya ada juga hukum yang tidak baik). Jika kita membicarakan penegakan hukum, maka itu berarti harus membahas sistem hukum. Lawrence Meir Friedman commit to user perpustakaan.uns.ac.id 77 digilib.uns.ac.id menyatakan ada tiga unsur yang terkait dalam sistem hukum yaitu (Achmad Ali, 2009: 204): a. Struktur (structure) Yaitu, keseluruhan institusi-institusi hukum yang ada beserta aparatnya, mencakup antara lain kepolisisan dengan para polisinya, kejaksaan dengan para jaksanya, pengadilan dengan para hakimnya, dan lain-lain. b. Substansi (substance) Yaitu, keseluruhan aturan hukum, norma hukum dan asas hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan. c. Kultur hukum (legalculture) Yaitu, opini-opini, kepercayaan-kepercayaan (keyakinan-keyakinan) kebiasaan-kebiasaan, cara berpikir, dan cara bertindak, baik dari para penegak hukum maupun dari warga masyarakat, tentang hukum dan berbagai fenomena yang berkaitan dengan hukum. Hubungan antara tiga unsur sistem hukum itu sendiri tak berdaya, seperti pekerjaan mekanik. Struktur diibaratkan seperti mesin, substansi adalah apa yang dikerjakan dan dihasilkan oleh mesin, sedangkan kultur hukum adalah apa saja atau siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan dan mematikan mesin itu, serta memutuskan bagaimana mesin itu digunakan. Hukum dapat berlaku secara efektif apabila aturan yang dibuat oleh pembentuk undang-undang tersebut dipatuhi oleh masyarakat. Sehingga tujuan yang hendak dicapai dalam pembuatan peraturan tersebut dapat menciptakan suatu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum dalam masyarakat. Efektivitas yang dimaksud dalam penulisan hukum ini adalah manakala pasal 7 ayat 2 undang-undang perkawinan yang mengatur mengenai dispensasi pernikahan, dipatuhi dan ditaati oleh masyarakat Sukoharjo. Guna memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat, serta commit to user hukum bagi pemohon dispensasi kemanfaatan dan terjaminnya kepastian 78 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id agar dapat diperbolehkan untuk melakukan pernikahan. Dalam mengajukan dispensasi ke pengadilan agama, antara lain dengan tujuan untuk mendapatkan kepastian hukum. Baik bagi pelaku hubungan diluar nikah maupun bukan pelaku hubungan diluar nikah, yang belum cukup umur dalam melangsungkan pernikahan. Dalam efektivitas pasal 7 ayat 2 yang mengatur mengenai dispensasi pernikahan yang berhubungan dengan kondisi sosial masyarakat Sukoharjo, dalam hal ini juga dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain. 1. Faktor Struktur hukum Menurut Friedman, struktur adalah kerangka atau rangkanya, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberi semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan. Di Indonesia, misalnya jika kita berbicara tentang struktur sistem hukum Indonesia, maka termasuk di dalamnya struktur institusi-institusi penegakan hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, dan lembaga permasyarakatan (Achmad Ali, 2009: 204). Adanya lembaga yang menjadi wadah dalam mengajukan dispensasi, dalam hal ini adalah Pengadilan Agama dan KUA sebagai pencatat pernikahan. Sehingga menyebabkan semakin mudahnya, pelaku hubungan diluar nikah yang belum cukup umur dalam melangsungkan pernikahan, mengajukan dispensasi ke pengadilan agama guna mendapatkan kepastian hukum dalam melangsungkan pernikahan. Apabila terdapat sarana yang memadai, serta mudahnya para aparat, dalam hal ini hakim atau petugas pengadilan dan pegawai pencatat pernikahan. Memberikan kemudahan dalam mengajukan dispensasi, maka hal tersebut dapat menyebabkan peningkatan dispensasi yang terjadi selama ini, baik di Sukoharjo maupun diseluruh wilayah Indonesia. commit to user 79 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Adapun mekanisme pengajuan perkara permohonan dispensasi pernikahan di Pengadilan Agama Sukoharjo adalah sebagai berikut: a. Prameja Sebelum pemohon mengajukan permohonannya, pemohon ke prameja terlebih dahulu untuk memperoleh penjelasan tentang bagaimana cara berperkara, cara membuat surat permohonan, dan di prameja pemohon dapat minta tolong untuk dibuatkan surat permohonan. b. Meja I Surat permohonan yang telah dibuat dan ditandatangani diajukan pada sub Kepaniteraan Permohonan, pemohon menghadap pada meja pertama yang akan menaksir besarnya panjar biaya perkara dan menuliskanya pada Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM). Besarnya panjar biaya perkara diperkirakan harus telah mencukupi untuk menyelesaikan perkara tersebut, yang berdasarkan pasal 193 R.Bg/ pasal 182 ayat (1) HIR/pasal 90 ayat (1) UUPA, meliputi: 1. Biaya kepaniteraan dan biaya materai. 2. Biaya pemeriksaan, saksi ahli, juru bahasa dan biaya sumpah. 3. Biaya pemeriksaan setempat dan perbuatan Hakim yang lain. 4. Biaya pemanggilan, pemberitahuan dan lain-lain atas perintah Pengadilan yang berkenaan dengan perkara itu. Bagi yang tidak mampu dapat diijinkan berperkara secara prodeo (cumacuma). Ketidakmampuan tersebut dibuktikan dengan melampirkan surat keterangan dari Lurah/Kepala Desa setempat yang dilegalisir oleh Camat. Bagi yang tidak mampu maka panjar biaya perkara ditaksir Rp.0,00 dan ditulis dalam SKUM. c. Kasir Pemohon kemudian menghadap kepada kasir dengan menyerahkan surat permohonan dan SKUM. Kasir kemudian: commit to user 80 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id 1. menerima uang tersebut dan mencatat dalam jurnal biaya perkara. 2. menandatangani dan memberi nomor perkara serta tanda lunas pada SKUM. 3. mengembalikan surat permohonan dan SKUM kepada Pemohon d. Meja II Pemohon kemudian menghadap pada Meja II dengan menyerahkan surat permohonan dan SKUM yang telah dibayar. Kemudian Meja II: 1. Memberi nomor pada surat permohonan sesuai dengan nomor yang diberikan oleh Kasir. Sebagai tanda telah terdaftar maka petugas Meja II membubuhkan paraf. 2. Menyerahkan satu lembar surat permohonan yang telah terdaftar bersama satu helai SKUM kepada pemohon. Demikianlah, prosedur dan cara pengajuan permohonan dispensasi pernikahan di Pengadilan Agama Sukoharjo. 2. Faktor Substantif Hukum Menurut Friedman, substansi adalah aturan, norma hukum dan asas hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan serta pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu (Achmad Ali, 2009: 204). Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum tersebut, mencakup keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Substansi juga mencakup living law (hukum yang hidup), dan bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang undang atau law the books. Faktor substantif berpengaruh terhadap efektivitas pasal 7 ayat 2 yang mengatur mengenai dispensasi pernikahan. Karena dalam hal ini undang-undang memperbolehkan adanya perkawinan di bawah umur, meskipun tidak terdapat batasan mengenai kawin hamil yang commit to user dilakukan. Sehingga hal tersebut menyebabkan pelaku hubungan diluar 81 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id nikah yang belum cukup umur dalam melangsungkan pernikahan, berbondong-bondong ke pengadilan agama untuk mengajukan dispensasi, guna mendapatkan kepastian hukum dalam melangsungkan pernikahan. Akibat dari adanya aturan hukum yang memperbolehkan dispensasi, maka peningkatan dispensasi yang terjadi di pengadilan agama sendiri merupakan sesuatu yang wajar terjadi, karena aturannya ada. Namun, apabila terlalu banyak pernikahan yang terjadi disebabkan dispensasi, hal tersebut juga dapat membawa dampak yang buruk kepada pasangan suami isteri yang melakukan pernikahan tersebut. Karena belum matangnya usia pasangan suami isteri dalam melangsungkan pernikahan untuk membina hubungan keluarga secara harmonis. 3. Faktor Kultur Hukum Menurut Friedman, kultur hukum yaitu, opini-opini, kepercayaan-kepercayaan (keyakinan-keyakinan) kebiasaan-kebiasaan, cara berpikir, dan cara bertindak, baik dari para penegak hukum maupun dari warga masyarakat, tentang hukum dan berbagai fenomena yang berkaitan dengan hukum (Achmad Ali, 2009: 204). Menurut Friedman, aspek kultural melengkapi aktualisasi suatu sistem hukum, yang menyangkut dengan nilai-nilai, sikap, pola perilaku para warga masyarakat dan faktor nonteknis yang merupakan pengikat sistem hukum tersebut. Wibawa hukum melengkapi kehadiran dari faktor-faktor non teknis dalam hukum. Wibawa hukum memperlancar bekerjanya hukum sehingga perilaku orang menjadi positif terhadap hukum. Wibawa hukum tidak hanya berkaitan dengan hal-hal yang rasional, tetapi lebih daripada itu mengandung unsurunsur spiritual, yaitu kepercayaan. Kewibawaan hukum dapat dirumuskan sebagai suatu kondisi psikologis masyarakat yang menerima dan menghormati hukumnya. commit to user 82 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Menurut Friedman budaya hukum diterjemahkan sebagai sikap-sikap dan nilai-nilai yang berhubungan dengan hukum dan lembaganya, baik secara positif, maupun negatif. Jika masyarakat mempunyai nilai nilai yang positif, maka hukum akan diterima dengan baik, sebaliknya jika negatif, masyarakat akan menentang dan menjauhi hukum dan bahkan menganggap hukum tidak ada. Membentuk undang-undang memang merupakan budaya hukum. Tetapi mengandalkan undang-undang untuk membangun budaya hukum yang berkarakter tunduk, patuh dan terikat pada norma hukum adalah jalan pikiran yang setengah sesat. Budaya hukum bukanlah hukum. Budaya hukum secara konseptual adalah soal-soal yang ada di luar hukum. Budaya hukum berpengaruh terhadap pola pikir masyarakat, dalam hal ini budaya hukum akibat hamil diluar nikah yang kerap terjadi dalam kehidupan masyarakat. Biasanya masyarakat menggunakan penyelesaian dengan cara melangsungkan perkawinan antara wanita hamil tersebut dengan laki-laki yang menghamilinya tanpa menunggu kelahiran anak yang dikandung. Cara ini bertujuan untuk menutup aib agar tidak diketahui masyarakat luas (Nurul Huda, 2009: 42-43). Adanya pasal 7 ayat 2 mengenai dispensasi pernikahan, seolah-olah memberikan angin segar bagi para pelaku hubungan seks diluar nikah yang kerap terjadi dalam kehidupan masyarakat, khususnya di Sukoharjo sekarang ini. Sebab dengan adanya aturan tersebut, menjadikan pola pikir masyarakat akan perbuatan hubungan seks diluar nikah. Bukan merupakan sesuatu yang menakutkan atau mengkhawatirkan lagi. Sebab secara yuridis dilindungi oleh undangundang, apabila pelaku hubungan seks tersebut mengajukan dispensasi ke pengadilan agama dan diterima dengan sebuah penetapan. Dengan demikian, aturan yang pada awalnya dibuat sebagai commit to user perzinaan disebabkan karena solusi untuk mencegah terjadinya 83 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id banyaknya remaja di bawah umur yang menurut undang-undang belum diperbolehkan melangsungkan pernikahan, melakukan pacaran pada era sekarang ini. Justru disalahgunakan oleh masyarakat untuk mendapatkan suatu kepastian hukum dan legalisasi perbuatan yang awalnya haram dan melanggar pidana, seolah-olah menjadi perbuatan yang baik dengan jalan pernikahan, yang dilatarbelakangi oleh hamil sebelum nikah. Pola pikir yang keliru inilah yang menjadikan kebanyakan masyarakat mengarah pada pengajuan dispensasi ke Pengadilan Agama apabila terjadi kehamilan akibat hubungan diluar nikah. Sehingga hal tersebut menjadi salah satu faktor yang menyebabkan pasal 7 ayat 2 ini menjadi efektif dalam rangka mendapatkan kepastian hukum bagi pelaku kawin hamil akibat hubungan diluar nikah. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB IV PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah penulis lakukan, dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Faktor penyebab peningkatan dispensasi di pengadilan agama sukoharjo, yaitu faktor pergaulan bebas remaja yang berdampak pada hubungan seks diluar nikah, faktor masyarakat yang kurang memahami mengenai undangundang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan hukum perkawinan islam, faktor perkembangan teknologi sarana telekomunikasi dan informasi yang disalahgunakan oleh masyarakat, faktor ekonomi yang lemah dan faktor kurangnya pendidikan. 2. Dampak dispensasi pengadilan agama terhadap kehidupan sosial masyarakat di sukoharjo, meliputi dampak positif dan negatif. Adapun dampak positifnya yaitu, sebagai solusi untuk mengatasi keresahan dalam masyarakat akibat hamil diluar nikah, yang terjadi pada anak di bawah umur dalam melakukan perkawinan,dan untuk mendapatkan kepastian hukum bagi pelaku kawin hamil. Sedangkan dampak negatif akibat dispensasi nikah yaitu, terjadinya kekerasan dalam rumah tangga akibat belum matangnya kondisi psikologis pasangan suami isteri dalam membina hubungan rumah tangga, indikasi peningkatan perceraian pasangan usia muda, berpotensi melanggar hak-hak anak, terutama bagi anak perempuan 3. Efektivitas Pasal 7 Ayat 2 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang mengatur mengenai dispensasi pernikahan yang berkaitan dengan hubungan diluar nikah dalam mendapatkan suatu kepastian hukum dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: a. Faktor Struktur hukum Adanya lembaga yang menjadi wadah dalam mengajukan commit to user dispensasi, dalam hal ini adalah Pengadilan Agama dan KUA sebagai 84 85 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id pencatat pernikahan. Sehingga menyebabkan semakin mudahnya, pelaku hubungan diluar nikah yang belum cukup umur dalam melangsungkan pernikahan, mengajukan dispensasi ke pengadilan agama guna mendapatkan kepastian hukum dalam melangsungkan pernikahan. Apabila terdapat sarana yang memadai, serta mudahnya para aparat, dalam hal ini hakim atau petugas pengadilan dan pegawai pencatat pernikahan. Memberikan kemudahan dalam mengajukan dispensasi, maka hal tersebut dapat menyebabkan peningkatan dispensasi yang terjadi selama ini, baik di Sukoharjo maupun diseluruh wilayah Indonesia. b. Faktor Substantif hukum Faktor substantif berpengaruh terhadap efektivitas pasal 7 ayat 2 yang mengatur mengenai dispensasi pernikahan. Karena dalam hal ini undang-undang memperbolehkan adanya perkawinan di bawah umur, meskipun tidak terdapat batasan mengenai kawin hamil yang dilakukan. Sehingga hal tersebut menyebabkan pelaku hubungan diluar nikah yang belum cukup umur dalam melangsungkan pernikahan, berbondong-bondong ke pengadilan agama untuk mengajukan dispensasi, guna mendapatkan kepastian hukum dalam melangsungkan pernikahan. Akibat dari adanya aturan hukum yang memperbolehkan dispensasi, maka menyebabkan peningkatan dispensasi yang terjadi di pengadilan agama. Hal tersebut terjadi karena aturan tersebut terdapat dalam undang-undang, dan undang-undang memperbolehkan pernikahan di bawah umur. c. Faktor Kultur Hukum Adanya pasal 7 ayat 2 mengenai dispensasi pernikahan, menjadikan pola pikir masyarakat akan perbuatan hubungan seks diluar nikah. Bukan merupakan sesuatu yang menakutkan atau user yuridis dilindungi oleh undangmengkhawatirkan lagi.commit Sebab tosecara 86 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id undang, apabila pelaku hubungan seks tersebut mengajukan dispensasi ke pengadilan agama dan diterima dengan sebuah penetapan. Dengan demikian, aturan yang pada awalnya dibuat sebagai solusi untuk mencegah terjadinya perzinaan disebabkan karena banyaknya remaja di bawah umur yang menurut undang-undang belum diperbolehkan melangsungkan pernikahan, melakukan pacaran pada era sekarang ini. Justru disalahgunakan oleh masyarakat untuk mendapatkan suatu kepastian hukum dan legalisasi perbuatan yang awalnya haram dan melanggar pidana, seolah-olah menjadi perbuatan yang baik dengan jalan pernikahan, yang dilatarbelakangi oleh hamil sebelum nikah. Pola pikir yang keliru tentang dispensasi, mengakibatkan masyarakat memandang bahwa dispensasi Pengadilan Agama, sebagai solusi terakhir dalam mendapatkan kepastian hukum dalam melakukan pernikahan yang disebabkan kehamilan akibat hubungan diluar nikah. Sehingga hal tersebut menjadi salah satu faktor yang menyebabkan pasal 7 ayat 2 ini menjadi efektif dalam rangka mendapatkan kepastian hukum bagi pelaku kawin hamil akibat hubungan diluar nikah. B. Saran Dari hasil penelitian dan pembahasan, beberapa saran dapat penulis sampaikan sebagai berikut : 1. Sebaiknya perlu ditegakkan hukum secara tegas tentang penerapan pasal 287 KUHP untuk menjerat pelaku perzinaan bagi kalangan remaja, yang makin marak terjadi akhir-akhir ini di seluruh Indonesia dan di Sukoharjo pada khususnya. Untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku perzinaan yang dilakukan oleh para remaja yang belum cukup umur dalam melakukan pernikahan. Agar pernikahan di bawah umur tidak semakin marak terjadi, sehingga mengurangi peningkatan dispensasi pernikahan di Pengadilan Agama. commit to user 87 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id 2. Perlunya peran serta pemerintah dan masyarakat untuk memberikan bimbingan moral, serta penyuluhan di sekolah-sekolah mulai dari kelas 3 (tiga) SMP sampai dengan kelas 3 (tiga) SMU. Mengenai bahaya hubungan seks diluar nikah beserta dampak negatifnya guna mencegah terjadinya pernikahan dini. Maupun bimbingan moral serta penyuluhan dilingkungan masyarakat sekitar kepada para remaja saat ini tentang bahaya hubungan seks diluar nikah yang kerap terjadi selama ini. Sehingga dispensasi pernikahan tidak berdampak buruk bagi masyarakat yang dilatarbelakangi hamil diluar nikah. 3. Peraturan yang ada dalam undang-undang perkawinan seharusnya perlu diperbaiki pasal-pasalnya, karena dalam pasalnya masih terdapat ketidaksesuaian antara aturan yang satu dengan aturan yang lain. Dalam hal ini Pasal 7 ayat 1 dengan pasal 7 ayat 2. Sebaiknya dalam pasal 7 ayat 2 yang mengatur mengenai dispensasi pernikahan, diberikan batasan bagi calon yang akan melakukan pernikahan tidak boleh dilatarbelakangi oleh kehamilan diluar nikah terlebih dahulu. Karena pada dasarnya kehamilan yang disebabkan karena hamil diluar nikah bertentangan dengan pasal 1 ayat 1 dalam Undang-Undang itu sendiri. Seharusnya pernikahan bersifat sakral, namun akibat dilatarbelakangi kehamilan terlebih dahulu menyebabkan perkawinan itu sendiri terkesan dilakukan secara terpaksa akibat hamil terlebih dahulu. Sehingga dalam hal ini Penulis menganjurkan, agar aturan yang dibuat oleh pembuat peraturan benarbenar bisa dilakukan secara efektif, tanpa adanya pertentangan terhadap aturan yang lain. commit to user